Anda di halaman 1dari 15

Antropologi Sosial (KPM233)

SOLUSI RELATIVISME BAGI BUDAYA PEMAKAMAN SUKU TORAJA DI SULAWESI

Disusun oleh:

Nadia Itona Siregar / I34110027

Indah Octavia Putri / I34110034

Mirfa Soraya Ardilla / I34110062


DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

KATA PENGATAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan Hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Solusi Relativisme Bagi Budaya Pemakaman
Suku Toraja di Sulawesi”. Makalah ilmiah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas akhir sebagai salah
satu syarat penilaian pada mata kuliah Antropologi Sosial. Makalah ilmiah ini merupakan laporan hasil
analisis kami mengenai Budaya Suku Toraja.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada “Ibu Winati Wigna dan ibu Ratri Virianita”
sebagai dosen Mata Kuliah Antropologi Sosial yang telah memberi bimbingan kepada kami selama
pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami berikan kepada keluarga, teman-teman, dan
kakak tingkat yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata kami mengharapkan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, Desember 2012

Tim Penulis

DAFTAR ISI

Halaman cover

KATA PENGATAR.. ii

DAFTAR ISI. iii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

1.1 Latar Belakang. 1


1.2 Tujuan. 2

1.3 Rumusan Masalah. 2

BAB II PEMBAHASAN.. 3

2.1 Asal usul Tana Toraja. 3

2.1.1 Asal Tana Toraja. 3

2.1.3 Kondisi Ekonomi Tana Toraja. 3

2.1.3 Kelembagaan Tana Toraja. 4

2.2 Budaya Tana Toraja. 7

2.3 Solusi Relativisme. 8

BAB III PENUTUP. 11

3.1 Kesimpulan. 11

3.2 Saran. 11

DAFTAR PUSTAKA.. 12
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang
sampai Marauke. Hamparan pulau yang di dalamnya terdapat begitu banyak kekayaan alam dan sumber
daya manusia menjadikan Indonesia negeri yang banyak disorot. Rempah-rempah, budaya, dan adat
istiadat Indonesia menjadi daya tarik tesendiri bagi Negara lain untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak
hanya Negara lain, banyak dari anak bangsa juga yang tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai
kekayaan yang dimiliki Indonesia. Satu diantaranya adalah keanekaragaman dari suku yang terdapat di
Indonesia.

Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dengan adat istiadat yang unik. Namun terkadang keunikan
yang dimiliki dalam budaya suatu suku bangsa itu tidak relevan dengan kehidupan dewasa ini. Hal ini
terlihat pada budaya Suku Toraja. Suku Tana Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian
Utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian
menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia
telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu
saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola kehidupannya pun tidak kalah
menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Hingga sekarang suku Tana Toraja tetap menjaga
kelestarian budayanya. Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal ,
yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi
Saratu’, serta Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka.

Dalam adat Tana Toraja upacara Rambu solo menjadi suatu budaya yang sangat penting kedudukannya
dalam adat Tana Toraja. Upacara Rambu solo menghabiskan dana besar dan menyembelih kerbau dalam
jumlah relative sangat banyak. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan ekonomi Indonesia
saat ini budaya ini menjadi tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Hal ini dikarenakan kondisi pangan
Indonesia yang sedang mengalami masa-masa kesulitan. Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan
pangan nasional melalui pencapaian swasembada pangan lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung,
kedelai, daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal. Situasi tersebut tercermin
dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan domestik yang masih tergantung pada
impor, yaitu kedelai sekitar 70 persen, gula sekitar 54 persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk
beras dan jagung, impornya tidak terlalu besar yaitu hanya sekitar 11 persen untuk jagung dan 5 persen
untuk beras. Oleh karean itu dibutuhkannya suatu kajian dan solusi relativisme dalam penyelesain
masalah ini agar budaya adat Tana Toraja tetap terlaksana namun dapat membantu kondisi Indonesia
saat ini.

1.2 Tujuan

Tujuannya adalah menganalisis budaya upacara pemakaman Suku Tana Toraja yang cenderung
menghabiskan banyak biaya dan berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan untuk melakukan
upacara pemakaman, sehingga dapat dihasilkan solusi relativisme agar budaya pemakaman tersebut
dapat relevan dengan kehidupan saat ini tanpa mengubah budaya asli Tana Toraja.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan diatas maka kami merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa upacara pemakaman suku toraja penting dilakukan?

2. Bagaimana cara agar upacara pemakaman tersebut tetap berlangsung dengan biaya yang dapat
diminimalisir dan penggunaan sumberdaya dengan cara yang bijak tanpa menghilangkan budaya?

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Asal usul Tana Toraja

2.1.1 Asal Tana Toraja

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas”.
Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa kata
Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.
Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya
diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

2.1.3 Kondisi Ekonomi Tana Toraja

Budaya Toraja masih mengenal yang dinamakan dengan sistem kelas sosial, Ada tiga tingkatan kelas
sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah
Hindia Belanda). Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.

Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal ditongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di
gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status
mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang. Meskipun didasarkan pada kekerabatan
dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti
pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.

Ketiga golongan lapisan sosial tersebut merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan sendi bagi
kebudayaan kehidupan sosial masyarakat Toraja, terutama dalam interaksi dan aktifitas masyarakat,
seperti pada saat diselenggarakan upacara perkawinan, pemakaman, pengangkatan ketua atau
pemimpin adat dan sebagainya.

2.1.3 Kelembagaan Tana Toraja

Sebelum memasuki kelembagaan budaya Toraja terdapat aturan-aturan dasar yang ada di Tana Toraja
yaitu :

Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To
Lembang yaitu: Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan, Hubungan manusia dengan
sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu Lolona.

a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :

Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)

Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)

Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).

Visi Tallu Lolona Aluksanda

Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda Pitunna, aturan yang
mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta manusia dengan dalam komunitas
(Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada
terdapat 3 (tiga) unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu :
Lolo Tau (manusia), Lolo Patuoan (hewan) dan; Lolo Tananan (tumbuhan). Ketiga unsur ini saling
berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.

Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur
dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To
Parenge.

Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar
serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :

Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang

Ada pemimpin atau yang dituakan dan;

Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).

Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan
yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil
keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung
(kombongan dapat memecahkan batu pualam). Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah
yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka
salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.

Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan
yaitu “Untesse batu mapipang” artinya dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa
apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau
membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat. Prinsip tersebut
sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup
berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru”
(kesepakatan dan persetujuan) yaitu :

Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan

Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang

Kombongan Karopi dalam tiap Karopi


Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi

Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang
merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Oleh karena
pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing
kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.

Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang
Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh
pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat
terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan
oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.

Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila
ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan
dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa
melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit.
Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat
dalam wilayahnya. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan
baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat.

Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkut aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok
keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau
wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-
royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan.

2.2 Budaya Tana Toraja

Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat
Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’, serta
Ma’nene’, dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka’
maupun Rambu solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.
Dalam adat Tana Toraja upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal
diantara upacara-upacara yang telah disebutkan sebelumnya. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan
mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-
sumbangan yang berasal dari kerabat-kerabat namun sumbangan itu bersifat hutang sehingga harus
dibayar kembali ketika ada kerabat yang kehilangan keluarga. Besar kecilnya upacara mencerminkan
tingkat kekayaan suatu keluarga. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan
orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante
biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga
sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga
yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka
cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang
miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan,


bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang
ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus
dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal
di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan kePuya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin
banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau,
termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”.
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih
cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau taubiasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi
tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya
terjatuh.

2.3 Solusi Relativisme

Budaya Toraja memiliki prinsip dasar dalam mengatur tata kehidupan, yaitu mengatur hubungan antara
manusia dan sumber daya alam. Tata kehidupan yang mengatur sumber daya tersebut salah satunya
adalah hubungan antara manusia dengan hewan, yang dikenal dengan Lolo Patuoan. Dalam perayaan
upacara pemakaman budaya Toraja, masyarakat menggunakan kerbau sebagai syarat perayaan
pemakaman. Sekitar 24 – 100 ekor kerbau yang dibeli dengan harga 10 – 50 juta per ekor untuk kaum
bangasawan sedangkan untuk kaum menengah adalah sekitar 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi.

Berakar pada kondisi sosial budaya Toraja yang cenderung berlebihan dalam penggunaan sumber daya
hewan tersebut, maka kami mengusulkan solusi relativisme melalui fungsi kelembagaan yang ada pada
masyarakat Toraja. Solusi tersebut dilakukan dengan menggunakan fungsi demokratis yang dimobilisasi
oleh ketua adat dalam forum musyawarah sesuai dengan Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :

Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)

Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)

Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).

Forum musyawarah dalam adat Toraja itu disebut dengan Kombongan Karopi di tingkat Karopi
dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila
terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan
dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan
bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat
meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya. Yang dibahas
adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari
usulan masyarakat. Kombongan Karopi ini dapat digunakan untuk membahas kembali aturan adat
berlaku yaitu aturan upacara adat pemakaman yang bertolak belakang pada sistem kekerabatan Tana
Toraja yang berarti bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau,
dan saling membayarkan hutang.
Selain itu, dewasa ini budaya seperti itu kurang relevan dengan kondisi pangan yang ada di Indonesia
saat ini. Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan
endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk
dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli
itu terancam kelestariannya, hal ini menjadi salah satu permasalahan yang ada di adat Tana Toraja.
Badan Intelijen Negara Republik Indonesia mengatakan bahwa Jumlah penduduk Indonesia yang
mencapai 241 juta lebih dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli
masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan
pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas
produksi pangan domestik menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan,
dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha
yang kurang kondusif.

Hal inilah yang menjadi ancaman krisis pangan di Indonesia, sehingga dengan mengurangi penggunaan
sumber daya hewan kerbau pada upacara pemakaman adat Toraja diharapkan dapat menyelamatkan
kita dari krisis pangan yang melanda Indonesia saat ini.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sistem upacara adat pemakaman Tana Toraja menggunakan biaya yang sangat besar dan
berlebihan dalam penggunaan sumber daya hewan khususnya kerbau. Sistem adat pemakaman Tana
Toraja menggunakan kerbau yang diperoleh dari biaya sendiri keluarga yang ditinggalkan dan sumbangan
dari kerabat. Namun ternyata sumbangan ini dinilai sebagai hutang yang suatu wajib dibayar oleh
keluarga yang ditinggalkan kepada para kerabat yang telah memberikan sumbangan. Dalam adat Tana
Toraja ternyata konsep sistem kekerabatan bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang itu sangat bertolak belakang.

Penggunaan kerbau yang terlalu berlebihan dalam adat pemakaman Tana Toraja juga dapat
menyebabkan krisis pangan di Indonesia. Kesulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong
sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu
terancam kelestariannya. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang ada di adat Tana Toraja, sehingga
perlu dilakukan pengurangan dalam penggunaan sumber daya hewan secara bijak.

3.2 Saran

Saran yang kami berikan berdasarkan solusi relativismedalam adat Tana Toraja perlu dimuculkan
kembali sistem kelembagaan yaitu kombongan Karopi untuk meninjau kembali aturan adat yang berlaku,
merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. salah satunya
meninjau kembali sistem kekerabatan yang bertolak belakang dengan adat pemakaman dan penggunaan
sumber daya yang berlebihan, agar adat pemakaman Tana Toraja relevan dengan kehidupan Indonesia
saat ini tanpa merusak budaya yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Intelijen Negara. 2012. Hari Pangan Sedunia: Ancaman Krisis Dalam Kemandirian Pangan
Indonesia. Diunduh dari: http://www.bin.go.id/wawasan/detil/141/3/25/09/2012/Hari%20Pangan
%20Sedunia:%20Ancaman%20Krisis%20Dalam%20Kemandirian%20Pangan%20Indonesia. Pada tanggal
20 Desember 2012
Mantaung W. 2009. Tana Toraja. Diunduh dari: http://wegymantung.multiply.com/journal?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal. Pada tanggal 20 Desember 2012

Pola Kehidupan Masyarakat Tana Toraja. Diunduh dari:


http://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2011/04/20/makalah-pola-kehidupan-masyarakat-suku-
tana-toraja/. Pada tanggal 18 Desember 2012

Rombelayuk DU. 2012. Kelembagaan Masyarakat Adat Desa Di Tana Toraja – Sulawesi Selatan.
Diunduh dari: http://www2.jogjabelajar.org/modul/how/p/Pakaian_Daerah/18_KELEMBAGAAN
%20MASYARAKAT%20ADAT%20DESA%20DI%20TANA%20TORAJA.htm. Pada tanggal 12 Desember 2012

Samsuni . 2012. Upacara Adat Rambu Solo, Kabupaten Tana Toraja – Sulawesi Selatan – Indonesia –
Wisata Melayu. Diunduh dari: http://www.wisatamelayu.com/id/tour/273-Upacara-Adat-Rambu-
Solo/navcat. Pada Tanggal 20 Desember 2012

Wigna W, Sahruddin, Sihaloho M, Virianita R. 2009. Antropologi Sosial (Bahan Ajaran Bagian II). IPB:
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Anda mungkin juga menyukai