Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

Mata Kuliah: Ilmu Akhlak


Dosen Pengampu: Dr. Mursidin, M.Pd.

RESUME KULIAH

Oleh :
Anisa Zahra Nurokhmah (1226000025)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Takrif Akhlak
Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu kata khuluk yang artinya
watak, kelakuan, tabiat, perangai, budi pekerti, tingkah laku atau pembiasaan. Al-Ghazali
mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seorang manusia
yang dari sifat tersebut akan timbul perbuatan yang mudah untuk dilakukan tanpa adanya
pemikiran dan pertimbangan lagi. Akhlak terbentuk dalam rentang waktu panjang
sehingga untuk mengubah sebuah perbuatan yang sudah menjadi akhlak memerlukan
minimal 3 kali dari durasi dan intensitas masa pembentukannya.

B. Ruang Lingkup Akhlak


Menurut Muhammad Abdullah Draz dalam bukunya Dustur al-Akhlak fi Islam membagi
ruang lingkup akhlak ke dalam lima bagian:
1) Akhlak Pribadi, yakni mencakup yang diperintahkan, yang dilarang, yang dibolehkan,
dan akhlak dalam keadaan darurat.
2) Akhlak Berkeluarga, yang terdiri dari kewajiban timbal bagi orangtua dan anak,
kewajiban suami istri, dan kewajiban terhadap karib kerabat.
3) Akhlak Bermasyarakat yang mencakup yang dilarang, yang diperintahkan dan kaidah-
kaidah adab.
4) Akhlak Bernegara yang terdiri atas hubungan antar pemimpin dan rakyat dan
hubungan luar negeri.
5) Akhlak Beragama yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.

C. Urgensi Mempelajari Akhlak


Ada beberapa urgensi, manfaat, hikmah, hasanah dan hazanah mempelajari akhlak
bagi setiap insan, antara lain:

1) Kesadaran Teologis bahwa berakhlak yang baik berarti beraqidah yang lurus. Sebab
kebaikan akhlak yang dimiliki seseorang akan mengantarkan seseorang kepada
kerendahan hati dalam menyatukan dirinya dengan Sang Pencipta.

2) Kebermaknaan Spiritual bahwa manusia yang senantiasa berakhlak buruk, berpikir


yang kasar dan terus-menerus melanggar aturan Allah akan secara otomatis merasa
semakin jauh dari Tuhan, semakin hampa secara spiritual dan semakin sempit dari
kebahagiaan personal dan sosial.
3) Kelekatan Psikologis bahwa pada saat manusia kembali diposisikan pada kodrat
alaminya maka manusia akan bertemu dengan hukum kebenaran awal yang manjadi
roh, spirit dan esensi bahan baku penciptaan manusia sebagai insan ilahiyah. Oleh
karena itu, bila manusia mengganti kebenaran dengan kesalahan, maka akan
memunculkan keresahan, bahkan keputusasaan. Hal ini karena manusia telah
membunuh kodrat alamiahnya sebagai mahluk yang memiliki fitrah kebaikan dan
diberi kecenderungan pada keburukan.

4) Kekentalan Sosiologis bahwa pada saat manusia mencoba untuk kembali pada
perbuatan dosa maka tidak ada seorang manusiapun yang menyukainya termasuk
dirinya sendiri, kecuali manusia-manusia yang kerusakan fitrah kebenarannya sudah
sampai pada level kerusakan permanen.

5) Kekokohan Edukatif bahwa manusia diciptakan dalam kualitas yang paling sempurna.
Ia memiliki potensi yang paling memungkinkan untuk sampai pada puncak
keberakhlakan tertinggi wahdatul wujud, penyatuan diri dengan-Nya.

6) Kelenturan Metodologis bahwa mendidik manusia dengan segala ragam potensi dan
kekayaannya memerlukan pemaknaan konseptual dan pemahaman metodologikal,
karena manusia itu mahluk hidup yang menghidup, mahluk berada yang menyadari
keberadaannya dan mahluk berdosa tapi sadar pada perbuatannya.

D. Koneksitas Akhlak dan Aqidah


Akhlak tidak akan akan lahir tanpa aqidah. Perbuatan baik yang dilakukan seseorang
yang tidak didasarkan pada kekokohan atau kebenaran aqidah tidaklah merupakan sebuah
akhlak, amal sosial. Ia hanyalah merupakan hadiah atau pemberian biasa saja. Islam
menetapkan aqidah, syariah dan akhlak sebagai satu kesatuan yang utuh. Ia hanya bisa
dibedakan tetapi tak bisa dipisahkan. Aqidah itu tidak terlihat oleh kasat mata (bagai akar)
tapi dampaknya terlihat di batang (syariah) dan pada buah (akhlak).

E. Relevansi Akhlak dan Syari’ah


Begitu dekatnya akhlak dengan syariah maka dalam beberapa pembahasan para ahli
memasukan akhlak sebagai syariah dalam pengertian yang umum. Menurut Athiyah
Fayyad syariat adalah seluruh hukum-hukum yang dibebankan Allah kepada hamba-Nya
yang telah dijelaskan kepada mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya. Syaikh
Abdul Karim Zaidan mendefiniskan bahwa syariat mencakup seluruh aktivitas manusia,
dengan menggunakan padanan kata syariat adalah kata millah dan ad-diin. Ad-diin dilihat
dari segi kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan. Sedangkan millah dilihat
dari segi perintah pelaksanaanya bagi manusia.
F. Hubungan Akhlak dan Tasawuf
Semua peribadatan, perilaku atau amaliyah yang dijalankan bukan karena Allah atau
masih ada motif lain dalam hatinya meski hanya sedikit maka itu termasuk amaliyah yang
belum sampai pada tasawuf. Bila hanya pemenuhan unsur luar, kaifiyat atau keterukuran
lahir maka itu bisa jatuh pada hukum fiqh. Namun bila amaliyah itu sudah menjadi
perilaku yang memperhitungkan dampak keutamaan dan kebaikan bagi orang lain maka
itu artinya akhlak. Sedangkan apabila amaliyah itu sudah menjadi perbuatan batini,
kehadiran hati dan suci dari berbagai motif selain karena Allah, maka itu artinya tasawuf.

G. Relasi Akhlak dan Moral


Moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos yang artinya kebiasaan, adat
istiadat, norma, perilaku atau budi pekerti yang berkaitan dengan keyakinan terhadap
sesuatu salah atau benar pada tatanan norma budaya masyarakat tertentu. Budaya
merupakan sumber utama moral, sehingga setiap negara, suku bangsa atau etnis memiliki
moral tersendiri di samping moral yang bersifat universal. Oleh karena itu, hubungan
antara akhlak dan moral diantaranya:

 Kedekatan Paradigmatik, baik akhlak maupun moral, kedua-duanya memiliki arus


besar pada keyakinan nilai-nilai utama sebagai sumber pegangan perbuatan baik-
buruk atau benar-salah.
 Kelekatan Edukatif, dimana kedua-duanya akan menjadi sebuah perilaku yang
menetap setelah proses internalisasi nilai-nilai utama untuk kemudian menjadi
nilai yang terpersonalisasi.
 Kemiripan Metodologis, pembentukan moral atau akhlak dibangun dalam rentang
panjang yang beriringan antara moral knowing dengan moral acting sampai tidak
lagi dibutuhkan pertimbangan dalam melakukannya.
 Keserupaan Aksiologis, ketika akhlak dan moral sudah beralih menjadi sebuah
tindakan dalam kehidupan nyata, sulit dibedakan indikator atau fenomenanya.
 Kesamaan Evaluatif, ketika moral dan akhlak harus dievaluasi maka keduanya
bersifat subjektif, karena moral dan akhlak bersifat personal. Evaluasi bisa
dilakukan dalam bentuk reflektif

H. Interaksi Akhlak dan Karakter


Karakter merupakan sifat batin, kata hati atau hati nurani yang mempengaruhi cara
berperasaan, berpikir, berkata dan bertindak. Karakter merupakan sifat batin seseorang
yang telah terinternalisasi dan terpersonalisasi yang tidak terlihat oleh kasat mata tetapi
mempengaruhi setiap tindakan seseorang. Sebuah akhlak sebagaimana karakter
memerlukan pembiasaan yang terus-menerus hingga sampai tertanam jauh pada pikiran
alam bawah sadar.

Anda mungkin juga menyukai