Anda di halaman 1dari 7

Nama : Nawanda De Gupita

NIM : 19104050002
Podi : Pendidikan Fisika
Kelas :B

BAB I
KONSEP AKHLAK, TASAWUF, DAN KARAKTER

A. Pengertian Akhlak
Akhlak secara etimologi berasal bahasa Arab yang berasal dari akar kata ,‫خلق يخلق‬
‫ خلقا‬bentuk mufrad akhlak adalah khulq, sedangkan bentuk jamak dari khulq adalah
akhlak. Khulq dalam kamus Munjid berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Akhlaq dalam kamus Dairah al-Ma’arif diartikan sifat-sifat manusia yang terdidik.
Unsur Akhlak secara etimologis adalah budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
berupa sifat-sifat manusia terdidik.
Akhlak menurut terminologi sebagai berikut :
1. Menurut Asmaran akhlak sebagai sifat-sifat yang dibawa manusia sejak
lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat
berupa perbuatan baik, disebut akhlak yang mulia, atau perbuatan buruk
disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya.
2. Khulq ialah kebiasaan kehendak (‘adah al-iradah). Yang dimaksud dengan
‘adah bahwa perbuatan itu selalu diulang-ulang.
3. Menurut Ali Abdul halim Mahmud akhlak adalah sebuah sistem yang
lengkap yang terdiri atas karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku
yang membuat seseorang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik ini
membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku
sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi
yang berbeda-beda.
4. Akhlaq ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral),
yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar
terhadap Khaliqnya dan terhadap sesama manusia (Ensiklopedi
Pendidikan).
5. Dalam al-Mu’jam al-Wasit, dikutip Asmaran, bahwa akhlak ialah sifat
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.
6. Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan
perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.
7. Menurut Al-Ghazali, al-Khluq ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan macam-macam perbuatan dengan mudah, tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
B. Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara etimologis adalah ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Tasawuf adalah ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada
kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin dan renungan. Kata
tasawuf berasal dari bahasa Arab suf yang artinya bulu domba.
Menurut Muhammad Fauqi Hajjad tasawuf dalam pengertian umum berarti
kecenderungan mistisisme universal yang ada sejak dulu kala, berasaskan sikap zuhud
terhadap keduniaan (askestisme), dan bertujuan membangun hubungan (ittisal).
Pada umumnya, manusia memiliki dua kebutuhan dasar, yaitu (i) kebutuhan
fisiologis (yang berkenaan dengan rasa lapar, dahaga, kebutuhan udara, istirahat,
menghindari kepanasan-kedinginan, menjauhi rasa sakit, seks, dan proses ekspresi), dan
(ii) kebutuhan jiwa atau rohani (jaminan rasa aman, rasa bahagia, rasa loyalitas dalam
kelompok, diterima dan dicintai oleh anggota kelompoknya, merasa dihormati, dihargai,
rasa prestasi, rasa percaya diri, kesuksesan, rasa puas baik kepuasan sebagai bangga diri
ataupun karena penghargaan sosial). Kebutuhan rohani ini mendorong manusia untuk
mengenal (makrifat) Allah swt.
Kebutuhan fisiologis dan kebutuhan jiwa atau rohani berhubungan erat dengan
makna kelangsungan hidup dan kelanggengan jenis dan roh manusia. Oleh karena itu,
pemenuhan kebutuhan ini akan dapat melahirkan kesadaran fisiologis dan demikian pula
pemenuhan kebutuhan jiwa atau rohani akan melahirkan kesadaran rohani.
Berikut penjelasan singkat tentang tasawuf :
1. Kata tasawwuf ‫ تصوف‬adalah bahasa Arab dari kata suf yang artinya bulu
domba.
2. Ahl Al-Suffah, ‫ أهل الصفة‬yaitu orang-orang yang ikut hijrah dengan Nabi
dari Mekkah ke Medinah yang karena kehilangan harta, mereka berada
dalam keadaan miskin dan tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di
serambi Mesjid Nabi dan tidur di atas batu dengan memakai pelana
sebagai bantal.
3. Shafi ‫ صافي‬yaitu suci.
4. Sophia, berasal dari bahasa Yunani, yang artinya hikmah atau filsafat.
5. Saf ‫ صف‬pertama. Sebagaimana halnya orang yang shalat pada saf
pertama mendapat kemuliaan dan pahala yang utama.
C. Pengertian Karakter
Karakter, secara estimatologis berasal dari bahasa Yunani ”karasso”, yang berarti ‘cetak
biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Karakter dalam bahasa Arab ,‫طبيعية‬
‫ أخالق‬Dalam tradisi Yahudi, misalnya, para tetua melihat alam, katakanlah laut, sebagai
sebuah karakter, yaitu sebagai sesuatau yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia, yang
mrucut seperti menangkap asap. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh
intervensi manusiawi, seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang
menyertainya. Karakter dipahami seperti lautan, tidak terselami, tidak dapat diintervensi.
Oleh karena itu, berhadapan dengan manusia yang memiliki karakter, manusia tidak
dapat ikut campur tangan terhadap pemilik karakter tersebut. Manusia tidak dapat
memberikan bentuk karakter. Hal ini sama seperti bumi, manusia tidak dapat membentuk
bumi sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu yang ‘mrucut’ tadi. Namun sekaligus,
bumi itu sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain. Dengan kata lain istilah
karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas (makna ganda).
Pendapat pertama karakter meliputi unsur-unsur (1) jati diri (daya qolbu), (2) saripati
kualitas batiniyah/rohaniyah manusia, (3) berupa budipekerti (sikap dan perbuatan
lahiriah), sedangkan pendapat kedua meliputi unsur-unsur (1) cara berfikir, (2) cara
berperilaku (cirri khas setiap individu), (3) dalam hidup, dan (4) bekerjasama (baik dalam
lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara). Dengan demikian yang
dimaksud karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya (daya
qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniyah/rohaniyah, cara berfikir, cara
berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriyah) hidup seseorang dan bekerjasama baik dalam
keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.
D. Persamaan dan Perbedaan Akhlak, Moral, Etik, Budi Pekerti, dan Moralitas
1. Persamaan
1. Budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
2. Sifat manusia sejak lahir Berada dalam jiwa dan eksis adanya Perbuatan baik
disebut akhlak mulia Perbuatan buruk disebut akhlak tercela
3. Khuluq kebiasaan kehendak (‘adah al-iradah)
4. Sistem yang lengkap terdiri atas karakteristik akal atau tingkah laku menjadikan
manusia istimewa
5. Kesadaran etik dan moral (budi pekerti, watak, kesusilaan)
6. Sifat yang tertanam dalam jiwa Melahirkan macam-macam perbuatan baik atau
buruk
7. Keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan
8. Sifat yang tertanam dalam jiwa Menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
mudah
2. Hal-hal Yang Membedakan
1. Sifat-sifat manusia terdidik
2. Sesuai dengan pembinaannya
3. ‘Adah pengulangan perbuatan dengan syarat: ada kecenderungan/dorongan hati,
pengulangan cukup banyak tanpa pikiran. Iradah menang setelah kebimbangan
dengan syarat: keinginan timbul setelah stimulan melalui panca indera, timbul
kebimbangan mana yang diprioritaskan, dan keputusan memilih yang
dimenangkan disebutnya iradah.
4. Karakteristik membentuk kerangka prikologi seseorang membuat perilaku cocok
dengan diri dalam berbagai kondisi yang berbeda-beda
5. Kelakukan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap
Khaliqnya dan terhadap sesama manusia
6. Tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan
7. Tidak menghajatkan pemikiran
8. Tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan
E. Ruang Lingkup Akhlak Tasawuf
Pada saat ini tujuan pendidikan nasional semakin memberikan tekanan utama
pada aspek keimanan dan ketakwaan yang mengisyaratkan bahwa nilai inti (core value)
pembangunan karakter moral/akhlak bangsa bersumber dari keyakinan beragama. Hal itu
juga mengandung pengertian bahwa semua proses pendidikan di Indonesia harus
bermuara pada penguatan kesadaran nilai-nilai ketuhanan sesuai dengan keyakinan
agama yang dianut.
Berikut ini disebutkan ruang lingkup klasifikasi nilai, kategorisasi nilai, dan
struktur hierarki nilai42. Pertama, ruang lingkup nilai meliputi (i) nilai terminal dan nilai
instrumental, (ii) nilai instrinsik dan nilai ekstrinsik, (iii) nilai personal dan nilai sosial,
serta (iv) nilai subjektif dan nilai objektif. Kedua, kategorisasi nilai meliputi (i) enam
klasifikasi nilai yang mencakup nilai teoretik, ekonomis, estetik, sosial, politik, dan
agama, serta (ii) enam dunia makna yang mencakup simbolik, empirik, estetik, sinoetik,
etik, dan sinoptik. Ketiga, struktur hierarki nilai meliputi (i) empat hierarki nilai, yaitu
nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan kerohanian, serta (ii) tiga nilai hierarki
budaya yang berupa nilai inti, sekuler, dan operasional. Dalam membahas persoalan
ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak
meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap
sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap
masyarakatnya. Disamping itu juga meliputi bagaimana seharusnya bersikap terhadap
makhluk lain seperti terhadap malaikat, jin, iblis, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik,
akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam. Dalam Islam akhlak
(perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada
seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak Islam mengatur
pola kehidupan manusia yang meliputi :
1. Hubungan antara manusia dengan Allah Seperti akhlak terhadap Tuhan
2. Hubungan manusia dengan sesamanya Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi
hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap
masyarakat.
a. Akhlak terhadap keluarga yang meliputi: akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap
isteri, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
b. Akhlak terhadap masyarakat yang meliputi: akhlak terhadap tetangga, akhlak
terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap
sanak keluarga.
3. Hubungan manusia dengan lingkungannya Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak
terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4. Akhlak terhadap diri sendiri
F. Hubungan Akhlak dengan Aqidah, Syariah, dan Ilmu-ilmu yang Lain
Hubungan akhlak dengan aqidah dan syariah tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan
yang lain, karena secara esensial dan substansial ketiga hal ini menjadi satu keutuhan
integratif interkonektif, nondikotomis dan tauhidik. Demikian pula hugungan akhlak
dengan psikologi, sosiologi, bahkan dengan filsafat.
1. Hubungan akhlak dengan ilmu tauhid, sebagaimana disebutkan Rasulullah saw yang
diriwayatkan Abu Hurairah ra : “orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang
terbaik budi pekertinya” (HR. Al-Turmudzi)
2. Hubungan akhlak dengan ilmu hukum/syariah. Dari objek kajiannya sama-sama
berkisar pada masalah perbuatan manusia. Tujuannya pun sama yaitu mengatur
perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan, keselamatan, dan
kebahagiaan. Bagaimana seharusnya bertindak terdapat dalam kaidah-kaidah hukum
dan kaidah-kaidah etika. Bedanya jika hukum memberikan putusan hukum perbuatan,
etika memberikan penilaian baik atau buruknya.
3. Hubungan akhlak dengan psikologi, etika sangat membutuhkan psikologi, karena
psikologi membahas masalah kekuatan yang terpendam dalam jiwa, perasaan, faham,
pengenalan, ingatan, kehendak dsb yang ke semuanya merupakan faktor penting
dalam etika. Masalah kejiwaan yang mempengaruhi dan melahirkan akhlak dalam
kehidupan manusia.
4. Hubungan akhlak dengan ilmu masyarakat (sosiologi). Sosiologi membahas proses
perkembangan masyarakat yang meliputi faktor-faktor pendorongnya sampai kepada
tujuan gerakan-gerakan sosial. Demikian juga faktor penghalang dan perintang
tumbuhnya suatu masyarakat yang membuat terbelakangnya masyarakat. Karena itu,
berkaitan dengan tingkah laku manusia, maka hubungan sosiologi dan etika tidak
dapat dihindari terutama untuk menentukan penilaian baik buruknya tingkah laku
manusia
5. Hubungan akhlak dengan filsafat, filsafat berusaha menyelidiki segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Etika termasuk bagian di
dalam filsafat sekalipun dalam perkembangan berikut etika telah memiliki identitas
sendiri.
G. Posisi dan Hubungan Agama dan Sains Nondikotomik/Integratif
Agama (wahyu sumbernya) dan sunnatullah (hukum alam=sumber sains) adalah
ketentuan Allah secara tauqifi, dan metodologi berpikir dan berdzikir agama dan sains
integratif/tauhidik/nondikotomik.
Berikut penjelasan lebih rinci :
1. Allah SWT, adalah As-Syari’ pembuat dan penentu segala syariah dan
ciptaan-Nya.
2. Para Nabi/Rasul, adalah pembawa risalah dan mubayyin (penjelas) risalah
3. Pertemuan al-Kutub, masalah kemanusiaan dan As-sunnah Nabi/Rasul secara
tauqifi adalah Agama.
4. Agama dan Sunatullah (hukum alam) adalah dua hal secara garis besar
ditentukan dan ditetapkan oleh Allah SWT.
5. Hadlarah al-Falsafah - Hadlarah al-Falsafah - Hadlarah al-‘Ilm; Qauliah-
KauniahNafsiah; Perennial Knowledge (al-‘Ulum al-Din) Acquired;
Sunnatullah (Hukum Alam), pembuktiannya dengan Natural Sciences &
Technology-Humanities & Social Sciences secara Metodologi/Waqi’i adalah
Sains Nondikotomik.
6. Hadlarah an-Nash; ilmu-ilmu yang berkaitan dengan teks keagamaan
7. Hadlarah al-Falsafah; ilmu-ilmu etis-filosofis
8. Hadlarah al-‘Ilm; ilmu-ilmu kealaman atau kemasyarakatan
9. Kajian Agama tidak berhenti dan fokus pada teologis-dogmatis yang tidak
mudah diterima secara filosofis-metodologis (saintifik) karena keimanan lebih
mendasarkan pada dogmatis dan seharusnya kajian Agama mencapai filosofis-
metodologis, sehingga menjadi teologis-dogmatis dan filosofis-metodologis
(saintifik)
10. Kajian sains nondikotomik seharusnya tidak terbatas pada filosofis-
metodologis akan tetapi sampai dengan teologis-dogmatis, sehingga menjadi
filosofis-metodologisteologis-dogmatis.
11. Pemahaman pertama: Allah swt kepada Para Nabi/Rasul menurunkan al-
Kutub, dan as-Sunnah Nabi/Rasul, sebagai Hadlarah an-Nash. Secara vertikal
Hadlarah an-Nash dapat digolongkan Qauliah (ada dogma)---Kauniah, dan
Nafsiah (ilmiah); kemudian digolongkan Perennial Knowledge (al-‘Ulum al-
Din) Acquired (diperoleh); Sunnatullah (Hukum Alam), pembuktiannya
dengan Natural Sciences & Technology/Humanities & Social Sciences
(diperoleh).
12. Pemahaman kedua: Allah swt kepada Para Nabi/Rasul menurunkan al-Kutub,
dan asSunnah Nabi/Rasul, sebagai Hadlarah an-Nash terintegrasi dengan
Hadlarah alFalsafah dan Hadlarah al-‘Ilm; kemudian ketiga hadlarah ini
secara horizontal dapat dikolaborasikan dengan Qauliah (ada dogma)---
Kauniah, dan Nafsiah (ilmiah); kemudian digolongkan Perennial Knowledge
(al-‘Ulum al-Din) Acquired (diperoleh); Sunnatullah (Hukum Alam),
pembuktiannya dengan Natural Sciences & Technology/Humanities & Social
Sciences (diperoleh).
Konsep di atas menjelaskan tentang posisi agama, sunatullah dan sains secara
jelas dan tegas, sehingga hubungan antar keduanya juga menjadi jelas dan tegas.
Hubungan agama dan sains (ilmu pengetahuan) ibarat dua sisi mata uang tidak bisa
berdiri sendiri dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Sebagai tantangan di era global, bagaimana mengintegrasikan agama dan sains
dan memposisikannya bagi umat manusia sehingga terwujud hubungan agama dan sains
sinergis, sistematis, dan fungsional bagi hidup dan sistem kehidupan manusia. Agama
tidak menjadikan pemeluknya menjauhi sains dan demikian juga sains bagi saintis tidak
meninggalkan agama, akan tetapi agamawan “spiritualis” dan ilmuwan “saintis” saling
memperkuat, memperkokoh, dan saling mengisi kekurangan dan kelemahan sehingga
yang ada saling “fastabiqul khairat” (berlomba dalam kebaikan). Bagi seseorang
diharapkan memiliki predikat agamawan “spiritualis” dan ilmuwan “saintis” sekaligus
bukan masing-masing berdiri sendiri yakni seseorang hanya memiliki predikat agamawan
atau saintis saja.

Anda mungkin juga menyukai