Anda di halaman 1dari 13

AJARAN KEBATINAN DALAM SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA

MANGKUNEGARA IV

Dosen Pengampu : Dra. Hj. Siti Nur laili M, M. Hum.

Oleh :

Rois Romadhoni (161121003)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2020
AJARAN KEBATINAN DALAM SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA
MANGKUNEGARA IV

Rois Romadhoni
Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Abstrak
Serat Wedhatama adalah manuskrip Jawa yang di tulis oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Di dalamnya berisi tentang etika
dalam kehidupan bermasyarakat. Artikel ini lebih menekankan pada
kebatinan murni Jawa yang ada dalam Serat Wedhatama yaitu Sembah
Raga, Sembah Cipta, Sembah Jiwa, dan Sembah Rasa. Ajaran ini juga
hampir mirip dengan yang diajarkan orang sufi dalam agama Islam mereka
menyebutnya syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Hindu juga memiliki
ajaran yang sama yaitu artha, kama, dharma, dan muksa. Dalam karya ini,
Mangkunegara IV dapat menyatukan dalam diskursus yang berbeda antara
ajaran tradisional Jawa, ajaran Islam, dan ajaran Hindu. Serat Wedhatama
hadir sebagai bagaimana ciri khas masyarakat Jawa.

Kata Kunci : ajaran kebatinan, Serat Wedhatama, etika kehidupan


A. Pendahuluan
Pandangan dunia menurut masyarakat Jawa terletak pada anggapan
bahwa dibelakang gejala-gejala lahiriah terdapat kekuatan kosmis numinus
sebagai realitas sebenarnya, dan realitas manusia yang sebenarnya adalah
batinnya yang berakar dalam dunia numinus tersebut. Hidup manusia akan
berhasil jika ia dapat menyesuaikan diri dengan realitas itu, atau ia dapat jauh
menembus sampai padanya. Kriteria keberhasilannya pada akhirnya adalah
suatu keadaan psikologis, yaitu keadaan slamet, atau ketentraman batin yang
tenang. Nampak pula bahwa keadaan itu hanya dapat tercapai apabila kita
memiliki sikap batin yang tepat. Dengan pertanyaan tentang sikap batin yang
tepat itu, tergambarkan ciri khas etika Jawa.1
Seseorang yang telah memiliki kematangan batin, tidak takut dan was-
was lagi terhadap manunggalnya rohani pada keagungan Ilahi, yang ia
resapkan sedalam-dalamnya dan ia jelmakan kembali dalam suasana sunyi
sepi.2 Lalu ia simpan kembali dipusat terdalam lubuk hati. Pada saat itu
terbukalah tirai penutup antara ia dengan Tuhannya, sehingga dengan mata
hatinya ia dapat melihat Tuhannya, sekejap dan seolah-olah hanya dalam
jarak waktu antara sadar dan tak sadar. Dalam serat Wedhatama karya
Mangkunegara IV dikenal adanya istilah sembah raga, sembah cipta,
sembah jiwa dan sembah rasa yang merupakan perubahan bentuk kata
tasawuf Islam syariat, tarikat, hakikat, makrifat.3
Pada dasarnya keempat sembah tersebut dapat dikatakan sebagai
bentuk akulturasi kebudayaan. Ajaran taswuf Islam mengalami transformasi
dalam budaya Jawa. Mangkunegaran IV sebagai pujangga berusaha untuk
memasukkan unsur-unsur Islam lewat Serat Wedhatama. Dengan
menggunakan mentrum tembang macapat, maka ajaran sufisme Jawa yang
1
Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1993) h. 64
2
Kamajaya, Karangan Pilihan KGPAA Mangkunegaran IV, (Yogyakarta: Yayasan Centhini,
1992), h. 123
3
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 4
mengandung nilai keislaman itu dapat diterima oleh masyarakat secara
mengakar dan meluas. Syair-syair ajaran Serat Wedhatama merupakan bahan
refleksi spiritual.4
Berdasarkan latar belakang sebagaimana di atas, maka pembahasan ini
memiliki tujuan untuk mengungkapkan ajaran kebatinan dalam Serat
Wedhatama. Pembahasan ini meliputi dasar kebatinan, sembah raga, sembah
cipta, sembah jiwa dan sembah rasa. Dengan pembahasan secara spiritual ini
diharapkan akan mendapat pemahaman tentang substansi ajaran kebatinan
yang merupakan sumber kearifan lokal.

B. Sembah Raga
Dalam pemikirannya, etika religiusitas Mangkunegara IV pada
dasarnya sesuai dengan konsep musyahadah yakni melihat Allah dengan
mata hati, dan terlihat kesesuaian antara keduanya. Dalam spiritualitas Jawa
yang menempati lapisan paling dasar adalah tatacara panembah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara teoritis konsep sembah atau panembah
dikemukakan Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama.5 Konsep ini
dikaitkan dengan kemuliaan budi luhur dan kehinaan budi jahat. Sembah dan
budi luhur adalah dua hal yang menyatu, saling berkaitan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat-dekatnya.
Perjalanan hidup yang panjang diibaratkan sebagai seorang yang
menempuh perjalanan hidup kerohanian, sebagai orang yang menjalani tahap
awal kehidupan bertapa. Sembah ini didahului dengan bersuci yang
menggunakan air. Sembah raga adalah menyembah Tuhan dengan
mengutamakan gerak laku badaniah, atau amal perbuatan yang bersifat
lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan

4
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 81
5
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 96
menggunakan air (wudlu).6 Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali
sehari semalam, dengan mengindahkan pedoman secara tepat dan terus-
menerus, seperti bait berikut:
Sembah raga puniku
Pakartining wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang wektu
Wantu wataking wawaton.

Sembah raga adalah


Perbuatan orang yang sedang melakukan
Bersuci dengan air bening
Biasa disebut lima waktu
Saat yang sudah ditentukan.7
Sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Dengan kata lain
bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya, lima
kali dalam sehari semalam. Sembah lima waktu merupakan kewajiban yang
harus ditunaikan secara terus-menerus seumur hidup, dengan keharusan
memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani. Watak
suatu pedoman harus dipedomani.8 Tanpa mempedomani syarat dan rukun,
maka sembah itu tidak sah.
Salat lima waktu merupakan kewajiban yang harus ditunaikan setiap
muslim dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya, wantu wataking
wawaton. Watak suatu waton harus dipedomani, tanpa mempedomani syarat
dan rukun maka sembah itu tidak sah. Sembah raga tersebut meski lebih
menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek
rohaniah, sebab yang magang laku selain dia menghadirkan seperangkat

6
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 82
7
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 4
8
Hazim Amir, Nilai-Nilai Etis Dalam Pewayangan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), h. 71
fisiknya, dia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia
meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

C. Sembah Cipta
Bersuci dalam ajaran Islam ada empat tingkat. Pertama, membersihkan
hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan
dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak
tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari
apa yang selain Allah. Cara bersuci inilah yang dilakukan nabi dan Sahabat.
Jika bersuci yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan
bentuk lahiriah berupa najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran
dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Bersuci yang ketiga dan
keempat inilah membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati
dari apa saja selain Allah.9
Bagi orang Jawa jalan menuju kehidupan sufisme dapat dilalui dengan
cara Sembah Cipta. Sembah cipta kadang-kadang disebut juga dengan istilah
sembah kalbu, seperti terungkap pada bait berikut:
Sumengko sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan nurapati
Patitis teteking kawruh
Meruhi marang kang momong.

Sekarang sembah kalbu


Jika dibiasakan menjadi laku
Laku agung milik sang raja
Tepat sebagai sumber ilmu
Mengetahui kepada yang mengasuh.10
9
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 83
10
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 5
Manusia diciptakan Tuhan ialah untuk berbuat baik dan menjauhi
kejahatan, karena Tuhan hanya menyuruh apa yang baik dan melarang yang
jahat.11 Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan dan
keinginan yang tersimpan dalam hati. Maka kalbu berarti hati, jadi sembah
cipta disini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah
gagasan atau angan-angan.12
Secara keseluruhan makna Ingkang Akarya Jagat adalah yang
membuat dunia. Dunia raya seluruhnya ini diyakini oleh orang Jawa bahwa
ada yang menciptakan. Ilmu sangkan paraning dumadi menunjukan asal-usul
kehidupan dan tujuannya. Dunia pasti ada awalnya dan ada akhirnya. Namun
Sang Pencipta tanpa awal dan akhir, karena awal dan akhir hanya menguasai
makhluk.
Ingkang Murbeng Gesang adalah yang menguasai kehidupan.
Kepasrahan kepada yang menguasai hidup ini membuat orang Jawa tidak
risau terhadap segala jenis perubahan social yang sedang terjadi. Dalam
logika sederhana, penguasa pasti memiliki kasih saying terhadap yang
dikuasai atau makhluknya. Duka nestapa selalu dipahami sebagai ganjaran
dari Ingkang Murbeng Gesang.
Hyang Suksma Adiluwih artinya adalah Tuhan Yang Maha Lebih.
Segala yang ada di dunia ini selalu di bawah keberadaan Tuhan. Dengan
mengakui Yang Maha Lebih ini, orang Jawa menghindari sikap sombong.
Sebaik-baik makhluk dan sehebat-hebat ciptaan masih amat jauh disbanding
dengan kekuatan yang menciptakan.
Sembah cipta atau sembah kalbu adalah menyembah Tuhan dengan
lebih mengutamakan peranan kalbu. Sembah ini, seperti halnya sembah raga,
apabila dilakukan terus menerus secara teratur, juga dapat menjadi jalan

11
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 23
12
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 83
yang mengantarkan kepada tujuan, bahkan merupakan jalan raya ‘sang raja
kerohanian’ yang tengah menjalani tarikat dan duluk dalam perjalanan
kerohaniannya (yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan
narapati).13 Sekalipun sembah kalbu lebih mengutamakan kesucian batin,
namun bukan berarti meniadakan peranan kebersihan dan kesucian lahir.
Oleh karena itu thaharah pada sembah raga perlu dihayati dan diberi makna
batin dalam sembah kalbu, sehingga taharah tersebut mengandung makna
lahir dan batin secara terpadu.14
Penyebab kegagalan menurut Mangkunegara IV, apabila ia selalu
menuruti kemauan pribadinya, mengharap apa yang diinginkan terpenuhi,
padahal begitu banyak keinginan itu yang biasanya karena dorongan hawa
nafsu, lalu menyebabkan lalai berdzikir. Jika hal yang demikian dituruti,
gagallah apa yang dicita-citakan. Maka hendaklah ia sadar dan waspada apa
yang menyebabkan gagalnya perjalanan mencapai tujuan.15

D. Sembah Jiwa
Pada perjalanan spiritual tertentu diharapkan seseorang dapat
memahami substansi ajaran kebatinan melalui sembah jiwa. Sembah jiwa
adalah sembah kepada Hyang Suksma dengan mengutamakan peran jiwa.
Jika sembah cipta mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus
dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau Al-ruh. Sembah ini
hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari, dilaksanakan
dengan tekun secara terus menerus seperti bait berikut:
Samengko kang tinutur
Sembah katri kang sayekti katur
Mring Hyang Suksma suksmanen sahari-hari
Arahen dipun kacakup
13
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 142
14
Ibid, h. 156
15
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 84
Sembah ing jiwa sutengong.

Nanti yang diajarkan


Sembah ketiga yang sebenarnya
Diperuntukkan kepada Tuhan, hayatilah sehari-hari
Usahakan agar mencapai
Sembah jiwa ini anakku.16
Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orang Jawa, kehidupan
manusia merupakan bagian dari jagad raya secara keseluruhan, dan hanya
merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan jagad raya yang abadi.
Dalam Serat Jamus Kalimasada, ajaran kebatinan Jawa adalah sufi Jawa
yang utuh. Ia mengajarkan manunggaling kawula Gusti atau sangkan
paraning dumadi. Haryanto juga berpendapat, ajaran Jawa tentang
manunggaling kawula Gusti itu dapat diibaratkan sebagai rangka umanjing
curiga, tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya.17
Selanjutnya menurut ajaran Jawa, yang bertindak mencari sandang
pangan kita sehari-hari adalah Sadherek gangsal kalima pancer. Adapun jiwa
kita diibaratkan oleh ajaran Jawa sebagai mandor. Mandor harus berpegang
teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak
buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya bertindak
salah dan tindakan tersebut dibiarkan, maka mereka akan berbuat seenaknya.
Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.18
Tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Oleh karena itu
sedih, gembira, sehat dan sakit harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal ini
dapat dilihat pada ajarannya yang berbunyi: menurut perjanjian, manusia
adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk memperindah jagad raya. Oleh

16
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 5
17
Haryanto, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Jakarta:
Djambatan, 1988), h. 76
18
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 85
karenanya masyarakat harus sadar bahwa mereka hanya melaksanakan
perintah. Yang terpenting adalah manusia harus mematuhi aturan Tuhan,
yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing.19
Pelaksanaan sembah jiwa adalah dengan berniat teguh dalam hati
untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya baik-baik untuk
diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang
telah dipegang pada saat itu. Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara
IV yang telah disebutkan, maka sembah jiwa ini menempati kedudukan yang
amat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir
perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah.20
Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, dilihat dari segi
perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat akhir perjalanan tersebut,
sedangkan sembah yang pertama adalah tingkat permulaan (wong amagang
laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat yang selanjutnya. Sedangkan
sembah yang ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir
kepada Allah.

E. Sembah Rasa
Struktur kepercayaan masyarakat Jawa, mencapai puncak mistik dapat
dicapai dengan sembah rasa. Sembah rasa ini berbeda dengan sembah
sebelumnya. Ia didasarkan pada rasa cemas. Sembah keempat ini adalah
sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta
alam, demikian menurut Mangkunegara IV. Beliau adalah sufi Jawa
sekaligus raja yang adil, ber budi bawa leksana yang telah mencapai sembah

19
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 85
20
Ardhani, Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV, (Semarang: Dahara Prize, 1995), h. 160
rasa.21 Maksud ber budi adalah sikap seorang yang murah hati, suka
memberi ganjaran, dan selalu memikirkan kesejahteraan bawahan dan
rakyatnya.
Dengan demikian menurut Mangkunegara IV dalam diri manusia
terdapat tiga buah alat batin yaitu kalbu, jiwa/ruh, dan inti jiwa/inti ruh
(telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan
urutan kedalaman dan kehalusannya. Pelaksanaan sembah rasa tidak lagi
memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah
sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya,
seperti dalam bait berikut:
Semongko ingsun tutur
Gantya sembah ingkang kaping catur
Sembah rasa kerasa rosing dumadi
Dadine wis tanpa tuduh
Mung kalawan kasing batos.

Nanti saya ajarkan


Beralih sembah yang keempat
Sembah rasa yang menjadi inti hidup
Jadi sudah tanpa arahan
Hanya dengan kekuatan batin.22
Apabila sembah jiwa dipandang sebagai proses pencapaian tujuan
akhir perjalanan sukuk, pepuntoning laku, maka sembah rasa adalah sembah
yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu sendiri, melainkan sembah
yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik
telah tiba di tempat yang dituju. Disinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk
sampai disini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya. Setelah ia
diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki gerbang, tempat

21
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi, Vol. 14, No. 1,
(Yogyakarta: Januari 2017), h. 86
22
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001, h. 6
sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan
sembah rasa.23
Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah
rasa sesuai arahan gurunya. Pada tingkat ini ian dipandang telah memiliki
kematangan rohani. Ciri-ciri orang yang sudah mencapai tingkatan sembah
rasa ini adalah anteng, meneng, jatmika, sembada, dan wiratama. Anteng
bermakna tenang, halus, indah tapi berbobot. Ada pepatah: air beriak tanda
tak dalam, air tenang menghanyutkan, yaitu larangan untuk meremehkan hal-
hal yang keliahatan remeh dan tak berdaya.24

F. Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ajaran kebatinan dalam Serat
Wedhatama terdapat istilah sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa. Sembah raga adalah tahap yang pertama, yaitu manusia harus
mentaati dan hidup sesuai aturan agama dan menjalankan kewajiban dengan
sungguh-sungguh. Dengan mengakui dan mentaati aturan dari Tuhan makan
manusia sadar bahwa dia mengakui tentang ada-Nya.
Sembah cipta adalah tahap selanjutnya, dalam tahap ini segala tingkah
laku pada tahap pertama lebih ditingkatkan dan diperdalam. Dengan
bertaubat dan menyesali segala dosa, menjauhi larangan dan menjalankan
perintah Tuhan. Seseorang yang telah mencapai tahap ini ia akan sabar dan
tenang dalam segala tindakan. Di dalam dirinya terdapat keraguan dan
tawakal kepada keputusan serta ketetapan Tuhan.
Sembah jiwa adalah tahap yang sempurna, pencapaian pada tahap ini
diperoleh dengan mengenal Tuhan memlalui pengetahuan yang sempurna
dengan cara berdoa terus-menerus. Segala sesuatu milik Tuhan dan akan

Darmanto, Ajaran Hidup Serat Wedhatama, (Surakarta: Cendrawasih, 1997), h. 28


23

Haryanto, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, (Jakarta:


24

Djambatan, 1988), h.62


kembali kepada-Nya. Tahap ini disebut tahap keadaan mati dalam hidup, dan
hidup dalam mati. Maknanya adalah mati disini berarti mati hawa nafsunya.
Sembah rasa adalah tahap terakhir dan tertinggi, yaitu tahap antara
manusia dan Tuhan telah menyatukan diri dalam keadaan Ilahi atau keadaan
kemanunggalan dengan Tuhan. Dalam tahap ini, jiwa manusia semata-mata
terpada dengan jiwa semesta, dan tindakan manusia menjadi laku. Dalam
tahap ini manusia tidak akan tergoyahkan oleh suka-duka dunia. Singkatnya,
mereka yang telah meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia, pada
akhirnya akan memperoleh derajat khusnul khotimah.

Daftar Pustaka
Amir, Hazim. Nilai-Nilai Etis Dalam Pewayangan. 1994. Jakarta: Sinar
Harapan.
Ardhani. Pemikiran KGPAA Mangkunegara IV. 1995. Semarang: Dahara
Prize.
Darmanto. Ajaran Hidup Serat Wedhatama. 1997. Surakarta: Cendrawasih.
Haryanto. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang. 1988.
Jakarta: Djambatan.
Kamajaya, Karangan Pilihan KGPAA Mangkunegaran IV. 1992.
Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Kandjeng Pangeran Karyonagoro, 2001.
Purwadi, “Nilai Theologi Dalam Serat Wedhatama”, dalam Jurnal Diksi,
Vol. 14, No. 1, (Yogyakarta: Januari 2017)
Suseno, Magnis. Etika Jawa. 1993. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai