Anda di halaman 1dari 2

Berbagai analisis dari google ;

GodBless mendedikasikan lagu ini untuk semua pihak yang tengah berjuang di garda depan melawan
pandemi virus corona dimanapun mereka berada.

Lagu lawas tersebut, pada waktu itu, seperti hendak mengingatkan bahwa bagaimana keadaannya,
rumah kita adalah rumah kita, yang harus dijaga dan kita bangga dengannya. Tidak perlu bermaksud
mencapai yang disana, karena semua ada di sini.

Lebih baik di sini, rumah kita sendiri, Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, Semuanya ada di sini

Rumah kita

Walaupun hanya berupa bilik bambu, yang tidak dilengkapi dengan hiasan dan lukisan dari pelukis
ternama, beratapkan jerami dan masih beralaskan tanah, tetapi dikatakan: Namun semua ini punya
kita//Memang semua ini milik kita.. sendiri… Gambar tersebut ditambahkan: Meskipun hanya
berpagar alang-alang, yang tidak dihiasi dengan bunga nan indah seperti melati atau anyelir, dan
hanya bunga Bakung, tetapi semua itu punya kita//Memang semua itu milik kita.

Lagu tersebut, mungkin merupakan bentuk reaksi terhadap kecenderungan yang berkembang kala itu,
dimana warga berbondong-bondong mengadu nasib ke kota-kota besar. Pesan ini tampak dari
perkataan: Haruskah kita beranjak ke kota//Yang penuh dengan tanya? Untuk apa pergi ke kota jika
tidak kepastian dan malah yang ada adalah ketidakpastian. Lagu tersebut dapat dikatakan hendak
menahan laju urbanisasi, dan sekaligus sebagai suatu upaya membangun kesadaran tentang apa yang
dimiliki dan punya kebanggaan dengan apa yang dimilikinya.

Contoh tersebut hanyalah sekedar gambar kecil dari perubahan makna yang begitu dinamis dalam
masyarakat. Apa yang dahulu dianggap penting, bisa jadi berubah di masa kini. Demikian sebaliknya,
apa yang dahulu disepelekan, bisa jadi kini menjadi penting atau hilang sama sekali. Rumah kita, pada
waktu itu, dapat dikatakan sebagai pandangan yang melihat bahwa rumah (dalam arti sempit maupun
luas), merupakan tempat berlindung, yang perlu dijaga, dirawat dan dihargai, bagaimanapun
keadaannya. Tidak boleh ada pandangan lain yang membuat rumah menjadi kehilangan makna.

Jika sudah kehilangan makna, rumah walaupun secara fisik eksis, namun bisa saja tidak tampak.
Rumah walaupun tempat tinggal, tetapi bisa jadi bukan merupakan tempat yang dirindukan. Mereka
yang ingin Mudik, dapat dikatakan mewakili rasa rindu pada kampung, namun pada saat yang sama
dapat juga mencerminkan rasa sebaliknya terhadap kota: ingin ditinggalkan, namun disanalah rejeki
dicari. Ada kerinduan pada kehidupan yang lebih baik, tetapi tidak mungkin diraih. Mudik, barangkali
hanya momen sesaat namun dapat mewakili kerinduan yang amat dalam pada rumah yang nyaman
dan aman.

Rasa rindu yang ingin mudik, pesan yang penuh makna dari lagu rumah kita, terasa mendapatkan
tantangan hari-hari ini. Yakni pada kenyataan dimana ternyata tinggal di rumah bukan merupakan hal
mudah. Kebosanan dan ragam situasi mental yang intinya mengalami kesulitan berdiam di rumah,
merupakan cermin bahwa rumah kini terasa kurang ideal, sehingga belum mampu memberikan rasa
nyaman dan dirindukan. Memang kalau ditinjau masa liburan, maka masa tersebut bukan waktu yang
akan dihabiskan di rumah, tetapi waktu untuk bepergian. Itulah sebabnya mengapa setiap liburan kota
tertentu dipadati wisatawan.
Hari-hari ini, mungkin dapat menjadi waktu yang baik untuk membuat refleksi, atas apa selama ini
berlangsung. Lagu Rumah Kita kembali terdengar… //Segala nikmat dan anugerah yang kuasa//
Semuanya ada di sini//Rumah kita.

Coba cek link ini terus dibaca bagus banget


https://vita7pasaribu.blogspot.com/2016/05/membaca-rumah-kita.html

Anda mungkin juga menyukai