Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Upacara Adat Simalungun

Disusun Oleh

*
Abstrak

Upacara adat adalah salah satu cara orang pedalaman untuk menghargai warisan
nenek moyang yang ada.Upacara adat adalah bentuk keyakinan tradisional pada
masyarakat setempat.Salah satu masyarakat yang masih kental kepercayaan
adatnya adalah,masyarakat Suku Simalungun yang berasal dari Suku Batak
Sumatra Utara.Upacara adat yang masih kental nuansa tradisonalnya di suku
Simalungun salah satunya upacara adat Marangging,dimana upacara adat ini
dilakukan oleh masyarakat yang belum menganut agama.Disini penulis mencoba
melakukan penelitian terkait makna dari upacara adat marangging yang dilakukan
oleh masyarakat tersebut,penulis melakukan penelitaian ini dengan menggunakan
metode kepustakaan yang ada guna mencari tau apa arti dari upacara adat
tersebut.Sehingga memahami arti dari adanya upacara Marangging.

Kata Kunci : Upacara adat,Simalungun,Marangging

Abstract

Traditional ceremonies are one of the ways inland people can appreciate the
heritage of existing ancestors. Traditional ceremonies are a form of traditional
belief in the local community. One of the communities that still has strong
traditional beliefs is, the Simalungun Tribe people who come from the Batak Tribe
of North Sumatra.Traditional ceremonies that are still thick with traditional
nuances in the Simalungun tribe, one of which is the Marangging traditional
ceremony, where this traditional ceremony is carried out by people who have not
yet adhered to religion. Here the author tries to conduct research related to the
meaning of the marangging traditional ceremony carried out by the community,
the author conducts this research using existing literature methods to find out what
the meaning of the traditional ceremony is. So as to understand the meaning of the
Marangging ceremony.

Keywords : Traditional ceremony,Simalungun,Marangging

*
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku Simalungun adalah salah satu dari suku Batak yang terdapat di
wilayah Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatra Utara. Suku Simalungun ini
berada di antara dua kebudayaan, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Karo.
Karena wilayah kediaman suku Batak Simalungun ini berada di antara wilayah
kedua suku Batak tersebut, maka bahasa Simalungun hampir mirip dengan bahasa
Toba dan Karo. Suku ini memiliki garis keturunan patrilineal. (Erond Damanik,
2007: 54)
Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Simalungun adalah suku Batak
Simalungun yang kehidupan masyarakatnya masih sangat kental dengan adat
istiadat. Pada masyarakat Simalungun, tari disebut dengan Tortor. Tortor
mempunyai peranan penting dalam aktivitas kehidupan masyarakat yang berkaitan
dengan kehidupan spritual dan sosial kemasyarakatannya. Selain Tortor
masyarakat Simalungun juga mempunyai kesenian dibidang musik, yang sering
disebut gonrang/margonrang (memainkan alat musik tradisional Batak
simalungun). Suku ini memiliki macam-macam kesenian, kesenian tersebut adalah
seni tari (Tortor), seni lukis, seni musik, dan seni teater. Kesenian tersebut sering
hadir dalam upacara adat ataupun kegiatan masyarakat, tetapi dalam
pelaksanaanya beberapa cabang kesenian tersebut diikat -oleh sistem kekerabatan
yang ada seperti Tortor.

*
4

Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat
digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa
manusia. (Bastomi 1992 : 10) menjelaskan bahwa seni adalah perwujudan rasa
indah yang terkandung dalam jiwa seseorang, dilahirkan dengan perantauan alat-
alat komunikasi dalam bentuk yang dapat ditangkap dengan indra. Salah satu seni
yang dapat ditangkap dengan indra adalah tari. Seperti yang dikemukakan (Edi
Sedyawati 1986 : 10) bahwa “Tari merupakan warisan budaya Indonesia yang
harus dikembangkan selaras dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu
tari-tarian yang merupakan warisan budaya Indonesia harus tetap dijaga dan
dilestarikan agar tidak punah.
Simalungun mempunyai kebudayaan yang beraneka ragam dan patut untuk
di lestarikan, contohnya salah seorang pecinta budaya Simalungun yaitu Sultan
Saragih salah seorang Seniman Muda Simalungun yang masih aktif dalam kegiatan
budaya Simalungun, beliau juga sampai saat ini masih melakukan riset penelitian
terhadap budaya Simalungun. Dalam tulisan Sultan Saragih di dalam penelitiannya
menyatakan bahwa, salah seorang putera Guru Raya yaitu Borahim Purba Dasuha,
Borahim Purba adalah salah seorang penasehat spiritual kerajaan Raya yang
terlihat pada rekaman foto masa kolonial belanda (KITLV) dengan menggunakan
ikat kepala Simalungun, hiou (ulos), pustaha lak-lak bersanding di badannya, serta
Tukkot Malehat yang tertancap di belakangnya. Dalam tulisan ini Tukkot Malehat
disebut sebagai peninggalan nenek moyang terdahulu dan dipercaya memiliki
kesaktian dan tidak sembarangan di sentuh oleh orang lain.
Hanya dapat digunakan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kekuatan
spiritual seperti penasehat spiritual raja Raya danpangulu balang.
Sistem kepemimpinan di suatu kampung dipimpin oleh seorang kepala
desa atau kepala suku, sebutan untuk kepala desa di Simalungun ialah pangulu
balang. Setiappangulu balang di setiap desa adalah keturunan raja, tugas utama
dari pangulu balang adalah untuk menjaga rakyatnya dan keturunannya dari
bahaya dan ancaman yang dapat menyerang kampung tersebut, yaitu dengan cara
melakukan ritual ataupun perang. Salah satu upacara yang dilakukan adalah
upacara mamagari huta (menolak bala).
4
5

Upacara adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang


tertentu, khusus, umum, yang memiliki tata aturan tertentu dan tidak dapat
diganggu gugat, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai
bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini.(Sumardjo 2002:107)
Upacara atau ritual tidak terlepas dari namanya Tortor atau manortor. Tortor pada
Masyarakat Simalungun adalah wujud budaya yang sangat jelas disaat berjalannya
setiap adat yang dilaksanakan. Karena Tortor merupakan salah satu identitas
budaya batak yang dipercaya memiliki nilai dan marwah yang tinggi dalam
berlangsungnya suatu upacara adat, salah satunya adalah upacara mamagari huta
dengan ikut berlangsungnya Maranggirpada upacara tersebut.
Upacara mamagari huta pada umumnya dilakukan oleh masyarakat yang
belum menganut agama. Setelah Masyarakat Simalungun menganut agama dan
memiliki keyakinan yang mayoritasnya menganut agama Kristen dan Islam,
Maranggirini tidak lagi digunakan untuk sebuah upacara ritual mamagari huta.
Setelah masyarakat menganut agama Maranggirmengalami transformasi dan
beralih fungsi menjadi sebuah tari pertunjukan yang sifatnya hiburan.
(Jahatur Damanik dalam www.lovelysimalungun 2012) Pada umumnya
agama suku yang meyakini bahwa roh-roh merupakan mahkluk-mahkluk yang
tidak bisa dilihat tetapi pada hal-hal tertentu dapat terlihat dan memiliki tubuh
sendiri. Orang-orang suku Timur Tengah mempercayai bahwa jin-jin adalah
makhluk supranatural yang dapat mengambil rupa manusia atau binatang.
Umumnya dipercayai bahwa ada tiga sifat roh yang dikenal agama suku antara
lain: Naibata na i nagori atas, tongah, toruh (roh yang bersifat baik, roh yang
bersifat jahat, dan roh yang memiliki keduanya sifat yang baik dan jahat). Karena
kepercayaan masyarakat yang atheisme menyebabkan masyarakat melakukan
upacara mamagari huta yang dipimpin oleh pangulu balang yang berfungsi
sebagai upacara penyembahan terhadap roh-roh yang dipercayai sebagai ritual
keselamatan bagi masyarakat. Manusia tidak pernah mengetahui kapan musibah
akan datang, dan tidak pernah mengetahui siapa yang sudah mengirimkan
musibah, penyakit, roh-roh jahat terhadap masyarakat. Kepercayaan masyarakat
yang atheis percaya bahwa adanya simbol pertahanan kesegala penjuru yang di
5
6

simbolkan di salah satu pinar yaitu pinar bindu matogu, atau sering disebut dengan
Ornamen tapak sulaiman. Pinar bindu matogu menggambarkan delapan penjuru
mata angin yakni : “Purba=Timur, Anggoni=Tenggara, Daksina =Selatan,
Nariti=Barat Daya, Pastima=Barat, Mangabia=Barat Laut, Otara=Utara,
Irisanna =Timur Laut”. Pinar bindu matogu memiliki motif geometris. (Prijono
dalam Widyosiswoyo 2011 : 11)
Pinar (Ornamen) memiliki fungsi mengungkapkan dan menyampaikan
makna budaya dari suatu daerah terhadap masyarakt setempat. Salah satu dari
banyak jenis pinar pada budaya Simalungun adalah pinar bindu matogu yang
memiliki bentuk dua segi empat yang menempel tetapi setiap sudut segi empat
tersebut mengarah seperti jarum mata kompas, dan sudutnya berbentuk benang
yang dibentuk seperti bunga Terompet, dan bermakna sebagai benteng arah
perlawanan kedelapan penjuru mata angin. Pada tarian upacara dulunya, pinar
bindu matoguh merupakan garis edar, pola lantai penari yang harus di lalui oleh
penari pada Tortor TukkotMalehat. (Binaan LSM binar 2002)
Maranggir merupakan salah satu tari upacara yang ditarikan pada upacara
mamagari huta tetapi karena adanya tranformasi, perkembangan zaman, dan
masuknya agama, tarian ini tidak lagi ditarikan untuk ritual mamagari huta,
melainkan sudah menjadi tari pertunjukan, dan Maranggirini merupakan tarian
tunggal. Pada zaman dahulu Tortor ini ditarikan oleh Pangulu Balang (penjaga
kampung) yaitu seorang laki laki yang dianggap memiliki kekuataan spritual dan
menjadi panukunan di suatu huta, yang dipercayai oleh masyarakat yang atheis
dan dinamisme. (Menurut Henry Guntur Tarigan dalam www.filosofi halak
Simalungn 2002:2) menyatakan : “Bahwa penduduk daerah Simalungun, sebagian
besar belum beragama, yang dimaksud dengan agama di sini ialah kepercayaan
akan Tuhan Yang Maha Esa atau Monotheisme, seperti Agama Islam dan Kristen”.
Demikianlah kebanyakan dari penduduk masih Percaya akan roh nenek moyang,
pohon-pohon keramat, tempat-tempat keramat, dan Parsinumbahan (tempat
pemujaan). Dengan perkataan lain sebagian besar dari penduduk masih menganut
system Parbegu (menyembah berhala). Dalam pelaksanaan upacara ataupun ritual
di dalam adat, Tortor mengandung makna dan fungsi ketika berjalan nya suatu
6
7

upacara. (Wawancara dengan Efrin Girsang)


Tortor merupakan bentuk pelestarian budaya, salah satunya adalah Tortor
Tukkot Malehat. Mengingat Maranggiryang sudah beralih fungsi dari kegiatan
upacara mamagari huta oleh masyarakat Simalungun ke bentuk pertunjukan
sebagai hiburan. Maka penulis tertarik untuk meneliti dari sudut pandang makna
Tortor. Tortor ini juga belum pernah diteleti oleh peneliti yang lain, sehingga
peneliti tertarik untuk menjadikan tarian ini sebagai topik penelitian dengan judul “
Makna Maranggir pada Masyarakat Simalungun di Kabupaten Simalungun”

B. Identifikasi Masalah
Tujuan dari identifikasi masalah adalah agar penelitian yang dilakukan
menjadi terarah, serta cakupan masalah tidak terlalu luas. Hal ini sejalan dengan
pendapat Hadeli ( 2006:23 ) yang menyatakan bahwa :
“Identifikasi masalah adalah suatu situasi yang merupakan akibat interaksi
dua atau lebih faktor (seperti kebiasaan-kebiasaan, keadaan-keadaan, dan
lain sebagainya) yang menimbulkan beberapa pertanyaan-pertanyaan”.

Dari uraian di atas maka permasalahan penelitian ini dapat


diidentifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu :

1. Keberadaan Maranggir pada masyarakat Simalungun di Kabupaten


Simalungun.

C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah yang diidentifikasikan serta
keterbatasan waktu, dana dan kemampuan teoritis, maka penulis merasa perlu
mengadakan pembatasan masalah untuk memudahkan masalah yang dihadapi
dalam penelitian. Batasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-
batas permasalahan dengan jelas, yang memungkinkan kita untuk
mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk kedalam ruang lingkup
permasalahan.

7
8

Berdasarkan identifikasi permasalahan terhadap penelitian yang di ajukan


penulis maka yang menjadi pembatasan masalah didalam penelitian ini adalah :

1. Bentuk Maranggirpada Masyarakat Simalungun di Kabupaten Simalungun.


2. Makna Maranggirpada masyarakat Simalungun di Kabupaten Simalungun.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan suatu titik fokus dari sebuah penelitian yang
hendak dilakukan, mengingat sebuah penelitian merupakan upaya untuk
menemukan jawaban pertanyaan, maka dari itu perlu dirumuskan dengan baik,
sehingga dapat mendukung untuk menemukan jawaban pertanyaan. Dalam
rumusan masalah kita akan mampu untuk lebih memperkecil batasan-batasan yang
telah dibuat dan sekaligus berfungsi untuk lebih mempertajam arah penelitian.
Maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : Makna
Maranggirpada masyarakat Simalungun di Kabupaten Simalungun”.

E. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian umumnya berorientasi kepada tujuan, tanpa ada
tujuan yang jelas maka arah kegiatan penelitian yang akan dilakukan tidak terarah,
karena tidak mengerti apa yang ingin dicapai dalam kegiatan penelitian tersebut.
Suatu penelitian dikatakan berhasil dilihat dari tercapainya tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan bentuk penyajian Maranggirpada masyarakat Simalungun
di Kabupaten Simalungun.

2. Mendeskripsikan bagaimana makna Maranggirpada masyarakat Simalungun


di Kabupaten Simalungun.

F. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua kalangan
yang memperhatikan kesenian, dan dapat menambah pengetahuan tentanag
makna tari kepada masyarakat
8
9

2. Sebagai salah satu bahan masukan dan informasi secara tertulis di Jurusan
Sendratasik khususnya Program Studi Pendidikan Tari, Universitas Negeri
Medan.
3. Penilitian ini bermanfaat untuk melestarikan Maranggiryang sudah hampir
punah.
4. Salah satu manfaat penelitian ini adalah sebagai suatu proses
mengaplikasikan ilmu yang sudah yang telah diperoleh penulis selama
melaksanakan perkuliahan.

9
1
0

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Upacara Adat
Upacara adat merupakan salah satu tradisi masyarakat tradisional
yang masih dianggap memiliki nilai-nilai yang masih cukup relevan bagi
kebutuhan masyarakat. Selain sebagai upaya manusia untuk berhubungan
dengan roh nenek moyangnya, juga merupakan wujud dari kemampuan
manusia untuk secara aktif beradaptasi dengan alam atau lingkungan
umum. Upacara adat adalah ritual yang diwariskan secara turun-temurun
oleh para pendukungnya di suatu daerah. Oleh karena itu, setiap daerah
memiliki ritual adatnya sendiri seperti pernikahan, kelahiran dan kematian.
Hubungan antara alam dan manusia merupakan keniscayaan yang tak
terbantahkan, karena hubungan ini memiliki nilai sakral yang sangat tinggi.
Hal ini diwujudkan dalam personifikasi mistis kekuatan alam, yaitu
percaya pada keberadaan supernatural, percaya pada Sang Pencipta, atau
mengkonseptualisasikan hubungan antara berbagai kelompok sosial
sebagai hubungan antara hewan, burung, atau kekuatan alam.
Definisi tentang upacara adat, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Upacara adalah rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum
yang berlaku dalam masyarakat tersebut yang berhubungan dengan
berbagai macam peristiwa tertentu namun tetap yang biasanya terjadi
dalam masyarakat yang bersangkutan.

2) Upacara adat adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata
oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan
dengan bagaimana macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada
masyarakat yang bersangkutan. Upacara adat memiliki aturan dan cara
yang telah ditentukan oleh masyarakat atau kelompok pencipta ritual
10
1
1

adat tersebut, sehingga masing-masing ritual mempunyai perbedaan,


baik dalam hal pelaksanaan ataupun perlengkapannya.1

Pelaksanaan upacara adat yang didasarkan kepada tradisi


berkomunikasi atau memberi rasa syukur kepada roh nenek moyang terjadi
turun temurun karena telah diwariskan, dalam masyarakat adat dan hampir
diseluruh wilayah Indonesia. Dalam pelaksanaannya upacara adat selain
menjadi ritual suatu kelompok atau masyarakat, kini menjadi sebuah
tontonan yang menarik bagi pariwisata.

1 Koentjaraningrat. 1980. Sejarah teori Antropologi, Jilid I, dan III. Jakarta: UI Press. Hlm 180
11
1
2

BAB
BAB III

PEMBAHASAN

A. Makna Upacara Adat Simalugun Marangging

Masyarakat Hutalama, Kelurahan Sarimatondang, Kecamatan Sidamanik,


Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara menggelar ritual Maranggir di Pemandian
Bah Damanik,

Ritual Maranggir dilakukan untuk melestarikan budaya leluhur dan juga meminta
doa agar Kampung Hutalama terlepas dari kemelut dan marabahaya.

Maranggir sendiri adalah ritual adat atau budaya membersihkan diri di Bah
Damanik. Acara Maranggir ini pun digelar untuk meluruskan penyimpangan-
penyimpangan budaya, yang selama ini terjadi di Pemandian Bah Damanik.

Tokoh adat setempat, Rosul Damanik menerangkan, Maranggir sebenarnya sudah


dicatatkan di kalender pesta budaya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Biasanya pergelaran Maranggir dilakukan sebelum acara Rondang Bintang (pesta


panen rakyat) untuk Kabupaten Simalungun.

12
1
3

Keturunan Tuan Sarimatondang atau biasa yang disebut sebagai Sipukka Huta,
Edison Damanik mengatakan, kegiatan Maranggir sudah dilakukan sejak lama dari
leluhur mereka. Ritual Maranggir merupakan ritual turun temurun dari Tuan
Sarimatondang yang masih eksis sampai saat ini.

Dulu ini pemandian raja, pemandian oppung (leluhur), di situlah kami diajak
mandi dan Maranggir,kegiatan yang mereka gelar untuk menunjukkan kepada
publik bahwa Pemandian Bah Damanik adalah tempat sakral dan harus dilestarikan
dan dijaga. Dalam hal ini meruapakan tanggung jawab seluruh masyarakat yang
ada di kampung tersebut. Dia mengatakan, banyak sejarah dan budaya yang telah
hilang dari pemandian sakral ini.

Kegiatan ini digelar atas persetujuan masyarakat Hutalama dan untuk meluruskan
sejarah, kemudian budaya yang memang ada di pemandian ini, dan kegiatan
Maranggir diharapkan bisa dilaksanakan untuk seterusnya.

Dalam ritual Maranggir, tampak ratusan warga Hutalama, baik orang tua maupun
pemuda ikut membersihkan diri di Bah Damanik. Prosesnya dengan cara
menceburkan badan ke dalam air, kemudian wajah dan kepala dibasuh dengan
menggunakan air Bah Damanik yang sudah dicampur jeruk purut dan daun sirih.

Perlu diketahui, Bah Damanik merupakan mata air sumber kehidupan masyarakat
sekitar. Selain sebagai tempat untuk mandi, aliran mata air juga merupakan sumber
pertanian warga.

Sejak viralnya pemandian ini, banyak pengunjung yang datang ke lokasi. Tidak
hanya dari dalam provinsi Sumut, pengunjung dari luar Sumut juga bergantian ke
lokasi ini. Namun keramaian itu justru berdampak buruk dari kebersihan
pemandian alam ini. Aliran air yang semula bersih, kini banyak ditemukan
sampah-sampah pengunjung, seperti plastik makanan.

13
1
4

B. Tata Cara Upacara Adat Maranggir

Warga dari usia remaja, dewasa, hingga lansia menceburkan diri ke pemandian
alam Bah Damanik di Huta Lama, Kelurahan Sarimatondang, Kecamatan
Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara Separuh badan terendam
dalam air dan pakaian yang dikenakan mereka basah kuy up. Tempat Istirahat dan
Pemandian Favorit Sang Sultan sejak 300 Tahun Lalu   Warga kemudian berbaris
menunggu antrean untuk meminum air dalam cawan putih yang di dalamnya diisi
potongan jeruk purut. Pemandian Hijaber, Kegiatan ini dikenal sebagai Maranggir
atau minum air langsung dari mata air Bah Damanik. Saat prosesi Maranggir,
seorang wanita memberi minum satu per satu warga dengan cawan putih, lalu
membasuh wajah mereka sampai ke kepala. Salah satu warga, Edison Damanik
mengatakan, Maranggir sudah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka.
Pemandian Bah Damanik dulunya dipercaya sebagai pemandian raja. Mata air
pemandian alam itu sebagai sumber kehidupan dan menjadikan Bah Damanik
sebagai tempat ritual.

Maranggir bertujuan untuk menyucikan diri dengan cara membersihkan badan


sekaligus meminta doa agar tempat tinggal mereka terlepas dari kemelut dan
bahaya. Dulu ini pemandian raja, pemandian leluhur kami, di situ lah kami diajak
mandi dan Maranggir,yang merupakan salah satu keturunan Tuan Damanik,
Panitia penyelenggara Maranggir, Roy Sidabalok mengatakan, kegiatan ini untuk
menyampaikan kepada publik bahwa pemandian alam Bah Damanik adalah tempat
yang harus dijaga dan dilestarikan. Dia mengatakan, banyak sejarah dan tradisi
yang telah hilang dari Bah Damanik. Melalui kegiatan ini dia berharap dapat
meluruskan kembali sejarah.   Untuk meluruskan sejarah dan tradisi yang memang
ada di pemandian ini. Maranggir diharapkan bisa dilaksanakan untuk seterusnya,”
kata dia. Senada dengan Roy, tokoh adat setempat, maranggir juga dilakukan
warga sekitar sebelum acara pesta adat di Simalungun seperti Pesta Rondang
Bintang. Pemandian alam Pemandian alam Bah Damanik atau dikenal Aek Manik
adalah salah satu obyek wisata pemandian alam di Kabupaten Simalungun yang
14
1
5

dikelola oleh warga.

15
1
6

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari kesuluran yang telah diteliti dilapangan yakni berupa video dan
dokumentasi serta wawancara dengan beberapa narasumber dan berdasarkan
denga urain-uraian yang sudah dijelaskan mulai dari latar belakang sampai
dengan pembahasan, maka penulis dapat memperoleh beberapa kesimpulan
sebagai berikut :

1. Maranggir merupakan salah satu tarian yang menggunakan tongkat sebagai


properti untuk menari yang memiliki makna, yang sudah hampir punah dan berasal
dari Kabupaten Simalungun. Pada masyarakat Batak Toba disebut tunggal
panaluan, tetapi memiliki makna yang berbeda dengan Tukkot Malehat.

2. Maranggirditarikan oleh seorang laki laki yang disebut dengan pangulu


balang yang ditarikan pada upacara mamagari huta yang artinya menolak bala dan
menolak hal-hal yang tidak baik yang dapat terjadi pada masyarakat Simalungun,
tetapi sekarang tortor ini sudah mejadi seni pertunjukan.

3. Didalam upacara mamagari huta memerlukan sebuah tapongan yang


bentuknya bulat yang dimaknai sebagai bentuk bumi yang bulat dan berisikan
tumbuh tumbuhan yang diletakan di dalam sekeliling isi tapongan yaitu tumbuhan
Silanjuyang, Silanglangkabungan, Sakasipilit, Tabar-tabar. Pada Maranggirada
doa yang dilakukan secara khusus olehpangulu balang disebut dengan mang-mang
dalam masyarakat Simalungun.

4. Untuk mengetahui makna dari gerak Maranggirini digunakan teori makna.


Makna pada wilayah isi dan ekspresi. Pada wilayah isi, tipe tari berkenaan dengan
tari abstrak. Abstrak adalah ringkasan isi, ikhtisar atau inti. Dalam wilayah
ekspresi ditinjau melalui saluran-saluran untuk berlangsungnya komunikasi dalam

16
1
7

tari yang meliputi tubuh insani, nampak visual, iringan musik dan juga sentuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Purba, F. A., & Slamet, S. (2018). MAKNA SIMBOLIK TOR-TO RSOMBAH


DALAM UPACARA ADAT KEMATIAN SAYUR MATUA PADA
MASYARAKAT SUKU BATAK SIMALUNGUN. Gelar: Jurnal
SeniBudaya, 16(2), 219-229.

Saragih, H., Corry, C., Sumbayak, E. G., Sumbayak, J., Saragih, T., & Purba, J.
(2020). Patunggung Adat Simalungun: Penyusunan dan Penyempurnaan Buku
Adat Simalungun. Yayasan Kita Menulis.

Husnul, I. C. S., Gultom, I. A., Hermalia, P., & Barus, F. L. (2021). Makna
Gramatikal dan Leksikal Ungkapan Bahasa Batak Simalungun Pada Upacara
Adat Pernikahan.  Kode: Jurnal Bahasa,  10(2).

Situmorang, E. Y. (2022). Makna Tortor Pahompu bagi Masyarakat Simalungun


dalam Upacara Adat Marujung Goluh Sayur Matua.

Sibarani, D. A. (2020). Makanan Khas Tradisional pada Upacara Adat Batak


Simalungun: Kajian Semiotik.

17

Anda mungkin juga menyukai