Anda di halaman 1dari 3

TUGAS RESENSI BAB 1 ILMU AKHLAK

RAYA RAMBU RABBANI

1226000164

A. Takrif Akhlak
Perkataan akhlak bukanlah sesuatu yang asing dalam telinga kita sebab akhlak telah menjadi
bahasa sehari-hari untuk menggambarkan perilaku seseorang terutama yang berhubungan
dengan adat istiadat, moral, norma dan bahkan terkadang budaya.
Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan akhlak? Tulisan ini akan mengupas definisi
akhlak secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis akhlak berasal dari bahasa Arab
yaitu kata khuluk yang artinya watak, kelakuan, tabiat, perangai, budi pekerti, tingkah laku atau
pembiasaan. Al- Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din juz 3 hal 53 mendefinisikan akhlak adalah,
“suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seorang manusia yang dari sifat tersebut akan timbul
perbuatan yang mudah atau gampang untuk dilakukan tanpa adanya pemikiran dan
pertimbangan lagi.

Demikian pula definisi akhlak menurut Ibnu Waskawaih merupakan ”, keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan
pikiran terlebih dahulu. Menurut Muhammad al-Hufiy 200:13) bahwa “akhlak merupakan
kemauan (azimah) kuat yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat yang
membudaya yang mengarah pada kebaikan dan keburukan”.
B. Ruang Lingkup Akhlak
Kita mengenal sekurang-kurangnya dua pendekatan atau ukuran dalam melihat sebuah
subjek bahan ajar yang akan dipelajari, dikaji dan diteliti, yakni berkaitan dengan kedalaman
(deepness) dan keluasan (scope). Kedalaman materi (deepness) berkaitan dengan daya jelajah
materi dari yang eksplisit menuju yang tacit, dari yang lahir kepada yang batin, dari yang fisik
kepada yang metafisik, dan dari horizontal kepada yang vertical. Materinya bisa sama tapi
kedalaman kajian yang berbeda. Ia bukan menekankan pada kuantitas tapi menelisik pada
kualitas. Karakter orang yang mempelajarinya laksana seorang spesialis (tahu banyak tentang
sedikit), mendasar dan mendalam tapi parsial atau over spesialis.
Sedangkan pendekatan yang menekankan pada keluasan, biasanya lebih memperhatikan
materi secara horizontal, lebar bukan dalam, kuantitas dan bukan kualitas. Materi dikemas dalam
hubungannya dengan disiplin ilmu yang lain tetapi hanya berbicara atau mempelajari irisan luar
yang artifisial, kulit luar saja bukan sel terdalam, tahu sedikit tentang banyak. Tipologi orang yang
mempelajarinya sering disebut generalis.
C. Urgensi Mempelajari Akhlak
Akhlak dalam terminologi ilmu-ilmu Islam bukanlah merupakan kategori ilmu temuan. Ilmu
yang mesti digali terlebih dahulu baru mendapatkan isi. Harus dibongkar baru kelihatan akar atau
dipecahkan baru kelihatan isi dan bijinya. Akhlak merupakan ilmu yang diberikan Allah secara
gifted dan embeded serta onboard pada setiap ayat-ayat Allah. Akhlak lahir bersamaan dengan
apapun yang Allah ciptakan. Ia merupakan hukum kebenaran yang menyatu padu dengan semua
yang ada kemudian menjadi keadaan. Ia merupakan hukum alam, yang paling dasar untuk sebuah
kebenaran serta menjadi penentu bagi keberlangsungan suatu keadaan.
Mempelajari akhlak bagi manusia bukanlah mempelajari sesuatu yang tidak atau belum ada
melainkan mempelajari yang sudah ada tetapi kadang belum meng-ada, eksistensi tetapi belum
eksist. Ada tetapi tak menyadari keberadaannya atau ada tetapi belum disadari keberadaannya
sehingga manusia acapkali mengada-ada. Sedangkan segala sesuatu yang diada-ada bukanlah
sebuah keberadaan tetapi kebohongan, kepalsuan dan kamuflase yang artifisial.

D. Koneksitas Akhlak dan Aqidah


Akhlak tidaklah akan lahir tanpa aqidah. Perbuatan baik yang dilakukan seseorang yang tidak
didasarkan pada kekokohan atau kebenaran aqidah tidaklah merupakan sebuah akhlak, amal
sosial. Ia hanyalah merupakan hadiah atau pemberian biasa saja. Misalkan, ada seseorang yang
bukan beragama Islam tetapi karena ia orang yang dermawan maka pada hari raya Idul Qurban
menyerahkan 10 ekor sapi untuk disembelih. Pertanyaannya apakah itu merupakan sebuah
peribadatan qurban seperti yang disyaratkan agama Islam? Jawabanya, kalau bukan suatu ibadah
berarti bukan akhlak juga. Karena perbuatan akhlak dalam syariat Islam haruslah didasarkan pada
aqidah yang benar dan syariat yang tepat. Kalau begitu perbuatan itu disebut apa? Jawabannya
itu perbuatan kebaikan, bukan kebenaran.
Islam menetapkan aqidah, syariah dan akhlak sebagai satu kesatuan yang utuh. Ia hanya bisa
dibedakan tetapi tak bisa dipisahkan. Aqidah memang posisinya sebagai fondasi atau akar dan
syariah sebagai batang sedangkan akhlak sebagai buahnya. Aqidah itu tidak terlihat oleh kasat
mata (bagai akar) tapi dampaknya terlihat di batang (syariah) dan pada buah (akhlak). Tak ada
buah lebat tanpa batang yang kokoh dan sekaligus tak ada batang yang kuat tanpa akar yang
kokoh. Itulah hubungan akhlak dengan aqidah yang merupakan irisan besar dan arsiran benar.

E. Relevansi Akhlak dan Syari’ah


Islam dalam cakupan besar meliputi aqidah, syariah dan akhlak. Aqidah sebagai fondasi
bangunan yang bisa menentukan apakah bangunan itu kuat atau tidak. Di atas fondasi yang kuat
tegaklah bangunan yang kokoh dan di bagian atas diberikan genteng atau atap sebagai pelindung
atas kekokohan bangunan dari berbagai ancaman serta menambah cantik arsitekturnya.
Kita acapkali menemukan cara berpikir orang yang keliru, bahwa “ yang penting berakhlak
baik, dari pada shalat tapi akhlaknya buruk, dari pada berkerudung tapi akhlaknya buruk, lebih
baik tidak berkerudung tetapi berakhlak yang baik”. Ungkapan ini terasa benar, padahal salah.
Mengapa salah? Karena Islam tidak memisahkan antar akhlak dengan syariah. Salah satu tujuan
ditetapkannya syariah adalah untuk membuat pelakunya berakhlak mulia. Jika orang yang
melakukan syariah tetapi akhlaknya tidak baik maka itu berarti ada masalah pada pelaksanaan
syariahnya yakni pada orang yang melakukannya.

F. Hubungan Akhlak dan Tasawuf


Dalam beberapa Fakultas Keagamaan acapkali tasawuf disandingkan dengan akhlak sebagai
sebuah kajian, yakni Akhlak Tasawuf. Namun apa makna sebenarnya dari penggabungan itu?
Apakah mampu membedakan akhlak dengan Tasawuf? Dan apa makna ketika sudah manjadi
akhlak-tasawuf? Ada sebuah ilustrasi yang bisa menggambarkan apa yang dimaksud dengan
hubungan antara akhlak dan tasawuf. Seorang guru sufi mengatakan;” kalau engkau pergi ke
masjid untuk shalat Jumat di awal waktu dan berada di shaf terdepan dengan tujuan supaya
nampak alim dan berpahala unta, itu namanya syirik. Sebab engkau beribadah bukan karena
Allah.

G. Relasi Akhlak dan Moral


Kita acapkali dihadapkan pada beberapa istilah yang mirip atau hampir sama, sekurang-
kurangnya nampak sama sehingga dianggap sama padahal berbeda. Serupa tapi tak sama. Beda
tetapi memiliki banyak kemiripan. Ketika penelusuran untuk mencari perbedaan justru semakin
banyak ditemukan persamaannya. Karena itu, istilah moral sering kali ditukarpakaikan dengan
istilah etika, budi pekerti, adab sopan santun dan bahkan akhlak.
Moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos (jamaknya mores) yang artinya
kebiasaan, adat istiadat, norma, perilaku atau budi pekerkti yang berkaitan dengan keyakinan
terhadap sesuatu salah atau benar, baik atau buruk pada tatanan norma yang hidup subur
dalam budaya masyarakat tertentu. Moral menjadi ukuran baik-buruk dan benar-salahnya
perilaku seseorang dalam bersosialisasi, berkomunikasi dan berinteraksi untuk memperoleh
sinergi antara aku dan kamu, aku dengan mereka dan aku dengan norma yang ada.
H. Interaksi Akhlak dan Karakter
Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada dua tawaran pendekatan pendidikan yakni akhlak atau
karakter atau akhlak yang berkarakter atau karakter berakhlak. Bagi pihak yang komitmen
berpikirnya pada nilai religius maka akhlak menjadi pilihan utama bagi pendidikan. Sedangkan
bagi pihak yang komitmen berpikirnya pada nilai-nilai budaya maka karakter menjadi pilihan
utama bagi pendidikan. Namun selain dua mazhab dan manhaz yang berpikir diametral, pro-
kontra, ada juga pemikiran konvergen yang menyatukan nilai subtantif akhlak dengan karakter
sehingga menemukan titik kesamaan esensial yang mempersatukan dan menyatukan, untuk
saling melebarkan dan meleburkan.

Anda mungkin juga menyukai