Anda di halaman 1dari 266

AKHLAK:

Transformasi Perilaku Terpuji

DAFTAR ISI
BAB 1
MUQADDIMAN
1. Takrif Akhlak
2. Ruang lingkup Ahklak
3. Hubungan Akhlak dengan Tauhid
4. Hubungan Akhlak dengan Syariah
5. Hubungan Akhlak dengan Tasawuf

BAB 2
METODOLOGI AKHLAK

BAB 3
PARADIGMA AKHLAK AL-QUR’AN
1. Akhlak Rabbaniyah
2. Akhlak Qur’aniyyah
3. Akhlak Nubuwah
4. Akhlak Insaniyah
5. Akhlak Ilmiyah
6. Akhlak Thabi’ah
7. Akhlak Amaliyah

BAB 4
POTENSI SPIRITUAL AKHLAK INSANI
1. Nafs
2. Akl
3. Ruh
4. Qolbu
BAB 5
SIFAT DASAR AKHLAH TERCELA
1. Hasud
2. Fajir
3. Fasik
4. Munafik
5. Kafir

BAB 6
AL-QUR’AN KISAH MANUSIA BERAKHLAK TERCELA
1. Firaun
2. Namruj
3. Abu Jahal
4. Abu Lahab

BAB 7
DERAJAT AKHLAK INSANI
1. Mukmin
2. Muslim
3. Muhsin
4. Muttaqin
5. Muarifin

BAB 8
AL-QUR’AN KISAH MANUSIA BERAKHLAK MULIA
1. Keluarga Imran
2. Maryam
3. Luqmanul Hakim
4. Ashhabul Kahfi
BAB 9
AKHLAK TELADAN PARA NABI
1. Nabi Adam
2. Nabi Ibrahim
3. Nabi Nuh
4. Nabi Luth
5. Nabi Ayyub
6. Nabi Musa
7. Nabi Isa
8. Nabi Muhammad

BAB 10
TIPOLOGI AKHLAK MASYARAKAT ISLAM
1. Masa Pra-Islam
2. Masa Kenabian Muhammad SAW
3. Masa Kepemimpinan Shahabat
4. Masa Kejayaan Islam
5. Masa Keruntuhan Islam
6. Masa kini

BAB 11
AKHLAK KEBAHAGIAAN HIDUP
1. Intrapersonal Relation
a. Patience (Sabar)
b. Gratifulness (Syukur)
c. Simplicity (sederhana)
2. Interpersonal Relation
a. Love (Cinta)
b. Giving (Memberi)
c. Forgiving (Memaafkan)
3. Spiritual Relation
Surrender (pasrah)
BAB 12
PENERAPAN AKHLAK PROFESI ISLAM
1. Akhlak Politik
2. Akhlak Psikologi
3. Akhlak Perdagangan
4. Akhlak Kesehatan
5. Akhlak Pendidikan
6. Akhlak Pertanian
7. Akhlak Pegawai

BAB 13
RENENGUN AKHLAK KLIMAKS
1. Renungan Kehidupan
2. Renungan Kematian
3. Renungan Kiamat
BAB 1
PENDAHULUAN

Kalau dianalogkan dengan kedudukan atau posisi


kebenaran dalam dunia keilmuan, bahwa tauhid/aqidah
merupakan ontologis, syariah merupakan epistemologis dan
akhlak merupakan aksiologis. Tauhid bekerja pada lapisan
makna dalam dan kedalaman makna, syariah merupakan lapisan
simbolistik dan pensimbolan atau emanasi dari aqidah dan
akhlak merupakan aksiologisnya. Dalamnya makna tidak
mungkin bisa dipahami tanpa tahu apa yang menjadi makna
dalam pada setiap kedalaman makna yang mendalaminya.
Hierarki kedalaman makna dikemukakan oleh Philip H. Phenix
(1964:28) yang menyebutkan adanya 6 tingkatan makna:
Pertama, makna simbolik (symbolics meaning) yaitu makna
yang berada pada bentuk ordinary languages, mathematics,
nondiscursive symbolic forms. Kedua, makna empirik (empirics
meaning) yaitu makna yang terkandung dalam bentuk physical
sciences, psychology, social sciences yang bersifat empirikal.
Ketiga, makna estetik, (esthetics meaning) yaitu makna yang
tercermin dalam bentuk music, virtual arts, arts of movement
and literature biasanya berkaitan dengan indah dan tidak indah.
Keempat, makna sinoetik (sinnoetics meaning) yaitu makna
yang terkandung dalam bentuk philosophy, psychology,
literature, religion, in their existential aspects yang merupakan
nilai subtansial. Kelima, makna etik (ethics meaning) yaitu
makna yang terkandung dalam berbagai norma atau nilai moral
tentang benar-salah, the varied special areas of moral and
ethical concerns. Keenam, makna sinoptik (synoptics meaning)
yaitu makna yang terkandung dalam fakta atau norma yang
sangat mendalam, metafisika, theologics, history, religion and
philoshopy, makna dibalik kebermaknaan yang bermakna.
Uraian tentang tingkatan makna atau arti sebagaimana di
jelaskan Phenix dalam pembahasan ini bukanlah untuk mencari
perbandingan tetapi untuk meneguhkan makna dalam level
manapun adanya, agar hidup kita tidak sekedar sesuap nasi
tetapi “life for meaning”. Kita harus bertekad hidup bisa
memberi arti bagi yang lain. Hidup lebih bermanfaat bagi orang
lain. Terlebih kehidupan di abad modern ini dimana sebagian
besar orang yang stress disebabkan karena kehilangan makna
hidup. Perubahan begitu cepat, pedoman begitu longgar, jalan
hidup tak lagi berpegang pada norma yang baku, semua serba
relatif, yang pada akhirnya kehilangan petunjuk jalan yang hakiki
(Zohar & Marshal, 2005:38-39). Keberakhlakan sebagaimana
yang akan diuraikan pada pembahasan berikutnya mudah-
mudahan dapat menjadi penawar bagi “hati yang gundah”
dengan hadirnya secercah cahaya kebenaran ilahiyah dengan
solusi akhlak qur’ani.
Untuk memahami betapa luhurnya kedudukan akhlak pada
struktur kedalam makna hidup sehingga hidup menjadi lebih
bermakna dan mampu memberi makna bagi kehidupan yang
lain dan bahkan lain kehidupan maka secara lugas, tegas dan
tandas akan dibahas pada uraian berikutnya.

A. Takrif Akhlak
Perkataan akhlak bukanlah sesuatu yang asing dalam telinga
kita sebab akhlak telah menjadi bahasa sehari-hari untuk
menggambarkan perilaku seseorang terutama yang
berhubungan dengan adat istiadat, moral, norma dan bahkan
terkadang budaya.
Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan akhlak?
Tulisan ini akan mengupas definisi akhlak secara etimologis dan
terminologis. Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab
yaitu kata khuluk yang artinya watak, kelakuan, tabiat, perangai,
budi pekerti, tingkah alaku atau pembiasaan. Al- Ghazali dalam
Ihya Ulum al-Din juz 3 hal 53 mendefinisikan akhlak adalah,
“suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seorang manusia yang
dari sifat tersebut akan timbul perbuatan yang mudah atau
gampang untuk dilakukan tanpa adanya pemikiran dan
pertimbangan lagi. Dan induk atau prinsip akhlak menurut al-
Ghazali (Ihya Ulumiddin, juz 3 hal 54) ada 4, yakni al-hikmah
(kebijaksanaan), as-syaja’ah (keberanian), al-iffah (penjagaan
diri) dan al-Adl (keadilan). Pendapat iman al-Ghazali tentang
akhlak didukung pula oleh pendapat Allport di era modern ini,
yakni trait) sifat adalah model prilaku yang bersifat umum dan
relatif menetap yang bersumber dari individu dalam berbagai
situasi dan kondisi. Trait merupakan kesiapan atau kekuatan
atau dorongan di dalam diri individu yang mendorong atau
mengarahkan perilaku dengan cara tertentu. Menurut Allport
orang yang memiliki sifat dermawan dalam situasi apapun akan
tetap dermawan dan konsisten dalam sifat kedermawanannya
(Muhammad Utsman Najati,2002:243).
Demikian pula definisi akhlak menurut Ibnu Waskawaih
merupakan ”, keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Menurut Muhammad al-
Hufiy 200:13) bahwa “akhlak merupakan kemauan (azimah)
kuat yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat yang
membudaya yang mengarah pada kebaikan dan keburukan”.
Dari beberapa definisi yang diurakan di atas, kiranya dapat
diambil kesimpulan secara umum sebagai berikut:
1. Akhlak merupakan perbuatan jiwa yang terefleksikan dalam
tindakan lahir. Akhlak lebih bersifat fenomenon, bentuk
perilaku nyata (ukuran yang muncul ke permukaan dan
dapat diamati), sedangkan nomenonnya merupakan
perbuatan jiwa yakni Iman. Jadi akhlak itu merupakan
perbuatan jiwa yang dimanifestasikan dalam perbuatan fisik,
lahiri, badani sebagai manifestasi dari keimanan.
2. Akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, ringan, senang, tenang tanpa harus melalui proses
berpikir terlebih dahulu, tindakannya sudah merupakan
perbuatan yang otomatik, refleks tanpa harus melalui
proses analisis, sintesis, pertimbangan maupun pemikiran.
3. Akhlak merupakan kekuatan intrinsik atau motif internal
untuk melakukan sesuatu hal tanpa membutuhkan pengaruh
eksternak atau ekstrinsik. Perbuatan akhlak merupakan
keputusan yang bersifat personal, individual, I bukan me,
juga bukan We tetapi benar-benar aku sebagai personal.
4. Akhlak merupakan tindakan yang dilakukan seseorang tanpa
rekayasa, kepura-puraan dan artifisial. Ia merupakan
perilaku asli bukan palsu, natur bukan nurture, batin bukan
lahir, berbentuk bukan bentukan, berwarna bukan diwarnai,
pokoknya asli, pen.
5. Akhlak terbentuk dalam rentang waktu panjang bukan tiba-
tiba, lama bukan segera dan hasilnya bersifat permanen,
eternal, abadi, stabil, establish, ajek, konstan, malar,
persisten dan ajeg atau konsisten. Sehingga untuk merubah
sebuah perbuatan yang sudah menjadi akhlak memerlukan
minimal 3 kali dari durasi dan intensitas masa
pembentukannya. Bila sebuah akhlak pembentukannya
memerlukan pengulangan 27.000 kali, maka menghapus
akhlak (mahmudah atau mazmumah) membutuhak 3 kali
lipatnya. Perhatikan cara Rasulullah menjadikan shalat
sebagai akhlak ummat Islam dengan perintah shalat sejak
usia 7 tahu dan dewasa 15 tahun, berarti ada masa
pembiasaan selama 8 tahun x 365 hari x 17 rakaat maka
hasilnya sebanyak 49.640 rakaat sebagai latihan atau
pembiasaan untuk menanamkan shalat sebagai perbuatan
akhlak (biasa, ketagihan dan nyaman).

B. Ruang Lingkup Akhlak


Kita mengenal sekurang-kurangnya dua pendekatan atau
ukuran dalam melihat sebuah subjek bahan ajar yang akan
dipelajari, dikaji dan diteliti, yakni berkaitan dengan kedalaman
(deepness) dan keluasaan (scope). Kedalaman materi
(deepness) berkaitan dengan daya jelajah materi dari yang
eksplisit menuju yang tacit, dari yang lahir kepada yang batin,
dari yang fisik kepada yang metafisik, dan dari horizontal
kepada yang vertical. Materinya bisa sama tapi kedalama kajian
yang berbeda. Ia bukan menekankan pada kuantitas tapi
menelisik pada kualitas. Karakter orang yang mempelajarinya
laksana seorang spesialis (tahu banyak tentang sedikit),
mendasar dan mendalam tapi parsial atau over spesialis.
Sedangkan pendekatan yang menekankan pada keluasan
biasanya lebih memperhatikan materi secara horizontal, lebar
bukan dalam, kuantitas dan bukan kualitas. Materi dikemas
dalam hubungannya dengan disiplin ilmu yang lain tetapi hanya
berbicara atau mempelajari irisan luar yang artifisial, kulit luar
saja bukan sel terdalam, tahu sedikit tentang banyak. Tipologi
orang yang mempelajarinya sering disebut generalis.
Namun bila ingin lebih dari sekedar mempelajari dan
mengkaji yakni memaknai maka masih ada pendekatan ketiga
yang mengintegrasikan keluasan dengan kedalaman, horizontal
tetapi sekaligus vertical. Karakter utama dari person yang
mampu mengintegralisasikan kedalaman dengan keluasan,
disebut integralis.
Pembahasan akhlak dalam tulisan ini mungkin bisa
diformulasikan dalam angka prosentase sebagai berikut: (a)
kedalaman materi mencapai 40%; (b) keluasaan materi 50 %
dan (c) pertimbangan struktur materi hanya 10%.
Akhlak merupakan perilaku menetap yang dimiliki oleh
setiap orang sebagai hasil bentukan yang dilakukan terus
menarus sehingga menjadi suatu perilaku yang permanen. Bila
pengertian itu yang dimaksud dengan akhlak maka cakupan
akhlak begitu luas. Menurut Muhammad Abdullah Draz dalam
bukunya Dustur al-Akhlak fi Islam membagi ruang lingkup akhlak
ke dalam lima bagian:
1. Akhlak Pribadi (al-Akhlak al Fardiyah), yakni mencakup (a)
yang diperintahkan (al-awamir), (b) yang dilarang (al-nahwi),
(c) yang dibolehkan (al-mubahah), (d) akhlak dalam keadaan
darurat (al-mukhlafah bi al-idhthirar).
2. Akhlak Berkeluarga (al-akhlak al-usuriyah), yang terdiri dari:
(a) kewajiban timbal bagi orangtua dan anak (wajibat nahwa
al-ushul wa al-furu), (b) kewajiban suami istri (wajibat baina
al-azwaj), (c) kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat
nahwa al-aqarib).
3. Akhlak Bermasyarakat (al-akhlak al-ijtima’iyyah) yang
mencakup: (a) yang dilarang (al-mahzhurat), (b) yang
diperintahkan (al-awamir) dan (c) kaidah-kaidah adab (al-
qawa’id al-adab).
4. Akhlak Bernegara (akhlak ad-daulah) yang terdiri atas: (a)
hubungan antar pemimpin dan rakyat (al-alaqah baina ar-
rais wa as-sya’b) dan (b) hubungab luar negeri (al-alaqat al-
khariyyah).
5. Akhlak Beragama (akhlak ad-diniyyah), yaitu kewajiban
terhadap Allah SWT (wajibat nahwa Allah).
Cakupan akhlak yang dikemukakan Muhammad Abdullah
meliputi seluruh aspek kehidupan secara dimensional,
mancakup keseluruhan dimensi kehidupan baik personal
maupun sosial, bernegara maupun beragama. Demikian pula
menurut Ahmad Azhar Basyri menjelaskan bahwa cakupan
akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan sesuai kedudukan
manusia sebagai mahluk individu, sosial, penghuni kosmos
besar. Sebagai sesama penghuni kosmor jagat raya manusia
memiliki kebergantungan simbiosis mutualima terhadap
mahluk lainnya seperti terhafap jin, syetan, hewan, tumbuhan,
alam, laut, gunung, sawah, kolah, sungai dan seluruh yang ada di
kosmos besar ini tempat manusia berkomunikasi, berinteraksi,
berinterelasi, dan tentunya bersinergi. Apabila manusia
melakukan kesalahan dalam hidup seperti maladaptation, de-
kulturalisasi, un-labour (nganggur), anti-sosial, non-partisivatif,
a-moral, krisis-kepercayaan, psedo-jujur, dan job-less.
Keseluruhan kesalahan perilaku dalam spektrum yang luas juga
merupakan bidang kajian tentang akhlak. Namun dalam buku ini
penulis membatasi kajian pada hal-hal yang dianggap ugrant
dan important serta memiliki korelasi atau urgensi dengan
kehidupan nyata. Kedepan penulis insya Allah akan membahas
cakupan akhlak yang lain sebagai episode lanjutannya.

C. Urgensi Mempelajari Akhlak


Akhlak dalam terminologi ilmu-ilmu Islam bukanlah
merupakan kategori ilmu temuan. Ilmu yang meski digali
terlebih dahulu baru mendapatkan isi. Harus dibongkar baru
kelihatan akar atau dipecahkan baru kelihatan isi dan bijinya.
Akhlak merupakan ilmu yang diberikan Allah secara gifted dan
embeded serta onboard pada setiap ayat-ayat Allah. Akhlak lahir
bersamaan dengan apapun yang Allah ciptakan. Ia merupakan
hukum kebenaran yang menyatu padu dengan semua yang ada
kemudian menjadi keadaan. Ia merupakan hukum alam, yang
paling dasar untuk sebuah kebenaran serta menjadi penentu
bagi keberlangsungan suatu keadaan.
Mempelajari akhlak bagi manusia bukanlah mempelajari
sesuatu yang tidak atau belum ada melainkan mempelajari yang
sudah ada tetapi kadang belum meng-ada, eksistensi tetapi
belum eksist. Ada tetapi tak menyadari keberadaannya atau ada
tetapi belum disadari keberadaannya sehingga manusia acapkali
mengada-ada. Sedangkan segala sesuatu yang diada-ada
bukanlah sebuah keberadaan tetapi kebohongan, kepalsuan dan
kamuflase yang artifisial.
Agar manusia tidak mempelajari yang benar dengan rasa
yang salah atau kebaikan dengan selera kekeliruan, merasa
sudah berakhlak padahal bukan akhlak yang shoheh maka perlu
bagi setiap insan mempelajari akhlak secara ilmiah dan
membiasakan keberakhlakan yang ‘allamiah serta berakhlak
yang alamiah, naluriah, natural dan amaliyah.
Ada beberapa urgensi, manfaat, hikmah, hasanah dan
hazanah mempelajari akhlak bagi setiap insan, antara lain:
1. Kesadaran Teologis bahwa berakhlak yang baik berarti
beraqidah yang lurus. Sebab kebaikan akhlak yang dimiliki
seseorang akan mengantarkan seseorang kepada
kerendahan hati, ketulusan raga dan kelegaan rasa dalam
menyatukan dirinya dengan Sang Pencipta. Ia akan
merasakan hakikat ucapannya sebagai aqwal Allah,
perbuatannya sebagai af’al Allah dan segala tindakanya
sebagai milik Allah.
2. Kebermaknaan Spiritual bahwa manusia yang senantiasa
berakhlak buruk, berbuat yang kotor, berpikir yang kasar
dan terus-menerus melanggar aturan Allah akan secara
otomatis merasa dan merasakan semakin jauh dari Tuhan,
semakin hampa secara spiritual dan semakin sempit dari
kebahagiaan personal dan sosial. Mengapa demikian?
Jawabannya, karena keberakhlakan akan bekerja secara
alamiah dan ilmiah, fundamental dan instrumental untuk
memposisikan, menetapkan dan meletakkan manusia pada
maqom alamiah dan kerangka hakiki sesuai dengan kodrat
alami penciptaannya. Memang hanya orang-orang yang
kafirlah yang kehilangan makna kehidupan, kebahagian,
ketenangan dan berputus asa terhadap rahmat Allah. Firman
Allah (QS. Yusuf *12+:87, artinya, “ … Sesungguhnya yang
berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang
kafir”.
3. Kelekatan Psikologis bahwa pada saat manusia kembali
diposisikan pada kodrat alaminya maka manusia akan
bertemu dengan hukum kebenaran awal yang manjadi roh,
spirit dan esensi bahan baku penciptaan manusia sebagai
insan ilahiyah. Oleh karena itu, bila manusia mengganti
kebenaran dengan kesalahan, kebaikan dengan keburukan,
pahala dengan dosa maka akan memunculkan keresahan,
lahir kegelisahan, nampak keputusasaan bahkan bisa
berujung pada bunuh diri. Mengapa hal ini terjadi?
Jawabannya karena manusia telah membunuh kodrat
alamiahnya sebagai mahluk yang memiliki fitrah kebaikan
dan diberi kecenderungan pada keburukan. Jadi berbuat
dosa, kesalahan dan kemunafikan hakekatnya merupakan
sebuah pembegalan, pemaksaan dan pemerkosaan dalam
bentuk kejahatan paling besar bagi pelanggaran fitrah
kemanusiaan.
4. Kekentalan Sosiologis bahwa pada saat manusia mencoba
untuk kembali pada perbuatan dosa maka tidak ada seorang
manusiapun yang menyukainya termasuk dirinya sendiri.
Mungkin, terkecuali manusia-manusia yang kerusakan fitrah
kebenarannya sudah sampai pada level kerusakan
permanen. Ia tidak lagi memiliki rujukan referensial pada
kebenaran hati nurani karena telah mengalami kerusakan
otak kiri yang teracuni sianida syaithoni. Sebagai bukti
empirik, meski seseorang dalam hidupnya tidak jujur,
pembohong, perampok, penggarong dan pembegal kelas
berat namun ia secara jujur tidak menghendaki anaknya
menjadi orang jahat atau sekurang-kurangnya usaha dia
tidak ingin dikelola oleh orang yang jahat, buruk, dan tidak
jujur seperti dirinya. Inilah sebuah bukti ilmiah dan empirik
bahwa keberakhlakan merupakan nilai kebenaran sosial
yang kolektif-akumulatif.
5. Kekokohan Edukatif bahwa manusia diciptakan dalam
kualitas yang paling sempurna. Ia memiliki potensi yang
paling memungkinkan untuk sampai pada puncak
keberakhlakan tertinggi wihdatul wujud, penyatuan diri
dengan-Nya. Karena itu, pendidikan hadir hakekatnya
bukanlah untuk mendoktrinkan, menanamkan,
mengindoskan dan menginjeksikan kebenaran atau
kebaikan tetapi mengaktivasi kebenaran dan menstimulasi
kebaikan agar menjadi kekuatan potensial yang
teraktualisasikan.
6. Kelenturan Metodologis bahwa mendidik manusia dengan
segala ragam potensi dan kekayaannya memerlukan
pemaknaan konseptual dan pemahaman metodologikal,
karena manusia itu mahluk hidup yang menghidup, mahluk
berada yang menyadari keberadaannya, mahluk berdosa
tapi sadar pada perbuatnnya serta mahluk berjalan yang
sedang menempuh perjalan kepada-Nya. Karena itu
pendidikan hendaknya memainkan peran secara optimal
untuk meningkatkan akhlak manusia dari good moral,
menuju best moral, terus dipacu untuk mencapai great
moral dan akhirnya berada pada grand moral.
Dari uraian singkat urgensi akhlak terlihat secara nyata
bahwa (1) mempelajari akhlak sama pentingnya dengan
mempelajari aqidah; (2) memiliki keberakhlakan yang baik sama
pentingnya dengan memiliki aqidah yang lurus; (3) menerapkan
akhlak yang buruk lebih sulit dari pada menerapkan akhlak yang
baik; (4) mengetahui keberakhlakan manusia sebagai naluri yang
bersifat bawaan, berakhlak bukanlah paksaan tapi kebutuhan
alamiah; (5) menjadi lebih optimis bahwa manusia akan sanggup
menjadi mahluk yang well educated (berakhlak mulia) ketika
menemukan cara yang terbaik.
D. Koneksitas Akhlak dan Aqidah
Akhlak tidaklah akan lahir tanpa aqidah. Perbuatan baik
yang dilakukan seseorang yang tidak didasarkan pada
kekokohan atau kebenaran aqidah tidaklah merupakan sebuah
akhlak, amal sosial. Ia hanyalah merupakan hadiah atau
pemberian biasa saja. Misalkan, ada seseorang yang bukan
beragama Islam tetapi karena ia orang yang dermawan maka
pada hari raya Idul Qurban menyerahkan 10 ekor sapi untuk
disembelih. Pertanyaannya apakah itu merupakan sebuah
peribadatan qurban seperti yang disyaratkan agama Islam?
Jawabanya, kalau bukan suatu ibadah berarti bukan akhlak juga.
Karena perbuatan akhlak dalam syariat Islam haruslah
didasarkan pada aqidah yang benar dan syariat yang tepat.
Kalau begitu perbuatan itu disebut apa? Jawabannya itu
perbuatan kebaikan, bukan kebenaran.
Islam menetapkan aqidah, syariah dan akhlak sebagai satu
kesatuan yang utuh. Ia hanya bisa dibedakan tetapi tak bisa
dipisahkan. Aqidah memang posisinya sebagai fondasi atau akar
dan syariah sebagai batang sedangkan akhlak sebagai buahnya.
Aqidah itu tidak terlihat oleh kasat mata (bagai akar) tapi
dampaknya terlihat di batang (syariah) dan pada buah (akhlak).
Tak ada buah lebat tanpa batang yang kokoh dan sekaligus tak
ada batang yang kuat tanpa akar yang kokoh. Itulah hubungan
akhlak dengan aqidah yang merupakan irisan besar dan arsiran
benar.
Dalam pandangan Islam, meski seseorang dalam kehidupan
sehari-hari berperilaku yang baik, sopan, santun, ramah, jujur,
rajin dan seterusnya tetapi jika tidak beriman atau ingkar (kafir),
menutupi kebenaran Allah maka tidak termasuk manusia yang
berakhlak mulia. Mengapa tidak berakhlak mulai? Jawabannya
karena ia tidak memiliki landasan keimanan yang kuat untuk
memastikan ketercukupan berakhlak yang baik kepada Allah.
Apa akhlak yang baik kepada Allah? Jawabnya beriman, tunduk
dan taat hanya, sekali lagi hanya kepada-Nya dengan sepenuh
hati. Kualitas ketaatan ini digambarkan seperti taatnya malaikat
kepada Allah atau mahluk lain yang tanpa penolakan atau
pengingkaran dan ketaatan penuh menyeluruh (kaffah).
Hanya saja manusia, terkadang memilih jalan yang justru
terlarang untuk diikuti. Pilihan di jalan terlarang, tidak taat
kepada Allah dinamai kafir (ingkar) atau jamaknya kufaar
(menutupi, menyembunyikan atau mengingkari). Mahluk yang
ingkar dimata Allah meski sehebat apapun amaliyah insaninya
adalah mahluk yang dhalim. Sebagaimana firman Allah dalam
(QS. Al-Baqarah [2]:254), “…. Dan orang-orang yang kafir itulah
orang-orang yang dhalim”. Ia beramal tapi tidak beriman. Ia
bagai bersuami-isti tetapi tidak diikat aqad nikah terlebih dahulu
maka perbuatannya itu bukan hanya batal tetapi batil. Contoh
lain, seseorang setiap hari ikut kuliah tetapi ia tidak terdaftar di
perguruan tinggi tersebut maka ia tidak bisa disebut mahasiswa
dan tidak bisa pula bisa menjadi sarjana.
Dalam perspektif Islam. kedhaliman manusia kepada Allah
merupakan sebuah perbuatan dosa yang paling besar dan satu-
satunya dosa yang tidak akan mendapat pengampunan-Nya.
Tidak ada bentuk kedholiman yang paling berat dan berkarat
bahkan berkawat duri selain sebuah perlawanan dan
keangkuhan mahluk kepada al-Kholik dalam bentuk kekafiran
atau kemusyrikan. Kepada orang yang tidak pernah berdo’a saja
Allah menyebutnya mahluk yang sombong apalagi kepada
manusia yang ingkar kepada-Nya. Ia bukan hanya sombong
tetapi sumbang dan sekaligus sumbing.
Dalam al-Qur’an begitu tersebar banyak ayat yang
berkaitan dengan sifat, ciri dan karakter dari orang-orang kafir.
Bahkan ada satu surat dalam al-Quran yang disebut surat al-
Kaafirun (orang-orang kafir). Ada beberapa karakteristik orang-
orang kafir yang disebutkan dalam al-Qur’an, antar lain:
1. Seburuk-buruk binatang. Orang kafir menurut Allah bukan
sekedar binatang tetapi merupakan sosok mahluk yang
paling buruk atau serendah-rendahnya seperti hewan.
Firman Allah dalam (QS al-Anfaal [8]:55), artinya, “
Sesungguhnya binatang (mahluk) yang paling buruk disisi
Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka tidak
beriman”.
2. Penghuni neraka. Orang-orang kafir karena keingkarannya
akan dibalas dalam siksaan yang paling pedih dan perih
yakni api neraka. Firman Allah (QS al-Maidah [5]:86) artinya
“Dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami,
mereka itulah penghuni neraka”.
3. Hatinya Tertutup. Orang-orang kafir sampai kapanpun akan
berada dalam kekafirannya baik diberi peringatan maupun
tidak diberi peringatan. Firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]:6-7)
artinya “ Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi
mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka,
mereka tidak akan beriman”. Allah telah mengunci mati hati
dan pendengaran dan pada penglihatan ada penutup. Dan
bagi mereka ada siksa yang amat pedih”.
4. Mengingkari hukum Allah. Kewajiban utama manusia atau
mahluk kepada al-Khalik sebenarnya hanyalah satu, yakni
ketaatan kepada-Nya. Taat artinya tunduk patuh terhadap
semua perintah dan larangan yang Allah tetapkan. Bagi siapa
saja yang menetapkan perkara di luar hukum Allah maka itu
kafir. Artinya mengingkari perintah-Nya. Firman Allah (QS.
Al-Maidah [5]:44), artinya, “ Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir”.
5. Membenci al-Qur’an. Pada saat mendengar bacaan al-
Quran ada sekelompok manusia yang begitu bencinya, ia
adalah orang-orang kafir. Firman Allah (QS. Al-Hajj [22]:72),
artinya, “Hampir-hampir mereka (yasthuuna) menyerang
orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami dihadapan
mereka”.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat ditarik
kesimpulan bahwa (1) aqidah dan akhlak memiliki hubungan
baku yang saling menentukan. Keduanya merupakan hubungan
antara faktor diterminan yakni aqidah dan faktor dominan yakni
akhlak; (2) karena kedua-duanya bagai gula dan manis, maka
tidak ada pemahaman akhlak yang buruk melainkan aqidah yang
lemah sehingga tidak mencukupi untuk berakhlak yang baik; (3)
aqidah merupakan fondasi bagi akhlak seseorang. Ia akar dari
pohon yang berbuah lebat, manis, cantik, harum serta bernutrisi
yang tinggi bahkan mengandung antioksidan yang dapat
mencegah lahirnya keburukan atau datangnya penyakit; (4)
aqidah dan akhlak memiliki hukum resiprokal yang ideal. Aqidah
yang kuat pasti menguntungkan untuk lahirnya akhlak yang baik
dan akhlak yang baikpun akan terus menyuburkan akar, bagai
daun yang jatuh ke tanah dan menjadi pupuk bagi akar (aqidah).
Jika tidak terjadi demikian pastikan ada sesuatu masalah
mendasar satu diantaranya atau kedua-duanya; (5) aqidah dan
akhlak memiliki hubungan genetis. Dalam beraqidah sudah
otomatik ada DNA akhlak. Ia tidak dilahirkan tetapi melahirkan.
Ia tidak dibawa tetapi membawa. Ia tidak diberi rasa tetapi
berasa, tidak juga diberi warna tetapi berwarna, tidak diberi
aroma tetapi beraroma dan seterusnya.

E. Relevansi Akhlak dan Syari’ah


Islam dalam cakupan besar meliputi aqidah, syariah dan
akhlak. Aqidah sebagai fondasi bangunan yang bisa
menentukan apakah bangunan itu kuat atau tidak. Di atas
fondasi yang kuat tegaklah bangunan yang kokoh dan di bagian
atas diberikan genteng atau atap sebagai pelindung atas
kekokohan bangunan dari berbagai ancaman serta menambah
cantik arsitekturnya.
Kita acapkali menemukan cara berpikir orang yang keliru,
bahwa “ yang penting berakhlak baik, dari pada shalat tapi
akhlaknya buruk, dari pada berkerudung tapi akhlaknya buruk,
lebih baik tidak berkerudung tetapi berakhlak yang baik”.
Ungkapan ini terasa benar, padahal salah. Mengapa salah?
Karena Islam tidak memisahkan antar akhlak dengan syariah.
Salah satu tujuan ditetapkannya syariah adalah untuk membuat
pelakunya berakhlak mulia. Jika orang yang melakukan syariah
tetapi akhlaknya tidak baik maka itu berarti ada masalah pada
pelaksanaan syariahnya, yakni pada orang yang melakukannya.
Sebagai contoh salah satu tujuan disyariatkannya shalat (QS. Al-
Ankabut [29]:45) adalah untuk mencegah seseorang (pelaku
shalat) terhindar dari perbuatan fahsya dan munkar (dhalim
terhadap diri dan orang lain). Bila shalat belum bisa mencegah
seseorang dari perbuatan dhalim maka dapat dipastikan ada
masalah pada pelaku shalatnya bukan pada shalatnya. Bisa jadi
shalatnya lalai (al-Maun [107]:4) atau shalatnya hanya sebatas
formalitas. Shalat tetapi tidak bisa mengundang jiwa,
mengandung sukma, menghadirkan spirit, mendatangkan
esensi, dan menjiwai makna seluruh syariat shalat. Meski
shalatnya belum bisa menjaga pelakunya dari fahsya dan
munkar, namun apakah shalatnya harus dihentikan?
Jawabannya, tidak. Karena yang salah bukan shalatnya tetapi
pelakunya.
Dalam al-Qura’n begitu bertebaran ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan syariat tetapi senantiasa digandengkan
dengan akhlak, seperti : Shalat digandengkan dengan menjaga
fahsya dan munkar (QS. Al-Ankabut [29]:45), puasa
digandengkan dengan takwa (QS. Al-Baqarah [2]: 183). Haji
dikaitkan dengan akhlak, “Barang siapa yang melakukan haji,
maka hendaklah ia tidak berkata kotor, tidak melakukan
kefasikan dan tidak bertengkar pada waktu haji (QS. Al-Baqarah
[2]:197). Zakat akan menjadi sia-sia bila menyakiti penerimanya
dan hilang pahalanya, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan) si penerima,
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada
manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian
(QS.al-Baqarah [2]:264). Demikian faktanya bahwa hal yang
teologis senantiasa digandengkan dengan yang praktis, teori
dengan aksi, fondasi dengan strategi, gula disatukan dengan
manisnya dan garap dengan asinnya.
Begitu pula banyak hadits yang mengemukakan pentingnya
akhlak dalam kehidupan seperti hadits yang diriwayatkan dari
Jabir: Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling aku cintai
dan yang paling dekat denganku kedudukannya di surga adalah
orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling aku benci
adalah orang-orang yang pongah, sombong dan takabur (Kanz
al-Ummal, hadits nomor 8402). Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW
berkata kepada “Abdullah ibnu Mas’ud: wahai Ibnu ‘Ummi Abd,
tahukan engkau mukmin yang paling utama imannya? Ia
menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Rasulullah bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya, yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti
orang lain. Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman
sebelum dia mencintai orang lain seperti mencintai dirinya
sendiri dan sebelum tetangganya aman dari gangguannya”,
(Kanz al-Ummal, 8403).
Begitu dekatnya akhlak dengan syariah maka dalam
beberapa pembahasan para ahli memasukan akhlak sebagai
syariah dalam pengertian yang umum. Menurut Athiyah Fayyad
syariat adalah seluruh hukum-hukum yang dibebankan Allah
kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada mereka dalam
wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya. Syaikh Abdul Karim Zaidan
mendefiniskan bahwa syariat mencakup seluruh aktivitas
manusia, dengan menggunakan padanan kata syariat adalah
kata millah dan ad-diin. Hukum-hukum yang disyariat Allah
adalah syariat dari segi sumber, deskripsi dan kelurusannya dan
disebut ad-diin dari segi kepada siapa ketundukan dan
peribadatan ditujukan serta disebut millah dari segi perintah
pelaksanaanya bagi manusia.
Syariah diartikan sebagai aqidah dikemukakan oleh Syaikh
Syaltut yang menyatakan bahwa syariah merupakan aturan
(nidham) yang disyariatkan oleh Allah untuk mengatur
hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan
manusia dengan sesama muslim dan non muslim, hubungan
manusia dengan alam dan kehidupan secara utuh. Sedangkan
syaikh Ibnu Taimiyah (asy-Syar’u al-Mu’awwalu), syariat
dihadapkan dengan istilah fiqih. Fiqh sebagai hukum yang
dihasilkan melalui ijihad sedangkan syariat merupakan perintah
yang jelas dengan tidak memerlukan ijtihad.
Jalaluddin Rakhmat (2007:153) menggambarkan sebegitu
dekatnya akhlak dengan syariat, maka dalam perumuskan
hukum-hukum fiqh tidak boleh melanggar lima prinsip utama
kemaslahatan ummat, yakni:
1. Memelihara agama, tidak boleh ada ketetapan fiqh yang
menimbulkan rusaknya keberagamaan seseorang.
2. Memelihara jiwa, tidak boleh ada ketetapan fiqh yang
mengganggu jiwa orang lain atau menyebabkan orang lain
menderita.
3. Memelihara akal, tidak benar ketetapan fiqh yang
mengancam akal sehat, menghambat perkembangan ilmu
pengetahuan atau membatasi kebebasan berpikir.
4. Memelihara keluarga, tidak boleh ada ketetapan fiqh yang
menimbulkan rusaknya sistem keluarga seperti hubungan
orangtua-anak.
5. Memelihara harta, tidak boleh ketetapan fiqh yang
menimbulkan perampasan kekayaan tanpa hak.
Demikian gambaran hubungan erat, lekat dan padat yang
saling mengikat antara Akhlak dengan syariat yang hebat dan
hemat. Setiap syariah berdimensi akhlak dan setiap akhlak
berkompetensi syariah. Ketika syariah dilakukan maka DNA-nya
akan bermutasi ke akhlak dan ketika akhlak dilakukan
genetiknya akan merambat ke syariah. Kedua-duanya diamalkan
akan senantiasa saling sinergi dan berintegrasi dengan
koherensi yang harmoni.

F. Hubungan Akhlak dan Taswuf


Dalam beberapa Fakultas Keagamaan acapkali tasawuf
disandingkan dengan akhlak sebagai sebuah kajian, yakni Akhlak
Tasawuf. Namun apa makna sebenarnya dari penggabungan
itu? Apakah mampu membedakan akhlak dengan Tasawuf? Dan
apa makna ketika sudah manjadi akhlak-tasawuf? Ada sebuah
ilustrasi yang bisa menggambarkan apa yang dimaksud dengan
hubungan antara akhlak dan tasawuf. Seorang guru sufi
mengatakan;” kalau engkau pergi ke masjid untuk shalat Jumat
di awal waktu dan berada di shaf terdepan dengan tujuan
supaya nampak alim dan berpahala unta, itu namanya syirik.
Sebab engkau beribadah bukan karena Allah. Sebaliknya, jika
kau pergi ke masjid untuk jumatan datang paling akhir dan di
shaf akhir agar tidak dipandang sok alim maka itu riya namanya.
Demikian pula jika kau datang dipertengahan dan duduk di shaf
tengah agar tidak menimbukan swasangka apapun baik dari
dalam dirinya atau dari orang lain maka itu artinya engkau
sahuun/lalai”.
Ilustrasi itu menggambarkan perilaku berakhlak yang
sudah sampai pada tingkatan tasawuf, bila bisa dipahami
dengan benar. Semua peribadatan, perilaku atau amaliyah yang
dijalankan bukan karena Allah atau masih ada motif lain dalam
hatinya meski hanya sedikit maka itu termasuk amaliyah yang
belum sampai pada tasawuf. Bila hanya pemenuhan unsur luar,
kaifiyat atau keterukuran lahir maka itu bisa jatuh pada hukum
fiqh. Namun bila amaliyah itu sudah menjadi perilaku yang
memperhitungkan dampak keutamaan dan kebaikan bagi orang
lain maka itu artinya akhlak. Sedangkan apabila amaliyah itu
sudah menjadi perbuatan batini, kehadiran hati dan suci dari
berbagai motif selain karena Allah, maka itu artinya tasawuf.
Ilustrasi penambah, menurut Ibnu Athoillah as-Sakandary,
seorang sufi dari Alexandria dalam kitab Syarah Hikam
menyatakan, “ ketika seorang hamba merasa dirinya tidak
sombong maka saat itulah justru puncak kesombongan tengah
berlangsung, sebab perasaan tidak sombong merupakan
kesombongan itu sendiri”. Tetapi bila Anda berani untuk rendah
hati ketika menghadapi orang-orang yang sombong maka itu
akhlak. Namun bila Anda menghadapi sombong dengan
kesombongan maka itu Fiqh”. Bila kesombongan dihadapi
dengan rendah hati dan bersyukur, karena sikap sombong itu
bukan pada dirinya sendiri, tapi pada orang lain maka itu lebih
dekat kepada tasawuf.
Bila Anda menjadi makmum dalam shalat tarawih dengan
imam tarawih jumlah rakaatnya berbeda dengan kebiasaan
Anda, kemudian Anda membatalkan shalat tarawih maka itu
Anda berbuat dalam fiqh mindstream. Akan tetapi bila Anda
terus melaksanakan shalat tarawih sampai tamat dengan
perasaan nyaman maka itu artinya amaliah Anda berada di level
akhlak mindstream. Namun bila Anda melakukan tarawih
dengan tanpa mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan
jumlah rakaatnya, melainkan ibadah karena Allah, dengan
mensucikan hati dari segala perbedaan, maka Anda berada pada
maqom tasawuf mindstream.
Orang-orang yang berada dalam maqom sufi (bertasawuf),
secara personal, sisi kemanusiaanya tidak lagi memiliki
kehendak selain kehendak Allah. Ia sudah memasrahkan semua
kehendak kepada kehendak-Nya dan ia meleburkan sepenuhnya
kehendak dirinya kepada kehendak-Nya, Ia tidak lagi memiliki
kehendak selain kehendak yang bersumber dan datang dari-
Nya. Ia menerima sepenuh takdir sebagai suatu kebajikan
ilahiyah yang harus diterima dengan tulus. Kalau dilevel akhlak
ibadah itu masih berharap surga tetapi dilevel tasawuf hanyalah
berharap ridha-Nya, meski ibadah yang begitu tulus justru Allah
membalasnya dengan neraka itu tidak apa-apa. Mereka akan
tetap ikhlas yang penting berada dalam naungan ridha Allah.
Bukan surga atau neraka tetapi meraih ridho Allah yang paling
utama di atas segalanya.
Bila harus disimpulkan apa yang menjadi pikiran utama
hubungan akhlak dengan tasawuf maka hal yang bisa
diungkapkan adalah sebagai berikut:
1. Akhlak merupakan landasan Teosofis dalam perjalan
akumulasi pencapaian derajat tasawuf. Meski seseorang
belajar fiqh bila dapat mencapai maqom tasawuf maka itu
kemungkinan besar fiqhnya sudah terlampaui. Artinya fiqh
sudah berada pada level akhlak fiqh atau moral fiqh.
2. Akhlak menjadi landasan Teologis untuk mempermudah
seseorang memahami, menemukan dan menerima jalan
kebenaran Tuhan yang hakiki sehingga kamar gelap tasawuf
sudah dibukakan melalui pintu masuk akhlak.
3. Akhlak menjadi kekuatan Spiritual yang memberikan energi
batin bagi tumbuh suburnya benih-benih kesucian batin
dengan penghayatan ruhaniah yang mendalam.
4. Akhlak menjadi asas Filosofis bagi ketersambungan akal logis
dengan akal batin yang menjadi sumber harmoni terjadinya
perkawinan spiritual-filosofis.
5. Akhlak menjadi keampuhan Edukatif bagi seseorang untuk
bisa menerima peningkatan kualitas pembiasaan baik
kepada kualitas pensucian kebaikan dan pensucian kualitas
kebaikan. Sehingga lahir karakter manusia yang terus belajar
mendekatkan diri agar berdekatan untuk memperoleh
kedekatan aktif yang resiprokal antara dirinya dengan diri-
Nya.
6. Akhlak menjadi ketepatan Metodologis bagi pembiasaan
baik yang dilakukan seseorang untuk mempermudah
pencapaian derajat pensucian diri yang telah diawali oleh
pengosongan diri dari berbagai dosa. Perjalanan tasawuf
hanyalah berusaha untuk mengisi, menghiasi dan menjaga
kesucian diri dari berbagai tindakan amaliyah yang bisa
mengotorinya. Tasawuf menjaga agar air tetap bening meski
dalam wadah kotor sekalipun. Air tetap bening dan tidak ada
yang mengotori wadahnya. Air tetap bening meski kotoran
menghampirinya. Air tetap bening meski air yang bening
ingin merubahnya.
7. Akhlak menjadi kehebatan Aksiologis, tentu saja bagi
seseorang yang telah terbiasa dengan amaliyah perbuatan
atau tindakan yang positif, adaptif dan perspektif dalam
mindstream akhlak untuk beralih ke amaliyah arus kuat
tasawuf, tidaklah terlalu sulit karena banyak memiliki
frekuwensi yang berdekatan.
Pada saat akhlak dan tasawuf disandingkan maka makin
terasa lezatnya masakan untuk membangkitkan selera makan
dan gairah kehidupan. Wanginya semerbak membahana dan
nutrisinya merasuk mengisi bagian-bagian tubuh secara apik dan
memberikan energi kehidupan yang penuh gairah, sarat hikmah
dan langgeng hidmah. Ketika keduanya diaktivasi sanggup saling
melengkapi dan bersedia saling menggenapkan. Demikianlah
kalau terjadi perkawinan antara Raja dengan Permaisuri sang
bidadari dari surgawi yang abadi, rasanya mudah untuk saling
mengisi dan saling mewarisi.
G. Relasi Akhlak dan Moral
Kita acapkali dihadapkan pada beberapa istilah yang mirip
atau hampir sama, sekurang-kurangnya nampak sama sehingga
dianggap sama padahal berbeda. Serupa tapi tak sama. Beda
tetapi memiliki banyak kemiripan. Ketika penelusuran untuk
mencari perbedaan justru semakin banyak ditemukan
persamaannya. Karena itu, istilah moral sering kali
ditukarpakaikan dengan istilah etika, budi pekerti, adab sopan
santun dan bahkan akhlak.
Moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos
(jamaknya mores) yang artinya kebiasaan, adat istiadat, norma,
perilaku atau budi pekerkti yang berkaitan dengan keyakinan
terhadap sesuatu salah atau benar, baik atau buruk pada
tatanan norma yang hidup subur dalam budaya masyarakat
tertentu. Moral menjadi ukuran baik-buruk dan benar-salahnya
perilaku seseorang dalam bersosialisasi, berkomunikasi dan
berinteraksi untuk memperoleh sinergi antara aku dan kamu,
aku dengan mereka dan aku dengan norma yang ada. Karena
itu, perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat yang
kurang atau tidak dapat diterima dengan baik disebut amoral.
Artinya tidak bermoral, tidak beretika, tidak berkesopanan, tidak
layak diterima perilakunya karena bertentangan dengan nilai-
nilai luhur yang dianut, dipegang teguh, dihargai, dijunjung
tinggi oleh suatu komunitas budaya masyarakat tertentu.
Apa yang menjadi sumber utama nilai moral? Budaya
merupakan sumber utama moral. Karena itu setiap Negara,
suku bangsa atau etnis memiliki moral tersendiri disamping
moral yang bersifat universal. Bahkan sekalipun nilai moral
sudah diklaim sebagai nilai moral suatu etnis tetapi dalam
kenyataannya terkadang merupakan nilai moral universal yang
berlaku di seluruh bangsa meski kadar dan bentuknya berbeda-
beda. Contoh nilai larangan moral 5 M dalam budaya Jawa:
Mabok (minuman keras), Mateni (membunuh), Madon (main
perempuan) Maling (mencuri, korupsi), dan Main (judi). Kelima
simbol moral ini hampir di semua bangsa, etnis suku
menyepakati sebagai nilai moral yang positif untuk dihindari
atau dijauhi, meskipun ada beberapa larangan yang tidak
merupakan larangan dengan kekuatan yang sama. Mabok bagi
suku atau etnis tertentu kadang bersifat larangan longgar tetapi
untuk mateni (membunuh), maling (mencuri), dan madon
(lacur) merupakan larangan yang hampir disepakati oleh seluruh
bangsa atau etnik yang merupakan pelanggaran moral berat.
Memperhatikan kedekatan spirit antara akhlak dengan
moral maka kiranya dapat disimpulkan beberapa hubungan
resiprokal kedua disiplin ilmu itu sebagai berikut:
1. Kedekatan Paradigmatik, baik akhlak maupun moral, kedua-
duanya memiliki arus besar pada keyakinan nilai-nilai utama
sebagai sumber pegangan perbuatan baik-buruk atau benar-
salah. Nilai-nilai utama yang diyakini itu beralih dalam
tahapan tertentu menjadi kekuatan paradigmatik yang
dianut secara ketat oleh suatu komunitas.
2. Kelekatan Edukatif dimana kedua-duanya akan menjadi
sebuah perilaku yang menetap setelah proses internalisasi
nilai-nilai utama untuk kemudian menjadi nilai yang
terindividukan (personalisasi) secara lekat, kental dan
bersenyawa dengan dirinya sendiri. Keadaan ini menjadi
entry point bagi terbentuknya watak, kepribadian atau
karakter yang menjadi pembeda utama antara individu yang
satu dengan yang lainnya.
3. Kemiripan Metodologis, pembentukan moral atau akhlak
dibangun dalam rentang panjang yang beriringan antara
moral knowing dengan moral acting, pengetahuan akhlak
dengan praktek berakhlak untuk kemudian menjadikan
moral kehidupan yang mendarah daging, menyatu raga,
meleburkan jiwa sehingga tidak lagi butuh pertimbangan
untuk melakukannya.
4. Keserupaan Aksiologis, ketika akhlak dan moral sudah
beralih menjadi sebuah tindakan dalam kehidupan nyata,
sulit dibedakan indikator atau fenomenanya. Sebab kedua-
duanya ketika sudah menjadi perilaku tidak lagi menyatakan
basis value-nya, karena niat sebagai motif awal dan tujuan
sebagai motif akhir merupakan perbuatan yang
tersembunyi. Sisi peluang untuk membedakan paling hanya
tersedia pada cara melakukannya, itupun tidak sepenuhnya
mudah untuk dilakukan secara akurat.
5. Kesamaan Evaluatif, ketika moral dan akhlak harus
dievaluasi maka keduanya bersifat subjektif, karena moral
dan akhlak bersifat personal. Evaluasi bisa dilakukan dalam
bentuk reflektif atau kalau ingin yang bersifat teoretik bisa
menggunakan teori responsive naturalistic.
Karena kebenaran moral itu konstektualisasi budaya
sedangkan kebenaran akhlak paradigmatik ilahiyah maka
pertemuan keduanya tersambung dengan pertimbangan
situasional yang tentatif. Namun apapun keadaannya kebenaran
akhlak tidak menjadi relatif atau diskursif karena siatusi yang
menghimpit atau menjadi ambigu karena waktu yang tidak
menentu. Sekali lagi, kebenaran akhlak karena keadaan, tidak
berubah secara esensial atau bergeser menjadi segmental atau
parsial sehingga terkelupas dari akar muara kebenar-Nya.
Perubahan akhlak hanya ada pada seni menerapkan sebagai
bagian dari strategi yang gradual secara aktual tetapi inti pokok
isinya tidak mengalami perubahan.

H. Interaksi Akhlak dan Karakter


Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada dua tawaran
pendekatan pendidikan yakni akhlak atau karakter atau akhlak
yang berkarakter atau karakter berakhlak. Bagi pihak yang
komitmen berpikirnya pada nilai religius maka akhlak menjadi
pilihan utama bagi pendidikan. Sedangkan bagi pihak yang
komitmen berpikirnya pada nilai-nilai budaya maka karakter
menjadi pilihan utama bagi pendidikan. Namun selain dua
mazhab dan manhaz yang berpikir diametral, pro-kontra, ada
juga pemikiran konvergen yang menyatukan nilai subtantif
akhlak dengan karakter sehingga menemukan titik kesamaan
esensial yang mempersatukan dan menyatukan, untuk saling
melebarkan dan meleburkan.
Karakter merupakan sifat batin, kata hati atau hati nurani
yang mempengaruhi cara berperasaan, berpikir, berkata,
bertindak, merespons masalah, mengekpresikan rasa (marah,
bahagia, galau), mengatur, mempersepsi dan mengelola waktu,
menilai dan memanfaatkan kekurangan dan kelebihan diri,
mengatur, mempersepsi dan mengelola pekerjaan sampai hal-
hal terkecil sekalipun. Karakter merupakan sifat batin seseorang
yang telah terinternalisasi dan terpersonalisasi yang tidak
terlihat oleh kasat mata tetapi mewarnai, mempengaruhi dan
menentukan setiap tindakan seseorang. Karakter bersifat
menetap sebagaimana watak atau kepribadian yang dihasilkan
dalam rentang waktu yang panjang dengan pembiasaan puluhan
ribu kali pengulangan. Ibrahim el-Fiky merilis hasil penelitiannya
bahwa “pembentukan sebuah karakter memerlukan
pengulangan lebih dari 27.000 kali pembiasaan”. Sebuah akhlak
sebagaimana karakter memerlukan pembiasaan yang terus-
menerus hingga sampai tertanam jauh pada pikiran alam bawah
sadar. Bila suatu perbuatan masih memerlukan pertimbangan
atau analisa untuk dilakukan atau tidak dilakukan, itu belum
termasuk dalam definisi karakter atau akhlak. Karena belum
internalized baru ter-internalization, personalization tapi belum
personalized, belum terpribadikan tetapi baru proses
pempribadikan.
Mengapa Karakter penting? Sebab karakter akan
memengaruhi peta keseluruhan kehidupan atau kepribadian
seseorang. Menurut George Boggs (dalam Jefferson Center,
1997), dalam penelitian tentang karakter yang dikaitkan dengan
kesuksesan seseorang dalam berbisnis, ternyata hanya ada 3
faktor yang berkaitan dengan kecerdasan dan 10 faktor lainnya
berkaitan dengan karakter moral, seperti:
a. Jujur dan dapat diandalkan
b. Bisa dipercaya dan tepat waktu
c. Bisa menyesuaikan diri dengan orang lain
d. Bisa bekerjasama dengan atas
e. Mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan
meningkatkan diri
f. Berpikir bahwa dirinya berharga
g. Bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif
h. Bisa bekerja mandiri dengan supervisi minimum
i. Dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesi
j. Mempunyai kemampuan dasar (IQ)
k. Bisa membaca dengan pemahaman memadai (IQ)
l. Mengerti dasar-dasar matematika/berhitung (IQ)
Faktor penentu keberhasilan dari gambaran hasil penelitian
itu, diyakini akan terjadi juga pada akhlak. Artinya bahwa akhlak
akan menjadi faktor penentu bagi keberhasilan seseorang.
Bahkan bukan hanya penentu keberhasilan tetapi menentukan
hidup dan matinya seseorang. Dari ‘Ali As., ia berkata: Tujuh
orang tawanan dihadapkan kepada Nabi SAW dan beliau
memerintahkan ‘Ali untuk memenggal leher mereka. Turunlah
Malaikat Jibril. Ia berkata:” Hai Muhammad, penggallah leher
yang enam tetapi jangan penggal kepala yang ini. Nabi SAW
bertanya: Wahai Jibril, mengapa? Jibril menjawab: ia orang yang
berakhlak baik, dermawan dan senang membagi makanan.
Rasulullah Saw bertanya: Hai Jibril, apakah ini datang darimu
atau dari Tuhanmu? Jibril berkata: Tuhanku memerintahkan aku
untuk itu” (Kanz al-‘Ummal 8401).
Demikian kisah yang terjadi pada zaman Nabi Musa As.,
“Suatu waktu ada sekelompok orang (bapak-bapak) yang akan
pergi mengambil kayu bakar, diperjalan bertemu dengan
seorang kakek tua (ia Nabi Musa). Kakek itu berkata, “bapak-
bapak silahkan lanjutkan perjalanmu tetapi ingat ada satu orang
yang nasibnya akan dimangsa ular besar”. Merekapun
melanjutkan perjalannya karena tak percaya pada ucapan kakek
itu. Mereka mengambil kayu bakar dan masing-masing
mengikatnya dengan kencang. Pada perjalan pulang bertemu
lagi dengan kakek tua tadi. Para pembawa kayu bakar berkata,
“Kakek bohong, sebab tidak ada seorangpun yang dimakan ular,
ketemu ularpun tidak”. Kakek tua itu meminta semua berhenti
dan masing-masing membuka ikatan kayu bakarnya. Pada satu
ikatan itu, ditemukan ular besar dan semua kaget. Kakek tua itu
berkata, “sesungguhnya dialah yang harusnya dimangsa ular”.
Kakek tua itu kemudian bertanya, “apa yang Anda lakukan?”. Si
pemikul kayu bakar itu bercerita, “bahwa pada saat saya
berangkat untuk mengambil kayu bakar, saya menemukan
seorang anak kecil sedang menangis, kemudian saya hampiri
ternyata anak itu nangis karena kelaparan”. “Kemudian saya
berikan sepenggal roti yang saya bawa”. Kakek tua itu spontan
berkata, “sepenggal roti itulah yang menyelamatkanmu dari
mangsaan ular besar”.
Merujuk pada uraian yang telah dituliskan, kiranya dapat
diambil kesimpulan apa yang menjadi irisan antara akhlak
dengan karakter, sebagai berikut:
1. Karakter, pembentukan akhlak atau karakter
membutuhkan integrasi total dari keseluruhan esensi
pendidikan mulai dari coaching, training, intructing,
teaching, educating dan terutama edu-caring.
2. Sumber, nilai-nilai akhlak maupun karakter sudah tertanam
dalam diri setiap orang sebagai potensi bawaan yang
embedded atau fitrah pada yang hanif, cenderung pada
kebenaran. Pendidikan hadir untuk mengaktivasi potensi-
potensi akhlak atau karakter baik agar teraktualisasikan
dalam kehidupan nyata sehari-hari.
3. Tujuan, baik akhlak maupun karakter memiliki tujuan
menghasilkan kepribadian yang terbaik dengan sifat-sifat
positif yang menetap, melembaga, dan menginstitusi dalam
diri seseorang sehingga menjadi watak atau karakter.
4. Proses, baik akhlak atau karakter ditanamkan melalui
proses yang intensif dalam waktu yang sangat panjang
dengan konsistensi yang tinggi, agar tidak membuat ambigu
atau kontraproduktif atau melahirkan pertentangan nilai
sehingga membuat sebuah proses menjadi kurang efektif.
5. Evaluasi, baik akhlak maupun karakter tidak tepat hanya
dievaluasi dari aspek kognitifnya saja, melainkan lebih
diutamakan dari aspek afektif dengan karakter dasar psiko-
motorik, yaitu menilai perilaku, tindakan, amaliyah dari
yang nampak, nyata, konkret tetapi membutuhkan
penyeleman psiko-nya, motif, latar belakang atau kerangka
nilai dibalik semua tindakan.
BAB 2
METODOLOGI KAJIAN AKHLAK

A. Metodologi Kajian Akhlak


Memahami akhlak sebagai seperangkat pengetahuan
memerlukan metode tersendiri. Tentu saja terdapat banyak
metode, cara atau paradigma yang dikembangkan untuk
mengkaji, memandang dan menganalisis fenomena hazanah dan
hasanah akhlak. Para ulama Islam mengajukan metode tasawuf
dengan ragam derivasinya, yakni tasawuf irfani (mistik-gnosis),
tasawuf akhlaqi (moral-etik praktis) dan tasawuf falsafi
(filosofis), dalam memandang realitas kekayaan akhlak.

1. Metodologi Tasawuf
Tasawuf dapat menghadirkan makna dalam atau spiritual
dari sekedar akhlak sebagai perilaku lahiriah. Sehingga
metode ini dapat membukakan keterkaitan yang mendalam
dan mendasar antara tahuid/keimanan sebagai basic value
yang menjadi landasan pijakan utama akhlak. Dapatlah
dikatakan bahwa tidak akan ada akhlak tanpa keimanan atau
tauhid sebagai akar tegaknya batang yang menghasilkan
buah. Iman pokok keyakinannya, Islam syariatnya dan Ihsan
akhlaknya. Keadaan seperti inilah yang memperjelas posisi
akhlak, yang terlahir dari dasar keyakinan dan dilatih dalam
bersyariat serta diwujudkan dalam perilaku akhlak. Jika
suatu kebaikan lahir tetapi tidak dari dasar keimanan yang
benar serta tidak dibangun atas jalan bersyariat yang tepat
maka itu bukanlah akhlak. Mungkin hanya sebatas amal
sosial. Terma akhlak jelas harus terlahir dari induk semang
tauhidullah yang dicontohkan dengan perbuatan Rasulullah
dan terlahirlah akhlak dalam pengertian yang sebenarnya
sebagai kebajikan dan kebaikan islami. Alih-alih pemahaman
sederhananya, akhlak itu tauhid yang diwujudkan dalam
perilaku kehidupan nyata. Memang antara keimanan dan
akhlak itu tanpa jarak, sebagaimana firman Allah dalam (QS.
al-Hajj *22+: 14) artinya, “ Sesungguhnya Allah memasukan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh ke
dalam surga-surga yang di bawahnya sungai-sungai. Di
surga itu mereka diberikan perhiasan dari gelang emas dan
mutiara dan pakaian mereka dari sutera”. Iman dan akhlak
benar-benar dua sisi mata uang, bisa dibedakan tetapi tak
bisa dipisahkan. Bila salah satunya lepas terkelupas atau
hilang tak terbilang maka menjadi tidak berharga lagi.
Demikian pula orang beriman tapi akhlaknya buruk menjadi
tidak bermakna dan kehilangan wibawa.
Sebagai contoh tentang shalat. Shalat itu sebenarnya
menggambarkan tiga sisi yang utuh yakni tauhid, syariah dan
akhlak. Menurut tasawuf irfani shalat dapat dipahami dalam
tiga pengertian (al-Munawwar, 2005: 330-332). Pertama,
shalat adalah instrumen tertinggi keimanan untuk
senantiasa tersambung dengan Tuhan, memiliki koneksitas
ilahiyah, (QS. Thaha [20]:14) “… Dan laksanakanlah shalat
untuk mengingat Aku”. Kedua, salat sebagai syariat (QS. an-
Nisa [4]: 103), artinya, “Sungguh shalat sebagai kewajiban
yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman”.
Ketiga, shalat sebagai filar yang menjaga pelakunya dari
perbuatan fahsya dan munkar, (QS. al-Ankabut [29]:45),
artinya, “… Dan laksanakanlah shalat dan sesungguhnya
shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Sebagai ilustrasi penegas, misalnya jika shalat sudah suci
dari hadas, menutup aurat, menghadap kiblat, bacaannya
benar, kaifiyatnya tepat, berada dalam waktunya maka itu
sudah syah (minimal menurut Fiqh/syariat) tetapi belum
banyak menyentuh tujuan shalat (moral shalat fahsya dan
munkar). Jika shalat ingin menjangkau dimensi akhlak maka
hendaknya menghadirkan perbuatan batin (motif akhlak)
yaitu khusuk dan ikhlas serta tafakkur (dari, dengan, oleh,
untuk, di dalam dan di luar shalat). Sebagaiman firman Allah
dalam (QS. al-Maun [107]:1-7) artinya, “1. Taukah kamu
orang yang mendustakan agama? 2. Maka itulah orang
yang menghardik anak yatim. 3. Dan tidak menolong
memberi makan orang miskin. 4. Maka celakalah orang
yang shalat. 5. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya.
6. Yang berbuat ria dan 7. Dan enggan memberikan
bantuan”. Surat al-Maun sebenarnya mengandung indikator
yang jelas bahwa ciri orang yang lalai terhadap shalatnya ada
empat yakni menghardik anak yatim, tidak menolong orang
miskin, berbuat ria dan kikir enggan memberi bantuan yang
bermanfaat.
Pertama, dalam perspektif metodologi Tasawuf Akhlaqi
(moral-etik praktis) membahas seputar adab, etika atau
akhlak yang harus ditempuh seseorang dalam melakukan
sesuatu perbuatan, agar memenuhi syarat amal yang sah,
agar shalatnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah.
Ada 5 persyaratan utama beramal: Pertama, Prasyarat yakni
kaidah, ketentuan, aturan yang menjadi penentu boleh tidak
bolehnya suatu amal dilakukan, misalnya shalat
prasyaratnya (muslim, dewasa, normal). Kedua, Syarat yakni
segala aturan yang menentukan diterima tidaknya sebuah
amal, misalkan shalat syarat syahnya (niat, suci dari hadas,
menutup aurat, menghadap kiblat) dan seterusnya. Ketiga,
Niat yakni motif dasar dan awal yang mengantarkan sesuatu
itu mengapa dilakukan. Keempat, Tujuan yakni motif utama
yang mendorong untuk apa sesuatu itu dilakukan. Kelima,
Cara yakni pertimbangan yang menentukan bagaimana
sesuatu itu dilakukan. Tasawuf irfani ini memberikan
pertimbangan apa perbuatan itu layak, patut, dan wajar
dalam hal pemenuhan kepantasan secara adab, etika,
akhlak. Contoh seorang laki-laki shalat dengan memakai
sarung dan ke badan bagian atas hanya kaos dalam di
sebuah masjid besar dengan banyak orang (berjamaah).
Bagaimana penilaian Anda? Syahkah shalatnya? Dan apa
yang dipandang tidak pantas dari perbuatan itu?
Kedua, tasawuf falsafi (filosofis) memahami realitas
sebagai sebuah sistem simbol. Beberapa ulama yang
mengembangkan cara pandang filsafat dalam memahami
ajaran Islam antara lain Arabi dan al-Razi. Arabi berangkat
dari tradisi tasawuf yang memadukan metodenya dengan
paradigma filsafat. Sedangkan al-Razi berangkat dari tradisi
tafsir al-Quran melalui pendekatan metode filsafat.
Keduanya menghasilkan produk yang sama dalam hal
metodologis, yakni metodologi filsafat.
Misalkan dilihat dalam metodologi falsafi, shalat tidak
sebatas aturan-aturan fikih, perangkat mistik maupun sistem
akhlak individu. Shalat adalah seperangkat sistem simbol;
kode moral. Ada sejumlah nilai esensial di balik realitas yang
nampak dalam bangunan ajaran shalat. Nilai-nilai tersebut
mengatasi atau melampaui aspek luar maupun aspek dalam
dari ajaran shalat. Dalam kaitan ini, shalat merupakan simbol
hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan dan
hubungan horizontal antara sesama mahluk bahkan
hubungan diagonal dengan mahluk yang lainnya. Pada
tingkatan ini peribadatan (shalat) sudah sampai kepada
simbol shalat sebagai sistem nilai akhlak yang melampaui
formalistik, legalistik dan ritualistik.
2. Metodologi Hermeneutik
Metode hermeneutic merupakan suatu metode
pemahaman yang melampaui tekstualitas teks (beyond the
text); pemahaman yang berusaha menembus lorong-lorong
tersembunyi dan tak tersentuh perhatian (kajian) yang
bersifat legal formal. Metode hermeneutik berupaya
menggali atau menguak hal-hal yang tak terpikirkan
(unthinkable) dari realitas suatu yang bersifat teks.
Menurut Umar (2002: 3), teori hermeneutik terutama
digunakan untuk menafsirkan teks-teks klasik dan
menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Di sini,
tugas sang penafsir (pembaca teks) sangatlah berat, sebab
ketika sebuah teks klasik hadir di hadapannya, sebaiknya dia
mampu masuk ke dalam lorong masa silam, seolah-olah
sezaman dan akrab dengan sang pencetus atau pengarang
teks, memahami kondisi obyektif geografis, ekologis dan
latar belakang sosial budayanya. Karena setiap penulis teks
merupakan anak zamannya. Selanjutnya, tugas pembaca
melakukan kegiatan verstehen, yaitu memahami dengan
penuh penghayatan terhadap teks, ibarat sang pembaca
keluar kembali dari lorong masa silam, lalu mengambil
kesimpulan. Masa silam itu sendiri harus dianggap sebagai
sebuah teks dan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dengan teks itu sendiri.
Palmer (1969: 3) memahami hermeneutik sebagai proses
menelaah isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah
teks sampai kepada makna yang terdalam dan tersembunyi.
Sumaryono (1999: 25-26) mengartikan hermeneutik sebagai
proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi tahu (mengerti). Sedangkan Hidayat (2003: 11)
mengartikan hermeneutik sebagai sebuah disiplin filsafat
yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan
understanding of understanding (pemahaman atas
pemahaman atau teori pemahaman) terhadap teks, yang
datang dari kurun waktu, tempat serta situasi sosial yang
asing bagi para pembacanya.
Berdasarkan kutipan ini, diketahui bahwa penekanan
utama dalam tradisi hermeneutik adalah pemahaman dan
komunikasi. Hal itu bertujuan untuk menempatkan bahasa
pada sebuah pemahaman atau pandangan bersama. Secara
umum, paradigma hermeneutik adalah penafsiran teks-teks
tradisional, di mana problem utama yang selalu
menghadang adalah bagaimana memahami konteks sesuatu
yang tercatat dalam situasi yang berbeda. Dengan demikian,
secara terminologis, hermeneutik bermakna teori
pemahaman atau seni memahami (the art of
understanding). Dalam kaitan ini, hermeneutik sepadan
dengan makna interpretasi (tafsir), yang berarti memahami,
menjelaskan, menguraikan atau menafsirkan.
Perbedaannya, secara konsepsional, interpretasi merupakan
pemahaman atau penafsiran yang terbatas (dangkal) pada
aspek-aspek tekstualitas sebuah teks, sedangkan
hermeneutik melampaui makna tekstual (lahir) dari sesuatu.
Secara semantik, hermeneutik dan interpretasi sepadan
maknanya, yakni pemahaman atau penafsiran.
Berkaitan dengan pengertian konseptual hermeneutik,
Hanafi (1994: 1) mengungkapkan bahwa hermeneutik bukan
hanya sebuah seni interpretasi dan teori pemahaman, tapi
juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu dari tingkat
kata ke tingkat realitas, dari logos ke praxis. Interpretasi
selalu berakhir di dalam praksis.
Hanafi (2001: 205) mengungkapkan bahwa penafsiran
(dalam pengertian hermeneutisnya) tidak dapat lepas dari
empat konsep berikut: pertama, penafsiran tak hanya
mendeduksikan maknanya dari teks, tapi juga menariknya
dari realitas; bukan sekedar menjelaskan, tapi juga
memahami; kedua, penafsir bukan sekedar penerima
(konsumen) makna, tapi juga pemberi (produsen atau
creator) makna; ketiga, penafsiran bukan sekedar
menganalisis (mengkaji) sesuatu, tetapi juga mensintesiskan.
Menafsirkan adalah melihat nilai-inti (core-value) atau
substansi dari sesuatu; dan keempat, menafsirkan adalah
menemukan sesuatu yang baru di antara hal-hal yang sudah
ada; menambahkan sesuatu yang belum diketahui atau
digali (dieksplorasi). Menafsirkan merupakan upaya
memasuki teks secara lebih mendalam sesuai dengan tingkat
kesadaran dan pengetahuan. Menafsirkan hampir identik
dengan menulis sebuah teks yang baru.
Terkait dengan hakikat penafsiran, Derrida (Piliang,
2002: 5) membedakan dua cara penafsiran: pertama,
penafsiran restropektif (restropective), yakni upaya untuk
merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau original;
kedua, prospektif (prospective) yang secara eksplisit
membuka pintu bagi indeterminasi makna, di dalam sebuah
permainan bebas (free play). Di satu pihak, ada
kecenderungan untuk melihat ke belakang sebuah teks,
yakni mencari makna-makna transenden atau metafisisnya;
di pihak lain ada tawaran untuk melihat ke depan, yakni
mencoba untuk memberikan tafsir-tafsir baru dari sebuah
teks, dengan melepaskan diri dari setiap bentuk determinasi
transendensi, logosentrisme dan tanda-tanda ketuhanan.

3. Metodologi Takwil
Dalam tradisi intelektual Islam, metode yang hampir identik
dengan hermeneutik, terutama dalam ciri khasnya yang
melampaui pemahaman tekstual adalah metode ta’wil. (a)
Metode ta’wil secara etimologis, takwil berasal dari awwala-
yu'awwilu-ta'wil artinya kembali atau mengembalikan
kepada yang asal; artinya mengembalikan suatu teks kepada
makna aslinya. Sedangkan secara istilah, ta'wil adalah
memalingkan lafadz dari makna yang kuat (al-rajih) atau
makna lahir kepada makna yang lemah (al-marjuh) atau
makna batin (al-Qaththan, 1973: 325-326). Selain metode
ta’wil, sejarah intelektual Islam juga melahirkan metode
pemahaman lain terhadap teks-teks keagamaan yang lebih
bersifat tekstual (lahiriah teks).

4. Metodologi Tafsir
Dalam tradisi intelektual Barat, metode tafsir dalam Islam
identik dengan metode eksegesis (exegesist method) atau
teori interpretasi (interpretation theory) dalam pengertian
umum. Secara etimologis, istilah tafsir berasal dari kata
fassara-yufassiru-tafsiran yang artinya membuka (al-kasyf),
menerangkan dan menjelaskan (al-idlah wa al-tabyin) (al-
Shabuni, 1985: 65) yang memberi pengertian bahwa
terdapat sesuatu yang belum atau tidak begitu jelas dan
memerlukan keterangan serta penjelasan lebih jauh,
sehingga menjadi terang dan jelas. Dalam al-Quran, kata
tafsir atau al-tafsir hanya disebutkan sekali saja, yaitu dalam
surat al-Furqan ayat 33 (Nawawi, 2002: 6). Tafsir juga
bermakna memperlihatkan (al-idzhar) dan membuka
sesuatu yang tertutup (kasyf al-mughthi); atau menjelaskan
(al-ibanah), membuka (al-kasyf) dan memperlihatkan arti
yang masuk akal (idzhar al-ma'na al-ma'qul) (al-Qaththan,
1973: 323).
Secara terminologis, tafsir didefinisikan oleh para ulama
dengan rumusan yang berbeda-beda, tapi dengan arah dan
tujuan yang sama. Al-Zarkasyi (al-Shabuni, 1985; al-
Qaththan, 1973; al-Zarkasyi, tt; al-Suyuthi, tt)
mendefinisikan tafsir sebagai ilmu untuk mengetahui
pemahaman kitab Allah (al-Quran) yang diturunkan pada
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang
terkandung di dalamnya. Sedangkan al-Zarqani (tt: 3)
mendefinisikannya sebagai ilmu yang membahas tentang al-
Qur'an al-Karim dari asfek petunjuknya (dalalah-nya) atas
maksud Allah (atau, dari asfek persoalan makna yang sesuai
dengan kehendak Allah) berdasarkan tingkat kemampuan
manusia. Sedangkan menurut al-Tauhidi (al-Qaththan, 1973:
324), tafsir adalah ilmu yang membahas tentang aturan
main (rule of games/kaifiyyat) mengucapkan lafad-lafad al-
Quran, (membahas) petunjuk-petunjuk (madlulatiha),
hukum-hukum, secara terpisah (ifradiyyah) maupun teratur
(tarkibiyyah), dan makna-maknanya yang tercakup oleh
kondisi keteraturan serta berbagai pelengkap untuk hal
tersebut.

5. Metodologi Semiotik
Pengkajian atas suatu fenomena sebagai sebuah simbol-
bermakna atau kode-bernilai, mendorong filsafat
hermeneutik untuk mengadopsi teori semiotik sebagai
bagian tak terpisahkan dari metode hermeneutik-simbolik.
Teori semiotik merupakan teori tentang tanda (sign) dan
merupakan bagian integral dari kajian linguistik (bahasa),
yakni bahasa sebagai suatu sistem tanda atau sistem simbol.
Dalam epistemologi semiotik, dikenal tiga konsep-kunci
utama (primary key-word), yaitu tanda atau simbol (sign),
petanda atau eksisten yang ditandai (signified) dan penanda
atau pelaku yang menandai (signifier). Peletak pertama
dasar-dasar teori semiotik adalah Agustine. Tetapi sosok
yang secara sistematik merumuskan teori semiotik dan
dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern (the Founder of
Modern Linguistics) (Trigg, 1985: 189) adalah Saussure yang
kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para penerusnya
seperti Barthes, Pierce, Kristeva, Derrida, Arkoun, dan lain-
lain.
Secara etimologis, kata semiotik diadopsi dari bahasa
Yunani, semeion yang berarti tanda (Silverman, 1995: 72).
Sedangkan secara terminologis, semiotik (semiotics)
didefinisikan oleh Saussure dalam Course in General
Linguistics sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial. Implisit dalam definisi
Saussure adalah sangat bergantungnya semiotika pada
aturan main/kode yang berlaku di dalam masyarakat,
sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.
Teks (text) adalah satu wujud penggunaan tanda dalam
kehidupan sosial, yaitu berupa kombinasi atau kumpulan
dari seperangkat tanda-tanda, yang dikombinasikan dengan
cara tertentu (code), dalam rangka menghasilkan makna
tertentu (meaning) (Piliang, 2002: 1).
Saussure (Silverman, 1995: 72) menguraikan bahwa
tanda-tanda (signs) memiliki empat karakteristik: (1) tanda
memuat suatu konsep dan citra secara bersamaan (they
bring together a concept and an image); (2) tanda bukanlah
entitas otonom (autonomous entities). Tanda-tanda itu
mengambil maknanya dari suatu tempat di mana sistem
tanda diungkapkan; (3) tanda kebahasaan bersifat arbitrer
atau tak-bermotivasi (the linguistic sign is arbitrary or
unmotivated). Artinya adalah bahwa tanda tidak memiliki
hubungan alamiah (natural connection) dengan yang
ditandai (signified). Sebab secara sederhana, bahasa yang
berbeda akan menggunakan istilah yang berbeda untuk
menunjuk suatu konsep; dan (4) tanda-tanda dapat
dihubungkan secara bersamaan pada dua aspek utama,
yakni pertama, tanda-tanda merupakan kemungkinan-
kemungkinan yang bersifat kombinasi dan kedua, tanda-
tanda merupakan sifat-sifat yang memperlihatkan
perbedaan.
Agustine sebagaimana dikutip (Piliang, 2002: 2)
kemudian mengklasifikasikan empat makna Kitab Suci, yakni:
(1) analogy, yaitu penggunaan gambaran sebuah teks untuk
menjelaskan teks yang lain, misalnya penggambaran
manusia dengan menggunakan perumpamaan binatang
seperti lebah; (2) etiology, yaitu upaya mencari sebab dari
sebuah peristiwa yang dilukiskan dalam Kitab Suci. Hal ini
mendekati pengertian indeks dalam terminologi semiotika;
(3) allegory, yaitu sebuah cerita yang mengandung makna
kedua yang tersembunyi di balik makna literal, yakni makna
yang tampak; dan (4) makna histories, yakni makna literal.
Analisis teks berdasarkan pola atau kombinasi yang lebih
besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut
aturan pengkombinasian (rule of combination), yang terdiri
dari dua aksis, yaitu aksis paradigmatik (paradigmatic), yakni
perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), dan aksis
sintagmatik (syntagmatic), yakni cara pemilihan dan
pengkombinasian perbendaharaan tanda tersebut,
berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu, sehingga
dapat menghasilkan makna tertentu.
Hermeneutik maupun semiotik sangat erat kaitannya
dengan bahasa. Tentunya bahasa dalam pengertian luas
atau tidak konvensional. Trigg (1985: 197) menyatakan
bahwa dunia di sekitar kita merupakan bahasa (the world is
part of language) yang menyimpan pesan karena diberi
makna oleh sistem bahasa yang dimiliki oleh manusia.
Bahkan, dunia di sekitar kita diciptakan oleh bahasa (our
world is created by language). Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa realitas apa pun yang hadir di sekeliling
kita merupakan sistem bahasa (teks) yang mengandung
makna atau pesan. Realitas merupakan teks; teks terkait
dengan sistem simbol dan sistem tanda; dalam simbol atau
tanda terkandung pesan atau makna. Dalam setiap realitas
simbolik, terdapat pesan/makna yang dapat ditangkap atau
diungkap oleh seorang hermeneut (penafsir).

B. Metode Pembentukan Akhlak


Metode pembentukan akhlak merupakan cara atau strategi
praktis yang dilakukan untuk membuat seseorang memiliki
keberakhlakan yang baik. Ada beberapa metode atau cara yang
akan dijelaskan dalam tulisan ini antara lain:
1. Metode Tasawuf
Imam al-Ghazali merumuskan atau mengeluarkan rumusan
yang fungsional untuk melakukan proses pembentukan
kepribadian seseorang yakni: (1) metode Takholli
(pengosongan diri), yakni sebuah pemahaman dan sekaligus
cara bahwa seseorang sebelum bisa menerima kebaikan
hendaknya mengsongkan diri dulu dari dosa atau kotoran
diri. Yang dimaksud dalam pendekatan takholli adalah
memberi atau menyiapkan wadah untuk mempermudah
masuk atau diterimanya kebaikan. Dalam teori ruang jika
ruang itu masih berisi maka sulit untuk bisa masuk sesuatu
yang baru. Jadi sebelum diberi isi yang baru harus diberi
ruang kosong, setelah bersih, kosong dan berongga lebar
maka dilakukan tahap beriku; (2) metode Tahalli
(mengisi/menghiasi diri) yakni membentuk kebiasaan baru
dengan hal-hal yang baik dan terus membentengi menjaga,
dan memfilter keburukan tidak masuk lagi. Dan terus
mengisi kebaikan, kebajikan, dan kemuliaan dengan grafik
menaik ketangga makna yang lebih tinggi; (3) Metode Tajalli
(melebur diri), yakni setelah diri keadaan bersih, suci dari
segala keadaan duniawi maka mulai masuk kealam “baru”
dengan dengan cara (a) fana, menyatu lebur dengan Allah,
(b) ittihad, menyatu secara eksistensi dengan Allah, dan (c)
ittishal, sambung rasa atau terhubung langsung dengan
Allah.
Menurut al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, juz 3 hal 56-57)
metode utama yang dilakukan dalam riyadhah an-nafs
seperti mujahadah bukanlah untuk mengekang insting yang
ada pada dasar biologis manusia, seperti syahwat dan emosi.
Tetapi mengendalikan dan mendorong kearah yang normal
agar tidak menguasai nafs baik manusia. Sebab jika syahwat
makan terputus maka manusia akan mati. Bila syahwat
seksual mati maka proses berketurunan akan terputus. Bila
emosi manusia hilang maka manusia tidak akan bisa
membela dirinya dari ncaman dan akan hancur. Tentu saja
untuk melatih mujahadah membutuhkan proses yang
intensif, berlangsung lama dan membutuhkan guru Mursyid
dengan pengalaman terapis yang teruji dan terbukti.

2. Metode Pendidikan Nilai


Metode pendidikan umum atau pendidikan nilai merupakan
suatu cara yang dilakukan untuk melakukan tahapan atau
proses agar sesuatu nilai atau subjek atau materi dapat
diterima secara metodologis oleh seseorang melalui proses
pembelajaran yang bertahap, gradual, sistemik, sinergi dan
harmoni. Strategi pembelajarannya dilakukan melalui
tahapan berikut:
1. Sosialisasi yaitu memperkenalkan bahan ajar atau materi
kepada pembelajar agar mereka mengenal dan
mengetahuinya meski dalam tahapan sederhana, umum,
dangkal, artifisial, kulit luar dari sesuatu bahan ajar.
Dalam teori kurikulum disebutnya kurikulum dalam
dimensi scope bukan deepness. Contoh ketika kita
mengenalkan sebuah kata kepada anak kecil, dengan
terus mengulang-ngulang kata itu meski dia tidak
mengerti bahkan mengucapkanya saja blm bisa tetapi
karena terus menerus maka akhirnya di fasih
mengucapkan kata itu. Penulis pernah melakukan
penelitian kepada seorang anak kecil untuk melatih bisa
mengucapkan kata “mamam”, ternyata membutuhkan
mengulangan yang tidak kurang dari 17.000 kali. Apalagi
memperkenalkan perilaku yang lebih rumit, mungkin
membutuhkan pengulangan yang lebih banyak.
2. Habitualisasi, yaitu melanjutkan proses dari sosialisasi
kepada tahapan yang lebih dalam untuk mengenali,
memahami dan bahkan bisa sampai tahapan menerima
sesuatu dengan nyaman (habit). Proses habitualisasi
memerlukan proses yang panjang dan intensif, karena
merupakan latihan sebuah perilaku agar sampai pada
tahapan otomatis atau reflex tindakan. Kebiasaan ini
merupakan tahapan yang paling pokok untuk sampai
kepada akhlak (kebiasaan yang menetap dengan
mudah). Kita perhatikan misalnya ketika Rasulullah
mendidik anak untuk shalat sejak usia 7 tahun sedangkan
usia dewasa 15 tahun, berarti ada masa 8 tahun untuk
melakukan pembiasaan shalat, jika dihitung secara angka
maka 8 tahun x 365 hari x 17 rakaat shalat, akan
dihasilkan angka pembiasaan shalat sebanyak 49.640
rakaat. Bila ini dilakukan secara konsisten maka pada
saat anak dewasa (dikenai taklim hukum/wajib shalat),
tidak lagi perlu disuruh oleh orang lain, karena batre
biologis, jam psikologis dan alarm akhlaknya sudah
terbentuk dari pembiasaan panjang.
3. Kulturalisasi, yaitu tahapan bagaimana merawat
pembiasaan menjadi sebuah perilaku yang menetap
sebagai sebuah culture yang tersimpan dalam rongga
dada yang terdalam dan tersimpul dalam rona hati yang
padam. Bila sudah sampai pada isi dan esensi
kulturalisasi yakni to culturazed maka untuk mengganti,
menghilangkannya membutuhan upaya 3 kali lipat dari
masa pembentukan pembiasaan. Artinya kalau melatih
pembiasaan pada sudah kelewat masa yang tepat
membutuhkan pembiasaan 49.640 x 3 = 148.920 rakaat.
Apalagi jika seseorang tinggal atau bergaul dengan orang
yang tidak pernah shalat, itu lebih berat lagi karena
berhadapan dengan pembenaran yang salah. Apalagi jika
pembenaran suatu kesalahan dilakukan secara kolektif
maka kesalahan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu
yang salah, Jung menyebutnya “ketidaksadaran kolektif”,
itu lebih berat lagi. Karena itu dalam tahapan
pembiasaan menuju kultralisasi jangan pernah
membiarkan kesalahan dilakukan, stop segara kesalahan
itu, apapun. Sebab jika sudah menjadi budaya
“ketidaksadaran kolektif”, bukan hanya sulit untuk
diperbaiki tetapi menyulitkan perbaikan. Misalnya
contoh pembiasaan yang sudah membudaya,
pengucapan atau pelafalan orang Sunda yang sulit
membedakan P, F atau V.
4. Internalisasi, yaitu tahapan lebih lanjut dalam
membukakan rongga makna dan rona mana sehingga
bukan hanya membudaya tetapi melahirkan visi makna
yang jelas. Internalisasi merupakan sebuah perilaku
tertentu yang mendarah danging dalam diri seseorang.
Untuk melakukannya tidak lagi perlu pikir lama atau
panjang, sudah otomatis. Dalam bahasa lain internalisasi
sudah berada dalam tahapan mindset. Perilaku yang
sudah menjadi karakter khas dari seseorang apa,
dimana, kapan pasti akan menghasilkan perspektif yang
sama. Contoh ketika melihat anak kecil memegang palu,
apa yang ada dalam otak pikiran, otak hati dan otak
tindakan anak? Jawabannya apapun yang ada dan dilihat
di sekitar dia inginnya memukulkan palu itu. Mengapa
begitu, karena to internalized.
5. Personalisasi, yaitu tahapan terakhir dari proses
menjadikan perilaku sebagai nilai akhlak. Tahapan ini
benar-benar sebuah perilaku sudah menjadi karakter, to
personalized, mempribadi dan menjadi dirinya sendiri
yang tidak bisa dibagi, atau bersendi, entah lagi bersesi,
apalagi bersisi dan berdimensi. Personalized, tak bisa
dipisahkan, tak bisa dibedakan dan tak bisa diuraikan, ia
bukan bersatu bukan menyatu tatapi satu, bukan
bersenyawa tetapi senyawa, bukan bersisi tetapi tak
bertepi, bukan berada atau mengada tetapi ada dan
adanya ada hanya ketika ada dan tak pernah tidak ada.
Pada tahapan inilah yang dimaksud dengan akhlak yang
sebanar-benarnya berakhlak yang benar.

3. Metode Modifikasi Perilaku


Perilaku merupakan hasil proses komunikasi, interaksi
dan adaftasi, seleksi dan interkoneksi (KIASI) antar satu
individu dengan individu yang lain dalam kurun waktu
tertentu. Melalui proses KIASI terbentuklah sebuah struktur
perilaku baru yang bisa diterima oleh seseorang dalam
ukuran frekuensi, intensitas, magnitude dan gelombang
serta limitasi waktu yang berbeda-beda. Perbedaan ini lahir
dari keunikan kepribadian seseorang, tingkat perhatian, dan
modeling inspiratifnya.
Dalam buku Modifikasi Perilaku Edi Purwanta (2012:9)
menjelaskan bagaimana terbentuknya sebuah perilaku,
penguatan dan pengosongan atau penghapusan perilaku
yang dikerjakan secara kerangka metodologis dengan
pertimbangan latar belakang psikologi yang tepat. Ada tiga
hal penting sebelum melakukan modifikasi perilaku yaitu
analisa fungsi yang berkaitan dengan: (a) penyumbang
terjadinya perilaku, (b) faktor yang memelihara perilaku dan
(c) tuntutan lingkungan terhadap perilaku yang diinginkan.
Setiap orang secara naluri memiliki kemauan untuk
belajar dengan sikap curiousity, rasa ingin tahu yang dibawa
sejak lahir. Rasa ingin tahu lebih kuat muncul pada masa
anak-anak dan kanak-kanak, sehingga anak lebih banyak
bertanya. Bahkan kadang pertanyaannya yang aneh-aneh,
nyeleneh dan weleh (sering). Makin dewasa kecenderungan
bertanya makin berkurang karena faktor-faktor sosiologis,
psikologis, tradisi dan lain-lainya. Dengan demikian walhasil
setiap individu akan senantiasa belajar di mana, kapanpun
dengan apapun dan pada siapapun hatta dengan dirinya
sendiri. Hanya saja apa hasil pembelajarnnya sudah sesuai
dengan masa perkembangan dan perkembangan massa,
etika keluarga dan norma sosial, akhlak yang diharapkan
dan akhlak yang diharamkan, kebiasaan baik dan kebiasaan
balik (buruk), perilaku adaptif atau non adaptif, perilaku pro-
sosial atau anti-sosial, perilaku Teo-centris atau teo-centris
(ber-Tuhan atau ber-tuhan), akhlak Islam atau akhlak
eusleum (super kacau), akhlak akhirat atau akhlak sekarat,
akhlak surga atau akhlak suda (neraka) dan seterusnya.
Dengan demikian modifikasi perilaku merupakan upaya
mengubah perilaku dan emosi manusia dengan cara yang
menguntungkan berdasarkan teori modern dalam prinsip-
prinsip psikologi belajar. Perubahan perilaku yang dimaksud
adalah perilaku adaftif yang lebih dapat diterima oleh diri
dan lingkungannya.
Modifikasi perilaku sebenarnya merupakan penerapan
prinsif-prinsif belajar untuk mengadakan perubahan yang
mencakup: (a) peningkatan perilaku, (b) pemeliharaan
perilaku, (c) pengurangan atau penghilangan perilaku dan (d)
perluasan perilaku.
Pertama, Peningkatan Perilaku, pilihan terhadap sebuah
perilaku yang akan dipertahankan atau dipelihara dan
dikukuhkan menjadi pilihan perilaku yang menetap tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Hal ini disebabkan
sebelumnya harus melakukan sebuah upaya untuk
meningkatkan jenis dan bentuk perilaku awal baik yang
sudah ada tetapi masih lemah atau perilaku baru yang masih
berbentuk potensi atau latent. Upaya dalam tahap ini
sekurang-kurangnya mencakup: (1) menyelami dan
membongkar potensialitas perilaku yang laten, (2)
mengenali perilaku yang sudah hadir tetapi masih lemah
keadaanya, (3) mengakutalisasikan perilaku tertentu sesuai
kebutuhan untuk tahap pemeliharaan, (4) mengkonfirmasi
perilaku yang akan dilanjutkan ketahap berikutnya, (5)
menyepakati perilaku yang akan dipelihara dengan
frekuensi, intensitas dan magnitude serta derajat yang
disepakati.
Kedua, Pemeliharaan Perilaku yaitu sebuah upaya atau
cara yang dilakukan melalui penguatan (reinforcement) atau
pengukuhan terhadap perilaku yang terjadi untuk
dipertahankan atau dihapus. Ada dua cara melakukan
pengukuhan yaitu: (a) positive reinforcement, yang
merupakan respons positif terhadap sebuah perilaku agar
perilaku itu frekuensinya berulang dan meningkat. Biasanya
melalui pemberian hadiah, isyarat pendukung, kata positif,
pujian, hadiah benda, sentuhan dan seterusnya. Dalam
pelaksanaannya sebuah pengukuhan perlu dilakukan
dengan: respons cepat dan pengukuh yang tepat (tepat
waktu dan cara), mengatur kondisi situasi yang mendukung,
menentukan kuatitas pengukuh, kebaharuan pengukuh,
sampel pengukuh, mengatasi persaingan dalam memberikan
pengukuhan, mengatur jadwal pengukuh, menanggulangi
efek control kontra dan seterusnya, (b) negative
reinforcement yaitu sebuah upaya atau cara yang dilakukan
untuk menghilangkan stimulusnya yang tidak menyenangkan
agar terjadi mengulangan perilaku karena berkurangnya
stimulus. Bila stimulus dikurangi tapi menyebabkan perilaku
meningkat atau terpelihara, maka stimulus itu disebut
pengukuh negatif. Tetapi impelemtasi pengukuh negatif
harus hati-hati karena penggunaan stimulus aversif bukan
hanya kurang disukai klien kadang penyaji juga kurang suka.
Karena itu bisa menggunakan cara lain baik langsung
maupun tidak langsung ke sasaran atau melalui meaning full
games agar klien yang menemukan stimulus aversifnya.
Ketiga, Penghapusan yaitu upaya menghentikan
pemberian pengukuhan positif atau negatif sampai berada
pada tahap sebelum pengukuhan. Pengahapusan bisa
dilakukan juga dengan hukum atau tidak memberi respons
apapun terhadap sesuatu yang dilakukan atau memberi
reaksi kecewa tanpa kata-kata. Penghapusan bisa efektif
atau tidak bergantung pada: (a) ketepatan waktu dalam
memberi pengukuhan, (b) banyaknya pengukuh yang
diterima, (c) ketepatan teknik yang digunakan, (d)
kedahsyatan magnitude pengukuh, (e) kekuatan kesan
pengukuh ke dalam jiwa klien, (f) keadaan berhubungan
dengan deprivasi, (f) intensitas usaha modifikator, (g)
pemahaman terhadap kesenangan klien, (h) bisa juga
dilakukan melalui hukuman.
Keempat, Perluasan Perilaku, yaitu sebuah upaya
lanjutan dari fase pengukuhan atau pemeliharaan terhadap
perilaku tertentu untuk mendapatkan perluasan,
pengembangan dan modifikasi maknawi agar perilaku yang
dipelihara itu tidak sekedar: (1) apa adanya tetapi adanya
apa, (2) jadi milik dirinya tetapi juga menjadikan milik-Nya,
(3) punya arti untuk lebih “meaningfull” bagi kehidupan yang
berkualitas, (4) memaknai perilakunya dalam konteks
hubungan yang interindependen, (5) perilakunya mampu
mengakumulasikan dan mengartikulasikan hubungan antar
dan interpersonal dan social relationship, (5) menjadikan
perilakunya sebagai brandmarking yang konstruktif dan
produktif bagi masa depan kehidupan yang ideal.
Sebagai sebuah pengalaman, penulis pernah melakukan
penelitian sederhana tentang penghapusan ucapan kasar
pada anak sendiri. Pada usia 4 tahun anak ketiga dari tiga
bersaudara masih diasuh oleh seseorang dari kampung
tetangga. Suatu waktu sekitar belasan kali diasuhnya di
rumah pengasuh. Namun ada perilaku aneh yaitu ucapannya
kata kasar (ngomong binatang), bila marah ucapannya kasar.
saya dan keluarga mencoba mengatasi masalah itu dengan
cara: (a) menjelaskan bahwa ucapan itu “kasar”, dia
langsung merespons, sambil bertanya, “kasar itu” apa?,
saya jelaskan kasar itu, seperti jalan yang belum diaspal
banyak batu besar. Dia terlihat bingung, (b) kemudian dilain
kesempatan saya mengatakan, “ de kalau dede berkata
begitu, Abi/bapak malu, sebab bapak guru, anak guru itu
ucapannya harus sopan”. Dia bertanya lagi, “sopan itu apa
Bi”. Saya jelaskan, “sopan itu ucapan yang orang lain senang
mendengarnya, sebab artinya ucapan anak soleh”. (c) diberi
bendara biru, kalau sehari tidak berkatan ‘kasar” diberi lima
bendera, kalau berkata kasar sekali diambil 1 bendera (d)
diberi respon penolakan, misalnya dengan seeet. Suatu hari
karena mungkin merasa sudah ada penolakan maka dia
menahan ucapan itu, sampai suatu waktu keluarga sedang
pada kumpul, dia mengeksperikan kata itu, dengan
mencontohkan orang lain. “Mi…Bii tadi ada anak TK bilang
…bahasa binatang…. dengan nada yang panjang dan ekspresi
yang luar biasa”. Jelas semua pada tertawa terbahak-bahak
saking lucunya. (e) semua anggota keluarga dan pengasuh
bila dia mengatakan “kata binatang” semua merespons
dengan “astaghfirullah”, (f) kemudian kalau dia kelihatan
akan mengucapkan kata “binatang”, langsung didahului oleh
kita dengan ucapan “astaghfirullah”, (g) tentu saja bagi kita
dibantu dengan do’a dan do’a.

C. Metode Pendidikan Akhlak


Metode dalam pembahasan ini dimaksudkan untuk
memberi gambaran bagaimana cara akhlak bisa distimulasi,
diaktivasi dan diinternalisasi pada diri seseorang agar bisa
menjadi perilaku menetap yang berjalan secara organik,
sistemik dan otomatik.
1. Metode Keteladanan
Ada pertanyaan geli dari kawan diskusi saya,
“benarkan pendidikan akhlak itu 90% ditentukan karena
keteladanan? Saya jawab “salah”. Dia bertanya lagi,
“mengapa salah”?. Saya jawab, “karena keteladanan
menentukan 100% akhlak seseorang. Jadi kalau begitu tidak
perlu metode lainnya? Bukan! Tetapi metode keteladanan
itu merupakan diterminant method dan metode lain sebagai
dominant method bahkan ada yang instrumental method-
nya.
Kita seyogianya sadar, menyadari dan berkesadaran
bahwa akhlak itu sebuah perilaku. Yang namanya perilaku
100% duplikasi, 100 % lagi peniruan dan 100 % lagi nyontoh
bahkan 100%-nya lagi nyontek bahkan 100% dari 100%-nya
lagi adalah modeling. Walhasil bila penanaman akhlak mau
berhasil beri lebih banyak contoh atau hadirkan teladan
dalam lingkungan keseharian atau asuh oleh seseorang yang
memang sepenuhnya bisa jadi model.
Dahlan dan Salam (2006:37) mengemukakan bahwa
metode keteladanan merupakan metode yang paling baik
dan kuat pengaruhnya dalam pembentukan akhlak.
Mengapa lebih besar pengaruhnya? Jawabannya karena
dalam meneladani itu ada proses anutan, acuan, ala,
arketipe, bentuk, boncengan, cermin, citra, duplikasi, figure,
gambaran, hikmah, identifikasi, imitasi jejak, kamil, lensa,
miniature, memeragakan, modus operandi, model, nasihat,
ornament, peniruan, perulangan, penjiplakan, penguatan,
penggandaan, proto tipe,pola, patron, rujukan, representasi,
sampel, sertaan, specimen, tumpuan, dan uswah hasanah.
Menurut hasil penelitian (Newberg and Waldam,
2006:79) tentang “Neuron Cermin” bahwa otak manusia
cenderung menyerap perilaku dan keyakinan orang lain,
“monkey see, monkey do”, (monyet melihat, monyet
melakukan). Otak manusia memiliki naluri untuk meniru
dari apa yang menjadi input stimulus yang diterimanya baik
input melalui mata, telinga dan rasa. Perhatikan kalau ada
orang di sekitar kita yang menguap maka hanya selang
beberapa detik saja kita meniru (menguap) tanpa disadari.
Pertanyaan lebih lanjut, mengapa metode teladan
dipandang paling memungkinkan direspons positif oleh yang
meneladani? (1) Rasa ingin tahu, sebagaimana firman Allah
dalam (QS. an-Nahl [16]: 78) artinya, ” Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu apapun dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Ayat ini memberikan informasi bahwa diri manusia itu telah
dibekali potensi pendengaran, penglihatan dan hati, tinggal
diaktivasi melalui apa yang didengar, dilihat dan dirasakan.
(2) Bawaan alamiah, sebagaimana firman Allah (QS. al-
Ahzab *33+: 21), artinya, “Sungguh, telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari
kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. Ayat ini
menegasikan bahwa manusia itu pada prinsifnya memiliki
naluri untuk mengikuti panutan, idola terutama bagi mereka
yang mengharap ridho Allah, yakin dengan datangnya hari
kiamat dan banyak mengingat Allah, (3) Dalil Psikologis,
karena keteladanan merupakan metode memperbaiki
perilaku atau akhlak seseorang dengan pemenuhan unsur
keadilan paling tinggi. Pemberi teladan tidak hanya
menyuruh atau menasehati agar berperilaku terbaik tetapi
terlebih dahulu dia memberi contoh sehingga subjek tidak
merasa didikte atau diperintah tetapi melalui persuasi yang
tidak disadari subjek. (4) Dalil Sains, penelitian yang
dilakukan Dean Hamer ahli genetika melakukan uji coba
dengan menggunakan TCI Cloninger dan memeriksaan
subjek yang diteliti dengan menggunakan alat periksa
kepribadian The Big Five dari Hans Eysenk dan 16 PF dari
Raymond Catell untuk meneguhkan keyakinannya bahwa
transendensi itu unik. Akhirnya Dean Hamer menemukan
bahwa sifat manusia untuk melakukan hal-hal yang baik dan
menghindari yang buruk adalah suatu sifat bawaan atau
genetik manusia, (Newberg and Waldam, 2006:21).
Penerapan metode keteladan membutuhkan
pendekatan yang tepat untuk bisa berjalan secara efektif
dan produktif. Sebab terjadi dua arus aliran naluri manusia
yang berkaitan dengan usia peka dalam mengubah dirinya
lebih baik. Untuk usia anak-anak sampai menuju fase remaja
awal, pendidikan keteladanan dilakukan melalui doktri
kebenaran. Sasarannya perubahan emosional dan spiritual.
Sedangkan pada usia dewasa lebih tepat dalam
mengajarkan akhlak secara ilmiah melalui doktrin kebenaran
sains yang rasional dan empirical, dengan pendekatan
sainstifik method.

2. Metode Pembiasaan
“Ala bisa karena biasa”. Ini merupakan sebuah adagium
atau aksioma yang hingga kini masih diyakini keampuhanya.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan pembiasaan.
Pembiasaan merupakan proses yang paling menentukan
dalam pembentukan akhlak. Kegagal pencapaian akhlak
yang baik acapkali diantarkan oleh kegagalam awal dalam
membentuk pembiasaan. Selain konteks waktunya yang
panjang, pembiasaan membutuhkan model yang konsisten,
ajeg dan suri teladan yang dipanuti. Kebanyak kegagalan
pembiasaan berada pada pelaksanaan yang inkonsisten,
berubah-ubah prinsif, frekuensi dan intensitasnya bahkan
kehilangan model yang dibutuhkan anak.
Penerapan metode pembiasaan memiliki persyaratan
yang harus dijalankan oleh subjek didik dan mentor (guru,
orangtua atau siapapun) secara bersama-sama sebagai
berikut:
(1) Attention, yaitu adanya perhatian dari kedua belah
pihak terhadap apa yang akan dan sedang dijalankan
serta akan terus dijalankan.
(2). Caring, yaitu adanya kepedulian berupa keberpihakan
dari kedua belah pihak untuk menjalankan pembiasaan
dengan menyadari butuhnya fokus, pengawasan,
penjadwalan, bahkan butuh adanya reward and
funishment.
(3). Responsibility, yaitu tanggung jawab terhadap
pelaksanaan pembiasaan atas kesadaran pribadi untuk
mengambil tanggung jawab penuh terhadap
keberlangsungan suatu pembiasaan.
(4). Commitment, yaitu komitmen untuk menjalankan
pembiasaan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek
risiko apapun. Komitmen dijalankan tanpa ada pilihan
lagi kecuali konsisten melakukannya.
(5). Love, cinta yaitu munculnya suatu perasaan senang,
lega, nyaman dan cinta terhadap pembiasaan yang
sedang/sudah dilakukan.
Sedangkan bagaimana tahapan proses pembiasaan yang
diharapkan berjalan sesuai dengan tahapan proses
pembelajaran dari yang konkret menuju yang lebih
kompleks, yaitu:
(1) Coaching, yaitu melakukan pembiasaan dengan metode
drill, “pemaksaan” secara teratur dan
berkesinambungan. Misalkan sejak usia kecil, anak
perempuan menggunakan kerudung/jilbab, dia belum
wajib, tapi pengkondisian awal. Contoh lain berbicara
sopan, ditingkat ini latih berbicara Qaulan Sadida,
berbicara yang benar (QS.an-Nisa [4]:9).
(2) Training, yaitu melakukan pembiasaan dengan
pembekalan teknis yang memadai. Misalkan usia SD
memakai kerudung dengan memperhatikan keindahan.
Contoh lain berbicara sopan, dengan pembiasaan Qualan
Ma’rufa, berbicara yang menyenangkan (QS. an-Nisa
[4]:8).
(3) Teaching, yaitu melakukan pembiasaan dengan adanya
transformasi pengetahuan yang memadai. Misalkan usia
SMP mulai memahami perlindungan diri dengan
kerudung, menjaga kehormatan diri, membatasi
pergaulan yang tidak pantas. Contoh lain berbicara
sopan, dengan tahapan berbicara ucapan yang tepat
(QS.an-Nisa [4]:63 dan Qaulan Maysura, perkataan yang
pantas dan patut (QS. al-Isra [17]:28)
(4) Educating, yaitu melakukan pembiasaan dengan
menghadirkan spirit dari apa yang dilakukan. Misalkan
usia SMA menghayati makna menutup aurat sebagai
bagian dari upaya mendidik diri sendiri dengan
kemuliaan akhlak. Contoh lain berbahasa santun pada
tahap ini dengan Qaulan Karima, perkataan yang mulia
(QS. al-Isra [17]:23).
(5) Edu-caring, yaitu melakukan pembiasaan dengan
menghadirkan kebermaknaan yang memadai dari setiap
pembiasaan yang dijalankan. Misalkan pada saat dewasa
atau mahasiswa menutup aurat merupakan bagian dari
kesadaran ilahiyah, ketaatan penuh pada perintah Allah
Yang Maha Kuasa. Akhlak berbicara pada tahapan ini
dengan Qaulan Layyina, berbicara dengan lembut (QS.
Thaha [20]:44).
Itulah beberapa contoh penerapan pembiasaan yang
dilakukan bertingkat dari yang mudah ke yang sukar, dari
yang konkret yang abstrak, dari profane ke ukhawi dan dari
eksplisit ke tacit, dari yang fenomena ke nomenon, dari yang
fery-feri ke yang subtansi, dari kulit ke hati, dst.

3. Metode Nasihat
Penelitian yang dilakukan al-Qadhi (1984) di klinik besar
Amerika Serikat dengan bantuan berbagai alat canggih,
menyimpulkan bahwa dengan membaca atau
mendengarkan al-Qur’an dapat merasakan perubahan
fisiologis besar seperti penurunan depresi, stress, penolakan
berbagai penyakit dan bisa memberikan efek hingga 97%
dalam melahirkan ketenangan rasa dan penyembuhan
penyakit.
Penelitian yang dilakukan Masaru Emoto tentang sifat
Air, kesimpulnya menyebutkan bahwa (1) air bisa merespons
perlakukan manusia dengan adanya perubahan reaksi
particular molekul air bergantung perasaan manusia di
sekelilingnya. Oleh karena itu, jika perlakuan manusia baik
maka air akan merespons dengan kristal berbentuk enam
persegi yang indah dan bila perlakuannya buruk maka
molekul air berubah tidak baraturan alias berantakan. Hal
seperti ini mengisyaratkan pengaruh perasaan terhadap
klasterisasi molekul air terbentuk oleh adanya ikatan
hydrogen, (2) air bisa merekam pesan seperti compact disk,
air bisa “mendengan” kata-kata, bisa “membaca” tulisan,
bisa merespons nyanyian, bisa “mengerti pesan”, punya
perasaan dan jiwa, bisa berpikir, (3) adanya korelasi antara
emosi dengan organ tubuh manusia yang 75% air dan di otak
kandungan airnya 73%. Jadi hendaknya hati-hati
memperlakukan manusia karena sebagian besar tubuh
manusia terdiri atas air dan air yang ada dalam tubuh akan
mereaksi dengan cepat bergantung stimulus yang diberikan.
Dalam (QS. al-Anbiya [21]: 30) Allah berfirman, “Dan apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi
keduanya dahulu menyatu, kemudian kami pisahkan antara
keduanya, dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup
berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman”.
Kedua hasil penelitian itu memberikan sinyal hebat
akan kuatnya metode nasehat dalam mempengaruhi
pembentukan akhlak seseorang. Hanya saja metode nasehat
membutuhkan beberapa persyaratan utama, antara lain: (1)
pemberi nasehat harus orang yang kredibel, supaya punya
sugesti, (2) pesan yang disampaikan harus menyentuh hati,
bukan menceramahi, (3) nasehat seyogianya memiliki pesan
imajiner, (4) nasehat sebaiknya dikemas unik, tidak
langsung, tidak fulgar, dan tidak menyindir serta bernuansa
humor, (5) nasehat sepatutnya menyenangkan,
menyegarkan, nyageurkeun dan menyegerakan lahirnya
reaksi, (6) nasehat sebaiknya memungkinkan mendorong
tumbuhnya dialog analogis atau kias dirinya atau kesadaran
berinstrospeksi dengan tokoh cerita, (7), nasehat hendaknya
memperhatikan ketepatan moment, keadaan emosi dan
tingkatan usia, (8) nasehat memungkinkan tumbuhnya
kebermaknaan isi nasehat dengan kontekstualisasi setting
lingkungan yang dinamik, dan seterusnya.
Sekali lagi, kita sangat yakin bahwa metode nasehat
masih memiliki keampuhan untuk membentuk akhlak yang
baik, dengan memperhatikan sifat dasar manusia yang well
educated (bisa dididik dengan baik), memiliki sifat curiousity
(rasa ingin tahu yang benar), hati nurani yang benih dan
bersih, batin yang senantiasa bertasbih, hidup penuh dengan
harapan (harapan masuk surga, mendapat ridha Allah) dan
akal yang bisa tunduk untuk menerima kebaikan, kebajikan,
kearifan, hikmah dan hidmat serta berpadunya qolb, brain
memory dan muscle memory (myeline) manusia yang bisa
dilatih dengan riyadhoh yang konsisten untuk sampai pada
sinergi amal lahir dan batin, fisik non fisik, ruhani dan
jasmani.

4. Metode Hidayah
Beda cara mendidikan manusia antara Barat dengan
Islam adalah pada satu faktor penting, yakni memasukan
Hidayah sebagai faktor keberhasilan manusia dalam
kehidupan. Sebelum menguraikan secara lengkap tentang
hidayah akan dikemukan dulu tiga istilah yang sering
digunakan tetapi tidak dibedakan, padahal tidak sama
diantara ketiganya, yakni hidayah, taufik dan inayah.
Hidayah bermakna petunjuk atau bimbingan Allah bagi
hamba yang bertawakal untuk ajeg dalam kebenaran-Nya.
Taufik adalah restu Allah berupa terwujudnya amal-amal
baik dan Inayah berarti bantuan dan pertolongan Allah bagi
hamba-hamba yang terpilih.
Tulisan ini bukan tempatnya utuk mengupas terlalu
dalam tentang ketiga pengertian tadi, tetapi hendak
menguraikan bagaimana hidayah menjadi bagian dari proses
mengedukasi orang agar berubah lebih baik. Perilakunya
berorientasi ila Allah, Teo-centris oriented, God Spot, bukan
berorientasi pada ila at-Taghut, atau ila an-Nafs atau ila an-
Nas.
Hidayah dalam beberapa referensi seperti yang
dikemukanan dalam Tafsir Munir karya Wahbah az-Zuhaily,
hidayat terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Pertama,
Hidayah Ilhami, yaitu hidayah yang diberikan merata
kepada semua mahluk Allah. Hidayah ilhami merupakan
naluri atau insting alami mahluk, misalkan hewan tahu kalau
gunung akan meletus, lebah bisa membuat sarang, burung
mayar menjadi arsitek ulung dalam pembuatan sarang yang
indah dan seterusnya. Kedua, Hidayah Hawasi, yaitu
kemampuan alami mahluk Allah untuk merespons peristiwa
dengan tepat, misalkan ketika manusia mendapatkan
kebahagiaan maka akan merasa senang, musibah sedih.
Ketiga, Hidayah Aqli, yaitu hidayah yang diberikan khusus
kepada manusia untuk bisa berpikir agar bisa menemukan
ilmu, mengerti persitiwa, mampu mengambil pelajaran dari
keadaan dan menerima kebanaran-Nya. Keempat, Hidayah
Dien, yaitu hidayah yang diberikan kepada manusia untuk
bisa membedakan yang hak dengan yang batil, benar dan
salah, baik buruk, jalan taghut atau jalan Allah serta sikap
menerima kebenaran agama secara fitriah, hanif pada
kebenaran agama, memiliki DNA/Genitas ber-Tuhan sebagai
bawaan asal manusia. Kelima, Hidayah Taufik, yaitu hidayah
yang membuat manusia hanya akan menjadikan agama
sebagai panduan kehidupan totally (cara beribadah,
bermuamalah, berbisnis dan segalanya) sehingga benih-
benih kebenaran ilahiyah tumbuh subur dalam amaliyah
kehidupan seutuh dan seluruhnya. Firman Allah dalam (QS.
al-Ankabut *29+:69) artinya, “ Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan Kami, Kami akan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh
Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Dalam uraian tentang hidayah ini, dapat diambil
pelajaran berharga untuk metode pendidikan Akhlak.
Pertama, manusia sudah memiliki insting atau naluri untuk
hidup sesuai dengan tingkatan hidup manusia. Manusia
memiliki insting untuk makan dan sekaligus mencari
makanannya. Peran ikhtiyarnya agar mencari makanan
dengan cara yang halal dan baik. Kedua, manusia memiliki
naluri dasar untuk belajar merespons keadaan lingkungan
sehingga manusia bisa beradaptasi atau bersinergi dengan
lingkungan. Ketiga, manusia dengan pikirannya bisa
memahami dan menemukan ilmu untuk mengembangkan
kehidupan yang lebih baik. Keempat, manusia bisa
mengetahui dan menerima kebaikan dan menolak
keburukan secara alamiah. Tinggal bagaimana peran ikhtiyar
menangkal besarnya arus godaan setan. Kelima, manusia
dengan bimbingan Allah akan sampai kepada tingkatan
hamba yang mencintai dan dicintai Allah agar senantiasa
mendapatkan ridha-Nya.
Begitu banyaknya metode yang bisa meningkatkan
keberakhlakan manusia dalam kehidupan. Karena itu
penulisan metode pendidikan akhlak dalam buku ini dibatasi
3 contoh metode pendidikan akhlak, yang lainnya dapat
ditemukan dalam buku lain, seperti metode hukuman,
hadiah, zikir, tadabur, tadzakkur, tasyakkur dan tafakkur dan
seterusnya.
BAB 3
PARADIGMA AKHLAK

Agama merupakan keyakinan pembeda yang melahirkan


turunan falsafah, paradigma, konsep, teori, metodologi, strategi
dan amaliyah yang berbeda pula antara individu yang berbeda
sistem keyakinannya. Meski bentuk amaliyahnya sama tetapi
tidak bisa disebut sama karena dengan sistem nilai, turunan
budaya, adat kebiasaan dan motif psikologisnya berbeda.
Sekalipun secara bahasa Akhlak sudah menjadi bahasa semua
agama (Khususnya di Indonesia) tetapi terma akhlak yang
dimaksud oleh orang yang berbeda keyakinan itu pasti berbeda
value-nya. Misalkan kata Allah, Islam menyebutnya Alloh, agama
Kristen menyebutnya Alah, penyebutan itu menunjukkan
konsep yang berbeda. Tetapi jangan khawatir, karena
keberakhlakan bukanlah ajaran yang membenci perbedaan
melainkan menerima perbedaan.
Dalam sejarah perkembangan Akhlak di dunia, kita
mengenal beberapa terminologi akhlak yang secara filosofis-
konseptual dan psikologi berbeda. Akan tetapi ada sesuatu nilai
yang tetap dalam konsep “akhlak menurut rumusan manusia”
yakni senantiasa berubah-ubah, tidak konsisten, nilainya relatif
bahkan tentatif.
Ada beberapa mazhab nilai baik-buruk (akhlak) pada
beberapa zaman, seperti : (1) Mazhab Maddiyah, yaitu
kebenaran yang didasarkan pada sebuah pandangan bahwa
manusia hanyalah sebuah materi dan sekaligus melakukan
pengingkaran terhadap eksistensi rohaniah manusia. Ciri khas
dari mazhab ini manusia hanya mementingkan diri sendiri dan
mendorong hukum rimba, (2) Mazhab Dhamir, yaitu
penguasaan manusia oleh hawa nafsu, kecenderungan dan
dikuasai azimah (kehendak yang kuat) belaka, (3) Mazhab
Wathiyyah, yaitu dalam pemahaman mazhab pertengahan ini
tidak adanya kejelasan yang tegas antara batas benar dan salah,
semua menjadi remang-remang, relatif dan tanpa nilai utama,
(4) Mazhab Sa’adah, yaitu kebahagiaan yang lebih menekankan
pada kepuasan individu dan acapkali diombang-ambing hawa
nafsu, (5) Mazhan Sa’adatul Ammah, yaitu kebahagiaan umum
yang seringkali dipermainkan oleh pendapat yang berbeda-
beda, (al-Hufiy, 2000:62).
Lain halnya dengan akhlak Islam bahwa kebenarannya
bersifat mutlak (hitam putih, kalau tidak benar ya salah), tidak
bisa normanya berada diantara salah dan benar. Mengapa
mutlak? Jawabannya karena sumber nilai hanya berasal dari
Allah sebagai pemilik mutlak kebenaran. Akhlak Islam berlaku
untuk semua orang, sepanjang zaman dan di semua tempat.
Akhlak Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam dan segenap
kehidupan, tidak bersifat lokal atau temporal dan apalagi relatif.
Karena Akhlak Islam suatu kewajiban yang dipatuhi oleh fitrah
manusia sesuai dengan kecenderungan hati yang sudah
ditetapkan Allah pada diri manusia.
Akhlak Islam memiliki sumber utama al-Qur’an dan as-
Sunnah. Ia tidak bisa keluar dari sumber utama itu. Bila keluar
maka keluarlah dari koridor, batas dan paradigma akhlak itu
sendiri. Mungkin ia bergeser menjadi nilai, karakter, moral, budi
pekerti dan seterusnya karena sumbernya adalah norma.
Andaikan pedoman akhlak tidak ada dalam al-Qu’ran atau as-
Sunnah maka pilihannya bukan pada norma tetapi pada hasil
ijtihad. Ijtihad itu pasti rujukan basic value-nya al-Qur’an dan as-
Sunnah. Karena rujukan nilainya merupakan hasil ijtihad maka
berakhlak akan merasa bagian dari nilai ibadah, adanya
koneksitas spiritual atau keterhubungan vertical manusia
dengan Tuhan-Nya, bukan semata-mata soal benar atau salah.
Tapi benar dari Yang Maha Benar, dari kebenaran-Nya dan
untuk kebenaran-Nya.
Akhlak dalam Islam bukanlah norma atau moral baik-buruk
yang diciptakan sebagai hasil konsensus manusia (akhlak
wadli’yah) tetapi akhlak yang bersumber pada Allah sebagai
satu-satunya sumber kebenaran hakiki. Akhlak Islam
kebenarannya mutlak bukan tentatif bukan pula kebenaran
adaftif. Kebenaran akhlak tidak bisa ditentukan oleh ukuran
kebenaran yang dikehendaki manusia tetapi bersumber pada
kehendak mutlah Tuhan.
Ada beberapa karakter dasar atau paradigma akhlak Islam
yang sebagiannya dinyatakan oleh Agus Miswanto dalam
www.agusnotes. blogspot.co, 2010 yang menunjukkan
berbedaan dengan semisal akhlak yang bersumber dari budaya
atau nilai agama lainnya. Akhlak Islam memiliki paradigma
utama, yakni:

A. Akhlak Rabbaniyah
Diimani sepenuhnya bahwa Allah adalah Rabb yang Maha
Luhur yang berada di atas segala yang ada atau yang mungkin
ada. Allah menjadi sumber dan pemilik segala kebaikan yang
diciptakan-Nya dan diciptakan mahluk-Nya. Segala kebenaran
berpangkal dan bermuara pada Allah baik secara centripetal
maupun sentrifugal. Poros dan muara kebenaran yang hakiki
hanya berada pada Allah semata sehingga tidak ada
kemungkinan manusia untuk menciptakan hukum-hukum
kebenaran baru atau aksioma mutlak atau sunnatullah. Semua
kebenaran bersumber pada Allah baik untuk kebenaran yang
turunan maupun yang temuan. Manusia tidak pernah
menemukan kebenaran mutlak, yang ditemukan manusia
adalah hukum-hukum kebenaran alam yang bekerja sebagai
sunatullah kemudian manusia merumuskan formulanya. Sebagai
contoh ketika Newton menemukan hukum gravitasi bumi
bukanlah menemukan hukum dasarnya (sunnatullah) tetapi
menemukan formula untuk menjelaskan bekerjanya hukum
Allah dalam alam.
Akhlak Rabbaniyah merupakan akhlak untuk memelihara
segala keterhubungan manusia dengan al-Khaliq sehingga
melahirkan ketundukan yang kaffah pada semua hal dan
persoalan seperti:
Pertama, Bertasbih, semua mahluk dibekali ketundukan
bawaan atau ketaatan berian berupa kesediaan bertasbih
kepada-Nya. Firman Allah dalam (QS. An-Nahl [16]: 49) artinya, ”
Dan segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
hanya bersujud kepada Allah, yaitu semua mahluk bergerak dan
juga para malaikat dan mereka (para malaikat tidak
menyombongkan diri)”. Demikian pula (QS. Al-Isra [17]:44),
artinya” Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah…”.
Kedua, Beribadah, tidaklah Allah menciptakan jin dan
manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya (QS. adz-
Dzariyat [56]:56). Ketika manusia bawaannya diciptakan untuk
beribadah maka manusia yang tidak beribadah kepada-Nya akan
senantiasa merasa bersalah, berdosa dan keresahan,
kegelisahan atau kehampaan hidup. Mengapa demikian?
Jawabannya karena manusia menentang naluri yang hidup
dalam sanubari manusia itu sendiri dan tidak bisa dipadamkan
oleh, bagaimana dan kapanpun. Potensi itu senantiasa hidup
salama manusia masih hidup.
Ketiga, Berdo’a, hal yang tidak akan dan tidak pernah
hilang dari kesadaran manusia adalah kebutuhan atau
kebergantungan untuk menyampaikan harapan kepada Sang
Kuasa. Firman Allah (QS. Ibrahim [14]:40), artinya, “ Ya Tuhanku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap
melaksanakan shalat, ya Tuhan kami perkenankanlah do’aku”.
Oleh karena itu, bila manusia tidak pernah berdo’a maka Allah
sangat membenci mahluk yang sombong dan arogan. Kenapa
membenci? Jawabanya, karena manusia menentang atau
merusak naluri yang telah diberikan Allah, yakni berupa fitrah
berdo’a, berpengharapan kepada-Nya. “Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan”, (QS. al-Faatihah [1]:5).
Dalam perspektif akhlak Islam, Allah adalah pendidik bagi
semua manusia. Semua manusia merupakan subjek pendidikan,
dimana Allah sebagai pendidik utama dan pertama yang
senantiasa mendidik manusia untuk mengetahui, memahami,
mengerti dan melakukan sesuatu sesuai yang diajarkan-Nya:
Pertama, mengajar Nabi Adam segala sesuatu yang ada.
Firman Allah (QS. al-Baqarah [2]:31) artinya, “Dan Dia ajarkan
kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan
kepada-Ku nama semua (benda) itu, jika kamu yang benar!”.
Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh Engkau Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”.
Kedua, mengajar manusia agar manusia mengetahui
sesuatu hal. Firman Allah (QS. al-Alaq [96]:3-5) artinya, “
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar
manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya”. Kemudian mengajarkan al-Qur’an dan
manusia pandai berbicara. Firman Allah (QS. Ar-Rahman [55]: 1-
4) artinya, ” Tuhan Yang Maha Pemurah, yang mengajarkan al-
Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarkannya pandai
berbicara”.
Ketiga, mengajar dengan perumpamaan agar manusia
berpikir dan merenungkan-Nya. Firman Allah (QS. al-Ghasyiyah
[88]:17-20) artinya, “Maka tidaklah mereka memperhatikan,
bagaimana unta diciptakan? Dan langit, bagaimana
ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan
bumi bagaimana dihamparkan?
Keempat, mengajar seluruh alam sehingga semua mahluk
tunduk dan patuh kepada-Nya. Firman Allah (QS. al-Fatihah
[1]:2) artinya, “ Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam”.
Mempelajari akhlak Rabbaniyah, menyudahi peta buta
perjalanan hidup manusia yang angkuh dan pongah, padahal tak
seditikpun kita bisa menghindar dari pertalian tanggung jawab
kita dihadapan pengadilan Tuhan Yang Maha Adil dan tak
seorangpun dapat lari dari ikatan kencang perjanjian manusia
dengan Sang Kholik.

B. Akhlak Qur’aniyah
Muhammad Rasulullah mendapatkan gelar, sebutan
sebagai “living Qur’an. Qur’an berjalan. Qur’an hidup yang
merepresentasikan semua isi al-Qur’an berada dalam isi
kepribadian sempurna Rasulullah. Bagi kita tentu bertanya-
tanya, mengapa Qur’an? Jawabannya antara lain:
Pertama Hudan, Qur’an sebagai petunjuk agar manusia
mencapai keimanan dan ketakwaan yang berdasarkan al-
Qu’ran. Akhlak umat Islam tentu saja akhlak al-Quran.
Perhatikan firman Allah dalam (QS. Al-Baqarah [2]:2) artinya,
“Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, sebagai
petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Ketika manusia ingin
menjadi manusia yang terbaik, maka ukuran kebaikan itu
bergantung pada ketaatan dalam mengamalkan al-Qur’an.
Kedua, Furqan, al-Qur’an memberikan keterangan yang
jelas, tegas, clear and clean, mana baik mana buruk, mengapa
benar mengapa salah, bagaimana hak dan kewajiban, benarkah
batal atau batil, ini manfaat atau mafsadat, mana haram mana
halal dan seterusnya. Itulah sebabnya, ukuran akhlak yang
shoheh, valid, benar, tepat dan akurat barometer kebenaran
adalah al-Qur’an.
Ketiga, Nur, al-Qur’an menjadi cahaya penerang pada
setiap insan dari kekafiran pada keimanan, dari dhulumat ke ila
an-nuur, gelap kepada cahaya, dari malas kepada rajin, dari
bodoh kepada pintar, dari miskin kepada sejahtera dan
seterusnya. Berdasarkan alasan kuat al-Qur’an sebagai nur maka
insan yang berakhlak islami akan senantiasa berupaya kuat
meningkatkan kualitas iman, derajat takwa, mutu keilmuan,
kelas kesejahteraan dan maqom kehidupan secara
berkelanjutan, on going process, tanpa berhenti karena
berbagai alasan seperti alasan tua, dalih sakit, karena jauh,
sebab miskin atau kaya, hujjah malas, argument bosan atau
reasoning jenuh dan seterusnya. Perhatikan firman Allah dalam
(QS. al-Baqarah *2+:257) artinya, “ Allah pelindung orang yang
beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada
cahaya. Dan orang-orang kafir pelindung-pelindungnya adalah
setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan, mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di
dalamnya”.
Keempat, Salam, al-Qur’an dengan segala isinya tidaklah
berbicara selain memberi jalan keselamatan kepada seluruh
ummat manusia sepanjang zaman dan keadaan. Komitmen
untuk senantiasa menaburkan, menebarkan, menyebarkan dan
menyemburkan energi-energi keselamatan menjadi akhlak
utama umat Islam, dengan selalu mengucapkan do’a
keselamatan untuk semua, “assalamu’aikum warhamatullaahi
wabarakaatuh”. Salam dalam Konteks al-Quran merupakan doa
yang berifat resiprokal, perhatikan firman Allah (QS. an-Nur [24]:
61), artinya”… Apabila kamu memasuki rumah-rumah
hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya (yang
berarti memberi salam) buat dirimu sendiri, dengan salam yang
penuh berkah dan baik dari sisi Allah …”.
Kelima, Rahmat, al-Qur’an sempurna untuk membimbing
umat Islam bukan saja atas sesuatu yang bisa diusahakan
sendiri, atas ikhtiyar manusia tetapi memberikan pertolongan
untuk membuat manusia semakin beruntung dalam hidupnya di
dunia dan kelak diakhirat dengan menjadikan al-Qur’an sebagai
rahmat bagi segenap kehidupan. Firman Allah (QS. al-A’raf
[7]:52), artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan
sebuah Kitab (al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami: menjadi
petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman”. Ukuran
tingkat keimanan atau kedalaman pengahayatan batini terhadap
al-Qur’an menjadi tolok dan tolak ukur bagaimana manusia
melaksanakan seluruh titah dan perintah dalam al-Qur’an
dengan penuh penghayatan, penjiwaan dan pemaknaan. “…
Sesungguhnya orang yang telah diberi pengetahuan
sebelumnya, apabila al-Quran dibacakan kepada mereka,
mereka menyungkurkan wajah, bersujud (QS. al-Isra [17]:107).
Dari uraian tentang akhlak Qur’aniyah, adakah kita masih
meragukan isi al-Quran yang sudah sangat jelas, tegas, terang
benderang, nyata dan terjaga. Allah berfirman dalam (QS. al-
Ankabut *29+:49) artinya, “Sebenarnya, (al-Quran) itu adalah
ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya
orang-orang yang dhalim yang mengingkari ayat-ayat Kami”.
Bukan hanya umat Islam yang bangga dengan al-Quran tetapi
sekelas Pangeran Charles pernah menyampaikan pengakuannya
akan keagungan ajaran al-Quran dengan mengatakan bahwa
sesungguhnya islam itu mengajarkan titik kesepahaman dan
kebersamaan atau sinergi hidup di alam ini dengan sangat
brilian. Sungguh, sesuatu yang tidak ditemukan dalam ajaran
Kristen. Ajarannya menolak pemisahan antara manusia dan
alam, agama dan ilmu serta akal dan materi (Raghib as Sirjani,
2010:76). Jika masih ada yang meragukan, sejenak kita
renungkan bagian mana dari isi al-Qur’an yang masih diragukan
atau sejumlah berapa ayat dari isi al-Quran yang belum kita
lakukan. Inilah perjalanan panjang manusia menuju penyatuan
dengan al-Qur’an, agar manusia kembali menghadap Tuhan
dilindungi cahaya al-Qur’an.

C. Akhlak Nubuwwah
Nabi dalam perspektif tugas kemanusian, tidaklah berbeda
dengan manusia biasa. Ia makan, berpakaian, berjalan dan
bekerja sebagaimana layaknya manusia biasa. Tetapi Ia memiliki
tugas khusus untuk menyampaikan seruan kepada manusia agar
tetap berada dalam trek dan trik jalan kebenaran Allah. Tugas
para nabi untuk terus mengajak manusia beriman, beribadah
dan berakhlak ilahiyah dengan teladan yang dicontohkan para
nabi, akhlak nubuwah. Akhlak para nabi, bukanlah akhlak yang
didasarkan pada nafsu insaniyah tetapi akhlak yang diperoleh
dari wahyu, petunjuk dan bimbingan Allah.
Akhlak Rasulullah kata Aisyah RA.
Artinya, “Akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an” (H.R.
Muslim).
Pengertiannya bahwa Rasulullah itu Qur’an berjalan, isi al-
Quran berada dalam keseluruhan pribadi Rasulullah. Bila ingin
melihat apa isi al-Qur’an, maka lihatlah pribadi Rasulullah.
Namun meski akhlak Rasulullah berada pada posisi puncak
kesempurnaan tetapi kemuliaannya tetap terpancar dalam do’a-
Nya:
Artinya, “ Ya Allah, baguskanlah kejadian tubuhku dan
akhlakku” (HR. Ahmad).
Rasulullah dengan keseluruhan kehidupan yang senantiasa
menjadi teladan bagi ummat manusia, karena sifat itu menyatu
dan memperkuat risalah-Nya, Rasulullah bersabda: Artinya,
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.
Ahmad, Hakim dan Baihaqi).
Kesempurnaan akhlak manusia tergambar jelas dalam
kehidupan sehari-hari terutama dalam perilaku antara sesama.
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya orang yang sangat aku cintai dan
sangat dekat kepadaku diantara kamu sekalian pada hari kiamat
ialah orang yang paling baik akhlaknya, suka menghormati
tamu, yaitu orang yang senang pada orang lain dan juga
disenangi orang lain”.
Kemulian Rasul Muhammad bukan saja diakui oleh umat
Islam tetapi juga oleh musuh-musuh Islam pada saat itu, seperti
pengakuan Abu Jahal ketika menjawab pertanyaan Miswar bin
Makhzumah tentang pendapat Abu Jahal terhadap Muhammad.
Abu Jahal menjawab, “Wahai putra saudara perempuanku, demi
Tuhan, Muhammad di mata kami adalah pemuda yang diberi
gelar al amin (insan terpercaya). Kami tidak pernah
mendapatinya berbohong. Kami tahu Muhammad itu orang
jujur, kesatria dan berwibawa yang menerima wahyu sebagai
Nabi, kami sangat tahu. Tetapi tidak mungkin kami satu pasukan
dengan-Nya” (Raghib as Sirjani, 2010:41. Demikian pula
pengakuan jujur dari para orientalis, pemikir Barat dan para
ilmuwan dari berbagai belahan dunia dan disiplin ilmu yang
berbada. Pengakuan Thomas Walker Arnold, bahwa tidak
pernah ada kepemimpinan terbaik di jazirah Arab selain
kepemimpinan Muhammad yang sangat dihormati karena
kemuliaanya akhlaknya, mampu mempersatukan jazirah arab
yang multi kabilah (suku) dan rentan perpecahan. Tetapi di
bawah kepeimpinan mulia Muhammad seluruh kabilah bersatu
di bawah panji religi, (Raghib as Sirjani, 2010:78).
Secara hakiki agama itu akhlak. Orang yang beragama
niscaya berakhlak yang baik. Bila orang beragama dan taat
menjalankan agamanya tetapi akhlaknya buruk maka
kemungkinan besar bahkan pasti kualitas keyakinan agamanya
buruk, imannya lemah dan takwanya rendah. Sebenarnya akhlak
buruk itu tidak mungkin terjadi bila imannya lurus dan kuat
serta takwanya matang dan mantap. Akhlak buruk itu hanyalah
akibat dari lemahnya iman dan rendahnya takwa.
Oleh karena itu, secara subtansial akhlak nubuwwah
mengatur tata kehidupan agar lebih selaras dengan kodrat
penciptaan manusia baik dari aspek jiwa maupun raga, lahir
maupun batin, dengan tujuan utama agar manusia tetap berada
pada derajat kemanusiaan yang bermuara dan berpangkal pada
poros Teo-centres, tidak bergereser kepada mazhab dan manhaj
kemanusiaan yang humanisme atau antropo-centris yang
manafikan kehadiran Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Sebenarnya keseluruhan akhlak nabi merupakan akhlak
yang melekat pada kenabian dengan bimbingan Tuhan secara
penuh, bukan lahir dari hawa nafsu. Firman Allah (QS. al-Ahzab
*33+:21), artinya” Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah”. Keteladan Rasulullah didasarkan
pada :
Pertama, bimbingan wahyu yaitu segala hal yang
berkaitan dengan nubuwwah berada dalam bingkai wahyu.
Firman Allah (QS. an-Najm [53]:3-4) artinya, “ Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (al-Qur’an menurut kemauan hawa nafsunya).
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya”). Demikian juga para nabi dan rasul sebelum nabi
Muhammad SAW sebagaimana firman Allah (QS. al-Anbiya
[21+:7), artinya “ Dan tiadak kami utuskan sebelum kamu,
melainkan beberapa orang lelaki. Kami beri wahyu kepada
mereka”.
Kedua, terpelihara dari godaan setan yaitu setiap
kesalahan ditegur langsung oleh Allah dan dilindungi dari
godaan setan. Firman Allah (QS. al-Hajj *22+:52) artinya ”Dan
Kami tidak mengutus seorang rasul dan tidak pula seorang nabi
sebelum engkau (Muhammad), melainkan apabila dia
mempunyai suatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-
godaan kedalam keinginannya itu. Tetapi Allah menghilangkan
apa yang dimasukkan setan itu dan Allah akan menguatkan
ayat-ayat-Nya dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”.
Ketiga, kesalahan dengan pembetulan langsung yakni
setiap nabi melakukan kesalahan maka Allah menurunkan
wahyu untuk mengoreksinya, membetulkan dan memperbaiki.
Firman Allah dalam (QS. Abasa [80]:1-6), artinya, ” Dia
(Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena seorang
buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum).
Dan tahukan engkau (Muhammad) barangkali dia ingin
mensucikan dirinya (dari dosa) atau dia ingin mendapatkan
pengajaran yang memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang-
orang yang dirinya merasa serba cukup (pembesar-pembesar
Quriasy), maka engkau (Muhammad) memberikan perhatian
kepadanya”.
Keempat, semua pentauhidan, ajaran yang dibawa
merupakan pentauhidan kepada Allah. Semua nabi dan rasul
membawa ajaran yang sama yaitu tauhid (meng-Esa-kan Allah).
Firman Allah (QS. an-Nahl [16+:36), artinya “ Dan sungguh Kami
telah mengutus rasul pada tiap-tiap ummat (untuk
menyerukan), “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu
…”.
Beberapa Akhlak Rasulullah yang patut dan pantas
direnungkan, dipelajari dan dilaksanakan dalam kehidupan. (1)
bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin. Firman
Allah (QS. at-Taubah [9]:128-129) artinya, “Sungguh telah
datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin”. Sikap yang perlu
diteladani kita semua bisa saling menyayangi antar sesama
muslim agar menjadi ummat yang besar dan bersatu untuk
menjadi pemenang, (2) bersifat tegas dan keras terhadap orang
kafir sebagaimana firman Allah (QS. al-Fath [48]:29) artinya, “
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi
berkasih sayang sesama mereka…”. Seorang muslim harus
punya sikap yang tegas bila berhadapan dengan orang-orang
kafir sebab mereka tidak ridha sampai ummat Islam
mengikutinya, (3) Waspada terhadap kaum Munafik. Kaum
munafik itu musuh dalam selimut, memusuhi Islam tapi
berpura-pura, padahal yang sebenarnya tidak beda dengan
kaum kafir yang membenci Islam. Karena itu waspadalah
sebagaimana firman Allah (QS. al-Munafiqun [63+:4) artinya, “ …
Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras dutujukan
kepada mereka. Mereka itulah musuh yang sebenarnya maka
waspadalah terhadap mereka, semoga Allah membinasakan
mereka. Bagaimana mereka sampai dipalingkan (dari
kebenaran)?” Sikap utama orang munafik yaitu bermuka dua,
pendusta, pengkhianat, dhalim dan bermusuhan. Firman Allah
(QS. al-Baqarah *2+: 14) artinya, “ Dan bila mereka berjumpa
dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami
beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka,
mereka mengatakan: “ Sesungguhnya kami hanyalah berolok-
olok”. Mereka mengira bahwa olok-olokannya itu tidak akan
dibalas oleh Allah padahal balasan Allah itu sangat pedih.
Terdapat tiga contoh sederhana akhlak nubuwwah yang
dapat dijadikan teladan berperilaku dalam kehidupan sehari-
hari. Dari Abu ad-Darda RA, Rasulullah SAW bersabda, “ ada tiga
akhlak nubuwwah, (1) menyegarakan berbuka puasa, (2)
mengakhirkan makan sahur, (3) meletakkan tangan kanan di
depan tangan kiri dalam shalat”, (HR. Ath-Thabrani dalam al-
Kabir). Terdapat beberapa hikmah dari pemahaman hadits di
atas: (1), menyegerakan berbuka puasa mengisyaratkan agar
setiap kita menyegarakan diri untuk melakukan kebaikan,
karena kita sedang berada dalam kebaikan berpuasa, (2)
mengakhirkan sahur, bertujuan agar kekuatan lebih dalam
menjalankan puasa, (3) bersedekap saat shalat, menunjukkan
kerendahan hati, ketenangan, kepasrahan dan kesadaran akan
kematian.
Kita sadar sepenuhnya meski manusia diberikan akal
pikiran dan qalb untuk meneratas jalan bantu kehidupan dan
membongkar kebenaran dari akarnya namun kita tak dapat
menemukan kebenaran yang tepat tanpa contoh dari baginda
Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai Muslim/mah kita wajib
taat pada tuntunan-Nya, dengan “aku lihat, aku dengar dan aku
lakukan sepenuh kesadaran”.

D. Akhlak Insaniyah
Akhlak yang dengan jelas dan tegas dinyatakan
keberfungsiannya bagi manusia, mustahil bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusian dan asas-asas insani yang hakiki. Kesan
seakan-akan ada akhlak Islam yang bertentangan dengan nilai-
nilai kemanusian atau hak asasi manusia (HAM), itu hanya
terjadi karena ukuran nilai yang digunakan sumbernya berbeda.
Akhlak Islam bersumber dari Allah pemilik manusia yang
sebenarnya (Teo-centric) sedangkan HAM bersumber dari moral
bentukan manusia (antropo-centric).
Beberapa contoh yang terkesan adanya pelanggaran hak
asasi manusia dari penerapan akhlak Islam, seperti hukuman
(balasan akhlak) bagi orang yang berzina maka dirajam
(dilempar batu 100 kali atau sampai mati bagi yang zina
mukhson). Hukuman ini seakan-akan bertentangan dengan
HAM, padahal bila dilihat dari maslahatul ummah
(kemaslahatan bersama), justru menyelamatkan jiwa yang lebih
banyak. Ketika hukuman ini tidak diterapkan, malahan
menimbulkan bencana yang lebih banyak dengan adanya AIDS
yang bukan saja hanya menimpa pelaku zina tetapi menimpa
siapapun bahkan dalam jumlah yang lebih banyak. Padahal bila
hukuman (balasan dosa) itu dilaksanakan maka hanya terjadi
pada 2 orang pelakunya saja. Contoh berikut yang dipandang
paling melanggar HAM adalah hukuman qisas bagi yang
membunuh adalah dengan dibunuh potong leher. Hukuman ini
dipandang paling mengerikan karena dipotong leher ditempat
terbuka, disaksikan oleh siapapun. Padahal ketika direnungkah,
hukuman pemutusan saraf atau urat nadi utama yang menjadi
penghubung antara badan dengan pusat kesadaran (otak) justru
tidak menghadirkan rasa sakit. Karena sakit akan terasa pada
saat aktifnya pusat kesadaran. Tetapi perhatikan pelajaran
berharganya, siapapun yang melihat atau menyaksikan atau
menjiwai hukuman itu, akan benar-benar merasa ngeri, takut,
dan jera yang pada ujungnya mengarah pada kesimpulan
mustahil melakukan tindakan yang bisa mendapatkan hukuman
yang serupa. Dari efek jera yang begitu kuat, ternyata akan
menyelamatkan jiwa yang lebih banyak. Karena semua orang
yang menyaksikan pelaksanaan qisas mendapat pelajaran
berharga dan bermakna. Itulah sebabnya hukuman qisas
dilaksanakan untuk menjaga nyawa bagi yang lainnya.
Perhatikan firman Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]: 179) artinya,
“… Dan dalam qishash ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, hai orang-orang yang berakal sehat, supaya kamu
bertakwa”. Perhatikan dampak dari hukuman yang ringan bagi
pembunuh maka jumlah pembunuhan begitu besar bahkan
begitu teganya membantai seluruh anggota keluarga,
membunuh anak, istri dan kedua orangtuanya sendiri dengan
jahat, sadis, dan biadab tapi hukumannya hanya seumur hidup,
betapa tidak adil.
Pelaksanaan akhlak dalam Islam akan senantiasa merujuk
pada hukum penciptaan dan kepemilikan dasar bahwa manusia
diciptakan dan milik hakiki Allah maka dengan sendirinya Allah
lebih tahu, mengerti dan memahami hakikat ukuran dan aturan
yang cocok bagi manusia seusai dengan kodrat penciptaannya.
Menurut Ibnu Qayyim (2001:214), bahwa akhlak itu
terbagi 2, yaitu akhlak fitri dan akhlak muktasab. Akhlak fitri
merupakan bawaan alamiah manusia yang sudah ditanaman
Allah untuk bisa membedakan baik dan buruk, salah dan benar,
menepati janji, sabar, dermawan, mengutamakan orang lain
atau egois, jujur atau tidak jujur dan seterusnya serta akhlak
yang diperoleh karena pembiasaan yang ditanamkan oleh
murabbi atau orangtua kepada anak sejak usia dini melalui
pembiasaan. Sebenarnya dalam diri manusia sudah ditanamkan
dua kecenderungan yang akan menjadi perhelatan panjang
manusia, menuju jalan kanan atau berbelok ke jalan kiri. Tetap
kokoh di jalan Allah atau tergelincir ke jalan setan. Allah
menegaskan dua kecenderungan itu dalam firman-Nya (QS. asy-
Syam [97]: 8-10) artinya, “ maka Allah membisikan
kecenderungan kepada jiwa jalan kefasikan dan ketakwaan,
sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan
sesungguhnya merugi orang yang mengotorinya”.
Beberapa hal yang berhubungan dengan kodrat dasar
manusia yang memungkinkan ukuran akhlaknya akan lebih
tepat, sebagai berikut:
1. Fitrah yang hanif, manusia diciptakan oleh Allah dengan
potensi dan bawaan alami cenderungan pada kebaikan ( QS.
ar-Rum *30+:30) artinya, “ Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang
lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Keadaan dimana manusia hanif memungkinkan manusia
punya potensi bawaan mengetahui baik-buruk, salah-benar,
tepat-tidak tepat, jahat atau soleh dan seterusnya, sekalipun
belum mendapat pelajaran yang berupa dan bermakna.
Tetapi Allah mengilhamkan pada diri manusia jalan
kejahatan dan ketakwaan (QS. asy-Syam [91]:8-10). Edward
Wyne dalam sebuah penelitiannya, menyimpulkan bahwa
95% manusia tahu benar atau salah, baik atau buruk, jahat
atau tidak jahat, hanya saja untuk melakukan atau tidak
melakukan, 100% bergantung pada komitmennya.
2. Kualitas Paling Sempurna, manusia secara faktual tidak
diragukan sebagai mahluk yang berada di atas mahluk yang
lain dalam kesempurnaan kualitas ruhanian maupun
kuantitas organismenya (QS. at-Tin [95]:4) artinya, “ Sungguh
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”. Salah satu bentuk kesempurnaan manusia yaitu
diberikan sebuah kekuatan super dahsyat berupa kekuatan
qalbu, akal, mata, dan pendengaran yang menjadikan
manusia berada dalam rantai tertinggi kesempurnaan hidup
mahluk. Namun apabila fasilitas potensian itu tidak
digunakan dengan baik maka manusia akan terdegradasi ke
level terbawah melampau level hewan. Firman Allah (QS. al-
A’raf *7+:179), artinya, “ Dan sesungguhnya, akan kami isi
nerakan Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia.
Mereka memiliki hati tetapi tidak digunakan untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata
tetapi tidak digunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah) dan mereka memiliki telinga tetapi tidak
dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah).
Mereka seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lengah”. Mengapa manusia bisa
bagaikan hewan ternak bahkan lebih sesat? Jawabanya
karena manusia seperti ini tidak menggunakan akhlak
bersyukur atas pemberian Allah yang sangat luar biasa yang
tidak diberikan kepada mahluk lainnya. Memang manusia
merupakan mahluk pembangkang yang imannya lengah,
hidupnya megah dan akhlaknya merasa gagah.
3. Pembantah yang Nyata, manusia satu-satunya di luar setan
sebagai mahluk pembantah, padahal lautpun bertasbih, bumi
bertafakur, gunung tersungkur, semua mahluk bersujud
syukur, kecuali manusia senantiasa takabur, merasa luhur
dan tak mau tafakkur. Perhatikan firman Allah (QS. al-Kahf
*18+:54) artinya, “…Tetapi manusia adalah memang yang
paling banyak membantah”. Bahkan manusia tidak tahu dan
tidak mau berterima kasih. Firman Allah (QS. al-Ahdiyat
[100]:6) artinya, “ Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar
(tidak bersyukur) kepada Tuhannya”.
4. Suka Keluh Kesah, manusia ketika mengalami masalah atau
dalam keadaan berkesempitan senantiasa berkeluh kesah.
Firman (QS. al-Ma’arij *70+:19) artinya,” Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”. Sifat
negatif ini diharapkan bisa diperbaiki karena merugikan
manusia sendiri. Serta diimbangi dengan peningkatan
keimanan dan latihan akhlak yang baik, agar manusia
terhindar dari berkeluh kesah yang tidak ada manfaatnya dan
segera berubah menjadi manusia yang sabaik-baiknya
mahluk. Firman Allah (QS. al-Bayyinah [98]:7) artinya, ”
Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan, mereka itulah sebaik-baik mahluk”.
5. Mencintai Dunia. Sifat lain yang juga dimiliki manusia adalah
mencintai dunia dalam kadar yang tidak wajar. Mencintai
dunia dengan berlebih bisa berakibat pada lupa untuk
mengingat Allah dan akibat fatal bisa menjadikan harta
sebagai Tuhan. Keadaan seperti ini merupakan akhlak buruk
yang bisa merusak fitrah manusia yang hakiki. Karena itu,
cinta terhadap dunia harus dengan konsep yang benar yakni
ketika manusia mencintai harta hingga tidak mau berpisah
dengan hartanya sampai akhirat. Maka ia hendaknya
menggunakan harta untuk kebaikan, zakat, sodakoh, infak,
membangun masjid, memberi makan anak yatim, bantu
pendidikan dan seterusnya, agar harta itu tidak berpisah dan
terbawa sampai ke akhirat. Tapi manusia pada umumnya
bersifat mencintai dunia berlebihan sampai menjadi buah
harta. Firman Allah (QS. al-Adiyat *100+:8), artinya, “ Dan
sesungguhnya cintanya terhadap harta benar-benar
berlebihan”. Baberapa orang sebagai I’tibar pecinta harta
yang kebablasan sehingga harta membawa ke neraka,
misalnya Qorun zaman nabi Musa, yang awalnya taat
beribadah tapi miskin maka minta kepada Nabi Musa untuk
didoakan menjadi orang kaya. Namun ketika sudah menjadi
orang kaya dia sombong dan angkuh dengan hartanya.
Firaun karena hartanya kemudian mengaku Tuhan, minta
disembah dan bahkan semua anak laki-laki harus dibunuh,
namun akhirnya Allah tenggelamkan Firaun dan bala
tentaranya ke dasar laut. Sa’labah yang awalnya rajin ke
masjid tatapi setelah ternaknya banyak menjadi jarang dan
tidak lagi ke masjid. Inilah contoh mencintai harta tetapi tidak
mencintai pemilik rezeki yang hakiki.
Manusia dianugrahi akhlak dasar sebagai mahluk yang
antagonis atau paradok, ia kadang berada pada posisi benar dan
terkadang salah, busurnya bergeser ke arah sifat malaikat
bahkan mendekat ke watak syaithaniyah. Manusia benar-benar
mahluk masterius (sempurna) dan sekaligus mahluk misterius
yang penuh dengan teka-teki pertentangan. Jiwa penuh
pertentangan dan raga padat ketidakpastian, rasa dihuni banyak
ambigu dan akal dikuasai ragu-ragu. Ia berada pada dua posisi di
persimpangan jalan. Balik ke belakang dikejar bayang-bayang
kegagalan dan maju ke depan dipanah ilusi harapan. Ia berjalan
penuh perhelatan dan pergumulan dengan perjuangan yang
menegangkan dan merenggangkan. Ia berjuang untuk hidup di
tebing terjal maslahat atau mafsadat, atau mati diantara husnul
khotimah atau syu’ul khotimah.
Pemahaman atas karakter dasar jiwa manusia, yang
memang begitu adanya maka Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha
Bijaksana memberikan bimbingan keberakhlakan berupa
pemberian:
Pertama, Harapan dan Ancaman, reward and fanishment,
surga dan neraka, basyira wa nadhira. Firman Allah (QS. al-Kahf
[18]:56) artinya, “ Dan kami tidakah mengutus rasul-rasul
melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan …”. Dua keadaan yang saling berhadapan, tidaklah
dilakukan Allah selain untuk mengubah buruk untuk lebih baik
dan meningkatkan harapan bagi yang sudah baik untuk terus
lebih baik dimasa depan. Firman Allah (QS. adl-Dluha [93]:4-5),
artinya, “ dan sungguh yang kemudian itu lebih baik bagimu dari
pada yang permulaan”. Manusia yang gemar berbuat dosa dan
kedholiman diancam dengan siksaan atau hukum berat agar
merasa takut sedangkan hamba Allah yang taat terus diberi
pengharapan agar bisa bertahan dalam kebaikan. Tujuan
intinya, hanya satu, semua manusia diharapkan berada pada
pilihan jalan puncak menuju kebenaran Tuhan. Bagi ummat
Islam sebenarnya tidak ada dua pilihan jalan hidup (surga atau
neraka). Pilihannya hanya satu, yakni surga. Neraka itu bukan
pilihan, karenanya jalan ke neraka penuh dengan siksaan agar
manusia tidak memilih jalan itu.
Kedua, Surga atau Neraka, Allah menciptakan hukum
pilihan yang saling berhadapan: kenikmatan atau kemelaratan,
kebahagiaan atau kesengsaran, keindahan atau kesemerawutan,
bersanding bidadari atau bertanding bidaduri, semua
menyimpan rahasia kebaikan. Dua keadaan yang saling
bertentangan dan memberi kesan bertubrukan, sebenarnya
bertujuan tunggal yakni agar manusia yang sudah gemar
beramal baik, memelihara amalnya dengan berharap meraih
kenikmatan surgawi dan yang masih berperilaku buruk, jahat
dan pendosa berusaha menghindar dari siksaan neraka dengan
api yang membara sepanjang masa dan abadi selamanya.
Ketiga Dunia dan Akhirat. Dunia itu profane sedang
akhirat eternal, dunia penuh kehinaan dan akhirat sarat
kemuliaan. Dunia bersifat keserakahan dan akhirat berjiwa
kearifan. Namun meski manusia tahu bahwa dunia adalah
simbol dari “kehinaan” tetapi manusia memiliki kecenderungan
menyukai dunia dengan penuh kegirangan. Firman Allah (QS. Ali
Imran *3+:14) artinya, “ Dijadikan terasa indah dalam
pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan berupa
perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan
di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik”.
Kecintaan terhadap dunia dilarang dengan tegas manakala
bisa memalingkan manusia dari mengingat Allah, lupa
beribadah, sombong, kikir bahkan berpaling dari akhirat karena
dilalaikan oleh dunia. Renungkan pesan mendalam dari firman
Allah (QS. al-Ankabut [29]:64), artinya, “Dan kehidupan dunia ini
hanyalah senda gurai dan permainan. Dan sesungguhnya negeri
akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka
mengetahui”. Tetapi bila rezeki itu justru membuat seseorang
gemar beribadah, tentu saja tidaklah dilarang. Namun bawaan
dasar harta dunia membuat manusia cenderung sombong,
angkuh, dan jauh dari Allah karena kecintaan terhadap harta
melebihi cintanya pada Allah. Sebuah ungkapan bijak
mengatakan, “ orang kaya itu sombong dan orang yang sangat
kaya itu rendah hati”. Itulah gambaran akhlak yang buruk yang
jelas harus dijauhi dan tegas untuk tidak diikuti karena merusak
martabat kemanusiaan yang hakiki.
E. Akhlak Ilmiyah
Ajaran Islam memiliki dimensi ilmiah. Artinya pembuktian
secara empirik-logik bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Terlebih dalam hal fiqh, karena fiqh merupakan ajaran Islam
yang merupakan hasil metodolgi ilmiah, yakni ijtihad. Dimensi
keilmiahan modern lebih kental pada produk fiqh. Bahkan fiqh
itu berkarakter positivistik. Misalkan, haramnya babi, secara
ilmiah bisa diterima, karena mengandung cacing pita yang
berbahaya bagi manusia dan bahkan babi bisa bermutasi gennya
kepada manusia.
Bagaimana halnya dengan akhlak? Secara ilmiah,
kebenaran akhlak sudah banyak yang bisa dan biasa dibuktikan
keilmiahannya, seperti:
1. Makan atau minum tidak boleh sambil berdiri. Hal ini
ternyata secara ilmiah, dalam tubuh manusia ada katup yang
hanya bisa terbuka dengan normal ketika berada dalam
posisi duduk. Menurut Husnul Abdi (www.liputan6.com
tahun 2019), bahwa minum sambil berdiri akan memberi
dampak sebagai berikut: (a) mengganggu saluran sistem
percenaan, (b) berisiko terkena artritis, yang disebabkan
keseimbangan cairan dalam tubuh terganggu, (c)
optimalisasi fungsi ginjal terganggu kemudian berefek pada
saluran kandung kemih atau kerusakan ginjal permanen.
Demikian pula penjelasan yang disampaikan dr. Nadia
Octavia, www.id.theasianparent.com bahwa makan minum
sambil duduk lebih menyehatkan dibanding sambil berdiri,
karena dalam tubuh manusia terdapat jaringan penyaring
atau filter sfringer yaitu struktur maskuler yang bisa buka
tutup bergantung posisi tubuh dan terbuka saat duduk, (d)
menyebabkan proses pengenceran kadar asam terganggu.
2. Sunnah makan memakai tangan, ternyata tangan banyak
mengandung enzim RNAase yang disekresikan oleh tangan
untuk fungsi kekebalan tubuh, proteksi dan perlawanan
terhadap bakteri, www.medicalzone.org.
3. Sodomi dilarang, sebab akan memberikan dampak buruk
seperti: (a) menyebabkan infeksi pada anus, (b) alvi
incontinence, turunnya kemampuan untuk mengontrol
kapan BAB karena rusaknya sfingter, (c) proctitis, terjadi
peradangan lubang anus dan lapisan rectum atau saluran
anus.
4. Haramnya makan babi, daging babi dilarang untuk dimakan
karena secara ilmiahpun terbukti berbahaya seperti: (a)
menyebabkan kanker kolorektal, kanker yang tumbuh pada
usus besar (kolon) dan rectum, (b) penyakit hati, makan
daging bagi sebagai penyebab tingginya jumlah pengidap
penyakit sirosis dan kanker hati, (c) hepatitis E, makan
daging babi lebih rentan terinfeksi virus hepatitis E yang bisa
mengakibatkan penyakit kuning, sakit sendi, kelelahan,
pembesaran hati, gagal ginjal, miokarditis (peradangan pada
otot jantung), pankreatitis akut (peradagang pancreas),
gangguan neurologis (masalah pada otak dan sistem saraf),
kelainan darah, musculoskeletal (menyerang sendi, otot,
saraf, ligament dan tulang belakang) bahkan (d) cacingan,
yang disebabkan larva dari cacing pita taenia solium, (Novi
Sulistia Wati) dalam www.hellosehat.com, 26 Februari 2019,
(e) bahkan bisa mutasi gen kepada manusia.
5. Minum khomar, minuman keras sebenarnya bisa berakibat
buruk bagi kesehatan tubuh seperti mabuk, mual, muntah,
gangguan lever (10-20% penyakit lever karena konsumsi
alcohol), menurunnya fungsi otak, meningkatkan risiko
depresi dan frustasi bahkan berakibat fatal pada kematian.
Itulah sebabnya Islam mengharamkan minuman beralkohol
karena secara ilmiah terbukti merusak kesehatan dan secara
sosial menyebabkan permusuhan dan kebencian, secara
psikologis merusak kesehatan mental serta secara spiritual
menghalang-halangi dari mengingat Allah. Firman Allah (QS.
al-Maidah [5]: 90) artinya, “Wahai orang-orang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi (berkurban untuk
berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah adalah
perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung”.
Ngeri memang, di Indonesia yang mayoritas penduduknya
(muslim) sebagaimana yang dilansir kepala BNN Komjen Pol
Heru Winarko (2019), menyebutkan 50 orang meninggal
setiap hari karena narkotika dan obat terlarang lainnya,
dengan jumlah pengguna tembus di angka 3,6 juta orang,
2,3 juta orang berstatus pelajar/mahasiswa. Dari jumlah
konsumsi Narkoba yang begitu besar, taksiran kerugian
ekonomi dan sosial mencapai 63 triliun per tahun. Tersedia
di www.kominfo.go.id tahun 2019.
6. Posisi tidur miring ke kanan, Islam mengajarkan adab sopan
santun bukan sekedar etika tetapi kebenarannya secara
medik-sainstifik bisa dibuktikan. Tidur dalam ajaran Islam
memiliki landasan normatif yang kuat yakni firman Allah (QS.
ar-Ruum [30]: 23) artinya, “Dan diantara tanda-tanda
kebesara-Nya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang
untuk usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang mendengarkan”. Islam berpandangan bahwa tidur itu
merupakan istirahat yang bernilai ibadah manakala
memenuhi standar akhlak Islam. Karena itu tidur dalam
Islam ada etikanya yakni: tidak tidur terlalu malam, dilarang
tidur setelah subuh dan setelah ashar dan dibolehkan tidur
setelah dzuhur sekedarnya. Sedangkan tidur di pagi hari
sampai kisaran pukul 11.00 siang larangangnya bersifat tidak
langsung, misalkan karena tidur pagi hari mengganggu jam
produktivitas maka Allah membuat insting atau naluri
nyamuk DB untuk menggigit “kemalasan” mereka yang
menentang akhlak waktu pagi hari untuk bekerja. Secara
prosedural Rasulullah SAW memberikan contoh tidur yang
benar dengan miring ke kanan, sebagaimana sabdanya,
artinya, “Apabila kamu hendak tidur maka berwudlulah
dengan sempurna seperti kamu berwudlu untuk shalat,
kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”.
(HR. Bukhari Muslim).
Menurut Chris Idzikowski mengenai deteksi kesakitan ,
Direktur Sleep Assessment and Advisory Service, yang
melakukan penelitian terhadap 1000 relawan,
kesimpulannya ternyata posisi tidur memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kesehatan seseorang. Bahkan menurut
Dr. Hooman Melamed ahli bedah ortopedi di CSC Sports &
Spine Center di Los Angeles California bahwa 80% populasi
mengalami nyeri punggung beberapa kali dalam hidupnya
disebabkan posisi tidur yang salah. Tersedia di alamat:
www.hidayatullah.com
Terdapat beberapa manfaat tidur miring ke kanan yang
dirilis di alamat: www.idntimes.com dari beberapa
kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut: Pertama,
mengistirahatkan kerja otak kiri, menghindarkan resiko
pembekuan darah, lemak, asam sisa oksidasi dan
penyempitan pembuluh darah. Kedua, mengurangi beban
jantung sehingga dapat membuat darah terdistribusi secara
merata dan terkonsentrasi ke tubuh bagian kanan, membuat
aliran darah yang masuk dan ke luar jantung lebih melambat
dan tekanan darah akan menurut. Ketiga, mengistirahatkan
lambung. Dengan tidur miring ke kanan menyebabkan aliran
chiem lancar dan cairan empedu meningkat sehingga dapat
mencegah batu kantung empedu. Keempat, meningkatkan
penyerapan nutrisi makanan secara maksimal, karena dapat
membuat perjalanan makanan yang tercerna lebih lama
sehingga penyerapan sari makanan lebih optimal. Kelima,
merangsang buang air besar, tidur miring ke kanan akan
membuat proses pengisian usus besar lebih cepat penuh
sehingga merangsang gerak usus besar dan relaksasi dari
otot anus yang menyebabkan rangsangan untuk buang air
besar. Keenam, mengistirahatkan kaki kiri, karena kaki
biasanya digunakan sebagai penopang beban badan
sehingga mudah merasa pegal. Dengan tidur miring ke
kanan akan membantu pengosongan vena kaki kiri sehingga
pegal lebih cepat hilang. Ketujuh, menjaga saluran
pernafasan sahingga bisa mencegah jatuhnya pangkal lidah
yang dapat mengganggu saluran pernafasan.
7. Penyembelihan Hewan, Islam melarang (haram) bagi umat
Islam untuk memakan daging hewan yang disembelih bukan
atas nama Allah atau tidak disembelih. Secara ilmiah kenapa
harus disembelih? Jawaban ilmiahnya, anta lain: (1) hewan
tidak merasa sakit. Penelitian yang dilakukan Prof. Dr.
Wilhelm Schultz dan Dr. Hazim dari Hannover University
mengenai deteksi kesakitan melalui dua metode, yakni
metode penyembelihan menurut syariat Islam yang murni
tanpa pemingsanan dan penyembelihan dengan metode
pemingsanan (captive bolt pisto/CBP. Alat yang digunakan
unutk deteksi kesakitan hewan menggunakan electro-
encephalograph yang dipasang pada otak dan jantung.
Hasilnya penyembelihan cara Islam tidak menghasilkan rasa
sakit dan paling manusiawi, paling berprikehewanan dan
yang melalui pemingsanan ternyata memberikan rasa sakit
yang luar biasa. Hal ini terlihat dari alat elektroda
(microchip) untuk mengukur derajat rasa sakit. Hasilnya
ternyata ketika leher sapi bagian depan disembelih, 3 detik
pertama, tidak ada perubahan pada grafik EEG, malah turun
seperti mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak dan
benar-benar kehilangan kesadaran atau malah “no feeling of
pain at all” (tidak ada rasa sakit sama sekali). Selain itu
jantung mengeluarkan darah dengan banyak sehingga tidak
terjadi pengendapan darah di daging dan makanan seperti
dinyatakan makanan sehat.
Berdeda dengan menggunakan pemingsanan, seketika
setelah disembelih grafik EEG naik siginifikan, yang
mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita
sedang ECG turun yang mengindikasikan rasa sakit luar biasa
yang menyebabkan jantung berhenti lebih awal dan
kemampuan mompa darah hilang akhirnya darah
mengendap di daging dan makanan itu kurang sehat untuk
dikonsumsi serta cepet busuk, www.ilmuveteriner.com.
Pelajaran yang dapat diambil: (1) ketaatan pada syariat
sesuai perintah Allah, hanya Allah yang punya hak mutlak
mematikan sesuatu, manusia hanya hak pinjaman dari Allah
saja, (2) penyembelihan berdasarkan syariat lebih
berperikehewanan, (akhlak diagonal), (3) menghasilkan
makanan yang higienes, tahan lama, dan menyehatkan, (4)
memberi pelajaran bagi manusia yang menyaksikan agar
lebih penyayang pada hewan, karena mereka berkorban
demi manusia.
8. Covid-19, Virus corona atau severe acute respiratory
syndrome corona virus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan. Virus corona bisa
menyebabkan gangguan pernapasan, pneumonia akut
sampai kematian. Virus ini bisa menyerang siapa saja: bayi,
kanak-kanan, anak-anak, remaja, dewasa, bumil, manula dan
seterusnya. Virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan China
akhir 2019. Virus ini menyebar begitu cepat hampir ke 200
negara dalam tempo waktu yang begitu singkat.
Virus corona menyebar atau menular dengan cara: (1)
tidak sengaja menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk
penderita covid-19, (2) memegang mulut atau hidung tanpa cuci
tangan terlebih dahulu setelah menyentuh benda yang terkena
cipratan air liur penderita Covid-19, (3) kontak jarak dekat
dengan penderita Covid-19, misalkan bersentuhan atau jabat
tangan.
Tulisan ini tidak hendak membahas tentang Virus Corona,
tetapi mengambil pelajaran dari adanya musibah dan wabah
Covid-19 yang menggemparkan dunia, karena pada saat
menuliskan pembahasan ini penduduk dunia yang terkena
covid-19 berjumlah lebih dari 2,34 juta orang dan yang
meninggal 160.896 orang pertanggal 19 April 2020.
Bagi umat Islam musibah merupakan suatu peristiwa yang
menyangkut berbagai sisi dan dimensi yang saling berinteraksi,
bersinergi dan berintegrasi antara:
1. Kebaikan versus keburukan. Kebaikan dan keburukan
merupakan dua sisi yang berbeda dimensi. Kebaikan berasal
dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Pelindung dan
Penjaga. Sedangkan keburukan berasalah dari kesalahan
manusia sendiri. Firman Allah dalam (QS. an-Nisa [4]:79)
artinya, “ Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari
Allah dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari
kesalahan dirimu sendiri...”. Allah tidak menurunkan azab
kecuali diundang oleh manusia. Undangan azab berupa:
kemusyrikan, kedzoliman, kemunafikan, perbuatan fahsya,
munkar, riba, zina, korupsi, fasad, kikir, hasud, iri, dengki,
ujub, riya, syu’udzon, serakah, mabuk, maling, mateni, serba
gila (harta, harga, wibawa, tahta dan gila wanita), bermegah-
megahan dan seterusnya. Akhlak umat Islam dalam
menghadapi musibah antara lain: istighfar, bertaubat dan
buka hati untuk melakukan introspeksi dan retrospeksi,
lakukan setiap saat koreksi, emendasi, pendaan, dan revisi
dari, oleh dan untuk setiap perilaku kita.
2. Azab Vs Peringatan. Satu peristiwa yang sama bisa memiliki
makna yang berbeda. Musibah bisa hadir sebagai azab
(siksaan) atau sebagai peringatan. Ia azab sebagai balasan
langsung atas kedholiman dan dosa yang diperbuat dan
sebagai peringatan agar manusia segera menyadari dan
kembali kejalan yang benar. Firman Allah (QS. ar-Ruum
[30]:41) artinya, “Telah Nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya
Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar)”. Manusia perlu mengetahui dan mensyukuri bahwa
hukuman dari dosa manusia itu, hanya sebagian saja yang
ditimpakan azabnya di dunia, yang lainnya ditangguhkan
sampai masa tertentu. Renungkan firman Allah (QS. as-Sajdah
[32]:21), artinya, “Dan sesungguhnya Kami merasakan
kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum
azab yang lebih besar (di akhirat). Mudah-mudahan mereka
kembali (ke jalan yang benar”. Azab yang ditimpakan kepada
manusia di dunia karena dosa riba dan zina, membiarkan
kedzoliman, merusak alam, menahan zakat, dosa kepada
orangtua, dan kekafiran. Apapun musibah yang menimpa
kaum muslimin hendaknya: ber-muhasabah, tetap positif dan
tidak mencela musibah.
3. Musibah Azab Sebagian atau Seluruhnya. Musibah sebagai
azab bisa menimpa kepada siapapun (muslim atau kafir)
tanpa pandang bulu. Hanya saja akan disisakan atau tidak ada
bekas tersisa sedikitpun. Pada umat sebelum Nabi
Muhammad siksaan itu diberikan langsung di dunia sehingga
begitu banyak kaum yang dihancurkan bahkan tanpa sisa
apapun. Seperti Umat nabi Musa, Nabi Nuh, kaum Ad, kaum
samud dll. Pada umat nabi Muhammad sebagian dosanya
dibalas di dunia dan sebagiannya ditangguhkan sampai masa
tertentu. Tetapi bila manusia dihukum karena dosanya maka
tidak akan ada satu manusiapun yang tersisa. Perhatikan
Firman Allah (QS. al-Fathir [35]:45), artinya, “Dan sekiranya
Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah
mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun
mahluk bergerak yang bernyawa di bumi ini tetapi Dia
menangguhkan (hukumannya) sampai waktu yang sudah
ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba maka Allah Maha
Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya”.
4. Pengampunan Dosa atau Nambah Dosa. Ketika manusia
ditimpa musibah ada yang memasrahkannya kepada Allah
dan ada pula kaum yang malah mencaci Allah dan musibah
itu sendiri. Firman Allah (QS. al-Baqarah *2+:156) artinya, “
yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan, “innalillaahi wa inna ilahi raaji’uun”. Hadits
yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah
Radhiyallahu’anhu, Rasulullah bersabda: “ Tidak ada satu
musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit,
bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam,
sampai duri yang menancap di badannya kecuali Allah
jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya”.
Lain halnya dengan musibah yang menimpa Fir’aun seperti
kemarau panjang, angina topan, hama belalang, hama kutu
yang menyerang sampai ke rumah-rumah, katak
berhamburan dimana-mana, darah yang bercapur dengan air
pada sumur-sumur, bejana, sungai Nil, azab yang menimpa
kaum Firauan bertubu-tubi tapi tidak menimpa kaum Nabi
Musa. Fair’aun pun berputus asa dan meminta Nabi Musa
berdoa mengangkat musibah ini dan berjanji akan beriman.
Nabi Musa pun berdoa dan setelah musibah diangkat mereka
tetap tidak beriman malah makin sombong. Fir’aun berkata, “
hai kaumku, bukanlah negeri Mesir ini milikku dan bukankah
sungai Nil mengalir di bawahku? Maka apakah kalian tidak
menyaksikannya? Bukankah aku ini lebih baik dari orang hina
(yaitu Nabi Musa) yang tidak bisa menjelaskan perkataannya.
Mengapa tidak dipakaikan gelang dari emas? Atau malaikat
datang bersamanya untuk mengingkarinya?
Para pengikutnya pun patuh kepada Fir’aun. Namun apa
yang terjadi Fir’aun dan balatentaranya ditenggelamkan. Itulah
musibah malah makin menyombongkan diri.
Bagaimana akhlak umat Islam ketika menghadapi wabah,
apapun itu wabahnya, karena bisa berbahaya bagi orang lain
maka sebaiknya ikuti tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW
sebagai berikut:
1. Tetap tinggal di wilayahnya masing-masing. Atas kepasrahan
menerima ketentuan Allah maka yang mati karena penyakit
wabah, dimasukkan orang yang mati syahid.
2. Menahan diri di rumah masing-masing, seraya menyadarinya
bahwa tidak aka ada musibah yang ditimpakan selain karena
kehendak Allah maka ketika meninggal dunia karenanya,
sama dengan mati syahid.
3. Tidak memasuki wilayah sedang terjangkit wabah (seperti
yang dilakukan Umar ketika perjalan menuju Syam, namun
ketika di Sargh ada yang memberi tahu lagi wabah, maka
Umarpun berbalik arah meninggalkan Sargh).
4. Tidak meninggalkan tempat masing-masing sekalipun lagi
wabah.
Demikian mulianya akhlak umat Islam sehingga wabah
penyakit yang berbahaya sekalipun tetapi menganut prinsif
hidup: (1) tidak menambah madharat bagi orang lain, (2)
meyakini dan pasrah bahwa sesuatu tidak akan terjadi selain
karena ketetapan-Nya sejak ajali, (3) meringankan beban bagi
para petugas yang bekerja menanganinya, (4) meningkatkan
ibadah dan doa kepada Allah, agar dijauhkan dari musibah, (5)
banyak berbuat baik kepada orang lain (sadakah, infak dll), (6)
berikhtiyar optimal sesuai standar kesehatan, (7) tetap produktif
meski berada di rumah dengan mengalihkan kegiatan yang lebih
tepat sesuai kondisi yang dialami, (8) dan yang paling penting,
umat Islam atau manusia sejagat raya mulai menyadari
kebenaran berpikir “ghaib mindstream”, ada sesuatu yang ada
selain yang nampak ada. Firman Allah (QS. al-Baqarah [2]: 3),
artinya,” yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib,
melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka”. Kebenaran itu bukan hanya yang
empirik tetapi kebenaran itu segala sesuatu yang ada yang
diadakan oleh Yang Maha Ada.
Kini terbukti secara ilmiah bahwa akhlak Islam bukan
hanya sekedar etik atau moral tetapi tatanan peradaban besar
suatu bangsa yang menjadi faktor penentu maju atau
mundurnya suatu bangsa bahkan jaya atau luluh-lantanya suatu
Negara. Menurut penelitian yang dilakukan Edward Jibun dalam
buku Kecerdasan Moral (Mikdad Yaljan, 2003:76) menyatakan
bahwa sebab-sebab runtuhnya kekaisaran Romawi terutama
disebabkan oleh para elit penguasanya tenggelam dalam
kehidupan akhlak atau moral yang rendah yaitu bergaya hidup
glamor, bermalas-malasan, bermewah-mewahan dan khianat-
mengkhianati, saling menjatuhkan, serakah, bergelimpangnya
rubber economic (penjahat ekonomi), berkeliarannya para
politikus busuk (penjilat, ABS, pengkhianat rakyat, penyuap) dan
seterunya. Hal senada juga disampaikan Dr. Qhastaf Labun
bahwa sebab-sebab keruntuhan suatu bangsa pada dasarnya
disebabkan oleh kerusakan akhlak. Bahkan jika dianalisis
mengenai sebab-sebab runtuhnya suatu bangsa ternyata faktor
diterminannya adalah kotornya jiwa yang mengakibatkan
dekadensi moral atau ambruknya akhlak bangsa. Demikian pula
menurut pendapat W.L. Dewarant ahli sejarah peradaban,
bahwa faktor-faktor yang dapat membangun dan menjaga
peradaban adalah akhlak. Bila salah satu dari unsur pembentuk
akhlak rusak maka peradaban suatu bangsa akan goncang. Bila
diperkuat dengan perilaku pemimpin khianat maka akan
amburadul dan bila ditambah para ilmuwan/ulama/mahasiswa
tidak lagi menjadi kritis, manut pada penguasa, gila harta dan
jabatan maka peradaban suatu bangsa akan hancur. Apalagi bila
digenapkan dengan perilaku rakyat yang pemabuk, penjudi,
pelacur, pembunuh, dan penjahat maka hancur-leburlah suatu
bangsa dengan tanpa sisa bagaikan nasib tragis negeri Saba.
Bagaimana nasib bangsa kita? Kita lihat saja nanti.
Lengkap sudah begitu banyak bukti dari akhlak ilmiyah
bahwa terma akhlak Islam memiliki keutuhan dimensional baik
dari sudut pandang disiplin ilmu pengetahuan alam maupun dari
ranah ilmu sosial, karena dapat dibuktikan secara ilmiah-
empirikal bahwa dimensi ilmiah akhlak dapat disaintifikasi
secara valid, jelas dan tegas. Lalu pada bagian mana yang masih
diragukan? Tidak pernah ada yang meragukan kebenaran Islam
selain kaum munafik.

F. Akhlak Thabi’ah
Semua mahluk di dunia hanyalah tunduk kepada Allah baik
dalam keadaan terpaksa maupun sukarela termasuk bayang-
bayangnya diwaktu pagi dan petang (QS. ar-Ra’du *13+:15).
Tidak ada satu mahlukpun yang tidak tunduk pada perintah
Allah, termasuk setan taat pada perintah Allah untuk menggoda
manusia dengan mendapat penangguhan sampai kiamat.
Ketaatan mahluk pada al-Kholik merupakan akhlak dasar atau
sunnatullah yang diberikan Allah secara genetis, bawaan
alamiah, dan berian sejak ajali. Orang-orang non muslim
menyebutnya hukum alam. Hukum alam itu adalah akhlak alam,
karakter alam yang asli dan alami. Misalnya, ketika Newton
menemukan hukum grafitasi bumi, ketika sebuah benda
dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah karena ada hukum
grafitasi bumi. Apa yang disebut sebagai “grafitasi bumi” adalah
hukum dasar dari bumi. Newton tidak membuat hukum, ia
hanya memformulasikan hukum-hukum alam menjadi sebuah
teori. Hukum alamnya telah ada sebelum Newton ada sebagai
sunnatullah, sebagai hukum alam yang azali dan asli dan
Newton tidak bisa membuat hukum baru untuk alam ini. Oleh
karena itu, bila hukum alam dirusak maka Allah akan murka dan
alampun marah karena sistem kerjanya (akhlak dasarnya)
terganggu secara sistemik. Misalnya ketika hutan ditebang maka
akan menimbulkan pemanasan global dan banjir atau kemarau
yang meluas. Mengapa demikian? Jawabannya karena
sunnatullah dari hutan (akhlak hutan) adalah menjadi
penyeimbang dari kerjanya kosmik, jagat alam raya. Firman
Allah (QS. ar-Rum [30]:41) artinya, “ Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, Allah
menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Alam dengan segala hukum-hukum yang ditakdirkannya
mampu bekerja sesuai sistem aslinya meski tanpa intervensi
manusia, karena alam sudah punya hukum baku sebagaimana
hukum yang berlaku pada mahluk-mahluk lainnya. Bahkan
hukum positif sakalipun (ciptaan manusia) terlahir dari hukum
alam. Thomas Aquino sebagaimana yang tersedia di
www.timesindonesia.com.id mengklasifikasikan hukum ke
dalam 4 kategori:
1. Lex Eternal, yakni hukum abadi yang merupakan rasio
Tuhan sendiri yang mengatur segalanya sesuai dengan
tujuan dan sifat yang dikehendaki-Nya. Hukum ini memiliki
kekuatan tetap dan mengikat namun hanya sedikit saja yang
bisa dimengerti manusia.
2. Lex Naturalis, yakni hukum alam yang merupakan bagian
dari Lex external yang dapat dimengerti dan dilakukan oleh
manusia sehingga manusia tahu benar dan salah.
3. Lec Divina, yakni hukum ketuhanan positif yang diwahyukan
Tuhan bagi segenap manusia dan tercantum dalam kitab
suci.
4. Hukum Positif, yakni hukum buatan manusia yang
diturunkan dari Lex Naturalis.
Hukum alam yang bekerja secara abadi, kodrati dan asasi
membangunkan kesadaran Kant pada Hukum Moral Imperatif
(Categoische Imperateve), yang meyakini bahwa manusia akan
tahu berterima kasih sekalipun tanpa diajarkan. Demikian juga
hukum yang terjadi pada alam bahwa alam tidak mungkin
“marah” jika tidak diganggu kehidupan alamiahnya. Sebenarnya
alam itu bekerja pada hukum asasinya. Gunung akan lestari jika
dipenuhi dengan pepohonan, air akan tetap mengalir ke dataran
yang lebih rendah, hewan tidak akan memangsa manusia jika
mata rantai makanannya tidak diputus oleh manusia.
Untuk memahami lebih jauh dan dalam tentang hukum alam
semesta atau akhlak alam semesta, penulis akan menguraikan
tentang hukum kekekalan energi. Secara teori keilmuan bahwa
energi yang ada di alam semesta ini TETAP, tidak bertambah
atau berkurang sampai alam ini tiada. Yang terjadi hanya
perubahan bentuk, dari gerakan tangan jadi tulisan, angin jadi
listrik, dari air jadi uap, uranium jadi bom, listrik jadi tenaga
gerak, berolah raga jadi sehat, senyum jadi rasa cinta, marah
jadi rasa takut dan seterusnya tetapi jumlahnya tetap. Meski
sudah dirubah dalam bentuk energi lain.
Berdasarkan hukum kekekalan energi, setiap energi yang
kita keluarkan akan kembali dalam jumlah yang sama dalam
bentuk yang berbeda. Jadi kalau kita berbuat baik pada orang,
menolong sesama, menamam pohon, membuat jalan,
membersihkan sampah, memberi makan fakir miskin, baca buku
dan seterusnya maka energi yang kembali akan sama, keluar 10
kembali 10. Karena itu perbuatan manusia akan senantiasa
berdampak pada alam lain, karena terjadi hubungan erat yang
saling berlangsung perambatan energi antara manusia dengan
alam, manusia dengan manusia dan alam dengan alam yang
semuanya akan saling merasakan manfaatnya. Tidak ada satu
perbuatanpun yang tidak tercatatkan dalam bekerjanya sistem
hukum alam. Orang yang senantiasa berbuat baik, secara
otomatis akan dibalas dengan kebaikan lagi oleh alam secara
sempurna atas perintah hukum Tuhan yang sudah ditetapkan
pada alam itu sendiri. Alam akan membalas setiap perbuatan
yang dilakukan dengan perbuatan baru. Setiap perbuatan positif
akan dibalas dengan energi positif dan untuk perbuatan negatif
akan dibalas dengan energi negatif. Jika manusia membabat
hutan atau membuang sampah sembarangan sebagai perbuatan
negatif maka balasannya energi negatif berupa banjir, kemarau
dan seterusnya.
Ada beberapa hukum alam yang sudah diformulasikan oleh
para ilmuwan yang dapat membantu pemahaman pembaca
bagaimana cara kerja alam (akhlak/hukum alam bekerja)
sebagai berikut:
Pertama, hukum sebab akibat, yaitu bekerjanya sebuah
pemikiran atau tindakan akan menghasilkan akibat yang
sebanding. Hukum fisika Newton menyatakan, “setiap aksi akan
menimbulkan reaksi yang sebanding dan berkebalikan”. Bila
tindakan akhlaknya buruk maka akibatnya juga keburukan yang
sama atau sepadan. Karena itu, manusia tidak dihukum oleh
siapapun tetapi dihukum oleh keburukan, kesalahan atau
dosanya sendiri.
Kedua, hukum daya tarik, yaitu apa yang menjadi fokus kita
maka akan mengundang orang lain untuk mewujudkannya.
Sebab makin besar vibrasi yang dikeluarkan maka akan makin
besar daya tariknya. Contoh makin kuat seseorang menunjukkan
upaya untuk memperbaiki diri maka akan makin kuat energy diri
dan orang lain untuk mewujudkannya.
Ketiga, hukum kreativitas, yaitu semua seakan-akan
bertentangan, laki-laki dan perempuan, jauh dan dekat, sedih
dan bahagia tetapi jangan lupa bahwa segala hal yang tercipta
adalah hasil interaksi kedua energi yang saling bertentangan
tetapi sekaligus saling melengkapi. Misalkan, dua wajah (suami-
istri) yang berbeda menghasilkan satu wajah anak yang lebih
baik atau evolusi wajah suami-istri yang perubahnya mengalami
kemiripan sebagai akibat interaksi perbedaan yang cukup lama
dan terus-menerus, maka hukum perbedaan akan melahirkan
persamaan.
Keempat, hukum substitusi, yaitu sebuah hukum tidak ada
sesuatu yang bisa hilang sama-sekali melainkan harus digantikan
atau disalurkan ke substitusi lain. Misalkan, seseorang ingin
menghilangkan keburukan perilakunya hanya bisa digantikan
oleh perilaku yang baik bukan meniadakan keburukan sehingga
terjadi kekosongan tetapi mengganti dengan kebaikan.
Kelima, hukum pelayanan, yaitu hukum imbalan yang
sepadan dari apa yang kita berikan kepada orang lain. Misalnya
tentang rezeki, “rezeki itu bukan apa yang kita cari tetapi
kebaikan yang pernah kita berikan kepada orang lain”. Besaran
rezeki akan datang dengan tidak disangka-sangka dari investasi
kebaikan yang pernah diberikan kepada orang lain tanpa kita
tahu lagi kapan, dimana dan kepada siapa.
Keenam, hukum penggunaan, yaitu kekuatan, potensi, bakat
atau fitur apapun yang tersedia dalam diri seseorang tidaklah
akan semakin kuat bila tidak sering digunakan. Misalnya
seseorang yang tidak begitu terbiasa bersodakoh tidaklah akan
peka melihat kebutuhan orang lain. Semua orang punya
bakat/potensi/kecenderungan untuk menjadi orang yang baik
tetapi perwujudannya bergantung pada seberapa besar
komitmen untuk mewujudkannya.
Ketujuh, hukum tujuh, yakni semua kejadian mengikuti
hukum oktaf. Saat not atau nada dasar dimainkan, setiap not
diulang bunyinya beberapa kali dan kemudian menghilang
intensitasnya. Ini berarti tidak akan pernah ada kekuatan yang
terus-menerus bekerja dengan arah yang sama dan dalam kurun
waktu yang sama. Tidak ada di dunia ini yang berkembang
mengikuti garus lurus, semua punya masa, durasi dan intensi.
Misalnya, untuk pembentukan akhlak fase yang tepat diusia
awal, dimana anak masih banyak partisi atau ruang kosong yang
lebih mudah untuk diisi dengan sesuatu yang baru. Lewat fase
ini tidak begitu mudah melakukan penanaman akhlak karena
sudah berganti dengan fase kepekaan untuk yang lain.
Dari paparan dan ulasan di atas, kiranya kita sebagai
mahluk paling sempurna eksistensinya, bisa mengerti bahwa
alam memiliki hukum (ketetapan akhlak) tersendiri yang perlu
dihargai sebagai ketertalian lekat yang saling melengkapi agar
terjadi sinergi dan harmoni antara manusia dengan alam
semesta.

G. Akhlak Amaliyyah
Islam merupakan agama amaliyah yang lebih
mengutamakan praktik keseharian dalam kehidupan. Nilai-nilai
agama hanya akan bernilai, bermanfaat dan berfaedah ketika
menjadi tindakan nyata bukan hanya believe system, bukan
hanya system keyakinan batini tetapi sistem keyakinan amali.
Iman bukan hanya apa yang ada di dalam dada tetapi berada
pada ucapan dan tindakan nyata. Iman merupakan sistem
keyakinan yang niscaya harus mendorong, memompa dan
menjadi pengungkit bagi tindakan nyata berupa syariah dan
akhlak. Tanpa perbuatan nyata, iman menjadi tiada. Tanpa fakta
iman menjadi hampa, tanpa perbuatan iman menjadi siksaan,
iman tanpa tartil menjadi batil dan tanpa amal iman menjadi
batal. Firman Allah (QS. Ash-Shaf [61]:2-3) artinya, “ Wahai
orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan
sesuatu yang kamu tidak mengerjakannya? Itu sangatlah
dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan”. Sebegitu besar penghargaan Islam terhadap
pembiasaan maka ketika pembiasaan baik (akhlak) tidak bisa
dikerjakan karena alasan tertentu (safar atau sakit) tetap
amalnya tercatat sebagaimana pembiasaan diwaktu normal.
Perhatikan isi sebuah hadis dari Abi Musa al-Asy’ari RA bahwa
Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit
atau sedang bepergian maka catatan pahala baginya amal
perbuatan yang biasa dilakukan pada waktu tidak bepergian dan
pada waktu sehat” HR. Bukhari). Sangatlah yakin bahwa Islam
adalah agama akhlak yang berbasis atau bersumber pada
tauhid yang diasah dalam tindakan bersyariah dan berbuah
akhlak karimah. Oleh karena itu, tidaklah ia beriman bila tidak
berbuat kebajikan. Tidaklah beriman bila tidak menolong
sesama. Tidaklah beriman bila tidak peduli pada tetangga.
Tidaklah beriman bila membiarkan sampah bergelimpangan
dimana-mana.
Dalam pandangan akhlak amaliyah, akhlak itu baru ada
setelah diamalkan dalam bentuk perilaku nyata buka semata-
mata bongkahan teori, tumpukan kesadaran dan gunung
wawasan yang jauh dari praktek. Hazanah dan hasanah akhlak
bertumpu, bermuara dan berporos pada perilaku amaliyah
nyata, dengan centri-petal dan centri-fugalnya berupa
perbuatan nyata yang didorong keimanan yang teguh dan
syariat yang puguh dan akhlaknya menjadi tangguh.
Ada beberapa persyaratan dalam penerapan Akhlak
Amaliyah yang menjadi kunci kebaikan, yakni:
1. Kebiasaan, yakni suatu aktivitas amaliyah yang dilakukan
dengan pembiasaan yang panjang, berkelanjutan berterusan
namun belum tentu menjadi akhlak amaliyah yang
permanen, tetapi sedang proses menuju. Formulanya:
Pembiasaan + Waktu = Low Action.
2. Dawam, yaitu syarat amal yang soleh dalam terma akhlak
amaliyah adalah melakukan dengan terus-menerus,
berkesinambungan, dan berkelanjutan. Teori dasar beramal,
lebih baik 100 x 2 dari pada 2 x 100. Lebih baik 100 kali
melakukan meski hanya 2 jam saja dari pada melakukan 2
kali dalam 100 jam. Formula amal dawam adalah Frekuensi +
Durasi = Middle Action
3. Kualitas, yaitu syarat amal dalam koridor akhlak amaliyah
adalah mengutamakan kualitas. Kualitas bukan sekedar
durasi dan frekuensi tetapi intensitas keikhlasan yang dapat
melahirkan kebermaknaan. Formulanya adalah kualitas +
intensitas = Good Action
4. Keyakinan, yaitu syarat akhlak amaliyah hanyalah dipandang
benar bila merupakan sesuatu yang diyakini, yakin sebagai
kebenaran dari yang Hak, bukan keyakinan tipuan yang
berasal dari sumber selain Allah. Jika Anda yakin bahwa
shalat tahajud itu perintah Tuhan dan yakin akan
mengangkat derajat orang yang melakukannya maka tak ada
pilihan kecuali Lakukan jangan La-lu-kan atau Laku-akan.
Kalau tidak dilakukan berarti diragukan atau hanya
dilagukan (ngomong saja). Jika berada pada lakon “lagu atau
ragu” memang merupakan bukti keimanannya tak cukup
untuk melakukan. Karenanya, dilakukan atau di-la-lu-kan
bergantung pada kualitas keimanan seseorang. Firman Allah
dalam (QS. Yunus [10]:94), artinya “Sebab janganlah sekali-
kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu”. Karena itu
formulanya, Believe + Kapasiltas = Best Action.
5. Nikmat, yakni amaliyah yang dilakukan dengan penuh
kayakinan benar-Nya dan dilakukan dengan kapasitas
pengamalan yang baik maka tentu sudah bisa berada pada
level transformasi pengalaman (personal experience).
Firman Allah (QS. ar-Rahman [55]:13) artinya, “Dan nikmat
Tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan”.
Formulanya Nikmat + Kualitas =Great Action
6. Syukur, yakni akhlak amaliyah yang benar-benar sudah
ternikmati, otomatis akan melahirkan rasa syukur atas
nikmat beramal sehingga lahir ketulusan untuk
mentranformasikan kenikmatan itu pada orang lain, maka
Formulanya: Nikmati + Syukur = Grand Action
7. Tafakkur, yakni maqom akhlak amaliyah yang bisa
melahirkan kesadaran manunggal dengan Yang Maha
Tunggal sehingga hanya ada satu Amal yaitu amal cinta ilahi.
Amal yang sudah tidak perlu lagi dilihatnya, kelihatannya,
terlihatnya dan melihatnya kecuali oleh-Nya. Formulanya:
Cinta + Tafakkur = Perfect Action.
Akhlak amaliyah terlahir dari believe system yang kuat
ditambah dengan pengamalan yang terus menerus maka akan
melahirkan satunya tindakan dengan sumber kenikmatan abadi.
Rembesan dan aliran kelezatan-Nya menyeruak ke segala arah
dengan amaliyah yang bukan saja cantik tapi beautiful, bukan
saja tampan tetapi handsome, bukan saja smile good tetapi
smile God.
BAB 4
POTENSI AKHLAK MANUSIA

Manusia dinobatkan sebagai khalifah (wakil Allah) di bumi.


Gelar ini begitu besar dan mandatnya begitu berat. Bagaimana
tidak berat? Karena manusia memiliki dua mandat besar yaitu
sebagai pemakmur dunia dan khalifah di muka bumi. Hanya
manusia yang berani menerima amanah dari Allah. Gunung
tidak sanggup, laut tidak mampu, hewan tidak bisa, malaikat
tidak tepat dan langitpun tidak sengit dan setan tidak menawan.
Hanya manusia yang berani mengambil amanah itu. Mengapa?
Jawabannya, (1) manusia mahluk yang diberi kemerdekaan
untuk memilih jalan hidup, (2) manusia paling sempurna
penciptaannya, (3) manusia paling lengkap perangkat hidupnya,
(4) manusia diberi pedoman hidup al-Qur’an, (5) manusia ke
dunia setelah alam ini diciptakan dengan sempurna.

A. Nafs
Kata nafs dalam al-Qur’an diulang sebanyak 43 kali. Menurut
………………….. dalam Kitab …………… (…………)Nafs memiliki
tingkatan:
1. Nafs al-ammarah bi alsu’, yaitu nafsu pendorong kejahatan.
Nafsu ini merupakan nafsu paling rendah yang melahirkan
sifat-sifat takabbur, kerakusan, kecemburuan, syahwat,
ghibah, bakhil dan seterusnya dan nafsu ini harus diperangi
oleh manusia karena membawa pada kehinaan dan kejahatan
yang lahir dari nafsu hewani. Perhatikan firman Allah (QS.
Yusuf [12]53), artinya,” Dan aku tidak membebaskan diriku
(dari kesalahan) karena sesunggguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan”, kecuali nafsu yang dirahmati
oleh Allah…”.
2. Nafs al-lawwamah, yaitu nafsu itngkat awal yang memiliki
kesadarandasar melawan nafsu pertama. Melalui bisiskan
qaln-nya, nafs menyadari kelemahannya dan kembali kepad
kemurniannya. Jika ini berhasil maka maka ia akan dapat
meningkatkan diri kepada tingkat berikutnya. Nafsu ini
senantiasa bertentangan antara keinginan pada kebaikan
dengan besarnya dorongan pada keburukan, yang akhirnya
senantiasa menyesali dirinya sendiri. Perhatikan firman Allah
dalam (QS. al-Qiyamah [75]: 2), artinya, “ Dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri)”.
3. Nafs Mulhamah, yaitu jiwa yang terilhami untuk melakukan
tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif
untuk menyerap prinsip-prinsip. Ketika Nafs ini merasa
terpuruk kedalam kenistaan, segera akan terilhami untuk
mensucikan amal dan niatnya.
4. Nafs Mutma’innah, yaitu jiwa yang tenang. Jiwa ini telah
mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa
tenang ini menomor duakan nikmat materi. Perhatikan
firman Allah (QS. al-Fajr [89]: 27-28), artinya, “ Hai jiwa yang
tenang –tentram! Kembalikan kepada Tuhanmu dengan hati
puas lagi ridha”.
5. Nafs al-Radhiyah, yaitu jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini
jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya
kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam
doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku Engkau
tujuanku dan ridha-Mu adalah kebutuhanku).
6. Nafs Mardhiyyah, yaitu jiwa yang berbahagia. Tingkatan ini
meniadakan seluruh keluhan, kemarahan dan kekesalan.
Perilakunya tenang, calm, adem, soft, lembut sedangkan
dorongan perut dan sahwatnya tidak lagi bergejolak.
7. Nafs al-Safiyah, yaitu jiwa yang tulus murni. Pada tingkatan
ini seseorang bisa disifati insan kamil atau manusia
sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan senantiasa
mendapat petunjuk-Nya. Jiwanya sejalan dengan kehendak-
Nya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan
tenang.
Nafsu negatif hendaknya diperangi agar bisa mengendorkan
pengaruhnya dan akal atau qalb tampil sebagai pemenang.
Manurut Yahya ibn Mua’dh al-Razi memberikan tips dalam
memerangi nafsu jahat, yakni: 1. Mengurangi makan, makanlah
sedikit, 2. Mengurangi tidur, tidurlah sedikit dan 3, mengurangi
bicara, tidak banyak ngomong.
Dalam beberapa kajian, jiwa merupakan suatu hal yang
berbeda dari jasad. Entitas itu berada dari idea atau dikenal
dengan dunia abstrak yang dari dunia itu adalah universalitas,
tunggal, dan tetap (Ahmad Fuad, 1981: 89-91). Ketika jiwa ini
terbelenggu dalam tubuh maka kita dapat memahami proses
mengingat melalui akal, yaitu berpikir. Proses berpikir seorang
manusia yang indrawi menuju hal abstrak yang jiwa bisa dilihat
dari subjektivitasnya dan dunia abstrak sebagai asal muasal
pengetahuan (Ahmad Fuad, Ibid). Allah SWT berfirman dalam
(QS. Adz-Dzuriyat [51]:21), artinya, “Artinya, “ “Dan tentang
anfus kalian, apakah kalian tidak memperhatikan”.
Firman Allah ini memberikan kita makna bahwa pentingnya
manusia untuk memikirkan dirinya sendiri atau Nafsnya.
Rahasia-rahasia Nafs juga bisa dijumpai pada (QS. Fushilat [41]:
53), artinya”, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran
itu adalah benar. Tiadakah cukup sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Kata Nafs dalam al-Quran memiliki makna plural, di
antaranya totalitas dan tingkah laku, dan sisi lain dalam diri
manusia yang berpotensi baik dan buruk (Quraisih Shihab, 1996:
285-286). Jika dilihat secara empiris dengan daya nalar manusia,
Nafs memiliki lima daya, yaitu daya nutrisi, daya indera, daya
keinginan, daya rasional dan daya penggerak. Daya nutrisi ini
ada pada hewan dan manusia. Dimana Nafs sendiri
membutuhkan hal-hal biologis, seperti makan, minum, tidur,
dan lain sebagainya.
Indra biologis yang dimiliki manusia sebagai sesuatu yang
khas, bisa juga membawa manusia kedalam kebaikan dan
sekaligus ke dalam kejahatan. Kecuali bagi orang-orang yang
mendapat pentunjuk dari Allah. Sebagaimana Allah Swt
berfirman dalam (QS. al- Fatir [35]: 32), artinya, “Kemudian
Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan antara mereka ada yang
pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu
berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar”.
Daya indera manusia atau Hiss al-Mushtarak berperan
sebagai muara bagi informasi suatu objek yang didapat indra.
Daya ini juga memungkinkan manusia untuk menyadari keadaan
diri dalam sebuah ancaman yang berbahaya, yang dikenali lewat
indra. Sebagaimana isyarat yang disampakaikan dalam firman
Allah (QS. al-Maidah [5]: 105), artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat
petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka
Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”.
Informasi mengenai objek menghasilkan atribut mental.
Atribut mental ini adalah gerakan, diam, bentuk, ukuran,
bilangan, dan satuan (Mustafa al-Nashar, 1995: 55). Salah satu
fakta bahwa indara merupakan kerja yang bersifat mental.
Di sini terlihat ada hubungan antara moral atau akhlak
dengan Eudaimonia. Seorang muslim mencapai Insan Kamil
bukan karena potensinya tetapi kehendak Allah melalui potensi
yang sudah mencapai puncak aktualisasi. Kebahagiaan terdiri
dari aktivitas-aktivitas yang sifatnya manusiawi. Oleh sebab itu,
ketika manusia menyayangi apapun yang ada di muka bumi,
maka segala hal yang ada dilangit akan menyayanginya. Firman
Allah (QS. asy-Syuara *42+:5), artinya, “…malaikat-malaikat
bertasbih memuji Tuhannya dan memohonkan ampunan untuk
orang yang ada di bumi…”.

B. ‘Aql (Akal)
Nafs terbagi menjadi dua bagian, yaitu pertama akal praktis
yang berkenaan dengan tindakan moral. Akal ini menjadi
pemicu tindakan seseorang, dan kedua ialah akal teoritis yang
berkaitan erat dengan perhitungan dan penalaran logis (Mustafa
al-Marifah, 1995: 76). Kata ‘aql dalam al-Quran adalah kata
kerja. Secara etimologi, akal ialah tali pengikat dan penghalang.
Kata ‘aql itu digunakan bagi sesuatu yang menghalangi
seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Makna ‘aql
dalam al-Quran memiliki makna:
1. Akal Pemahaman dan gambaran. Oleh sebab itu, akal mampu
memahami segala sesuatu, sebagaimana isyarat Firman Allah
dalam (QS. al-Ankabut [29]:43) artinya, “.. maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu
tidak mengetahui”. Macam-macam ‘aql dalam konteks yang
lebih luas tergambarkan dari penggunaan istilah nazhara,
tafakur, tadabbur, afala ta’lamuun, afala tatadzakkaruun, dan
sebagainya.
2. Akal dorongan moral yang membawa manusia bisa
memahmi benar-salah, tepat-tidak tepat, bahkan akal bisa
sampai kepada moral imperatifnya Kant, yaitu kesadaran
bahwa apa yang dilarang Allah akalpun bisa menerimanya
dengan pengatahuan dan pemahaman yang logis.
sebagaimana Firman Allah dalam (QS. al-An’am [6]:151).
Artinya, “ … jangan mempersekutukan Allah dengan yang
lain, berbuat baik pada ibu-bapak, jangan membunuh anak-
anak, jangan mendekati perbuatan keji, jangan membunuh
orang yang diharamkan…”. Kebenaran-kebenaran moral ini
akan terjangkau oleh kebenaran akal. Karena akan adalah
mahluk Allah juga yang telah tundukan hanya tunduk pada
hokum-hukum-Nya.
3. Akal daya untuk mengambil hikmah atau ibrah. Daya ini
menggabungkan kedua makna di atas. Perhatikan firman
Allah dalam (QS. al-Baqarah [2]:269) artinya, “Siapa yang
diberi hikmah oleh Allah berarti diberikan kebaikan yang
banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
kecuali orang-orang yang memiliki lubb (akal cerdas)”. Akal
cerdas berarti mempunyai kekuatan dorongan moral dengan
kematangan berpikir. Oleh karena itu, seorang muslim yang
memiliki daya akal yang tinggi akan secara otomatis memiliki
moralitas yang tinggi. Jika sebaliknya yang terjadi berarti
nafsu negative yang menguasai bukan akalnya. Bagi muslim
yang memiliki rusyd, maka dia telah mampu menggabungkan
keduanya. Dari sini kita bisa mengerti, mengapa penghuni
Neraka menceritakan tentang ‘aql yang ada dalam (QS al-
Mulk [67]: 10) artinya, “... sekiranya dahulu kami
mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) tentulah
kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”.
Dalam pemikiran al-Kindi, akal terbagi menjadi al-‘aql al-
fa’al (Akal intelek aktif), al-‘aql bi al-Quwwah (akal potensial),
al-aql al-bayani (Akal aktual), dan al-aql bi al-makalah (Akal
aktual yang menggunakan pengetahuan) .
Al-‘Aql al-Fa’al merupakan jenis intelek yang
memungkinkan akal untuk berevolusi dari akal potensial ke akal
aktual. Dimana seorang muslim mengetahui suatu objek secara
umum, kemudian merinci hal-hal terkecil. Al-‘aql bi al-quwwah
merupakan keadaan asal akal, dengan segala potensi dan
kemungkinan untuk mengetahui, sebelum proses pengetahuan
terjadi.
Al-‘aql bi al-malakah yaitu keadaan akal setelah
memperoleh pengetahuan dengan bantuan intelek aktif.
Misalnya hal seorang muslim yang telah mengetahui bahwa
Nafs itu bisa terkotori oleh lisan, amarah, ghibah, negative
thinking, dan lain sebagainya, maka iapun tidak melakukan hal
yang bertentangan dengan akal moral. Akal bayani atau al-‘aql
al-ba`in, yaitu akal aktual ketika menggunakan pengetahuan
yang ia ketahui dalam tindakan. Di sini, puncak kinerja akal
sebenar-benarnya. Ketika dia mengetahui bahwa shalat itu
mencegah kemungkaran, maka akan terus menjaga shalatnya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam (QS. al-Ankabut [29]:45),
artinya, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu
al-Kitab (al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Menurut Ibnu Sina akal memiliki dua daya, yakni akal
praktis, yaitu akan yang bisa mengabstrasikan sesuatu yang
abstrak dan akal teoretik. Akal teroeretik terdiri atas : (1) akal
matariil, yaitu yang semata-mata mempunyai potensi untuk
berpikir meski belum dilatih walau dalam ukuran yang sangat
kecil, (2) akal malakat yaitu akal yang telah dilatih untuk berpikir
hal-hal yang abstrak, (3) akal actual yaitu akan yang sudah data
berpikir tentang sesuatu yang abstrak, (4) akal mustafad yaitu
akal yang telah sanggup berpikir hal-hal yang abstrak tanpa
perlu ada daya upaya yang keras. Akal dalam level ini yang dapat
berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari
akal aktif.
Demikian pula menurut al-Ghazali dan al-Mawardi, bahwa
akal terbagi dua. Pertama akal Gharizi, yaitu akal atau ilmu yang
diperoleh sejak anak-anak dalam masa menuju perkembangan.
Kedua, akal Muktasab yaitu akan atau ilmu yang diperoeh
dengan cara berusa atau belajar dengan menggunakan
pengalaman orang lain atau hasil penelitian sendiri. Selian dua
cara itu, kita perlu juga menyadari bahwa cara memperoleh ilmu
itu berbagai cara sesuai dengan karunia yang Allah berikan,
seperti (1) golongan para Nabi dan Rasul yang memperoleh ilmu
dengan cara wahyu atau diberi oleh Allah secara langsung. Hal
ini terjadi karena mereka merupakan hamba yang dipilih Allah
dan memiliki kesempurnaan rohani yang luar biasa, (2)
Golongan Aulia (para wali) mereka memperoleh ilmu dengan
cara ilham atau laduni, yakni ilmu yang didapat dengan tanpa
belajar meski biasanya memiliki ilmu-ilmu asas atau tidak sama
sekali, (3) golongan ulama atau cendikia, memperoleh ilmu
dengan cara belajar dari sesama dan dari hasil pengkajian atau
penelitian yang dilakukan bersama atau sendiri-sendiri.
Melalui akal, manusia mampu merencanakan kehidupannya
sesuai dengan tuntunan illahi, membedakan baik dan buruk,
benar dan salah, serta suasana gelap dan terang. Dalam tinta
sejarah, para rasul mencari Allah SWT melalui akal, seperti Nabi
Ibrahim. Akal merupakan nilai dasar eksistensi seorang muslim.
Tingkat daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi
pekerti mulia yang menjadi sumber Eudaimonia. Jika akal
dicabut, maka manusia tidak akan berbeda dengan hewan . al-
‘Aql bukanlah Reasoning atau Thinking, tapi suatu makna yang
bersifat metafisis seperti Intellect atau Nous. Akal merupakan
sebuah potensi dari entitas manusia dan berwujud Nafs .

B. Ruh
Ruh merupakan sesuatu yang ada pada jasad (subtansi)
yang diciptakan Allah sebagai penyebab adanya hidup. Ruh
berasal dari kata ar- Riyaah, yang berarti angin (sesuatu yang
tidak kelihatan tetapi punya energy besar). Atau dari akar kata
Rawauha yang bermakna pancaran zat kehidupan yang
menggerakan suatu mahluk ciptaan-Nya menjadi hidup. Ruh
diciptakan bagi manusia karena dipersiapkan untuk menjadi
mahluk yang paling sempurna yang diamanati sebagai khalifah
dan pemakmur bumi. Perangkat inilah yang memungkinkan
manusia mampu menunaikan amanah dibandingkan mahluk
yang lainnya. Untuk melengkapi beban berat dan besar pada
pundak manusia, maka Allah mengambil sumpah (primordial)
kepada manusia, sebagaimana firman Allah dalam (QS. al-A’raf
*7+:172), artinya, “ … dan ingatlah ketika Tuhanmu mengelurkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman).
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul,
Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang
demikian itu, agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan”,
“Susnungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Hubungan ruh dengan jasad banyak dikemukanan oleh para
fulusf Islam seperti al-Farabi dan al-Ghazali. Al-Farabi
mengatakan bahwa ruh atau jiwa merupakan bentuk bagi jasad
di satu pihak dan juahar ruhani di lain pihak. Ruh selalu bekerja
melalui jasd dan jasad membetuk sasaran ruh. Ruh atau jiwa
tidak aka ada jika jasad tidak bersedia menerimanya. Pergulatan
dalam membongkar ruh memang tidak mudah bahkan para
ilmuwan muslimpun banyak yang menghindari pembahasan ruh
secara mendetil. Hl ini disebabkan keyakian mereka terhadap
firman Allah dalam (QS. al-Isra [17]:85), artinya, “ Dan mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: “Ruh itu termasuk
urusan Tuhan-Ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit”.
Menurut al-Ghazali dalam Misykah al-Anwar, ruh memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu yakni:
1. Ruh Indrawi, yaitu ruh yang menerima sesuatu yang dikirim
oleh panca indra. Ruh ini merupakan rua awal da nasal dari
mahluk hidup. Ruh ini yang menyebabkan semua mahluk
hidup menjadi hidup.
2. Ruh Khayali, yaitu imajinati yang menyimpan dan merekan
berbagai keterangan atau informasi yang kemudian
mensuplainya kepada akan apabila dibutuhkan.
3. Ruh Aqli, yaitu akal intelegensi yang mampu menyerap,
menginterpretasi makna-makna yang luhur diatas
kemampuan indrawi maupun khayali. Ruh aqli merupakan
ruh yang dimiliki khusus oleh manusia dan tidak dimiliki oleh
tingkatan di bawah kualitas manusia, bahkan pada manusia
yang masih bayi ruh aqal ini belum tumbuh.
4. Ruh Pemikir, yaitu ruh yang mengambil ilmu-ilmu aqli yang
murni. Kemampuan ruh pemikir ini melahirkan penyatuan
ilmu dalam bentuk ta’lifat (rangkaian) dan izdiwijat
(duplikasi) kemudian dideduksi menjadi pengetahuan yang
berharga dan terus dikembangkan dari masa kemasa sesuai
dengan zaman pemikiran itu berkembang.
5. Ruh Suci Kenabian, yaitu ruh kudus yang tersingkap
selubung-selubung lauh-lauh ghaib dan hokum-hukum
akhirat serta pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi
serta pengetahuan Rabbani.
Pendapat lain yang tersedia di alamat menyebutkan
www.hukumalam.wordpress.com, bahwa unsur-unsur ruh itu
terbagi atas beberapa bagian, yakni:
1. Ar-Ruh al-Idhofi, yakni ruh al-Hayat, ruh yang menjadikan
segala sumber kehidupan, berbentuk gaib, halus dan tidak
kasat mata. Ruh ini biasa juga disebut nyawa, kehidupan
yang menyatu secara subtansi dengan jasad. Bila ruh ini
keluar maka jasad akan mati. Ruh idhofi merupakan induk
dari segala ruh lain. Meski salah satu ruh kelaur, ruh idhofi
tetap tinggal di dalam jasad dan manusia tetap hidup. Bagi
manusia yang sudah sampai kepada kebatinan tinggi atau
adanya iradah Allah atau samapai pada insan kamil akan bisa
melihat ruh ini. Ruh ini ujudnya mirip dengan diri sendiri,
wajah, suara, dan segalanya. Alam dari ruh ini merupakan
nur yang terang benderang, sejuk, tentran dan aman.
2. Ruh Rabbani, yaitu ruh yang dikuasai dan diperintahkan oleh
ruh idhofi. Alam ruh ini diam dan berada dalam cahaya
kuning, bila berhasil menjumpai ruh ini, kita tak
berkehendak apa-apa, hati tentram an tubuh tidak
mearaskan apa-apa.
3. Ruh Rohani, yaitu roh yang berada dalam bentuk dan rupa
perubahan yang menyebabkan manusia terjadang baik dan
buruk. Ruh ini memiliki 4 jenis nafsu: Nafsu lawwamah,
nafsu amarah, nafsu supiyah dan nafsu mutmainah. Kalau
manusia ditinggalkan oleh ruh ini maka manusia tidak lagi
memiliki nafsu, hasrat termasuk syahwat.
4. Ruh Nurani, yaitu ruh yang hanya menguasai nafsu
mutmainah. Bila manusia dikuasai oleh nafsu ini maka hati
manusia menjadi terang, tenang, perilaku baik, bahagia, dan
aman sentosa. Namun bila manusia ditinggalkan ruh ini
maka manusia akan menjadi buruk, hati dan pikirannya
gelap.
5. Ruh Kudus, yakni ruh suci yang berada dibawah ruh idhofi
juga dan membawa manusia kepada kearifan, kebijakan
yang tinggi dan kedermawanan sejati.
6. Ruh Rahmani, yaitu roh yang dibawah pengaruh ruh idhofi
pula yang membawa kepada kekuatan untuk berkasih
saying, cinta, senantiasa menolong, membantu dengan
penuh kesukaan dan kesenangan hati.
7. Al-Jasmani, yakni ruh yang berada di bawah kekuasaan ruh
idhofi pula yang menguasai seluruh darah dan urat syaraf
sehingga manusia merasakan sakit, lelah, nyeri, segar, bugar,
perkasa dan kadang perkosa, serakah, malas dan sifat
hewani lainnya. Bila ruh ini keluar dari jasad maka orang
tidak akan merasakah sakit meski ditusuk jarum atau kena
luka.
8. Ruh Nabati, yaitu ruh dibawah ruh idhofi yang
mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan
yang bersifat fisik. Karena itu ruh ini bisa disebut pula ruh
jasad.
9. Ruh Rewani, yaitu ruh di bawah kekuasaan ruh idhofi yang
berfungsi mengatur manusia untuk terjaga atau tidur. Bila
ruh ini ke luar maka manusia akan tidur. Bila dalam tidur
mengalami mimpi maka ruh itu di datangi ruh yang sudah
meninggal. Jadi mimpi itu merupakan kerja ruh rewani yang
mengendalikan otak manusia.
Karena begitu banyaknya jenis ruh, maka menurut cara
kerjanya, ruh menurut al-Ghazali terbagi dalam dua macam
arti. Pertama dalam arti materi (ruh hewan). Pada tingkat ini
organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun
daya yang mengetahui dan Kedua, dalam arti immateri (ruh
isnani). Pada pengertian ini jiwa adalah nafs natiqah dengan
daya praktek dan teori.
Ruh mengandung entitas yang berkaitan dengan tubuh,
seperti jantung dan darah yang beredar. Jika jatung sudah
berhenti di tubuh maka darah tidak ada. Ruh identik dengan
lathifah rabbaniyah ruhaniah atau hati yang bisa merasakan
kebahagiaan dan kesengsaraan . Kata jiwa dalam Qur’an
adalah al-nafs dan ruh adalah al-ruh. Ruh dan jiwa
merupakan satu substansi yang sama, hanya saja yang
membedakan keduanya adalah sifat. Ruh bersifat ketuhanan
dan jiwa bersifat kemanusiaan . Selain itu, ada beberapa
penyakit yaitu Nifaq, hasud, gadab, dan takabur. Nifaq
merupakan kebalikan dari kufr al-juhd. Jika kufr al-juhd
diartikan dengan meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan
lidah, maka nifaq berarti pengakuan dengan lidah tetapi
mengingkari dengan hati.
Hubungan kedua ini bisa diketahui melalui ilham (ilmu
mukasyaf) yang merupakan pembuka tabir hakikat.
Kesulitannya terletak pada hubungan hakikat keduanya.
Namun jiwa sebagai jauhar ruhani berasal dari alam ilahi
(alam malakut) sedangkan jasad berasal dari alam kejadian
(khalq). Menurut al-Ghazali, jasad bukan tempat ruh karena
tidak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan
alat. Ruh mendatangi jasad sebagai subtansi. Ruh mengatur
dan bertasaruf (bertindak) pada jasad seperti halnya raja
dengan kerajaannya. Kebutuhan jiwa terhadap badan dapat
dimisalkan dengan perlunya bekal bagi musafir. Seseorang
tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami
jasadnya selama di dunia (www.republika.co.id, 2017.

D. Qalb
Qalb merupakan anugerah Allah Swt yang berfungsi sebagai
penggerak dan pengontrol anggota tubuh lain. Kata qalb yang
telah menjadi satu istilah diartikan dengan segumpal darah yang
menggantung dalam dada. al-Qur’an memadukan usaha akal
dan qalb, pikir dan dzikir, iman dan ilmu dengan menilai unsur
manusiawi, jiwa dan jasmani untuk mengantarkan manusia pada
Insan Kamil . Qalb ini cenderung menunjukkan benar dan salah,
tapi tidak jarang mengalami keragu-raguan dan sengketa batin
seakan sulit menentukannya . Qalb ini tempat bersemayamnya
cinta kepada Allah Swt, karena hanya hati yang mampu
mengenal-Nya sehingga ia mencintai-Nya. Seorang pecinta sejati
senantiasa bersama-Nya serta mencintai-Nya di setiap waktu,
melalui transformasi .
Inti dari kesadaran manusia adalah realitas hati (lathifah
rabbaniyah) yang menjadi tolak ukur utama perilaku manusia.
Setiap hati dibedakan oleh tingkat kesadaran dan realisasi diri
yang meliputi maqamat batin, dan dalam sisi batin tersebut
terdapat bagian-bagian yang meliputi bagian luar hati dan
bagian dalam hati. Sehingga nama hati (qalb) adalah nama diri
(ism al-’ain) yang mencakup beberapa bagian yang dapat
berfungsi sendiri yakni:
1. Maqamas-shadr. Dia adalah kulit terluar dari hati, tempat
bagi masuknya rasa skeptis, keragu-raguan karena berada
pada posisi yang paling luar, dan pintu masuk bagi sifat-sifat
kemanusiaan, seperti: syahwat, kebutuhan, dan lain-lain.
Sifat manusia yang mempengaruhi shadr, terkadang merasa
sempit atau lapang dan menjadi media percobaan (maqam
al-ibtila`). Oleh karena itu, ash-shadr menjadi wilayah al-nafs
al-ammarat bi al-su` dan pengetahuan. Di Era ini, banyak
orang yang menyerap pengetahuan melalui social media,
tanpa ditimbang terlebih dahulu. Informasi-informasi masuk
ke dalam pikirannya dan disimpan di hati terluar, atau shadr.
2. Maqam al-Qalb. Sifat buta dan melihat bagi hati terdapat
dalam al-qalb sebagaimana Allah berfiman dalam (Qs al-Hajj
[22]:46. Di sini, tempat sumber-sumber ilmu dan iman.
Hubungan al-qalb dengan ash-shadr adalah hubungan
antara ashl dengan far’. Ash-Shadr adalah sumber dari ilmu
ibarat, sedangkan al-qalb adalah sumber dari ilmu hikmah
dan isyarat. Seperti hal yang dicontohkan di dalam kasus
Covid 19. Jika melihat paparan di atas, shadr menemukan
informasi-informasi dan mewaspadai titik-titik zona merah.
Sehingga Muslim melakukan lockdown yang disarankan
pemerintah. Bagi orang yang berkeimanan kuat, Covid 19 ini
menyebar dengan izin Allah SWT dan Qalb muslim tersebut
akan mencari hikmah. Hikmah kejadian ini ialah bisa
berkumpulnya setiap saat bersama dengan keluarga dan
senantiasa meminta pertolongan kepada Allah agar tidak
terkena Covid 19. Qalb tidak akan terkotori apapun, kecuali
muslim mengotorinya dengan syirk, nifaq, hasad, gadab, dan
lain-lain. Dengan demikian, cahaya al-qalb adalah sempurna
dan abadi, tidak seperti cahaya shadr yang bersifat
fluktuatif.
3. Maqam al-Fu`ad. Maqam ini merupakan tempat saat ilmu
al-Qalb dan marifat menyatu. Penyatuan ini akan
menyingkap segala sesuatu yang awalnya gaib atau abstrak
menjadi kongkrit. Di mata muslim biasa, Covid 19
merupakan makhluk yang gaib, ketika muslim bisa berada di
Maqam a-Fu’ad, maka virus itu akan bisa terlihat. Hal ini bisa
menjadi hujjah atau disebut dengan ilm al-Yakin dan ‘ain al-
Yakin. Baik al-Fu’ad dan al-Qalb dapat dikatakan juga sebagai
al-Bashir. Ketika muslim mampu menjalankan ilm al-Itibar
dengan qalb, serta mengaktifkan al-Musyahadahnya dengan
cahaya iman, maka dia disebut Ulil Abshar. Makna al-Fuad
dan al-Qalb sangat dekat seperti al-Rahman dan al-Rahim.
Penjaga al-Fu’ad ialah al-Rahman dan penjaga al-Fuad
adalah al-Rahim. Hati di maqam al-Fu’ad ini berangkat dari
musyahadah (direct), sedangkan al-Qalb berangkat dari ilmu
(indirect). al-Fu’ad hanya membutuhkan ruang kosong untuk
diisi hidayah dan maunah dan al-Qalb membutuhkan
perantara (ar-ribt).
4. Maqamat al-Lubb. Tingkatan ini ialah tingkatan tertinggi dan
teraman dalam hati. Lubb dinilai sebagai al-Quthb yang tidak
akan pernah sirna dan bergerak. Segala pondasi agama dan
cahaya spiritual ada di dalamnya, hingga di dalam cahaya
tidak akan sempurna dan lestari tanpa kesalehan al-Lubb. Di
sini juga cahaya tauhid dan cahaya syahadah tinggal. Semua
cahaya bersumber dari Allah Swt. Cahaya al-lubb dan cahaya
akal terkadang disamakan, tapi cahaya al-lubb bagaikan
cahaya matahari yang sempurna, sedangkan akal bagaikan
cahaya lampu. Seperti dalam kasus Covid-19 tahun 2020 di
Indonesia, memberikan efek yang sangat luar biasa terhadap
psikis. Jika muslim mempergunakan al-lubbnya, maka salah
satu cara sederhana diluar medis ialah dengan shalat. Dalam
ajaran Islam, sebelum shalat diwajibkan berwudhu.
Melalui potensi al-qalb yang hanya dimiliki manusia, maka
dengan alasan apalagi manusia untuk tidak berakhlak yang baik
dalam kehidupan. Allah telah memberikan potensi yang
melampaui hebatnya potensi yang diberikan pada mahluk
lainnya. Bila hati masih keras untuk untuk berakhlak mulia,
berarti masih ada masalah besar pada kesadaran ilahiyah
sebagai sumber dari segala sumber yang ada. Manusia yang
tetap sombong dengan pemberian kesempurnaan insani dari
manusia maka berarti ada masalah besar pada diri manusia yang
tidak mengenal diri dan kejatidirian dirinya sendiri.
BAB 5
SIFAT DASAR AKHLAK TERCELA

Manusia dalam al-Quran digambarkan senantiasa berada


pada 2 posisi berhadapan, 2 kutub bertentangan, dan 2 arah
berlawanan. Perjuangan manusia bukan saja melawan “musuh”
di luar dirinya tetapi musuh nyata di dalam dan pada dirinya
sendiri. Manusia berhadapan dengan setan yang berada “diluar”
dirinya tetapi juga menghadapi subjek besar dirinya sendiri yang
terkadang bagai bapak setan. Manusia memang terbelenggu
oleh kecenderungan buruk yang dipelihara dan terkurung
godaan setan yang tidak kuasa mengusirnya. Dilema ini
mengantarkan dan menseleksi manusia, siapa yang mampu
keluar dari kubangan kekuatan ‘arah kiri’ menuju titik nol atau
garis netral atau bergeser ke “arah kanan” agar melampaui
standar an-basyar menuju an-Naas bergerak cepat kepada
kualitas al-Insan dan bertengger dalam singgasana sang Kekasih-
Nya.
Bila sifat-sifat atau karakter manusia dilihat, diamati,
dicermati dan dianalisis dari beragam tampilan yang
diperlihatkan ke permukaan maka sekurang-kurangnya akan
menemukan 5 tingkatan karakter keburukan sebagai berikut:
A. Hasud
Karakter orang Hasid adalah mereka yang merasa tidak
senang bila orang lain mendapatkan kesuksesan, keberuntungan
atau kebahagiaan. Mereka lebih senang melihat orang sengsara,
celaka, menderita, kucel, kumel, dekil, dengkul dan kalau bisa
dungu plus debil alias idiot. Hasid lebih suka dan bahagia di atas
penderitaan orang lain dan sengsara di atas kebahagiaan orang
lain. Menurut Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al Fatawa, (10:111),
menyebutkan bahwa “Hasad adalah membenci dan tidak suka
terhadap keadaan baik orang lain”. Menurut Choer Affandi
(2008:32) bahwa dosa hasud itu akan kembali kepada dirinya
sendiri bahkan amal kebaikan penghasud akan diberikan pada
yang dihasud”.
Sekurang-kurangnya ada 8 bahaya hasud sebagaimana yang
diterangkan dalam kitab Thariqah Muhammadiyah,
www.islam.nu.or.id yakni, Pertama, ifsadut tha’at, yaitu
merusak nilai kataatan kepada Allah. Kedua, al-Ifda’u ila fi’lil
ma’ashi yaitu membuka pintu terjadinya kemaksiatan. Misalnya
meminta bantuan dukun untuk mengkhianati orang yang
dihasudnya. Ketiga, hirmantus syafa’ah, yaitu menghalangi
dirinya dari dapat syafaat di hari kiamat. Keempat, duhulun naar
yaitu menyebabkan masuk neraka karena amalnya habis.
Kelima, al ifdha’ ila dharari ghairihi yaitu membahayakan orang
lain yang sama sekali tidak tahu-menahu. Keenam, at-ta’ab wal
ham min ghairi faidatin yaitu disibukan oleh hal yang tidak
bermanfaat dan kesedihan yang tak kunjung berakhir. Ketujuh,
‘amal qalbi hatta yadaka la yafhamu hukman min ahkamillahi
ta’ala yaitu menyebabkan buta hatinya dan tidak
memperdulikan aturan syariat dan hukum Allah.
Ada beberapa indikator atau ciri dari perbuatan hasud yang
berbahaya dalam kontek keberakhlakan manusia, yakni:
Pertama, hasud itu Pembenci Allah, karena dia iri atas
pemberian Allah sebagai pengatur yang mutlak tentang apa
pun. Firman Allah dalam (QS. al-Nisa *4+:32) artinya, “ Dan
janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan
Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Karena
bagi laki-laki ada bagian dari yang diusahakan dan bagi
perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Siapakah yang punya
hak untuk menentukan seseorang mendapatkan lebih atau
kurang? Jawabnya hanyalah Allah. Karena itu yang hasud sama
dengan membenci Allah.
Kedua, hasud melenyapkan amal sendiri, bagi yang hasud
maka amalnya akan ditransfer kepada yang dihasud. Sungguh
berat hukuman bagi yang hasud. Sabda Rasulullah, artinya,
”Jauhkanlah dirimu dari hasad karena hasud itu memakan
kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu”, (HR. Abu
Dawud).
Ketiga, Hasud merusak nilai persaudaraan, saling dengki, iri
hati bakal menimbulkan iritasi persaudaraan, memarut
perkawanan, melebur silaturahmi, merusak pertemanan,
menghancurkan persahabatan dan meleburkan cinta kasih
sayang. Saling dengki merupakan pintu pembuka untuk
memutuskan segala kebaikan dan segenap kebajikan. Sabda
Rasulullah, artinya, “Janganlah kalian saling mendengki, jangan
saling memutuskan hubungan persahabatan, jangan saling
membenci dan jangan saling memalingkan muka. Jadilah kalian
orang-orang yang bersaudara”.
Keempat, Hasud, perilaku menyerupai Yahudi, hasud itu
menyerupai perilaku, sifat dan karakter orang-orang Yahudi.
Bagi ummat Islam niru-niru untuk menyerupai perilaku ummat
non muslim hukumnya dilarang. Sabda Rasulullah, yang
diriwayatkan (HR. Ahmad dan Abu Daud), artinya, “Barangsiapa
menyerupai sekelompok orang maka dia bagian dari mereka”.
Umat Islam yang menyerupai perilaku umat agama lain, bisa
terjebak pada kemunafikan atau kekafiran. Jangan bangga
dengan “orang lain” karena bisa berarti tidak bangga bagi
perilaku keberagamaannya sendiri.
Kelima, Hasud, menghalangi kebaikan, orang hasud tidak
suka pada kesuksesan, kebahagian atau kesenangan yang
diberikan Allah pada orang lain, itu berarti orang hasud (Hasid)
sedang melakukan penolakan besar-besaran terhadap segala hal
yang Allah akan berikan kepada mereka. Mereka menutup rapat
wadah yang akan diisi kebaikan dari Allah, Rasul dan umat Islam
serta alam jagat raya sekaligus. Renungkan makna firman Allah
dalam (QS. at-Taubah *9+:105) artinya, “… bekerjalah kamu,
maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya
dan orang-orang mukmin dan kamu akan dikembalikan kepada
Allah Yang Maha Melihat yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Ayat ini menegaskan (1) apapun yang dikerjakan akan
diberitahukan langsung hasil dan akibatnya, baik di dunia
maupun di akhirat (berita hilangnya teman, rezeki, kesehatan,
kebahagian dst), (2) setiap pekerjaan kita dinilai langsung oleh
Allah, Rasul dan ummat Islam, jangan merasa tidak ada yang
menilai, segala perbuatan akan kembali kepada diri sendiri,
apapun yang diperbuatnya. Contoh bila seseorang menghina
orang lain maka dia sedang menanti dan mengundang
penghinaan dari orang lain bahkan dari lain orang, (3) sadari
sepenuhnya bahwa Allah Maha Melihat, tidak ada yang bisa
disembunyikan sedikitpun, kita tidak bisa berbohong dengan
mengatakan “kenapa rezekiku seret, temanku pada menjauh”.
Allahpun menjawab dengan sontak, “ bukankah kamu si
penghasud? Begitulah nasib si penghasud, jangan disesali,
jangan dan jangan diratapi
Di akhir sesi ini, marilah kita merenungkan kembali
adakah kita masih menyimpan, menyelipkan, menempelkan dan
merekatkan sifat-sifat hasud pada diri kita sendiri? Sejenak ….
kita ingat-ingat dan saya bisa menyebutkan salah satu sifat
hasud saya: ……… dan setelah saya tahu dan sadari segara akan
saya perbaiki. Karena saya sangat takut dengan ancaman azab
Allah bagi yang penghasud sebagaimana firman Allah dalam (QS.
al-Humazah [104]:1-9) artinya:
1. Celakalah bagi setiap penghasud/pengumpat dan
pencela
2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya
3. Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat
mengekalkan
4. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam
neraka HUTAMAH
5. Dan tahukah kamu apakah Hutamah itu?
6. (Yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan
7. Yang membakar sampai HATI
8. Sungguh api itu ditutup rapat atas diri mereka
9. (Sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang
panjang
Begitu beratnya balasan atau siksaan bagi orang-orang
pendengki, sampai-sampai disediakan neraka khusus bagi
mereka. Bagi kita yang diselamatkan oleh Allah jauh dari sifat
hasud maka bersyukurlah dan terus berusaha agar godaan
hasud makin menjauh dan kita makin kuat imannya.

B. Karakter Fajir
Karakter orang fajir (penjahat) terbentuk dari jiwa yang
lebih suka memerintah pada keburukan (nafsu amarah).
Perilaku atau sifat yang bisa diamati biasanya berupa
temperamental, emosional, egois, sombong, kikir, ambisius,
hasud dan hedonism. Problem paling berat untuk mengubah
karakter ini adalah menumbuhkan kesadaran yang
bersangkutan terhadap sifat-sifat buruk tersebut. Biasanya yang
bersangkutan tidak merasakannya. Meski sudah begitu banyak
tanda-tanda yang harusnya disadari, misalkan kehadiran yang
bersangkutan tidak disukai orang lain, tidak punya teman dekat,
sering menyendiri, kurang dihargai dan dimusuhi banyak orang.
Pada level ini sebaiknya seseorang bisa mengubah karakter
dasar ke dalam tiga hal sederhana, yakni Aku Aman bagimu
(kehadirannya dihindari karena mengganggu kenyamanan dan
keamanan orang lain), Aku Bermanfaat bagimu (kehadirannya
dinanti karena banyak memberi manfaat), Aku Mencintaimu
(kehadirannya dirindukan orang lain karena ketulusannya).

C. Karakter Fasik
Karakter orang Fasik (pendosa besar) yang terbentuk dari
jiwa pencela (nafsu lawwamah) acapkali diakibatkan oleh
ketidaksukaan terhadap orang lain bahkan terhadap dirinya
sendiri. Ciri dari perilaku orang fasik: suka mencela, menipu,
ujub, riya, takabur, dholim, menggunjing, mencerca, memaki
dan memfitnah. Fasik sebenarnya karakter orang yang dalam
hatinya senantiasa ingin keluar dari perintah Allah, berusaha
hendak menjauh bukan mendekat pada ketaatan kepada-Nya.
Perhatikan firman Allah (QS. al-Kahfi [18]:50) artinya, “ kecuali
iblis (tidah mau sujud), dia termasuk golongan jin dan fasik
terhadap perintah Tuhannya”. Karakter mereka lebih suka
mencari sensasi untuk menentang perintah Allah dari pada
berendah hati mentaatinya. Firman Allah (QS. al-Maidah [5]:47)
artinya, “… dan barangsiapa yang tidak berhukum menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik”. Perilaku orang fasik merupakan gambaran nyata
dari akhlak yang buruk, akhlak busuk dan akhlak rusak, akhlak
yang hancur-lebur, luluh-lanta dan remuk-rendak dan harus
dijauhi.

D. Karakter Munafik
Karakter orang Munafik adalah orang yang hidupnya
penuh dengan keberpura-puraan; pura-pura percaya padahal
ingkar, pura-pura sahaat padahal musuh, pura-pura Islam
padahal memusuhi Islam. Munafik itu nifak antara di dalam hati
dengan yang ditampakan berbeda, lain di mulut lain di hati,
musuh dalam selimut, ular berkepala dua, kalu dipercaya ia
khianat. Allah berfirman dalam (QS. al-Baqarah *2+:14), artinya”
dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman,
mereka berkata; ‘kami telah beriman’. Tetapi apabila mereka
kembali pada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka
berkata; ‘sesungguhnya kami bersamamu, kami hanya berolok-
olok”. Menurut Novita Ayuningtyas dalam www.liputan6.com
2019, terdapat beberapa ciri orang munafik yang hendaknya
diwaspadai antara lain : Pendusta, khianat, fujur (berlebih dalam
pertikaian), ingkar janji, malas beribadah, riya, dan senang
berlebihan. Perilaku maunafik merupakan akhlak buruk yang
akan mendapatkan balasan neraka, sebagai mana firman Allah
(QS. an-Nisa [4]:145) artinya, “Sesungguh, orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang bawah dari neraka. Dan
kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka”.

E. Kafir
Karakter orang-orang kafir senantiasa melakukan
pembantahan terhadap semua kebenaran dan memperolok-
olokan serta bermain-main dengan kebenaran Allah. Mereka
sangat ingin membuat umat Islam bercerai-berai dan menjauh
dari tali (ikatan) Allah. Merekapun senantiasa membuat tipu
daya untuk menipu ummat Islam bahkan menipu Allah dan
Rasul-Nya. Namun setiap penipuan yang mereka lakukan Allah
balas dengan tipu daya yang lebih dahsyat. Bahkan semua tipu
daya yang mereka lakukan tidaklah selain menipu dirinya sendiri
tanpa disadarinya. Oleh karena itu, bagi orang-orang kafir,
mereka diberi peringatan atau tidak, sama saja tidak akan
beriman, hati mereka telah Allah kunci mati bahkan penyakit
yang ada dalam hati mereka Allah tambah terus sehinga mereka
makin sesat dan terus makin sesat karena mereka membeli
petunjuk dengan kesesatanya yang nyata (QS. al-Baqarah [2]:6-
18).
Ada beberapa ciri pokok dari kaum kafir, yang harus dijauhi
dalam kehidupan tetapi hendaknya mengenali dengan dalam
agar kita tidak tercebak atau masuk perangkap yang tidak
disadari. Ciri-ciri utama mereka adalah: (1) menolak syariat dan
menghalang-halangi manusia untuk menyembah Allah (QS. an-
Nisa [4]:61), (2) menyembah selain Allah, padahal mereka tidak
memiliki pengetahuan tentang itu (QS. al-Mukminun [23]:117),
(3) mengingkari nikmat Allah padahal mereka tahu nikmat itu
(QS. an-Nahl [16]:83), (4) menggoda umat beriman agar kufur
seperti diri mereka sendiri (QS. an-Nisa [4]:89), (5) memusuhi
umat islam dan membuat kemadharatan serta menyusahkan.
Umat Islam dilarang untuk menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin atau teman setia sekalipun (QS. Ali Imran [3]:118), (6)
memusuhi Allah, Rasul-Nya, Malaikat-Nya, Jibril dan mereka
akan tetap memusuhi-Nya sampai kiamat (QS. al-Baqarah
[2]:98), (7) bersifat hipokrit, munafik, lain di mulut lain di hati
(QS. al-Ahzab [33]:1), (8) sombong
Suatu keyakinan yang hendaknya menjadi cambuk bagi kita
bahwa siksaan Allah terhadap orang-orang kafir begitu berat, al-
Quran menjelaskan secara tegas beberapa hal sebagai berikut:
1. Orang kafir atau yang menjadikan sesembahan selain Allah
akan menjadi bahan bakar Jahannam (QS. al-Anbiya [21]:98).
2. Orang-orang kafir merintih dan menjerit kesakitan akibat
siksaan yang pedih tetapi mereka tidak dapat saling melihat
(QS. al-Anbiya [21]:100).
3. Orang-orang kafir akan dibuatkan pakaian-pakaian dari api
neraka dan ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang
mendidih sampai menghancurkan apa yang ada di dalam
perut dan kulit’, (QS.al-Hajj [22]:19-20) dan begitu kulitnya
gosong atau hancur tumbuh lagi kulit baru dan begitu
seterusnya (QS. an-Nisa [4]:56), artinya,”Sesungguhnya
orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, kelak akan
Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit
mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang
baru, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
4. Mereka akan mendapatkan siksaan cambuk yang terbuat dari
besi dan setiap kali mereka berusaha akan keluar karena
siksaan yang pedih, mereka digiring lagi ke dalam neraka,
begitu seterusnya karena kekal di dalamnya” (QS. al-Hajj
[22]:22).
5. Mereka akan mendapatkan siksaan dalam neraka yang
gejolak apinya mengepung mereka. Bila mereka meminta
pertolongan hendak minum maka diberinya air yang
mendidih seperti besi yang dapat menggosongkan wajahnya
(QS. al-Kahfi [18]:29).
Mengingat kafir merupakan musuh aqidah Islam, vis a vis
teologis dan kontra ideologis maka secara aqidah umat Islam
seyogyanya menerapkan akhlak dapat memahami, menerima
dan menghayati perbedaan itu sepenuh kebenaran yang Tuhan
ajarkan. Perhatikan firman Allah sebagai contoh penerapan
perlakuan terhadap orang-orang kafir dalam (QS. al-Kafirun
[109]:1-6), artinya “Katakanlah Muhammad, “wahai orang-
orang kafir!, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah
dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa
yang aku sembah, untukmu agamamu dan untukku agamaku”.
Jadi dari sisi dimensi Akhlak Islam, pergaulan yang benar
hanya akan terjadi ketika setiap orang dengan identitas
agamanya menyadari konskwensi keyakinannya masing-masing
sehingga bisa dan sanggup bersepakat dalam perbedaan dan
sepakat kita berbeda. Jadi kalau umat Islam tidak mengucapkan
selamat natal atau umat non muslim tidak mengucapkan
selamat hari raya idul fitra misalnya, itu menunjukkan akhlak.
Sebab akhlak itu bukan pemaksaan tetapi pemaknaan atas
keyakinan setiap insan. Kata kuncinya adalah keragaman bukan
keseragaman, unick bukan uniform, berbeda tapi berasa. Berasa
membawa bermakna dan tentu kebermaknaan yang mendasar
dan mendalam.
Karena pemahaman yang mendalam dan penerimaan yang
mendasar atas fakta bahwa kita berbeda maka akan melahirkan
pergaulan yang tidak menyisakan dan menyiksakan
permusuhan, kebencian dan intoleran serta sikap hipokrit
(persaudaraan semu atau pseudo persahabatan) yang
menyimpan potensi bom waktu meledaknya perguncingan,
pergumulan, pergolakan, permusuhan, dan bahkan peperangan
atas nama kayakinan.
BAB 5
KISAH MANUSIA TERCELA

Salah satu isi kandungan al-Qur’an adalah kisah kehidupan


umat manusia sejak Nabi Adam sampai masa nabi Muhammad.
Kisah itu diceritakan kembali di dalam al-Quran untuk tujuan: (1)
mengambil pelajaran berharga dari setiap peristiwa yang
dialami umat-umat sebelumnya, agar tidak mengulang
keburukannya dan mengulang kebaikannya, (2) mengukuhkan
kembali bahwa sifat-sifat dasar manusia sejak awal penciptaan
tidak mengalami perubahan tetap dalam fitrah Allah yang hanif
namun diberikan kecenderungan pada kebaikan dan kejahatan,
(3) memastikan bahwa sejak manusia pertama (Adam AS) tugas
manusia tetap konsisten yaitu meng-Esa-kan Allah dan tidak
berbuat musyrik kepada-Nya, (4) Agama yang dibawakan para
nabi kepada kaum manapun hanyalah agama tauhid meskipun
syariatnya berbeda-beda, (5) agar setiap umat menyadari
bahwa ada masanya masing-masing dan semua akan berakhir,
umat yang satu digantikan dengan umat yang lain atau menjadi
umat akhir zaman sampai kiamat, (6) berakhirnya suatu kaum
atau umat disebabkan karena rusaknya akhlak yang merajalela
dari mulai penguasa sampai pengusaha, dari wakil rakyat sampai
pemberi mandat, aparat sampai rakyat, cendikia sampai ulama,
karyawan sampai profesional, penegak hukum sampai terhukum
dan seterusnya semua bersekongkol dengan kehinaan
moralitas., (7) sekali lagi kita tidak hendak mempelajari kisah-
kisah manusia dengan akhlak tercela, karena hal ini sudah
menjadi pengetahuan umum tetapi bagaimana kita mengambil
pelajaran berharga dan bermakna dari setiap kisah agar kita
tidak terjebak pada perilaku yang dibenci tapi dilakukan. Kita
berharap ketika mempelajari bagian ini ada kebeningan hati
untuk melihat, mengkaji, meneliti, menelusuri dan
menginstrospeksi diri, bermuhasabah tentang perilaku kita hari
ini. Jangan-jangan kita juga masih menyisakan dan menyimpan
“ala perilaku tercela” dalam wajah, rupa, rona, asa, basa, dan
makna yang tak jauh berbeda atau terselubung justifikasi ilmiah
sehingga merasa benar padahal salah, merasa berbuat baik
padahal jahat, merasa mengabdi padahal mencaci, merasa
mendukung padahal menelikung, merasa mencerahkan padahal
mencercakan dan seterusnya.

A. Qabil dan Habil


Kisah tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil
terhadap Habil dalam al-Qur’an diredaksikan dalam lima ayat.
Rangkaian kisah tersebut seluruhnya tercantum dalam (QS al-
Ma’idah [5]: 27-31). Sebagaimana kita ketahui bahwa surat Al-
Ma’idah termasuk surat Madaniyah. Karakteristik surat
Madaniyah selain turun di Madinah, inti dari ayat-ayatnya
berbicara tentang syariat Islam yang lebih luas. Di dalam al-
Qur’an hanya ada lima ayat yang menyebutkan istilah bani
Adam, salah satunya adalah kisah Qabil dan Habil. Selain
digunakan untuk membahas kisah yang tercantum dalam QS al-
Maidah ini, semuanya terdapat dalam Qs al-A’raf. Penyebutan
bani Adam dalam al-Qur’an semuanya tergolong surat
Madaniyyah. Dengan demikian, pesan ayat yang menggunakan
istilah Bani Adam, tentu tidak untuk tujuan khusus, melainkan
diperuntukkan kepada umat secara luas. Dalam menghadapi
teks kisah pembunuhan Qabil terhadap Habil dalam al-Qur’an
harus menyelaraskan antara horizon pembaca dengan horizon
teks. Yang termasuk horizon teksnya adalah aspek kebahasaan
ayat, intratekstualitas dan historical context. Secara ringkas, (QS
al-Maidah [5]: 27-31) membicarakan konflik antara Qabil dan
Habil yang mana Nabi Muhammad diperintah oleh Allah untuk
membacakan kisah tersebut kepada orang-orang Yahudi. Kisah
tersebut berawal dari Qabil dan Habil mempersembahkan
korban tetapi hanya korban Habil yang diterima. Qabil kemudian
mengancam akan membunuh Habil. Jawaban Habil adalah
sesungguhnya Allah hanya menerima korban dari orang yang
bertaqwa. Penyebutan Bani Adam dalam ayat tersebut bisa jadi
maksudnya adalah Qabil dan Habil, tapi tidak menutup
kemungkinan adalah tokoh fiktif yang merepresentasikan
manusia.
Terkait dengan kisah Qabil dan Habil dapat dipelajari dalam
(QS. al-Maidah [5]: 27-31), yang menceritakan tantang (1)
Qurban yang diterima dan tidak diteri berdasarkan ketakwaan, “
… Sesunggunya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang
yang bertakwa”., (2) Habil tidak melakukan perlawanan atas
upaya pembunuhan yang dilakukan Qabil karena taku pada
Allah, ‘… Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam”, (3) Qabil
kembali kepada Allah sebagai penghuni neraka karena dosa
membunuh Habil dan dosanya sendiri, “… maka engkau kan
menjadi penghuni neraka dan itulah balasan bagi orang yang
zalim”, (4) Allah memberi pelajaran cara mengubur mayat Habil
melalui pelajaran yang dicontohkan burung gagak, (5) Qabil
menjadi orang-orang yang menyesal karena melakukan
pembunuhan terhadap Habil, “... Maka jadilah dia termasuk
orang yang menyesal”.
Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu Katsir,
dikatakan bahwa ketika itu Nabi Adam hendak menikahkan satu
anak laki-laki dari satu kelahiran dengan anak perempuan dari
kelahiran yang lain. Jadi, Nabi Adam menjodoh-nikahkan putra-
putrinya secara silang. Ketika itu, Qabil hendak dijodohkan
dengan adik Habil yaitu Labuda. Sedangkan Habil dijodohkan
dengan adik Qabil yang bernama Iqlima tapi Qabil menolak dan
hanya mau menikah dengan Iqlima maka Nabi Adam menyuruh
mereka mempersembahkan korban. Siapa yang diterima
korbannya maka dialah yang berhak menikah dengan Iqlima (al-
Qurtubi, 2009: 25-26).
Nilai-nilai pendidikan kisah Qabil dan Habil. Pertama, nilai
pendidikan keimanan. Di dalam (QS. al-Maidah [5]: 27-32) yang
memuat tentang kisah anak Adam yaitu Qabil dan Habil
terdapat nilai-nilai keimanan, yakni: (1) nilai keimanan kepada
Allah swt; (2) nilai keimanan kepada rasul; (3) nilai keimanan
kepada hari akhir. Adapun mengenai nilai keimanan kepada
Allah terdapat pada akhir ayat 28, sedangkan nilai keimanan
kepada rasul terdapat pada pangkal ayat 27 dan nilai keimanan
kepada hari kemudian terdapat di ayat 29. Kedua, nilai
pendidikan syariah. Nilai pendidikan syari’ah salah satunya
dicontohkan Allah SWT., yang dalam kisah ini adalah ibadah
kurban. Setiap ibadah yang dilakukan karena Allah akan
mendapat balasan yang sempurna dari-Nya. Ketiga, nilai
pendidikan akhlak. Nilai pendidikan akhlak dalam kisah ini
adalah setiap akhlak perbuatan harus sesuai dengan syariah
yang telah ditetapkan Allah SWT., Sebagai contoh untuk
melaksanakan setiap ibadah maka diutuslah Rasulullah untuk
semua manusia, dan Keempat, nilai pendidikan kisah Qobil dan
Habil yang berebut calon istri menggambarkan sebuah motif
pernikahan hanya didasarkan pada nafsu seksual bukan karena
Allah. Keenam, kita diajari untuk berpikir yang matang, agar
tindakan kita tidak menimbulkan sesal berkepanjangan
dikemudian hari. Ketujuh, kita diingatkan bahwa melakukan
perbuatan yang dilarang Allah akan berkonsekwensi terhadap
hukuman-Nya, yaitu neraka.
Pada perilaku keseharian, acapkali kita menyaksikan banyak
orang sampai saling bunuh gara-gara berebut perempuan.
Keadaan ini merupakan sebuah kehinaan karena tidak percaya
pada takdir baik dari Tuhan, segala kehidupan kita (Sunda
menyebutkan: pati, bagja, cilaka, jodoh, mati) sudah ditentukan
sejak ajali. Karena itu cintailah seseorang sewajarnya dan tidak
ada cinta yang harus diperjuangkan dengan mati-matian kecuali
cinta kita pada Allah dan Rasul-Nya, cinta kepada selain Allah
dan Rasul-Nya adalah cinta biasa karena cintanya akan binasa
tetapi cinta-Nya cinta akan kekal selama-lamanya. Jangan
sampai terjadi memperjuangkan kebaikan (nikah) dengan cara
yang haram (membunuh), sebagai dosa besar yang haram
menyentuh surga. Jalanilah cinta dengan niat yang tepat, tujuan
yang tepat, kepada orang yang tepat, cara yang tepat, waktu
yang tepat, perasaan yang tepat sehingga cinta manfaat dan
maslahat. Berhati-hati jangan sampai Cinta membawa sengsara
karena cinta penuh dusta. Jangan ada dusta diantara kita karena
cinta kita demi Allah semata.

B. Kan’an
Dalam al-Quran, kisah tentang Nabi Nuh terdapat dalam (QS.
al-Araf [7]: 59-64, QS. Hud [11]:t 25-48, QS. asy-Syuara [26]:
105-121, QS al-Mu’minun [23]:23-30, Qs. al-Ankabut [29]: 14-15
dan QS. al-Qamar [54]:9-16. Selain itu, kisah Nabi Nuh juga
tertulis dalam surat bernama Nuh tapi tidak semua
menceritakan kisah beliau dengan anaknya Kan’an yang menjadi
inti dari pembahasan ini. Nabi Nuh AS adalah rasul pertama
yang diutus kepada umat manusia di muka bumi. Dia adalah
salah satu rasul ulul azmi, selain Nabi Ibrahim, Nabi Musa as,
Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. Nabi Nuh diutus kepada
kaumnya selama 950 tahun, sebagaimana tersurat secara jelas
dalam QS. al-Ankabut [29]:4. Allah berfirman (QS. Hud [11]:36),
artinya, “Dan diwahyukan kepada (Nuh), Ketahuilah, tidak akan
beriman diantara kaummu, kecuali orang-orang yang benar-
benar beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati
tentang apa yang mereka perbuat”. Adapun peristiwa
percakapan antara Nabi Nuh dan anaknya Kan’an, terdapat
dalam (QS. Hud [11]: 42-47), artinya,” Dan kapal itu berlayar
membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-
gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu)
berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah
(ke kapal) bersma kami dan janganlah engkau bersama orang-
orang kafir”. Kan’an menjawan, pada ayat 43, artinya, “Dia
anaknya menjawab, : “Aku akan mencari perlindungan ke
gunung-gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!.
Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah
pada hari ini selain Allah Yang Maha Penyayang”. Dan
gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka dia
(anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan”. Ayat 45.
Artinya, “ Dhai bumi! Telanlah airmu dan wahai langit (hujan)
berhentilah”. Dan airpun disurutkan dan perintahpun
diselesaikan, dan kapal itupun berlabuh di atas gunung Judi dan
dikatakan, Binasalah orang-orang zalim”. Ayat 45, artinya,” Dan
Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya anaku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu
itu pasti benar. Engkau adalah Hakim yang paling adil”. Tetapi
Allah menjawab doa Nabi Nuh dalam ayat 46, artinya,” Dan
(Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah
termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak
baik, sebab itu janganlah engkau memohon kepada-Ku sesuatu
yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar
engkau tidak termasuk orang yang bodoh”. Nuh menyesali
doanya dalam ayat 47, artinya, “Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon
kepada-Mu sesuatu yang aku tidak tahu hakikatnya. Kalau
Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan
kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi”. Allah
mengabulakn doa Nabi Nuh dalam ayat 47, artinya, “
Difirmankan, “Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera
dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat
(mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat yang Kami beri
kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan
ditimpa azab Kami yang pedih”. Dan tentu saja kisah lengkap
yang berada dalam surat lainnya.
Kompetensi pendidik dan etika anak didik, jika dikaitkan
dengan kisah Nuh AS dan Kan’an sangat jelas keterkaitannya.
Nuh menunjukkan kompetensinya sebagai ayah yang bertindak
sebagai pendidik dengan keteguhan tekadnya untuk
menyelamatkan anaknya dari kekafiran. Seandainya keteguhan
sikap seperti ini diimbangi oleh etika baik Kan’an selaku anak
didik dalam pendidikan keluarga, dapat dipastikan pendidikan
dalam keluarga akan menemui keberhasilan. Nabi Nuh telah
mendapat tantangan berat dalam mengemban risalah
kenabiannya. Tantangan terberat justru datang dari keluarganya
sendiri, anaknya Kan’an tidak mau beriman dan memilih jalan
kekafiran sehingga harus menerima adzab dari Allah, ia
tenggelam di telan air bah. Namun demikian Nuh sebagai orang
tua telah menunjukkan keteguhannya untuk terus mengajak
sang anak untuk beriman meskipun dalam situasi sulit.
Keteguhan Nuh mengajak Kan’an agar beriman
menunjukkan komitmennya yang besar sebagai orangtua dalam
pendidikan akidah-akhlak yang patut dijadikan model bagi para
orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Dalam hal ini orang tua
selaku pendidik bagi anaknya harus mampu menerapkan
pendidikan akidah-akhlak sebagai materi pendidikan yang
utama dalam keluarga untuk menciptakan manusia “abid” yang
dalam hidupnya selalu dinamis dan secara evolutif bergerak
menuju keteguhan Iman dan Islam. Untuk menuju ke arah ideal
itu, komunikasi yang efektif dan efisien dijadikan metode
mendidik anak dalam keluarga ditunjang oleh keteguhan tekad
orang tua untuk menyelamatkan anaknya dari kekafiran dan
interaksi orang tua dan anak yang tidak mengenal tempat dan
waktu yang ideal. Dalam segala kondisi, orang tua harus tetap
memperhatikan pendidikan anak dalam rangka menjamin
keteguhan akidah akhlaknya.
Iktibar atau pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik dari
kisah Nabi Nuh antara lain: (1) semua Nabi bekerja atas perintah
Allah melalui wahyu yang diturunkan secara langsung. Kita yang
hidup sudah dengan wahyu (al-Quran) tinggal kesiapan taat
sesuai dengan al-Quran, (2) pengakuan terhadap anggota
keluarga bukan hanya karena genetis, tapi kesamaan aqidah,
Kan’an tidak disebut keluarga nabi Nuh oleh Allah, (3) kasih
sayang orangtua terhadap anak benar-benar tak terbatas. Nabi
Nuh menyeru anaknya untuk ikut ke perahu sekalipun anaknya
menolak. Itu sebuah gambaran cinta orangtua kepada anaknya.
Memang sekalipun anak yang paling sholeh tidak akan ada anak
yang mampu membalas kebaikan dan kasih sayang
orangtuanya. Bahkan hanya untuk bayar utang geneologis atau
merawat (edu-caring) saja tidak akan pernah lunas apalagi utang
jasa mengandung, melahirkan, tangisan malam hari, kasih
sayang, cinta, kenakalannya, kekhawatiran, doa-doanya dan
seterusnya, tak terhitung dan tak terhingga, (3) kebanaran dan
kebatilah dimanapun, kapanpun dan dengan siapun menjadi
pembeda dan pemisah kita dengan mereka, baik pemisah
perjuangan, pemisah keluarga, pemisah orangtua dan anak,
pemisah cinta dan durjana, pemisah kasih sayang dan
kebencian, (4) pergaulan atau kebersamaan kita dengan orang-
orang yang taat pada Allah akan membawa kita pada jalan
keselamatan (seperti pengikut Nuh) meski badai menghantam,
banjir menerjang, petir menyambar, gempa menggoncang,
burung Ababil melempar, pasukan gajah menyerang, virus
mengancam, corona membahana, pertolongan Allah begitu
dekat. Pilihan kita hanyalah satu, yakni bergaulan dengan orang-
orang yang makin membawa kita pada taat kepada Allah, bukan
membawa laknat Allah.
C. Firaun
Firaun adalah salah satu raja dlalim yang mati tenggelam di
laut Merah, karena mengejar Musa dan Bani Israil tetapi
jasadnya terselamatkan untuk dijadikan bukti kebenaran
kisahnya. Firaun banyak melakukan berbagai bentuk penindasan
terhadap Bani Israil. Sebagai utusan Allah Musa membela kaum
yang lemah dan tertindas. Ada perbedaan pendapat tentang
siapakah sebenarnya nama asli sosok fenomenal Firaun yang
hidup pada zaman nabi Musa. Meskipun ayat-ayat al-Quran
yang menceritakan Firaun tergolong banyak, namun tidak
diceritakan secara kronologis, sehingga sangat menyulitkan para
mufasir untuk menjelaskan maknanya secara utuh. Cerita
tentang Firaun, sepak terjang dia yang selalu menindas dan
berbuat sewenang-wenang, kufur nikmat, kufur secara akidah
tauhid dengan mengaku sebagai tuhan, secara sekilas terkesan
diulang-ulang, padahal gaya bahasanya berbeda beda yang
tentu saja aspek penekanannya juga berbeda-beda. Lebih parah
lagi jika kita memaknai kisah-kisah dalam al-Quran tentang nasib
umat-umat terdahulu termasuk didalamnya Firaun dipahami
hanya sebatas teks saja, sehingga mengaburkan makna yang
terkandung didalamnya.
Firaun dalam al-Quran digambarkan sebagai sosok penguasa
yang zhalim, walaupun dalam sejarah banyak terjadi perbedaan
pendapat mengenai siapakah sebenarnya Firaun yang
dikisahkan hidup pada zaman Nabi Musa, melalui bukti-bukti
dan temuan-temuan yang dilakukan oleh beberapa ahli
Egyptologi secara pasti memang dapat ditentukan bahwa
Ramses II dan Marneptah-lah yang hidup pada masa Nabi Musa.
Atau ada yang berpendapat nama Firaun yang hidup sezaman
dengan Nabi Musa adalah al-Walid ibnu Musab ibnu Rayyan,
atau Musab ibnu Rayyan, yang mempunyai nama kun-yah Abu
Murrah. Terlepas dari semua itu, al-Quran secara sengaja
menyembunyikan nama-nama Firaun tersebut, karena maksud
al-Quran menceritakan kisah Firaun bukan untuk membentuk
kronologi cerita yang didalamnya memuat unsur-unsur seperti
nama, tempat dan lain-lain. al-Quran bahkan tidak
menyebutkan nama-nama tempat, yaitu kota yang dibangun
oleh orang Israil pengikut Musa ataupun tidak menyebutkan
matinya Firaun ketika Musa menetap di Madyan. Tetapi al-
Quran secara panjang lebar menguraikan beberapa karakter dan
bentuk-bentuk penindasan Firaun terhadap orangorang Israil
pengikut Musa.
Antara lain Firaun digambarkan sebagai penguasa yang
sangat zhalim yang berbuat melebihi kodaratnya sebagai
manusia dan bertindak tidak manusawi dengan memperbudak
rakyat yang lemah. Ia telah mengingkari jati dirinya sebagai
hamba dan berpretensi sebagai tuhan. Pembangkangan yang
dilakaukan oleh Fir’aun dan para pendukungnya antara lain,
penyembelihan anak laki-laki dalam (QS. al-Baqarah [2]: 49),
Kezhaliman dalam (QS. al-Araf [7]:103, penganiayaan terhadap
rakyat (QS. al-Araf [7]: 141), kesombongan diri dalam (QS. Yunus
[10]:75), pemborosan, pemerintahan sewenang-wenang dalam
(QS. Thaaha [20]:43), kebijakan memecah belah kelompak
masyarakat untuk melayani kepentingan serta perusakan dalam
(QS. al-Qashash [28]:4), berbagai kesalahan dan kriminal dalam
(QS. al-Qashash [28]: 8), dan lain-lain. Banyak sekali nikmat yang
telah Allah berikan kepada Firaun tetapi ia dan para pengikutnya
selalu kufur. Oleh karena itu Musa diutus pada Firaun agar mau
menyembah Allah. Disamping kesombongan Firaun dan Haman
yang telah dijelaskan al-Quran, masih banyak profil hamba-
hamba Allah yang durhaka diantaranya Qarun.
Temuan ilmiah tentang mayat Firaun yang diteliti oleh Prof.
Dr. Maurica Bucaelli ahli bedah dari Prancis pada pertengahan
tahun 1975. Penelitian yang dilakukan secara apik menemukan
bahwa Mayat Fir’aun (Ramses II) mati tenggelam di lautan
karena ditemukan banyak kandungan garam dalam bagian
tubuh yang diteliti, hingga saat ini mumi mayatnya masih
tersimpan di Mesir. Hal ini membuktikan kebenaran firman Allah
yang diabadikan dalam al-Qur’an (QS. Yunus [10]:92), artinya,
“Maka hari ini, Kami biarkan engkau (hai Fir’aun) terlepas dari
badanmu (yang tidak bernyawa di lautan), untuk menjadi tanda
bagi orang-orang setelahmu (supaya mengambil pelajaran).
Dan ingatlah sesungguhnya kebanyakan manusia lengah
terhadap tanda-tanda kekuasaan Kami”.
Kisah Firaun yang diabadikan dalam al-Quran memberikan
pelajaran bagi kita agar antara lain: (1) bahwa kekuasaan yang
tirani, zalim, lalim, bengis, biadab, brutal, kejam, keji, terkutuk,
penipu, korup dan brengsek kelak akan mendapatkan balasan
berupa siksaan api neraka yang menyala-nyala, meski rakyatnya
tak bisa berdaya apa-apa untuk melakukan perlawanan dalam
menegakan kebenenaran. Pengadilan Allah Maha Adil dan Maha
Bijaksana, (2) Kematian para pemimpin yang jahat, buruk,
busuk, bringsek Allah hinakan sehina-hinanya, (3) Pemimpin
yang berbuat lalim, zalim dan jahanam terhadap rakyatnya,
kelak akan menanggung dosa seluruh rakyatnya sebagai
pengadilan atas tanggung jawab dan mandat dari rakyat yang
didustakannya, (4) kiranya kita beriman dengan sepenuh
keimanan bahwa siapapun yang diberi kepercayaan oleh Allah
untuk memimpin pada level manapun meniatkan diri tidak
menjadi pemimpin yang zalaim gaya dan kaya Fir’aun, (5) Fir’aun
masa kini sebenarnya sangat banyak, karena itu tegakkan
kebenaran dengan gaya, cara dan makna masing-masing.

D. Namburd
Raja Namrud (hidup sekitar tahun 2275 SM-1943 SM) juga
disebut eja Namrudz bin Kan'aan (Arab ‫ك ن عان ب ن ن مرود‬, Inggris
Nimrod, Bahasa Ibrani: , Standar Nimrod Tiberias ;
Nimrod) (2275 SM - 1943 SM) adalah salah satu seorang Raja
yang memerintah Mesopotamia kuno (kini dikenal negara Irak).
Ia memiliki gelar a mighty hunter yang berarti pemburu yang
hebat atau pemburu yang perkasa, karena kehebatannya dalam
berburu. Nama lengkapnya adalah Namrudz bin Kan'aan bin
Kush bin Ham bin Nuh atau juga beberapa pendapat (Raja
Namrud bin Kush bin Ham bin Nuh). Selain itu beliau diberi gelar
Dewa Bacchus atau Dewa Anggur dan Dewa Matahari. Namrudz
sendiri merupakan kata jamak yang memiliki pengertian "Mari
memberontak". Namanya tercatat dalam Taurat, Injil dan kisah-
kisah Islam (Abdullah bin Muhammad, 2004: 524).
Pada zamannya, Namrudz merupakan seorang raja yang
cerdas, namun kecerdasannya itu membuatnya bersikap
sombong dan takabur sehingga ia mengaku menjadi atheis atau
sebagai Tuhan dan usahanya selalu mendapatkan tantangan
hebat dari Nabi Ibrahim. Namanya terkenal karena usahanya
sebagai pendiri Menara Babel. Menurut Alkitab pemerintah
termasuk Babel, Erech, Accad, dan Calneh, di tanah Shinar, yang
juga dikenal sebagai tanah Namrud. Ayah Namrud adalah Kush
yaitu cucu Nabi Nuh, sedangkan ibunya adalah Semiramis.
Ibunya pada usia remaja telah menikah dengan ayahnya. Konon,
sehari setelah berhubungan kelamin dengan Semiramis,
ayahnya meninggal dunia. Oleh karena itu, saat Namrud lahir ia
tidak mempunyai ayah. Ibunya adalah seorang wanita yang
cantik dan bijaksana. Setelah ia lahir, konon dia tidak pernah
disentuh oleh manusia dan Namrudz dianggap anak yang suci.
Ini telah menambah keyakinan Namrud bahwa ia adalah anak
tuhan. Ketika ia dewasa, ia menjadi seorang yang tampan dan
ibunya cemburu dengan teman wanitanya. Karena itu,
Semiramis menikah dengan Namrud yaitu anaknya sendiri.
Raja Namrud telah dianugerahi dengan daya intelektual
yang tinggi dan menjadi ahli dalam berbagai bidang seperti seni
desain, matematika dan ilmu falak. Dia telah menemukan sistem
sexagesimal yang membagi lingkaran ke 360 derajat, satu jam ke
60 menit dan 1 menit ke 60 detik. Selain itu dia menetapkan
bahwa satu hari dibagi menjadi 24 jam setiap jam ke 60 menit
dan 1 menit ke 60 detik. Menurut dia hari dimulai pada waktu
tengah malam dan bukannya pada waktu matahari terbenam
seperti yang dipercaya oleh kaum sebelumnya. Di samping itu,
Namrud mahir dalam perhitungan matematika dalam konstruksi
bangunan-bangunan besar, jembatan, kuil, istana dan
bendungan. Antara lain kontribusinya adalah konstruksi sistem
saluran irigasi di lembah Tigris dan Euphrates. Dialah orang
pertama yang menggunakan batu-bata dari tanah liat yang
dibakar (burnt clay) sebagai bahan bangunan. Bahkan Namrud
terkenal sebagai arsitek Menara Babel yaitu bangunan pencakar
langit yang pertama di dunia.
Namrudz, yang telah mendakwakan diri sebagai raja di
muka bumi, memerintahkan untuk mendirikan sebuah
bangunan sebagai tempat menyembah patung berhala. Ketika
mendapati berbagai patung berhala dijadikan sebagai sembahan
maka Ibrahim bertekad menghancurkan berhala tersebut
sebagai bentuk pembuktikan bahwa patung batu hanyalah
benda mati yang tidak dapat bertindak apapun. Ibrahim datang
untuk meruntuhkan segala patung terkecuali sebuah patung
terbesar yang dianggap sebagai sembahan paling hebat bagi
kaumnya, sebagaimana dalam QS a ad- Anbiya'[21]: 51-58.
Sayangnya sebagai seorang ateis, dia telah
menyalahgunakan kemampuan itu untuk menyesatkan
rakyatnya. Antara lain menggunakan ilmu falak untuk
menciptakan berbagai sistem meramal nasib seperti horoskop
dan meramal nasib palmistry. Tujuannya adalah untuk
menunjukkan bahwa manusia tidak perlu Tuhan karena manusia
mampu memprediksi dan mengubah nasibnya sendiri. Selain itu,
ia membangun banyak bangunan dan berhala yang megah dan
indah agar manusia kagum dengan kehebatan ciptaannya
sendiri. Menara Babel yang berarti "Pintu Gerbang yang
Sempurna" merupakan kuil dimana pendeta-pendeta memuji
Namrud. Tujuannya dibangun adalah untuk menaikkan sebuah
bangunan yang mampu mencapai kayangan. Menurut buku
"Sejarah Para Rasul dan Raja" pada abad ke-9 oleh ahli sejarah
Islam terkenal al-Tabari, menara tersebut telah dihancurkan
oleh Allah. Awalnya para pendahulunya menggunakan satu
bahasa yaitu bahasa Suryani, tetapi ia memecahnya mnenjadi 72
bahasa yang berbeda. Akibatnya mereka tidak dapat
berkomunikasi satu sama lain dan tidak dapat melanjutkan
pembangunan menara tersebut. Dia juga sangat meminati ilmu
sihir dan menggunakannya untuk mempengaruhi pikiran
rakyatnya. Konon, dia mempelajari ilmu tersebut dari dua
malaikat Harut dan Marut yang pernah disebut dalam Al-Quran.
Selain itu, Namrud telah memulai suatu era yang baru dimana
manusia memandang rendah pada Tuhan. Rakyatnya tidak
dianjurkan untuk melakukan kebaikan demi Tuhan, karena
baginya Tuhan yang ghaib adalah lemah. Oleh itu orang-orang di
bawah pemerintahannya bisa mengikuti nafsu manusia seperti
berpesta, seks bebas, arak dan segala kemungkaran yang lain.
Oleh karena itu, Namrud diberi gelar Bacchus atau Dewa Anggur
karena ia 'mabuk' dengan keduniaan. Ia juga mengklaim dirinya
Tuhan, karena sebagai seorang manusia dia merasa lebih tahu
tentang kelemahan manusia lain dibandingkan Tuhan yang jauh
terpisah dari makhluknya sendiri.
Pada satu malam Raja Namrud bermimpi melihat bintang
yang terbit dari barat. Semakin tinggi ia naik, semakin terang
bintang itu bersinar. Sehingga ia sampai ke zenith dimana ia
menerangi seluruh alam semesta. Setelah terbangun Raja
Namrudpun memanggil penasihatnya dan menceritakan
mimpinya tersebut. Penasehat itu memberitahu bahwa ada
beberapa tafsiran untuk mimpinya itu. Tafsiran mimpi tersebut
antara lain akan lahir seorang anak dalam setahun, anak itu
akan dilahirkan di Faddam A'ram, anak itu akan menjadi
penghancur batu berhala, anak itu akan membuktikan
kepalsuan Raja Namrud, dan anak itu akan menyebarkan agama
bahwa Tuhan Yang Esa ada dan darinya akan lahir keturunan-
keturunan para nabi dan aulia. Nabi terakhir dari keturunan ini
akan membawa agama yang ibarat bintang di zenith yaitu
menyinari seluruh alam semesta, akibat anak ini Namrud akan
mati secara dasyhat. Menurut cerita lainnya, Namrud bermimpi
melihat seorang anak melompat dan masuk ke kamarnya,
kemudian merampas mahkota yang dipakainya, lalu
menghancurkannya.
Setelah mendengar berita ini Namrud menjadi gelisah. dia
sadar bahwa anak ini akan membawa pada kejatuhannya.
Dengan segera Raja Namrud mengirim bala tentaranya ke
Faddam A'ram. Penduduk lelakinya telah dipisahkan dari istri-
istri mereka. Wanita-wanita yang mengandung dibunuh. Raja
Namrud juga mengeluarkan perintah bahwa siapa yang
melahirkan anak akan dibunuh bersama anaknya. Setelah satu
tahun ia mendapat pertanda bahwa anak itu akan dilahirkan. Ia
mencurigai Azaar yaitu orang yang paling dipercayainya karena
Azaar pernah diizinkan untuk memasuki kota tersebut.
Meskipun begitu, Azaar menampiknya dan istrinya juga tidak
menunjukkan tanda-tanda hamil. Namun, ia tidak
mempercayainya dan menugaskan seorang tentara untuk
menjaga istri Azaar. Setahun telah berlalu dan tentara Namrud
dikeluarkan dari kota Faddam A'ram.
Alkitab Injil tidak pernah menyatakan tentang pertemuan
antara Raja Namrud dengan Nabi Ibrahim. Bahkan ada jurang
tujuh generasi antara mereka berdua, Namrud sebagai cicit Nabi
Nuh AS, sedangkan Ibrahim sepuluh generasi setelah Nuh.
Taurat dan al-Quran menggambarkan peperangan antara Raja
Namrud dengan Nabi Ibrahim sebagai satu konfrontasi hebat
antara kebaikan dan kejahatan atau lebih spesifik lagi
Monoteisme melawan thaghut dan Penyembahan Berhala.
Namun menurut sumber Yahudi, Raja Namrud sempat
bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Tetapi muslim
mempercayai bahwa ia tetap dengan pendiriannya sebagai
Tuhan sampai keakhir hayatnya. Allah menurunkan ribuan
nyamuk atau serangga yang halus. Senjata buatan manusia yang
paling hebatpun tidak mampu menepis serangan makhluk yang
kecil ini. Dalam beberapa menit mereka telah menembus kulit
tentara Raja Namrud dan membunuh mereka dengan dahsyat
sekali. Namun ia berhasil melarikan diri tetapi nyamuk itu telah
masuk keotaknya. Konon, selama empat puluh hari dan empat
puluh malam, ia tersiksa karena otaknya ditusuk oleh nyamuk
itu. Dalam waktu tersebut, Nabi Ibrahim sering mengunjungi
dan memberi dakwah kepada beliau. Namun beliau tetap
mengklaim dirinya Tuhan. Akhirnya beliau memanggil orang
suruhannya untuk mengambil sebatang besi yang besar untuk
memukul kepalanya agar sakitnya hilang. Setelah beberapa
menit kepalanya dipukul, beliau memerintahkan orang
suruhannya untuk memberikan pukulan yang paling kuat dan ini
telah membawa kepada kematian Raja Namrud yang lalim itu.
Kemudian nyamuk tersebut merangkak keluar dari telinga
beliau. Maka berakhirlah kehidupan seorang raja takabur yang
mati akibat serangan nyamuk yang kecil.
Pelajaran berharga dari kisah Namduzd antara lain: (1) jika
kekuasaan seseorang di dunia tidak ada yang bisa mengalahkan
maka Allah akan mengalahkannya dengan mudah dan murah,
(2) Namruzd yang perkasa ternyata kalah oleh nyamuk kecil
yang bisa memperdaya, menyiksa dan menghinakan kematian
pembesar Raja yang sangat berkuasa. Hal ini menjadi pelajaran
jangan sampai berlaku zalim sebab Allah akan hinakan
kehidupannya, (3) jangan sampai kecerdasan yang Allah berikan,
digunakan justru untuk melawan Allah. Jika demikian kelak
kecerdasan itu akan datang sebagai siksaan yang sangat pedih,
(4) Setiap penegakkan kebenaran dan kebaikan senantiasa ada
musuh atau lawan yang menghadang, yaitu penguasa raja atau
penguasa kesukuan atau rakyat yang menghadapi kelaliman
penguasaanya, (5) mimpin yang mendapat petunjuk Allah
merupakan kebenaran yang bisa dipercaya tetapi bukan ilmu
ramalan yang dalam hukum Islman termasuk sesat. Dan
anehnya banyak dari umat Islam yang dengan mudah disesatkan
oleh dukun, ramalan atau mimpinya para penipu. Jadilah muslim
yang cerdas, kritis dan berserah diri hanya kepada Allah.

E. Qarun
Nama Qarun dalam al-Quran disebutkan dalam empat ayat,
yaitu QS. al-Qashash [28]:76 & 79, QS. Al-‘Ankabut [29]:39 dan
QS. al-Mukmin [40]: 24. Di dalam QS. al-Qashash ayat 76-82,
dikisahkan secara singkat yaitu hanya dalam beberapa ayat saja
tapi isinya padat dan jelas (Ali Audah, 2011: 609). al-Quran
mengawali kisah Qarun dengan menjelaskan bahwa pada
awalnya Qarun merupakan kaum nabi Musa as. yang kemudian
berpindah haluan menjadi seorang pembangkang dan berbuat
aniaya kepada kaumnya. Sikapnya yang demikian disebabkan
oleh harta kekayaannya. Dimana kekayaannya yang melimpah
ruah digambarkan oleh Allah dengan menyebutkan kunci-kunci
gudang penyimpanan hartanya tidak mampu dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat (Yunahar Ilyas, 2003: 192).
Dalam menafsirkan, Ibnu Katsir mengambil riwayat dari al-
Amasy yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya Qarun adalah
termasuk kaum Musa, ia adalah anak pamannya”. Riwayat ini
bersumber dari Ibnu Abbas, tapi juga dikemukakan oleh Ibrahim
an-Nakha‟i, Abdullah bin al-Harits bin Naufal, Simak bin Harb,
Qatadah, Malik bin Dinar, Ibnu Juraij dan lainnya, mereka
berpendapat bahwa Qarun adalah anak dari pamannya nabi
Musa (Ibnu Katsir, 2004: 297). Sedangkan Asy-Syaukani
meriwayatkan pendapat Ibnu Ishaq yang mengataan bahwa
Qarun adalah paman Musa, maka ia disebut saudara Imran.
Keduanya adalah anak orang Samiri dan keluar dari ketaatan
terhadap nabi Musa (Asy-Syaukani, 2011: 523). Hanafi al-
Mahlawi menjelaskan bahwasannya Qarun tidak lain adalah
Yashar. Ia mengambil pendapat Rusydi al-Badrawi yang
mengatakan bahwa Yashar adalah Qarun itu sendiri. Hal ini
berdasarkan kamus kitab suci yang menjelaskan Yashar adalah
nama Ibrani Yudi’u atau yusyriqu (bersinar, cerah).
Dalam beberapa kitab tafsir, dijelaskan bahwa Qarun
mendapatkan julukan al-munawwar (bercahaya, menyinari)
karena beberapa hal sebagaimana nanti akan penulis jelaskan
(al-Mahlawi, tt: 130). Namun, Ibnu Jarir mempertegas pendapat
yang mengatakan, bahwa “Qarun sepupu nabi Musa adalah
pendapat mayoritas ulama”. Dengan ini, beliau juga membantah
pendapat Ibnu Ishaq yang mengatakan bahwa Qarun itu adalah
paman nabi Musa as (Ibnu Katsir, 697). Firman Allah dengan
menyebut “min qaumi Musa (termasuk kaum Musa)”, bukan
“min Bani Isra’il, mengindikasikan adanya hubungan khusus
antara nabi Musa dan Qarun. Hubungan tersebut adalah
hubungan kekerabatan, begitulah kesan yang ditangkap Ibn
Asyur.
Terlepas dari perdebatan mengenai hubungan
kekerabatannya dengan nabi Musa as, yang pasti semua mufasir
sepakat dan sependapat bahwa Qarun adalah salah satu kaum
Musa yang berasal dari Bani Israil, bukan berkebangsaan Mesir
sebagaimana Firaun dan Haman. Semula, ia adalah hamba
mukmin, kemudian berubah menjadi sombong dan congkak,
sehingga ia berlaku zalim terhadap kaumnya, diantara beberapa
kezalimannya adalah kufur terhadap nabi Musa,
merendahkannya dan menghina kaumnya, karena ia memiliki
harta yang banyak serta keturunan yang mulia (Zaidan, 2012:
649). Meskipun Qarun telah berbuat aniaya terhadap kaumnya
sendiri, masih ada beberapa orang bijak diantara mereka yang
mencoba untuk memberikan nasihat agar tidak berlebihan
dalam memandang kekayaan (Ilyas, 192).
Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dari kisah
Qarun dalam QS. al-Qashash ayat 76-82 dan relevansi antara
kisah Qarun dengan perilaku manusia pada zaman modern saat
ini diantaranya: Pertama, menurut pendapat para mufassir nilai-
nilai pendidikan akhlak pada QS al-Qashash ayat 77 dan 80, di
dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak mahmudah
yaitu berbuat baik dan sabar. Kemudian, menurut pendapat
pada mufassir nilai-nilai pendidikan akhlak pada Qs al-Qashash
ayat 76, 77, 78, dan 79, di dalamnya terdapat nilai-nilai
pendidikan akhlak madzmumah yaitu aniaya, terlalu bangga,
berbuat kerusakan, angkuh, dan pamer kemegahan. Jika
dibandingkan antara nilai-nilai pendidikan akhlak mahmudah
dan madzmumah dalam kisah Qarun lebih dominan kepada
nilai-nilai pendidikan akhlak madzmumah. Kedua, manusia
memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan duniawi yaitu
menumpuk harta benda secara instan dengan menghalalkan
segala cara, dan ketika manusia sudah memiliki banyak harta
akan timbul rasa bangga dan menganggap dirinya patut untuk
dihormati. Memang bila kekayaan yang dimiliki tidak ada
kontrak ilahiyah, tidak berasa dari Allah, akan menimbulkan
kesombongan. Ada kata-kata bijak berkaitan dengan orang kaya,
“Orang kaya itu sombong dan orang sangat kaya itu rendah
hati”. Tapi Qarun meski sudah sangat kaya tetapi tetap
sombong. Mengapa tetap sombong? Jawabannya, karena tujuan
hidupnya untuk kekayaan.

F. Abu Lahab
Abu Lahab terkenal karena kebenciannya yang sangat
mendalam kepada Rasulullah dan ajaran yang dibawanya, Islam.
Bahkan, secara spesial dia dan Istrinya tercantum di dalam al-
Qur`an sejak permulaan Islam disebarkan di tanah suci Mekkah.
Allah mengabadikan dalam Qs al-Lahab. Allah SWT menurunkan
Qura’an surat al-Lahab. Abu Lahab adalah salah seorang paman
Rasulullah. Nama sebenarnya adalah `Abdul `Uzza bin `Abdul
Muttalib. Nama panggilannya adalah Abu `Utaybah. Dia
dipanggil Abu Lahab karena wajahnya yang terang dan menyala-
nyala. Ibnu Mas`ud berkata suatu ketika Rasulullah SAW
mengajak orang-orang Quraish kepada keimanan, lalu Abu
Lahab berkata: “Seandainya apa yang dikatakan keponakanku
itu benar, maka aku akan melindungi diriku dari pedihnya azab
pada hari kiamat nanti dengan hartaku dan anak-anakku”.
Padahal dalam Qs al-Lahab Allah SWT sudah menyebutkan
yang artinya: Tidaklah berguna hartanya dan keturunannya. Abu
lahab meninggal karena penyakit. Ia tidak ikut memerangi Nabi
saat perang Badar karena sakitnya itu. Sepulangnya orang-orang
kafir dari perang Badar dengan membawa kekalahan, sakitnya
bertambah parah. Dan ia akhirnya meninggal dengan keadaan
sakit yang mengerikan. Diriwayatkan bahwa orang-orang kafir,
bahkan teman-teman dan keluarganya enggan mengurus
jenazahnya karena keadaan sakitnya yang menjijikkan dan
timbul bau busuk dari penyakitnya. Inilah akhir hidup seorang
musuh Allah. Selama tiga hari sejak kematiannya, jasad Abu
Lahab dibiarkan tergeletak tanpa ada yang bersedia
menguburkan. Para warga tidak berani mendekati jasadnya.
Akhirnya karena bau busuk yang kian menjadi maka digali juga
sebuah lubang kubur bagi Abu Lahab. Bangkai Abu Lahab
didorong-dorong dengan sebilah kayu sampai masuk lubang.
Tidak hanya itu, prosesi penguburan pun berlangsung secara
mengenaskan. Dari jauh warga melempari kuburan Abu Lahab
dengan batu hingga mereka yakin betul jasadnya telah tertutup
rapat. Itulah sebuah tragedi kematian yang lebih hina dari
kematian seekor ayam sekalipun. Sedangkan Istrinya Abu Lahab,
yaitu Ummu Jamil yang artinya wanita yang cantik. Tapi julukan
ini tidak sesuai dengan perilakunya. Ia setali tiga uang dengan
suaminya dalam hal memusuhi Nabi. Ia lebih tepat dinamai
wanita yang jelek karena perilakunya yang sangat buruk.
Surah al-Lahab disepakati turun di Mekkah sebelum Nabi
berhijrah ke Madinah. Terdapat beberapa nama untuk
kumpulan ayat-ayat yang berbicara tentang Abu Lahab ini.
Dalam banyak Mushaf namanya adalah surah Tabbat sesuai
dengan kata pertama ayatnya. Dalam beberapa Mushaf ia
dinamai surah al-Masad (sabut penjerat). Sementara mufassir
menamainya dengan surah Abi Lahab. Tema utama bahkan
satu-satunya tema yang dibicarakannya adalah tentang
kebinasaan yang akan dialami oleh salah seorang tokoh utama
kaum musyrikin, yaitu Abu Lahab. Uraian menyangkut
kebinasaan istrinya adalah bagian dari siksa yang akan dialami
oleh Abu Lahab itu.
Seringkali pada malam, Ia memanggul kayu yang berduri
untuk diletakkan di jalan-jalan yang biasa dilalui Nabi. Sehingga
bila Nabi lewat pada malam hari/subuh, Nabi akan menginjak
kayu yang berduri itu sehingga Nabi terluka. Ummu Jamil senang
kalau Nabi terluka karena menginjak kayu berduri. Ummu Jamil
juga suka mengadu domba dan memfitnah supaya orang-orang
Makkah membenci Nabi. Ia dijuluki pembawa kayu bakar.
Karena ia suka “membakar” emosi, mengadu domba, dan
menimbulkan kebencian orang-orang Makkah kepada Islam.
Saat membawa kayu, ia mengikatnya dan melilitkan sebagian
talinya pada leher. Inilah kebiasaan yang dilakukannya saat
membawa kayu berduri untuk mencelakai Nabi. Perilaku buruk
inilah yang akhirnya membawanya menemui ajalnya. Ummu
Jamil meninggal karena tercekik tali yang digunakannya untuk
membawa kayu. Kelak di akhirat, ia akan disiksa juga dengan
tali. Dinyatakan oleh Allah bahwa di neraka, leher Ummu Jamil
diikat dengan tali dari api neraka Jahannam.
Hal-hal di atas diterangkan oleh Allah dalam surat al-Lahab.
Salah satu surat pendek dalam al-Quran. Surat ini menunjukkan
mukjizat al-Quran, karena dengan tepat memprediksi hal-hal
yang belum terjadi saat surat ini diturunkan. Telah dinyatakan
bahwa Abu Lahab dan istrinya termasuk orang yang celaka.
Maka memang sampai akhir hayatnya, mereka tidak pernah
beriman kepada Allah dan Rasulullah, meskipun Rasul selalu
mengajak mereka untuk beriman.
Saat QS. al-Lahab diturunkan, Ummu Jamil marah-marah
karena merasa terhina. Ia mendatangi Abu Bakar dan
menanyakan di manakah Muhammad. Ummu Jamil marah-
marah di depan Abu Bakar sambil membawa batu dan
mengancam akan melakukan berbagai hal buruk pada
Muhammad. Ummu Jamil menanyakan di manakah
Muhammad, padahal saat itu Nabi sedang duduk tepat di
samping Abu Bakar. Ummu Jamil tidak dapat melihat Nabi
karena penglihatannya ditutup oleh Allah sehingga ia hanya
melihat Abu Bakar. Padahal Nabi sedang duduk di samping Abu
Bakar. Abu Bakar heran kenapa Ummu Jamil menanyakan
dimana Nabi maka Abu bakar bertanya apakah Ummu Jamil
hanya melihat Abu Bakar dan tidak melihat orang lain di
sampingnya? Maka Ummu jamil bertambah marah karena
merasa diolok-olok oleh Abu Bakar seraya menjawab “Apakah
engkau bermaksud menghinaku? Aku tidak melihat siapa-siapa
selain kau!” Inilah salah satu mukjizat Nabi. Adalah mudah sekali
bagi Allah melakukan hal ini. Secara umum, ulama berpendapat
bahwa QS Al-Lahab diturunkan Allah SWT untuk mencela
sekaligus memberikan kepastian informasi bahwa Abu Lahab
dan Istrinya kelak pasti akan masuk ke dalam Neraka.
Nilai-nilai pendidikan yang bisa dijadikan pelajaraN atau
reflektif dari kisah Abu Lahab antara lain: (1) Lagi-lagi Abu Lahab
sebagai musuh nyata terhadap misi kenabian yang dibawakan
Nabi Muhammas. Abu Lahab muncul sebagaimana hadirnya
Fira’un, namrudz di masa nabi sebelumnya, sebagai tokoh
antagonis yang fenomanal karena menentang Nabi utusan Allah,
(2) musuh para nabi dan (mungkin juga kita) kita bisa jadi orang
terdekat kita (Abu Lahab adalah Paman Nabi Muhammad), anak,
istri/suami yang menyebabkan kita lalai dalam beribadah
kepada Allah, (3) Lagi-lagi musuh para nabi penentang
kebenaran, matinya dihinakan sehina-hinanya, (4) Allah
melindungi orang-orang yang berbuat kebaikan dari kejahatan
orang-orang dhalim, jangan takut untuk menegakkan kebenaran
dalam membela agama Allah, (5) energi untuk memusuhi orang
lain lebih besar, lebih melelahkan dan lebih mahal biayanya
ketimbang energy untuk mencintai. Berpikirlah untuk mencintai
dan menyayangi sesama ketimbang untuk memusinya.
BAB 7
DERAJAT AKHLAK INSANI

A. Karakter Mukmin
Mukimin adalah orang yang benar-benar beriman kepada
Allah dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya dengan terus berhidmat diri pada kebenaran-Nya.
Allah berfirman (QS. al-Hujurat [49]:7) artinya, “…Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta pada keimanan dan menjadikan (iman)
itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan an kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang
yang mengikuti jalan yang lurus”. Dalam lanjutan surat al-
Hujuran ayat 9-12, dijelaskan sifat-sifat orang mukmi (beriman),
antara lain: bersaudara (tidak berperang), tidak suka mengolok-
olok orang lain, tidak saling mencela, tidak memanggil dengan
nama yang buruk, menjauhi prasangka dan tidak menggunjing.
Bila seseorang mengaku beriman tetapi masih melakukan
perbuatan tercela maka patut dipertanyakan keimanannya dan
hendaknnya segera bertobat. Orang mukmin yang diceritakan
dalam al-Qur’an dengan jaminan keberuntungan dunia dan
akhirat, sifat-sifat utamanya dijelaskan dalam firman Allah (QS.
Al-Mukminun [23]:1-9), artinya,” Sungguh beruntung orang-
orang yang beriman, yaitu orang yang khusuk dalam shalatnya
dan orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan
yang tidak berguna dan orang yang menunaikan zakat dan orang
yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istrinya
atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari diluar itu (zina
dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas. Dan sungguh beruntung orang-orang yang
memelihara amanah-amanah dan janjinya serta orang yang
memelihara shalatnya”. Seorang mukmin tidaklah beramal
melainkan atas dasar keimanan kepada Allah bukan atas dasar
alasan lain, seperti shalat plus terpaksa, sodakoh plus riya,
belajar plus arogan, menolong plus sombong, berbakti plus iri
dan seterusnya. Orang beriman hanya menggantungkan
amalannya pada ridha Allah. Atas nama Allah bila memulai
pekerjaan (bismillah), pekerjaan sedang berjalan (laahaula wala
quwata ila billah) dan bila selesai dengan berhasil
(alhamdzulillah) dan bila gagal (inna lilllah). Jika seorang mukmin
hanya mengikatkan tali iman kepada Allah saja, maka tidak aka
ada yang mampu mengubah komitmen itu, termasuk imun,
kebal dari godaan setan sekalipun. Firman Allah dalam (QS. an-
Nahl [16]:98-100), artinya,“ Maka apabila engkau Muhammad
hendak membaca al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada
Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan
berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal
kepada Tuhan. Pengaruhnya hanyalah terhadap orang-orang
yang menjadikannya pemimpin dan terhadap orang yang
menduakan atau mempersekutukannya dengan Allah”.
Bagi seorang Mukmin mengerti betul siapa kawan dan siap
lawan yang hendaknya didekati dan mestinya dijauhi dari
kehidupan pribadi, keluarga dan lingkungan sosial. Seorang
mukmin tidak diperkenankan untuk bergaul dengan orang yang
bisa dan biasa menggelicirkan keimanan dan amal soleh kita
meski memberi keuntungan secara duniawi. Perhatikan firman
Allah (QS. al-Qashash [28]:55) artinya, “ Dan apabila mereka
mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya
dan berkata, “bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-
amal kamu, smoga selamatlah kamu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang bodoh”. Etika muslim ketika menghadapi
orang-orang yang perilakunya jauh dari akhlak Islam hendaknya:
(1) aku menjauh darimu, baik lahir maupun batin, jangan jadikan
teman apalagi pemimpin, (2) aku membenci perbuatanmu
bukan orangnya tetapi tindakannya, karena itu aku tak layak
mencontoh tindakanmu meski hanya sebagiannya saja apalagi
harus berteman dekat dengannya, (3) aku tetap mendoakan dan
mengajakmu semoga mendapat petunjuk kepada jalan
kebenaran Tuhan menuju surga yang kekal.

B. Karakter Muslim
Benarkah seseorang sudah bisa disebut muslim? Muslim
merupakan pancaran dari sifat-sifat yang baik dengan
senantiasa menaburkan keselamatan (assalamu’alaikum),
menyemburkan kebaikan, menyebarkan kesejahteraan,
mambagikan kebahagiaan, dan mengantarkan pertolongan
sejati kepada siapapun. Agar seorang muslim benar-benar
menjadi manusia yang paling baik dalam memberi manfaat bagi
orang lain maka seorang muslim hendaknya memiliki karakter
sebagai berikut: (a) salimul aqidah yakni aqidah yang lurus,
kokoh, kuat, murni (tanpa bercampur syirik), total, dan
menyatunya hati, ucapan dan tindakan, (b) shahihul ibadah
yakni melakukan ibadah sesuai dengan contoh dari Rasulullah
(tidak mengurangi atau menambah), ibadahnya bermakna bagi
kehidupan dirinya dan orang lain, (3) matinul khuluk yaitu
mampu merefleksikan kekuatan aqidah dan ketaatan beribadah
pada satu tindakan nyata akhlakul karimah, (4) qawwiyul jism
yaitu memiliki fisik yang bugar, segar, tegar, kekar serta kuat
dan ssehat, (5) mutsaqqaful fiqr yakni menjaga dan memelihara
akal sehat, berpikir yang kritis dan berwawasan yang luas., (6)
mujaahidun linafsihi yakni memiliki kemampuan pengendalian
diri yang baik, tenang, menyejukan, dan mencerahkan serta
membahagiakan, (7) harisun ‘ala waqtihi yakni menjaga,
memelihara, memanfaatkan dan mengelola waktu dengan tepat
untuk meningkatkan kualitas amal kebaikan, kemanfaat dan
kebahagiaan, (8) munazhzhamun fii syu’unihi yakni bersifat
tertib dalam segala urusan, mengerti amal yang important dan
urgent (penting dan mendesak), (9) qadirun ‘alal kasbi, yakni
mampu kasab, mencari rezeki, mandiri, maju dan makmur, tidak
menjadi beban orang lain malah membantu beban orang lain,
(10) nafi’un lighairihi yakni mampu memberi manfaat bagi
sesama (tersedia dalam www.menaraislam.com tahun 2020).
Seorang mukmin selain mandiri, ia juga mampu beramal dengan
hartanya secara benar, ia tidak berlebih tapi juga kikir. Firman
Allah (QS. al-Furqan *25+67) artinya, “ Dan termasuk hamba-
hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila
menginfakkan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak pula
kikir, diantara keduanya secara wajar”. Mereka mampu
menempatkan harta sebagai sarana ibadah, fasilitas kebaikan
dan media social yang tepat dan benar. Bukan sebagai
tunggangan kesombongan, kendaraan keangkuhan dan perahu
kepongahan atau pesawat kecongkakan hidup. Ia sadar bahwa
rezeki itu dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya dengan
tanpa hisab. Begitulah akhlak seorang Muslim dalam
menjalankan ketundukan, kepatuhan dan keikhlasan dalam
memanfaatkan dan menafkahkan diri dan kekayaannya di jalan
Allah secara benar.

C. Karakter Muhsin
Muhlis barasal dari kata”hasuna” artiya orang baik atau
bagus. Seorang yang muhlis itu adalah orang yang sudah berada
pada maqom gemar berbuat kebaikan. Ia senantiasa melakukan
perbaikan diri supaya amaliahnya senantiasa tampil dengan
cantik, menjadi lebih cantik dan bahkn mencapai yang tercantik.
Ia berusaha untuk berhias diri agar menjadi orang yang selalu
tercerahkan dengan kebaikan, tidak stagnan dalam satu
kebaikan atau establish dalam suatu derajat kebajikan. Ia
mengerti derajat kebaikan, maqom keutamaan dan hikmah
kesempurnaan. Ia sanggup menjadi orang yang baik dengan cara
bijak untuk senantiasa bajik. Ia senantiasa merasa khawatir bila
amalnya suatu waktu turun, mudun bahkan mundur. Ia
senantiasa berupaya sekalipun dengan cara berupayah agar
grafik amaliyah segera menaik, meningkat dan memuncak.
Kata ihsan dalam al-Qur’an tidak kurang dari 30 ayat yang
membicarakan tentang ihsan. Ihsan suatu perbuatan yang
dilakukan dengan memenuhi standar kesadarn berikut: (1) sadar
bahwa diri kita terbuka dihadapan Allah, lahir batin,
disembunyikan atau dinyatakan tak ada bedanya dimata Allah,
diletakkan di tengah-tengah lapangan atau dikunci mati dalam
peti besi sama transfaransinya bagi Allah Rabbul ’izzati.
Perhatikan firman Allah (QS. al-Qashash [28]:69), artinya, ”Dan
Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan dalam dada
mereka dan apa yang mereka nyatakan”. (2) menyadari bahwa
kita melihat atau dilihat Allah dalam segalanya. Karakter
seorang muhsin ditegaskan dalam sabda Nabi sebagai berikut,
“apakah itu ihsan? Dia menjawab: “Kamu menyebah Allah
seakan-akan dia melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya,
ketahuilah bahwa Dia (Allah) melihat kamu”. (3) kesadaran
bahwa Allah menjadi saksi atas segala amaliyah yang dilakukan.
Perhatikan firman Allah (QS. Yunus [10]:61) artinya, “Dan
tidakkah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan dan
tidak membaca suatu ayat al-Qur’an serta tidak pula kamu
melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi
atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikitpun
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarah. Baik di bumi
maupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang
lebih besar daripada itu, melainkan semuanya tercatat dalam
Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”.
Ihsan sebagai sebuah derajat akhlak bila dapat dicapai
secara sempurna akan merasakan dan memiliki beberapa
keutamaan antara lain:
Pertama, mendatangkan pertolongan Allah, sebagaimana
dalam (QS. an-Nahl *16+:128), artinya “Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang
berbuat ihsan”. Bila do’a-do’a kita belum juga diqabulkan
sebaiknya segera menyadari jangan-jangan kita belum bisa
berbuat ihsan.
Kedua, dicintai Allah, sebagaimana firman-Nya (QS. al-
Baqarah *2+: 195) artinya, “ Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan
Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berbuat ihsan”. Derajat perbuatan
baik itu bisa berada dalam maqam muhasabah (introspeksi diri,
menyadari dosa-dosa diri sendiri), muraqabah (mengawasi
seluruh sifat Allah karena merasa terus diawasi Allah) serta
musyahadah (menyaksikan Allah).
Ketiga, berpahala besar, firman Allah (QS. al-Ahzab
[33]:29) artinya, “ Dan jika kamu sekalian menghendaki
(keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri
akhirat maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang
berbuat ikhsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar”. Bagi
pembaca, tentu saja bukan hanya sekedar bertambah
pengetahuan dengan mempelajari buku ini tetapi jauh lebih
penting bersedia belajar terus hingga bisa bersikap ihsan dalam
setiap kehidupan, termasuk dalam peribadatan. Shalat misalnya
baru merasa syah bila sudah menghadirkan khusyuk dan ikhlas
serta bermakrifat (di dan dalam shalat) jadi bukan sekedar
melaksanakan tetapi mendirikan dan memelihara shalat dengan
sempurna. Itulah ihsan dalam, untuk, dengan dan bagi
shalatnya muhsin.
D. Karakter Muttaqin
Abdullah Abbas Nadwi dalam Vocabulary of the Holy
Qur’an mengartikan ittaqa-yattiqi to fear (takut khawatir), to be
pious (sholeh), to ward off (menangkal, mencegak keburukan),
to be conscious of God (menyadari keberadaan Tuhan), to keep
duty towards God (memelihra kewajiban/melaksnakan
perintah). Tattaqun: God fearing. Muttaqin: the who fear Allah
or those who are pious.
Al-Qur’an mengulang kata takwa sebanyak 239 kali. Ada
yang jelas menggunakan kata Takwa 83 kali, Taqiy (orang yang
takwa) 19 kali dan atqa (orang paling takwa) 2 kali. Pengulangan
ini bermakna menurut Muhammad al-Hufiy (2000:43) bahwa
takwa merupakan term al-Quran untuk menggambarkan
beberapa sifat dasar dari takwa antara lain:
Pertama, sifat pemurah dalam mengeluarkan harta di jalan
Allah dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga) (QS. al-
Lail [92]:5-7 dan 17-20).
Kedua, sifat Syaja’ah yaitu keberanian untuk menukarkan
kehidupan dunia dengan akhirat melalui jalan berperang di jalan
Allah meski harus mati karenanya (QS. an-Nisa [4]:74).
Ketiga, sifat adil yakni menegakkan keadilan tanpa
dibarengi dengan sifat kebencian (saksi adil), jangan sampai
kerena kebencian kepada suatu kaum kemudian bertindak tidak
adil, tidak jujur (QS. al-Maidah [5]:8).
Keempat, sifat ‘Iffah yaitu kesediaan atau keikhlasan untuk
memlihara diri dari segala bentuk dosa dan kemaksiatan (QS. al-
Ahzab [33]:32).
Kelima, sifat benar yaitu mengedepankan kebenaran
diatas segala kepentingan dan bersedia bergaul bersama orang-
orang yang benar, buka dengan orang-orang munafik apalagi
kafir (QS. at-Taubah [9]:119).
Keenam, sifat memenuhi janji yaitu orang yang
memelihara janjinya dengan tepat dan benar, bukan
pembohong atau pendusta (QS. al-Anfal [8]:56),
Ketujuh, sifat ramah yaitu sanggup mengendalikan emosi
yang tidak terkontrol dengan tetap berkata yang ramah, sopan
dan menjaga kesantunan (QS. an-Nisa [4]:9).
Kedelapan, sifat memaafkan yaitu ketulusan untuk
memberikan pengampunan terhadap kesalahan pihak lain meski
masalah yang sangat besar dan berat (QS. asy-Syuara [42]:40).
Kesembilan, sifat sabar yaitu kesanggupan untuk menahan
diri dari segala bentuk balas dendam terhadap kesalahan orang
lain (QS. an-Nahl [16]:126-128).
Kesepuluh, sifat amanah yaitu kesanggupan dalam hidup
untuk amanah bila mendapatkan kepercayaan apupun bentuk
dan jenisnya, besar atau kecil, tetap menjaga amanah (QS. al-
Baqarah [2]:283).
Kesebelas, sifat kemauan yang kuat yakni kekuatan untuk
senantiasa kembali kejalan yang benar mesti godaan setan,
keduniaan, permainan, sahwat menghantam kehidupannya. Ia
senantiasa segera menyadari dan kembali kejalan yang benar,
tidak mengumbar nafsu, mengabur sahwat dan membiarkan
hedonism menguasasi dirinya (QS. al-‘Araf *7+:199-201).
Kedua belas, sifat pasrah, yaitu menyerahkan seluruh
hidup hanya kepada Allah. Firman Allah dalam (QS. al-Araf
*7+:162) artinya, “ Katakan (Muhammad), sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan seluruh alam”. Jika manusia sudah menyerahkan seluruh
hidup dan kehidupannya, mati dan kematiannya, shalat dan
dishalatkannya, merefleksikan kepasrahan total dan ketaatan
penuh bahwa segalanya dari-Nya, bagi-Nya, untuk-Nya dan
hanya kepada-Nya, taka ada darinya, tiadak untuknya, bukan
baginya dan mustahil hanya kepadanya.
Keseluruhan ciri ini bila dapat diamalkan dalam kehidupan,
berykyrylah karena Anda berarti sudah menjadi orang-orang
yang bertakwa, tinggal peliharan dan tingkatkan kualitasnya.
Derajat orang takwa adalah ketika seseorang sudah benar-
benar beriman dan melakukan amal sholeh maka itu yang
sebenar-benarnya taqwa. Takwa yang merupakan derajat paling
mulia disisi Allah. Firman Allah (QS. al-Hujurat [49]:13) yang
artinya, “… Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu…”. Taqwa dalam pengertian yang sesungguhnya
merupakan ketaatan total pada perintah Allah dan menjauhi
segala larangan bahkan yang makruh sekalipun. Ketaatan yang
bersifat kaffah tidak melakukan pemilahan dan pemilihan
terhadap amaliyah yang dianggap menguntungkan atau
meringankan bahkan sekalipun yang memberatkan tetap
dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dan kehkusuan. Bagi
orang yang sudah bertakwa dengan katakwaan yang sebenar-
benarnya, tentu saja sudah tidak lagi mengenal terminologI
amal yang berat, semua sudah merasa ringan karena kerinduan
dan kecintaannya terhadap Allah. Firman Allah (QS. al-Baqarah
[2]: 45), artinya, “ Sesungguhnya shalat itu berat kecuali bagi
orang-orang yang khusyuk dalam melaksanakannya”.
Untuk lebih menggenapkan pemahaman pembaca tentang
taqwa akan diuraikan beberapa ciri orang bertawa menurut al-
Qur’an berdasarkan pada dua parameter keimanan dan amal
sholeh. Pertama, ciri orang bertakwa dengan bobot keimanan
yang lebih dominan, antara lain: beriman kepada yang Ghoib,
beriman kepada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya dan yakin
akan adanya hari kiamat, melaksanakan shalat (QS. al-Baqarah
[2]:3 dan memelihara shalat (QS. al-Mukminun [23]:2 dan 9).
Kemudian mereka banyak beristigfar dan shalat malam. (QS. Az-
Dzariyah [51]:17-18 dan QS. Ali Imran [3]:16). Kedua, bertakwa
dengan bobot penekanan pada ciri amal shaleh, antara lain :
menunaikan zakat, menginfakan sebagian hartanya (dikala
senang atau susah), menjauhkan diri dari perkataan dan
perbuatan yang tidak berguna, memelihara kemaluannya,
memelihara amanah atau janji, (QS. al-Mukminun [23]:2- 9).
Kemudian mampu sabar, menahan amarah, memaafkan
kesalahan (QS. Ali Imran [3]:134). Dan apabila mereka diberi
amanah kepemimpinan mereka berhidmat dengan amanahnya.
Orang-orang bertakwa tidak hanya shaleh secara personal tetapi
juga shaleh secara sosial, ia sanggup menjadi manusia yang lebih
besar manfaatnya bagi orang lain. Perhatikan firman Allah
dalam (QS. al-Hajj [22]:41). “Yaitu orang-orang yang jika Kami
beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat,
menunaikan zakat dan menyuruh berbuat yang makruf dan
mencegah dari yang munkar dan kepada Allah segala urusan
dikembalikan”.
Keseluruhan uraian tentang takwa, bila dilaksanakan
dengan sempurna maka sudah otomatis menjadi ukuran
keberakhlakan seseorang. Sedangkan bila nilai-nilai takwa lebih
banyak yang diabaikan atau dilakukan namun dengan
keterpaksaan, itu artinya akhlaknya belum sempurna. Capai
indikator takwa secara sempurna karena indikator itu sekaligus
menjadi indikator akhlak yang sempurna juga.

E. Karakter Muarifin
Gambaran derajat keimanan dalam beberapa ayat al-Quran
yang sudah dikupas lepas dan bahas tuntas, kiranya dapat
dipahami bahwa keberakhlakan menjadi ukuran aktual, faktual
dan legal. Karena jelas secara nyata dan nyata dalam kejelasan
yang sudah dijelaskan dengan jelas bahwa perwujudan tertinggi
dari kualitas keimanan seseorang ukurannya adalah Akhlak,
riyadhoh metodologisnya adalah peribadatan atau syariat dan
strategis metodenya adalah thoriqah sedangkan produk akhlak
agungnya adalah tasawuf.
Untuk sampai pada gelombang pembongkaran karakter
Muarifin (orang arif) yang sudah bermakrifat kepada Allah,
kiranya dapat dipahami dengan cara menguliti lapisan
bertingkat esensi ajaran Islam, yakni :
1. Syariat
Syariat merupakan ajaran Islam dalam ukuran yang
“positivistik”, mudah dilihat secara kasat mata, amalan
aspek lahir, katerukurannya baku, transformasi pengalaman
bisa kolektif dan dalil yang digunakan sudah dalam
pemahaman yang jelas dan tegas, ayat-ayat al-Quran tidak
interpretatif bahkan sudah dalil-dalil yang muhkamat bukan
mutasabihat. Salah satu contoh turunannya adalah Fiqh.
2. Thariqat
Thariqat merupakan sebuah jalan menelusuri, menapaki,
dan menjelajahi pengamalan dan pengalaman syariat Islam
secara mendalam. Aspek syariat dari ajaran Islam lebih
merupakan ukuran subtansial atau esensial, pengalamannya
tak mudah dilihat kasat mata, amalan berdimensi bathin,
pengalaman personal, keterukurannya terminologis, dalil
yang digunakan irfani dan turunan produknya berkarakter
tasawuf. Pengamalan Tharoqat menggunakan dua
pendekatan: pertama Tariqah Mujahadah, yakni jalan
menapaki kedekatan dengan Allah melalui kesungguhan
beribadah. Kedua Thariqat Mahabbah dulakukan untuk
mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah atas dasar cinta dan
syukur yang mendalam dengan menjalankan ketaatan
ibadah tanpa memikirkan pahala. Mereka hidup dengan
penuh kehati-hatian, tidak lagi menjamah makanan yang
subhat, tidak bergaul selain manfat dan hidmat, tidak
berbicara selain kebaikan dan tidak bertindak selain
kebijakan serta senantiasa takut dengan azab Tuhan,
sekalipun mereka tidak melihanya dan mereka merasa takut
akan (tiba-tiba) hari kiamat (QS. al-Anbiaya [21]:49).
3. Hakekat
Hakikat merupakan metode mendekatkan diri kepada Allah
dengan tersingkapnya (terbuka) hijab-hijab yang
menghalangi penjelajahan ke puncak tujuan, yaitu
kedekatan cinta mahabbah kepada-Nya. Kedekatan ini
ditempuh melalui pengembaraan batin sehingga seseorang
mengerti dan menyadari sepenuhnya hakekat dirinya selaku
hamba Allah di depan al-Kholik. Peribadatan dari level
hakikat hanya tertuju pada rihda Allah bukan karena ingin ke
surga atau takut ke neraka. Andaipun harus berada di neraka
namun berada dalam ridha Allah itu lebih baik dari pada
berada di surga tetapi karena imbalan dari ibadahnya.
Ibadah bukan untuk mencari pahala atau surga tetapi murni
hanya berharap ridha Allah.
4. Makrifat
Makrifat merupakan derajat peribadatan tertinggi dimana
para suluk atau seorang salik bukan hanya mengharapkan
ampunan dan ridha Allah tetapi berada di maqam tertinggi
di sisi Allah (untuk dicintai dan mencintai-Nya). Melalui
derajat tertinggi kedekatan dengan-Nya segala pengetahuan
diketahui langsung dari Allah baik tentang Tuhan dengan
segala ke-Agungan Asma’-Nya, Sifat-sifat, Af’al dan Dzat-Nya
serta segala rahasia penciptaan mahluk di seantero makro
kosmik (jagat raya). Yaitu orang-orang yang apabila disebut
nama Allah hati mereka bergetar, tersungkur sujud, ikhlas
atas apa yang menimpanya, memelihara shalat dengan
hadirnya (ikhlas, khusuk dan makrifat shalat) dan berhidmat
dalam ibadah melalui harta yang diberikan Allah kepada-
Nya” (QS. al-Hajj [22]:35).
Amalan bagi muarifin sudah berada dalam maqom ikhlas
sepenuhnya karena Allah, ia sudah tidak punya keinginan
selain keinginan-Nya, tidak punya permohonan selain
segalanya sebagai permohonan, tidak punya doa selain
segalanya sebagai doa. Perbuatan muarifin sudah menyatu
dalam perbuatan-Nya, pada kehendak-Nya, perbuatan
muarifin sudah fana melebur pada af’al Allah, ucapannya
sudah menyatu dengan aqwal Allah. Semua perbuatan
sudah tidak lagi digantungkan pada kemungkinan adanya
prasangka manusia selain prasangka-Nya. A. Reza Arasteh
(2002:140) menuliskan senandung indah yang
menggambarkan kedahsyatan dan kelezatan hubungan
mereka dengan Tuhan-Nya, “Kebenaran yang kamu katakan
dan realitas apa yang telah kamu cari, dalam dirimu terlihat
dan terdengar kebenaran itu. Aku berkata; “jika aku melalui
melalui Engkau aku melihat dan jika aku mendengar maka
melalui Engkau aku mendengar. Pertama kali Engkau yang
mendengar lalu aku dapat mendengar”.
Manifestasi dari derajat keimanan pada maqam makrifat
membawa konsekwensi pada kesadaran berakhlak yang
tinggi juga derajatnya, yakni: (1) tidaklah kita berbicara,
berkata-kata, dan berceloteh dengan ucapan-ucapan yang
kasar, samar dan sumir karena ucapan kita hakikatnya
adalah ucapan (aqwal) Allah, (2) tidaklah kita akan berbuat,
bertindak dan beramal yang tidak patut, tidak layak, dan
tidak pantas karena perbuatan kita hakekatnya adalah af’al
Allah, (3) tidaklah kita akan berpikir yang butut, buruk, dan
busuk karena pikiran kita hakihatnya pikiran Allah, (4)
tidaklah kita akan suka mendengarkan sesuatu yang rusak,
merusak dan merasuk bila ada kesadaran bahwa
pendengaran kita hakikatnya pendengaran Allah, (5) tidaklah
kita akan gemar melihat sesuatu yang tertatap, tertutup dan
tertitip bukan pada hak kita bila ada kesadaran bahwa
penglihatan kita hakikatnya penglihatan Allah, (6) dan
seterusnya.
BAB 8
KISAH AKHLAK MANUSIA MULIA

Al-Qur’an selain menceritakan kisah orang orang biadab


juga menceritakan kisah orang-orang beradab. Meraka adalah
hamba-hamba pilihan Allah yang dimuliakan dalam hdiupnya.
Mereka menjadi contoh yang baik bagi umat setelahnya untuk
diteladani dan amalkan dalam kehidupan berikutnya.

A. Luqmanul Hakim
Al-Qur’an berisi kisah orang-orang luar biasa yang patut
atau pantas dijadikan teladan dalam kehidupan. Lukmanul
Hakim merupakan salah seorang manusia pilihan Allah yang
kisahnya diabadikan dalam al-Quran bahkan menjadi nama
salah satu surat dalam al-Qur’an, yaitu surat Lukman yang
merupakan surat ke-31 yang terdari atas 34 ayat. Kisah khusus
tentang Lukman terdapat pada ayat 12 s.d. 20.
Kisah Lukman merupakan kisah yang inspiratif dalam
mendidikan anak, yang berisi hal-hal mendasar dan mendalam
yang bias diterapkan oleh kita dalam kehidupan hari ini.
Beberapa isi dari kisah Lukman yakni:
1. Ayat 12, Allah memberikan hikmah kepada Lukman berupa
kesadaran bersyukur kepada Allah. Syukur yang dilakukan
seseorang bukanlah untuk Allah tetapi untuk dirinya sendiri.
Karena itu, bilapun seseorang tidak bersyukur Allah tidak
akan rugi, karena Allah maka Kaya dan Maha Terpuji.
Lukman merupakan peribadi yang pandai bersyukur kepada
Allah dan pendidikan pertama yang diajarkan kepada anak
adalah Pendidikan bersyukur atau pendidikan Reflektif.
2. Ayat 13, artinya, “ Dan ingatlah ketika Lukman berkata
kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya,
“wahai anaku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar.
Ayat ke-13 ini memberikan pesan kuat bahwa pendidikan
pertama dan utama yang harus dilakukan orangtua kepada
anaknya adalah Tauhid, yakni pendidikan ruhaniyah agar
anak memiliki keyakinan yang penuh terhadap ke-Esaan
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun.
3. Ayat ke-14, artinya. “ Dan Kami perintahkan kepada manusia
(agar berbuat baik) kepasa kedua orangtuanya. Ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu.
Hanya kepada Aku kembalimu”.
Ayat ke-14 memberikan penekanan kuat tentang Akhlak
kepada kedua orangtua. Menghargai dan menghormati
orangtua yang telah mengandung selama 9 bulan dan
membimbing secara intensif selama 2 tahun. Bimbingan
yang berlangsung 24 bulan atau dua tahu merupakan pesan
kuat bahwa masa awal pertumbuhan anak yang sangat
menetukan pase perkembangan berikutnya. Kegagalan
diusia ini akan berdampak besar pada pertumbuhan
psikologis, psikis, mental dan fisik sekaligus. Usahakan pada
usia ini anak tidak dititipkan kepada orang lain atau jikapun
terpaksa mesti berhati-hati. Penelitian yang dilakukan
…………. Menunjukkan bahwa pendidikan anak dimasa awal
akan menentukan nasib seseorang dimasa dewasa, kelak
akan menjadi apa, kerja atau tidak, berbudi baik atau buruk,
kaya atau miskin, pada usia ini pemerolehannya. Demikian
pula penelitian yang dilakukan tim Utton (Ratna Megawangi,
2004:25) mengatakan dengan yakin: “at 3, you’re made for
life”, (pada usia mencapai 3 tahun, kamu dibentuk untuk
seumur hidup).
4. Ayat 15, artinya’ “ Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak
mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau
menatati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik dan ikuti jalan orang yang kembali kepada-Ku.
Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan
Aku beritahukan kepadamu apa yang kamu kerjakan”.
Pesan utama ayat ke-15, mengajarkan tentang tasammuh
atau toleransi yang benar. Dilarang untuk taat, tunduk dan
patuh pada ajakan atau perintah yang bertentangan aqidah.
Namun dalam pergaulan yang bersifat duniawi tetap wajib
berlaku baik kepada kedua orangtua.
5. Ayat ke-16, artinya, “ (Lukman berkata), “Wahai anakku!
Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan
berada dalam batu atau langit atau bumi, niscaya Allah akan
memberinya (balasan). Sesungguhnya Allah Maha Halus,
Maha Teliti”.
Ayat ke-16 memberikan pesan pendidikan gemar beramal
yang hendaknya dilakukan sejak usia kecil dan amal yang
amal yang sederhana serta meyakinkan kepada anak bahwa
tidak akan ada amal perbuatan yang tidak dibalas.
6. Ayat ke-17, artinya, “WAhai anakku! Laksanakeun shalat dan
suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah
(mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa
yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu
termasuk perkara yang penting”.
Ayat ke-17 ini memberikan pesan kuat untuk mendirikan
shalat agar mampu menegakkan kebenaran (makruf) dan
mencegah berbuat munkar serta ajarkan bersabar dalam
setiap perjuangan beramal.
7. Ayat ke-18, artinya, “ Dan janganlah kamu memalingkan
wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan
diri”.
Ayat ke-18 memberikan tekanan pentingnya pendidikan
kerendahan hati (akhlak) dengan tidak berlaku sombong dan
angkuh.
8. Ayat ke-19, artinya,” Dan sederhanakanlah dalam berjalan
dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara
ialah suara keledai”.
Ayat ke-19 memberikan penguatan tambahan tentang
pentingnya berakhlak baik yang tergambar dalam cara
berjalan yang sopan dan berbicara yang lemah-lembut.
9. Ayat ke-20, artinya,” Tidakkah kamu memperhatika bahwa
Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi sepenuhnya untuk kepentinganmu dan
menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin.
Tetapi diantara manusia ada yang membantah dan tanpa
Kitab yang memberi penerangan”. Ayat ke-20 ini
membangkitkan kesadaran bahwa Allah telah menundukkan
semua yang ada di langit dan di bumi untuk manusia, adakah
manusia masih tetap akan ingkar pada Allah?
Memperhatikan secara teliti pesan yang disampaikan
Lukman kepada anaknya, maka kiranya dapat disimpulkan
bahwa pendidikan yang dilakukan oleh Lukman terdiri atas:
1. Tarbiyah Ruhiyah yaitu pendidikan yang berupaya
memurnikan aqidah hanya kepada Allah, dengan melatih
hati menerima Allah sebagai Rabb yang menciptakannya
(ayat 12,13,20).
2. Tarbiyah Akhlaqiyah yaitu pendidikan yang berupaya
mendidik, merawat, dan memelihara pembiasaan
berperilaku yang baik sejak usia dini dan dilakukan secara
berkelanjutan (ayat 14, 17, 18, 19).
3. Tarbiyah Aqliyah yaitu pendidikan yang diarahkan pada
kemampuan berpikir, agar tidak mengikuti ajakan tanpa
tahu alasan yang kuat dan tepat (ayat 15).
4. Tarbiyah Amaliyah yaitu pendidikan yang melatih
pembiasaan kegemaran beramal baik (ayat 16).
Memperhatikan pesan yang disampaikan oleh Lukman
ternyata tarbiyah yang soheh itu dilakukan secara terintegrasi
yakni penguatan keimanan, pembiasaan peribadatan, latihan
berperilaku yang baik dan benar serta kegemaran beramal soleh
yang dilakukan secara bersamaan.

B. Maryam
Maryam menjadi salah seorang yang namanya yang nama
itu diabadikan dalam al-Quran dan bahkan diabadikan menjadi
salah satu surat dalam al-Quran yakni surat ke-19 yang terdiri
atas 98 ayat dan nama Maryam dalam al-Quran disebut
sebanyak 30 kali. Maryam merupakan nama yang diberikan
langsung oleh Allah bukan nama sembarang tetapi nama
Istimewa yang Allah muliakan.
Maryam lahir dari kelurga Imran, dari pasangan Ali Imran
dan Hannah yang merupakan keluarga dimuliakan Allah
melebihi umat yang lain pada masanya (QS. Ali Imran [3]:33).
Ketika ibunya Maryam mendapatkan kehamilan, ia
bernazar kelak anak yang dilahirkannya akan menjadi hamba
yang mengabdi kepada-Mu. Maka ketika Maryam dilahirkan,
ibunya Maryam tetap komitmen dengan nadarnya yakni
menyerahkan anaknya ke Baitul Makdis dengan disertai
permohonan doa kepada Allah untuk melindungi Maryam dan
anak cucunya dari godaan setan. Hannah sebenarnya agak
kecewa karena melahirkan anak perempuan. Namun ia tetap
bersyukur kepada Allah atas anugerah anaknya itu. Penyerahan
itu diterima oleh Zakariya sebagai pengasuh Maryam.
Zakariyyapun menyimpan Maryam di mihrab (kamar khusus
ibadah) dan merawatnya dengan asuhan yang baik dan penuh
kelembutan serta kehangatan. Namun Zakariyya dibuat heran,
karena setiap kali akan memberikan makanan ke mihrab, sudah
didapatnya makanan itu. Maka Zakariyya bertanya, “dari mana
makanan itu diperoleh?’’ Maryam menjawab, “itu dari Allah”.
Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki tanpa perhitungan” (QS. Ali Imran *3+:37).
Maryam mengasingkan diri dari keluarganya kesuatu
tempat sebelah timur (Baitul Makdis) dan di sana ia membuat
tabir untuk melindungi dirinya. Kemudia dating malaikan yang
menampakan diri seperti manusia. Malaikat berkata bahwa “aku
adalah utusan Allah yang akan memberi kabar kepadamu bahwa
kamu akan dianugerahi seorang anak laki-laki” (QS.Maryam
[19]:19). Maryam benar-benar kaget mana mungkin punya anak
laki-laku, sementara diriku belum ada laki-laki yang mnyentuhku
dan aku bukan wanita penzina”. Malaikat berkata, “ bagi-Ku
(Allah) itu perkara yang mudah”. Hal itu Allah jadikan sebagai
tanda kebesaran-Nya, sebagai rahmat dan sesuatu yang sudah
ditetapkan Allah.
Maryampun mengandung dan mengasingkan diri ke tempat
yang jauh. Pada saat Maryam merasa kesakitan karena akan
melahirkan, ia sempat berputus asa dengan berkata lebih baik
aku mati biarpun aku menjadi orang yang tidak diperhatikan dan
dilupakan. Namun Jibril berseru, “janganlah kamu besedih
karena Tuhan telah menjadikan anak sungai di bawahmu”
Pada saat akan melahirkan Maryam mendapatkan petunjuk
untuk menggoyangkan pohon kurma, maka berjatuhanlah buah
kurma untuk dimakan oleh Maryam. Pada hari itu Maryam
berpuasa untuk tidak berbicara sesuai dengan yang
diperintahkan Allah.
Setelah itu Maryam membawa bayinya kepada kaumnya
namun kaumnya menghina dan mengejeknya sebagai anak hasil
zina, padahal orangtuamu Maryam bukan wanita penzina. Atas
hinaan itu, Maryam berkata, “mau bagaimana aku bisa bicara
dengan anak bayiku”. Tetapi bayinya (Isa) tiba-tiba berkata,
“Sesungguhnya aku hamba Allah, diberinya kitab Injil dan
menjadi nabi, aku menjadi seseorang yang diberkahi dimanapun
berada, aku diperintahkan untuk menjalankan shalat dan zakat,
berbakti kepada ibuku dan aku tidak diciptakan untuk menjadi
orang yang sombong (QS. Maryam [19]:32)”.
Kisah Maryam yang luar bisa memberikan pelajaran
berharga bagi siapapun yang mau mengambilnya, dengan
memiliki beberapa pesan utama pendidikan sebagai berikut:
1. Maryam berasal dari keluarga yang dilindungi oleh Allah
untuk senantiasa dijaga, dimuliakan, dijauhkan dari segala
keburukan dan diberkahi kehidupannya dimanapun berada.
Ini memberikan pelajaran berharga bagi kita semua untuk
senentiasa berdoa agar menjadi hamba yang Allah pilih
untuk dimuliakan,
2. Komitmen seorang ibu, ketika memiliki anak, sejak dalam
kandungan sudah dinadarkan untuk menjadi anak yang
soleh/solehah yang berbakti pada Allah dan orangtuanya.
3. Pengasuh yang baik, karena nadarnya itu, Allahpun
memilihkan seseorang yang pengasuh Maryam adalah
seorang yang baik, lembut dan kasih saying yaitu Zakariyya.
4. Belajat di tempat yang baik, Maryam dibesarkan dan didik di
Mihrab sebuah tepat suci bagi Maryam untuk beribadah dan
berdoa kepada Allah. Di tempat itu doa-doa Maryam
dimuliakan dan diberikan rezeki langsung dari Allah. Jangan
sembarangan menetipkan anak kepada lambaga yang tidak
membawa anak ke jalan Allah.
5. Ibu Tangguh, Maryam mendapatkan hinaan dan ejekan dari
kaumnya karena memiliki anak padahal belum bersuami. Ia
tabah menghadapinya dan pertolongan Allah datang dengan
cara bayi (Isa) bisa berbicara langsung untuk menjelaskan
keadaan yang sebenarnya pada kaumnya.
6. Maryam teladan bagi yang lain, Zakariyya karena bulum juga
dikaruniai keturunan, maka ia pun berdoa di Mihrab
sebagaimana Maryam dan ternyata Zakariyyan memiliki
anak, yang namanya ditentukan oleh Allah yaitu Yahya
(menjadi seorang Nabi).
7. Keyakinan penuh, contoh yang dilakukan oleh Imran,
Maryam dan Zakariyya, melakukan peribadatan dan doa
penuh perjuangan, ketabahan, dan bekerja tanpa lelah,
insya Allah akan membuah hasil yang baik.
Dari proses yang dijalani Maryam, dilihat dari perspektif
keyakinan agama-agama yang ada pada saat itu terjadi juga
pemahaman yang salah, seperti agama Yauhdi memandang
bahwa Isa itu merupakan anak hasil zina, sehingga Maryam
dituduh berzina sedangkan Nasrani terhadap anak Maryam
yaitu Isa menganggapnya anak Tuhan dan Islam meyakini bahwa
Maryam mengandung tanpa seorang laki-laki pun yang
menyentuhnya merupakan gambaran bahwa Allah Maha Kuasa
untuk berbuat apapun sesuai kehendak-Nya dan tentu saja tidak
persoalan teologis maupun sosiologis. Ummat Islam mengimani
nabi Isa sebagai putra Maryam sebagai ketetapan yang Allah
sudah tentukan.

C. Ashhabul Kahfi
Kisah Ashhabul Kahfi merupakan sebuah kisah teladan
terindah untuk menjadi pelajaran bagi umat manusia
berikutnya. Kisah ini merupakan kisah tujuh orang pemuda yang
tertidur dalam gua 309 tahun dan seekor anjing. Ketujuh
pemuda itu, menurur al-Hafizh ibn Katsir hidup sebelum
perkembangan millah Nashraniyah meski ada juga yang
mengatakan bahwa Ashhabul Kahfi memeluk agama Nabi Isa bin
Maryam.
Menurut beberapa catatan sejarawan ketujuh nama itu:
Maxalmena, Martinus, Kastunus, Bairunus, Danimus, Yathbunus
dan Thamlika dan 1 ekor anjing Qithmir. Ketujuh nama ini
merupakan pemuda yang sudah beriman keada Rabb-nya meski
nenek moyang mereka masih memeluk kepercayaan yang
penuh kabatilan.
Ketujuh pemuda dan seekor anjing yang bersembunyi di
gua ditidurkan oleh Allah. Ketujuh pemuda itu merupakan
sekumpulan pemuda yang menerima kebenaran dan lebih lurus
jalannya dari pada generasi tua yang bergelimpangan dengan
agama yang batil. Mereka berlari mencari persembunyian untuk
menghindari fitnah, provokasi dan intimidasi, kekejaman dan
ancaman pembunuhan dari Raja Dikyanus serta keadaan
lingkungan yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Firman
Alla (QS. al-Kahfi *18+:13), artinya, “Sesungguhnya mereka
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka
dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”.
Allah yang Maha Kuasa menutup telinga mereka sehingga
tidak bisa mendengar suara apapun dan ditidurkan hingga 309
dan Allah menjaganya dengan sempurna. Oleh karena itu, bila
ada manusia yang melihat ke gua itu Allah beri perasaan takut
sehingga tidak pernah ada orang yang berkehendak pergi ke
gua. Jika mereka tahu bahwa di gua itu ada sekelompok orang
(Ashhabul Kahfi), maka mereka akan melemparinya dengan batu
dan memaksamu kembali kepada agama mereka dan mereka
tidak akan beruntung selama-lama”.(QS. al-Kahfi [18]:20).
Kisah itu menceritakab pula perselisihan tentang jumlah
mereka ada yang mengatakan tiga orang keempatnya anjingnya,
ada yang empat orang kelima anjing, ada bilang lima keenam
anjing, ada pula yang menyebut tujuh kedelam anjingnya.
Perselisiha itu Allah jelaskan, “janglah kamu berselisih karena itu
perkara ghaib, hanya Aku Yang Maha Tahu dan jangan pula
bertanya pada siapapun”. (QS. al-Kahfi {18]:22-24).
Konsekwensi penjelasan Allah bahwa itu perkara ghaib
membawa implikasi akhlaknya bahwa kita jangan sampai
mengatakan sesuatu, “aku pasti melakukan itu besok, kecuali
mengatakan Insya Allah”, karena segala pengetahuan hanya
milik Allah, berada di Allah dan kembali kepada Allah. Jika lupa
bermohonlah kepada-Nya agar mendapat petunjuk.
Kisah Ashhabul Kahfi sebagaimana yang diabadikan dalam
al-Quran dan menjadi salah satu nama surat dalam al-Qur’an
yaitu al-Kahf surat yang ke-18, memberikan pelajaran, ‘itibar,
inspirasi dan beberapa komitmen moral sebagai berikut:
1. Menyadari kekuasaan Allah, hendaklah kita menyadari
bahwa Allah Maha Kuasa untuk melakukan apapun tanpa
batas. Bagi Allah ukuran rasional atau tidak rasional
bukanlah hal yang penting, karena itu hanyalah ukuran
manusia. Ketika orang tidur sampai ratusan tahun tentu
tidak rasional dalam ukuran manusia tetapi hal itu perkara
yang mudah bagi Allah. Allah Maha Kuasa terhadap apapun
yang dikehendaki-Nya sebagaimana yang ditunjukkan Allah
pada kisah Maryam yang mengandung tanpa seorang
lelakipun yang menyentuhnya.
2. Petunjuk pada kebenaran, Allah pasti menepati janji-Nya
kepada siapapun yang menempuh jalan kebenaran maka
Allah akan memberi perlindungan dan petunjuk yang lebih
baik serta menjaganya dari berbagai kedholiman, kelaliman
dan kebiadaban. Manusia hendaknya tidak tunduk pada
kedholiman dan kebiadaban para penguasa karena Allah
akan memberikan perlindungan yang terbaik. Yang hak akan
menang dan yang batil akan kalah.
3. Kesadaran pada perkara yang ghaib, pengetahuan manusia
terhadap segala sesuatu yang ghaib hanyalah sedikit,
terbatas dan terbatasi. Karena itu, manusia hendaknya
menyadari bahwa kita memiliki banyak keterbatas, agar
senantiasa bergantung pada Allah yang tanpa keterbatasan.
4. Penegak kebenaran, pemuda merupakan icon bagi segala
bentuk perubahan dan perlawanan terhadap kekafiran,
kemunafikan, kedholiman, dan kesewenang-wenangan.
Perhatikan bagaimana Muhammad pada usia 25 tahun telah
merubah Arab jahiliyah menjadi muslim dan bagaimana al-
Fatih diusia belia memimpin peperangan yang luar biasa.
Kenapa begitu? Jawabanya, karena naluri bawaan (akhlak)
generasi muda adalah idealism kebenaran yang wajib
ditegakkan.
5. Anjing Ashhabul Kahfi, meski anjing merupakan binatang
berkarakter buruk tetapi kerana bersama-sama komunitas
yang baik maka ia akan terbawa baik bahkan anjingnya
Ashhabul Kahfi merupakan anjing yang akan masuk surga.
Pelajaran bagi kita, bila ingin menjadi orang baik bersatulah
dengan orang-orang yang baik dan jauhi pergaulan yang
buruk.
6. Rendah hati, janganlah kita merasa akan bisa hidup sampai
hari besok, karena hidup-mati ditangan Allah. Berkatalah
“insya Allah untuk yang akan dilakukan”, karena kita tidak
akan pernah bisa untuk memastikan masih hidup setahun,
sebulan, seminggu, sehari, sejam, semenit bahkan seditik
sekalipun.
Kisah Ashhabul Kahfi merupakan kisah teladan yang Allah
abadikan dalam al-Quran agar setiap orang dapat mencontoh
betapa keyakinan, prinsif hidup yang mereka pegang begitu kuat
meski berbeda dengan kehendak penguasa dan berisiko begitu
besar bagi kehidupan. Namun yakinlah bahwa Allah akan
menolong siapapun yang menegakkan kebenaran dan
menghindar dari kedholiman. Namun bagi siapapun yang masih
senang bergelimang dosa, berkubang dalam kedholiman dan
berenang dalam kemunafikan, perlu segera menyadari bahwa
orang-orang yang berdosa dan membangkan Allah akan
dihancurkan sampai akar-akarnya baik ada yang tersisa bekas-
bekasnya atau tidak sama-sekali.
BAB 9
TELADAN AKHLAK PARA NABI

Dalam al-Quran banyak diungkapkan kisah para nabi.


Selanjutnya cerita mengenai kisah orang-orang mukmin dan
cerita orang-orang kafir al-Quran telah banyak mendeskripsikan
hikmah dari kisah-kisah nabi dan selainnya. Kita dapat diambil
dengan cara dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Termasuk dalamnya fase-fase pelajaran hidup,
konsep memahami dan mengambil sikap, dan menerapkannya
dalam kehidupan. Memahami kisah yang ada di dalam al-Quran,
menjadi pengantar bagi pembicaraan tentang orang-orang
dahulu dalam al-Quran dan pengantar interaksi sebagai
pembaca, dengan kisah-kisah tersebut.

A. Nabi Adam
Peristiwa Nabi Adam adalah peristiwa yang besar dan
sebagai penyempurna alam dan pewaris alam. Allah swt
menghendaki untuk meramaikan dunia, dengan itu Allah
menciptakannya untuk merawat dan mengemban alam sekitar,
sebagian rahasia bumi dan langit dan hancurnya sebagian bumi
karena sebab tangan-tangan anak cucu Adam a.s . Melihat
konteksnya, penjelasan sebelumnya merupakan tampilan
parade kehidupan, bahkan parade alam wujud secara
keseluruhan. Kemudian membahas persoalan yang ada di bumi
dalam rangka memperlihatkan nikmat-nikmat Allah swt. kepada
manusia, dan menetapkan Allah sebagai maha pencipta, yang
menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk manusia.
Dalam hal ini, datang kisah penciptaan Adam a.s untuk menjadi
khalifah di bumi. Serta diberikan kepadanya kunci-kunci
menurut perjanjian dan konsekuensi dari Allah swt. serta
diberinya pengetahuan untuk menjalankan kekhalifahan ini .
Allah telah memberikan contoh yang sangat kongkrit dan praktis
yaitu ketika Allah swt secara langsung mengajarkan kepada Nabi
Adam a.s nama-nama benda. Hal ini sudah tercantum dalam Qs
al-Baqarah ayat 30-39. Beberapa hikmah dapat diambil dalam
kisah Adam a.s diantaranya adalah:
1. Rendah Hati. Antonim daripada takabur adalah rendah hati
atau tawadu. Setiap mukmin hendaknya memiliki sikap
rendah hati, patuh terhadap perintah Allah swt. dengan
ditaatinya hal itu maka derajatnya akan diangkat Allah. Saat
Malaikat berkata “Maha suci Engkau tidak ada pengetahuan
bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami” ini merupakan salah satu ungkapan atau pengakuan
malaikat akan keterbatasannya dan ini juga merupakan
suatu pernyataan sikap kepatuhan dan kerendahan hatinya.
Salah satu sifat terpenting adalah sifat tawadu. Ketika Allah
swt menjelaskan sifat dan keistimewaan hamba-hambanya
yang khusus, salah satu sifat terpenting yang Allah terangkan
adalah sifat tawadu dan rendah hati .
2. Larangan Sombong. Salah satu nama Allah adalah
mutakabbir. Allah menghendaki ia sendiri yang layak
menyombongkan diri. Kesombongan merupakan sikap yang
sangat tidak terpuji, yang dapat berakibat pada
“diharamkannya” seseorang masuk ke dalam surga.
Sombong jadi sifat dan karakter Iblis yang karenanya Iblis
dilaknat oleh Allah swt, serta diturunkan martabatnya
menjadi makhluk yang sangat hina dina, bahkan dilaknat
Allah swt serta dijanjikan masuk neraka jahanam. Iblis
mengucapkan kata-kata ketika Allah memerintahkan kepada
malaikat dan iblis untuk sujud kepada Adam as.
Sebagaimana tertera dalam QS. Al Baqarah ayat 23.
3. Larangan Dengki. Dengki merupakan dosa pertama yang
muncul di bumi. Penyebabnya ada iblis sampai dikeluarkan
dari surga, pertama kali lantaran dengki terhadap Adam as.
setelah itu dengki menyebabkan Qabil membunuh Habil
saudara kandungnya, maka tumpahlah dari untuk pertama
kalinya di muka bumi. Sifat buruk yang harus diwaspadai
oleh seorang muslim ialah sifat hasad (dengki). Sifat ini tidak
pantas menyertai seorang muslim yang beriman kepada
Allah, Rasul, dan hari akhir. Rasulullah saw selalu
meningatkan umatnya agar selalu waspada kepada sifat
dengki ini.
4. Pemaaf. Ketika Adam as melakukan kesalahan Adam as
sangat menyesal dan segera bertaubat kepada Allah swt.
Nabi Adam as mengharap ampunann-Nya. Allah swt maha
pengampun, maka semua anak cucu Adam yang datang
kepada Allah dalam keadaan tidak syirik maka akan diberi
pengampunan oleh Allah swt. Untuk itu sebagai cucu Adam
as harus mengambil pesan tersirat dalam kisah tersebut.
Agar tidak menajdi insan yang penendam. Pelajaran dalam
hal ini adalah sebagai Maha Pencipta saja dengan penuh
keikhlasan memaafkan kesalahan hamba-Nya, apalagi
sebagai manusia yang tidak memiliki kekuatan banyak untuk
mempertahankan sifat tersebut. Sikap pemaaf ialah
memberi ampun atau dalam hal ini memaafkan kesalahan
orang lain tanpa ada rasa dendam di hati, atau membalas
meskipun sebenarnya dia mampu melakukannya. Ketika
Adam dan istrinya dikeluarkan dari surga dan menyadari
sepenuhnya atas kekhilafan yang telah mereka lakukan, Nabi
Adam as selalu berdoa dan memhon ampun kepada Allah
swt.
B. Nabi Ibrahim
Ibrahim adalah salah seorang rasul Allah yang diutus untuk
mengajak umat manusia untuk beriman hanya kepada Allah.
Ibrahim adalah putra Azar (Tarih) bin Tahur bin Saruf bin Rau‖
bin Falij Abir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh As. ia
dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A ram‖ dalam
kerajaan Babylon yang pada waktu itu diperintah oleh seorang
raja bernama Namrud bin Kan‘an . Dalam al-Quran, hanya ada
dua tokoh nabi yang diteladani, yakni Ibrahim dan Muhammad.
Rasulullah mengajarkan pada umatnyapun hanya bagi dua nabi
dan keluarganya. Inilah pilihan Allah Swt yang sangat terkait
dengan risalah yang telah dilakukan oleh keduanya dengan
sangat sempurna.
Kisah dalam al-Quran dimuat di 35 surat dan sebanyak
1600 ayat. Dalam kisah-kisah tersebut digunakan gaya bahasa
yang variatif, ajaran disampaikan secara tidak langsung sehingga
pesan yang disampaikan kepada manusia sebagai penikmat,
kisah ini akan lebih mengena . Sedangkan menurut Sayyid
Mahmud, bahwa kisah nabi Ibrahim terdapat dalam tiga kitab
suci yaitu alQuran, Taurat dan Injil. Menurutnya, hal yang
terpenting yang ditegaskan oleh alQuran tentang nabi Ibrahim
adalah status Ibrahim sebagai founding father Islam , guna
menguatkan pendapatnya ini ia mengutip Qs Ali Imran ayat 67.
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani,
akan tetapi dia adalah seorang yang lurus, lagi berserah diri dan
sekali-kali bukanlah Dia termasuk golongan orang-orang
musyrik. Menurut pandangan penulis, Nabi Ibrahim bukan
hanya sosok seorang Rasul, akan tetapi beliau juga merupakan
ayah dan suami yang sukses dalam mendidik keluarganya. Beliau
merupakan suri tauladan bagi seluruh ummat muslim, dalam al-
Quran Allah menyebutnya sebagai kekasih-Nya. Terdapat
banyak sifat atau karakter yang telah dicontohkan nabi Ibrahim,
baik itu sebagai seorang nabi, suami dan juga orang tua. Kisah-
kisahnya bisa dijumpai dalam QS. al-Baqarah ayat 127, 131-132,
258, QS. At-taubah ayat 114, QS. Maryam 45 dan 47-48, dan QS.
Ash-shaffat ayat 102. Dimana pesan akhlak yang terkandung
dalam ayat ini ialah bekerja keras, komunikatif, religius,
bertanggung jawab, berpikir inovatif, jujur, peduli, tasamuh, dan
demokratis.

C. Nabi Nuh
Kedatangan Nabi Nuh As sebagai Rasul berhadapan
dengan masyarakat yang berangsur-angsur melupakan ajaran
agama. Beliau berada pada masa-masa “Fatrah” kekosongan
sebagai Nabi ke empat sesudah Adam, Syith dan Idris, dan
termasuk keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Kondisi
masyarakat pada saat itu, meninggalkan ajaran Nabi
sebelumnya lalu menjadi syirik, meninggalkan amal kebajikan,
melakukan kemungkaran dan kemaksiatan. Berhala-berhala
dipertuhankan dipercayai memiliki kekuatan gaib yang mampu
menolong mereka. Mereka menyembah “waad, suwaa, yaghuts,
ya’ng dan nasr” QS. Nuh ayat 23.
Mereka mendorong kemungkaran, mencegah kebaikan,
mereka kikir, lupa kepada Allah padahal kuat fisik dan banyak
harta. QS. At-Taubah ayat 67-69. Mereka termasuk penentang
Nabi Nuh dalam melaksanakan dakwahnya, QS. at-Taubah ayat
70. Pembangkangan yang dilakukan merupakan simbol-simbol
kehebatan dan kepongahan diantara mereka, terutama dari
kelompok yang merasa mampu mengeksploitasi orang lain,
mereka malah tidak segan-segan memandang hina orang lain,
mereka lupa bahwa sikap seperti itu terhadap Rasul tidak
menambah atau mengurangi sedikitpun kemahakuasaan Allah.
QS. an-Nisa ayat 170.
Kisah Nabi Nuh dapat ditemukan dalam Alquran minimal
28 surah. Kisah itu bervariasi ada kalanya diungkapkan dalam
beberapa ayat secara berturut-turut misalnya, pada QS al-
Qamar dari ayat 9-17, QS. al-A’raf dari ayat 59-64, QS. asy-
Syu’araa ayat 105-122, QS. Yunus ayat 71-73, QS. Hud ayat 25-
49, QS. ash-Shafaat ayat 75-82, dan QS. al-Mukminiin ayat 23-31
selain itu diungkapkan pada satu surah secara khusus yakni
surah yang ke 71 sebanyak 28 ayat. Selain itu kisah-kisah Nuh
terdapat pada ayat-ayat dibeberapa surah yang diungkap secara
terpisah-pisah. Berikut ini akan dikemukakan kisahnya secara
berturut-turut dan pelajaran yang dapat diambil.
Kalau kita lihat sejarah tentang Nabi Nuh tersebut banyak
sekali figur-figur pendidik yang terdapat dalam kisah Nabi Nuh
itu sendiri di antaranya bertaqwa kepada Allah SWT, memberi
nasehat kepada kebaikan, mempunyai sifat sabar, tidak
memaksakan kehendak dan Ikhlas. Dalam pengertian umum
pendidikan soring diartikan sebagai usaha pendewasaan
manusia. Tetapi merujuk kepada informasi al-Qur'an pendidikan
mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas
pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah
sebagai pendidik Yang Mahaagung. Sebagai Pendidik Yang
Mahaagung tidak dapat dilepaskan dari dasar kajian filsafat
pendidikan Islam. Sebagai Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam
semesta, aktivitas dan proses kependidikan-Nya meliputi
seluruh ciptaan-Nya. Allah SWT mengatur, memelihara,
memberi rezeki seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam semesta.

D. Nabi Luth
Terdapat dua macam pesan akhlak yang ada dalam kisah
Nabi Luth pertama nilai akhlak terpuji, kedua nilai akhlak buruk.
Adapun macam dari nilai akhlak baik meliputi nilai akhlak baik
terhadap Allah Swt, nilai akhlak baik terhadap sesama, dan nilai
akhlak baik terhadap diri sendiri. Sedangkan macam dari nilai
akhlak buruk meliputi nilai moral tercela pada Allah, nilai akhlak
tercela kepada sesama dan nilai akhlak tercela bagi diri sendiri.
Penyimpangan akhlak adalah tindakan dan perilaku yang tidak
dapat diterima lingkungan masyarakat, karena bertentangan
dengan norma, adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun
macam-macam penyimpangan akhlak yang terjadi pada saat ini
antara lain pemerkosaan, tawuran, pergaulan bebas,
penggunaan obat-obat terlarang, mabuk-mabukan dan lain-lain.
Salah satu penyimpangan akhlak yang terdapat dalam kisah
Nabi Luth adalah homoseksual. Di Indonesia permasalahan
homoseksual berkaitan erat dengan LGBT yang belum lama ini
mencuat kepermukaan. Dengan alasan HAM mereka menuntut
untuk diakui keberadaannya di Indonesia ini, tapi banyak pihak
yang menolaknya karena berbagai alasan seperti berlawanan
dengan normanorma agama, memiliki dampak kesehatan yang
buruk bagi para pelakunya.
Adapun cara memperbaiki akhlak yaitu dengan cara
melakukan taubat, meminta perlindungan-Nya, menjalankan
puasa sunnah, memilih lingkungan serta teman yang baik untuk
bergaul, menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, dan
lain-lain. Sedangkan penyimpangan sosial lain seperti mabuk,
pemerkosaan, pembegalan, tawuran dan lain-lain solusi yang
ditawarkan oleh penulis adalah juga membenahi akhlak seorang
pelakunya. Bagi remaja pelaku penyimpangan akhlak, peran
orang tua sangat penting, oleh karena itu sebelum memperbaiki
akhlak seorang anak, diharuskan orang tua juga memperbaiki
akhlak dirinya sendiri. Karena peluang seorang anak
memepunyai akhlak yang buruk itu bisa saja disebabkan oleh
akhlak orang tuanya sendiri.
Dari orang tua anak bisa mendapatkan hak pendidikan
agama lebih banyak dibandingkan pendidikan yang lain, selain
itu nafkah pada diri seorang anak juga harus sangat diperhatikan
serta bisa dipastikan bersumber dari sesuatu yang halal lagi
baik, selain itu orang tua juga dianjurkan dalam mendidikan
anak memiliki kesabaran,keiskhlasan, dan ketelatenan. Tidak
hanya itu andil dari orang-orang terdekat sangat
mempengaruhi. Sedangkan dari segi kebiassaan pergaulan
seorang anak didapat dari lingkungan sekolah dan teman
sepermainan yang baik. Oleh karena itu kewajiban orang tua
tidak hanya pada kewajiban menyekelohkan saja tetapi
menyangkut dalam segala hal. Karena dari kerusakan akhlak
tersebut jika tidak dibenahi maka akan berakibat fatal baik bagi
diri sendiri, orang lain maupun kepada Allah. Imbas terhadap
diri sendiri mudah menuruti hawa nafsu, menjadi sombong,
mempermalukan sendiri, mempermalukan keluarga,
mempermalukan orang ada di sekitar kita, sedangkan dampak
penyimpangan akhlak tersebut terhadap Allah menjadikan
seorang pelaku sebagai orang fasik, sesat dan dzalim.

E. Nabi Ayyub
Allah SWT telah menceritakan kepada kita beberapa kisah
Nabi dan Rasul dalam kitab-Nya agar menjadi panutan serta
memperkuat keimanan bagi orang-orang yang beriman. Atas
dasar itulah pada diri setiap Nabi dan Rasul, terdapat
keteladanan yang dapat diambil oleh setiap umat Islam dalam
menempuh cobaan dan rintangan kehidupan dunia fana’ dan
menuntun manusia keakhirat yang kekal. Terkait nilai-nilai
pendidikan, Allah memberikan kekuasaan kepada iblis untuk
mebinasakan harta dan keluarga Nabi Ayub, tapi Allah tidak
membenarkan untuk membunuh Nabi Ayub. Iblis menggunakan
cuaca yang panas dan gerombolan yang kejm untuk
membinasakan Nabi Ayub. Sekujur tubuhnya ditimpa penyakit
kulit yang busuk.
Jika ditinjau dari pendidikan Islam, sejarah nabi Ayub
tentunya memiliki nilai-nilai pendidikan yang sangat penting
bagi pendidikan islam dan sangat penting untuk kita kaji hikmah
dari kisah keteladanan akhlaknya. Nabi Ayub merupakan Nabi
kaya raya, tanahnya berbidang-bidang, keturunannya banyak.
Namun hal itu tidak membuatnya sombong apalagi melalaikan
ibadahnya kepada Allah Swt bahkan ketika Nabi ayub mendapat
ujian dari-Nya dengan kehilangan Semua harta bendanya, anak
dan keturunannya, serta terserang penyakit kulit yang ganas, hal
itu tidak membuatnya meninggalkan Allah bahkan dengan ujian
itu dia semakin dekat dengan Allah, karena yakin bahwa semua
harta benda dan keturunan yang ia miliki hanyalah titipan dari
Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh-Nya.
Nilai-nilai pendidikan yang melalui ayat-ayat al-Quran serta
pendapat dari para mufassir sangat banyak, sehingga hikmah
dan pesan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, di
tengah kondisi zaman yang sangat sulit. Pentingnya pendidikan
akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis
diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut
secara intensif. Pendidikan akhlak berfungsi sebagai panduan
manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu
perbuatan yang selanjutnya menetapkan kebaikan dan
keburukan. Dalam QS. Shad ayat 41-44 terkandung nilai-nilai
pendidikan, yaitu penambahan diri, meminta perlindungan,
dilarang ingkari janji, dan kesabaran ketika menghadapi ujian.

F. Nabi Musa
Kisah Nabi Mûsâ as merupakan kisah terpanjang dalam al-
Quran dari 30 juz dan 16 juz memuat kisah Nabi Mûsâ as. Lebih
rinci lagi kata Mûsâ terdapat 136 kata. Nama Nabi Mûsâ paling
banyak disebutkan bila dibandingkan dengan nama-nama Nabi
yang lain, misalnya kata Adam 25 kali , kata Nuh 43 , kata Yûsuf
27 dan seterusnya . Kisah Nabi Mûsâ as, dapat dimulai dari
kekejaman raja Mesir di masa itu, Fir`aun .
Dalam Qs al-araf ayat 150, penyesalan Musa lahir setelah
beliau kembali, marah dan menunjukkan kesesatan mereka,
karena jika ditiinjau dari kronologis kejadian, ayat ini seharusnya
ditempatkan terlebih dahulu. Penempatan ayat yang lalu untuk
mendahului ayat ini untuk menyegerakan informasi tentang
penyesalan mereka setelah kesesatan itu, sebagai pengajaran
pada semua pihak agar bersegera bertaubat dan tidak tergesa-
gesa beralih dari satu hal ke hal yang lain, kecuali setelah jelas
dampakdampaknya.
Ayat ini menjelaskan tentang keadaan nabi Musa saat
menemukan kaumnya menyembah anak lembu, dan tatkala
Musa kembali kepada kaumnya setelah bermunajat kepada
Allah, dengan keadaan penuh amarah karena dia mengetahui
bahwa kaumnya menyembah lembu dan bersedih hati, atas
kesesatan mereka. Agar memperhatikan kaumnya dan terus
menerus menasehati mereka karena itu berkatalah dia
khususnya pada nabi Harun dan pemuka kaumnya. Selanjutnya
karena nabi Musa telah berpesan agar jangan melakukan
sesuatu yang berbeda dengan tuntunannya sampai ia kembali,
maka beliau lebih jauh mengecam mereka beliau lebih jauh
mengecam mereka.
Pada ayat 151, setelah jelas bagi nabi Musa alasan nabi
Harun dan sadar pula amarah yang menguasainya, ia menyesal
dan berkata menjawab ucapan nabi Harun dalam bentuk doa.
Istilah Arham ar-rahimin mengisyaratkan setiap insan menghiasi
diri dengan sifat rahmat. Allah tidak menghalangi makhluk
bersifat Rahim bahkan menganjurkannya, terbukti bahwa
mereka dapat menyandang nama ini sebagai mana Allah
menyandangnya walaupun tentu dalam substansi dan kapasitas
yang berbeda. Demikian juga halnya dengan Asma al-Husna
selainnya yang dapat disandang oleh manusia dan dilukiskan
dengan patron redaksi serupa, seperti hasan al-khaliqin atau
khair ar-raziqin. Ini karena manusia dituntut untuk memberi
rexeki kepada makhluk Allah sesuai kemampuan dan
kedudukannya sebagai hamba-hamba Allah SWT.
Pada ayat 152-153 Allah menjelaskan sanksi yang pantas
diterima oleh mereka yang durhaka dan enggan bertaubat.
Setelah menjelaskan sanksi yang akan menimpa mereka yang
berkelanjutan kedurhakaannya, dilanjutkanlah ayat itu dengan
penjelasan tentang penantian mereka yang menyadari
kesalahan atau yang diistilahkan oleh ayat 149 dengan sangat
menyesali perbuatannya, yaitu dan orang-orang yang
mengerjakan kejahatan dengan sengaja, kemudian walau
setelah berlalu waktu lama dia bertaubat, yakni menyesal,
memohon ampun bertekad untuk tidak mengulanginya serta
memenuhi tuntunan Allah dan Rasul sesudah kedurhakaan dan
dengan syarat dia beriman dengan keimanan yang benar, maka
sesungguhnya Tuhanmu hai Musa, pasti sesudahnya, yakni
sesudah taubat yang disertai dengan beriman itu mereka dapati
Maha Pengampun sehingga menghapus dosa-dosa mereka lagi
Mahapenyayang dengan melimpahkan anugerah kepada
mereka.
Ayat di atas mengisyaratkan Allah swt mengetahui bahwa
mereka yang menyembah anak lembu itu tidak akan bertaubat
secara bersinambung, mereka akan menyimpang secara
menyianyiakan kesempatan yang dibuka Allah di sini
menyangkut pengampunan dosa. Kenyataannya Bani Israil dari
saat ke saat melakukan dosa, Allah SWT memaafkan mereka
dari saat kesaat sampai akhirnya mereka mendapatkan murka
abadi dan laknat terakhir. Dalam konteks uraian menyangkut
kaum Nabi Musa yang menyembah anak lembu, berlaku umum
bagi siapapun dan dalam kaitan dosa apapun. Ini sesuai dengan
bunyi redaksinya yang bersifat umum dan sejalan pula dengan
ayat-ayat lain yang membuka pintu taubat bagi siapapun
sebelum nyawanya mencapai kerongkongannya. Pengampunan
yang dijanjikan adalah setelah taubat yang menjadikan anak
lembu itu sebagai sesembahan. Adapun cara bertaubat yang
dituntut dari mereka adalah membunuh diri mereka
sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-Baqarah ayat 54. Demikian
ditemukan maknanya dalam riwayat-riwayat, yang sulit diterima
oleh sementara nalar, sehingga sebagian ulama memahaminya
dalam arti bunuhlaj hawa nafsu kamu yang mendorong kepada
kedurhakaan.
Pada ayat 154, setelah jelas sikap masing-masing dan jelas
pula perlakuan Allah kepada masing-masing, maka kisah
penyembahan anak lembu diakhiri dengan firman-Nya dan
sesudah diam, yakni rela terhadap Musa amarah, diambilnya
kembali lauh-lauh Taurat yang diterimanya dari Allah dan yang
telah dilemparkannya dan dalam tulisannya terdapat petunjuk
menuju kebahagiaan dan rahmat untuk orang-orang yang hanya
pada Tuhan mereka bukan selain-Nya mereka terus takut.
Sesudah diam terhadap Musa amarah, mengilustrasikan amarah
bagaikan orang yang terus berbicara dan mendorong untuk
bertindak keras sehingga yang didorong dalam hal ini Nabi Musa
tidak dapat lagi mengelak kecuali setelah amarah itu diam.
Melalui diamnya amarah, reda pula ia dan keadaannya kembali
sebagaimana sebelum amarah itu datang mendorong. Redaksi
ini menunjukkan seperti diisyaratkan dalam ayat yang lalu –
bahwa Nabi Musa ketika itu sangat sulit menguasai dirinya
sampai beliau melemparkan lauh-lauh itu. Dari paparan QS. Al-
A’raf ayat 150-154 di atas dapat dikaji dan diambil beberapa
nilai pendidikan akhlak, antara lain:
1. Nilai pendidikan akhlak Tanggung Jawab
2. Nilai Pendidikan Akhlak Ketegasan
3. Nilai Pendidikan Akhlak Bijaksana
4. Nilai Pendidikan Akhlak Pengontrolan diri
5. Nilai Pendidikan Akhlak Berdo’a kepada Allah
6. Nilai Pendidikan Akhlak Kepedulian
7. Nilai Pendidikan Akhlak kejujuran
8. Nilai Pendidikan Akhlak Taubat
9. Nilai Pendidikan Akhlak Menahan Amarah
Begitulah teladan-teladan akhlak yang melekat dan patut
dicontoh dari pribadi Nabi Musa pada saat sekarang, dimana
sebagian orang malah menjadikan orang tidak seiman menjadi
modeling.

G. Nabi Isa
Kelahiran Nabi Isa adalah suatu mukjizat karena dilahirkan
tanpa bapak. Kisahnya dimulai dari kunjungan malaikat kepada
Maryam atas perintah Allah. Ketika itu, malaikat menyerupai
manusia yang sempurna sebagaimana yang terdapat dalam QS.
Maryam ayat 18-19. Pada ayat QS. Ali Imran ayat 45, seperti QS.
Ali Imran ayat 45 diceritakan bahwa malaikat yang datang itu
telah memberikan nama untuk janin yang akan dikandung
Maryam, yaitu Isa. Kelak dia akan menjadi terhormat di dunia
dan akhirat serta memiliki kedudukan yang dekat dengan Allah
Swt. Isa putra Maryam sekira 570 tahun sebelum kelahiran Nabi
Muhammad. Allah membuat Nabi Isa dan ibunya sebagai ayat
(tanda) bagi manusia, yaitu tanda untuk menunjukkan
kebesaranNya. Dan telah Kami jadikan (Isa) putra Maryam
beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami),
dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar,
yang banyak memiliki padang-padang rumput dan sumber-
sumber air bersih yang mengalir. Qs al-Mu’min n ayat 50. Allah
juga menyatakan Nabi Isa adalah seperti Adam, walaupun Adam
diwujudkan tanpa ibu dan bapak. Kesamaan mereka berdua
adalah pada ciptaan. Keduanya dicipta dari tanah.

G. Nabi Muhammad
Berdasarkan Kitab Mawlid Barzanji pada bab ke-19 di atas,
terdapat beberapa akhlak Nabi Muhammad Saw menurut
Sheikh Jafar al-Barzanji yang perlu dibahas secara rinci agar kita
sebagai umatnya bisa mencontoh dan memahami lebih dalam
tentang akhlak Nabi, diantaranya yaitu:
1. Rendah hati . Dalam Kitab Mawlid al-Barzanji, pada bab ke-
19 di bait yang pertama Sheikh Ja‟far al-Barzanji
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang
yang rendah hati dan juga pemalu .
2. Mandiri. Akhlak Nabi Muhammad Saw yang selanjutnya
akan dibahas oleh peneliti adalah sifat mandiri dari Nabi
sebagai tanda kemandirian yang dimiliki Nabi Muhammad
Saw bisa kita temui di dalam tulisan Sheikh JaFar al-Barzanji.
Adapun yang menunjukkan sifat mandiri .
3. Qanaah. Qanaah memiliki arti merasa cukup. Cukup disini
merujuk pada sikap rela atau menerima hasil apa yang
didapatkannya tanpa mempunyai perasaan kurang dan tidak
puas. Nabi Muhammad Saw memiliki sifat qanaah didalam
diri beliau, sifat tersebut bisa kita teladani dan diterapkan
didalam kehidupan sehari-hari .
4. Sayang terhadap keluarga. Adapun yang menunjukkan
Muhammad SAW memiliki sifat penyayang terhadap
keluarga dan umatnya. Keluarga merupakan suatu kesatuan
sosial yang diikat oleh saling berhubungan atau interaksi dan
juga saling mempengaruhi sekalipun itu antara satu dengan
yang lainnya tidak terdapat hubungan darah. Di dalam Islam
dijelaskan bahwa keluarga memiliki sebuah arti yang sangat
penting, karena keluarga merupakan bagian dari masyarakat
Islam yang di dalam keluarga tersebut juga seseorang belajar
mengenai Islam sejak dini. Sebuah keluarga memegang
peranan yang penting karena di dalam keluarga adalah
tempatnya.
Dari keseluruhan kisah para Nabi dan Rasul, kiranya
hanyalah satu tuntutannya bagi kita sekalian yakni meniru,
mencontoh dan meneladani seluruh kebaikan yang dilakukan
oleh para utusan Allah dengan sepenuh ketundukan dan
sepenuh kataatan. Semoga Allah memberi kekuatan pada kita
semua, untuk mencontoh para utusan-Nya. Aamiin.
BAB 10
AKHLAK KEBAHAGIAAN HIDUP

Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis, mental,


ruhaniah, dan bathiniah yang tidak terlihat oleh kasat mata.
Kebahagiaan merupakan keadaan bathin bukan keadaan lahir. Ia
ada di dalam diri bukan di luar diri. Ia benar-benar tacit bukan
eksplisit. Ia juga bukan fenomenon tetapi nomenon. Ia jelas
merupakan wajah dalam dari muka luaran yang kelihat hanya
berupa fenomena, gejala perilakunya sedangkan kebagiaanya
sendiri merupakan energy listrik yang merambat pada kabel
yang berpenghantar listrik. Ia dapat terang karena ada aliran
listrik yang mengalir. Ia jiwa dari energy yang menghasilkan
lampu terang, roda berputar, robot bergerak dan air naik
sekalipun ke permukaan yang lebih tinggi.
Karena itu kebahagiaan awalnya bersifat intrapersonal,
kekuatan dialogis-komunikatif dan introspektif antara dirinya
dengan dirinya dan berhasil menjadikan diri sebagai dirinya
sendiri. Keberhasilan ini sebagai buah baik dari keberhasilan
menyatukan dirinya dengan diri-Nya dalam sebuah kesadaran
luhur tentang nya dan Nya. Menurut Alvan Pradiansyah
(2008:148-241) ada tiga kekuatan dasar yang membuat
hubungan bahagia antara dirinya dengan dirinya sendiri, yakni:
1. Sabar (Patience).
Kita sudah begitu sering mengatakan sesuatu yang
sebenarnya secara konsepsi belum tentu benar, yakni kata
sabar. Sabar dalam pemahaman budaya bahkan diterapkan
untuk sesuatu yang kita tidak berdaya untuk membuat sesuatu
lebih bermakna. Bahkan cenderung bernuansa fatalistic,
menyerah dan putus asa. Sabar sebenarnya merupakan sebuah
kekuatan yang luar biasa untuk bertahan dalam sebuah proses
yang penuh dengan harapan tetapi sarat dengan tantang dan
rintangan. Kemampuan energetic untuk bertahan dan terus
bertahan adalah sebuah kesabaran. Kemampuan bertahan
(sabar) hakekatnya merupakan energy Tuhan yang Maha Sabar
(as-Sobru). Tak ada kekuatan dahsyat untuk bersabar selain
kekuatan yang dimiliki dan diberikan Allah kepada seseorang.
Isyarat itu ditegaskan oleh Allah dalam sebuah firman-Nya (QS.
al-Anfal *8+:46) artinya,”… Sesungguhnya Allah bersama orang-
orang yang sabar”. Kesabaran yang diraih seseorang
sebenarnya beriringan dengan kedekatan kita dengan Allah
sebagai pemilik hakiki dari SABAR (Allah Ash-Shobru).
Kedekatan seseorang dengan Allah yang membawa
konsekwensi pada pemerolehan sikaf sabar, diajarkan Allah
dalam (QS. al-Baqarah *2+: 153) artinya,” Wahai orang-orang
beriman, mohonkan pertolongan kepada Allah dengan sabar
dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar”. Sabar dan shalat sebagai penolong dapat dipahami
dalam konteks kehidupan nyata dan nyata dalam kehidupan
sebagai berikut: (1) Marah, marah merupakan emosi negate
yang kekuatannya dahsyat, pengaruhnya besar dan bisa
merugikan diri sendiri dan orang lain. Karena itu perlu
kemampuan mengendalikan emos agar kita bisa marah dengan
tujuan yang benar, cara yang tepat, pada waktu yang tepat,
kepada orang secara tepat, agar marah Anda tidak meruntuhkan
citra diri Anda sendiri. Jadilah marah yang SOPAN, (2) Musibah,
bersabar pada saat musibah atau senang bukanlah sesuatu yang
gampang. Sebabnya musibah atau senang seringkali membuat
kita tidak tenang. Karena itu persoalannya bukanlah terletak
pada musibah atau senang tetapi sebesar apa hadirnya
kesadaran bahwa susah dan senang berasal dari Tuhan untuk
menguji dan memuji keimanan manusia kepada-Nya, (3)
Menunda, sabar sebenarnya adalah mengendalikan dan
mengembalikan sesuatu pada hukum dasar yang asli. Hukum
dasar yang asli tentang halalnya hubungan suami isti adalah
pernikahan. Dan yang tidak sabar menanti pernikahan dengan
melakukan perzinahan itulah yang disebut dengan kegagalan
mengolah kesabaran, karena itu sabar membuat sesuatu indah
pada waktunya, (4) Frekuensi, sabar sebenarnya penantian yang
dijalani untuk menemukan kesamaan frekuensi. Seorang suami
istri diawal pernikahnnya acapkali mengalami percekcokan aktif
maupun pasif. Percekcokan aktif dilakukan bila kedua balah
pihak sama-sama aktif sedangkan percekcokan pasif ketika salah
satunya hanya mengurut dada, berdiam, mengalah dalam
kesakitan. Sebenarnya hal ini terjadi karena kedua belah pihak
belum memiliki kemampuan menyatukan frekuensi sama dan
frekuensi beda untuk saling bisa menerima. (5) Penyatuan, sabar
sebenarnya akan terjadi ketika seseorang bisa melakukan
penyelarasan antara pikiran dengan yang dipikirkan dan pikiran
dengan yang dirasakan. Misalnya, seorang santri baru yang
berada ditempat baru, dengan kondisi yang baru serta
lingkungan yang baru senantiasa merasa tidak betah, bahkan
selalu ingin pulang (homesick). Tetapi seiring pikiran dia mulai
mengada dalam lingkungan yang ada (adaptasi) maka perasaan
betah, kerasan dan nyaman mulai tumbuh dalam dirinya. Itulah
penyatuan yang mempersatukan satu kedalam satu, dua yang
bersenyawa, tiga yang menyerupa dan empat yang merapat.
Walhasil tidak berjalan masing-masing.
Berikutnya (6) Sabar aktif, sabar dalam bahasa al-Qur’an
bukan tindakan menunggu bukan pula aktivitas mengganggu
apalagi gerakan menyerbu. Ia adalah sebuah pertahanan aktif
yang akan memberikan respons positif melampaui stimulus yang
hadir. Karakter sabar aktif, persis bekerja seperti hukum Pareto
(1 bisa melahirkan 20) atau hukum kebaikan yang bekerja secara
alamiah untuk melipatgandakan diri menjadi 10, 70, 700 bahkan
hingga tak terbatas. Perhatikan firman Allah dalam (QS. al-Anfal
*8+:65) artinya, “… jika ada 20 orang yang SABAR diantaramu,
niscaya mereka dapat mengalahkan 200 orang musuh. Dan jika
ada 100 orang yang sabar diantaramu, mereka dapat
mengalahkan 1000 orang dari orang-orang kafir, disebabkan
orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Jadi sabar dengan terang dan tegas menggambarkan (7)
sikap optimistik yang menjadi syarat mutlak dan sarat penuh
hak dalam menegakkan kebenaran. Setiap kita wajib
menegakkan kebenaran yang terkadang membutuhkan
perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa, baik jiwa, raga
maupun harta. Perhatikan firman Allah (QS. Ali Imran [3]: 146),
artinya, “Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi
sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak
menjadi lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah,
tidak patah semangat dan tidak pula menyerah kepada musuh.
Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar”. (8) Ritme,
pergaulan keseharian dengan perbedaan latar belakang social,
ekonomi, politik, psikologis dan pola pikir, jelas membutuhan
sebuah kemampuan untuk beradaptasi bahkan bersabar dengan
ritme yang berbeda. Pola pikir yang kita miliki, terkadang tidak
terikuti oleh orang lain, akhirnya kita turun untuk mendekat ke
bawah sambil sekaligus arus bawah didorong untuk naik
sehingga makin medekat. Tetapi keadaan seperti ini bukan
perkara yang mudah, jelas membutuhkan keberanian mengalah
dengan menurunkan standar idealisme yang kita inginkan
dengan menyadari realitas yang ada. Disitulah kita akan
bertemu, dimana ritme kita terikuti yang lain dan kita bisa
memahami ritme orang lain, (9) Hukum Alam, semua mahluk
diciptakan dengan ukurannya masing-masing. Semua bekerja
dalam koridor hukum yang telah ditentukan sebagai sunatullah.
Salah satu cara dari bekerjanya hukum alam adalah berproses
dalam tahapan, kapasitas dan irama yang berbeda. Tetapi
perbedaan itu berjalan secara tetap, tepat dan sempurna.
Perjalan hidup yang serba instan sebetulnya menyalahi
kodratnya hukum alam. Maka ketika ada sesuatu bekerja diluar
ketentuan alaminya, akan memunculkan masalah atau
penyimpangan yang merugikan. Bekerja sesuai dengan ritme
alam yang sudah ditentukan merupakan hukum kesadaran baru
tentang sabar. Sabar telah mengada sesuai hukum asalnya.

2. Syukur (Gratefulness).
Ketika sabar merupakan sebuah kemampuan untuk
menjalani proses menuju kepada satu tujuan, sementara
bersyukur adalah berhenti pada setiap fase atau momen untuk
menikmatinya. Kedua-duanya tidaklah ditentukan oleh faktor
eksternal tetapi faktor internal diri sendiri. Kebersyukuran yang
dirasakan oleh seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti: (1) Internal, makanan enak atau tidak bergantung pada
faktor internal diri bukan pada faktor makanan itu sendiri, (2)
Karakteristik diri, mendapatkan hadiah berupa pakaian akan
sangat bahagia bagi seseorang yang senang berdandan dan lain
halnya bagi yang suka membaca, (3) Waktu, rasa syukur akan
begitu terasa saat sesuatu datang pada waktu yang tepat, saat
membutuhkan, (4) Intensitas usaha, rasa syukur akan begitu
terasa saat seseorang mencapai sesuatu yang diinginkan dengan
usaha yang begitu berat, (5) Pengharapan, rasa syukur akan
semakin mendalam ketika pengharapan yang begitu panjang
dan besar pada suatu waktu ketika tercapai, (6) pemberi, rasa
syukur akan terasa luar biasa bila kita mampu memahami dan
mengapresiasi suatu pemberian dari sudut yang memberi.
Pada saat kita dapat menerima sesuatu sesuai dengan apa
adanya bukan adanya apa, telah memberikan warna baru bagi
seseorang untuk tetap bertahan dalam maqam asy-Syukr.
Terdapat beberapa hal penting yang bisa meningkatkan rasa
syukur kita, sebagai berikut: Pertama, Pikirkan semua yang
telah dimiliki bukan yang diinginkan. Kita manusia telah
diberikan anggota badan yang sempurna, disempurnakan
dengan kesempurnaan otak bisa berpikir. Begitu banyaknya
kenikmatan yang Allah berikan padahal tidak kita memintanya.
Kedua, Fokus pada kelebihan dan bukan pada kekurangan.
Banyak orang yang hidup merasa belum puas karena senantiasa
melihat kekurangan bukan kelebihannya. Padahal bila kekurang
kita dan kelebihan dibandingkan secara objektif, jujur dan
terbuka, betapa banyaknya kelebihan kita dibanding
kekurangannya. Kita senantiasa mengeluh karena terlalu focus
pada kekurangan dan bukan pada kelebihan. Ketiga, Ketika
mendapat Rahmat, tanyakan, “mengapa saya’? Terkadang
manusia itu picik, kalau lagi dapat musibah, ada masalah,
mendapat ujian, maka akan berkata, “mengapa saya, hidup tak
berpihak pada diriku, Tuhan menciptakan aku lagi marah dan
seterusnya”. Padahal ketika dibandingkan antara Rahmat Allah,
pertolongan Allah¸ kemenangan dari Allah dan dengan
datangnya musibah, ujian dan cobaan, jauh lebih besar Rahmat-
Nya ketimbang musibah yang menimpa. Syukuri apa yang terjadi
sebagai hal terbaik dalam hidup. Keempat, Ketika mendapatkan
musibah, tanyakan, “pelajaran apa yang saya dapatkan dari
peristiwa itu”. Setiap kejadian selain membawa kerugian tetapi
juga membawa keberuntungan, hikmah, pelajaran yang
berharga. Ketika Gunung Galunggung meletus sekitar tahun
1983 dan itu dianggap musibah, tetapi lihat manfaatnya sampai
saat ini puluhan truk tiap hari mengangkut pasir yang terbaik
padahal sudah berlangsung 37 tahun. Kelima, Bayangkan segala
sesuatu itu tidak ada. Ketika sesuatu itu ada dihadapkan kita
selamanya dan begitu mudah mengambilnya maka hal itu
dianggap tidak berharga. Tetapi ketika kita berpuasa dengan
menahan lapar dan dahaga, maka kehadiran satu gelas air putih
saja begitu berharga. Keenam, Masukilah masa kini. Setiap kita
hidup dari dan untuk tiga waktu, yakni “dulu, kini dan nanti”.
Tetapi hari ini adalah hari kemarin yang berhasil kita syukuri dan
hari besok merupakan hari harapan yang segera akan disyukuri.
Ketika hari besok berubah menjadi hari ini maka itu hari yang
disyukuri. Sebab hari besok hanyalah waktu yang sedang dinanti
untuk disyukuri. Ketujuh, Menjelajahi potensi diri. Setiap kita
memiliki potensi yang luar biasa lengkap dan sempurna.
Persoalannya adakah kita sanggup dan mampu untuk
memompa seluruh potensi menjadi tindakan nyata yang dapat
dirasakan manfaat, maslahat dan hidmat. Semua kita adalah
sang juara, tentu saja selama kita mau mensyukurinya dengan
cara berpikir-belajar dan berlatih.
Rasa bersyukur secara alami merupakan moral imperatif,
sebab rasa bersyukur telah dibawa oleh manusia sejak ajali,
sebagai sebuah kebutuhan dasar hidup manusia. Hanya saja
cara dan ekspresinya berbeda-beda. Bersyukur bukan sekedar
mngucapkan “alhadzulilah” tetapi kebahagiaan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kedalaman rasa, keluasan raga
dan keluarbiasaan kata, yang membuat orang bersujud,
bertasbih dan berhindat kepada Kepemurahan Allah SWT.

3. Sederhana (Simplicity)
Kita dalam hidup terkadang terlalu banyak hal yang
diinginkan, ingin A, ingin B dan seterusnya seakan-akan hidup
untuk selamanya. Kita gagal menyadari bahwa usia produktif
kita terbatas, waktu untuk bekerja terbatas, waktu untuk
mewujudkan seluruh keinginan banyak keterbatasannya. Akibat
ketidakmampuan membatasi keinginan maka hidup semakin
rumit, perilaku menjadi korup, berpikir menjadi nakal, ikhitar
penuh keserakahan dan perasaanpun minus perikemanusian.
Manusia menjadi benar-benar gila: gila harta, gila harga, gila
wanita dan gila tahta. Bila ini yang menjadi panglima hidup
maka kesederhanaan hidup sebagai modal kebahagiaan menjadi
sirna dan pupus.
Untuk bisa kembali kepada nilai-nilai dasar yang bisa
memanusiakan manusia, perlu berkomitmen dengan nilai-nilai
hidup manusia agung dan mulai yakni:
1. Sadar pada Kelahiran. Kita lahir tidak membawa apapun
termasuk pengetahuan apapun. Tetapi kita dibekali pikiran,
hati, pendengaran dan penglihatan yang sempurna. (QS. an-
Nahl *16+:78) artinya, “Allah mengeluarkan manusia dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa dan
Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani,
agar kamu bersyukur”.
2. Sadar pada Kematian. Manusia sekaya apapun, sepintar
siapapun, secantik bidadari manapun, akhirnya tetap akan
berada pada ruangan gelap berukuran 1 M berdinding tanah,
beralas tanah dan beratap tanah, tinggal sendiri tanpa teman
yang mengawalnya. Firman Allah dalam (QS. al-Ankabut
*29+:57) artinya, “ Setiap mahluk yang bernyawa akan
merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu
dikembalikan”.
3. Sadar adanya Akhirat. Mati bagi manusia bukan sekedar
berpisahnya ruh dari raga tetapi ada hari dimana setiap amal
perbuatan manusia akan diadili dihadapan Allah yang Maha
Kuasa. Yang tidak seorangpun mampu mengelak dari-Nya.
Seluruh amal kita akan dihadapkan pada Ilahi. Perhatikan
firman Allah (QS. Al-Isra *17+:36), “… Karena pendengaran,
penglihatan dan hati nurani semua itu akan dipinta
pertanggungjawabannya”.
Untuk menerapkan sikap hidup sederhana sebagai faktor
pemicu rasa bahagia menurut (Arvan Pradiansyah, 2008:216)
sebagai berikut:
1. Bayangkan hari terakhir Anda. Bagaimanapun perfectionist-
nya sikap hidup seseorang manakala tahu bahwa hari ini
adalah hari terakhir kehidupan maka akan berubah seketika
menjadi orang yang begitu sederhana, menangkap hakikat
yang sesungguhnya dan berharap akan kehidupan terbaik di
alam sana. Mengapa banyak diantara kita yang hidupnya
penuh dengan waham atau angan-angan? Jawabannya
karena tak sadar bahwa hidup kita begitu singkat, hanya
sampai hari ini sahaja.
2. Ke luar dari dalam kotak. Ketika kita berada dalam masalah
atau terlibat intensif dengan masalah yang sedang terjadi,
kecil kemungkinan kita bisa melihat sebuah persoalan dengan
cerdas dan cermat. Untuk mampu melihat masalah secara
jernih keluarlah dari kotak masalah, lihat persoalan dari
perspektif yang berbeda atau pinta orang lain yang tidak ada
keterikatan emosi dengan masalah yang terjadi. Maka
masalah akan dengan mudah di atasi.
3. Temukan mana yang hakikat. Kita acapkali membicangkan
hal-hal yang besar tentang masa depan hidup yang lebih baik
tetapi yang dibicarakan hanyalah hal-hal feri-feri, hal
pinggiran yang tak begitu penting. Keadaan seperti ini
membuat sesuatu yang penting menjadi terabaikan dan
energy dikuras habis untuk berpikir yang tak perlu dipikirkan.
Mereka hanya berbicara kost dimana, pilih PT mana, teman
kosan siapa, ditengok berapa kali, makan masak atau beli.
Sementara bagaimana belajar mencapai cita-cita tak pernah
dibicarakan.
4. Rumuskan problem statement. Kita acapkali menghadapi
masalah tanpa tahu mana masalah, mana situasi yang
mengitari masalah, mana penyebab masalah dan mana solusi
yang memungkinan dapat menyelesaikan masalah. Yang kita
pahami bahwa setiap masalah senantiasa berada dalam
situasi problematis, kontra produkif, dan dalam keadaan
kritis. Masalah seringklali mengecoh kita karena situasi
dengan masalah sudah menyatu. Karena itu perlu
mengidentifikasi masalah yang sebenarnya, agar kita dapat
mencari solusi secara tetap. Banyak dari kebiasaan kita ketika
menghadapi masalah focus pada masalahnya bukan pada
solusinya. Karena itu masalah menjadi sulit, rumit,
problematis dan kritis. Padahal bila diurai benang kusutnya
ternyata masalah begitu sederhana. Bahkan sesederhana
masalah. sebenarnya bukan masalah tetapi yang
dipermasalahkan karena kita sedang bermasalah. Misalnya,
seorang penceramah mengatakan, “ diantara jamaah
pengajian ini ada juga orang yang rajin shalat tetapi
melakukan korupsi”. Ia tersinggung dengan ucapan itu,
padahal penceramah tidak bermaksud pada dia, tetapi
karena ia korupsi maka ucapan itu terasa menyindir dirinya.
5. Membedakan tujuan dengan cara. Dalam kehidupan sehari-
hari terkadang kita tidak bisa membedakan mana niat, tujuan
dan cara sehingga pekerjaan menjadi tidak sederhana karena
salah kaprah. Niat merupakan motif, mengapa pekerjaan itu
dilakukan. Tujuan apa yang akan dicapai dan cara bagaimana
melakukan proses pencapaiannya. Misalkan, memberi uang
pada peminta-minta. Motif awalnya menolong dengan
tujuannya agar dia merasa terbantu kehidupannya tetapi cara
yang dilakukan hanya memberi cuma-cuma sehingga
pemberian itu tidak mendidik se pengemis untuk berubah
lebih baik. Perbuatan yang dilakukan kedua belah pihak
bukanlah perbuatan akhlak terpuji.
6. Memahami hukum alam. Segala sesuatu yang ada di makra
kosmik ini telah terjadi dan berlangsung dalam ukurannya
masing-masing dan tak sedikitpun bergeser dari apa yang
Allah tetapkan. Inilah akhlak alam. Bila manusia
memperlakukan sesuatu tidak sesuai dengan kodratnya maka
itu bertentangan dengan hukum alam dan akan menimbulkan
bencana. Allah tetah menetapkan ketentuan bagi penyaluran
sahwat adalah dengan pernikahan, bila hubungan itu
dilakukan diluar pernikahan (zina), maka dengan sendirnya
mengundang persoalan yang tidak sederhana yaitu Aids.
Mengapa terjadi? Karena manusia tidak lagi berperilaku yang
simple, yaitu sesuai kodratnya.
7. Lihatlah pekerjaan apa adanya. Begitu banyak orang bekerja
malah pekerjaannya menjadi beban hidup. Padahal ia bekerja
untuk mengurangi beban hidup. Apa beban hidup yang
dimaksud? Jawabannya, pertama, karena bekerja merupakan
kodrat alami manusia (man-workers). Manusia bila tidak
bekerja akan resah, gelisah, stress, sekalipun punya uang,
kedua, menyalurkan hasrat social untuk bergaul. Karena
manusia mahluk individual dan sekaligus social. Ketiga,
manusia memiliki hasrat untuk menolong. Biar bekerja
menjadi sederhana, selaraskan antara tujuan pribadi dengan
tujuan perusahaan atau bila kerja mandiri, selaraskan tujuan
pribadi dengan harapan. Kita sebenarnya tidak sedang
bekerja pada orang lain tetapi bekerja untuk, pada dan bagi
diri kita sendiri.
Ketiga uraian besar tentang Sabar, Syukur dan
Sederhana merupakan kekuatan intrapersonal. Yaitu kekuatan
yang berada dan mengada dalam dirinya sendiri. Ia lebih banyak
berbicara dengan internal dirinya sendiri. Sementara itu,
manusia tidak mungkin hanya berorientasi ke dalam tetapi juga
memiliki kebutuhan untuk berorientasi ke luar, melepaskan
sesuatu pada orang lain termasuk lain orang yang ada dalam
kehidupan sekitar dirinya (baik pengertian sempit maupun luas).
Kemampuan ini seringkali disebut dengan Interpersonal
Relation. Dalam bukunya Arvan Pradiansyah (2008:248)
terdapat tiga kekuatan besar interpersonal relation, yakni Cinta-
kasih, memberi dan memaafkan.
1. Loving (Cinta)
Insya Allah saya yakin tidak akan pernah ada sebuah
pertengkaran, perkelahian dan percekcokan yang dilakukan
pada saat seseorang saling mencintai. Mengapa demikian?
Jawabannya: (1) sebab cinta prinsifnya lebih dari sekedar
menang-menang tetapi saling memberi kemenangan bahkan
secara tulus menyerahkan kemenangan. Seorang ibu dengan
kecintaan terhadap anaknya berani dengan tulus untuk
melakukan apapun tanpa pamrih sekalipun anaknya belum
sesuai dengan apa yang diharapkan, (2) sebab cinta tidak
didasarkan pada kepentingan tapi pada kebahagiaan, (3) sebab
cinta tidak membeda-bedakan tapi membela, (4) sebab cinta
senantiasa memahami orang lain bukan ingin dipahami orang
lain, (5) sebab cinta adalah anugrah Tuhan yang tinggal
melanjutkan, (6) sebab cinta naluri tertinggi manusia untuk
kebahagiaan, (7) cinta kasih dimulai dari kata-kata, karena
ungakapan lebih tajam dari pedang. Masaru Emoto, (2010)
membuktikan bahwa ungkapan yang baik menyebabkan reaksi
air berbentuk kristal heksagonal dan kata-kata buruk molekul
dalam air berubah tidak beraturan. Bentuk kristal heksagonal
terbaik muncul ketika kita mengatakan “terimaksih dan cinta”.
Andaikan tahap cinta seseorang dibuat dalam sebuah
tangga atau firamida terbalik, yang isinya menggambarkan kadar
cinta seseorang terhadap orang lain maka akan kita temukan
besaran cinta sebagai berikut: (1) Perhatian (memperhatikan
orang lain tetapi tidak intensif, hanya sekedarnya), (2)
Kepedulian (tingkat perhatian yang sudah mulai ada
keterlibatan), (3) tanggung jawab (tingkat kepedulian yang
disertai dengan pengambilan beban bagi dirinya), (4) komitmen
( tingkat di atas tanggung jawab yang sudah tak mungkin
beralih) dan (5) cinta (pencurahan sepenuh hati dan pikiran
untuk melakukan tindakan tanpa berpikir untung rugi).
2. Giving (Memberi)
Bila cinta masih merupakan perbuatan batin maka bentuk
fisiknya adalah memberi. Jadi jika cinta tanpa memberi hanyalah
cinta sebatas teori. Atau memberi tetapi tidak didasarkan pada
cinta maka itu hanya cinta transaksional atau orang tidak cinta
dan tidak memberi adalah kebencian. Cinta yang sebenar-
banarnya adalah kasih dan mengasihi kepada seseorang yang
terkasih sekalipun tanpa balas terimasih maka dia akan tetap
melakukan kasihnya tanpa pamrih bahkan sekalipun harus
berbalas sedih pedih dan perih.
Arvan Pradiansyah (2008:306) menguraikan suatu cara
agar memberi memiliki nilai lebih dari sekedar memberi tetapi
memberi kasih saying, antara lain: (1) memahami apa yang
dibutuhkan orang lain, (2) mengetahui waktu memberi secara
tepat, (3) memberi tanpa berharap balasan, (4) memberi
dengan sembunyi-sembunya, agar tak mengganggu privasi atau
harga diri, (5) memberi dengan nilai tertinggi spiritual bukan
hanya rasional atau emosional.

3. Forgiving (Memaafkan)
Membalas kesalahan orang lain itu perkara mudah bahkan
cenderung membalas dengan berlipat ganda. Menurut
penelitian yang dilakukan Ibrahim Elfiky (2007) bahwa orang
akan membalas kesalahan 7 kali lipat baru merasa puas.
Falsafah Sunda dalam mensikapi suatu kesalahan akan
merespons dengan cara pembiaran dengan NISTA (lihat-lihat
dulu), MAJAH (persiapan pembalasan), UTAMA (pembalasan
dengan kedendaman). Itulah sebabnya memaafkan hanya bisa
dilakukan apabila: (1) kesediaan melepaskan masa lalu, (2)
memahami dan menerima ketidaksempurnaan, (3) fokus pada
kebaikan orang lain, (4) kesalahan orang lain pelajaran berharga
buat diri kita, (5) memaafkan bukan melupakan tetapi
mengikatkan ingatan untuk tidak mengalami hal yang sama.
Kalalau nilai kebahagian yang terbentuk dalam diri
seseorang hanya dari hubungan interpersonal dan intrapersonal
belumlah dianggap mencapai klimaks keberakhlakan, karena
pencapaiannya belum mengada pada koneksitas hubungan
spiritual, hubungan ruhaniah yang transendental. Kedua
hubungan itu masih bersifat insani (hubungan inter dan antar)
manusia. Hubungan itu belum menunjukkan koneksi kebahagian
yang bersifat hakiki. Hubungan itu belum mencapai puncak nilai
tertinggi yakni hubungan ilahiyah. Sebuah hubungan antar
manusia dengan Sang Pencipta sebagai sumber keyakinan
tertinggi bahkan keterhubungan final yang tidak ada lagi puncak
di atas puncak, tidak ada lagi garis finish setelah batas terakhir
garis finish. Sebab estafeta hubungan sudah sampai
dipenghujung terakhir yang berakhir. Hubungan manusia
dengan Tuhan merupakan kekuatan dahsyat yang dapat
mengalahkan sifat hubungan yang lain, sedekat apapun
hubungan itu. Hubungan manusia dengan Sang Pencipta
merupakan hubungan kebergantungan yang meta-dependensi.
Yakni hubungan yang mengakhiri hubungan ritme dipenden,
indipenden, inter indipenden dan kembali berpuncak pada
hubungan dipenden, yaitu kebergantungan hakiki mahluk pada
Kholik secara totaly, holistic dan integrated sebagai kesadaran
puncak seorang mahluk yang fana kepada al-Kholik yang kekal
abadi dan eternal. Manusia sepenuhnya pasrah atas segala
ketetapan yang sudah Allah tentukan. Kepasrahan total jelas
meniadakan keyakinan selain kepada-Nya dan menyatukan
segala bentuk ketersambungan hubungan hanya kepada,
dengan dan untuk-Nya saja. Tidak ada pilihan yang dapat dan
boleh dipilih selain pilihan hanya dengan option tunggal yaitu
koneksitas hakiki dengan Allah SWT.
Pasrah dalam konteks hubungan manusia (mahluk) dengan
al-Kholik merupakan penyerahan total segala perbuatan
manusia hanya disandakan pada Allah. Karena itu ucapan
manusia merupakan Aqwal Allah dan perbuatan manusia
hakikatnya merupakan Af’al Allah (QS. al-Anfal [8]:17),
menegaskan artinya, “… dan bukan engkau yang melempar
ketika engkau melempar tetapi Allah yang melempar”.
Kepasrahan merupakan hukum akhlak kebahagiaan
tertinggi yang ditegakkan dari dan oleh 5 fondasi awal yang
kokoh dan kuat yakni: (1) Yakin bahwa Tuhan Maha Ada dan
adanya Tuhan ada sebelum mahluk ada dan akan tetap ada
serta mengadakan yang ada dan yang mungkin ada. Ini
keyakinan awal yang mendasar. Sebab bila tidak ada keyakinan
ini keyakinan yang lain tidak akan ada dan tidak bisa ada kecuali
diada-adakan tetapi pasti batilnya, (2) Maha Pengasih. Allah ada
dan adanya Maha Pengasih. Setiap mahluk lahir dipilihkan
dengan takdir terbaik karena sifat Pengasih-Nya, (3) Maha
Menjaga dan Melindungi. Adanya Allah Yang Maha Pengasih
membentuk keyakinan manusia akan adanya yang menjaga dan
melindungi hidup dan matinya manusia sehingga manusia
memasrahkan seluruh hidup: “ Katakanlah (Muhammad),
“sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam”. (QS. al-An’am
[6]:162), (4) Maha Mengetahui. Keyakinan Allah ada dan hadir
dengan sifat Maha Pengasih untuk menjaga dan melindungi
mahluknya, karena Allah Maha Mengetahui segala kejadian
pada mahluknya, (5) Maha Mengabulkan. Yakin adanya Allah
dan ada dengan Maha Pengasih sehingga memberi
perlindungan dengan mengambulkan segala bentuk
permohonan, sebagai mana firman Allah dalam ( QS. al Mukmin
*40+:60), artinya “Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalak kepada-
Ku, niscaya akan Aku kuperkenankan bagimu’.
Wujud atau manifestasi dari pasrah kepada Allah yaitu
dengan menggantungkan segala urusan kehidupan hanya untuk
dan atas nama Allah. Ketika memulai sesuatu dengan basmallah,
saat menjalani proses lahaula wal quwwata illa billah, bila masih
bimbang astaghfirullah dan diakhirpun kepada Allah. Hanya saja
bila berhasil alhamdzulillah dan bila gagal innalillahi wa inna
ilahi rajiuun. Segala urusan dikembalikan kepada Allah.
Kepasrahan pada level awal, manusia masih menginginkan
sesuatu kepada-Nya tetapi pada level tinggi manusia sudah
meniadakan keinginan selain hanya keinginan-Nya.
Menurut Arvan Pradiansyah (2008:388) untuk menggapai
kebahagian yang hakiki manusia seyogyanya memiliki
kepasrahan sejati dengan perpegang pada prinsif-prensip kerja
sebagai berikut:

1. Menyediakan lahan bagi Tuhan untuk bekerja. Alla Maha


Pemberi tetapi Allah “tidak akan memberi” kalau kita tidak
menyediakan Allah untuk berbuat. Firamn Allah (QS. ar-
Ra’du *13+11). “ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah
suatu kaum, kalau kaum itu tidak merubah dirinya sendiri”.
Allah bukan tidak mampu merubah tetapi manusia tidak
menyediakan ruang buat Allah berbuat. Ruang itu,
gelombang atau frekuensi energy diri untuk bisa menerima
perubahan, tidak mantul. Kita tidak akan mendapatkan air
yang banyak kalau kita menyediakan wadah yang kecil.
2. Berusaha sekuat tenaga sambil menyerahkan hasilnya
kepada Allah. Kita hanya diwajibkan berusaha, perkarya
hasilnya menjadi ketetapan Allah. Manusia berusaha Tuhan
yang menentukan segala-galanya.
3. Memahami tiga lingkaran. Menyadari mana yang bisa
dirubah dan mana yang tidak bisa dirubah menjadi hal
penting untuk melahirkan ketenangan. Mana lingkaran
masalah yang “can do, can’t do atau can’t do menjadi can
do”, sebab dengan memahami ini kita bisa mengetahui dan
menyadari mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak
perlu sehingga bekerja menjadi simple.
4. Percaya bahwa Tuhan akan memilih yang terbaik. Kita yakin
bahwa Allah akan memiihkan (mentakdirkan) hamba-Nya
yang terbaik karena sifat kasih saying yang Allah miliki.
Seorang ibu tidak pernah mendoakan kejelekan pada
anaknya, tidak lain karena ibu memiliki sifat sayang kepada
anaknya, tentu apatah lagi Allah yang Maha Pengasing dan
Penyayang.
Pasrah dalam pengertian berserah dan menyerahkan diri
kepada-Nya, mengalami tingkatan makna yang bertahap. Level
1, pasrah dengan ikhiyar yang kuat tapi masih hadir hope, yaitu
bekerja dengan keras dan kuat dengan harapan Allah
mengabulkannya. Bentuk kepasrahan ini masih rentan ancaman
kemungkinan merasa lelah bila harapannya tidak kunjung
terqubulkan. Level 2, pasrah yang berlangsung sejak awal, dalam
proses dan akhir semua karena Allah tetapi tetap membawa
harapan. Ketua pasrah. Level 3, pasrah dengan penentuan kerja
kerasnya saja terserah Allah dan tanpa harapan apapun, tanpa
keinginan insani. Contoh, ketika nabi Ibrahim akan di bakar oleh
pasukan Namrudz maka datanglah malaikat menawarkan
bantuan. “apakah perlu bantuanku?” Ibrahim menjawab: “aku
tidak perlu bantuanmu”. Kemudian malaikat menawarkan lagi,
“apakah perlu bantuan Allah?” Ibrahim menjawab, “ tidak,
karena Allah Maha Tahu”. Maka Allah selamatkan Ibrahim
dengan memerintahkan api untuk menjadi dingin.
BAB 11
TIPOLOGI AKHLAK ZAMAN

A. Masa Pra Islam


Secara asal usul keturunan, masyarakat Arab dapat terbagi
kepada dua golongan besar. Golongan pertama adalah
Qathâniyun atau keturunan Qathan dan golongan kedua adalah
‘Adnâniy n atau keturunan Ismail bin Ibrahim. Saat itu, letak
wilayah yang diduduki terbagi menjadi wilayah Utara diduduki
oleh ‘Adnâniy n dan wilayah Selatan oleh Qathâniyun. Seiring
perjalanan waktu pada akhirnya kedua golongan ini berbaur
disebabkan perpindahan-perpindahan antara satu dengan yang
lain (Badri Yatim, 2000: 18). Dengan ini terbukti bahwa pada
masa itu masyarakat Arab masih terbiasa untuk berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sementara itu, kondisi
sosial politik pada masa pra-Islam dapat dikatakan tidak terlalu
berkembang, bahkan cenderung rendah. Dalam bidang sosial
politik di lingkungan masyarakat Arab pra-Islam telah terbentuk
kabilah (clan) yang kemudian dari beberapa kabilah terbentuk
tribe atau suku.
Sebetulnya masa pra-Islam masyarakat Arab sudah
memiliki keorganisasian dan identitas sosial yang jelas. Akan
tetapi, disebabkan penekanan hubungan kesukuan yang begitu
kuat, setia dan solid, maka sering sekali terjadi peperangan
antar-suku. Akibat dari peperangan yang berlarut-larut, yang
sepertinya memang sudah menjadi tabiat masyarakat Arab
selain sikap kesukuan yang kuat, kebudayaan mereka tidak
begitu berkembang. Meskipun demikian, masyarakat Arab pra-
Islam setidaknya telah memiliki kemampuan seperti membuat
alat dari besi dan yang paling terkenal tradisi kesusateraan.
Masyarakat Arab pra-Islam memiliki kemampuan yang tinggi
dalam menggubah syair. Bahkan, pada masa pra-Islam sering
diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz yang mana sang juara
syairnya digantung di dinding Kabah (Badri Yatim, 11-12). Dalam
al-Qur’an, kata jahiliyah disebutkan Allah sebanyak empat kali.
Masing-masing disebutkan dalam konteks sebagai sebuah
keyakinan, sistem, perilaku dan watak. Lebih jelas, kita akan
uraikan ayat-ayat tersebut satu persatu. Pertama, di dalam QS.
Ali Imran ayat 154. Dalam ayat ini, Allah merekam cuplikan
peristiwa yang pernah terjadi pada masa Rasulullah bersama
para sahabat. Persisnya pada saat kegentingan perang yang
akan dihadapi oleh kaum Muslimin. Perang yang akan mereka
hadapi adalah perang Uhud, perang besar kedua setelah perang
Badar Kubra, dimana umat Islam menderita kekalahan.
Kekalahan yang terjadi pada saat perang Uhud ini, kata Syeikh
Muḥammad Abduh, lebih diakibatkan karena sebagian umat
Islam pada saat itu merasa lemah, ragu-ragu dan sangat tidak
percaya diri sehingga membuat mereka gagal dan melanggar
instruksi Nabi Muhammad (Muhammad Abduh, tth: 186).
Kedua sebagai sistem hukum yang dijelaskan dalam QS al-
Maidah ayat 49-50. Ayat ini menerangkan perintah Allah dalam
menegakkan sistem hukum yang telah Allah turunkan bagi
segenap manusia di muka bumi. Hukum Allah adalah hukum
yang paripurna dan paling adil. Tidak ada keadilan kecuali jika
hukum Allah diterapkan bagi segenap kehidupan manusia di
dunia. Selain hukum Allah, tidak ada hukum yang akan sanggup
menciptakan kemakmuran, kesejahteraan dan keharmonisan
bagi seluruh makhluk yang hidup di atas muka bumi ini. Perintah
untuk melaksanakan hukum Allah dan larangan mengikuti hawa
nafsu. Ini artinya, bahwa selain hukum Allah, apa pun
bentuknya, adalah hukum dan aturan yang berdasarkan hawa
nafsu manusia. Hukum-hukum yang diciptakan dengan reka-
reka akal manusia bukan hukum yang menjamin kehidupan di
dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Semua hukum itu sesat dan
sangat jauh dari kebenaran. Allah berfirman dalam Qs Yunus
ayat 32.
Ketiga prilaku yang termuat dalam QS. al-Ahdzab ayat 33.
Ayat ini melarang para wanita kamu Muslimin untuk berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah. Wanita jahiliah
adalah wanita yang tidak mengenal kesopanan dalam
berpakaian, bertingkah laku dan bergaul dengan lawan jenis.
Karena tingkah laku yang tanpa aturan itu, fahisyah dan
kemungkaran tersebar di mana-mana. Islam kemudian datang
dengan sejumlah aturan yang membatasi pergaulan dan
interaksi kaum wanita. Demi keseimbangan sosial dan
kenyamanan hidup bermasyarakat, etika pergaulan ditetapkan
agar ketimpangan dan keserawutan hidup bisa dicegah dan
ditanggulangi. Tentu saja sejumlah aturan ini bukan untuk
memasung kebebasan dan mengerangkeng hak-hak hidup
manusia. Persoalan interaksi tidak bisa berjalan dengan bebas
aturan dan sekehendak hati. Proses interaksi kondusif dan
benilai positif adalah akumulasi dari perilaku masyarakat yang
tertib, bertanggungjawab dan mengindahkan norma-norma
pergaulan. Tanpa hal itu, ketentraman hidup yang jadi cita-cita
bersama akan sulit dipertahankan.
Masyarakat Arab pra-Islam sering dikenal dengan sebutan
Arab Jahiliyah disebabkan tindakan yang amoral, seperti
berperang, berjudi, mabukmabukan dan hal-hal keji lain.
Meskipun disebut jahiliyah, mereka telah memiliki kemampuan
tinggi di bidang sastra. Kemampuan ini sering dipertontonkan
lewat syair-syair yang diperlombakan. Syair-syair ini yang nanti
akan menjadi hal penting bagi penulisan sejarah pada masa awal
Islam. Arab pra-Islam disinyalir belum memiliki kesadaran
sejarah yang cukup, tapi karya sastra mereka dapat dijadikan
rujukan di awal Islam. Terdapat dua bentuk historiografi pra
Islam, yaitu al-ayyam dan al-ansab dengan Metode yang
digunakan adalah metode tradisi lisan.
Tradisi yang hidup di kalangan masyarakat Arab sebelum
Islam meliputi berbagai aspek keyakinan (aqīdah) seperti
penyembahan berhala, peribadatan (ibadah) seperti kasus sa’ī
haji, interaksi sosial (mu’āmalah) seperti superioritas komunitas
tertentu (Banī Quraiẓah terhadap Banī Nāḍīr) dan pernikahan,
etika (akhlāq) seperti cara berpakaian saat ṭawāf dan
perhormatan pada janāzah.
Secara sosial, tradisi yang secara utuh diakomodasi oleh
Islam tanpa revisi antara lain yaitu pemanfaatan pasar, puasa
‘Āsyūrā’ dan sumpah dalam kasus pembunuhan. Sedangkan
tradisi yang secara total ditolak atau total dikoreksi oleh Islam
antara lain penyembahan berhala, menjadikan kuburan sebagai
masjid, jual beli mulāmasah, munābaẓah atau janin, mendatangi
peramal dan tukang tenung, status wanita menstruasi, umrah
saat musim haji, wanita yang boleh dinikahi, serta berdiri dan
bukan mantel saat ada jenazah lewat. Adapun tradisi yang
sebagiannya diadopsi tetapi sebagian yang lain ditolak antara
lain tawaf dengan telanjang, cara memulai ṭawāf, pembacaan
ruqyah dan poligami dengan maksimal 4 istri. Sementara tradisi
yang secara prinsip tetap dilestarikan hanya dengan sedikit
modifikasi di sana-sini antara lain tehnis pelaksaan sa’i,
rekonstruksi pelaksanaan ṭawāf hingga modifikasi pelaksanaan
aqīqah. Reportase hadis yang muncul dalam menggambarkan
tradisi jahiliyyah lebih banyak diungkapkan Nabi dalam bentuk
pernyataan verbal.

B. Masa Kenabian Nabi Muhammad


Secara esensial, kehadiran Nabi Muhammad pada
masyarakat Arab adalah terjadinya kristalisasi pengalaman baru
di dimensi ketuhanan yang mempengaruhi segalah aspek
kehidupan masyarakat, termaksut hukum-hukum yang
digunakan pada masa itu. Keberhasilan Nabi Muhammad dalam
memenagkan kepercayaan bangsa arab pada waktu yang relatif
singkat kemampuannya dalam memodifikasi jalan hidup orang-
orang Arab. Sebagian dari nilai budaya Arab pra-Islam, untuk
beberapa hal di ubah dan di teruskan oleh masyarakat
Muhammad dalam tantanan moral Islam. Nabi Muhammad
dilahirkan pada tahun Gajah, tahun dimana ketika pasukan
Gajah Abraham menyerang Mekkah untuk menghancurkan
Ka’bah. Namun pasukan Abraham mengalami kehancuran.
Peristiwa itu kira-kira terjadi pada tahun 570 M. Nabi
Muhammad di percayakan oleh Halimah dari suku BanuSa’ad
untuk diasuh dan di besarkan. Asuhan Halimah hingga sampai
nabi berusia 6 tahun.
Pada usia 6 tahun, Nabi Muhammad telah kehilangan
kedua orang tuanya. Setelah Aminah ibu Nabi meninggal, Abdul
Muthalib kakek Nabi mengambil tanggung jawab merawat Nabi.
Namun dua tahun kemudia Abdul Muthalib meninggal dunia
karena rentan. Tanggung jawab selanjutnya beralih kepada
paman Nabi, Abu Thalib. Sang paman sangat di segani dan di
hormati di kalangan oarngquraisy dan penduduk Mekah secara
keseluruhan, tetapi dia miskin. Dalam usia mudah, Nabi
Muhammad hidup sebagai pengembala kambing keluarganya
dan kambing penduduk Mekah dan kambing penduduk Mekah.
Melalui kegiatan pengembala ini Nabi menemukan tempat
untuk berpikir dan merenung. Kegiatan ini membuatnya jauh
dari segalah nafsu duniawi, sehingga dia terhindar dari berbagai
macam noda yang dapat merusak namanya. Oleh karena itu
sejak mudah Nabi sudah dijuluki al-amin (Ajid Thohir: 2004, 12).
Bukan hanya di juluki sebagai al-amin nabi juga adalah seorang
yang bijaksana. Peristiwa penting yang memperlihatkan
kebijaksanaan Nabi Muhammad terjadi pada usianya yang ke 35
tahun. Waktu itu bangunan ka’bah rusak berat. Perbaikan
ka’bah di lakukan secara gotong royong. Para penduduk Mekkah
membantu perkerjaan itu dengan suka rela. Tetapi pada saat
terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan
HajarAswad di tempatnya semula, timbul perselisihan. Setiap
suku merasa berhak melakukan tugas terakhir dan terhormat
itu. Perselisihan semakin memuncak namun, akhirnya para
pemimpin quraisy sepakat bahwa orang yang pertama masuk
Ka’bah melalui pintu Shafa akan dijadikan hakim untuk
memutuskan perkara ini, ternyata orang yang pertama masuk
adalah Nabi Muhammad. Ia pun akhirnya di percaya menjadi
hakim. Ia lantas membentangkan kain dan meletakkan hajar
aswad di tengah-tegah, lalu meminta kepada seluruh kepala
suku memegang tepi kain dan mengangkatnya bersama-sama.
Setelah sampai pada ketinggian tertentu, Nabi Muhammad
kemudian meletakan batu itu pada tempat semula. Dengan
demikian perselisihan dapat di selesaikan dengan bijaksana dan
semua kepala suku merasa puas dengan cara penyelesaian
seperti itu. (Dedi Supriyadi: 2008, 59-60)
Pada usia baru beranjak 12 tahun Nabi Muhammad
melakukan perjalanan (usaha) untuk pertama kali dalam
khalifah dagang ke siria (syam). Khafilah itu di pimpin oleh Abu
Thalib. Dalam perjalanan ini di Bushra sebelah Selatan Siria ia
bertemu dengan pendeta Kristen bernama Buhairah. Pendeta
ini melihat tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad sesuai
dengapentunjuk cerita-cerita Kristen. Ketika Nabi Muhammad
berusia 25 tahun, ia berangkat ke Siria membawa barang
dagangan saudagar wanita kaya raya yang telah lama menjanda,
Khadijah. Dalam perdagangan ini, Nabi Muhammad
memperoleh laba yang sangat besar. Khadijah kemudian
melamar Nabi, ketika itu Nabi Muhammad berusia 25 tahun dan
khadijah 40 tahun. Khadijah adalah wanita pertama yang masuk
Islam dan banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyebar
Islam. Perkawinan Nabi dengan khadijah dikaruniai enam orang
anak dua putra dan empat orang putri ialah: Qasim, Abdullah,
Zainab, Ruqayah, Ummu Kulsumdan Fatimah. Dua putranya
meninggal waktu kecil. Nabi Muhammad tidak menikah lagi
sampai Khadijah meninggal ketika Nabi Muhammad berusia 50
tahun. (Badri Yatim: 18)

C. Masa Kepemimpinan Sahabat


Fanatisme bangsa quraisy terhadap agama nenek moyang
telah membuat Islam sulit berkembang di Mekkah walaupun
Nabi Muhammad sendiri berasal dari suku yang sama. Secara
umum pada periode Mekkah, kebijakan dakwah yang dilakukan
Nabi Muhammad dengan menonjolkan kepemimpinannya
bukan kenabiannya. Implikasinya, dakwah dengan stategi politik
yang memunculkan aspek-aspek keteladanannya dalam
menyelesaikan berbagai persoalan sosial lebih tepat di
bandingkan oleh aspek kenabiannya dengan melaksanakan
tabligh. (Ajid Thohir: 12-13) Pada lain pihak situasi Madinah
sangat menggembirakan madinah adalah sebuah oasis
pertanian. Sebagaimana Mekkah, Madinah juga dihuni oleh
beberapa clan dan tidak oleh sebuah kesukuaan yang tunggal,
Madinah adalah perkampungan yang diributkan oleh
permusuhan yang sangat sengit dan anarkis antara kelompok
kesukuaan terpandang –suku aws dan khazraj. Permusuhan
yang berkepanjangan mengancam rakyat kecil dan mendukung
timbulnya permasalahan eksistensi.
Berbeda dengan masyarakat badui warga Madinah telah
hidup saling bertentangga dan tidak berpindah dari tempat satu
ke tempat yang lain. Madinah juga senangtiasa mengalami
perubahan social yang meninggalkan bentuk kemasyarakatan
absolut model badui. Kehidupan sosial Madinah secara
berangsur diwarnai unsur kedekatan ruang daripada kedekatan
kekerabatan. Madinah juga memiliki sejumlah warga yahudi
yang mana sebagian besar penduduknya lebih simpatik
terhadap monoteisme. (Ira. M. Lapidus: 1999, 38) Penduduk
Yatsrib (Madinah) sebelum Islam terdiri dari dua suku bangsa
yaitu Arab dan yahudi yang keduanya ini saling bermusuhan.
Karena kegiatan dagang di Yatsrib dikuasai atau berada di
bawah kekuasaan yahudi. Waktu permusuhan dan kebencian
antara kaum yahudi dan Arab semakin tajam, kaum yahudi
melakukan siasat memecah belah dengan melakukan intrik dan
menyebarkan permusuhan dan kebencian diantara suku Aus
dan Khazraj. Siasat ini berhasil dengan baik, dan mereka
merebut kembali posisi kuat terutama dibidang ekonomi.
Bahkan siasat yahudi itu mendorong suku khazraj bersekutu
dengan bani qainuqah, sedangkan suku aus bersekutu dengan
bani quraizah dan bani nadir. Klimaks dari permusuhan dua suku
tersebut adalah perang Bu’as pada tahun 618 M seusai perang
baik kaum aus maupun khazraj menyadari, akibat dari
permusuhan mereka, sehingga mereka berdamai. Setelah kedua
suku berdamai dan suku khazraj pergi ke Makkah, dan setelah di
Makkah Nabi Muhammad menemui rombongan mereka pada
sebuah kemah. Beliau memperkenalkan islam dan mengajak
mereka agar bertauhid kepada Allah Swt karena sebelumnya
mereka telah mendengar ajaran taurat dari kaum yahudi dan
mereka tidak merasa asing lagi dengan ajaran Nabi maka
mereka menyatakan masuk islam dan berjanji akan mengajak
penduduk Yastrib masuk islam. Setibanya di Yatsrib meraka
bercerita kepada penduduk tentang Nabi Muhammad dan
agama yang dibawanya serta mengajak mereka masuk islam.
Sejak itu nama Nabi dan Islam menjadi bahan pembicaraan
masyarakat Arab di Yatsrib. Setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj,
ada suatu perkembangan besar bagi kemajuan dakwah islam.
Perkembangan datang dari sejumlah penduduk Yatsrib
(Madinah) yang berhaji ke Mekkah. Mereka yang terdiri dari
suku ‘Aus dan Khajraj. Gejala-gejala kemenangan di Yatsrib
(Madinah) telah di depan mata Nabi menyuruh para sahabatnya
untuk berpindah ke sana. Dalam waktu dua bulan hampir semua
kaum muslimin kurang lebih 150 orang, telah meninggalkan kota
makkah untuk mencari perlindungan kepada kaum muslimin
yang baru masuk di Yatsrib. (Ira. M. Lapidus: 1999, 38) Kaum
Quraisy sangat terperanjat sekali setelah mereka mengetahui
bahwa Nabi mengadakan perjanjian dengan kaum Yatsrib
sehingga mereka khawatir kalau-kalau Muhammad dapat
bergabung dengan pengikut-pengikutnya di Madinah dan dapat
membuat markas yang kuat di sana. Kalau demikian terjadi,
maka soalnya bukan hanya mengenai soal agama semata-mata,
juga menyinggung soal ekonomi yang mengakibatkan
kehancuran perniagaan dan kerobohan rumah tangga mereka
karena kota Yatsrib terletak pada lin perniagaan mereka antara
Mekah dengan Syam. Pada Fase Madinah ada beberapa bidang
yang dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi membentuk
Negara Islam, yaitu pembentukan sistem sosial kemasyarakatan,
militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan
Negara. Pada fase ini Islam menjadi agama yang sangat
berkembang dengan visi dan misi yang satu yaitu menjadi
negara Islamiah dengan pedoman Al-qur’an dan Sunnah Nabi,
dan Nabi yang memperkenalkan pertama kali konsep Negara
Demokrasi yang sekarang banyak di anut oleh negara-negara
modern Islam maupun non Islam.

D. Masa Kejayaan Islam


Sejarah perjuangan umat islam dalam pentas peradaban
dunia berlangsung sangat lama, lebih kurang sekitar 13 Abad,
yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah di Madinah dan
dilanjutkan oleh Daulah Khulafaur Rasyidin (632-661 M) sampai
tumbangnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tanggal 28 Rajab
pada tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret
1924 M. Pada masa–masa kejayaan dan puncak keemasan,
banyak terlahir Ilmuwan berkaliber Internasional yang
menorehkan karya–karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat
manusia. Era tersebut terjadi selama kurang lebih 700 tahun,
dimulai dari abad 6 M – abad 12 M. Pada saat itu kendali
peradaban dunia berada di tangan umat Islam. Saat berjayanya
peradaban umat islam, semangat pencarian ilmu sangat kental
dalam kehidupan sehari–hari. Semangat pencarian ilmu yang
berkembang menjadi tradisi intelektual secara historis dimulai
dari pemahaman terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Rasulullah yang kemudian dipahami, ditafsirkan, dan
dikembangkan para sahabat, Tabiin dan Tabi’ Tabiin, dan para
ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah
Nabi Muhammad.
Pada bidang lainnya, pembangunan yang dilakukan
Muawiyah diantaranya mendirikan Dinas Pos dan tempat–
tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya. Dia berusaha menertibkan angkatan
bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan
khusus seorang hakim mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri. Pada lapangan perdagangan yakni pada saat
peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan sejak
permulaan Daulah Umayyah, dimana pesisir Lautan Hindia
sampai ke Lembah Sind, sehingga terjalin kesatuan wilayah yang
luas dari Timur sampai Barat yang berimplikasi terhadap
lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara Cina dengan
dunia belahan Barat Pegunungan Thian Shan melalui Jalan
Sutera (Silk Road), yang kemudian terbuka pula jalur
perdagangan melalui Teluk Persia dan Teluk Aden yang
menghubungkannya dengan kota – kota dagang di sepanjang
pesisir Benua Eropa, menyebabkan.

E. Masa Keruntuhan Islam


Salah satu dampak kehancuran Dinasti Abbasiyah terhadap
dunia Islam kontemporer dari aspek politik, yakni Umat Islam
menjadi terkotak-kotak. Pada saat Dinasti Abbasiyah berjaya,
Timur Tengah diindentikkan dengan Dinasti Abbasiyah. Tetapi
setelah hancurnya dinasti tersebut, Timur Tengah terbagi
menjadi beberapa bagian. Pada bagian timur, meliputi
Transoxania, Iran dan Irak. Sedangkan bagian barat, meliputi
Syiria dan Mesir (Lapidus, 2000: 210). Dengan demikian, bahwa
hancurnya Dinasti Abbasiyah berdampak bagi umat Islam secara
politik, tidak ada lagi kekuatan super power dalam negara-
negara Islam. Selain itu, terkotak-kotaknya umat Islam terlihat
pada perpecahan yang terjadi antara Arab Sunni dan Arab
Syi’ah. Terjadinya konflik antara dua golongan ini berawal dari
masalah politik. Kaum Sunni berhasil memenangkan calon-
calon pemimpin mereka dan terpilih sebagai khalifah
(pemimpin), sedangkan kaum Syi’ah jarang memenangkan calon
pemimpin mereka sebagai khalifah (pemimpin). Karena kaum
Syi’ah jarang memegang kekuasaan politik, maka sistem
keimaman mereka pun telah menjadi bagian dari gerakan politik
yang secara tidak langsung memperotes Sunni. Konflik antara
dua golongan yang telah dijelaskan di atas terjadi pada salah
satu negara Islam yang bernama Irak. Berdasarkan persentase
jumlah penduduk, Arab Syi’ah lebih banyak dibandingkan Arab
Sunni. Kaum Syi’ah mencakup sekitar 55-60% dari jumlah
penduduknya (Tohir, 2009: 175). Konflik yang terjadi antara
Arab Sunni dan Arab Syi’ah terus menimbulkan polemik hingga
sekarang, yang tidak hanya konflik gerakan politik tetapi terus
berlanjut menjadi konflik gerakan keagamaan etnik. Pada bulan
April 2013 terjadi bentrok antara Sunni dan Syiah di Hawija, Irak
Utara yang menewaskan 50 orang dari kelompok Sunni (Enayat,
1982: 27-28). Selain di negara Irak, konflik antara Syiah dan
Sunni juga terjadi di negara Palestina. Di negara ini, konflik
antara Syiah dan Sunni terjadi pada bulan Januari dan Februari
2013. Pada saat itu, terjadi serangan bom di provinsi Quetta
yang dilancarkan oleh kaum Sunni, yang membunuh 180 orang.
Penjelasan di atas memberikan kesimpulan bahwa konflik yang
terjadi antara Syiah dan Sunni membuat Umat Islam menjadi
terkotak-kotak. Hal ini yang menjadikan umat Islam mundur
dalam bidang politik. Selain itu, kemunduran aspek politik pada
masa Dinasti Abbasiyah yakni, banyaknya bermunculan
dinatidinasti kecil yang penulis telah jelaskan sebelumnya,
bagian faktor internal yang menyebabkan kemunduran Dinasti
Abbasiyah. Karena bermunculan dinastidinasti kecil membuat
Dinasti Abbasiyah tidak lagi berfungsi sebagai kerajaan politik
yang berpengaruh terhadap negara lain. Hal inilah yang
membuat disentegrasi dibidang politik pada negara-negara
setelah Dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran.
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah berdampak pada sistem
kekhalifahan, yang berdasarkan syariat Islam, kemudian
berubah berdasarkan ideologi. Sebenarnya, pada masa Dinasti
Abbasiyah periode kedua, khalifah hanya sebagai simbol
pemimpin agama, sedangkan penggerak pemerintahan
dipegang oleh kesultanan. Dengan berakhirnya sistem
kekhalifahan pada Dinasti Abbasiyah, berdampak pada sistem
pemerintahan negara-negara Islam setelahnya. Sistem
pemerintahan negaranegara Islam tidak lagi dipimpin khalifah,
tetapi dipimpin oleh seorang presiden. Pemerintahannya yang
semula berbentuk kerajaan berubah menjadi pemerintahan
parlementer. Misalnya, negara Mesir yang sistem
pemerintahnya republik dan kepala negara adalah presiden
(Kedutaan Besar Repoblik Indonesia Cairo, 2014: 10).
Sistem yang sama diterapkan negara Iran, pemerintahan
berbentuk republik dan presiden sebagai kepala negara
(Marjane Satrapi, 2005: 3). Negara Turki dan Pakistan juga
bentuk pemerintahannya republik dan kepala negara presiden
(Enayat, 1982: 215). Perubahan sistem kekhalifahan yang
mulanya berdasarkan syariat Islam kemudian berubah dengan
menjadikan ideologi sebagai dasar negara, mempengaruhi
bentuk pemerintahan pada negara-negara Islam. Sebelum lebih
lanjut dijelaskan tentang perubahan sistem pemerintahan
tersebut, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian ideologi
serta fungsinya terhadap suatu pemerintahan. Ideologi adalah
sebuah istilah yang lahir pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796
M yang dikemukakan oleh filsuf Perancis bernama Destutt de
Tracy, dan kemudian dipakai Napoleon (Sarbini, 2005: 1). Istilah
ideologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua kata ideos
yang berarti gagasan, dan logos yang artinya ilmu. Dengan
demikian, ideologi adalah sebuah ilmu tentang gagasan. Ideologi
berarti pengetahuan tentang ide-ide (Setiardja, 1993: 17).
Adapun gagasan yang dimaksud adalah gagasan tentang
masa depan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ideologi adalah
sebuah ilmu tentang masa depan. Sedangkan ideologi dalam
bahasa Arab, merupakan istilah yang dapat diterjemahkan
sebagai Mabda’. Secara etimologis mabda’ adalah mashdar
mimi dari kata bada’a (memulai), yabda’u (sedang memulai),
bad’an (permulaan), dan mabda’an (titik permulaan). Secara
terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun di atas
pemikiran-pemikiran (Ahmad ‘Athiyat, 2004: 84). Definisi
ideologi yang telah dijelaskan di atas bersifat umum, dalam arti
dapat dipakai dan berlaku untuk ideologiideologi dunia seperti
Kapitalisme dan Sosialisme. Dan tentu, dapat berlaku juga untuk
Islam. Sebab Islam mempunyai sebuah aqidah akliyah, yaitu
Aqidah Islamiyah, dan mempunyai peraturan hidup yang
sempurna, yaitu Syariat Islam.
Meskipun suatu ideologi telah memiliki solusi masalah
kehidupan yang fundamental dan mempunyai cara
memecahkan berbagai permasalahan kehidupan manusia,
namun itu bukanlah jaminan bahwa ideologi tersebut
merupakan ideologi yang benar, yang mempunyai kemampuan
untuk membawa kebaikan bagi manusia. Ideologi yang benar
adalah ideologi yang muncul di dalam pemikiran manusia
melalui wahyu Allah. Manusia selalu memiliki pandangan yang
berbeda terhadap suatu masalah seperti masalah hukum dan
kebijakan publik. Sampai muncul pertentangan yang
menyebabkan pandangan mayoritas atau mungkin hanya
pandangan orang-orang yang memiliki kekuatan (kekuasan atau
harta) di atas orang lainnya yang akan diterapkan atau
dipaksakan. Ideologi mempunyai fungsi penting, yaitu
menanamkan keyakinan atau kebenaran perjuangan kelompok
atau kesatuan yang berpegang teguh pada ideologi tersebut.
Sehingga, ideologi menjadi sumber inspirasi dan sumber cita-
cita hidup bagi para warganya, khususnya warga yang masih
muda. Ideologi berupa pedoman artinya menjadi pola dan
norma hidup. Tetapi sekaligus menjadi ideal atau cita-cita.
Realisasi dari ide-ide dipandang sebagai kebesaran,
kemuliaan manusia. Dengan melaksanakan ideologi, manusia
tidak hanya sekedar ingin melakukan yang disadari sebagai
kewajiban. Dengan ideologi manusia mengejar keluhuran.
Manusia sanggup mengorbankan harta benda, bahkan hidupnya
demi ideologi. Karena ideologi menjadi pola, norma hidup dan
dikejar pelaksanaannya sebagai cita-cita. Maka tidak
mengherankan lagi jika ideologi menjadi pedoman hidup
(Setiardja, 1993: 21). Ada tiga ideologi yang diterapkan oleh
negara-negara di dunia, yaitu Kapitalisme, Sosialisme dan Islam.
Dua ideologi pertama, masing-masing diemban oleh satu atau
beberapa negara. Sedangkan ideologi yang ketiga yaitu Islam,
tidak diemban satu negara. Islam hanya diemban oleh individu
dan gerakan Islam. Sumber konsepsi ideologi kapitalisme dan
sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam
berasal dari wahyu Allah Swt. (Taqiyuddin An Nabhani, 2003:
39).

F. Akhlak Ummar Islam Masa Kini


Akhlak umat Islam masa kini, kalau tak malu menyebutnya,
“Masya Allah”, karena begitu mudah mendapatkan wajah-wajah
perilaku buruk, potret kebiadaban, muka-muka koruptor kelas
kakap, rona kedzaliman pemimpin Muslim, asa perilaku aborsi
dan pergaulan bebas, basa-basi budaya caci maki, sindiran
pedas menyakiti hati, pura-pura wibawa padahal pemasok
narkoba, pseudo keshalehan, moral hazard pelaku ekonomi dan
seterusnya.

Keadaan moral atau akhlak di kalangan muslim sudah begitu


memprihatinkan, akhlak tidak lagi menjadi panglima dalam
kehidupan sehari-hari bahkan akhlak hanya jadi lisptik, dekorasi,
asesoris, sintron, sandiwara, parodi bahkan guyonan yang
penuh dengan ironi, pelecehan dan ocehan.
Terdapat beberapa data yang menggambarkan
kecenderungan buruknya akhlak, bejatnya moral dan rusaknya
etika di kalangan umat Islam (khusunya di Indonesia), dalam
beberapa decade akhir-akhir ini, seperti:
1. Seks bebas remaja, angka yang fantastis bahwa 44% wanita
yang diteliti di 4 kota di Indonesia sudah melakukan
hubungan seks, bahkan hubungan seks dilakukan sejak usia
13 tahun mencapai 16 %.
2.
BAB 12
PENERAPAN AKHLAK PROFESI

Akhlak diyakini bagaikan darah dalam tubuh manusia. Ia


ada dimana-mana, mengaliri seluruh tubuh dan memberikan
nutrisi untuk memicu energi bagi kehidupan. Akhlak dalam
konteks pembahasan ini adalah sebuah prinsif yang muncul dari
suatu bidang kehidupan, baik mencakup filosofi, subtansi,
esensi, konsep, teori, metodologi dan intrumentasi yang
berkesesuaian antara spirit, ruh, value, norma, zeestgeits
(semangat zaman) Islam dengan karakter bidang kehidupan itu
sendiri.
Jujur, kajian dalam bab ini bukan menekankan pada akhlak
orangnya dalam bidang keilmuan tetapi lebih menekankan pada
kajian akhlak bidang kajian sehingga memiki nilai tambah atau
“pangajian” atau pengaosan (bernilai tinggi). Misalnya apakah
ilmu bekerja untuk ilmu atau ilmu bekerja untuk seni atau ilmu
bekerja untuk kemanusiaan atau ilmu bekerja untuk
keberakhlakan manusia. Lebih sederhananya Bab ini mengkaji
bidang keilmuan dari perspektif akhlak, baik secara teoretik
maupun praktek, terutama mengkaji aspek fungsi yang
dijalankan dari bidang ilmu, bidang kehidupan. Tidak semua
bidang keilmuan atau bidang kehidupan dibahas melainkan
hanya sebagian kecil untuk menginspirasi pembaca.

A. Akhlak Politik
Islam sebagai agama yang universal, global, total,
komprehensif dan integral dalam memandang dan menyatukan
seluruh unsur dan segenap dimensi kehidupan (rahmatan lil
alamiin), sudah barang tentu dan pasti mencakup segala
kehidupan umat manusia, dari hal yang bersifat ibadah personal
sampai ketatanan sosial, pengaturan pemerintahan, daulah
kekuasaan, perdagangan, pertanian, kesehatan, kedokteran,
pendidikan, keuangan, maritim dan seterusnya. Pokoknya
seluruh dimensi kehidupan, titik. Bila ada yang memisahkan
politik dengan Islam, itu artinya pura-pura gak paham atau rupa-
rupa ketakutan sama Islam atau warna-warni phobia politik
Islam.
Islam sebagai pandangan hidup (Islam of live) jelas dan
tegas Islam for live (Islam untuk kehidupan) mengatur dan
menata cara umat manusia menjalankan kehidupan yang
seutuhnya dan sepenuhnya. Tidak ada satupun dari sisi dan
dimensi dari kehidupan umat Islam yang tidak diatur dalam
syariat Islam dan akhlak Islam. Bayangkan hanya persoalan
“kencing saja” Islam mengaturnya secara apik, arif dan etis,
“tidak kencing sambil berdiri dan tidak di sembarang tempat”
karena ada hak hidup mahluk lain yang harus diselamatkan,
dihormati dan dijunjung tinggi privasi dan dignity yang sejati.
Apatah lagi yang menata hajat hidup orang banyak, suatu
negeri atau bangsa yaitu politik. Mustahil tidak ada. Politik Islam
Islam intinya adalah politik Ilahiyah dan gerakannya adalah
politik nubuwwah serta strateginya adalah politik insaniyah. Ruh
zamannya adalah politik penegakkan kebenaran, pemimpinnya
adalah politikus yang sholeh/han. Politik Ilahiyah merupakan
titik muara, poros vertikan, garis horizontal dan bentangan
diagonal yang putarannya bagai pendulum, yaitu teo-centris,
berpusat dan bermuara pada Tuhan. Karena itu, siapapun umat
Islam yang menjalankan politik nilainya sama seperti
menjalankan ibadah ritual shalat, zakat, puasa, dan haji yang
merupakan kewajiban individual dan sosial bahkan sosial
komunal, perbedaannya halaha pada rentang tanggung
jawabnya saja. Jelas dan tegas umat Islam seyogianya, harus,
mesti, dan niscaya berpolitik. Jadi berpolitk merupakan bagian
dari utuhnya kepribadian seorang muslim.
Persoalan yang semala ini membuat orang-orang yang tidak
suka pada Islam mereka tidak paham bedanya antara politik
Islam dengan Islam politik. Islam politik itu berpandangan
semua Negara di dunia ini harus Negara Islam sedangkan politik
Islam memandang semua manusia di dunia harus ber-Islam
(sebagai sebuah perjuangan dakwah), karena itu politik Islam
sarat etika, padat norma dan penuh makna, dengan prinsip-
prinsip utama sebagai berikut:
1. Politik Islam adalah gerakan dakwah, yaitu mengajak orang
pada kebaikan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, dan
pencapaian hidup penuh kebermaknaan dan semua agama
juga sama punya misi mengajak pada “kebenarannya masing-
masing”. Jadi tidak ada yang salah pada persoalan ini. Yang
penting jangan sampai, “dia melakukan hal itu pada orang lai,
tapi orang lain melakukan hal yang sama dituding gerakan
radikal. Itu yang anti toleransi.
2. Politik Islam adalah penegakkan kebenaran, maksudnya agar
semua manusia bisa tunduk dan taat pada sistem kebenaran
Ilahiyah sebagai kebenaran tertinggi yang koheren dengan
karakter manusia yang hakiki. Kalau yang diajak tidak mau
tentu tidak masalah, yang salah ketika penegakkan
kebenaran dianggap anti keragaman.
3. Politik Islam adalah rahmatan lil ‘aalamiin, yaitu berikhtiyar
optimal untuk mewujudkan Islam sebagai pembawa dan
pemberi manfaat, berkat dan rahmat bagi seluruh kehidupan
aktif maupun kehidupan pasif serta kehidupan yang dorman
sekalipun.
4. Politik Islam adalah fastabiqul khoiraat, maksudnya bahwa
Islam itu bukan mengejar kekuasaan tetapi berkuasa untuk
menciptakan budaya berlomba-lomba dalam kebenaran
untuk menegakkan yang benar dengan cara yang benar,
untuk yang benar dan oleh yang benar-benar berperilaku
yang benar.
5. Politik Islam adalah egalitarian yakni sebuah pendekatan
yang mengajarkan kesetaraan, pemimpin tidak anti kritik,
karena tidak ada yang maksum dari kesalahan. Apatah lagi
adanya fenomena penguasa itu dhalim, korup, khianat,
serakah maka memberikan nasihat dan kritik menjadi
kewajiban rakyatnya. Kita adalah sama, yang beda hanya
fungsi yang dimandatkannya saja bahkan dalam konsep
hukum rakyat itu mandataris MPR, yang memberikan mandat
berkuasa, preside nada karena rakyat memberikan mandate
lewat pemilu. Ingat rakyat bukan melepaskan tetapi
memandatkan kepada para pemimpin bukan penguasa tetapi
penerima kuasa untuk melindungi segenap bangsa dan
tumpah darah Indonesia agar tidak ada satu orang dan
sejengkan tumpah darah Indonesia yang tumpah kepada
pihak lain.
6. Politik Islam adalah masalah kesejahteraan, politik dalam
Islam hadir untuk menjalankan mandat memakmurkan bumi
dan menjalankan khalifah di bumi dengan sebesar-besarnya
demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bersama, rakyat
seutuhnya dan rakyat seluruhnya dengan cara bersama-
sama. Bersama rakyat kita sejahtera, bersama rakyat bangsa
makmur dan bersama rakyat kita mashur, bukan penguasa
sejahtera meninggalkan rakyatnya sengsara, nestapa, penuh
derita, melarat dan akhirnya sekarat.
Untuk menerapkan akhlak pada politik Islam tidaklah
terlampau sulit, karena sudah ada pigur sentral yang menjadi
rujukan dan referensi serta modeling paling nyata, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Semua umat Islam memandang Nabi
Muhammad sebagai uswah hasanah (QS. al-Ahdzab [33]:21)
yang perjalanan hidupnya selalu menjadi sumber inspirasi moral
bagi kita. Firman Allah dalam (QS. al-Qalam [68]:4), “Dan
sesungguhnya Engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur”.
Oleh karena itu, wajar bila sejak awal Nabi Muhammad SAW
sebenarnya tidak bercita-cita menjadi penguasa. Seandainya
kekuasaan atau kedudukan yang menjadi cita-citanya maka
beliau sudah bisa mendapatkannya semenjak masih di Mekkah.
Tawaran untuk menduduki posisi politik sejak beliau masih
berada di Mekkah ditepisnya.
Ada insiden masyhur yang terjadi di Mekkah. Ketika orang-
orang Quraisy telah muak dengan Islam, menghubungi paman
Abu Thalib untuk memintanya untuk membujuk keponakannya
itu agar tidak mendakwahkan agamanya. Sebagai imbalan,
mereka bersedia menerima Muhammad sebagai raja dan
menghadiahkan seorang wanita yang tercantik di Arabia
kepadanya, serta memberinya emas dan perak yang
dikehendakinya, tetapi Nabi Muhammad SAW menolaknya.
(Qamaruddin Khan, 1987: 15). Menurut al-Ghazali, politik
kenabian merupakan politik pertama yang paling tinggi. Para
nabi dalam politiknya mengurus dan mengendalikan kaumnya
dalam bidang yang terkait urusan individual dan sosial serta
lahir maupun batin. Tingkatan kedua adalah politiknya para
khalifah, para raja dan sultan, mereka mengurus dan
mengendalikan rakyatnya dalam aspek privat maupun publik
tapi terbatas pada aspek lahiriyah saja bukan aspek batiniyah.
Tingkatan ketiga, politiknya para ulama, mereka sebagai pewaris
agama dari para nabi bertugas mengendalikan dan mengurus
masyarakat pada aspek batiniyah atau spiritual saja bukan pada
aspek lahir. Mereka tidak memiliki kekuatan untuk memaksakan
atau untuk mencegah. Keempat politiknya para al-Wuâd, hanya
mengurus aspek batin atau spiritual dari masyarakat umum. (al-
Ghazali, 13)
Dari penjelasan di atas kiranya bisa dikatakan bahwa cita-
cita politik Islam adalah mewujudkan tatanan masyarakat yang
adil, damai, sejahtera dan merdeka. Cita-cita politik Islam bisa
dikatakan tercapai bila masyarakat merasakan adanya keadilan,
kedamaian, kesejahteraan dan terjamin kemerdekaannya. Cita-
cita politik Islam tidak berbeda dengan tujuan diturunankannya
syariat Islam. Diturunkannya syariat Islam adalah untuk
membawa kedamaian dan keadilan atau rahmatan lil alamin.
Diturunkannya syari’at bila dirinci lebih jauh dimaksudkan untuk
mengantarkan umat manusia menuju masyarakat yang dicita-
citakan yakni masyarakat yang di dalamnya ada jaminan
kebebasan beragama (hifdzu al-din), kebebasan berpikir (hifdzu
al-aqli), adanya perlindungan terhadap hak milik (hifdzu al-mal),
adanya perlindungan terhadap jiwa manusia (hifdzu al-nafs),
dan adanya perlindungan terhadap kelangsungan kehidupan
umat manusia (hifdzu al-nasl).
Cita-cita ini sering disebut oleh para ulama sebagai
maqashid syari’ah atau tujuan syari’at Islam. Itulah sebabnya
menurut Husain Haikal cita-cita politik Islam sebenanya hanya
didasarkan pada satu prinsip yakni keyakinan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Dari prinsip dasar ini, lahir tiga prinsip yakni
prinsip persamaan antar umat manusia, prinsip persaudaraan
dan prinsip kemerdekaan. Kalau prinsip-prinsip ini bisa
diwujudkan dalam khidupan bermasyarakat dan berbangsa
maka cita-cita politik Islam sebenarnya sudah tercapai. Itulah
sebabnya cita-cita politik Islam sebenarnya tidak identik dengan
berkuasanya orang Islam. Cita–cita politik Islam bisa
diperjuangkan bersama-sama antar umat Islam dengan umat-
umat lain. Cita-cita politik Islam tidak identik dengan berdirinya
negara yang secara formal menjadikan Islam sebagai agama
negara. Cita-cita politik Islam semakin mendekati kenyataan
apabila umat Islam mampu menangkap spirit untuk
menegakkan keadilan dan kesetaraan yang dicontohkan Nabi
Muhammad dan dilanjutkan oleh khulafa al-rasyidin. Namun
tentu saja yang ideal, seperti kepemimpinan Rasulullah di
Madinah, kepala Negara dan nabi sekaligus.
B. Akhlak Ekonomi
Teladan agung dalam bidang ekonomi dan perdagangan
adalah Rasulullah Muhammda SAW. Ia merupakan pribadi yang
dikagumi karena kejujurannya. Semua partner bisnis mengakui
akan kejujuran Muhammad yang tidak ada taranya. Tidak ada
baberapa bandingan dan sandingannya. Beliau benar-benar
sempurna dalam mewujudkan praktek ekonomi Islam. Akhlak
ekonomi Islam menganut beberapa prinsip utama sebagai
berikut:
1. Ekonomi Ilahiyah, yakni sebuah kesadaran mendasar bahwa
rezeki itu berasal dari Allah dan Allah juga yang
mendistribuskannya kepada siapapun yang dikendakinya.
Firman Allah dalam (QS. an-Najm [53]:48), artinya, “ Dan
sesungguhnya Dia-lah yang memberikan kekayaan dan
kecukupan”. Manusia sebenarnya hanyalah berikhiyar untuk
menjemput taburan rezeki yang diberikan Allah kepada
seluruh mahluknya. Karena itu syarat utama ekonomi Islam
adalah melakukan perniagaan dengan Allah dan seluruh
pelaku usahanya adalah karyawan Allah atau business
partner of Allah. Firman Allah (QS. al-Jumuah [62]:10)
artinya, “Apabila shalat telah dilaksanakan maka
betebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.
2. Ekonomi Anti riba, yaitu sebuah aktivitas ekonomi yang tidak
mentolelir berjalannya riba apapun alasannya. Riba
merupakan musuh besar ekonomi Islam yang menyebabkan
ekonomi porak poranda. Firman Allah dalam (QS. al-Baqarah
[2]:275-276) artinya, “ Orang-orang yang memakan riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kerasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena
mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…”. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sadakah…”. Oleh karena itu, riba mempunyai dosa yang
sangat besar, Rasululah bersabda, artinya, “ Riba itu ada
tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti
seseorang menzinahi ibu kandungnya sendiri”, (HR. Ibnu
Majah no.2274).
3. Ekonomi Anti Haram, jual beli dalam Islam haram hukumnya
menjualbelikan: (1) objeknya terlarang (zat dan sifatnya)
seperti: khomar, nafza, bangkai, babi, berhala, senjata
(untuk membunuh), termasuk yang barang kotor, najis,
lemak bangkai atau jasa yang mengandung unsur penipuan
atau manipulasi, (2) jual beli dengan riba (menipu,
manifulasi, perskongkolan, menimbun), (3) jual beli Tadlis
(menutupi kuantitas, kualitas, haga, waktu), (4) jual beli
maisir (kupon togel/judi, hasil ramalan, n spekulasi, terkaat
dll), (5) jual beli berkaitan dengan hukum syara (transaksi
saat waktu wajib jumatan, jual beli kejahatan, dan transaksi
talaqi rukban (menghadang pembeli agar tiak tahu harga
sekarang).
4. Ekonomi Anti Keserakahan, Islam benar-benar membenci,
memusihi dan menghinakan orang-orang yang serakah
terhadap kekayaan. Mereka menghalakan segala cara untuk
memperoleh kekyaan. Dan nasib akhir neraka. Beberap ayat
menunukkan sifat dasar menusia terhadap harta yang
berlebihan. (1) Qs. al-Maarij *70+:18) artinya “… serta
mengumpulkan (harta benda) dan menyimpannya
(menimbunnya)”. (2) QS al-Maarij *70+:21 artinya, “…Dan
apabila ia mendapatkan kebaikan (harta) ia amat kikir”. (3)
QS. al-Muddatsir *74+:15), artinya, “kemudian dia ingin sekali
Aku menambahnya, (4) QS. al-Fajr *89+: 20, artinya “dan
kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan, (5) QS. at-Takatsur *102+:1, artinya, “bermegah-
megahan telah melalaikan kamu”.
5. Ekonomi Anti Kikir, Islam agama kesejahteraan bersama. Tak
ada larangan kaya dalam Islam tetapi dilarang kikir. Islam
menyariatkan pendistribusian hasil kekayaan kepada orang
lain melalui saluran Zakat, sodaqah, infak, it’am, jizyah,
qurban, aqiqah, dam, fidyah dll. Perhatikan firman Allah
dalam (QS. Ali Imran *3+:180), artinya. “Dan janganlah sekali-
kali orang-orang kikir denga apa yang diberikan Allah
kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa kikir itu
baik bagi mereka. Apa (harta0 yang mereka kikirkan itu
akan dikalungkan (dilehernya) pada hari kiamat. Milik Allah-
lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha
Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. Terapi kikir
pertama yang wajib adalah zakat, ada lebihnya shadaqah,
lebih afdhol lagi ada infak dan seterusnya. Yang perlu diingat
setiap hartamu ada bagian orang lain di dalamnya.
6. Ekonomi Neraca, Islam benar-benar melarang berlaku
khianat dengan cara mengurangi timbangan atau takaran
dalam jual beli. Firman Allah (QS. asy-Syuara [26]:181)
artinya, “ Sempurnakan takaran dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang merugikan”. Kemudian friman
Allah dalam (QS. Hud [11]: 85) artinya,”Dan Syu’aib berkata,
“Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-
hak mereka dn janganlah kamu membuat kejahatan di muka
bumi dengan membuat kerusakan”.
7. Ekonomi Berbasis Fakta, saling percaya dan saling bisa
dipercaya hukumnya wajib bagi setiap orang. Tetapi prinsif
saling percaya tidak mengugurkan kewajiban untuk
bertransaksi dengan cara tertulis. Firman Allah (QS. al-
Baqarah [2]: 282) artinya, “Hai orang-orang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah seorang penulis diantara
menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya. Maka
hendaklah ia menulis an hendaklah orang yang berutang itu
mendiktekannya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari
hutangnya”.
8. Ekonomi Keberkahan, Islam mengajarkan keyakinan tentang
rezeki bukanlah tentang jumlah atau kuantitasnya semata,
tetapi jumlah itu haruslah diserta dengan niat yang tulus,
tujuan yang benar, cara memperolehnya yang tepat agar
penuh keberkahan. Perhatikan firman Allah 9QS. al-Baqarah
*2+:272, artinya, “… Dan apapun harta yang kamu infakkan,
niscaya kamu akan diberi (pahala) secara penuh dan kamu
tidak akan dizalimi (dirugikan)”. Falsafah Sunda menjelaskan
sebagian dari pengertian berkah, “saeutik mahi loba nyesa”,
sedkit saja cukup apalagi banyak pasti bisa menabung”.
Berkah itu manfaat yang banyak dan abadi.
9. Ekonomi Anti Penipuan, Islam membensi dan memusuhi
penipuan dengan dalil dan alasan apapun, jumlah banyak
atau sedikit sama-sama dilarang dalam Islam. Firman Allah,
(QS. an-Nisa [4]:29), artinya, ”Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan jalan
batil…. Dan sabda Rasulullah, “Kenapa engkau tidak
meletakknya di atas, agar bisa dilihat oleh pembeli?
Barangsiapa yang menipu, ia bukan termasuk golonganku”,
HR. Muslim dan Turmuzi.
10. Ekonomi Anti Korupsi, korupsi dalam Islam dipandang
sebagai akhlak tercela yang luar biasa, ia perbuatan munkar
yang harus diberantas sampai keakar-akarnya, yaitu budaya,
system birokrasi yang gagal, penyakit akut penguasa dan
seterusnya. Perhatikan firman Allah (QS. al-Baqarah [2]:188),
artinya, “Janganlah kalian mendapatkan harta (yang
bersumber dari) sekitar kalian dengan cara yang batil dan
kalian perkarakan harta (yang batil itu) kepada para hakim
sehingga kalian dapat menikmati sebagian harta orang lain
dengan cara kotor, sementara kalian mengetahui (hal itu)”.
Dalam Islam kegiatan berdagang itu haruslah mengikuti
kaidah-kaidah dan ketentuan yang ditetapkan Allah. Aktivitas
perdangangan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
digariskan agama adalah ibadah. Usaha perdagangan yang di
dalamnya terkandung tujuan tata nilai samawi merupakan
pembeda dengan pola perdagangan lainnya yang tidak Islami.
Watak ini menjadi karakteristik dasar perdagangan yang
dilakukan atas dasar prinsip kejujuran dan ketundukan pada
sistem nilai yang bersumber pada agama Islam. Nabi
Muhammad SAW telah menetapkan dasar moral, manajemen
dan etos kerja mendahului zaman dalam melakukan perniagaan
atau perdagangan. Dasar-dasar etika dan manajemen bisnis
tersebut telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau
diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip bisnis yang semakin
mendapat pembenaran akadamisi dipenghujung awal abad ke-
21. Prinsip bisnis modren seperti tujuan pelanggan, pelayanan
unggul, kompetensi, efisiensi, transparansi dan persaingan yang
sehat, semuanya telah menjadi gambaran pribadi dan etika
bisnis prinsip nabi Muhammad Saw ketika ia muda. (Ali Yafie,
2003: 11-12)
Ada beberapa prinsip eknomi Islam yang melakat pada
model Rasulullah SAW, yakni: pertama shiddiq, benar dan jujur.
Jika seseorang pebisnis, seyogianya senantiasa berperilaku
benar dan jujur. Indahnya jika menjalankan bisnis dengan sifat
shiddiq maka kotoran, kezaliman, kemunafikan, penipuan dan
keserakahan akan lenyap dengan menghidupkan sifat shiddiq
dibenak pelaku bisnis. (Muhammad Syakir Sula, 2006: 123)
Kedua, amanah, berarti tidak mengurangi apapun yang
tidak boleh dikurangi dan sebaliknya tidak boleh ditambahkan,
termasuk juga tidak menambah harga jual yang telah ditentukan
kecuali atas pengetahuan pemilik barang. Maka seorang yang
diberi Amanah harus benar-benar menjaga dan memegang
amanah tersebut. Sikap amanah harus dimiliki oleh seorang
pebisnis muslim. Sikap itu bisa dimiliki jika dia selalu menyadari
bahwa apapun aktivitas yang dilakukan termasuk pada saat ia
bekerja selalu meraskan diketahui Allah SWT. Ketiga fathanah,
berarti cakap atau cerdas, juga diartikan sebagai intelektual,
kecerdikan atau kebijaksanaan. Pemimpin perusahaan yang
fathanah artinya pemimpin yang memahami, mengerti dan
menghayati secara mendalam segala hal yang menjadi tugas
dan kewajibannya. Potensi yang paling berharga dan termahal
yang hanya diberikan kepada manusia adalah akal saat ini kita
dapat berkomunikasi dan melakukan transaksi bisnis kemanca
negara hanya melalui perangkat komputer didalam kamar tidur.
Keempat tabligh, berarti komunikatif dan argumentatif. Orang
tabligh akan menyampaikan dengan benar dan tutur kata yang
tepat. Jika seorang pebisnis, ia harus menjadi seorang yang
mampu mengkomunikasikan visi dan misi dengan benar kepada
pelanggan dan lainnya.

C. Akhlak Pertanian
Bertani merupakan peradaban yang tertua dalam kehidupan
umat manusia. Hal ini bisa dimengerti karena manusia atau
kehidupan yang lainnya, memiliki kebergantungan pada alam
sebagai rumah kehidupan. Manusia dalam menjalankan
kehidupan sepenuhnya sumber energinya berasal dari alam ini.
Semua makanan yang kita konsumsi kalau ditarik mundur
sampai ke awal proses, dipastikan berasal dan berawal dari
tanah. Karena itu wajarlah kalau manusia untuk menjaga
keberlangsungan hidupnya dengan cara bertani. Demikianlah
siklus hukum alam (sunatullah) yang Allah tetapkan bagi
manusia. Awal penciptaan manusia dari tanah, hidup
berlangsung dengan tanah dan matipun dikembalikan ke tanah.
Apa yang dimaksud dengan pertanian? Pertanian adalah
kegiatan pemanfaat sumber daya hayati yang dilakukan manusia
untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri,
sumber energi serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
Pertanian dalam prakteknya mencakup juga bidang peternakan,
perikanan dan kehutanan. Karena pertanian merupakan
aktivitas yang begitu banyak dampaknya terhadap kehidupan
maka perlu memerhatikan prinsif-prinsif dasar, etika, norma dan
akhlak yang berhubungan dengan aktivitas pertanian secara
keseluruhan, antara lain:
1. Akhlak Vertikal, vertikal sekurang-kurangnya bekerja dalam
konsteks spiritual, yaitu ketika menjalankan kegiatan
pertanian terkoneksi dengan Allah yang Maha Kuasa tentang:
(1) Akhlak Tasyakkur, tanah yang subur menumbuhkan
tanaman yang baik dan tanah yang gersang tanamannyapun
merana, dengan seizin Allah bagi orang yang bersyukur (QS.
al-Araf [7]: 58). (2) Akhlak Tadzakkur, Allah bertanya kepada
manusia, ketika kamu menyemai bibit tanaman, siapa yang
menghidupkannya kamu atau Aku? Allah berfirman dalam
(QS. al-Waqiah [56]:63-65), artinya, “ Pernahkah kamu
perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang
menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya?”
Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai
lumat, maka kamu akan heran tercengang”. (3) Kemudian,
akhlak Tadabbur, ketika para petani bersumpah bahwa akan
memetik hasilnya dipagi hari dan tidak mengucapkan “Insya
Allah”, namun ternyata kebunnya itu ditimpa malapetaka
yang datang dari Tuhamu, ketika mereka sedang tidur
diwaktu malam dan tanamannya mati menghitam (QS. al-
Qalam [68]:18-20) (4) akhlak Tafakkur, tidak bersyukur ketika
akan memasuki kebun dan melihat tanaman begitu bagus
atas berkah Allah, maka mengapa tidak mengucapkan
“Masya Allah, La Quwwata illa Billah”, (sungguh, atas
kehendak Allah, semua ini terwujud) (QS. al-Kagfi [18]: 39).
Ada sebuah kesadaran yang dahsyat pengalaman memahami
mengapa ketika memulai pekerjaan harus diawali dengan
basmalah (dengan nama Alla). Pada tahun 2014/2015 penulis
bertani sayuran namun pada suatu hari tersadarkan ketika
mencangkul begitu banyak cacing mati terbunuh dengan
keganasan yang cangkul tajam. Padahal hukum membunuh
(meski) hanya cacing tetap berdosa, kecuali atas nama Allah
(baca basmalah), karena hanya hak Allah yang bisa
mengakhiri masa hidup sesuatu mahluk. Dengan diawali
membacakan basmalah, diharapkan cacing-cacing yang
terbunuh, kematiannya sesuai syariat Islam dan tidak berdosa
bagi yang mencangkulnya. Perhatikan firman Allah dalam
(QS. al-Maidah *5+:4) “… Katakanlah yang dihalalkan bagimu
(makanan) yang baik-baik dan buruan yang ditanggkap oleh
binatang pemburu yang dilatih untuk berburu menurut yang
telah diajaran Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang
ditangkapnya untukmu dan sebut nama Allah (waktu
melepasnya)…”. Inilah yang dimaksud dengan ke-Agungan
Allah dalam menetapkan hukum yang begitu indah agar
manusia senantiasa tersadarkan, menyadari dan
berkesadaran yang tinggi akan ketaatannya pada Allah.
2. Akhlak Horizontal, pemahaman manusia tentang karakter
alam yang asumsinya sama dengan organ tubuh manusia,
semain penting dan tak bisa dianggap sepele. Alam atau
tanah juga bisa mengalami kelelahan, kejenuhan,
terkontaminasi, hama yang makin adaftif dengan induk
semang tanaman, intervensi non organic yang tidak sesuai
dengan struktur biologis alam dan seterusnya merupakan
bentuk pelanggaran dan pemerkosaan manusia terhadap
keadaan alam yang alami. Manusia yang tidak akan bisa
menjauh dan keluar dari alam ini, seyogianya
memperlakukan dan mengelola alam dengan ‘allami agar
alam tetap alami. Pada keadaan seperti ini sebaiknnya
manusia lebih nyaman bersahabat, berkawan dan
berkehidupan yang sejajar dengan alam, karena alam juga
punya rasa, punya raga, punya jiwa dan punya emosi, punya
kecerdasan instingtif sesuai kadar dan qodarnya masing-
masing. Firman Allah (QS al-An’am *6+:99) artinya, “ Dan kami
telah menghamparkan bumi dan kami pancangkan padanya
gunung-gunung serta Kami tumbuhkn disana segala sesuatu
menurt ukurannya…”). Manusia yang menganggap alam lebih
rendah dan tak berdaya, cenderung merusak dan
mengeksploitasi alam dengan liar. Coba renungkan akan
adakah orang yang membuang sampah, membabat hutan
dengan membabi buta dan mengeksploitasi alam dengan gila,
bila hati, pikiran, rasa dan raganya menggap alam ini satu
kesatuan kehidupan dengan manusia yang saling
menguntungkan. Akhir-akhir ini, alam sering sakit hatinya,
terganggu pikirannya, terkoyak rasanya, tersobek
perjalannnya, terputus pertumbuhannya, teracuni akarnya
dan terbunuh anaknya, makanya alam wajar marah dan pasti
bereaksi, dengan cara alam itu sendiri. Gempa bumi, banjir,
kemarau, pemanasa suhu bumi, wabah penyakit, kekeringan,
cuaca yang ekstrim dan lain-lain adalah sebuah bentuk dari
kemarahan alam, karena manusia tak lagi mampu
memperlakukan alam dengan penuh keramahan.
3. Akhlak Diagonal, pertanian tidak melakukan eksplorasi yang
berlebihan karena bisa merusak kualitas tanah dan
lingkungan secara luas. Menurut Tisdale et.al (1993) terdapat
12 faktor yang bisa mengakibatkan degradasi tanah,
menurunkan produktivitas tanah dan mengurangi
keberlanjutan system produksi pertanian, yakni: (1) erosi
permukaan, (2) pencucian unsur hara, (3) pelindihan hara,
(4) pemiskinan bahan organic hara, (5) drainase buruk, (6)
keracunan senyawa dalam tanah, (7) asidifikasi/pemasaman
tanah, (8) salinisasi, (9) pemampatan tanah, (10) pergeseran
tanah/cekaman kekeringan, (11) cemaran limbah indsutri dan
(12) invasi gulma jahat (Sumarno, 2019 : 33 dalam www.
dosenpertanian.com). Manusia selama ini acapkali
memperlakukan hukum alam dengan hukum keserakan
manusia. Asumsinya, bila kemampuan alam secara alami
sanggup berproduksi dalam takaran A, maka oleh ambisi
manusia ia dipaksa menghasilkan A pangkat, sehingga apa
yang dihasilkan bukan lagi hasil kenerja alam secara alami
tapi menjadi beban alam. Lihat keserkahan manusia, sapi
Pasundan yang kecil dipaksa harus melahirkan anak sami
simental yang berukuran besar bahkan obsesi gilanya inginya
dombapun harus melahirkan anak banteng bahkan kalau bisa
melahirkan emas minimal 1 kg. Oleh karena itu wajar segala
hal harus dilakukan dalam bentuk operasi, amputasi,
kanibalisasi dan kanalisasi karena perilaku manusia tidak lagi
harmoni.
4. Akhlak Naturalistik, semua kehidupan sudah punya system
dan hukum masing-masing yang disebut sunatullah. Hukum
ini bersifat menetap. Tidak ada perubahan dalam hukum
alam yang sudah Allah ciptakan. Karena itu untuk
mengembalikan harmoni kehidupan hanya satu kuncinya
yakni “kembali kea lam”. Kembali ke alam maksudnya
kembali kepada hukum-hukum alam itu bekerja sesuai
dengan kadar, qadar dan qodratnya yang asli dan alami
sehingga sudah pasti amali. Karena alam itu bisa lebih
produktif dibanding karena intervensi manusia. Coba kita
hitung, jika Indonesia mau menghasilkan daging sapi dengan
murah, buatkan 1 pulau sebesar Bali khusus untuk ternak sapi
tanpa intervensi manusia, biaya murah kualitas bagus dan
berkembang secara alamiah. Indonesia kan masih banyak
pulai yang kepadatan penduduknya rendah, mudah untuk
direlokasi atau memanfaatkan mereka menjadi peternak
dengan penataan ulang pemukiman mereka sesuai
kebutuhan. Jadi manusia dipandang berakhlak terhadap alam
apabila manusia mau mengembalikan alam kehabitat alam
itu sendiri. Coba beranalogi, berapa persen dari kita
(manusia) yang ingin punya keturunan cukup dengan bayi
tabung atau inseminasi, (spermanya disuntikan saja ke
istrinya) tak perlu melakukan perkawinan atau hubungan
suami-istri. Jika manusia menolak maka alam dan hewanpun
berkehendak yang sama sesuai kodrat aslinya. Hanya saja
manusia terlalu egois, yang memandang alam atau hewan
bisa diperlakukan seenaknya manusia.
5. Akhlak Pertanian Intergralistik, (1) proses mengelola alam
merupakan proses mengintegrasikan seluruh kehidupan agar
tetap bisa hidup dan berkembang secara terintegrasi. Ketika
pertanian terlalu banyak menggunakan pupuk kimiawi maka
kehidupan semisal cacing yang bisa menyuburkan tanah
terancam, tanah menjadi liat, keras dan kekurangan unsur
hara, Ph tanah jadi rubah, tanaman teracuni dan manusia
memakan racun secara perlahan tapi pasti menuju
ketergangguan sistem organik yang menyebabkan daya tahan
tubuh menurut dan akhirnya mudah sakit-sakitan. Mengapa
demikian? Jawabannya karena manusia tak lagi mau
mengerti bahwa manusia dan hewan itu diciptakan dari unsur
tanah dan air (manusia dari tanah QS. al-Mukminuun [23]:12)
dan hewan diciptakan dari air (QS. an-Nur [24]:45) yang tentu
saja akan lebih kompatibel dengan unsur alam lagi. (2)
manusia tidak mengganggu, menghambat apalagi
memutuskan matarantai kehidupan alam atau hewan, agar
alam tetap bisa berkembang sesuai dengan ekosistem yang
terintegrasi. (3) system pengelolaan pertanian dengan
peternakan, perikanan, kehutanan, wisata dan yang terkait
lainnya berada dalam satu kawasan. Ketiga hal diatas
merupakan contoh dari konsep akhlak pertanian terpadu
yang dipandang lebih bersesuaian dengan hukum-hukum
alam yang berinteraksi dan bekerja secara terpadu, tersedia
di www.bulelengkab.go.id
6. Akhlak Pertanian Berkelanjutan, merupakan pemanfaatan
sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources)
dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan
dampak negative terhadap lingkungan seminimal mungkin
dengan memperhatikan ekologi dan studi hubungan antara
organisme serta lingkungan secara sistematik, sistemik dan
simbiosis mutualistic dengan pengelolaan dari hulu sampai
hilir secara terpadu dan berkelanjutan. Mengapa pertanian
berkelanjutan dipanang sebagi akhlak? Jawabnya karena
pembangunan pertanian yang berkelanjutan lebih
memberikan makna pada sinergi ekonomi, social dan
lingkungan secara simultan dengan meminimalkan kerusakan
lingkungan. Bila pembangunan pertanian berkelanjutan
sudah terbukti menjadi bagian dari kehidupan manusia maka
akhlak alam akan kembali normal sebagaimana biasanya.
7. Akhlak Orientasi Pasar, petani yang memiliki cinta kasih pada
sesama akan senantiasa berpikir demi manfaat, maslahat dan
hikmat bagi kepentingan orang banyak. Produk pertanian
yang dihasilkanpun hendaknyamemenuhi standar pasar.
Falsafah para petani Sunda menyebutkan ada 5 kategori hasil
pertanian (1) hasil tani jejekeun/piceuneun, tak layak
konsumsi sama sekali, (2) hasil tani dahareun, layak dimakan
hanya untuk pribadi, (3) hasil tani bikeuneun, layak diberikan
tapi belum layak dijual, (4) hasil panen jualeun, hasil panen
layak dijual dan (5) hasil panen tongtoneun/layak dipamerkan
sebagai produk unggulan. Untuk sampai ke tahap 4 dan 5,
seorang petani hendaknya mengembangkan paradigma
berpikir, “ menanam yang dijual bukan menjual yang
ditanam”. Ia mencari pasar dengan jelas (harga, cara
pembayaran, volume, spek produk, cara pengiriman dll.),
baru menanam bukan menanam dahulu baru menjual tetapi
menjual dulu baru menanam.
8. Akhlak Kepemilikan Lahan, masalah yang krusial kerapkali
muncul berkaitan dengan pertanian adalah penguasaan
tanah, legalitas tanah, penyerobotan tanah dan menggeser
batas tanah. Penggeseran batas tanah meski hanya sejengkal
saja tetapi hukumannya begitu berat, sebagaimana hadits
dari Aisyah RA menurutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“ Barangsiapa mengambil sejangkal tanah secara dzalim
maka kelak akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis tanah”
(HR. Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain, dari Y’la bin
Murroh mengungkapkan Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Seseorang yang mengambil tanah secara dzalim, kelak Allah
akan memaksanya menggali tanah tujuh lapis tanah
kemudian mengalungkan kepadanya sampai selesai
pengadilan diantara manusia”, (HR. Ahmad, Tabrani dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban). Perbuatan seperti ini masih
banyak terjadi diantara kita maka itulah akhlak buruk yang
harus diperbaiki. Untuk mengingatkan perbuatan buruk
menggeser batas tanah pada tradisi masyarakat kita biasanya
ditanami pohon hanjuang, sebagai pohon yang biasa ditanam
di atas pelataran makam. Hal ini memberikan pesan jangan
berbuat begitu ingat kamu akan mati.
Uraian ini sekedar menginspirasi pembaca agar
memikirkan lebih dalam apa yang bisa mengantarkan para
pertanian kita berkembang, mandiri, sejahtera, jujur, bermoral,
cinta lingkungan, taat beribadah dan senang berbagi, subur
mamur gemah ripah lohjinawi, bru di juru bro di panto,
ngalayah di tengah imah. Sehingga hasil pertanian bisa
signifikan terhadap kemakmuran para petani dan
menyumbangkan PDB yang tinggi. Hingga kini dunia pertanian
menurut BPS (tahun 2018), konstibusi sektor pertanian
terhadap PDB mencapai angka 13,63%. Sedangkan 2019 kuartal
1 konstribusi terhadap PDB 14, 10 %, tersedia di
www.pertanian.go.id 2019.

D. Akhlak Psikologi
Disiplin ilmu yang mempelajari manusia begitu banyaknya,
mulai dari hal yang sangat fisik sampai ke hal yang abstrak
tentang filsafat manusia. Psikologi berada di kelompok tengahan
menuju ke atas, dalam rumpun social humaniora, akan beririsan
banyak dengan antropologi, sosiologi, mungkin arkeologi
bahkan ke bio psikologi. Karena itu tidak aneh kalau jurusan
psikologi ada yang di fakultas humaniora, sains dan teknologi,
Pendidikan bahkan bisa di fakultas kedokteran bergantung
stressingnya. Karaktrer ilmu memang senantiasa berdiri sendiri
(independent) dan sekaligus interindependent, interconnecting
atau kebergantungan yang saling membesarkan. Mengapa harus
saling kebergantungan? Jawabannya, (1) karena yang dikaji
masih objek/subjek yang sama yaitu manusia, (2) agar
pemahaman tentang manusia tidak (terlalu) parsial atau
segmental, (3) perilaku manusia muncul sebagai gejala yang
memiliki kompleksitas yang tinggi bahkan kadang ambigu, (4)
gejala itukan aspek luaran, seperti dokter mengobati batuk,
yang diobati bukan batuknya tetapi pemicu atau pemapar,
penyebab atau kadang keadaannya, (5) gejala atau fenomena
itu yakin tidak pernah terkelupas atau apalagi lepas dari
nomenon (aspek dalam), kalau seorang pasien sakit kulit (kurap,
kudis, kumel, kucel) bisa saja bukan hanya obat anti jamur tapi
juga diberi obat penenang atau obat yang berefek ngantuk,
karena sakit kulit bukan hanya persoalan jamur tapi juga
persoalan pikiran, demikian dikatakan Herbert Spencer bahwa
semua penyakit barawal dari pikiran, (6) agar mempelajari
gejala perilaku yang muncul bisa ikut menentukan prognosa
atau prediksi iringan yang akan terjadi dan (7) seterusnya.
Setelah tahu gejala perilaku, kemudian dilanjutkan
dengam memperdalam sebuah persoalan psikologi fungsional
yaitu apa makna dari mempelajari perilaku manusia? Jawabnya
agar manusia mampu mengerti, mengartikan dan pengertian
terhadap perilaku manusia dan manusia berperilaku. Jadi
dengan memahami Psikologi orang bisa mengerti perilaku
dirinya, manusia lain dan perilaku lain manusia. Perilaku
manusia itu adalah perilaku yang menunjukkan dignity,
kebermartabatan sebagai manusia (humanistic).
Konsekwensinya ketika manusia tidak berperilaku seperti
manusia pada umumnya, maka itu termasuk perilaku
menyimpang atau penyimpangan perilku. Standar dasarnya
perilaku manusia pada umumnya (rata-rata), di luar rata-rata
disebut menyimpang. Hanya saja ada yang menyimpang ke kiri
atau ke kanan, ada penyimpangan ke bawah atau ke atas. Ada
median tengah-tengah, median bergerak ke tengah ada median
bergerak dari tengah atau bergerak ke tengah dari median.
Karena psikologi adalah disiplin ilmu yang banyak
berhubungan dengan manusia maka kata kunci dari sistem kerja
psikologi manusia yang memanusiakan manusia dengan cara
manusiawi sehingga manusia berada dalam dignity-nya manusia
yang sebenar-benarnya manusia yang memanusiakan manusia
lainnya dan lain manusianya.
Berpijak dari pemahaman yang mendasar atau mendasari
atau mendasarkan psikologi sebagai ilmu yang mempelajari
gejala perilaku manusia yang berperilaku kemanusiaan maka
ada beberapa prinsip akhlaki yang menjadi patokan
keberakhlakan, yakni:
1. Akhlak Humanis, psikologi merupakan ilmu yang
mempelajari manusia yang paling dekat dengan keadaan
“manusianya manusia” dalam konteks gejala rasa, pikiran
dan perbuatan yang dapat diamati. Sekali lagi, psikologi
memang ilmu yang mempelajari manusia yang berada dalam
manusia itu sendiri, meski bukan dalamnya manusia (filsafat)
atau luar dari dalam manusia (sosiologi) atau luar manusia
yang mempengaruhi ke dalam manusia (biopsikologi) atau
mempelajari dalamnya kedalaman manusia (teori hakekat
manusia). Karena psikologi mengkaji, mempelajari dan
sekaligus bisa memaknai kebutuhan dasar psikologis
manusia maka diharapkan disiplin ilmu psikologi bisa
memberikan celup positif bagi tumbuhnya insan-insan yang
humanis. Sinyal ini Allah ilustrasikan dalam firman-Nya, (QS.
al-Baqarah *2+:138), artinya, “ Sibghah Allah. Siapa yang
lebih baik sibghah (celupnya) dari pada Allah? Dan
kepadanya kami menyembah”.
2. Akhlak Solutif, mempelajari manusia memang mempelajari
masalahnya manusia dan sekaligus manusia bermasalah
bahkan mempelajari manusia yang bermasalah padahal
tidak bermasalah. Memang manusia itu cenderung
memasalahkan yang bukan masalah (keluh kesah)
sebagaimana diisyaratkan Allah dalam (SQ. al-Ma’arij
[70]:19-22), artinya, “ Sesungguhnya manusia diciptakan
besifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa musibah
atau kesusahan, ia berkeluh kesah. Apabila ia mendapat
kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan shalat, yang tetap mengerjakan shalatnya”.
Manusia secara kodrati memang punya kemampuan untuk
mengetahui keadaan diri, potensi, keberbakatan, minat dan
penyelesaian masalah. Tetapi tidak semua manusia punya
potensi apalagi kafasiltas untuk itu bahkan sampai usia
dewasa banyak yang belum bisa menemukan apalagi
mengaktualkan bakatnya sebagai passion hidup. Oleh karena
itu kehadiran, mitra, partner atau pendamping untuk
mampu keluar dari belitan persoalan, menjadi hal yang
niscaya adanya.
3. Akhlak Kepekaan Insani, untuk mengerti manusia
dibutuhkan pemahaman terhadap ketidakmengertian
manusia terhadap kediriannya manusia. Secara falsafati ada
dua hal yang menyebabkan manusia tidak mengerti dirinya
sendiri. Pertama, Manusia unik. Manusia tak bisa
diperlakukan kolektif, karena ia suatu indvidualistik dan
personalistik yang benar-benar spesifik. Kedua, Manusia
misterius. Manusia merupakan kepribadian idealistic yang
eksotik dan enigmatik. Manusia dengan dirinya tetapi tidak
untuk dirinya. Karena itu perilakunya acapkali antagonistic,
(a) antagonik ungkapan, manusia acapkali berbicara bukan
yang dinyatakan tetapi yang dipertanyakan, ia berkata apa
adanya padahal menginginkan adanya apa, ia bekerja dalam
psedo kata, (b) antagonik perilaku, ia menolong dengan
berbohong, dan berbohong dengan pembenaran bahkan ia
salah tapi tak mau mengalah, ia berkerja malperilaku, (3)
antagonik hati, manusia acapkali berkata lain di mulut lain di
hati, beungeut nyangharep hati mungkir, dalamnya laut bisa
diselami dalamnya hati siapa tahu, ia bekerja dengan
hipokrit hati. Realitas manusia yang penuh dengan kepura-
puraan yang rupa-rupa dan warna-warni kepalsuan yang
kamuflatif serta beragam corak-carik yang hipokrit, jelas
membutuhkan kepekaan rasa, sensitivitas pikiran dan
perseptif hati.
4. Akhlak Futuristik, memahami keadaan manusia untuk
membuat manusia mengada dalam waktu adalah bagian dari
harapan yang bisa dilakukan oleh dunia Psikologi. John
Dewey dalam Filsafat Instrumentalismenya, mengatakan “
ada kesadaran bahwa kita hidup dalam dunia yang belum
selesai penciptaannya”. Manusia berada dan mengada
dalam tiga karakter waktu: (1) Temporalisme, yaitu ada
gerak kemajuan yang ril dalam waktu. Setiap individu yang
menyadari berharganya waktu karena tak bisa diulang, akan
semakin baik prestasi hidupnya, (2) Futuristik, yaitu
kesadaran yang mendorong kita untuk melihat hari esok dan
tidak hari kemarin. Suka atau tidak, sengaja atau tidak,
bermaksud atau tidak setiap kita hanya bisa memilih
berjalan ke hari esok, jangan bagaimana besok tetapi besok
bagaimana?, (3) Meliorisme, yaitu pandangan lebih
optimistic karena dunia bisa dibuat lebih baik dengan energy
manusia. Manusi penentu masa depan, perancang hari esok
dan designer for making tomorrow best live, (Mursidin,
2005:19). Akhlak Psikologi yakin bisa mengubah mindset,
merekayasa budaya dan meng-update serta meng-up-grade
perilaku manusia untuk dihari esok yang lebih baik. Sumber
inspirasinya Firman Allah (QS. adh-Dhuha [93]:4) artinya, “
Dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik dari yang
permulaan”.
5. Akhlak Pembangun Harapan, memahami dan mengerti
“keasliannya manusia” (manusia subjek dan secara objektif),
bisa memfasilitasi dan mempermudah memberikan tawaran
yang lebih sesuai dengan citra dan cintanya manusia
tehadap harapan hidup yang labih baik. Sesungguhnya
manusia tidak dibangun oleh yang dilakukan dan dikerjakan
tetapi dibangun oleh sebuah harapan. Orang yang
cenderung punya harapan yang positif tentang dan di masa
depan, hidupnya lebih aktif, antusias, dan optimis. Menurut,
(Iman Setiadi Arif, 2016:165) penumbuhan harapan bisa
dimulai dari merekonstruksi persepsi orang terhadap suatu
peristiwa serta membongkar sistem keyakinan yang
mendasarinya agar memiliki kesadaran sendiri dan mandiri
sehingga mewujudkan harapan tidak lagi bergantung pada
orang lain tapi oleh dirinya sendiri, seperti ungkapan Michail
Jordan, “setiap orang memiliki harapan tentang aku, tetapi
aku punya agenda sendiri”.
Dari uraian singkat, sekiranya dapat lebih memberikan arti
bahwa keberakhlakan yang dimaksud dalam konteks Akhlak
Psikolgi, andaikan Psikologi tidak berjalan dengan prinsif-prinsip
dasar visi, misi dan tupoksi Psikologi untuk ikutserta
mengangkat harkat dan martaban manusia yang mulia tetap
berada dalam kemuliaan insaniyah yang sesungguhnya, yakni
mahluk ber-Tuhan.

E. Akhlak Kesehatan
Islam memberikan perhatian yang besar terhadap dunia
kesehatan. Bidang ini memiliki andil besar dalam meningkatkan
kualitas hidup manusia. Kehadiran dunia kesehatan diharapkan
benar-benar mampu menyehatkan manusia dari segala bentuk
dan ragam ujian hidup, seperti sakit yang Allah sudah tetapkan
sebagai sunatullah. Ikhtiyar penyembuhannya merupakan kewajiban
dan kesembuhannya hanyalah hak prerogatif Allah, sebagaimana yang
diisyaratkan dalam firmannya (QS.an-Najm *53+:44) artinya “Dan
sesungguhnya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan..”. Tetapi
ketika diberi ujian sakit maka manusia harus berusaha keras untuk
sembuh dan dilarang manusia yang menjerumuskan diri kedalam
kebinasaan atau kematian, sebagaimana yang diisyaratkan dalam
firman-Nya (QS. al-Baqarah [2]:195) artinya, “ Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Oleh
karena itu akhlak kesehatan (bekerjanya kesehatan secara
hakiki), sekurang-kurangnya mencakup:
1. Akhlak Pengintegrasian, Islam sudah memasukan kesehatan
kedalam system peribadatan. Artinya hidup sehat itu suatu
ibadah dan ketaatan pada Allah. System peribadatan
dimasud adalah (1) syariat wudhu, yang mengajarkan hidup
bersih, sehat dan bahkan suci dan mensucikan dan
pembiasaan cuci tangan dan anggota tubuh yang relatif
sering terbuka, dan bersentuhan dengan dunia luar, (2)
syariat shalat, firman Allah dalam (QS. al-A’raf *7+:31,
artinya, “wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang
bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah
tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan”., (3) syariat zakat, zakat,
sadaqah dapat mensucikan diri manusia (kesehatan mental),
sebagaimana firman-Nya, (QS. at-Taubah *9+:103) artinya,”
Ambilah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan
nensucikan mereka…”. (4) syariat berpuasa, Rasulullah
bersabda, yang artinya, “berpuasalah niscaya sehat”, (5)
syariat haji, (QS.Ali Imran [3]:97) atinya, “mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang
yang sanggup mengadakan perjalan ke Baetullah …”.
Melakukan tawaf (mengelilingi ka’bah 7 kali dan wukuf di
arafah), insya Allah menyehatkan. Bila dunia kesehatan
mampu mengintegrasikan konsep hidup sehat ke dalam
syariat Islam maka akan terbangun hubungan dimana hidup
sehat sebagai ibadah yang punya ikatan emosional dan
spiritual kepada-Nya.
2. Akhlak Tolong Menolong, dalam ajaran Islam sakit
merupakan ujian dan sekaligus musibah yang diberikan Allah
kepada hamba-Nya. Pada saat orang mengalami musibah
maka menolong merupakan kewajiban moral yang alamiah
dan membawa keberkahan bagi yang menolongnya. Firman
Allah mengisyaratkan akan kewajiban tolong menolong,
sebagaimana firman-Nya dalam (QS. al-Maidah [5]:2),
artinya “ Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan
takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran …”. Kebijakan kesehatan dan termasuk
para medis tidak berorientasi pada bisnis murni tetapi bisnis
social yang lebih mengedepankan unsur tolong menolong
dibandingkan kepentingan bisninya. Inilah akhlak kesehatan
yang disyariatkan Allah, bila hendak mendapatkan berkah.
3. Peningkatan Kualitas Hidup, Islam memandang bahwa hidup
berkualitas itu merupakan bagian integral dalam ajaran
Islam. Hidup berkualitas diawali dengan hidup sehat. Ibadah
saja tidak bisa sempurna bila tidak sehat. Karena itu perlu
menerapkan pola hidup yang sehat; (1) pola makan teratur
(jenis, jumlah dan jam), (2) pola kerja (sehat, tepat dan
manfaat), (3) pola istirahat, (cukup, cepat dan cermat).
Ketika toiga pola ini terpenuhi maka akan lahir budaya
hidup: (1) productive (profit and benefit), (2) significant
(mandiri, makmur dan manfaat), (3) Quolity (hidup, hikmat
dan hidmat).
4. Akhlak Pembentuk Generasi Sehat, dalam Islam menyiapkan
keturunan yang berkualitas itu sangat penting, terutama
dimasa pembentukan awal, perhatikan firman Allah dalam
(QS. al-Baqarah *2+:233), artinya, “ Dan ibu-ibu hendaklah
menyusui anak-anaknya selama dua tahun, bagi yang ingin
menyusui secara sempurna …”. Menyusu dengan air susu
ibunya memiliki manfaat: (1) mencegah diare, pneumonia
dan meningitis yang disebabkan belum siapnya pencernaan
menerima asupan dari luar, (2) memberikan system imunitas
pada bayi sehingga tidak mudah terserang penyakit, (3)
mengandung zat-zat nutrisi penting untuk pertumbuhan
(karbohidrat, lemak, vitamin, protein dan mineral), (4)
membuat ibunya sehat karena asinya yang diproduksi
dikeluarkan, (5) meningkatkan hubungan kasih sayang ibu
dengan anak.

F. Aklak Pendidikan
Pendidikan adalah akar dan awal dari kemajuan dan
kemakmuran suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan makna
penting dari pendidikan pastikan gagal alis bangkrut. Bangsa
yang menempatkan pendidikan sebagai unsur atau instrument
atau alat pembangunan bukan memposisikan pendidikan
sebagai fondasi pembangunn, saksikan pasti akan menjadi
negeri yang rapuh. Mengapa demikian? Jawabannya, karena
pendidikan adalah determinant factor (faktor penentu) bukan
dominant factor (faktor yang dominan) apalagi instrumental
factor, hanya sebagai faktor instrumental belaka. Tugas utama
pendidikan yang sesuai dengan karakter dasar (sunnatullah)
dunia pendidikan adalah:
1. Akhlak Tauhidullah, pendidikan memastikan manusia
bertauhid atau tidak. Pendidikan yang soheh dan soleh
(tepat dan benar) niscaya memastikan manusia menjadi
hamba Allah yang sebenarnya bukan pembangkang Tuhan.
Perhatikan firman Allah (QS. al-Fathihah *1+:5) artinya, “
Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya
kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan”. Pendidikan
hendaknya mendahulukan Tarbiyah Ruhiyyah baik sebagai
kontens bahan ajar maupun pendekatan integrated dengan
seluruh bahan ajar lainnya.
2. Akhlak Martabat Bangsa, pendidikan niscaya menjadi vilar
utama bagi tegak, daulat dan jayanya suatu bangsa.
Perhatikan, siapakah pelopor perjuangan kemerdekaan
Indonesia? Jawabanya, tiadak lain adalah mereka yang
berpendidikan di atas rata-rata pada saat itu. Jadi manusia
harus menjadi inti utama pendidikan dalam sistem
pembangunan suatu bangsa, Abdurrahman Shalih (tth. :47)
mengatakan, “ man is the core of the educational process”.
Lalu bagaimana pendidikan yang bisa membangun bangsa
yang bermartabat? (1) pendididikan yang mencerdaskan
kehidupan (pendidikan berkarakter), (2) pendidikan yang
mensejahterakan kehidupan bangsa, (3) pendidikan yang
menjadikan bangsa pembelajar sejati, (4) pendidikan yang
berorientasi masa depan, (5) pendidikan yang memastikan
menjadi bangsa inovatif, (6) pendidikan yang menjadi
bangsa koperatif, (7) pendidikan yang menjadikan moral,
akhlak menjadi panglimanya. Theodore Roosevelt (Ratna
Megawangi:2004:2), “To educate a person in mind and not in
morals is to educate a menace to society”, (mendidik
seseorang hanya dalam aspek kecerdasan otak bukan pada
aspek moral adalah ancaman marabahaya dalam
masyarakat).
3. Akhlak Masa Depan, pendidikan menjadi niscaya untuk
menyiapkan generasi yang lebih baik dimasa depan. Firman
Allah dalam (QS. an-Nisa *4+:9), artinya, “Dan hendaklah
takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka,
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya. Oleh
sebab itu, bertakwalah dan hendaklah mereka berbicara
dengan tutur kata yang benar, “. Kita hendak menyadari
bahwa pendidikan bukan memutar sejarah masa lalu tetapi
membuat sejarah masa depan yang akan membuat masa
lalu. Sejarah itu adalah hari ini. Pendidikan niscaya
mengajarkan sesuatu yang diperkirakan akan menjadi isi dari
zaman yang akan datang. Menurut Bahtiar Rifa’I (Mursidin,
2005:58) pendidikan hendaknya dapat menarik masa depan
ke hari ini dengan keterampilan: (1) Scenario, menawarkan
masadepan dengan kemungkinan-kemungkinan bersyarat,
(2) Projection, kemampuan merekam dan menafsirkan
pengalaman masa lalu dan menproyeksikannya ke masa
depan dengan membaca kecenderungan, (3) Forcast,
kecakapan kualitatif untuk meramalkan masa depan
berbasis data dan informasi kuantitatif dan kualitatif untuk
memformulasikan probabilitas relatifnya, (4) Prediction,
kepiawaian memilih apa yang paling mungkin terjadi
didasrkan pada pengalaman dan kekuatan filling, pirasat
atau instuisi, (5) Provecy and revelation, prediksi yang
memiliki sumber otoritas supra-natural dan mempunyai
ekspresi moral berlatar belakang agama.
4. Akhlak Berpikir Tindakan, suatu bangsa yang hanya sebagai
peniru, pencontek dan penduplikasi tidaklah ideal dalam
pengembangan bangsa berperadaban. Karena itu,
seyogianya keterampilan teknis didasarkan pada
pemahaman konseptual yang memadai. Penulis pernah
order membuat alat bermain di TK kepada seseorang yang
pengalaman bekerja di Malayasia dan Singapur bertahun-
tahun sebagai tenaga teknis, pengelasan alat-alat bermain di
TK. Ternyata ketika melakukan pekerjaan di TK, hasilnya
tidak memperhitungkan aspek keselamatan, keamanan,
kenyamanan, keindahan, kepantasan dan seterusnya,
akhirnya semua dibongar dan kontrak pun dibatalkan. Inilah
fakta yang kemudian menyadarkan saya bahwa kalau orang
bekerja tanpa ada pemahaman konsep yang memadai bisa
melakukan kesalahan praksis secara total.
5. Akhlak Kegemaran Berkarya, pendidikan laik dan layaknya
bukan menghasilkan pengangguran tetapi pengunggulan
beramal yang bisa menyediakan pekerjaan buat yang lain.
Proses pendidikan (hingga S1) sebaiknya mereka dibekali
keterampilan bekerja berbasis knowledge dengan berbagai
pilihan kecakapan atau keterampilan be-kerja bukan kerja
(multi talenta), dengan sekurang-kurangnya memiliki 3
keterampilan direvatif atau 3 keterampilan elaboratif.
Keyakinan yang luar biasa bahwa sebuah bangsa akan
maju bila pendidikan sudah berada dalam trek yang benar dan
trik yang tepat, sudah berada pada sunnatullah atau sudah
mengada dalam akhlak pendidikan yang sesungguhnya.

G. Akhlak Kepemimimpin
Pandimik Covid-19 memang berbahaya karena daya tular
yang luar biasa dan membunuh ribuan manusia tetapi
sebenarnya lebih berbahaya daya tular kepemimpinan yang
membawa virus Kopid yaitu bersikap Konyol dan Piduit, yakni
sikap yang tidak memiliki sensitivitas kemanusiaan karena yang
dipikirkan dan dilakukan adalah uang dan uang. Misalnya,
membandingkan jumlah korban akibat Covid-19 antara
Indonesia dengan Amerika dari seorang pejabat Negara,
ditengah banyaknya keluarga yang sedang berduka, sebagai
bukti hilangnya sensitivitas kepemimpinan dengan karakter
hampa makna, hilangnya cinta dan lumatnya kepekaan,
lunturnya sensibilitas dan musnahnya sensitivitas ruhaniyah dan
nuraniyah.
Kepemimpinan dalam Islam dipersyaratkan memiliki akhlak
mind-stream, arus utama dan kuat dari seorang pemimpin
adalah akhlaknya. Firman Allah dalam (QS. al-Ahzab [33+:21), “
Sungguh dalam diri Rasululah itu (sudah ada) suri teladan yang
baik”. Akhlak Islam berkaitan dengan kepemimpinan
mensyaratkan kepemimpinan yang memiliki:
1. Akhlak Kesamaan Keyakinan, Kepemimpinan hakekatnya
menjalankan sebuah sistem nilai yang diyakini seseorang.
Keyakinan merupakan base-value (sumber nilai) yang
menentukan filosofi dan pola pikir, mencelup mindset dan
konsep, mewarnai metodologi dan strategi serta memberi
ragam aksi bagi para pemimpin. Memilih pemimpin sama
dengan memberikan mandat kepada seseorang untuk
menjalankan sistem nilai yang diyakininya untuk mengatur,
mengelola bahkan memaksa kita agar bisa menuruti
kehendaknya dan bukan Kehendak-Nya. Ini pula yang
menyebabkan syariat Islam tidak mengizinkan memilih
pemimpin yang tidak satu keyakinan. Perhatikan firman
Allah dalam (QS. Ali Imran [3]:28), artinya, “ Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepas ia
dari pertolongan Allah, kecuali alasan siasat memelihara
diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan hanya
kepada Allah kamu kembali”.
Kenapa umat Islam tidak boleh memilih atau menjadikan
orang yang berbeda keyakinan sebagai pemimpin? Alasan
dan argumennya adalah: (1) Kepemimpinan dalam teologi
Islam merupakan wakil Allah untuk menegakkan kalimah
Allah di muka bumi, sebagai Khalifah Allah, (2)
Kepemimpinan dalam paradigma Islam merupakan
pemakmur dunia yang basis nilainya aqidah Islam, (3)
Kepemimpinan dalam Konsep Islam merupakan hakim
penegak hukum Islam, (4) Kepemimpinan dalam teori
(syariat) Islam merupakan roll model untuk mewujudkan
Islam rahmatan lil alamiin, (5) Kepemimpinan dalam strategi
(fiqh) Islam merupakan eksekutor tradisi beramal yang
shoheh, (6). Kepemimpinan dalam Islam bukan sebatas
hablum minan nas tetapi sekat, batas, pembeda dan
pemisah antara yang hak dengan yang batil, iman atau kafir,
benar dan salah sesuai aqidah, syariah dan akhlak Islam
pada aspek yang lain, dari hulu air sampai hilir aliran airnya
sudah berbeda. Perhatikan firman Allah (QS. al-Maidah
*5+:51) artinya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu), sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa dianta kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk bagi orang-orang yang dzalim”.
2. Akhlak Ketaatan Beribadah, seorang pemimpin itu model. Ia
bukan hanya harus satu keyakinan tetapi keyakinanya itu
hendaknya terealisasikan dalam ketaatan beribadah kepada-
Nya. Ketaatan beribadah membawa konsekwensi terhadap
beberapa hal penting: (1) bukti bahwa seorang pemimpim
memiliki komitmen diri untuk bersedia mentaati perintah
Allah sebagai perintah tertinggi, (2) ketaatan beribadah
menggambarkan keteguhan dan kerendahan hati yang
dibutuhkan dalam kepemimpinan, (3) ketaatan beribadah
menggambarkan moral imperatif yang akan terefleksi
kedalam moral kasih sayang, (4) ketaatan beribadah akan
membawa konsekwensi pada tanggung jawab moral meras
diawasi oleh Tuhan, (5) peribadahan mengajarkan konsep
egaliter yang akan membawa akibat pada rasa percaya diri
yang tinggi dan sekaligus kesediaan menghargai orang lain,
(6) amanah memimpin bagian tak terpisahkan dari mandat
memimpin dimana perhatian, kepedulian, tanggung jawab,
komitmen dan mencitai melekat pada mandat itu.
3. Akhlak Berlaku Adil, kepimimpinan itu mengelola dan
memimpin banyak orang dan banyak persoalan serta banyak
kepentingan. Karena itu, butuh hadirnya pemimpin yang bisa
menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran dan dengan
cara yang benar. Firman Allah dalam(QS. Shad [38]:26},
artinya, “ Allah berfirman, Wahai Daud! Sesungguhnya
engkau Kami jadikan khalifah (penguasa di bumi), maka
berilah keputusan (perkara) diantara mereka dengan adil
dan janganlah engkau mengikuti hama nafsu, karena akan
memnyesatkan kamu dari jalan Allah. Sungguh orang yang
sesat di jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan”. Adil dalam
Islam merupakan sifat akhlak yang hendaknya dimiliki oleh
kepemimpinan dan diterapkan oleh pemimpin dengan
berbasis pada, (1) rujukan keadilan bersumber pada
kebenaran-Nya, (2) keadilan menjadi prinsip dasar dalam
penegakan hukum, (3) rasa keadilan hukum diterapkan
kepada siapapun tanpa pandang bulu, (4) peristiwa hukum
atau proses hukum memastikan kebenaran hukum dan fakta
hukum, (5) akibat hukum hendaknya menjadikan pembelajar
hukum bagi semua.
4. Akhlak Tegas dan Lugas, Kepemimpinan merupakan spirit
kebenaran, wajah keadilan, semangat kebersamaan dan
miniatur kemakmuran. Kepemimpinan acapkali “dipaksa”
memerankan karakter yang bertentang seperti: tegas tapi
lugas, keras tapi kasih sayang, berani namun berhati-hati,
cepat dengan tepat, gagah dalam rendah hati, sombong
untuk menginspirasi, memaki demi motivasi dan seterusnya.
Persoalannya kapan peran itu dimainkan, kepada siapa
diterapkan, bagaimana cara melakukannya, dan untuk apa
tujuannya. Rasulullah juga merupakan orang yang penuh
kasih sayang kepada kaum muslimin, keras kepada kaum
kafir dan waspada kepada kaum munafik. Itulah karakter
kepemimpinan dalam menegakkan kebenaran dengan cara
yang bijaksana, kata falsafah Sunda, “laukna beunang cai
herang”, menegakkan keadilan dengan tegas tetapi tidak
mengilangkan kearifan dan kebijaksanaan.
5. Akhlak Kesejahteraan sosial, kepemimpinan merupakan
instrument hidup yang harus menghidupi berbagai macam
kehidupan yang saling menghidupi. Ia bukan memainkan sistem
untuk memperkaya diri sendiri tetapi untuk kepentingan berbagi
rezeki. Kepemimpinan seyogianya sanggup memberi solusi untuk
memajukan bukan memalukan. Seorang pemimpin sepantasnya
memandirkan rakyat bukan memanjakannya. Ia hendaknya
bertindak untuk bisa memberi makan orang lain dan bukan
memakan orang lain. Ia bukan drakula yang menyedot darah
rakyat tetapi malaikat yang memompa darah kesejahteraan
rakyatnya.
Uraian lugas dan reflektif tentang penerapan akhlak dalam
berbagai profesi sebagaimana yang telah digambarkan,
hanyalah untuk menginspirasi dan menyadarkan kita semua
bahwa sebuah profesi atau pekerjaan merupakan: (1) Rahmat
yang harus memberi banyak manfaat, membawa maslahat dan
membukakan hikmat bagi umat, (2) Ibadah yang hendaknya bisa
membedah berbagai faedah dari wajah ritualistik individual ke
pergerakan sosial yang komunal, (3) Amanah yang sepantasnya
ditunaikan dalam kepiawaian yang mentransformasikan berkah,
(4) Amaliyah yang seyogianya menjadi tabungan, deposito atau
investasi kebaikan kepada sesama dan kepada Tuhannya yang
sewaktu-waktu akan memberi dampak lebih besar kepada
dirinya sendiri dan (5) Khalifah yang selayaknya diniatkan,
diusahakan dan dikerjakan agar membukakan kesempatan
mengaktualisasikan diri sebagai pemimpin.
BAB 13
RENUNGAN AKHLAK KLIMAKS

A. Kehidupan
Apa yang bisa Anda katakan pada saat mengetahui bahwa
Anda terpilih oleh Allah untuk hidup kedunia dari 6 juta sperma.
Dan Anda satu-satu yang terpilih oleh Allah sebagai pemenang
untuk menikmati kehidupan dunia. Sedangkan 5.999.000 calon
manusia dikalahkan persaingannya oleh Anda dengan
sepenuhnya atas takdir Allah Yang Maha Kuasa dan sama sekali
tidak ada intervensi orangtua apa lagi perjuangan Anda sendiri.
Kita hanya tahu jadi manusia terpilih Allah untuk berada di dunia
sementara. Dunia sementara. Dunia yang hanya sebentar. Dunia
yang hanya sekejam. Dunia fana yang akan segera berakhir.
Andai kita menyadari proses pertumbuhan dan
perkembangan kita sejak dalam kandungan ibu dan kemudian
dilahirkan, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan manula,
semuanya merupakan bahan renungan yang tidak akan ada
habis-habisnya. Misalnya masa dalam Kandungan, Prof. Kieth L.
Moore, guru besar Departemen Anatomi dan Biologi Sel, di
Universitas Toronto, terkagum-kagum dengan kebenaran al-
Qur’an tentang perkembangan embrio manusia. Al-Qur’an
menjelaskan secara gamblang tentang pertumbuhan janin
dalam perut fese per fase, padahal tidak bisa dilihat oleh mata
dan tidak mungkin juga berdasarkan dugaan atau perkiraan.
Sains modern baru mengetahui perkembangan janin dalam
Rahim setelah alat-alat pemeriksaan modern ditemukan. Moor
merasa berbahagia bisa mengerjakan pengklarifikasian
pernyataan al-Quran tentang perkembangan manusia. Jelas bagi
saya, pastilah al-Quran itu turun kepada Muhammad dati
Tuhan”. Tentang penciptaan manusia Allah berfirman dalam
(QS. al-Mukminuun [23]:12-14), artinya, “ Dan sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kamudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani
itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang-belulang. Lalu, tulang-belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian, Kami jadikan dia mahluk yang berbentuk
lain”.
Ketika saya merenungkan secara mendalam tentang proses
penciptaan manusia, dengan begitu apik, teliti dan bermakna,
dalam hati kecil saya bertanya, mengapa saya dilahirkan
kedunia? Untuk apa saya hidup? Akan kemana saya pergi? Siapa
yang saya tuju dalam hidup?
Bagaimana menurut al quran
Bagaimana kehidupan secara ilmiah (pendapat para ahli)
Bagaimana kehidupan yang diridhoi Allah
B. Kematian
Apa pengertian kematian?
Bagaimana hasil-hasil penelitian tentang kematian?
Bagaimana sakaratul maut menurut al-quran dan hadits?
Bagaimana kehidupan setelah kematian (bangkit kembali)?
C. Kiamat
Apa pengertian kiamat?
Apa tanda-tanda akan terjadinya kiamat?
Bagaimana terjadi kiamat menurut para ahli?
Bagaimana terjadinya proses kiamat menurut al quran dan
hadits?
Bagaimana keadaan orang beriman dan kafir pada saat
kiamat?
Referensi

Ahmad, Ziauddin, al-Qur’an: Kemiskinan dan Pemerataan


Pendapatan, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1998

Al-Banjarie, Syekh M. Nafis bin Idris, alih bahasa Haderanie, Nur


Ilmu Surabaya, Surabaya, tt.

Al-Haidari, Sayyid Kamal, Jihad Akbar: Menempa Jiwa dan


Membina Rohani, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003

Affandi, Choer, La Tahzan Innallaha Ma’ana, Mizan Media


Utama, Bandung, 2007

Al-Bahnasari, Salim Ali, Wawasan Sistem Politik Islam, Pustaka


al-Kautsar, Jakarta, 1996

Al-Qardhawy, Yusuf, Anatomi Masyarakat Islam (trjm), Pustaka


Al-Kautsar, Jakarta, 2000

Al-Munajjid, Mumammad, bin Shaleh, Silsilah Amalan hati (Trj),


Irsyad Baetus Salam, Bandung, 2006

An-Najar, Amir, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern,


Pustaka ak-Kautsar, Jakarta, 2004

Arasteh, A. Reza, Geowth to selfhood: TRevolusi Spiritual,


Inisiasi Press, Depok, 2002

As-Sirjani, Raghib, Terj. Misbahul Munir, Pengakuan Tokoh


Nonmuslim Dunia tentang Islam, Sygma Publishing, Bandung
2010

Al-Mubarakfury, Syeikh Shafiyyurahman, Psutaka al-Kautsar,


Jawa Timur, 2008,
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Penerbit Pustaka, Bandung, 1995

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Power, Penerbit Arga, 2003

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ, Penerbit arga, Jakarta, 2001

Al-Hasyimi, Muhammad Ali, Muslim Ideal: Pribadi dlam al-Quran


dan As-Sunnah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2004

Ar-Razi, Imam, Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filosofis dalam Perspektif


Islam, Penerbeit Risalah Gusti, Surabaya, 2000

Arif, Iman Setiadi, Psikologi Positif, Gramedia Pustaka, Jakarta,


2016

Dwikomentari, Diaz, SoSQ; Solution Spiritual Quotient), Pustaka


Zahra, Jakarta, 2005

Eaton, Gai, Terj. Khoirul Anam, Suluh Press, Yogyakarta, 2006

El-Fiky, Ibrahim, Terafi NLP; Neuro-Linguistic Pragramming,


Bandung, Hikmah, 2007

El-Fiky, Ibrahim, pentrj. Khalifurahman & Taufik Damas, Terapi


Berpikir Positif, Zaman Jakarta, 2009

Hidayat, Komarudin, Agama Masepan, Gramedia Pustaka Media,


Jakarta, 2003

Heriyanto, Peradaban Islam: Menggali Nalar Saintifik, Mizan


Publika, Jakarta, 2011

Jauzi, Ibnul, penerj. Wawan Djunaedi soffandi, Belenggu Nafsu,


Pustaka Azzam, 2000

Mahmoud, Mustafa, Melihat Allah, PT Bina Ilmu, Surabaya, tt


Monif dan Laode, Rasulullah’s Business School, MTCR,
Semarang, 2013

Mursidin, Akhlak Mulia Berbasis PAI; Insan Mandiri, 2013

Newbrg, Andrew & Waldman, Mark, Terj. Eva Y Nukman Gen


Iman dalam Otak: Born ti Beleve, Mizan Pustaka, Bandung 2013

Pradiansyah, Arvan, The 7 Laws of Happiness, Kaifa PT Mizan,


Bandung, 2008

Rakhmat, Jalaluddin, Dahulukan Akhlak di atas Fiqih, Mizan,


Bandung, 2007

_________, Madrasah Ruhaniah, Mizan, bandung, 2005

Shalih Bin Ghanim as-Sadlan, Arba’un Haditsan, Kullu Haditsin fii


Tsalatsi Khishalin, cetakan pertama tahun 1424, penerbit Dar
Balansia

Saefudin, Aman, 8 Pesan Lukman al-Hakim, al-Mawardi Prima,


Jakarta 2008

Qardhawi, Yusuf, Ptj. Didin Hafidhuddin, Peran Nilai dan Morql


dalam Perekonomian Islam, Robbani Press, Jakarta, 1997

Yalzan, Miqdad, Terj. Tulus Mustofa, Kesedasan Moral, Talenta,


Jogjakarta, 2003

Zohar, Danah & Marshall, Ian, SC Spritual Capital


:Membardayakan SQ di Dunia Bisnis, Mizan, Bandung, 2005
Dr. MURSIDIN, M.Pd.

AKHLAK
PERSONALISASI PERILAKU TERPUJI

Untuk Lingkungan Terbatas


Fakultas Psikologi
UIN SGD BANDUNG
TAHUN 2020

Anda mungkin juga menyukai