Anda di halaman 1dari 7

Judul jurnal : Motivasi dan efikasi diri pasien diabetes melitus tipe 2 dalam

asuhan keperawatan. American Diabetes Assosiation, 2004, dalam Smeltzer &


Bare, 2008

Isi jurnal :

Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi
akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya ( American Diabetes
Assosiation, 2004, dalam Smeltzer & Bare, 2008 ). Diabetes melitus sudah
menjadi salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.

Jumlah penderita diabetes melitus diindonesia, menurut IDF diperkirakan


pada 2020 nanti dapat didapatkan 8,2 juta pasien dengan diabetes melitus (
Soegondo, Soewondo & Subekti 2009 ), tingginya angka tersebut menjadikan
indonesia peringkat keempat jumlah penderita diabetes melitus terbanyak didunia
setelah negara amerika serikat, india dan cina ( Suyono, 2006 ). Upaya
pencegahan ini memerlukan keterlibatan semua pihak baik dokter, perawat, ahli
gizi, keluarga dan pasien itu sendiri.

Efikasi diri merupakan gagasan kunci dari teori sosial kognitif (social
cognitive teory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura (1997)
mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai keyakinan individu akan
kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Ia menyatakan
bahwa efikasi diri bersumber dari pengalaman individu, pengalaman oranglain,
persuasi sosial serta kondisi fisik dan emosional.

Selain itu, efikasi diri dapat terbentuk dan berkembang melalui empat
proses yaitu kognitif, motivasional, afektif dan seleksi. Intervensi keperawatan
untuk meningkatan efikasi diri pasien dapat dilakukan melalui pendekatan pada
empat sumber dan proses efikasi diri tersebut.

Hasil penelitian Osborn (2006) yang menjelaskan dengan menggunakan


information, motivation dan bahavioral model (IMB model) menunjukan bahwa
sebelum dilakukan intervensi kedua kelompok responden baik kelompok kontrol
maupun intervensi menunjukkan pengetahuan, motivasi dan perilaku yang hampir
sebagian responden masih rendah.
Judul jurnal : Evaluasi Pelaksanaan Kampanye Sosial Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat untuk Menurunkan Angka Diare di Kabupaten Kulonprogo

Isi jurnal :

Penyebab dari diare pada umumnya yaitu rutinitas yang masih banyak
tidak dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan kebiasaan hidup bersih dan
sehat dengan cara yang paling sederhana sekalipun misalnya dengan mencuci
tangan menggunakan sabun dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat
tinggal (Wawancara dengan Kepala Seksi Pemberdayaan, drg. Ani Mursiastuti,
M.Kes, Pebruari, 2008). Perilaku yang “buruk” tersebut menyebabkan angka diare
tidak menurun dan bahkan cenderung terus meningkat . Oleh karena itu, pada
tahun 2001 Dinas Kesehatan kabupaten Kulonprogo mencanangkan kampanye
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) hingga sekarang ini. Kampanye ini akan
terus dilakukan tidak hanya untuk menurunkan angka diare saja namun juga
diharapkan menjadi kebiasaan setiap rumah tangga di Kabupaten Kulonprogo
terutama pada keluarga yang mempunyai anak balita. Secara ekstrem dinas
kesehatan bahkan menyatakan kampanye ini akan berlaku selamanya, seperti
disampaikan oleh drg. Ani Mursiastuti, M.Kes.

Program kampanye PHBS ini adalah program nasional yang terus


dikembangkan untuk mencapai kesehatan masyarakat yang sesungguhnya.
Adapun program-program PHBS antara lain penyuluhan kepada masyarakat
tentang pola hidup sehat, pemberdayaan generasi muda, pembinaan sekolah
sehat, pengembangan media promosi sadar hidup sehat. Ada beberapa program
yang sesungguhnya berkaitan (intersection) dengan program kampanye PHBS dan
bahkan mendukung pelaksaan kampanye PHBS.

Secara umum tujuan dan sasaran PHBS adalah upaya peningkatan PHBS
di rumah tangga dengan meningkatan kemandirian dan pemberdayaan keluarga
dalam masalah kesehatan. Adapun tujuan khususnya adalah meningkatan
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat khususnya dan rumah tangga
terhadap program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), Gizi, Kesehatan Lingkungan,
Gaya Hidup, dan JPKM (Jaring Pengaman Kesehatan Masyarakat). Kegiatan
PHBS memiliki sasaran primer, sasaran sekunder dan sasaran tertier, dengan
sasaran utama adalah mengubah perilaku individu anggota keluarga yang
bermasalah. Untuk mendorong tumbuhnya perilaku hidup bersih ini, pemerintah
melakukan kampanye besar-besaran tentang perilaku hidup bersih dan sehat
sampai ke tingkat pedesaan melalui posyandu-posyandu yang ada. Slogan yang
dikampanyekan sudah demikian dihapal oleh para kader di tingkat dusun dengan
singkatan PHBS yaitu PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT. Dilihat dari
sisi kesadaran merek (brand awareness) terhadap slogan ini nampaknya tidak
diragukan bahwa banyak masyarakat sudah mengenalnya bahkan hapal di luar
kepala. Secara pemahaman kognitif masyarakat sudah banyak mengetahui
pentingnya hidup bersih dan sehat, misalnya tidak buang air besar di sungai.
Namun ternyata pemahaman kognitif ini tidak serta merta mempunyai signifikansi
dengan perubahan perilaku ke arah hidup bersih dan sehat.

LIMA PERILAKU HIDUP SEHAT didistribusikan dan disosialisasikan


kepada masyarakat luas dengan tujuan untuk mengubah perilaku masyarakat agar
berperilaku hidup bersih dan sehat. Media-media kampanye tersebut misalnya
poster, leaflet, spanduk; dan pemberian informasi melalui kader-kader di tingkat
desa dan kecamatan. Sedangkan, kelima perilaku yang ingin diubah tersebut
antara lain tidak membuang sampah sembarangan, minum air yang sehat, mencuci
tangan sebelum makan, masakan masak langsung disantap (tidak dipanaskan
berkali-kali) dan tidak buang air besar sembarangan. Salah satu kunci penting
dalam mengubah perilaku adalah adanya strategi kampanye sosial yang tepat baik
dari sisi media, pesan, tujuan dan kelompok sasaran.

Judul jurnal : PENINGKATAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL


(KOGNITIF, AFEKTIF DAN PERILAKU) MELALUI PENERAPAN TERAPI
PERILAKU KOGNITIF DI RSJ DR AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG

Isi jurnal :

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan


sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan perilaku dan
koping individu efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional
(Johnsons, 1997 dalam Videback, 2008). Kesehatan jiwa juga mempunyai sifat
yang harmonis dan memperhatikan semua segi dalam kehidupan manusia dalam
berhubungan dengan manusia lainnya yang akan mempengaruhi perkembangan
fisik, mental, dan sosial individu secara optimal yang selaras dengan
perkembangan masingmasing individu.

Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, terjadi pada semua tahap


kehidupan, termasuk orang dewasa dan cenderung terjadi peningkatan gangguan
jiwa. Prevalensi terjadinya gangguan jiwa berat di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (2007) adalah sebesar 4,6 permil, dengan kata lain dari 1000
penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa
berat (Balitbang Depkes RI, 2008). Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat
Data dan Informasi Depkes RI, 2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien
gangguan jiwa di Indonesia pada Tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 orang.
Kondisi diatas mengambarkan jumlah klien gangguan jiwa yang mengalami
ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas oleh karena keterbatasan mental
akibat gangguan jiwa berat yang akan mempengaruhi kualitas kehidupan
penderitanya. Tahun 2009 angka kejadian penderita gangguan jiwa di Jawa
Tengah berkisar antara 3300 orang sampai 9300 orang (Widyayati, 2009). Angka
kejadian ini merupakan penderita yang sudah terdiagnosa. Persentase gangguan
kesehatan jiwa itu akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya beban
hidup masyarakat Indonesia.

Salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang memiliki tingkat keparahan


yang tinggi adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang
akan membebani masyarakat sepanjang hidup penderita yang dikarakteristikan
dengan disorganisasi pikiran, perasaan dan perilaku (Lenzenweger & Gottesman,
1994 dalam Sinaga 2008). Seseorang yang mengalami skizofrenia akan
mempengaruhi semua aspek dari kehidupannya yang ditandai dengan gejala-
gejala psikotik yang khas dan terjadi kemunduran fungsi sosial yaitu gangguan
dalam berhubungan dengan orang lain, fungsi kerja menurun, kesulitan dalam
berfikir abstrak, kurang spontanitas, serta gangguan pikiran/ inkoheren.
Judul jurnal : PENDIDIKAN KESEHATAN SEKOLAH SEBAGAI PROSES
PERUBAHAN PERILAKU SISWA

Isi jurnal :

Sekolah merupakan salah satu lembaga yang berperan dalam pembentukan


perilaku siswa. Pembentukan perilaku siswa selain dibentuk di sekolah, yang
paling utama menentukan adalah lingkungan keluarga, sebelum nantinya siswa
akan berinteraksi dengan masyarakat. Pembentukan perilaku pada dasarnya dapat
dibentuk dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat di mana siswa itu
berada.

Pendidikan yang diperoleh di sekolah diharapkan mampu mengubah


perilaku siswa. Perilaku siswa terkait pendidikan kesehatan bertujuan mengubah
perilaku yang tadinya tidak sehat menjadi sehat dan bertanggung jawab pada
kesehatan diri siswa itu sendiri. pendidikan yang diajarkan dimulai dari hal-hal
kecil, karena dari sesuatu hal yang kecil akan menjadi besar. Perilaku yang terkait
kebersihan pribadi yang siswa sering mengabaikan, seperti tidak cuci tangan
sebelum dan sesudah makan, menggosok gigi kurang teratur, membersihkan dan
memotong kuku menunggu panjang dan kotor, kurang menjaga kerapihan rambut
dan cara berpakaian.

Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis, di


mana perubahan tersebut bukan sekedar proses transfer materi atau teori dari
seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur, akan tetapi
perubahan tersebut terjadi karena adanya kesadaran dari dalam individu,
kelompok, atau masyarakat itu sendiri (Wahid Iqbal M&Nurul Chayatin, 2009: 9-
10). Sedangkan Menurut Erwin Setyo K (2012: 4-5) “Pendidikan kesehatan
adalah proses membantu seseorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri
ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan
mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara kesehatannya dan tidak
hanya mengaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan praktik saja,
tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan (baik fisik maupun non
fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan dengan penuh
kesadaran”. Jadi Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku hidup
sehat yang didasari atas kesadaran diri baik itu di dalam individu, kelompok
ataupun masyarakat untuk memlihara dan meningkatkan kesehatan. Proses
perubahan perilaku siswa di sekolah salah satunya diperoleh dari proses
pembelajaran dalam pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan.

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 bahwa tujuan


dari pendidikan kesehatan yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental, dan sosialnya
sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial, pendidikan kesehatan di semua
program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan,
gizi masyarakat, pelayananan kesehatan, maupun program kesehatan lainnya
(Wahid Iqbal M&Nurul Chayatin, 2009: 9-10).

Perilaku adalah aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak
timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh
organisme yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal
(Bimo walgito: 1990:15). Menurut Hasan Alwi dkk (2001: 859) perilaku
merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan,
sedangkan menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007: 133) perilaku merupakan suatu
kegiatan atau aktivitas organisme dalam hal ini perilaku makhluk hidup yang
bersangkutan. Perilaku makhuk hidup terutama manusia, pada hakikatnya adalah
suatu tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri. Beberapa pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah kegiatan atau aktivitas makhluk hidup
terutama manusia yang disebabkan karena adanya rangsangan yang berasal dari
internal maupun eksternal.

Anda mungkin juga menyukai