Anda di halaman 1dari 7

Kitab Sabhaparva

Kitab Sabhaparwa merupakan kitab kedua dari seri Astadasaparwa. Kitab Sabhaparwa
menceritakan kisah para Korawa yang mencari akal untuk melenyapkan para Pandawa. Atas
siasat licik Sangkuni, Duryodana mengajak para Pandawa main dadu. Taruhannya adalah
harta, istana, kerajaan, prajurit, sampai diri mereka sendiri. Dalam permainan yang telah
disetel dengan sedemikian rupa tersebut, para Pandawa kalah. Dalam kisah tersebut juga
diceritakan bahwa Dropadi ingin ditelanjangi oleh Dursasana karena menolak untuk
menyerahkan pakaiannya. Atas bantuan Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan. Pandawa
yang sudah kalah wajib untuk menyerahkan segala hartanya, namun berkat pengampunan
dari Dretarastra, para Pandawa mendapatkan kebebasannya kembali. Tetapi karena siasat
Duryodana yang licik, perjudian dilakukan sekali lagi. Kali ini taruhannya adalah siapa yang
kalah harus keluar dari kerajaannya dan mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun. Pada
tahun yang ke-13, yang kalah harus hidup dalam penyamaran selama 1 tahun. Pada tahun
yang ke-14, yang kalah berhak kembali ke kerajaannya. Dalam pertandingan tersebut, para
Pandawa kalah sehingga terpaksa mereka harus meinggalkan kerajaannya.

2.2. Analisis Cerita


2.2.1. Niat Licik Duryodana Dan Sangkuni

Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha


untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali
mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara
mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun
dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara
bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-
akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu
atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan
demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka
mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu.
Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra
ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat
hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan
Widura.
2.2.2. Pandawa Dan Korawa Main Dadu
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus
Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak
para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri
dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura,
rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana
selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut
para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama
lawan”. Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Maaf paduka Prabu.
Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih
bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia.
Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena
masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan
dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab
dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi
merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia
mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis
dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan
prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia
kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi
untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia
juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan,
namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

2.2.3. Dropadi Dihina Di Muka Umum


Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik
Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya
sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang
berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan
rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang
tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada
Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak
tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para
pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat
peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal,
Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak
untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi
menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan
para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau
di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang,
tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah,
memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada semua
orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut
tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi,
berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang
menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama,
saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman
Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia
telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi
Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna
tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di
ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak
lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau
berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi
seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami
sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah,
Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun
hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai
Dropadi. Dropadi berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna
mendengar do’a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur
kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain
yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi
tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut
luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

2.2.4. Pandawa Dibuang Ke Tengah Hutan


Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam
Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah
bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi.
Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera
mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu
yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu
yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”. Setelah mendapat
pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia
menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai
dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan
mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana
menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini,
taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan
setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar
selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang
kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka
Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama
12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para
Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.

2.3. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Cerita Sabhaparva


2.3.1.      Nilai moral
Banyak uraian dalam sabhaparva yang mencerminkan bahwa nilai moral dari tokoh
yang bernama dusasana itu, tidak memiliki moral yang tidak baik. Dalam kitab
sarasamusccaya dijelaskan mengenai susila dalam sloka yang berbunyi “Tasmad
wakkayacittaistu nacaredachubam narah chubhachubham hyacarati tasyanute phalam” yang
artinya : “ oleh karena itu inilah yang harus diusahakan orang. Jangan biarkan kata-kata,
laksana dan pikiran berbuat karma yang tidak baik sebab orang yang mengusahakan yang
baik, baik yang diperolehnya. Jika jahat yang dilakukan, celaka yang diperolehnya. Seperti
halnya yang dilakukan oleh para kaurawa saat perjudian, mempermalukan dewi drupadi
secara kejam. Akan tetapi hasilnya akan ma mereka terima sesuai perbuatan mereka sendiri.
Etika dan moral manusia seharusnya sesuai dengan ajaran agama dan sastra agama.
 Disamping itu menurut kitab Manawa Dharmasastra dikatakan dalam sloka bahwa
“suksmabhyo pi prasangebhyah striyo raksya visesatah, dvayor hi kulayoh sokam avaheyur
araksitah”  artinya: wanita terutama harus dilindungi dari kecenderungan berbuat jahat,
bagaimana sedih tampaknya, jika mereka tidak dijaga akan membawa penderitaan kepada
kedua belah pihak keluarga. Hal inilah yang dialami panca pandawa, yang mempertaruhkan
harta benda dan istrinya, sehingga seorang wanita itu dianggap menderita karena tidak
mampu dilindungi oleh suaminya. Sudah sangat jelas bahwa seorang suami yang baik
menurut manawa dharmasastra yakni seorang suami yang mampu melindungi istri dan
menjaga martabat keluarganya secara utuh. Pada dasarnya perjudian merupakan hal yang bisa
menyesatkan seseorang  hingga berpengaruh pada istri beserta keluarga. Apapun yang
bersifat material tidak akan pernah kekal atau abadi, dapat pula menyebabkan penderitaan.
Dalam manawa dharmasastra disebutkan melalui sloka mengenai hal perjudian “dyutam
samahvayam caiva raja, rastrannivarayet, rajyanta karana vetau dvau dosau prtihvi
ksitam.”  Artinya perjudian dan bertaruh supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah
pemerintahannya; kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota.
Menurut sloka tersebut benar adanya, ketika antara pandawa dan kaurawa berjudi, itulah
sumber kehancuran seluruh wangsa barata. Pada dasarnya kita sebagai manusia memiliki
sebuah pemahaman yang mendalam mengenai etika,moral serta ajaran sastra sehingga hal
yang negatif tidak terjadi. Belajarlah darisastra dan sebisa mungkin mengaplikasikannya
secara benar.
Didalam RgVeda X.34.13 dijelaskan melalui sloka “jaya tapyate kitavasya hina,
mata purasya caratah kva svit. Mava bibhyad dhanam icchamanah anyesam astam upa
naktameti”  artinya : isteri seorang penjudi yang mengemabara mengalami penderitaan yang
mendalam didalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi semacam itu tetap
dirundung derita. Dia yang dalam lilitan hutang dan dalam kekurangan uang, memasuki
rumah orang-orang lainnya diam-diam dimalam hari. Analogi dari bunyi sloka tersebut
adalah para pandava yang hingga mempertaruhkan istrinya, membuat semua kluarga dan
istrinya mengalami penderitaan.

2.3.2. Nilai Keadilan dan Kepemimpinan


Pandawa, yang hanya memiliki kerajaan indraprasta tidak sebanding dengan apa yang
dimiliki oleh para kaurawa,yakni kerajaan hastina pura ini mencerminkan ketidakadilan
memperlakukan para pandawa. Kecurangan para kaurawa juga tercermin dalam bermain
dadu, sehingga pandava telah ahbis mempertaruhkan segalanya. Dalam keadaan seperti ini
drtarastra tidak mampu menghentikan dan mengambil tindakan, karena beliau tidak mampu
menentang keinginan putranya yakni Duryodhana. Sebagai raja yang arif bijaksana,
seharusnya mengambil cara-cara kepemimpinan menurut nitisastra. Seperti yang
dicantumkan dalam reg Veda II. 6.2  yakni pemimpin adalah tempat kediaman keberanian
dan kebijaksanaan. Itulah hakikatnmya pemimpin yang baik, serta bisa mengambil jalan
tengah bagi kedua belah pihak yang mengalami permasalahan.

2.3.3. Nilai Ketuhanan


Nilai Ketuhanan yang dapat saya paparkan dari parva yang kedua ini, yakni  ketika
kita mampu berpikir yang baik, berbuat yang baik, berbicara yang baik maka kita akan
merasa dekat dengan ajaran dharma. Pandava ibarat manusia yang selalu menjalankan
swadarmanya sebagai kstrya, dan mampu meredam amarah dalam ruang sabha (tempat
perjudian). Mereka yang berjalan diatas garis darma akan mendapat perlindungan dari Tuhan.
Dalam hal ini Tuhan yang selalu mendampingi pandawa adalah dalam wujud Sri Krsna.
Begitu pula, draupadi yang setia memuja Tuhan, sehingga dia mendaptkan anugrah dari
Tuhan, ketika pakaian draupadi dilucuti oleh Dussasana. Ini berarti apabila kita berserah diri
dan memuja tuhan secara tulus dan iklas niscaya tuhan akan memberikan jalan saat kita
menemui suatu masalah. Sebaliknya tokoh duryodhana yang terkesan serakah dan kejam,
tidak akan pernah merasakan kebahagian dalam hidupnya, dia akan selalu dirundung
kegelisahan. Sri Krsna merupakan Tuhan yang berada pada keadaan Saguna Brahman dalam
wujud sebagai Avatara turun kedunia untuk menghancurkan segala bentuk adarma atau
kejahatan didunia ini. Dalam sabhaparva ditekankan bahwa yang menonjol makna
teologisnya adalah ketika draupadi mendapat anugrah dari Tuhan, sehingga ia bisa
terselamatkan dari penghinaan para Kaurawa. Dapat disimpulkan bahwa siapapun yang
mengamalkan darma,siapapun yang mengamalkan ilmu pengahuan yang luhur maka manusia
akan mencapai Tuhan.

2.3.4.  Makna filosofis yang terkandung dalam sabhaparva


Dari uraian dalam sabhaparva diatas saya dapat mengkaji dari segi makna filosofisnya
yakni ketika setiap orang tidak dapat mengendalikan sad ripu yang ada dalam dirinya, maka
kekacauan terjadi dan menuju pada penderitaan panca pandava yang memmluk darma selalu
dilindungi oleh Sri Krsna sebagai wujud Tuhan. Dalam hal ini Tuhan berwujud sebagai
Avatara, selalu mengayomi, menjaga serta berpihak pada orang yang berlandaskan atas
darma karena dengan darma kita mampu mendekatkan diri pada Tuhan dan akhirnyha
mencapai pada Beliau. Kembali pada sad ripu, meskipun panca Pandava dipihak yang baik
tetapi mereka adalah sosok manusia yang belum sepenuhnya bisa ,mengendalikan sad ripu
sebab mereka menyetujui perjudian meskipun selalu kalah hingga mempertaruhkan Draupadi.
Kajian filosofis yang dapat saya kemukakan  yakni Draupadi sebenarnya nerupakan
perwujudan ibu pertiwi yang tidak boleh direndahkan dan dilecehkan oleh siapapun. Ketika
dussasana melucuti pakaian Draupadi itu adalah bentuk penghinaan terbesar kepada ibu
pertiwi. Draupadi yang dilindungi oleh darma tidak akan pernah kalah oleh adarma. Bentuk
ajaran Rwa Bhineda pun sangat menonjol pada cerita ini, dimana baik dan buruk selalu
berdampingan dalam kehidupan umat manusia.
Yudhisthira yang bijaksana merupakan cerminan bagi seorang pemimpin yang arif
san bijaksana, mampu mengambil keputusan yang tepat dan adil sesuai dengan ajaran
kepemimpinan dalam Veda yang disebut Nitisastra. Dalam kehidupan ini, mencerminkan
bahwa semua telah diatur oleh Tuhan, kita sebagai manusia hanya mampu menjalani
kehidupan ini, seperti halnya ajaran buddha bahwa kehidupan ini sesungguhnya adalah
penderitaan. Iri dan dengki yang dimiliki oleh duryodhana akan membawa ia pada awidya
atau kegelepan dalam hidupnya, pandava yang sangat menjunjung tinggi darma akan selalu
disinari oleh kebaikan. Dan sang ibu pertiwi bagi pandava adalah dewi kunti dan dewi
draupadi yang harus mereka hormati, bukan mempermalukannya seperti yang dilakukan oleh
dusasana, adik doryodhana.

Anda mungkin juga menyukai