Anda di halaman 1dari 11

Makna simbolik dalam kebudayaan Sisingaan di Kabupaten Subang Jawa Barat

Habib Maulana
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
kahabibm@gmail.com

ABSTRAK
Sisingaan adalah salah satu kebudayaan yang ada di Jawa Barat terutama di daerah
Kabupaten Subang. Memiliki makna yang sangat luar biasa tentang mengusir penjajah
dengan media seni sebagai simbol pertentangan. Kebudayaan ini dianggap sebagai seni
pertunjukan masyarakat yang sarat simbol, sehingga menambah kepercayaan dan kedudukan
tradisi itu dikalangan masyarakat Subang. Dalam konteks ini anak sunat adalah simbol tokoh
yang dirayakan sebagai representasi simbolik kendaraan untuk tokoh yang diagungkan.

Kata Kunci : Sisingaan, Simbolik, Kebudayaan

ABSTRACT
Sisingaan is a culture in West Java, especially in the Subang Regency. Has a very
extraordinary meaning about expelling invaders with art media as a symbol of contention.
Sisingaan is considered as a symbolic performing arts community, thereby increasing the
belief and position of the tradition among the Subang people. In this context the circumcision
child is a symbol of a celebrated figure and the sisingaan is a symbolic representation of a
vehicle for a figure that is glorified.
Keyword : Sisingaan, Symbolic, Culture

Pendahuluan
Kebudayaan adalah salah satu isi dari kesenian manusia secara umum, karena dengan
berkesenian merupakan salah satu cerminan dari suatu bentuk peradaban yang telah
berkembang sesuai dengan keinginan dan cita – cita yang berpedoman pada nilai – nilai yang
telah berlaku dan dilakukan dalam bentuk aktivitas berkesenian, sehingga masyarakata
mengetahui bentuk keseniannya.1

Dalam hal ini ada peribahasa Sunda “Ciri sabumi cara sadesa” yang memliki makna
bahwa kebiasaan pada setiap daerah itu berbeda. Salah satu yang membedakan hal itu terletak
pada jenis keseniaan. Salah satu Kabupaten Subang memiliki jenis keseniaan yaitu kesenian
1
Arifinnetrirosa, Pemeliharaan kehidupan Budaya Kesenian Tradisional dalam Pembangunan Nasional, Jurnal
USU Repository Universitas Sumatera Utara, 2005, hal 6.
Sisingaan. Sisingaan ini juga merupakan salah satu bukti dari kearifan budaya lokal, yang
memiliki nilai tinggi dalam hal seni. Kearifan budaya tercermin dari bentuk pertunjukan
sisingaan yang berjenis pawai atau arak-arakan. Bentuk arak – arakan ini merupakan ciri
kesenian rakyat yang berkembang di lingkungan masyarakat pertanian atau agraris. Selain
itu tercermin dari alat pengiring dan gerak tari tradisional yang digunakan oleh masyarakat
Kabupaten Subang. Bahkan sisingaan juga memiliki latar belakang yang berhubungan
dengan nilai – nilai patriotisme.2 Maka untuk gerakan tari, irama dalam pertunjukan juga
bersifat dinamis.3

Dalam perkembangannya, gotong singa atau sisingaan reog juga ditiru oleh kota lain
seperti Gotong Burok dari Cirebon, Gotong Domba dari Sumedang dan Garut yang sama-
sama menggotong hewan tiruan.Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada 200 buah
Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang
yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme
masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi peluang mengisi acara di tingkat regional,
nasional, bahkan internasional.

Penyebaran Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti


Sumedang, Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis
pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan
perkawinan.Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan
penambahan pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan
tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter, serta
ditambahkan dengan bunyi - bunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah senapan.

Sisingaan dianggap sebagai seni pertunjukan masyarakat yang sarat simbol, sehingga
menambah kepercayaan dan kedudukan tradisi itu dikalangan masyarakat Subang. Dalam
konteks ini anak sunat adalah simbol tokoh yang dirayakan dan sisingaan adalah representasi
simbolik kendaraan untuk tokoh yang diagungkan. Dalam versi lain juga menyebutkan
Sisingaan berasal dari tradisi pemujaan roh – roh lama yang dipersonifikasikan ke dalam
bentuk hewan – hewan. Versi lain juga menyebut Sisingaan adalah warisan Islam – lokal
yang bersumber dari tradisi Islam yang berkembang dari Cirebon, terutama spirit “singa ali”.
Fenomena kehadirian sisingaan dapat berwujud arak-arakan, seperti yang ditemukan dalam
2
Patriotisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-
galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya, semangat cinta tanah air.
3
Enden Irma Rachawaty, ‘Nilai Estetika Dalam Sisingaan Di Kabupaten Subang’, NILAI ESTETIKA, 5.3
(2013), 489–502.
barongan di Blora, atau reog di Ponorogo. Ragam gerak sisingaan terpola dalam tradisi
masyarakat agraris.4

Beberapa nama dan bentuk gerakan sisingaan juga memiliki keterkaitan ekspresi
tradisi masyarakat petani Subang. Dari yang berpola dari sumber permainan, beladiri, ragam
tumbuhan. Gerakan sisingaan juga ditunjang dengan unsur pendukung lain berupa musik,
seni rupa, dan tata busana yang menjadi ciri khas pertunjukannya.

Kesenian sisingaan yang ada di Kabupaten Subang merupakan ikon yang


mengharumkan nama Kabupaten Subang. Daerah Subang sendiri termasuk salah satu
kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat yang memiliki cri khas tersendiri diantara wilayah
– wilayah lainnya, memiliki sumber alam yang melimpah seperti adanya pegunungan,
daratan, pantai dan lautnya. Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian
utara Provinsi Jawa Barat dengan batas koordinat yaitu antara 107 o 31’ – 107o 54’ bujur
Timur dan 6o 11’ – 6o 49’ Lintang Selatan. Luas wilayah kabupaten Subang adalah 205.176
hektar atau sekitar 6,34 persen dari luas Provinsi Jawa Barat, sedangkan range ketinggian
tempat antara 0 – 1500 mdpl.5

Berdasarkan Undang – undang Nomor 4 tahun 1968 tentang pembentukan Kabupaten


Subang, batas wilayah administrative Kabupaten Subang terletak pada :

 Sebelah Utara, berbatasan dengan Laut Jawa


 Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bandung
 Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kawang
 Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang

Kebudayaan sebagai Sistem Simbolik


Menurut Keesing, jalan lain dalam membahas suatu kebudayaan adalah dengan cara
memangdang kebudayaan – kebudayaan tersebut sebagai sistem simbol dan pemaknaan yang
dimiliki bersama ole masyarakat. Kebudayaan – kebudayaan tersebut tidak dimiliki oleh
individu, namun dimiliki bersama oleh suatu kelompok masyarakat. Geertz menganggap
pandangannya tentan budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya adalah berarti
mempelajari aturan – aturan makna yang dimiliki bersama tersebut.

4
Tubagus Mulyadi, Sisisngaan Seni Kemasan Wisata di Kabupaten Subang, Vol 2 No. 2, hal 97
http://sippa.ciptakarya.pu.go.id/sippa_online/ws_file/dokumen/rpi2jm/DOCRPIJM_a72f90e7f9_BAB
5

%20IIBAB%20II%20PROFIL%20KABUPATEN%20SUBANG.pdf
Simbol merupakan suatu hubungan antara penanda dan petanda berdasarkan
kesepakatan bersama. Misalnya saja bagi masyarakat Indonesia, bendera merah putih
(penanda) memiliki makna yang bisa kita baca (petanda) yaitu berani dan suci, dimana warna
merah berarti berani dan putih berarti suci. Namun, mungkin saja bagi kebudayaan lain di
luar masyarakat Indonesia belum tentu memiliki makna yang sama dengan makna yang
dimengerti oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

Dalam menyampaikan suatu konsepsi, simbol memiliki peranan yang sangat penting.
Simbol sendiri dapat berupa kata, angka, gestur tubuh yang bermakna, dan lain sebagainya.
Seperti layaknya kalimat, suatu simbol dapat langsung dibaca maknanya, namun simbol tidak
selalu berdiri sendiri sehingga maknanya dapat dibaca saat simbol tersebut muncul
bersamaan dengan simbol – simbol yang lain.6

Geertz dengan jelas telah mendefinisikan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem
makna dan simbol yang disusun dimana individu – individu mendefinisikan dunianya,
menyatakan perasaannya, dan memberika penilaian – penilaiannya ; suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historik yang diwujudkan ke dalam bentuk – bentuk simbolik melalui
sarana di mana orang – orang mengomunikasikan, mengabadikan, dan mengembangkan
pengetahuan dan sikap – sikapnya ke arah kehidupan ; suatu kumpulan peralatan simbolik
untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan
merupakan suatu sistem simbolik, maka dari itu proses budaya harus lah dibaca,
diterjemahkan, dimaknai, dan diinterpretasikan.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang saya gunakan adalah kualitatif dengan penelitian pustaka
(Liberay Research). Data penelitian yang diambil adalah kesenian sisingaan sebagai data
primer. Akan tetapi, penulis belum bisa melaksanakan penelitian lapangan dan hanya bisa
mendapatkan informasi – informasi terkait dari beberapa buku maupun jurnal.

6
http://blog.unnes.ac.id/rarassantikadewi/2017/09/24/kebudayaan-sebagai-sistem-kognitif-dan-sistem-simbolik/
Asal mula Kesenian Sisingaan

Kesenian Sisingaan merupakan jenis kesenian tradisional masyarakat Subang yang


bersifat helaran (festival) yang dipertunjukan dalam bentuk arak –arakan. Secara tradisional
digunakan sebagai acara khitanan. Akan tetapi, pada masa sekarang Sisingaan digunakan
pula pada acara – acara khusus, seperti memperingati hari – hari nasional, penyambutan
tamu, acara hiburan peresmian atau dalam ulang tahun lembaga dan ulang tahun daerah.
Kesenian sisingaan adalah jenis seni pertunjukan yang didalamnya terdapat seni tari,
karawitan, seni sastra dan seni rupa.7

Sisingaan mulai muncul pada saat para penjajah menguasai Subang, yakni pada masa
pemerintahan Belanda tahun 1812. Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan
kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden). Pada saat
Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan dengan lambang
negara Belanda yakni crown atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang
juga di bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa. Sehingga
secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian, yakni secara politis dikuasai oleh
Belanda dan secara ekonomi dikuasai oleh Inggris. 8

Dalam pertunjukan sisingaan, ada dua boneka singa (simbol dari dua negara Eropa
tersebut) yang ditunggangi dan dikendalikan oleh anak kecil (simbol rakyat Subang) yang
berada di atasnya. Hal ini bermakna ejekan dan pelecehan terhadap lambang kebanggan
kaum kolonialis tersebut. Demikianlah makna tersebut masih menjadi interpretasi simbol
sisingaan di kalangan warga Subang hingga kini. Simbol boneka singa yang diduduki anak
kecil dapat ditafsirkan sebagai cerminan budaya anti kolonialisme dalam masyarakat
Subang.9

Maka melalui media simbol kesenian Sisingaan mewujdkan dari rencana perlawanan
atau ungkapan sindiran dengan maksud adanya perlawanan sasaran jangka panjang dan
jangka pendek, yaitu : 10

1. Sasaran utama adalah jangka pendek yaitu bahwa kesenian Sisingaan dijadikan alat
tempuh untuk mempengaruhi masyarakat Subang agar bangkit semangat persatuan
dan kesatuan untuk melakukan perlawanan secara bersama-sama;

7
Tubagus Mulyadi, Sisisngaan Seni Kemasan Wisata di Kabupaten Subang, Vol 2 No. 2, hal 100
8
https://blog.ugm.ac.id/2010/11/11/tradisi-sisingaan-di-subang/
9
http://www.berdikarionline.com/seni-sisingaan-simbol-perlawanan-rakyat-subang/
10
Mulyadi, T. 2003. Sisingaan Kemasan Wisata di Kabupaten Subang. Vol. 2 (2): 96-97.
2. Sasaran kedua jangka panjang, yaitu terkandung maksud sebagai ungkapan jiwa
masyarakat Subang sebagai ramalan sesuatu yang akan terjadi dan diungkapkan jauh
sebelumnya.

Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri atas 4 orang untuk pengusung
sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden
atau juru kawih. Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat
bawah yang tertindas oleh penjajah, sepasang patung sisingaan juga melambangkan penjajah
yakni Belanda dan Inggris, sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda
yang akan mengusir penjajah dengan kata lain sebagai penerus bangsa untuk mengusir
penjajahan colonial, nayaga melambangkan masyarakat yang senang atau masyarakat yang
memberikan semangat motivasi kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan penjajah
dari tanah air mereka.

Banyak tekanan – tekanan terhadap masyarakat Subang oleh pihak penjajah.


Masyarakat Subang mulai melakukan pemberontakan melalui suatu simbolisasi dengan
memakai kesenian sisingaan sebagai media simbolisnya. Adapun makna simbol yang
terkandung dalam unsur – unsur keseniaan sisingaan tersebut adalah

a. Wujud dari bangun singa melambangkan sebagai dua kekuasaan yang saat itu
dikuasai rakyat Subang, yaitu Inggris dan Belanda ( yang terdapat dilambang
kerajaan Negara Inggris dan Belanda)
b. Bunyi musical yang dipakai melambangkan sebagai tuntunan upaya keras dan
perih kehidupan masyarakat Subang.
c. Pengsusung sisingaan yang melakukan tarian secara seragam, mengartikan
bahwa keadaan masyarakat Subang yang sedang mendapatkan tekanan dalam
kehidupannya.
d. Anak sunat yang didudukan diatas patung singa, dimaksudnya adalah
menjadikan sebagai generasi penerus anak cucu yang akan melanjutkan
kehidupan masyarakat Subang dan sekaligusb mengandung pesan agar
generasi penerus selanjutnya dapat membebaskn tekanan – tekanan yang
penjajahan, serta untuk mengusir para penjajah.
Fungsi Sisingaan

Seiring dengan perkembangan zaman, kesenian ini juga mengalami perkembangan


secara keseluruhan, baik dari bentuk patung sisingaan, waditra, busana, dan fungsi sisingaan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa kesenian ini juga bersifat dinamis, mengikuti perkembangan
zaman, dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.

Pada awal terbentuknya kesenian sisingaan terbatas hanya untuk sarana hiburan pada
saat anak dikhitan, dengan cara melakukan helaran keliling kampung. Namun pada saat ini
kesenian sisingaan mempunyai fungsi yang beragam antara lain untuk prosesi penyambutan
tamu terhormat, dengan jalan naik di atas sisingaan. Fungsi lain yakni untuk menyambut atlit
yang berhasil memenangkan suatu pertandingan, bisa ditampilkan secara eksklusif
berdasarkan permintaan.

Pertunjukan

a. Pemain
Para pemain sisingaan umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung
dalam sebuah kelompok yang terdiri atas: 8 orang penggotong boneka singa (1
boneka digotong oleh 4 orang), seorang pemimpin kelompok, beberapa orang
pemain waditra, dan satu atau dua orang jajangkungan (pemain yang
menggunakan kayu sepanjang 3-4 meter untuk berjalan). Para pemain ini adalah
orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun
memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain
karena dalam sebuah pertunjukan sisingaan yang bersifat kolektif diperlukan suatu
tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan sambil menggotong boneka
singa dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para nayaga.11
b. Tempat dan Peralatan Permainan
Kesenian sisingaan ini umumnya ditampilkan pada siang hari dengan
berkeliling kampung pada saat ada acara khitanan, menyambut tamu agung,
pelantikan kepala desa, perayaan hari kemerdekaan dan lain sebagainya. Durasi
sebuah pementasan sisingaan biasanya memakan waktu cukup lama, bergantung
dari luas atau tidaknya kampung yang akan dikelilingi.

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa
11

Barat.
Peralatan yang digunakan dalam permainan sisingaan adalah:

1) Dua atau empat buah usungan boneka singa.


Rangka dan kepala usungan boneka-boneka singa tersebut terbuat dari
kayu dan bambu yang dibungkus dengan kain serta diberi tempat duduk di atas
punggungnya. Sedangkan, untuk bulu-bulu yang ada di kepala maupun ekor
dibuat dari benang rafia. Sebagai catatan, dahulu usungan yang berbentuk
singa ini terbuat dari kayu dengan bulu dari kembang kaso dan biasanya dibuat
secara dadakan pada waktu akan mengadakan pertunjukan. Jadi, dahulu
sisingaan tidak bersifat permanen, tetapi hanya sekali digunakan kemudian
dibuang.
2) Seperangkat waditra yang terdiri dari:
 Dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang anak)
 Sebuah terompet
 Tiga buah ketuk (bonang)
 Sebuah kentrung (kulanter)
 Sebuah gong kecil, dan
 Sebuah kecrek
3) Busana pemain yang terdiri dari:
 Celana kampret/pangsi
 Iket barangbang semplak
 Baju taqwa dan
 Alas kaki tarumpah atau salompak.

c. Pertunjukan
Pertunjukan sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh
pemimpin kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan,
barulah anak yang akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak
dipersilahkan untuk menaiki boneka singa. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh
dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya
pertunjukan. Kemudian, sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua
buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).
Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai
memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara
serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-
gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan. Gerakan-gerakan tarian yang biasa
dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun
glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret,
masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor,
sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer,
lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan.
Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh juru kawih untuk mengiringi tarian
biasanya diambil dari kesenian Ketuk Tilu, Doger, dan Kliningan, seperti:
Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko,
Kembang gadung, Kangsring, Kembang Beureum, Buah Kawung, Gondang,
Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut,
Sireum Beureum, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat
Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dan lain
sebagainya).
Pertunjukan sisingaan ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa,
hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Dan, dengan sampainya para
penari di tempat semula, maka pertunjukan pun berakhir.

Makna dan Nilai Budaya12

Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:

 Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat
berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari
setiap jenis seni rakyat yang muncul.
 Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi
sangat teatrikal, apalagi setelah ditambahkan berbagai variasi, seperti jajangkungan
dan lain-lain.
 Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka,
maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan
dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang

12
https://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan
akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni
bajidoran.
 Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan
terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak
terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa
muncul bukan di habitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
 Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/
(salametan) atau syukuran.

Sisingaan tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain
yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan,
ketertiban, dan ketekunan. Nilai kerja sama terlihat dari adanya kebersamaan dalam
melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin
dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan
tercermin dari penguasaan gerakan-gerakan tarian.

KESIMPULAN

Sisingaan ini juga merupakan salah satu bukti dari kearifan budaya lokal, yang
memiliki nilai tinggi dalam hal seni. Kearifan budaya tercermin dari bentuk pertunjukan
sisingaan yang berjenis pawai atau arak-arakan. Bentuk arak – arakan ini merupakan ciri
kesenian rakyat yang berkembang di lingkungan masyarakat pertanian atau agraris. Selain
itu tercermin dari alat pengiring dan gerak tari tradisional yang digunakan oleh masyarakat
Kabupaten Subang. Bahkan sisingaan juga memiliki latar belakang yang berhubungan
dengan nilai – nilai patriotisme. Maka untuk gerakan tari, irama dalam pertunjukan juga
bersifat dinamis.

DAFTAR PUSTAKA
Arifinnetrirosa, Pemeliharaan kehidupan Budaya Kesenian Tradisional dalam Pembangunan
Nasional, Jurnal USU Repository Universitas Sumatera Utara, 2005, hal 6.

Enden Irma Rachawaty, ‘Nilai Estetika Dalam Sisingaan Di Kabupaten Subang’, NILAI
ESTETIKA, 5.3 (2013), 489–502.

Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Jawa Barat.
Tubagus Mulyadi, Sisisngaan Seni Kemasan Wisata di Kabupaten Subang, Vol 2 No. 2, hal
100

Mulyadi, T. 2003. Sisingaan Kemasan Wisata di Kabupaten Subang. Vol. 2 (2): 96-97.

https://blog.ugm.ac.id/2010/11/11/tradisi-sisingaan-di-subang/

http://www.berdikarionline.com/seni-sisingaan-simbol-perlawanan-rakyat-subang/

https://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan

http://blog.unnes.ac.id/rarassantikadewi/2017/09/24/kebudayaan-sebagai-sistem-kognitif-dan-sistem-
simbolik/

Anda mungkin juga menyukai