Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

BUDAYA LAHAN KERING KEPULAUAN DAN PARIWISATA

“Sistem Kepercayaan Masyarakat Flores dan Lembata”

OLEH:
KELOMPOK 1

1. KRISTOANDI POETTING (1709010001)


2. CAROLINE S. H. PENGA (1709010002)
3. MARIA Y. NANO MENGI (1709010003)
4. MEGA YAKOBA KAPITAN (1709010004)
5. VIVI SUMANTI (1709010005)
6. JOSEPH RICARDO WUNDA (1709010006)
7. CHANDRAONE P. KEFI AMTIRAN (1709010007)
8. MOSCATIA TOBILOLON MUDA (1709010009)
9. DIANA RABEKA OTU (1709010010)
10. ZAKI ABDUL AZIZ MUBARAQ (1709010011)
11. SUSI M. SUSANTI TAKUBAK (1709010012)
12. TERESITA M. UA LAKAWOLO (1709010013)
13. MARIA SKOLASTIKA PENI (1709010014)
14. MONIKA N. NENOTEK (1709010015)
15. LIDYA OLU LANDO (1709010016)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Kepulauan Flores dan Lembata merupakan satu bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang cukup luas dengan keragaman kehidupan sosial masyarakat yang meliputi
kepercayaan dan adat-istiadat. Sebagian besar masyarakat Flores dan Lembata telah menganut
kepercayaan atau agama yang sudah diakui di Indonesia dengan presentase terbesar yaitu
penganut agama Katolik yang hampir mencapai 90%. Di samping itu, tidak bisa dipungkiri,
sebagian kecil masyarakat Flores dan Lembata sampai saat ini masih menganut kepercayaan
lokal pada daerah atau “kampung halamannya” dan masih mempertahankan tradisi tersebut.
Bahkan sebagian masyarakat yang telah menganut agama tertentu pun masih tetap
mempertahankan tradisi kebudayaan dari kepercayaan nenek moyangnya.
Kepulauan Flores dan Lembata sendiri terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi,
Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende,
Flores Timur, dan Lembata. Setiap daerah kabupaten mempunyai tradisi yang berkaitan dengan
kepercayaan yang beragam dan unik, sehingga dirasa perlu untuk mempelajari keragaman dan
keunikan tiap daerah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kabupaten Manggarai Barat


Manggarai merupakan daerah paling Barat pulau Flores, dalam Propinsi Nusa Tenggara
Timur, sebagian besar bergunung-gunung dan ada dataran yang luas, pada tahun 1973
penduduknya berjumlah 320.000 jiwa. Para misionaris menemukan di Manggarai suatu
kebudayaan patrilinier yang totemistis. Di dalam kebudayaan itu terdapat suatu Dewa, Keadaan
Tertinggi yaitu Mori Kraeng. Untuk tugas keagamaan dijalankan terutama oleh bapa keluarga
atau pengetua desa dan tuan tanah. Misionaris-misionaris yang pertama di Manggarai adalah
imam-imam Yesuit, tetapi mereka hanya mengadakan beberapa kali kunjungan dan tidak sampai
masuk ke bagian pedalaman. Tanggal 23 September 1920 dapatlah dicatat sebagai hari
berdirinya misi Manggarai. Lambat laun jumlah misionaris di Manggarai bertambah banyak
sehingga pada permulaan tahun 1950 tercatat ada sekitar 23 pater dan 2 orang bruder yang
bertugas di sana. Meskipun pada awalnya orang Manggarai menganut animisme namun dengan
adanya misionaris yang datang lambat laun pada tahun 1935 sebanyak 20% penduduk Manggarai
beragama Kristen. Kaum muslim berasal dari keturunan Bima dan Ende dan sebagian kecil
beragama protestan (ANRI, 2018).

2.2. Kabupaten Manggarai


Religi/kepercayaan asli orang Manggarai adalah kepercayaan penuh pada Tuhan Maha
Pencita (mori jari dedek, Ema pu,un kuasa), walaupun terdapat persembahannya selain
di “Compang” (mesbah), juga terkadang dibawah pohon-pohon besar yang dipandang angker
dan suci, serta mata air sebagai sumber kehidupan. Menurut Deventer (2014), jenis upacara adat
yang sudah menjadi tradisi bagi orang (masyarakat) Manggarai antara lain:
1. Upacara pembagian tanah untuk berkebun.
Rangkaian upacara adat Lingko (Kebun Komunal) dalam pembagian tanah untuk
berkebun pada masyarakat menggarai yang pertama, Musyawarah dengan Tua Tembong (tua
adat yang menguasai rumah adat), dalam rangka membuka lingko baru, maka tua teno (Tua
adat yang mengurus pembagian kebun) harus berkonsultasi dahulu dengan tua tembong yang
berdiam di rumah gendang dan menguasai penggunaan gong gendang. Sesudah itu
dimusyawarah dalam rapat pleno warga kampung. Kedua, Berangkat ke lokasi yang
disetujui, Keberangkatan disertai dengan ronda-ronda sambil menyanyi yang diiringi irama
gong dan gendang. Dalam arakan/ronda tersebut dibawa sepotong kayu teso unutk landuk
(tongkat utama/pusat kebun). Setelah peserta tiba di lokasi, Tuan teno memusyawarakan
untuk menentukan pusat kebun untuk dijadikan lodok dan perkiraan batas luar kebun yang
telah disepakati, maka acara di wilayah akan segera dimulai: pertama, upacara pemberian
sirih pinang dan tuak kepada arwah nenek moyang (dilakukan di bawah pohon yang
dianggap keramat). Kedua, upacara pemancangan teno oleh tua teno, yang diawali dengan
tudak ela (babi kurban).

2. Upacara Banco Caci.
Pada hari yang telah disepakati Banco Raci, semua warga (yang ada masa/bagian)
berkumpul di rumah gendang untuk berangkat beramai–ramai diring “ronda” (nyanian
pujian) dan gong gendang menuju lokasi. Setibanya “di lodok” (lokasi), “tua teno” (ketua
adat bagian perkebunan) membukanya dengan “renggas” (awal dari nyanian pujian), lalu
diikuti dengan tambur dan gong, sesudah itu dilanjutkan “sanda lima”. Waktu pengumuman
disampaikan maka dipertegas pula oleh tua tua teno, bahwa mulai besok (setelah hari upacara
banco raci) dapat dimulai pengerjaan (rimu) lodok dan banco raci, biasanya pada bulanjuli,
sedanglan untuk rimu (penebasan, penebangan/perambahan ), dilakukan pada bulan agustus,
bulan September mengadakan pembakaran hasil rimu, lalu diadakan pembersihan, dalam
rangka persiapan tanam upacara “kolok, weri, wa’u wini”, (persiapan tanaman) pada bulan
oktober, karena musim hujan).

3. Upacara penanaman benih.


Upacara “Kalek” (bajak sawah), Weri/wa’u wini (menanam). Dalam upacara ini
semua orang yang kebagian ladang berkumpul/berhimpun di pusat kebun (lodok) untuk
melakukan ritual dan mempersembakan seekor babi dan seekor ayam kepada Tuhan Yang
Maha Esa melalui perantara roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal, tujuannya agar
semua bibit bertumbuh baik. Pada hari kalok atau wa’u wini, bagian masing–masing yang
telah siap ditanami langsung ditanami; sedangkan yang belum siap dapat ditunda, (tidak
boleh lebih dari seminggu). Upacara ini lazimnya dilaksanakan pada bulan Oktober karena
hujan.

4. Upacara Nang Banta.


Upacara ini dilakukanpada masa jagung/padi sudah mulai berisi. Seekor Babi atau
ayam disembeli lagi kemudian dipersembahka di lodok, kepada Mori jari dedek dan arwh
pemilik tanah (empo tanah) agar jagung dan padi berbuah lebat. Upacara ini dilakukan
dengan hikmat dan harapan yang biasanya dilakukan pada bulan Februari.

5. Upacara sega latung.


Upacara ini dilakukan masing–masing pemilik kebun yaitu minimal seekor ayam dan
sesajian untuk memohon kepada nenek moyang terutama empo tana, agar tidak dimarhai
kalau sudok dapat dimulai memakan jagung (bulan Maret).

6. Upacara nderes (te’e woja).


Upacara ini dibuat di pusat kebun, dengan seekor babi dan ayam untuk
mempersembahkan kepada mori jari dedek (Tuhan pencipta langit dan bumi) dan arwah
nenek moyang, agar panennya melimpah karena mengetam tak habis–habisnya “dasor ako
neko loko lalap naka lampa” (semoga bulir-bulir padi tidak ada yang kosong), biasanya
dilaksanakan pada bulan mei.

7. Upacara kesep lahap.


Upacara pada peremulaan mengetam, membuat sesajian untuk arwah tuan tanah, agar
hasil panen pada melimpah ruah.

8. Upacara Randang.
Randang adalah pesta syukur kebun yang telah memberikan hasil yang relatif
melimpah.
9. Upacara Penti (upacara syukur atas hasil panen)
Upacara Penti adalah persembahan “Ela wai laki latangt Mori agu Ngaran”
(persembahan babi jantan kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara penti biasanya dilakukan
pada bulan Agustus sesudah melakukan panen.dan salah satu rangkaian upacaranya adalah
upacara tarian “caci” yang artinya satu lawan satu, untuk melambangkan kejantanan
seseorang. Acara penti ini sangat erat hubungannya dengan “Mori agu Ngaran” yaitu “ Ela
wailaki” (ela penti ). Acara penti harus dilakukan sesuai dengan waktu yang telah diwariskan
oleh nenek moyang terdahulu, karena acara penti ini menyangkut kehidupan masyarakat
Manggarai. Tujuan Penti menurut Masyarakat manggarai sendiri adalah “Naring ntaung”
(syukur atas segala rahmat yang diterima pada tahun ini). Mensyukuri atas hasil panen
tersebut dilaksanakan. Orang yang terlibat dalam Acara Penti adalah semua warga kampung
yang bersangkutan dan “meka landing” (desa tetangga yang diundang sebagai lawan dalam
tarian caci. Tempat acara dilakukan acara penti dilakukan di “Mbaru Gendang”. (rumah adat)
dan lapangan sebagi tempat dilaksanakan acara caci tersebut. Sebelum upacara caci tersebut
terlebih dahulu dilakukan upacara “wanta agu benta” (ritual memanggil arwah nenek
moyang). Yang dipercayai sebagai pemberi hasil yang melimpah bagi masyarakat
Manggarai.

2.3. Kabupaten Manggarai Timur


Masyarakat Manggarai Timur menganut agama yang berbeda-beda. Meski hidup dalam
perbedaan, namun masyarakatnya selalu hidup rukun, damai dan saling menghormati satu sama
lain tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Kehidupan beragama di Kabupaten
Manggarai Timur senantiasa dibina dengan tujuan untuk menciptakan kerukunan hidup antar
umat beragama serta mewujudkan kehidupan masyarakat yang serasi, seimbang, dan selaras
yang diharapkan dapat mengatasi berbagai masalah sosial budaya sebagai dampak dari
globalisasi, yang dapat merusak mental bangsa dan menghambat kemajuan. Jumlah pemeluk
agama di Kabupaten Manggarai Timur sampai dengan keadaan April 2018 sebanyak 278.294
jiwa, terdiri dari 257.051 jiwa beragama Katolik, 20.400 jiwa beragama Islam, 795 jiwa
beragama Kristen Protestan, dan 48 jiwa beragama Hindu.
2.4. Kabupaten Ngada
Menurut Badan Pusat Statistik (2019), Kabupaten Ngada merupakan salah satu kabupaten
di Kepulauan Flores yang mayoritas (90,68%) adalah penganut Agama Katolik. Presentasi
penganut agama lain di Ngada juga bervariasi meliputi, penganut Agama Islam 6,92%, Kristen
Protestan 2,24%, Hindu 0,17% dan juga penganut aliran kepercayaan lain, termasuk kepercayaan
terhadap leluhur. Etnis Ngadha merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di Kabupaten
Ngada yang masih berpegang teguh pada adat dan istiadat warisan leluhurnya. Etnis ini dikenal
sebagai penganut budaya Reba atau Ngadhu-Bhagha. Etnis Ngadha selalu memperingati setiap
peristiwa penting dalam kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, kematian, kegiatan pertanian
dan lainnya dengan upacara adat. Masyarakat meyakini bahwa upacara adat menjadi satu
landasan karakteristik dalam menjalankan relasi antara manusia dengan manusia, manusia
dengan lingkungannya, manusia dengan roh leluhur ataupun roh-roh lainnya serta manusia
dengan sang Pencipta (Sada, 2018).
Kecamatan Jerebuu merupakan salah satu daerah pusat penyebaran etnis Ngadha yang
kaya akan berbagai peninggalan budaya dan tradisi yang masih sangat alami. Masyarakat di
wilayah ini pada umumnya sudah memeluk agama Katolik namun secara eksplisit masih ada
kepercayaan asli yang didasarkan pemujaan kepada Tuhan dan leluhur yang tercampur dengan
animisme dan dinamisme. Berbagai kegiatan upacara adat masih terus dijalankan oleh
masyarakat ini seperti upacara yang berkaitan dengan siklus hidup, upacara Reba (tahun baru
adat) biasa dilakukan sekali dalam setahun yang berlangsung dari bulan Desember sampai
Februari, upacara pembuatan situs-situs penting seperti Ngadhu dan Bhagha, upacara pembuatan
rumah adat (Tau Sa’o) dan upacara yang berkaitan dengan pertanian (Sada, 2018).
Kampung Adat Bena merupakan salah satu perkampungan adat tertua dan juga
merupakan salah satu Perkampungan adat yang masih sangat memegang kuat tradisi Bena yang
ada di daratan Kabupaten Ngada Nusa Tenggara Timur (NTT) tepatnya di desa Tiwuriwu,
Kecamatan Jerebuu, sekitar 19 km selatan Bajawa. Kampung yang terletak di puncak bukit
dengan view Gunung Inerie. Keberadaanya dibawah gunung merupakan ciri khas masyarakat
lama pemuja gunung sebagai tempat para Dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka
meyakini keadaan Yeta, Dewa yang bersinggasana di gunung ini yang selalu melindungi
kampung mereka (Soja, 2018).
Pada dasarnya agama/religi masyarakat Bena merupakan suatu varian dari bentuk
keyakinan keagamaan yang terdapat di Indonesia. Tampak jelas praktik kehidupan masih
mempertahankan keyakinan mereka tentang alam gaib dan pemujaan roh leluhur yang
terimplementasi dalam adat-istiadat. Adat istiadat diperlihatkan dengan adanya pemujaan roh
leluhur (ancestor worship); yakin tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat
tinggalnya, sehingga perlu juga dipuja (animism); percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-
tumbuhan di sekelilingnya, selain berjiwa dapat juga berperasaan seperti manusia (animatisme);
dan percaya tentang adanya kekuatan sakti pada segala hal atau benda yang luar biasa
(dynamism) (Jayanti, 2012).
Suatu unsur yang penting dalam kepercayaan asli komunitas adat Kampung Bena adalah
kepercayaan kepada roh-roh leluhur yang selalu hadir pada setiap kegiatan adat. Pada umumnya
mereka percaya kepada roh seperti penjaga pintu rumah, desa, lumbung padi, hutan, sungai, mata
air dan lain sebagainya. Sebelum melakukan suatu kegiatan terlebih dahulu dilaksanakan
Upacara Puju Kui, yaitu upacara memanggil dua kekuatan besar, Dewa dan Nitu. Dewa yang
biasa disebut Dewa Enga (atas) merupakan Dewa atau Tuhan Yang Maha Esa, penguasa alam
semesta beserta segala isinya. Dewa inilah yang dipercaya selalu memberikan berkah dan
keselamatan. Sementara itu, Nitu Ngiu (bawah) merupakan alam bawah yang ada di sekitar dan
tidak terlihat, namun memiliki kekuatan yang sangat besar. Kekuatan tersebut berupa roh para
leluhur yang dihubungi dengan melakukan prosesi ritual (Jayanti, 2012).
Semua makhluk-makhluk halus dan roh-roh leluhur ada yang bersifat baik dan jahat.
Makhluk halus yang bersifat baik disebut Inebu (roh nenek moyang) yang selalu memberikan
petunjuk, arah demi keselamatan. Sebaiknya makhluk halus yang bersifat jahat disebut Setan.
Kekuatan ini bisa menyebabkan suatu penyakit dan kematian jika tidak diperhatikan secara
saksama pada saat upacara yang telah ditetapkan oleh adat (Jayanti, 2012).
Reba adalah fenomen keagamaan dan merupakan sebuah ritus agama asli yang dirayakan
setiap tahun oleh suku Ngada. Ritus keagamaan ini yang ditayangkan selama beberapa hari
berturut-turut sangat diwarnai dengan doa dan kurban, sebuah upacara yang begitu kaya baik dari
segi isi maupun dari segi bentuk-bentuk simbolnya, sungguh-sungguh menoreh religiositas orang
Ngada. Penempatan perayaan Reba yang terbentang dari Akhir Desember sampai pada akhir
Februari dan pada musim hujan mau menyatakan bahwa perayaan Reba ini bermakna sebagai
syukur atas penyelenggaraan “Dewa zeta Nitu zale” pada tahun silam dan mohon
pendampingannya pada tahun yang akan datang (Kaka, 2019).

2.5. Kabupaten Nagekeo


Dalam hubungan dengan agama, orang Keo umumnya mengakui diri secara publik
sebagai penganut agama Katolik atau Islam. Namun, jelas bahwa mayoritas penduduk Keo masih
sungguh terlibat dengan kepercayaan setempat yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap
arwah leluhur yang terejawantah lewat berbagai rumah adat dan monumen budaya (Tule, 2019).
Masuknya Islam dan Kristen ke kawasan ini pada awal abad ke-16, dan lebih intensif
pada awal abad ke-20, telah membawa perubahan mendasar di kalangan penduduk lokal dengan
pertobatan menjadi penganut agamaagama monoteis, baik Katolik maupun Islam. Kendatipun
mayoritas atau bahkan seluruhnya telah menganut agamaagama monoteis, mereka pun masih
menghayati agama dan kebudayaan lokal sebagai bagian dari identitas atau jati diri mereka.
Pandangan kosmologis mereka yang sangat menekankan harmoni dengan tanah dan arwah para
leluhur, terejawantah lewat berbagai mitos (dongeng-dongeng), silsilah keturunan, berbagai ritus
atau upacara yang dirayakan seputar monumen budaya dan rumah-rumah adat mereka. Semua
hal itu lasimnya menjembatani jurang dan bahkan memperkecil potensi konflik antara para
penganut agama-agama yang berbeda (Tule, 2019).
Kebanyakan umat beragama di Keo merasa bangga bahwa mereka memiliki kesatuan dan
ikatan genealogi yang sama sebagai bagian dari identitas mereka. Genealogi itu secara pragmatis
tercipta dan dilanggengkan di tengah masyarakat modern yang terus berkembang maju. Bagi
masyarakat Keo, agama Islam dan agama Katolik tidak hanya merupakan agama wahyu yang
terungkap dalam Kitab Suci, tapi juga menjadi basis dari apa yang mereka percaya dan lakukan
serta hayati dalam konteks local (Tule, 2019).

2.6. Kabupaten Sikka


Walaupun kabupaten Sikka merupakan salah satu daerah dengan penganut agama
terbesarnya yaitu agama Katholik dengan presentase 89,84% (BPS NTT, 2019), namun
masyarakat Sikka tidak lepas dari tradisi atau kepercayaan yang diwariskan turun-temurun oleh
para leluhur mereka. Kabupaten Sikka tercakup dalam lima etnik yaitu etnik Krowe, Lio, Tana
Ai dan Palue dan semuanya tergabung dalam sebutan orang Sikka sedangkan pendatang yang
sudah menetap di kabupaten Sikka yakni etnik Tidung-Bajo yang berasal dari Sulawesi Selatan
dengan mempergunakan bahasa Bajo (Maria, 2018).
Menurut Maria, (2018), bagi Komunitas Krowe, penghormatan kepada leluhur
merupakan salah satu landasan penting dalam sistem kepercayaan mereka. Sehubungan dengan
ini, orang Krowe membedakan luluhur menjadi tiga kategori. Yang pertama adalah arwah
leluhur yang masih menjalani proses penyucian atau belum dilakukan ritual Lodo Hu’er kepada
mereka. Arwah leluhur yang masih menjalani proses penyucian ini disebut Ina nitu pitu wali
higun, Ama noan walu wali hulu. Kategori yang kedua adalah arwah leluhur yang telah
menjalani proses penyucian atau dikenal dengan Ina Nian Tana wawa, ama lero wulan reta (Ibu
yang berada di bumi, Bapak yang berada di atas angkasa). Selanjutnya, yang ketiga adalah
leluhur yang menguasai alam (Ina Du’a Ei Mula Pu’an, Ama Mo’an Ei Ongen Unen). Bentuk
penghormatan ini adalah dengan dilakukannya ritual di tempat-tempat yang disakralkan. Terkait
dengan tiga kategori leluhur di atas, setidaknya terdapat tiga tempat sakral yang digunakan
komunitas adat Krowe dalam berhubungan dengan para leluhur.
Yang pertama adalah Watu Mahang, yaitu sebuah piringan batu yang terletak di salah
satu ruangan rumah yang bernama Reta Une Ulu Higun. Ruangan ini biasanya menyatu dengan
ruang tidur dari suami-istri pemilik rumah dan berada di sebelah kanan dari rumah. Jadi, Watu
Mahang ini merupakan tempat untuk pelaksanaan ritual-ritual dalam lingkup rumah tangga.
Setiap ritual yang dilakukan di tempat ini selalu memanjatkan dia kepada Ina Nitu Pitu Wali
Higun, Ama Noan Walu Wali Hulu.
Tempat yang kedua, yaitu Wu’a Mahe. Menurut kepercayaan komunitas adat Krowe,
Wu’a Mahe ini merupakan perkampungan arwah leluhur yang telah mengalami proses
penyucian, yaitu arwah leluhur yang sudah mendapatkan ritual adat Lodo hu’er. Dalam bahasa
adat, arwah leluhur ini disebut dengan Ina Nian Tana wawa, ama lero wulan reta. Letak Wu’a
Mahe berada di depan wisung wangar masing-masing klan. Jadi, berbeda dengan Watu Mahang
yang merupakan tempat ritual dalam lingkup rumah tanggga, Wu’a Mahe merupakan tempat
ritual dalam lingkup klan. Karena Wu’a Mahe ini adalah merupakan tempat ritual klan maka
ritual-ritual yang dilakukan di tempat ini biasanya melibatkan lebih dari satu rumah tangga.
Misalnya ritual Lodo Hu’er (penyucian arwah leluhur), Wehe Tahi Pano Lalan (bepergian), U’a
Uma Kare Tua (bercocok tanam), dan lain sebagainya. Dalam ritual-ritual tersebut biasanya
disembelih seekor babi di depan batu mahe untuk dipersembahkan kepada leluhur.
Tempat ketiga disebut Ai Tali yaitu altar persembahan kepada leluhur yang berada di
bawah pohon tertentu. Ai Tali terletak di hutan (bukan kebun yang diolah manusia) yang terpisah
dari permukiman. Sama seperti Wu’a Mahe, Ai Tali dimiliki dalam lingkup Klan. Namun, bagi
orang Krowe, tempat ini sangatlah sakral sehingga Ai Tali yang dimiliki sebuah klan tidak boleh
didatangi oleh anggota klan yang lain. Bahkan, anggota klan yang memilikinya pun tidak boleh
mendatangi tempat ini jika tidak memiliki kepentingan tertentu. Di Ai Tali, doa dipanjatkan
kepada (Ina Du’a Ei Mula Pu’an, Ama Mo’an Ei Ongen Unen).
Pemberian sesaji kepada leluhur itu dilakukan pada waktu-waktu tertentu, seperti: ketika
ada anggota rumah tangga yang sakit, akan berpergian, akan sekolah di tempat yang jauh, setelah
panen, dan lain sebagainya. Ritual di batu sudut juga dilakukan sebagai “pembuka” dan
“penutup” dari ritual-ritual yang lebih besar yang dilakukan baik di Wu’a Mahe maupun Ai Tali.
Ritual-ritual di batu sudut ini dilakukan baik untuk tujuan permohonan kepada leleuhur untuk
mendapatkan sesuatu atau menghindari musibah, serta sebagai bentuk syukur kepada leluhur atas
sesuatu yang diperoleh.
Ritual yang dilakukan di altar rumah tangga ini biasanya disebut dengan ritual Piong
Tewok. Dalam ritual Piong Tewok ini, doa-doa dipanjatkan kepada kepada Ina Nitu Pitu Wali
Higun, Ama Noan Walu Wali Hulu, yaitu para leluhur yang masih menjalani proses penyucian.
Dalam penyampaian doa-doa tersebut biasanya disertai dengan beberapa macam sesaji seperti:
ekor ikan dan beras (Hian kekor pari hoban), tuak (moke), nasi, serta daging ayam atau babi
(Maria, 2018).
2.7. Kabupaten Ende
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan.
Defenisi kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Mati, 2019), yang
menyebutkan pegertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki
pengetian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan
acauan bagi seseorang untuk menentuhkan persepsi terhadap sesuatu objek. Kepercayaan
membentuk pengelaman baik pengelama pribadi maupun sosial. Nilai merupakan sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukan kualitas dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti
sesuatu itu berharga dalam artian berguna bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut
Doroeso (dalam Mati, 2019) adalah sebagai berikut: (1) nilai itu merupakan suatu realitas abstrak
yang ada dalam kehidupan manusia, nilai yang bersifat abstrak tidak dapat dilihat dengan indra
(2) nilai memiliki sifat normatif dalam artianya nilai mengandung harapan, cita-cita dan suatu
keharusan sehingga nilai memiliki sifat idea. (3) nilai berfungsi sebagai daya dorong dan
manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasarkan dan didorong oleh nilai yang
diyakininya.
Berdasarkan kategori agama, jumlah penganut islam dan katolik merupakan yang terbesar
disusul oleh Kristen dan sedikit penganut Hindu. Data sensus tahun 2010 menunjukkan bahwa di
kota Ende terdapat 12.448 penganut islam, 12.890 katolik, 1.939 kristen protestan, 159 hindu dan
lainnya 15 jiwa (BPS NTT, 2010). Jumlah penganut agama cenderung mengikuti kategori etnis.
Pada umumnya etnis Lio, Ende pedalaman dan Flores lainya menganut agama katolik. Etnis
Ende pesisir menganut agama islam, sedangkan kristen diidentikkan dengan etnis Sabu-Rote dan
Hindu dengan orang Bali.
(Sumber: BPS, NTT 2010)

2.8. Kabupaten Flores Timur


Suku lamaholot adalah salah satu komunitas yang terdapat di Lamaholot yang terdiri dari
Larantuka, Solor, Adonara (Flores Timur) dan sebagian lagi dari Kabupaten Lembata.
Masyarakat Lamaholot yakni kelompok-kelompok suku yang mendiami wilayah Flores Timur,
terdiri atas penduduk asli atau Ile jadi Woka Dewa (dilahirkan ole gunung dan di peranak pinak
oleh bukit) dan Kelompok lainya adalah suku-suku pendatang seperti sina jawa, sina malaka
yang berasal dari bagian barat kepulauan nusantara yang di sebut Tena mao.
Masyarakat Lamholot sebagian besar adalah agama Katolik sedangkan sisanya beragama
Islam yang kebanyakan mendiami daerah-daerah pesisir pantai. Menurut Niron (2016), jauh
sebelum masuknya agama, masyarakt Lamaholot sudah memiliki kepercayaan bahwa dirinya
(pribadi) begitu kecil dan tidak berdaya. Hal ini membuat masyarakat tenggelam oleh kekuasaan
lain yang lebih tinggi, lebih kuat yang tidak kelihatan tetapi diyakini. Oleh karena itu, naluri
untuk mencari pencipta yang terkuat, tertinggi, dan berkuasa selalu ada dalam setiap kegiatan
hidupnya. Dalam kegiatan bertani semua tahapan dalam siklus kegiatan tersebut selalu di
dahului, disertai dan diakhiri dengan upacara adat dan religi. Makluk gaib yang di pandang
masyarakat Lamaholot sebagai pribadi yang memiliki kuasa, kekuatan dan yang tertinggi itu
disapa dengan nama “Rera wulan–tanah ekan” (penguasa langit dan bumi). Dalam nama sebutan
ini, terungkap iman masyarakat lamaholot yang meyakini adanya makluk gaib yang tidak
kelihatan yang berkuasa atas langit dan bumi.
Berkaitan dengan batu Nuba Nara, masyarakat Lamaholot memiliki kepercayaan
terhadap wujud tertinggi yang di sebutnya “Rera Wulan Tanah Ekan”. Masyarakat lamaholot
sangat menghayati ketergantungan pada suatu kekuatan yang berada di luar dirinya, sekaligus
melingkupi seluru realita hidupnya. Kekuatan yang maha dahsyat dan menguasai seluruh realitas
itu dipersonifikasikan pada Matahari-Bulan, Tanah-alam sekitarnya sebagai yang ilahi, namun
dengan cara itu manusia tradisional Lamaholot mengungkapkan akan adanya yang ilahi.
Dalam masyarakat lamahotot, adat mengatur kehidupan bersama dan menjaga
keharmonisan hubungan antara manusia. Sedangkan ritus yang dilakukan ditujukan untuk
menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan kekuatan-kekuatan mitis. Dengan demikian
pelanggaran terhadap adat akan mengakibatkan ketidakseimbangan sosial, dan tindakan
mengabaikan ritus-ritus akan menimbulkan terganggunya keseimbangan kosmis.
Contoh sistem kepercayaan didesa Sulengwaseng, Flores Timur. Kristianitas, khususnya
Katolik sudah dikenal Penduduk Masyarakat Desa Sulengwaseng sejak pertengahan abad 16
melalui kedatangan bangsa Portugis. Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak lama, namun
dalam sikap, perilaku, dan mental masih tampak pemikiran yang bersifat mistis. Pemikiran yang
bersifat mistis adalah sikap manusia yang merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib
sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau dewa kesuburan seperti yang dipentaskan
dalam mitologi.
Sebagai suatu bentuk religi awal merupakan kepercayaan dan praktik yang berkenaan
dengan leluhur, termasuk pada Kelompok Masyarakat Lamholot yang ada di Desa
Sulengwaseng. Bentuk pemujaan leluhur ini mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal,
khususnya dalam hubungan kekeluargaan, sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif
dan bisa ikut campur tangan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, manusia perlu
mengenangkan atau mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal. Inilah bentuk
ibadah magi. Sementara itu, bentuk-bentuk sejati dari agama dapat terjadi tanpa suatu keharusan
untuk bersama dengan magi. Adapun kepercayaan lokal atau kepercayaan tradisi tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Lera Wulan Tana Ekan
Masyarakat Desa Sulengwaseng secara tradisional tidak mengenal istilah Tuhan.
Walaupun tidak mengenal istilah tersebut tidak berarti Masyarakat Desa Sulengwaseng
tidak mengenal atau tidak percaya pada tuhan. Tuhan sebagai suatu wujud tertinggi yang
menunjukkan kebesaran dan kemahakuasaan-Nya disapa dengan Lera Wulan Tana Ekan.
Terjemahan secara harafiahnya adalah matahari, bulan tanah lingkungan/Bumi. Bila
diterjemahkan secara bebas Lera Wulan Tana Ekan berarti langit dan bumi.
2. Kewokot
Kewokot adalah jiwa-jiwa leluhur yang sudah meninggal. Para leluhur atau roh suci
orang yang telah meninggal dunia sebenarnya hanya berpindah tempat, mereka tetap berada
di dekat orang-orang yang masih hidup dan selalu menyertai setiap gerak langkah hidup
mereka. Kewokot juga bertindak sebagai pengantara manusia pada waktu manusia ingin
berkomunikasi secara transedental dengan Lera Wulan Tana Ekan. Di samping itu juga
sebagai penjaga aturan adat yang ada, memberikan berkat, serta rezeki kepada orang yang
ditinggalkannya. Oleh sebab itu, setiap hari raya atau upacara adat para kewokot selalu
diberi makan atau minuman terlebih dahulu. Masyarakat Sulengwaseng selalu meminta
pertolongan dan menghormati mereka dengan persembahan, agar dapat memperoleh hasil
ladang, keberuntungan pada saat berburu dan menangkap ikan.
3. Nitun
Nitun merupakan makhluk halus yang menguasai laut, daratan, hutan. Biasanya
Nitun ini bertempat tinggal di pohon-pohon yang besar atau batu-batu yang besar sebagai
penunggu atau penjaganya. Roh-roh halus diyakini ikut menentukan hidup manusia di alam
semesta ini sehingga dalam upacara adat para Nitun juga disebut dan diberikan sesajian
agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Nitun dalam pandangan masyarakat
Sulengwaseng, memiliki rupa seperti manusia, tetapi memiliki enam jari tangan dan enam
jari kaki, dan memiliki ekor yang panjang seperti binatang kera.
4. Lewotana
Lewotana atau kampung halaman bagi Masyarakat Lamaholot, khususnya di Desa
Sulengwaseng dianggap mempunyai kekuatan sakti dan ampuh. Kekuatan lewotana itu
berasal dari kekuatan nenek moyang/para leluhur dan kekuatan alami yang secara bersama-
sama menjadi suatu kekuatan yang ampuh yang disebut dengan “ike kwa at”. Oleh sebab
itu, setiap lewotana dianggap “noon ike kwa at” (ada kekuatan sakti).

2.9. Kabupaten Lembata


Orang Lamalera saat ini menghayati sistem religi yang dibangun dalam seluruh sejarah
pengembaraannya yang panjang. Sebelum ada kontak dengan pihak Barat yang membawa agama
Katolik, mereka sudah percaya akan wujud tertinggi serta bagaimana menjalin kontak dengan
kekuatan tertinggi itu.
1. Lera-Wulan
Sebelum masuknya agama Katolik tahun 1886, nenek moyang orang Lamalera juga
adalah henotis. Mereka menghormati Lera-Wulan (Lera = matahari; Wulan = bulan) sebagai
wujud tertinggi, seperti halnya penduduk Lamaholot (Flores Timur, Solor, Adonara,
Lembata, bahkan Alor dan Pantar) lainnya. Lera Wulan berarti matahari dan bulan. Tetapi itu
bukan pengakuan adanya dualitas. Lera Wulan merupakan kesatuan, satu makluk atau
kekuatan. Ia adalah “kekuasaan atas segala-galanya. Di Kedang dinamakan Wula-Loijo
(bulan-matahari). Ketika orang meninggal, dia dipanggil kembali oleh Lera Wulan.
Penduduk Lamaholot juga mengenal wujud tertinggi lainnya, yakni Latahala. Dia adalah
menaka belen (menaka besar), kepala segala suanggi. Dia adalah yang paling jahat,
“setan”nya pribumi Kristen, dan lawannya adalah Leran Wulan yang lebih kuat tapi sering
menggunakannya untuk menghukum orang.
2. Nubanara
Terkait dengan kultus Lera-Wulan, orang Lamaholot juga menghormati Nubanara,
yakni batu pemali. Batu pemali bisa merupakan satu batu, bisa juga beberapa batu. Menurut
kepercayaan, Lera-Wulan turun dan duduk di atas batu-batu itu. Sebab itu nubanara dianggap
keramat. Di Lamalera tiap suku memiliki nubanara sendiri. Sewaktu-waktu disajikan
makanan untuk batu nubanara, bisa dengan permintaan tertentu, misalnya supaya hasil di laut
mencukupi.
3. Leluhur
Peran leluhur yang sudah meninggal dalam kehidupan orang Lamalera sangat besar,
khususnya terkait dengan mata pencarian di laut. Orang Lamalera memegang teguh tradisi
leluhur. Pelanggaran terhadap tradisi diyakini bakal mendatangkan kutukan dan kesialan.
Dalam kepercayaan orang Lamalera, para leluhur bekerja di balik layar untuk menggerakkan
perekonomian. Karena mata pencarian utama di Lamalera adalah memangkap ikan, disitulah
peran utama yang dimainkan para leluhur. Rezeki akan datang berlimpah manakala mereka
memelihara tradisi nenek moyang. Musim turun ke laut untuk menangkap ikan (lefa) yang
berlangsung bulan Mei hingga Oktober tiap tahun, dibuka dengan ritual Tena Fule, yakni
pertemuan dengan para leluhur di laut. Tena Fule dilakukan setiap tanggal 1 Mei, sesudah
misa di pantai di pagi hari.
Peran leluhur juga tercermin dalam ritual Ie Gerek yang mendahului Tena Fule setiap
tahun. Ie Gerek adalah ritual memanggil kotekelema dari puncak gunung Labalekang untuk
turun ke laut agar ditangkap oleh para nelayan. Kata-kata dalam seluruh tahapan Ie Gerek
penuh dengan panggilan kepada pada leluhur. Baik ritual Tena Fule maupun Ie Gerek (dan
Pao Kdena) pada dasarnya menggarisbawahi kesatuan (dan ketergantungan) antara
masyarakat Lamalera dan para leluhurnya. Sebelum masuknya agama Katolik, di antara
bangsal-bangsal peledang di pantai terdapat tempat-tempat penyimpanan tengkorak. Pada
waktu-waktu tertentu diadakan ritual di mana diberikan sesajian kepada tengkorak sebagai
berkat untuk kesuksesan penangkapan ikan di laut.
4. Pandangan tentang Laut
Karena laut memberikan hidup dan penghidupan kepada orang Lamalera, maka medan
laga itu diperlakukan dengan hormat. Arwah orang-orang yang meninggal di laut diyakini
menjadi penghuni laut dan ikut menjaga keselamatan dan kesuksesan para nelayan. Dalam
pandangan orang Lamalera, meninggal di laut, khususnya ketika menangkap ikan,
merupakan hal luar biasa. Laut dianggap sebagai medan pergulatan dan tempat mencari
rezeki, sehingga untuk melintasinya dituntut kualitas batin yang bersih dan perilaku yang
tanpa cacat.
BAB III
PENUTUP

Kepulauan Flores dan Lembata sendiri terdiri atas sembilan Kabupaten yang meliputi,
Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Sikka, Ende,
Flores Timur, dan Lembata. Sebagian besar masyarakat Flores dan Lembata telah menganut
agama yang sudah diakui di Indonesia namun, sebagian kecil masyarakat sampai saat ini masih
menganut kepercayaan lokal dan masih mempertahankan tradisi tersebut. Setiap daerah
mempunyai kepercayaan lokal yang unik dan mencrikan daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Stasistik. 2010. “Banyaknya Pemeluk Agama Dirinci Per Kecamatan di Kabupaten
Ende” diakses pada: endekab.bps.go.id
Deventer M. Y. 2014. “Mencermati Agama dan Kepercayaan Lokal Masyarakat Manggarai
Ditinjau dari Ilmu Pengetahuan. Wordpress.
Data Kantor Departemen Agama Kabupaten Manggarai Timur. 2018.
Kaka, P. W. 2019. “Makna Simbolik dalam Bahasa Ritual Reba pada Masyarakat Luba Desa
Tiworiwu Kecamatan Jerebuu Kabupaten Ngada”. IMEDTECH 3(2): 38-69.
Maria, S. K. 2018. “Wacana Tradisi Lisan Wawi Wotik di Kabupaten Sikka”. Jurnal At-Tadbir
STAI Darul Kamal NW Kembang kerang. Vol II.
Mati. T. R. 2019. Tari Gawi: Simbol Identitas Budaya Masyarakat Suku Lio Kabupaten Ende.
Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Niron, B. B. 2016. “Upacara Adat Lepa Bura pada Masyarakat Lamaholot di Desa
Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Flores Timur”. Jurnal Studi Kultural 1 (2): 94-
100.
“Provinsi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2019”. BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Halaman: 250.
Sada, M. dan Jumari. 2018. “Etnobotani Tumbuhan Upacara Adat Etnis Ngadha di Kecamatan
Jerebu’u Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Saintek Lahan
Kering 1(2); 19-21.
Shariasih, E. 2018. “Citra Kabupaten Manggarai Barat Dalam Arsip”. Arsip Nasional Republik
Indonesia.
Soja, K. S. 2018. “Tradisi Budaya Kampung Adat Sebagai Destinasi Wisata di Kota Ngada
Flores”. Domestic Case Study. Sekolah Tinggi Pariwasata Ambarrukmo Yogyakarta.
Tule, P. 2019. “Mengenal Kebudayaan Keo: Dongeng, Ritual dan Organisasi Sosial”. Kupang:
Unwira Press.

Anda mungkin juga menyukai