Anda di halaman 1dari 5

RESUME MATA KULIAH ILMU AKHLAQ

“DEFINISI, KARAKTERISTIK DAN TUJUAN ALQURAN”


RAYA RAMBU RABBANI

(1226000164)

A. Definisi Al-Quran

Secara etimologi, lafadz al-Qur’an berasal dari fi’il Qara`a yang mempunyai arti mengumpulkan dan
menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam
suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari
kata qara` qira`atan, qur`anan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

Artinya:

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al- Qiyamah :17-18).

Lafal Qur`anah disini berarti qiraatuhu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar
menurut wazan (tashrif, konjungsi)`fu`lan` dengan vokal `u` seperti `gufran` dan `syukran`. Kita dapat
mengatakan qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja, suatu bacaan.

Di samping dalam pengertian mashdar dengan pengertian bacaan atau cara membacanya, Qur’an juga
dapat dipahami dalam pengertian maf’ûl, dengan pengertian yang dibaca (maqrû’). Dalam hal ini apa
yang dibaca (maqru’) diberi nama bacaan (qur’an) atau penamaan maf’ûl dengan mashdar.

Menurut sebagian ulama seperti Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip as-Suyuthi, Qur ’an adalah ism
‘alam ghairu musytaq (nama sesuatu yang tidak ada asal katanya), merupakan nama khusus untuk
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, seperti halnya Taurat dan Injil yang juga
tidak ada asal katanya. Jika Qur’an berasal dari kata qara-a berarti setiap yang dibaca dapat dinamai
Qur’an.

Sedangkan menurut terminologi, al-Qur’an adalah:

Artinya:

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil
kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.

Batasan: kalam Allah yang berupa mukjizat telah menafikan selain kalam Allah, seperti kata-kata
manusia, jin, malaikat, nabi atau rasul. Karena itu, hadits Qudsi ataupun hadits Nabawi tidak termasuk di
dalamnya. Batasan: diturunkan kepada Muhammad saw yakni tidak termasuk yang diturunkan kepada
nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain. Sedangkan (bittawatur) artinya menafikan
riyawat ahad, syadz, dan lainnya, seperti bacaan Ibnu Mas’ud terhadap firman Allah SWT:

Artinya:
Barang siapa tidak sanggup melaksanakan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari (Q.s.
al-Maidah: 89)

yang beliau tambahkan dengan: mutatabi’ain (berturut-turut), ataupun bacaan terhadap firman Allah
SWT:

Artinya:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (Q.s. al-Maidah: 38)

yang mengganti aydiyahuma (tangan-tangan keduanya) dengan aymanahuma (bagian tangan atau kaki
kanan keduanya). Jadi penggantian atau penambahan atau yang sejenis dari bacaan tersebut tidak layak
disebut al-Qur’an, bahkan disebut hadits nabawipun tidak boleh karena bacaan tersebut dinisbatkan
kepada pembacanya. Maka, ia tidak lebih dari sekedar tafsir atau pandangan bagi orang
menetapkannya. Mengenai batasan terakhir (al-muta’abbad bi tilawatihi) dinilai ibadah ketika
membacanya, mengecualikan bacaan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi meski ia dinisbatkan kepada
Allah.

Kata Al-Qur’an bagi umat muslim sangat dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari. Lantunan ayat
suci al-Quran dapat dengan mudah didengarkan dalam format dan sumber yang beragam. Tetapi
sudahkah kita mengetahui apa makna dan pengertian al-Qur’an? Dalam artikel ini penulis akan sedikit
mengulas makna dan definisi al-Qur’an menurut para ulama dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-
Qur’an).

Sebelum kita membahas makna dan pengertian al-Qur’an ini, ada satu pertanyaan yang penting
dimunculkan: apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata al-Qur’an?

Pertanyaan ini coba penulis tanyakan ke pengikut instagram, jawabannya beragam, ada yang
mengatakan kitab suci umat Islam, pedoman hidup umat Islam, Surat Al-fatihah, dan ada juga yang
menjawab Kalam Allah Swt. Semua jawaban ini benar adanya dan dapat mewakili definisi al-Quran. Akan
tetapi, untuk dapat mengenal al-Qur’an lebih dekat kita perlu menelisik lebih jauh definisinya menurut
para ulama.

Menurut Badruddin al-Zarkayi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan juga menurut Jalaluddin al-
Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ada perbedaan pendapat mengenai asal usul atau akar kata
dari al-Qura’n. Sebagian ulama berpendapat kata al-Qur’an tidak memiliki akar kata, ia merupakan nama
khusus yang disematkan untuk menyebut Kalam Allah Swt.

Namun sebagian lain memandang kata al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa (‫ )القرى‬yang artinya
mengumpulkan (al-jam’u). Makna “mengumpulkan” ini berdasarkan keyakinan bahwa al-Quran
mengumpulkan intisari dari kitab-kitab suci terdahulu.

Berbeda dengan al-Zarkasyi maupun al-Suyuthi, Abdul Azhim al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-‘Irfan
berpandangan bahwa kata al-Qur’an berakar dari kata qara’a yang artinya “membaca”. Bila merujuk
makna ini, maka al-Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). Al-Zarqani melandaskan
pendapat ini pada Q.S al-Qiyamah ayat 17-18:

ُ‫)( ِإ َّن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ َوقُرْ آنَهُ () فَِإ َذا قَ َرْأنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُرْ آنَه‬
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”

Menurut al-Zarqani pendapat yang menyebutkan al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa atau al-qar’u
berdasarkan pelafalan orang Arab Hijaz dulu yang membaca al-Qur’an dengan al-Quraan (tanpa
hamzah). Padahal bagi al-Zarqani pelafalan yang membuang huruf hamzah ini hanya kebiasaan saja (li al-
takhfif), pada hakikatnya tetap menggunakan hamzah. Senada dengan al-Zarqani, Taufik Adnan Amal
juga berpandangan bahwa penghilangan hamzah pada kata al-Qur’an merupakan karakteristik pelafalan
dialek Mekah atau Hijazi, dan juga terdapat pada karakter penulisan aksara kufi awal yang tidak
memakai hamzah.

Penulis sendiri cenderung sepakat dengan pendapat terakhir yang mengatakan bahwa al-Qur’an secara
etimologi berasal dari kata qara’a yang artinya bacaan. Selain karena didasarkan pada ayat al-Quran
sendiri, pada dasarnya makna bacaan lebih lekat dan memotivasi kita untuk terus menerus menjadikan
al-Qur’an sebagai bacaan yang diresapi maknanya dan diimplementasikan pesan-pesannya.

Lalu bagaimana al-Quran didefinisikan dari segi terminologi? Kita bisa mendapat jawabannya dari
penjelasan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dari sekian definisi yang diuraikan al-Jabiri, penulis cenderung
memilih definisi sebagai berikut:

‫القرآن هو كالم هللا تعالى المنزل على خاتم أنبيائه محمد المكتوب في المصحف المنقؤل إلينا بالتواتر المتعبد بتالوته المتحدى بإعجاءه‬

“al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt yang diturunkan kepada penghujung para Nabi, Muhammad Saw,
ditulis dalam mushaf, ditransmisikan secara mutawatir, menjadi ibadah dengan membacanya, dan
menjadi penentang/penguat dengan kemukjizatannya.”

Mari kita bahas satu per satu definisi yang sekiranya tidak dapat langsung dipahami di atas. Pertama,
yang ditulis dalam mushaf, maksudnya apa? Selain dihafal dalam memori para sahabat, sejak awal al-
Quran telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk dituliskan melalui berbagai media: pelepah
kurma, tulang unta, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa al-Qur’an secara historis telah dijaga
keotentikannya bahkan segera setelah wahyu diterima Nabi Saw.

Kemudian segera setelah Nabi Saw wafat, para sahabat bersepakat untuk mengumpulkan al-Quran ke
dalam satu mushaf. Untuk penjelasan lebih detail soal sejarah penulisan al-Qur’an baik dari segi
tulisannya (khat) hingga sekarang bisa dicetak, diterbitkan, ada lembaga tashih yang ikut menjaga
kemurnian al-Quran dan lain sebagainya akan dibahas pada topik tersendiri.

Kedua, ditransmisikan secara mutawatir. Istilah Mutawatir lebih akrab dikenal dalam dunia periwayatan
hadis. Secara harfiah mutawatir berarti “berturut-turut atau beruntun”, tetapi dalam ilmu hadis istilah
ini merujuk pada kriteria kuantitas periwayat hadis yang menandakan sebuah hadis diriwayatkan oleh
banyak periwayat. Setidaknya ada empat kriteria menurut Mahmud Thahhan ketika sebuah riwayat
dinyatakan mutawatir. Pertama jumlah perawi minimal 10 orang. Kedua jumlah minimal tersebut harus
terpenuhi dari setiap generasi periwayat. Ketiga, dengan banyaknya jumlah tersebut sehingga mustahil
bagi para periwayat untuk bersepakat bohong. Keempat para perawi menyaksikan langsung dengan
panca indera proses transmisinya.

Al-Quran sudah dapat dipastikan sebagai kitab suci yang mutawatir. Karena sejak awal masa kenabian ia
telah menjadi fokus utama Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat. Mereka mencatat, menghafal,
mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran al-Qur’an. Dari generasi ke genarsi al-Qur’an terus diajarkan
dan dihafal sehingga tidak ada sejarawan yang menyangkal keotentikannya.

Ketiga, menjadi ibadah ketika membacanya. Pada poin inilah al-Quran dibedakan dengan hadis qudsi.
Meskipun sama-sama diyakini sebagai wahyu Allah secara verbal, al-Qur’an merupakan Firman Allah Swt
yang dikhususkan dan menjadi ibadah bagi umat muslim ketika membacanya. Ibadah ini berkait
kelindan dengan pahala yang dapat diraih oleh umat muslim terlepas dari paham dan tidaknya mereka
dengan apa yang dibaca. Ada banyak riwayat hadis sahih yang menerangkan keutamaan membaca al-
Qru’an, satu di antara yang paling populer adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud:

‫ اَل َأقُو ُل‬،‫ َوال َح َسنَةُ بِ َع ْش ِر َأ ْمثَالِهَا‬،ٌ‫ب هَّللا ِ فَلَهُ بِ ِه َح َسنَة‬


ِ ‫ َم ْن قَ َرَأ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ ق‬:ُ‫ يَقُول‬،‫عن َع ْب َد هَّللا ِ ْبنَ َم ْسعُو ٍد‬
ٌ ْ‫ف َو ِمي ٌم َحر‬
‫ف‬ ٌ ْ‫ف َواَل ٌم َحر‬
ٌ ْ‫ف َحر‬ ٌ ِ‫ َولَ ِك ْن َأل‬،‫ف‬ ٌ ْ‫الم َحر‬

“Dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja
membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan
satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf.
Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).

B. Karakteristik Al-Quran

1. Alquran adalah firman atau kalam Allah SWT, bukan perkataan mMalaikat Jibril (dia hanya penyampai
wahyu dari Allah), bukan sabda Nabi Muhammad SAW. (beliau hanya penerima wahyu Alquran dari
Allah), dan bukan perkataan manusia biasa, mereka hanya berkewajiban mengamalkannya.

2. Alquran hanya diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak diberikan kepada Nabi-nabi
sebelumnya. Kitab suci yang diberikan kepada para nabi sebelumnya bukan bernama Alquran tapi
memiliki nama lain; Zabur adalah nama kitab yang diberikan kepada Nabi Daud, Taurat diberikan kepada
Nabi Musa, dan Injil adalah kitab yang diberikan kepada Nabi Isa as.

3. Alquran adalah mukjizat, maka dalam sepanjang sejarah umat manusia sejak awal turunnya sampai
sekarang dan mendatang tidak seorangpun yang mampu menandingi Alquran, baik secara individual
maupun kolektif, sekalipun mereka ahli sastra bahasa dan sependek-pendeknya surat atau ayat.

4. Diriwayatkan secara mutawatir artinya Alquran diterima dan diriwayatkan oleh banyak orang yang
secara logika mereka mustahil untuk berdusta, periwayatan itu dilakukan dari masa ke masa secara
berturut-turut sampai kepada kita.

5. Membaca Alquran dicatat sebagai amal ibadah. Di antara sekian banyak bacaan, hanya membaca
Alquran saja yang dianggap ibadah, sekalipun membaca tidak tahu maknanya, apalagi jika ia mengetahui
makna ayat atau surat yang dibaca dan mampu mengamalkannya.

Adapun bacaam-bacaan lain tidak dinilai ibadah kecuali disertai niat yang baik seperti mencari Ilmu. Jadi,
pahala yang diperoleh pembaca selain Alquran adalah pahala mencari Ilmu, bukan substansi bacaan
sebagaimana dalam Alquran.

C. Tujuan Al-Quran
Alquran diturunkan dengan penuh berkah yang berisi tuntunan yang dapat mengantar kepada
kebajikan yang melimpah, membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya seperti Taurat dan
Injil.

Alquran juga diturunkan agar Nabi Muhammad SAW memberi peringatan kepada penduduk Ummul
Qura yakni Makah, dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman terhadap
kehidupan akhirat tentu beriman kepada Alquran, dan mereka selalu memelihara sholatnya dengan
tekun dan sungguh-sungguh.

َ ‫ق الَّ ِذيْ بَ ْينَ يَ َد ْي ِه َولِتُ ْن ِذ َر اُ َّم ْالقُ ٰرى َو َم ْن َحوْ لَهَ ۗا َوالَّ ِذ ْينَ يُْؤ ِمنُوْ نَ بِااْل ٰ ِخ َر ِة يُْؤ ِمنُوْ نَ بِ ٖه َوهُ ْم ع َٰلى‬
َ‫صاَل تِ ِه ْم ي ُٰحفِظُوْ ن‬ ُ ‫ص ِّد‬ ْ ‫َو ٰه َذا ِك ٰتبٌ اَ ْن‬
ٌ ‫زَل ٰنهُ ُم ٰب َر‬
َ ‫ك ُّم‬
Dan ini (Aquran), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah, membenarkan kitab-kitab yang
(diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura
(Makah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat
tentu beriman kepadanya (Alquran), dan mereka selalu memelihara sholatnya. (QS Al-An'am: 92).

T7afsir Kementerian Agama menerangkan dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Alquran adalah kitab
yang mulia, diturunkan kepada Nabi Muhammad penutup para Rasul, kitab itu turun dari Allah seperti
halnya Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa.

Hanya saja Alquran mempunyai nilai-nilai yang lebih sempurna karena Alquran berlaku abadi untuk
sepanjang masa. Alquran, di samping sebagai petunjuk, juga sebagai pembenar kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya dalam urusan tauhid, melenyapkan kemusyrikan dan mengandung ajaran-ajaran
dasar hukum syara' yang abadi yang tidak berubah-ubah sepanjang masa.77

Anda mungkin juga menyukai