MANGKUNEGARA IV
Oleh :
Rois Romadhoni
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Abstrak
Serat Wedhatama adalah manuskrip Jawa yang di tulis oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Di dalamnya berisi tentang etika
dalam kehidupan bermasyarakat. Artikel ini lebih menekankan pada
kebatinan murni Jawa yang ada dalam Serat Wedhatama yaitu Sembah
Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa. Ajaran ini juga
hampir mirip dengan yang diajarkan orang sufi dalam agama Islam mereka
menyebutnya syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Hindu juga memiliki
ajaran yang sama yaitu artha, kama, dharma, dan muksa. Dalam karya ini,
Mangkunegara IV dapat menyatukan dalam diskursus yang berbeda antara
ajaran tradisional Jawa, ajaran Islam, dan ajaran Hindu. Serat Wedhatama
hadir sebagai bagaimana ciri khas masyarakat Jawa.
B. Sembah Raga
Dalam pemikirannya, etika religiusitas Mangkunegara IV pada
dasarnya sesuai dengan konsep musyahadah yakni melihat Allah dengan
mata hati, dan terlihat kesesuaian antara keduanya. Dalam spiritualitas Jawa
yang menempati lapisan paling dasar adalah tatacara panembah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara teoritis konsep sembah atau panembah
dikemukakan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.5 Konsep ini
dikaitkan dengan kemuliaan budi luhur dan kehinaan budi jahat. Sembah dan
budi luhur adalah dua hal yang menyatu, saling berkaitan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya.
Perjalanan hidup yang panjang diibaratkan sebagai seorang yang
menempuh perjalanan hidup kerohanian, sebagai orang yang menjalani tahap
awal kehidupan bertapa. Sembah ini didahului dengan bersuci yang
menggunakan air. Sembah raga adalah menyembah Tuhan dengan
mengutamakan gerak laku badaniah, atau amal perbuatan yang bersifat
lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan
4
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 81
5
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 96
menggunakan air (wudlu).6 Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali
sehari semalam, dengan mengindahkan pedoman secara tepat dan terus-
menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku
Pakartining wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang wektu
Wantu wataking wawaton.
6
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 82
7
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 4
8
Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis Dalam Pewayangan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), h. 71
fisiknya, dia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia
meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.
C. Sembah Cipta
Bersuci dalam ajaran Islam ada empat tingkat. Pertama, membersihkan
hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan
dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak
tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari
apa yang selain Allah. Cara bersuci inilah yang dilakukan nabi dan Sahabat.
Jika bersuci yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan
bentuk lahiriah berupa najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran
dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Bersuci yang ketiga dan
keempat inilah membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati
dari apa saja selain Allah.9
Bagi orang Jawa jalan menuju kehidupan sufisme dapat dilalui dengan
cara Sembah Cipta. Sembah cipta kadang-kadang disebut juga dengan istilah
sembah kalbu, seperti terungkap pada bait berikut:
Sumengko sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan nurapati
Patitis teteking kawruh
Meruhi marang kang momong.
11
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 23
12
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 83
yang mengantarkan kepada tujuan, bahkan merupakan jalan raya ‘sang raja
kerohanian’ yang tengah menjalani tarikat dan duluk dalam perjalanan
kerohaniannya (yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan
narapati).13 Sekalipun sembah kalbu lebih mengutamakan kesucian batin,
namun bukan berarti meniadakan peranan kebersihan dan kesucian lahir.
Oleh karena itu thaharah pada sembah raga perlu dihayati dan diberi makna
batin dalam sembah kalbu, sehingga taharah tersebut mengandung makna
lahir dan batin secara terpadu.14
Penyebab kegagalan menurut Mangkunegara IV, apabila ia selalu
menuruti kemauan pribadinya, mengharap apa yang diinginkan terpenuhi,
padahal begitu banyak keinginan itu yang biasanya karena dorongan hawa
nafsu, lalu menyebabkan lalai berdzikir. Jika hal yang demikian dituruti,
gagallah apa yang dicita-citakan. Maka hendaklah ia sadar dan waspada apa
yang menyebabkan gagalnya perjalanan mencapai tujuan.15
D. Sembah Jiwa
Pada perjalanan spiritual tertentu diharapkan seseorang dapat
memahami substansi ajaran kebatinan melalui sembah jiwa. Sembah jiwa
adalah sembah kepada Hyang Suksma dengan mengutamakan peran jiwa.
Jika sembah cipta mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus
dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau Al-ruh. Sembah ini
hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari, dilaksanakan
dengan tekun secara terus menerus seperti bait berikut:
Samengko kang tinutur
Sembah katri kang sayekti katur
Mring Hyang Suksma suksmanen sahari-hari
Arahen dipun kacakup
13
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 142
14
Ibid, h. 156
15
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 84
Sembah ing jiwa sutengong.
16
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 5
17
Haryanto, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Jakarta:
Djambatan, 1988), h. 76
18
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 85
karenanya masyarakat harus sadar bahwa mereka hanya melaksanakan
perintah. Yang terpenting adalah manusia harus mematuhi aturan Tuhan,
yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing.19
Pelaksanaan sembah jiwa adalah dengan berniat teguh dalam hati
untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya baik-baik untuk
diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang
telah dipegang pada saat itu. Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara
IV yang telah disebutkan, maka sembah jiwa ini menempati kedudukan yang
amat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir
perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah.20
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, dilihat dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat akhir perjalanan tersebut,
sedangkan sembah yang pertama adalah tingkat permulaan (wong amagang
laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat yang selanjutnya. Sedangkan
sembah yang ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir
kepada Allah.
E. Sembah Rasa
Struktur kepercayaan masyarakat Jawa, mencapai puncak mistik dapat
dicapai dengan sembah rasa. Sembah rasa ini berbeda dengan sembah
sebelumnya. Ia didasarkan pada rasa cemas. Sembah keempat ini adalah
sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta
alam, demikian menurut Mangkunegara IV. Beliau adalah sufi Jawa
sekaligus raja yang adil, ber budi bawa leksana yang telah mencapai sembah
19
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 85
20
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 160
rasa.21 Maksud ber budi adalah sikap seorang yang murah hati, suka
memberi ganjaran, dan selalu memikirkan kesejahteraan bawahan dan
rakyatnya.
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV dalam diri manusia
terdapat tiga buah alat batin yaitu kalbu, jiwa/ruh, dan inti jiwa/inti ruh
(telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan
urutan kedalaman dan kehalusannya. Pelaksanaan sembah rasa tidak lagi
memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah
sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya,
seperti dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur
Gantya sembah ingkang kaping catur
Sembah rasa kerasa rosing dumadi
Dadine wis tanpa tuduh
Mung kalawan kasing batos.
21
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 86
22
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 6
sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan
sembah rasa.23
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah
rasa sesuai arahan gurunya. Pada tingkat ini ian dipandang telah memiliki
kematangan rohani. Ciri-ciri orang yang sudah mencapai tingkatan sembah
rasa ini adalah anteng, meneng, jatmika, sembada, dan wiratama. Anteng
bermakna tenang, halus, indah tapi berbobot. Ada pepatah: air beriak tanda
tak dalam, air tenang menghanyutkan, yaitu larangan untuk meremehkan hal-
hal yang keliahatan remeh dan tak berdaya.24
F. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ajaran kebatinan dalam Serat
Wedhatama terdapat istilah sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa. Sembah raga adalah tahap yang pertama, yaitu manusia harus
mentaati dan hidup sesuai aturan agama dan menjalankan kewajiban dengan
sungguh-sungguh. Dengan mengakui dan mentaati aturan dari Tuhan makan
manusia sadar bahwa dia mengakui tentang ada-Nya.
Sembah cipta adalah tahap selanjutnya, dalam tahap ini segala tingkah
laku pada tahap pertama lebih ditingkatkan dan diperdalam. Dengan
bertaubat dan menyesali segala dosa, menjauhi larangan dan menjalankan
perintah Tuhan. Seseorang yang telah mencapai tahap ini ia akan sabar dan
tenang dalam segala tindakan. Di dalam dirinya terdapat keraguan dan
tawakal kepada keputusan serta ketetapan Tuhan.
Sembah jiwa adalah tahap yang sempurna, pencapaian pada tahap ini
diperoleh dengan mengenal Tuhan memlalui pengetahuan yang sempurna
dengan cara berdoa terus-menerus. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan
Daftar Pustaka
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis Dalam Pewayangan. 1994. Jakarta: Sinar
Harapan.
Ardhani. Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV. 1995. Semarang: Dahara
Prize.
Darmanto. Ajaran Hidup Serat Wedhatama. 1997. Surakarta: Cendrawasih.
Haryanto. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. 1988.
Jakarta: Djambatan.
Kamajaya, Karangan Pilihan KGPAA Mangkunegaran IV. 1992.
Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001.
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi,
Vol. 14, No. 1, (Yogyakarta: Januari 2017)
Suseno, Magnis. Etika Jawa. 1993. Jakarta: Gramedia.