Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Suku Bangsa Di Asahan

Asahan, Melayu, atau sering juga disebut orang Batubara, kelompok suku bangsa
Melayu yang berdiam di daerah pantai timur Sumatera Utara, terutama disekitar
daerah Batubara, Kabupaten Asahan, Kotamadya Tanjung Balai, dan Kabupaten Labuhan
Batu.

Pada tahun 1975 jumlah orang Melayu di Kotamadya Tanjung Balai diperkirakan sekitar
32.433 jiwa, sedangkan di Kabupaten Asahan diperkirakan sekitar 640.595. Kini
Tanjung Balai berpenduduk 108.202 jiwa dan di Kabupaten Asahan berpenduduk 884.594.
Mereka hidup berdampingan dengan berbagai suku bangsa lainnya, misalnya suku bangsa
Batak Toba, Mandailing, Minangkabau, dan Jawa.

Diperkirakan orang Melayu Batubara adalah keturunan yang berasal dari pencampuran
suku bangsa lain, antara lain orang Batak Toba, Batak Simalungun, dan Angkola-
Mandailing. Sebagian beranggapan, mereka berasal dari negeri Pagaruyung, di
Sumatera Barat. Hal ini, antara lain, dapat dilihat dari adanya nama-nama negeri di
Batubara yang menyerupai atau diambil dari nama yang juga ada di daerah
Minangkabau, misalnya Talawi, Tanah Datar, dan Pesisir.

Perbedaan orang Melayu Batubara dengan orang Melayu lainnya terutama dalam
penggunaan bahasa. Bahasa Melayu dialek Batubara dapat dikenali dari pengucapan
kata yang selalu menggunakan huruf o. Misalnya, kata apo dengan pengucapan huruf o
yang berarti apa dalam bahasa Indonesia. Bahasa Melayu di daerah Batubara banyak
mendapat pengaruh bahasa Minangkabau, sedangkan yang di Kabupaten Asahan banyak
dipengaruhi oleh bahasa Batak. Dibandingkan dengan bahasa Melayu di daerah lainnya,
misalnya di daerah Deli dan Langkat, bahasa Melayu Batubara masih tetap bertahan
keberadaannya, dan masih sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Melayu Asahan tidak berbeda jauh pola perkampungannya dengan orang Melayu
lainnya. Rumah-rumah didirikan mengikuti alur sungai atau tepi pantai. Setiap
kampung memiliki sarana peribadatan berupa Masjid atau Surau. Pada masa lalu setiap
desa juga memiliki sebuah balai tempat melakukan musyawarah antar warga. Tiap
kampung dipimpin oleh datuk atau pawang. Mereka adalah orang yang dihormati.
Biasanya mereka diangkat sebagai pengetua, baik dalam urusan adat maupun dalam
kehidupan masyarakat. Mereka juga yang mengatur masalah pemakaian tanah pertanian,
pemakaian lokasi penangkapan ikan.

Rumah mereka berbentuk panggung bertiang tinggi dengan kolong di bawahnya. Tinggi
rumah sekitar 2 meter. Bentuk ini terutama ditemukan pada masyarakat yang tinggal
di daerah pantai. Tujuannya untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.
Sesuai dengan kepercayaan masyarakat setempat, rumah-rumah harus didirikan
menghadap matahari. Setiap ruangan dalam rumah asli orang Melayu memiliki fungsi
tersendiri. Berbeda dengan orang Melayu lainnya, rumah aslinya sudah jarang
ditemui, di daerah Batubara masih dapat ditemui beberapa rumah asli orang Melayu
yang berbentuk panggung tadi.

Sebagian besar orang Melayu Asahan yang berdiam di tepi pantai bermata pencaharian
di bidang perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat. Daerah pesisir
Batubara sangat terkenal dengan hasil lautnya, terutama julukan “kota kerang”.
Hasil tangkapan mereka biasanya dijual kepada tengkulang-tengkulak, dan sisanya
dikonsumsi sendiri atau dijadikan ikan asin. Ada juga yang mengembangkan mata
pencaharian di bidang pertanian, dengan tanaman padi, karet, kelapa sawit.
Masyarakat yang tinggal di pinggir pantai umumnya berkebun kelapa, yang hasilnya
dijadikan kopra. Untuk memperoleh penghasilan tambahan ada pula yang secara
sembunyi-sembunyi melakukan pekerjaan menebang hutan dan hasilnya kemudian dijual
ke pabrik papan yang ada di sekitar daerah tersebut. Seperti halnya cara penjualan
hasil perikanan, dalam menjual hasil pertaniannya orang Batubara lebih banyak
tergantung kepada jasa tengkulak.
Jenis mata pencaharian lain yang berkembang pada masyarakat Batubara adalah
bertenun, yang dikenal dengan nama kain songket Batubara. Kegiatan bertenun umumnya
dilakukan oleh kaum wanita sebagai sumber penghasilan tambahan. Keahlian bertenunan
di daerah ini sudah berkembang sejak abad ke-18. Motif hiasannya khas dan warna
dasarnya biasanya hijau tua dan biru tua. Sampai sekarang, bertenun merupakan salah
satu jenis mata pencaharian yang masih bertahan di daerah ini. Pekerjaan lain yang
umumnya juga dilakukan oleh kaum wanita adalah penganyam tikar, yang mereka
pelajari dari pendatang-pendatang Cina yang masuk ke daerah ini sekitar 300 tahun
lalu.

Berbeda dengan kelompok orang Melayu lainnya, orang Melayu Asahan menarik garis
keturunannya menurut garis ibu (matrilineal). Hal ini merupakan pengaruh dari
kebudayaan Minangkabau yang sangat kuat pada masyarakat ini. Adat menetap sesudah
nikahnya cenderung di lingkungan kediaman kerabat pihak istri (matrilokal). Setelah
pasangan ini memiliki satu atau dua orang anak, mereka biasanya pindah ke kediaman
yang baru (neolokal). Keluarga batih dalam masyarakat Batubara merupakan kelompok
yang berdiri sendiri.

Dalam masyarakat ini juga dikenal kelompok kekerabatan yang merasakan dirinya
berasal dari seorang nenek moyang dan merasa terikat melalui garis keturunan laki-
laki (patrilineal). Di kalangan orang Batubara kelompok semacam ini yang masih
bertahan adalah kelompok yang berorientasi pada nenek moyang yang bernama “Bandar
Rahmat”. Anggota kelompok ini masih saling mengenal satu sama lain berdasarkan
silsilah (tarombo) yang berpusat pada Bandar Rahmat. Anggota-anggota kelompok
secara teratur bertemu pada waktu tertentu, misalnya dalam acara pengajian yang
dilaksanakan secara bergiliran diantara anggota. Walaupun mereka sudah menetap di
berbagai daerah, ikatan kelompok ini masih bertahan, karena di daerah-daerah baru
tersebut, mereka tetap meneruskan pembentukan kelompok ini.

Sebagian besar masyarakat Batubara memeluk agama Islam. Kesenian orang Melayu
Asahan tidak berbeda jauh dengan kesenian Melayu lainnya. Bentuk-bentuk kesenian
mereka sebagian besar dipengaruhi oleh unsur agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai