Anda di halaman 1dari 9

Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

PENGARUH SALAH SATU BUDAYA (RAMBU SOLO’) TERHADAP


PEREKONOMIAN MASYARAKAT DI TORAJA UTARA
Intan Limbong
Institut Agama Kristen Negeri Toraja
intan251100@gmail.com

Abstract: Indonesia has a diversity of cultures, and each culture has its characteristics,and these cultures cannot
be eliminated. The Toraja tribe is an indigenous tribe that lives in the mountains of the North and South. The
Toraja tribe has many kinds of culture, besides a variety of cultures, the Toraja tribe also has famous traditional
ceremonies. One of the most famous traditional ceremonies is the Rambu Solo’ traditional ceremony (funeral
ceremony). This research is motivated by the implementation of the Rambu Solo’ funeral among Toraja which is
getting more and more festive and ekstravagant every year, even thougth it requires a large amount of money,
people are still trying hard to be able to carry out a funeral ceremony that is lively, luxurious and exspensive.
The Toraja funeral ceremony is a from of shifting the type og giving/assistance to a bereaved family. From the
from of pigs and buffalo or material (objects) to gifts in the form of money or capital. In making this journal. I
use topical or thematic analysis method is a model whose development begins with determining a particular
topic as the theme or cental topic, after the theme is used as the basis for determining the basis for the sub-
themes of the related field of study.

Key Words: Toraja Society, Culture, Rambu Solo’ and the Condition of Toraja Society.

Abstrak: Indonesia memiliki keragaman budaya dan setiap budaya memiliki ciri khas masing-masing dan
budaya-budaya tersebut tidak bisa di hilangkan. Suku Toraja adalah suku asli yang menetap di pegunungan
bagian Utara Sulawesi Selatan. Suku Toraja mempunyai banyak ragam Kebudayaan, selain ragam kebudayaan,
suku toraja juga mempunyai upacara adat yang terkenal. Upacara adat yang amat terkenal salah satunya yaitu
upacara adat Rambu Solo’ (Upacara Pemakaman. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pelaksanaan pemakaman
Rambu Solo’ dikalangan masyarakat Toraja yang semakin tahun semakin meriah dan mewah meskipun hal
tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar, masyarakat tetap berusaha keras untuk dapat melaksanakan
upacara pemakaman yang meriah, mewah dan mahal. upacara pemakaman orang Toraja merupakan suatu
bentuk pergeseran jenis pemberian/bantuan pada keluarga yang sedang berduka, dari bentuk babi dan kerbau
atau materi (benda) menjadi pemberian dalam bentuk uang atau modal. Dalam pembuatan jurnal ini, saya
menggunakan metode analisis topikal atau tematik. Menurut fogarty, metode analisis topical atau tematik
adalah model yang pengembangannya dimulai dengan menentukan topic tertentu sebagai tema atau topic
sentral, setelah tema di tetapkan maka selanjutnya tema itu dijadikan dasar untuk menentukan dasar sub-sub
tema dari bidang studi yang terkait.

Kata Kunci: Masyarakat Toraja, Budaya, Rambu Solo’, dan Keadaan Masyarakat Toraja

Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang sangat unik dimata dunia karena memiliki ciri-ciri khusus
yang tidak dimiliki oleh Negara lain, diantaranya adalah keadaan mayarakat yang majemuk
yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Menutur sensus
penduduk tahun 2020, perkembangan penduduk Indonesia saat ini mencapai jumlah
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

237.556.363 jiwa. (Munandar, 2014), yang menempatkan Indonesia pada uturan keempat di
dunia setelah Cina, India dan AS. Beragam suku bangsa hidup berdampingan dengan latar
belakang kehiduan yang berbeda. Kondisi Geografis tempat tinggal yang berbeda tersebut
menjadikan masyarakat di Indonesia memilii kehidupan yang beraneka ragam yang
dipengaruhi oleh budaya masing-masing sebagai warisan dari tiap generasi sebelumnya.
(Widiastuti, 2013).
Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan dan adat yang diakuai oleh masyarakat
yang ada di daerah itu sendiri. Kebudayaan tersebut merupakan hasil cipta, rasa dan karsa
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang kompleks yang mencakup pengetahuan,
keyakinan, seni, susila, hukum adat, serta setiap kecakapan dan kebiasaan yang dilakukan
dalam suatu masyarakat. Setiap kebudayaan tersebut memiliki tradisi upacara keagamaan
berdasarkan masing-masing suku. Upacara keagamaan tersebut ada yang bersiat ritual da nada
yang bersifat seremonial. Tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara Ritual, pola
beribadatan (ritualis) pada adasarnya merupakan simbolis dalam dimensi keyakinan diri
terhadap sesuatu yang diangap angung, dan dapat dikatakan bahwa ritual agama merupakan
agama dalam tindakan (Nugroho, 2019).1
Toraja yang terdiri dari dua kabupaten yaitu kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara
memiliki cara yang berbeda-beda dalam ritual penguburan. Berkaitan dengan hal itu, di Toraja
dikenal sebuah istilah Rambu Solo’. Rambu Solo’ adalah serangkaian peristiwa yang dilakukan
mulai dari meninggalnya salah satu kerabat sampai pada masa penguburannya. Upacara
pemakaman Rambu solo’ mewajibkan keluarga almarhum membuat pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Rambu solo’ dianggap sebagai bentuk
tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal. Upacara ini memakan waktu
berhari hari bahkan berminggu-minggu untuk kalangan bangsawan. Upacara Rambu Solo’
bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju
alam roh, bersama para leluhur mereka yang bertempat di puya. Upacara ini sebagai
penyempurnaan, karena orang yang baru dianggap benar-benar wafat setelah seluruh prosesi
upacara ini digenapi (Wahyuningsih, 2018).2
1
Panuntun Daniel Fajar, Jimmi Pindan Pute, Lisdayanti Anita Mangalik, “Model Dialog Imajiner Entas-Entas Untuk
Mengkomunikasikan Kristus Kepada Masyarakat Tengger”, VSIO DEI: Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (Juni 2020): 85.
2
Ones Kristiani Rapa & Yurulina Gulo, “Ma’bulle Tomate: Memori Budaya Aluk Todolo pada Ritual Kematian di
Gandangbatu, Toraja,” Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal Of Social and Cultural Anthropology 5, no. 2
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

Pelaksanaan Rambu Solo’ membutuhkan dana yang besar sehingga masalah utama yang
dihadapi oleh masyarakat Toraja, khususnya keluarga pelaksana Rambu Solo’ adalah masalah
keuangan. Hal ini menyebabkan di kalangan masyarakat Toraja ada beberapa keluarga yang
menyimpan mayat orang meninggal di dalam rumah hingga berpuluh-puluh tahun untuk
disimpan hingga biaya untuk melaksanakan upacara pemakaman Rambu Solo’ terkumpul.
Selain itu mereka juga rela meminjam uang dari berbagai sumber dalam rangka memenuhi
kebutuhan untuk pelaksanaan Rambu Solo’ yang meriah dan mengeluarkan biaya yang cukup
besar . Sikap mereka yang memaksakan kemampuan ekonomi dalam pelaksanaan Rambu Solo’
ini dipengaruhi oleh beragam persepsi yang mereka dapatkan dari lingkungannya.
Persiapan dan pelaksanaan upacara Rambu Solo’ di kalangan masyarakat Toraja, dapat
menghabiskan biaya sampai milyaran rupiah. Meskipun seperti itu masyarakat Toraja tetap
melaksanakan dan menjalankan budaya Rambu Solo’. Masyarakat Toraja mempersepsikan
upacara Rambu Solo’ secara beragam berdasarkan stimulus berupa informasi yang mereka
peroleh dari lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, dan
perasaan. Mereka berpendapat bahwa dalam melaksankan upacara Rambu Solo’ pada
tingkatan upacara tertentu yang berlaku bagi strata sosial tertentu harus dan wajib
dilaksanakan. Selain itu, persepsi masyarakat bahwa pelaksanaan Rambu Solo’ dilaksanakan
secara meriah dan mahal untuk meningkatkan status dan kedudukan seseorang. Persepsi
tersebut menimbulkan pergesaran nilai-nilai budaya yang terkandung dalam upacara Rambu
Solo’. Dalam adat Rambu Solo’ kalangan yang bukan bangsawan yang sudah memiliki
kemampuan ekonomi yang baik tidak boleh melaksankan Upacara Rambu Solo’ yang dilakukan
oleh kaum Bangsawan, karena mereka tidak memiliki landasan Tongkonan yang kuat untuk
menggelar Upacara Rambu Solo’.3
Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembahasan jurnal ini agar pembaca dapat memahami salah satu budaya yang terdapat
di Toraja Utara yaitu Rambu Solo’ serta mengetahui bagaimana pengaruh perekonomian masyarakat
Toraja dalam melaksanakan ritual rambu Solo’ tersebut. Adapun manfaat dalam penulisan jurnal ini

(Januari 2020): 137.

3
Tulaktondok Glory, T.R Andi Lolo, Suparman Abdullah, “Rambu Solo’ Menurut Perspektif Eksistensialisme Sartre dalam
Masyarakat Modern di Lembang Saloso, Kecamatan Rantepao, Kabupaten Toraja Utara”, HASANUDDIN JOURNAL OF SOCIOLOGY
(hjs) 1, no.1 (2019): 26,27.
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

yaitu pembaca dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan Rambu Solo’ seperti symbol dan
makna serta tujuan dalam kegiatan Rambu Solo’ (upacara Pemakaman). Pembaca juga dapat
mengtahui tentang Aluk Todolo yang berkaitan atau terdapat dalam ritual Rambu Solo’

Pembahasan
SEJARAH MASYARAKAT TORAJA
Toraja menyimpan berbagai pesona yang membuat orang ingin lebih tau tentang
masyarakat yang tinggal disana. Sejarah masyarakat Toraja dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu dari mitos atau kepercayaan masyarakat setempat dan hasil penelitian
antropolog, menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana.
Menurut mitos ini nenek moyang masyraakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari
langit” untuk turun dari nirwana menuju bumi, tepatnya di Toraja. Dilihat dari hasil penelitian
antropolog, masyarakat Toraja merupakan hasil proses akulturasi antara penduduk
lokal/pribumi yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang atau imigran dari
Teluk Tongkin (daratan Cina). Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng da
Luwu orang Sidendereng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang
megandung arti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Sedangkan orang Luwu
menyebutnya To Riajang yang artinya “ orang yang berdiam di sebelah Barat”. Ada juga versi
lain bahwa Toraja berasal dari kata Toraya, To atau Tau yang berarti “orang” dan Raya dari
kata Maraya berarti “besar”. Jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi orang-orang
besar atau bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan kata Toraya berubah menjadi Toraja.

KONDISI GEOGRAFIS TORAJA


Tanah Toraja adalah sebuah nama daerah dengan status Daerah tingkat II di kawasan
provinsi Sulawesi Selatan. Luasnya sekitar 3.205,77 km atau sekitar 5 persen dari luas Privnsi
Sulawesi Selatan. Keadaan Geografis Kabupaten Tanah Toraja lebih banyak dipengruhi oleh
formasi batuan dari Gunung Latimojong. Kondisi tanah yang subur di dukung irigasi yang
lancar, membuat Toraja menjadi salah satu daerah agraris di Indonesia. Pegunungan, hutan,
dan sungai di di Toraja menjadi alasannya.

KONDISI MASYARAKAT TORAJA


Masyarakat Toraja umumnya menganut Agma Kristen. Hanya sebagian kecil
masyarakatnya memeluk agama Islam dan Hindu. Aluk Todolo adalah agama nenek moyang
suku Toraja, Aluk Todolo termasuk kepercayaan animism tua. Dalam perkembangannya Aluk
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup konfusius dan agama Hindu. Oleh karena
itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamis.

MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT TORAJA


Sebagian besar penduduk Tanah Toraja bermata pencaharian di sector perkebunan dan
pertanian. Sebelum masa Orde Baru tahun 1965, perekonomian masyarakat Toraja bergantung
pada pertanian dengan produk utama singkong dan jagung. Selain itu, masyarakat Toraja juga
beternak kerbau, babi, dan ayam untuk kebutuhan berkurban saat upacara adat dan bahan
pangan. Sejak Orde Baru, masyarakat Toraja khususnya generasi muda banyak yang pindah
untuk bekerja di perusahaan asing. Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi
pariwisata sejak 1984. Msyarakat Toraja memperolah pendapat dengan bekerja di hotel,
menjadi pemandu wisata atau menjual cinderamata. Hal itu bertahan sampai saat ini. Bahkan,
pariwisata di Toraja terus berkembang hingga sekarang. 4
Tanah Toraja mempunyai upacara adat yang biasa dilakukan, yakni Rambu Solo’ (Upacara
Pemakaman). Pada upacara Rambu Solo’, penduduk Toraja percaya tanpa adanya upacar ritual
ini maka arwah orang yang telah meninggal akan memberi kesialan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Upacara pemakaman Rambu Solo’ adalah serangkaian kegiatan yang rumit
terkait ikatan adat dan tradisi setempat serta memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam
upacara ini ada symbol-Simbol sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo’,
salah satunya yaitu penggunaan symbol kerbau. Kerbau di kehidupan masyarakat Toraja
merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan di anggap suci, juga melambangkan
tingkat kemakmuran seorang jika memilikinya karena harga satu ekor jutaan sampai ratusan
juta rupiah. Upacara Rambu Solo’ memiliki nilai-nilai leluhur dalam kehidupan masyarakat, di
antaranya adalah gotong royong dan tolong menolong. Upacara ini dilakukan oleh siapapun
yang mampu.5

Aluk Rambu Solo’/aluk rampe matampu’ adalah persembahan yang dilakukan di sebelah barat
rumah pada saat matahari telah condong ke barat, menyangkut upacara kematian.
Persembahan ditujukan kepada Puang Matua dan arwah para leluhur. Orang Toraja sanggup
memberikan pengorbanan besar baik secara materi, tenaga dan waktu karena dimotifasi untuk
mengabdi kepada keluarga dan masyarakat. Pengorbanan materi paling nyata dalam bentuk
pemotongan kerbau dan babi. Dalam pemahaman aluk todolo, kerbau yang dipotong dalam
rambu solo’ merupakan bekal dari orang mati ke dunia sana. Dalam pengertian bahwa arwah
dari orang mati menunggangi arwah kerbau tersebut serta membawa arwah kerbau–kerbau

4
Fajar Nugroho, kebudayaan Masyarakat Toraja, (Surabaya: PT. Jepe Press Media Utama, 2015), 4,5 & 9

5
Erni et al, Riset Budaya: mempertahankan Tradisi di Tengah Krisis Moralitas, (Jl. Amal Bhakti Soreang, Parepare, Sulawesi
Selatan:IAIN Parepare Nusantara Press, 2020), 10, 12
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

tersebut ke dunia sana. Sementara daging kerbau tinggal untuk dibagikan kepada handaitaulan
dan para kenalan.

TUJUAN DAN MAKNA PEMBERIAN BABI DAN KERBAU SERTA BENDA DALAM RAMBU SOLO’
Orang Toraja memiliki sifat sosial yang tinggi, sehingga mereka akan tergerak memberi
bantuan jika ada keluarga, kenalan, tetangga atau orang sekampung mengalami duka-cita.
Kehadiran (katongkonan)15 pada upacara rambu solo’ sangat penting sebagai tanda ikut
berduka dan pengakuan sebagai bagian dari keluarga yang sedang berduka. Jika ada buah
tangan yang bisa dibawa akan dibawa namun tidak boleh dipaksakan. Pada jaman dulu orang
membawa sirih pinang, ubi, atau pisang atau tuak; sedangkan sekarang orang membawa rokok,
kue, gula dan jika mampu akan membawa babi atau kerbau atau amplop. Pemberian babi atau
kerbau kepada keluarga yang sedang menghadapi rambu solo’ sebagai tanda ikatan darah
daging (rara buku). Membawa babi atau kerbau pada orang dalam rambu solo’ menandakan
adanya ikatan keluarga, seperti kerabat atau adanya hubungan karena perkawinan dan
kenalan yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Selain mempererat kekeluargaan,
terjalin pula silahturahmi antar anggota keluarga dan menjadi ajang pertemuan keluarga besar
untuk saling mengenal. Kebiasaan saling memberi pemberian pada rambu solo’ menandakan
pengakuan pada adanya ikatan keluarga pada yang meninggal maupun anak cucu dari yang
meninggal. Jika tidak mampu membawa babi atau kerbau maka bisa juga membawa barang
barang lain sesuai kemampuan atau datang saja duduk, karena kehadirannlah (kao’koran,
katongkonan) yang paling penting; semakin banyak yang datang maka keluarga yang berduka
semakin terhibur dan bangga bahwa masih banyak kerabat dan kenalan yang memperdulikan
dan mengasihinya . Pemberian babi dan kerbau atau kopi, rokok, kue, gula dan amplop
dimaksudkan juga untuk membantu keluarga yang sedang berduka. Pemberian dari handai
taulan dan kenalan pada saat upacara pemakaman adalah sebagai tanda ikut berdukacita serta
bentuk solidaritas, dan pemberian tersebut disampaikan untuk membantu meringakan beban
keluarga dalam melaksanakan upacara rambu solo’ yang dalam hal ini memerlukan logistik
dan biaya yang besar. Secara khusus penberian berupa babi dan kerbau akan membantu
keluarga yang kurang mampu, menyediakan jumlah hewan yang cukup untuk upacara rambu
solo’. Istilahnya membantu mengangkat beban keluarga yang berduka untuk menyiapkan
daging dan makan yang cukup untuk masyarakat melalui upacara rambu solo’. 20
Tujuan membawa babi dan kerbau dalam acara rambu solo’ adalah untuk membalas
kebaikan dari keluarga yang sedang berduka. Ada dua jenis pemberian hewan dari keluarga
atau kenalan pada orang yang sedang menghadapi pelaksanaan upacara rambu solo’ yakni
pemberian sebagai tanda kasih dan turut berduka (pa’uaimata) sebagai kerabat dan
pengembalian pemberian yang telah diterima di masa lalu (tangkean suru’) dan sudah ada
rezeki untuk dikembalikan. Pada hal yang kedua tadi (tangkean suru’) keluarga yang berduka
telah terlebih dahulu membawakan babi atau kerbau pada saat si pembawa babi atau kerbau
mengalami dukacita di saat-saat yang lalu 6

6
Naomi Sampe, “Rekonstruksi Paradigma Ekonomis dalam Budaya Rambu Solo’ di Toraja Utara”, Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristen Kontekstual 3, no.1 (Juni 2020): 29, 34.
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

Kebudayaan Aluk Todolo juga dikenal sebagai “Aluk Rampe Matampu”. Dalam upacara
Rambu Solo’ salah satu hal yang sangat penting adalah upaca pemakaman. Tahap-tahapnya
merupakan suatu peristiwa yang mengandung dimensi religi dan sosial. Maksudnya upacara
Rambu Solo’ ini tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kepercayaan orang Toraja, secara
khusus dengan apa yang disebut dengan Aluk Todolo. Bentuk upacara Rambu Solo’ yang
dilakukan di Tanah Toraja disesuaikan dengan kedudukan sosial msyarakatnya. Oleh karena
itu, upaca Rambu Solo’ di Tanah Toraja dibagi atas 4 tingkatan: pertama, upacara Disilli’ adalah
upacara pemakaman yang paling rendah di dalam Aluk Todolo yang diperuntukkan bagi strata
yang paling rendah atau anak-anak yang belum mempunyai gigi. Kedua, upacara dipasangbong
adalah upacara pemakaman yang hany berlangsung selama satu malam. Upacara ini
dilaksanakan begi kelompok tana’ karurung (rakyat merdeka/biasa). Ketiga, upacara
dipasangbongi dan keempat upacara rapasan adalah upacara yang di khususkan bagi kaum
bangsawan tinggi (tana’ bulaan).7

Kesimpulan
Sejarah masyarakat Toraja dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari mitos atau
kepercayaan masyarakat setempat dan hasil penelitian antropolog, menurut mitos, leluhur
orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana. Menurut mitos ini nenek moyang
masyraakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana
menuju bumi, tepatnya di Toraja. Dilihat dari hasil penelitian antropolog, masyarakat Toraja
merupakan hasil proses akulturasi antara penduduk lokal/pribumi yang mendiami daratan
Sulawesi Selatan dengan pendatang atau imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Nama
Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng da Luwu orang Sidendereng
menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang megandung arti “orang yang
berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang
yang artinya “ orang yang berdiam di sebelah Barat”. Ada juga versi lain bahwa Toraja berasal
dari kata Toraya, To atau Tau yang berarti “orang” dan Raya dari kata Maraya berarti “besar”.
Jika kedua kata tersebut digabungkan akan menjadi orang-orang besar atau bangsawan. Lama-
kelamaan penyebutan kata Toraya berubah menjadi Toraja.
Toraja yang terdiri dari dua kabupaten yaitu kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara
memiliki cara yang berbeda-beda dalam ritual penguburan. Berkaitan dengan hal itu, di Toraja
dikenal sebuah istilah Rambu Solo’. Rambu Solo’ adalah serangkaian peristiwa yang dilakukan
mulai dari meninggalnya salah satu kerabat sampai pada masa penguburannya. Upacara
pemakaman Rambu solo’ mewajibkan keluarga almarhum membuat pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Aluk Rambu Solo’/aluk rampe
7
Robi Panggara, Upacara Rambu Solo’ Di Tana Toraja: Memahami Bentuk Kerukunan Di Tengah Situasi Konflik, (2015), 8,9.
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

matampu’ adalah persembahan yang dilakukan di sebelah barat rumah pada saat matahari
telah condong ke barat, menyangkut upacara kematian. Persembahan ditujukan kepada Puang
Matua dan arwah para leluhur.

Referensi:

Panuntun Daniel Fajar, Jimmi Pindan Pute, Lisdayanti Anita Mangalik. “Model Dialog Imajiner
Paper kuliah Metode Penelitian I – IAKN Toraja

Entas-Entas Untuk Mengkomunikasikan Kristus Kepada Masyarakat Tengger”. VSIO DEI:


Jurnal Teologi Kristen 2, no. 1 (Juni 2020): 85.

Rapa Ones Kristiani & Yurulina Gulo. “Ma’bulle Tomate: Memori Budaya Aluk Todolo pada
Ritual Kematian di Gandangbatu, Toraja,” Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan
Budaya (Journal Of Social and Cultural Anthropology 5, no. 2 (Januari 2020): 137.

Glory Tulaktondok, T.R Andi Lolo, Suparman Abdullah. “Rambu Solo’ Menurut Perspektif
Eksistensialisme Sartre dalam Masyarakat Modern di Lembang Saloso, Kecamatan
Rantepao, Kabupaten Toraja Utara”. HASANUDDIN JOURNAL OF SOCIOLOGY (hjs) 1, no.1
(2019): 26,27.

Nugroho Fajar. kebudayaan Masyarakat Toraja. Surabaya: PT. Jepe Press Media Utama,2015.4,5

&9

Erni et al, Riset Budaya: mempertahankan Tradisi di Tengah Krisis Moralitas. Jl. Amal Bhakti

Soreang, Parepare, Sulawesi Selatan:IAIN Parepare Nusantara Press, 2020. 10, 12

Sampe Naomi. “Rekonstruksi Paradigma Ekonomis dalam Budaya Rambu Solo’ di Toraja Utara”.

Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Kontekstual 3, no.1 (Juni 2020): 29, 34.

Panggara Robi. Upacara Rambu Solo’ Di Tana Toraja: Memahami Bentuk Kerukunan Di Tengah
Situasi Konflik. 2015. 8,9.

Anda mungkin juga menyukai