Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

USHUL FIKIH

Di Susun Oleh :
MARSA MAYA ARJUNA
ANISSA SALSABILLA
DANIEL MAHENDRA
ZUKHRUF YENDA PUTRA

DOSEN PENGAMPU:
KHAIRIL ANWAR, M.IRKH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH SYAR’IAH)


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
TAHUN 2022 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kemudahan, dan
ketabahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan lancar.
Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing kita di jalan lurus penuh kebenaran, begitu juga kepada para sahabat dan
umatnya yang selalu mengikuti jejaknya sampai akhir. Terbentuknya makalah adalah berkat
dukungan dari semua pihak, yang telah membantu menyiapkan, memberikan masukan, dan
menyusun makalah, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada Orang tua penulis
yang memberi dorongan dan do'a, teman-teman yang mendorong dan memberikan masukan
dalam proses penyelesaian makalah. Dan juga kami berterimakasih kepada Bapak Khairil
Anwar,M.IRKH selaku dosen Ushul Fiqh yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Sangat berharap tugas ini bermanfaat dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai “Al-Qur’an dan Al-Hadits”. Penulis menyadari bahwa dalam makalah masih
terdapat ketidak sempurnaan dan kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat diharapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah. Harapan kami, semoga
makalah bermanfaat sebagaimana mestinya

Bengkalis, 19 September 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kajian terhadap ilmu ushul fiqh yang menggunakan Bahasa Indonesia masih sangat
terbatas jumlahnya karena masih lebih banyak dalam Bahasa Arab, sehingga sulit
dipahami oleh kalangan luas. Padahal, mengkaji ushul fiqh adalah sebuah keniscayaan.
Ilmu ushul fiqh lah yang dapat menawarkan metode kepada praktisi hukum islam untuk
membumikan Al-Qur’an dan Al-Hadist secara actual dan konsektual, seiring dengan
perubahan dan perkembangan zaman. Perbubahan dan perkembangan zaman selalu
menuntut adanya ketegasan dan kejelasan acuan bagi setiap perilaku dan perbuatan.
Ajaran islam harus mampu menjawab setiap persoalan umat di segala aspek kehidupan
mereka. Ada banyak pembahasan dalam menengenali materi ushul fiqh ini salah satunya
yaitu sumber-sumber hukum islam yang terdiri Al-Qur’an, Hadis, Ijma, Qiyas. Akan
tetapi tujuan makalah ini akan menjelaskan Al-Qur’an dan Hadis.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Al-Qur’an
2. Karakteristik Al-Qur’an
3. Kedudukan Al-Qur’an
4. Dalalah Al-Qur’an
5. Pengertian Al-Hadits
6. Kedudukan Al-Hadits
7. Fungsi Al-Hadits
8. Hubungan Al-Hadits dengan Al-Qur’an

3
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau
qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dham-mu)
huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan
Al-Qur’an karena ia berisikan inti sari semua kitabullah dan inti sari dari ilmu
pengetahuan.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al-Qur’an, ulama berbeda pendapat
mengenai lafadz Al-qur’an setelah sebelumnya mereka sepakat bahwa lafadz Al-
qur’an merupa- kan isim bukan fi’il. Sebagian berpendapat bahwa lafadz “Al- qur’an”
adalah kata yang mahmuz (kata yang mengandung huruf hamzah), sedangkan yang
lainnya berpendapat tidak. Diantaranya ulama yang mengatakan bukan mahmuz ialah:
a. Ibnu Katsir dan Al-Syafi’i berpendapat :
bahwa kata Al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah dan tidak diambil dari
kata lain. Ia adalah nama yang murtajal (khusus) dipakai untuk kitab suci yang
diberikan kepada Nabi Muhammad. Maka kata “Al-qur’an” menurut imam Al
syafi’i tidak diambil dari kata “qara’tu”, karena andaikan ia diambil dari kata
“qara’tu” pastilah seluruh yang dibaca orang merupakan Al-qur’an, sedangkan Al-
qur’an itu seperti taurat dan injil.
b. Al-Fara’ dalam kitabnya “Ma’an Al-Qur’an”, dan imam Al-qurthubi berpendapat :
bahwa lafal Al-Qur’an adalah kata yang musytaq (kata yang berubah dari
bentuk asalnya), dan diambil dari kata qara’in jama’ dari qarinah, yang berarti
petunjuk. Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu serupa satu
sama lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa
yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu. Dan telah jelas bagi kita bahwa
huruf “nun” yang ada pada lafadz “Al-qur’an” adalah huruf yang asli (tidak
berubah dari tanwin).
Di antara ulama yang mengatakan kata “Al-qur’an” mahmuz adalah :
a. DR. Abu thahir as-sanadi4 dan Al-Zajjaj berpendapat :
bahwa lafal Al-Qur’an itu berhamzah, mengikuti wazan fu’lan dan diambil
dari kata al-qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini karena Al-Qur’an merupakan
kitab suci yang menghimpun inti sari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci
sebelumnya.

4
b. Al-Lihyani berpendapat, bahwa :
c. lafal Al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdarnya diambil dari kata qara’a yang
berarti membaca, hanya saja lafal Al-Qur’an ini menurut al-Lihyani berbentuk
masdar dengan makna isim maf’ul. Jadi Al-Qur’an artinya maqru’ (yang dibaca)

Munaqasyah
Al-zajjaj menolak pendapat syafi’i dan Al-farra’ yang mengatakan bahwa Al-
qur’an bukanlah mahmuz. Ia berkata bahwa tidak didapati huruf hamzah dalam kata
“Al-qur’an karena takhfif, dan tidak terlihatnya huruf hamzah karena harkat yang ada
padanya telah dipindahkan ke huruf sakin yang terletak pada huruf sebelumnya. Dan
hal ini telah dikemukakan imam al-farisi,
DR. Kholid ibn abdurrahman al-juraisi menam-bahkan bahwa alif lam yang masuk
kepada kata AL-qur’an itu merupakan alif lam ashliyah, bukan alif lam ta’rif,
sehingga ia menjadi musytarok lafdzi, dapat digolongkan kepada keseluruhan isinya
atau sebagian saja.

Tarjih
Imam Al-suyuthi berpendapat bahwa pendapat yang rajih dari keduanya
adalah apa yang dikatakan oleh imam syafi’i.
Sementara syaikh syihabuddin al-alusi berpen-dapat bahwa pendapat yang
kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa lafadz Al-qur’an adalah lafadz yang
mahmuz. Al-alusi berhujjah bahwa kebanyakan qira’ah imam yang mutawatir
membaca lafadz Al-qur’an dengan hamzah, kecuali imam ibnu katsir. Apa yang
ditarjih dari imam suyuthi itu adalah hanya semata mengikuti imamnya, tanpa dalil
dan bahkan tidak menyebutkan penjelasannya. Bahkan imam al-zarqani berkata:
Semua pendapat mereka (yang menguatkan bahwa Al- qur’an tidak mahmuz)
tidak memberikan pan-dangan yang benar, dan apa yang mereka katakan adalah
sebuah paksaan dan jauh dari kaidah isytiqaq dan relevansi bahasa.
Sedang pengertian Al-Qur’an dari segi termino-loginya dapat dipahami dari
pandangan beberapa ulama berikut:
a. Syaikh nuruddin ‘atr memberi defenisi: Al-qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada nabi muhammad SAW yang tertulis di dalam mushaf, diterima

5
secara mutawatir, yang menjadi ibadah dengan membacanya, yang seti-ap
suratnya dapat melemahkan.
b. Muhammad Salim Muhsin, dalam bukunya Tarikh Al-Qur’an al-Karim
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan kepada
kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dipan-dang ibadah serta
sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek.9
c. Akram al-dalimiy berpendapat:
Al-qur’an adalah firman yang melemahkan, yang diturunkan kepada nabi
muhammad SAW, yang tertulis di dalam mushaf, yang diambil dengan cara
mutawatir, yang merupakan ibadah dengan membacanya, yang dimulai dengan
surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas.
d. Abdul Wahab khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT, yang
diturunkan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab.
Isinya dijamin kebenarannya dan sebagai Hujah kerasulannya, undang-undang
bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah
dan diakhiri dengan surat An-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir.

2. KARAKTERISRTIK AL-QUR’AN
Dari definisin tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang
didalam nya tercakup kriteria yang tidak ada dalam kitab-kitab suci lainnya, yaitu:
a. Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jika kepada lainnya,
maka tidak termasuk al-Qur’an, seperti kitab injil,zabur, dan taurat.
b. Berbahasa Arab Quraisy, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya sebagai berikut:
َ‫اِنَّٓا اَ ْن َز ْل ٰنهُ قُرْ ٰانًا ع ََربِيًّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُوْ ن‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurucnkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab,
agar kamu mengerti.” (QS. Yusuf:2)
c. Al-Qur’an disampaikan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir.
d. Setiap kata dalam Al-Qur’an, jika dibaca berpahala, baik berupa hafalan maupun
dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.

6
e. Dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas , sesuai dengan
tata urutan surat dalam Al-Qur’an.
3. KEDUDUKAN AL-QUR’AN
Ulama bersepakat untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumbert utama
Islam. Sebagai sumber utama, maka sumber ajaran islam yang lain, seperti ijma’,
qiyas, dan lainnya, harus bermuara pada sumber utamanya , yaitu Al-Qur’an.
Sebagai sumber utama, Al-Qur’an memuat nilai-nilai atau tata-aturan dasar.
Penjabaran dari nilai-nilai itu dapat berupa nilai-nilai hadis,ijma’,qiyas, dan
sebagainya. Tetapi, semuanya harus berlandaskan pada sumber dasarnya, yaitu Al-
Qur’an.
Oleh karena itu, validitas al-Qur'an sebagai hujjah adalah mutlak dan bersifat
pasti benarnya (qath'iyyatud dilalah/), sehingga menggunkan al-Qur'an sebagai dasar
hukum tidak membutuhkan bukti, alasan, atau keterangan apa pun dari yang lain.
Dalam tata urutan dalil-dalil hukum atau sumber ajaran Islam, al-Qur'an
menempati kedudukan paling tinggi, dan berfungsi sebagai alat kontrol atau alat ukur
tentang apakah dalil-dalil hukum yang lebih rendah tingkat annya sesuai atau tidak
dengan ketentuan-ketentuan al-Qur'an. Sebab, jika dalam kenyataan, mereka tidak
sesuai atau bahkan bertentangan dengan al-Qur'an, maka mereka tidak sah dan tidak
dapat diberlakukan,
Dengan demikian, yang disebut al-Qur'an adalah kalamullah yang ber bahasa
Arab. Ini berarti tafsir atau terjemahnya, bukan al-Qur'an. Maka, tafsir atau
terjemahnya bukan merupakan hujjah yang qath'iy melainkan dhanniy. Oleh karena
itu, terjadilah kasus-kasus di mana penafsiran ulama berbeda-beda, sekalipun banyak
juga yang bersesuaian.

4. DALALAH AL-QUR’AN
Semua umat Islam mengakui bahwa al-Qur'an diturunkan secara mutawatir,
sehingga dari sisi ini al-Qur'an disebut qath'i al-tsubut. Namun, dari sisi dalalah al-
Qur'an tentang hukum tidak semuanya bersifat qath'i, tetapi ada yang bersifat Zanni.
Cukup banyak ayat-ayat qath'i dalam al-Qur'an. Pengertian qath'i ini pula yang
banyak diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, seperti yang dijelaskan Wahba al-
Zuhaily berikut:
Nash qath'i adalah lafal yang terdapat di dalam al-Qur'an yang dapat dipahami
dengan jelas dan mengandung makna tunggal.

7
Defenisi qath'i menggambarkan suatu ayat disebut qath'i manakala dari lafal
ayat tersebut hanya dapat dipahami makna tunggal sehingga tidak mungkin dipahami
darinya makna lain selain yang ditunjukkan lafal itu. Dalam hal ini, takwil tidak
berlaku.
Di antara ayat-ayat al-Qur'an yang termasuk dalam kategori qath'i dalalah
ialah ayat-ayat tentang Ushul al-Syariah yang merupakan ajaran-ajaran pokok agama
Islam, seperti shalat, zakat, dan haji, perintah menegakkan yang ma'ruf dan mencegah
yang mungkar, menegakkan keadilan dan kewajiban mensucikan diri dari hadas. Di
samping itu, termasuk kelompok qath'i adalah ayat yang berbicara tentang akidah,
akhlak dan sebagian masalah muamalat.
Penempatan ayat-ayat ini dalam kategori qath'i dalalah dilatar belakangi
ajaran-ajaran yang dikandung ayat tersebut termasuk pokok-pokok agama (esensial)
yang bersifat tsawabith (tetap) dan tidak bersifat mutaghaiyyirat (berubah) karena
perubahan zaman. Andai kata ayat-ayat ini termasuk kategori zanni yang menjadi
objek ijtihad tentu akan muncul ketidak stabilan dalam agama dan sangat mungkin
mengalami perubahan perubahan. Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah muncul
mazhab fiqh karena ayat-ayat qath'i, tetapi yang ada dalam ayat-ayat zanni.
Menurut Syatibi maqasid al-Syari' dalam menetapkan syari'ah yang meliputi
dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat didasarkan kepada dalil-dalil qath'i karena ketiganya
merupakan ushul al-Syari'ah, bahkan ia adalah ushul ushul syariah. Logikanya, bila
ushul al-Syariah ditetapkan dengan dalil qath'i, maka ushul ushul al-Syari'ah lebih
utama ditetapkan dengan dalil qath'i.
Mengingat ayat-ayat qath'i dalalah dari sisi lafaznya tidak mengandung
kebolehjadian makna lain dari apa yang dikandung lafaz ayat itu, maka jelas peluang
ijtihad tidak dimungkinkan pada setiap ayat yang qath'i dalalah. Mempertegas
ketentuan ini para ulama merumuskan suatu kaidah: Tidak diperkenankan ijtihad
ketika sudah ada ketetapan nash.
Nash yang dimaksud dalam kaidah ini adalah nash yang qat'i dalalah. Dengan
kata lain, ayat-ayat yang qath'i dalalah tidak menjadi majal (ruang lingkup) ijtihad
bagi para mujtahid.
Meskipun dari sisi lafaznya suatu ayat qath'i, tetapi dari sisi makna mungkin
saja zanni sehingga bisa dikembangkan maknanya, tetapi bukan dimaksudkan
menggeser pengertian ayat tersebut. Adapun metode mengembangkannya melalui

8
qiyas, seperti halnya mengqiyaskan keharaman khamar kepada segala jenis minuman
atau narkoba yang sengaja dibuat untuk memabukkan. Sementara ayat-ayat zanni
dalalah merupakan lapangan ijtihad. Ini dipahami dari definisi zanni dalalah
sebagaimana dirumuskan Abd al-Wahhab Khallaf:
Nash zanni dalalah ialah suatu lafaz yang menunjukkan untuk suatu makna, tetapi
makna itu mengandung kebolehjadian sehingga dapat ditakwil dan dipalingkan dari
makna itu kepada makna yang lain.
Dari definisi ini dipahami suatu ayat zanni mengandung lebih dari satu
pengertian sehingga memungkinkan ditakwil, seperti firman Allah swt surat al-
Baqarah, ayat 228:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
Kata quru' dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang mengandung dua
makna, yaitu suci dan haid. Karenanya, apabila quru' diartikan dengan suci
sebagaimana yang dipahami ulama Syafi'iyah logis dan benar karena sesuai dengan
makna bahasanya. Implikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa
iddah (menunggau) selama tiga kali suci. Sementara, apabilah kata quru' diartikan
sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyyah adalah benar dan tepat.
Ini ber. implikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak
suaminya, yaitu tiga kali haid.
Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat yang
zanni dalalah. Begitu pula dengan lafaz amm dan mutlak termasuk ayat-ayat zanni
yang dapat ditakwilkan dan menjadi lapangan ijtihad para ulama mujthahid.

5. PENGERTIAN AL-HADITS
Hadis adalah kata mufrad, yang jama'nya adalah al-ahadits, dan kata dasarnya
tahdits , yang artinya "pembicara an". Dari sisi bahasa, kata hadis memiliki beberapa
arti, di antaranya adalah:
a. al-jadid , artinya : "yang baru", lawan kata al-qadim (yang lama), arti ini
menunjukkan adanya "waktu dekat dan singkat",
b. al-thariq artinya: "jalan", yaitu: (jalan yang ditempuh).
c. al-khabar, artinya: "berita".
d. al-sunnah, artinya "perjalanan", yang artinya sama dengan kata: al-sirah .

9
Secara istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai
dengan latar belakang keilmuan mereka masing-masing, seperti per bedaan antara ahli
ushul dan ahli hadis dalam memberikan definisi Hadis
a) Ahli Hadis:
Artinya: Segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat lahir, dan batinnya. Ataupun perjalanan
hidupnya sejak sebelum diangkat menjadi rasul seperti ber tahannuts di gua Hiro
maupun sesudah diangkat menjadi rasul.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa Hadis/Sunnah meliputi biografi
Nabi SAW, sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik (misalnya masalah
tubuh, rambut, dan sebagainya) maupun hal-hal yang terkait dengan masalah psikis
dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum maupun sesudah terutus sebagai Nabi.
b) Ahli Ushul:
Artinya: Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al Qur'anul
Karim, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan sebagai dasar
menetapkan hukum syara'.
c) Ahli Fiqh:
artinya: segala sesuatu yang ditetapkan oleh nabi SAW , tetapi tidak termasuk
dalam kategori fadrlu atau wajib. ketatapan itu berupa perjalanan hidup yang
menjadi barometer (panutan) dalam urusan keagamaan, bukan fardlu dan wajib.
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa Hadis/Sunnah adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan
yang berhubungan erat dengan hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan Allah yang
disyari'atkan kepada manusia. Ini berarti yang selain itu tidak masuk dalam pengertian
Hadis.
Oleh sebab itu, Hadis/Sunnah adalah sesuatu yang berhubungan erat dengan
misi dan ajaran Allah yang menjadi tugas Muhammad SAW sebagai Rasulullah,
berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan. Sedangkan yang ber hubungan dengan
kebiasaan-kebiasaan, seperti tata-cara berpakaian, tidur, dan sebagainya merupakan
kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan, sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam
pengertian Hadis.
Dengan demikian, ahli hadis memandang bahwa Hadis merupakan sesuatu
yang keluar dari manusia sempurna bernama Muhammad SAW, sehingga apa pun

10
yang melekat pada beliau merupakan suri tauladan bagi umat, sekalipun berbentuk
kebiasaan yang bersifat manusiawi.
Akan tetapi, ahli ushul memandang Nabi Muhammad SAW sebagai manusia
pembuat undang-undang (wetgever) di samping Allah SWT, se hingga hal-hal yang
berbentuk kebiasaan dan bersifat manusiawi tidak ter masuk Hadis.
Lain halnya dengan ahli fiqh, Hadis/Sunah oleh mereka dipandang sebagi
suatu perbuatan yang harus dilakukan, tetapi tingkatannya tidak sampai kepada wajib
atau fardlu, sebab Hadis/Sunnah masuk ke dalam suatu pekerjaan yang status
hukumnya "lebih utama jika dikerjakan". Artinya, suatu amalan yang apabila
dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa, akan
tetapi apabila ketentuan tersebut dilanggar mendapat dosa.Dengan demikian, Hadis
memiliki kesamaan arti dengan sunnah, khabar, dan atsar.

6. KEDUDUKAN HADIS/SUNNAH
Telah diketahui bersama bahwa Allah SWT telah menegaskan bahwa
Muhammad SAW sebagai rasul merupakan personifikasi yang utuh dari agama,
perintah, dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, umat Islam diwajib kan untuk selalu
mengikuti jejaknya dan diharamkan mengingkari Hadis/ Sunnahnya. Sejalan dengan
itu, ikrar keimanan seseorang kepada Allah SWT hanya akan diakui bilamana sejalan
dan setarikan nafas dengan ikrar keimanannya kepada rasul-Nya. Ini sesuai dengan
firman Allah dalam al Nur: 62:
Artinya: Sesungguhnya yang benar-benar orang mukmin adalah or ang-orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama
rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak
meninggalkan (rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa Hadis/Sunnah merupakan


sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an, sehingga seorang mujtahid tidak akan
merujuk kepada Hadis ketika membahas suatu kejadian kecuali jika tidak ditemukan
kepastian hukumnya di dalam al-Qur'an, sebab al Qur'an merupakan sumber pokok
pertama dalam Islam yang harus diikuti lebih dahulu.
Hadis/Sunnah kedudukannya berada di bawah tingkatan al-Qur'an karena
beberapa faktor:

11
1. al-Qur'an berstatus qath'iy, baik dilihat dari sisi ijmaliy maupun sisi tafsiliy.
Sedangkan Hadis/Sunnah berstatus qath'iy secara ijmaliy namun dhanniy secara
tafsiliy. Dalam hal ini yang qath'iy harus di dahulukan ketimbang yang dhanniy.
Ini berarti bahwa al-Qur'an harus didahulukan atas Hadis/Sunnah.
2. Fungsi Hadis/Sunnah hanya sebagai penjelas terhadap al-Qur'an atau menambah
hal-hal yang belum jelas ketetapannya dalam al-Qur'an. Jika Sunnah sebagai
penjelas, maka ia berkedudukan nomor dua setelah al Qur'an.

Oleh sebab itu, turunnya al-Qur'an (sebagai mubayyan) diikuti oleh turunnya
Hadis/Sunnah (sebagai bayan). Bukan sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan
mendahulukan al-Qur'an ketimbang Hadis/Sunnah.
Dari kedua alasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan
Hadis/Sunnah tidak sama dengan kedudukan al-Qur'an, sekalipun Imam Syafi'iy
berpendapat bahwa al-Qur'an dan Hadis/Sunnah yang shahih ber kedudukan sama.
Fungsi ketetapan yang ada pada Hadis dalam hubungannya dengan ketetap an
al-Qur'an dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
a.Bayan Taqririy atau Ta kidiy
Maksudnya, Hadis/Sunnah berfungsi menetapkan dan memperkuat apa-apa
yang telah dijelaskan dan ditetapkan oleh al-Qur'an. Dalam hal ini, Hadis/Sunnah
adalah penjelasan terhadap ketentuan al-Qur'an.
Melihat banyaknya Hadis/Sunnah yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an,
maka penjelasan seperti ini dikenal sebagai bayan al-muwafiq lil nasshu al-kitabiy
Contoh:
i. Hadits riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar tentang kewajiban puasa Ramadlan.

‫فإذا رأيتم الهالل فصوموا وإذا رأيشهوة فالطروا‬

Artinya: Jika kalian melihat (ru'yah) bulan maka berpuasalah dan jika melihat
(ru'yah) bulan maka berbukalah. 85
ii. Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah tentang wudlu.
‫قال رسول ہللا ﷺ اليقبل صالة من أحدث حتى يتوضاء‬

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima salat seseorang yang


berhadas sebelum dia berwudlu (HR. Bukhari)

12
b. Bayan Tafsiriy
Maksudnya, Hadis/Sunnah berfungsi memberikan tafsir dan rincian terhadap
hal-hal yang sudah dibicarakan oleh al-Qur'an. Hal ini dapat dikelompokkan menjadi
4 (empat) jenis, yaitu:
1). Bayan al-Mujmal
Maksudnya, Hadis/Sunnah memberikan tafsiran atau penjelasan secara rinci
terhadap ayat-ayat yang sifatnya masih umum atau global, misalnya Hadis tentang
tata cara shalat.
2). Taquid al-Muthlak
Maksudnya, Hadis/Sunnah memberikan batasan-batasan terhadap ayat-ayat
yang sifatnya mutlak, seperti Hadis tentang batasan potong tangan bagi pencuri:
‫أتي رسول هللا ﷺ بسارق فقطع يده من مفصل الكف‬

Artinya: Rasulullah SAW telah kedatangan seseorang dengan membawa


seorang pencuri, lalu beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan.
Hadis ini sebagai penjelas terhadap ayat:
‫الشارق والشارقة فاقطعوا أيديهما‬
Artinya : Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah kedua tangan nya,
3). Takhshishu al-'Am
Maksudnya, Hadis/Sunnah berfungsi men-takhshis atau mengecualikan ayat-
ayat yang sifatnya masih umum, misalnya hadis tentang harta warisan
Artinya: Kami para sahabat Nabi tidak meninggalkan harta warisan.
Artinya: Nabi SAW bersabda, tidaklah seorang muslim mewarisi harta dari
orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta muslim.
4). Taudih al-Musykil(a)

Maksudnya, Hadis/Sunnah berfungsi menjelaskan hal-hal yang dalam al-


Qur'an masih sulit dimengerti, seperti kata "khaith" dalam ayat:
Artinya: Dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu Fajar.
c. Bayan Tasyrii atau Ziyadah
Maksudnya adalah membentuk hukum yang di dalam al-Qur'an tidak ada atau
sudah ada tetapi sifatnya hanya khusus pada masalah-masalah pokok. Dalam hal ini,
Hadis/Sunnah dapat dikatakan sebagai tambahan terhadap apa-apa yang di dalam al-

13
Qur'an tidak disinggung. Model pen jelasan seperti ini, disebut oleh para ahli dengan
istilah zaa idun 'ala kitab al-karin, misalnya:
i. Hadis tentang janin yang mati dalam kandungan induknya.
Artinya: Sembelihan Janin itu mengikuti sembelihan induknya."
ii. Hadis tentang bangkai ikan laut.
Artinya: Air laut itu suci, dapat dipakai bersuci, dan halal bangkainya.
Yang melatarbelakangi munculnya pembentukan hukum seperti itu adalah:
a). Adanya pertanyaan yang diajukan para sahabat.
b). Adanya keinginan para sahabat untuk mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya, seperti:
Haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara, misalnya antara istri dan
bibinya dan sebagainya.
-Hukum cambuk atau rajam terhadap gadis yang berzina.
-Hukum hak waris bagi seorang anak.
-Hukum zakat fitrah, yaitu:
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah di bulan
Ramadlan satu sha' kurma atau gandum atas manusia muslim, merdeka, laki-laki atau
perempuan. (Hadis riwayat Muslim),
Jalan yang ditempuh Hadis dalam menetapkan hukum yang tidak ada dalam
al-Qur'an adalah:
1.ilhaq
Maksudnya, menetapkan hal-hal yang secara konkrit sudah di jelaskan oleh al-
Qur'an tetapi hal-hal lain yang terkait belum dijelas kan. Contohnya tentang status
hukum bangkai ikan dan janin yang mati dalam kandungan induknya.
2.Qiyas
Maksudnya, menganalogikan hal-hal lain dengan sesuatu yang telah
ditetapkan hukumnya dalam al-Qur'an lantaran adanya kesamaan illat.
Contoh:
Hadis tentang haramnya berpoligami antara dua saudara
3) Istinbath
Maksudnya, menetapkan kaidah-kaidah umum dari beberapa nash
al-Qur'an yang letaknya terpencar-pencar.
contoh:

14
Artinya: Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan
sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang kannya. diniat
Hadis ini merupakan kaidah umum yang diambil dari beberapa ayat al-Qur'an
yang isinya berupa perintah untuk selalu bertindak ikhlas dan larangan berlaku
riya'dan mencaci. Di antaranya adalah sebuah ayat dalam Surat Az-Zumar yang
artinya: Ingatlah, hanya untuk Allah sajalah agama yang bersih.102
d.Bayan al-Taghyir atau alNaskh Maksudnya, Hadis berfungsi melakukan
perubahan terhadap segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh ayat-ayat al-
Qur'an,seperti hadis nabi muhammad SAW:
Artinya: Sesungguhnya Allah telah memberi hak bagian bagi orang-
orang yang benar-benar memiliki hak untuk itu, maka tidak ada wasiat bagi
ahli waris. Hadis ini menghapus ketetapan al-Qur'an dalam al-Baqarah: 18:
Artinya: Diwajibkan atas kamu, ketika salah seorang dari kamu akan
meninggal dunia sedangkan dia meninggalkan banyak harta benda. agar membuat
wasiat untuk orang tuanya dan kerabatnya dengan sebaik-baiknya.

7. FUNGSI AL-HADITS
Adapun fungsi sunnah atau Hadis terhadap Alquran adalah sebagai:
Bayan taqrir atau bayan taklid atau bayan al-isbath. Bayan ini maksudnya
menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Alquran. Jadi fungsi
Hadis pada hal ini adalah memperkokoh isi kandungan Alquran. Alquran menekankan
bahwa Rasul saw. Berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44).
Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka
ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Alquran dan Hadist merupakan dua sumber
yang tidak bias dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:
1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Alquran.
Di sini Hadis berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang
dinyatakan oleh Alquran. Alquran menetapkan hukum puasa, dalam firman-
Nya
‛Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa‛
.(Q.S Al-Baqarah/2:183)

15
2. Dan Hadis menguatkan kewajiban puasa tersebut: Islam didirikan atas lima
perkara: ‚persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad
adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat, puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke .‛ (H.R Bukhari dan Muslim)
Selanjutnya ada juga disebut dengan bayan tafsir. Maksudnya adalah
penjelasan Hadis terhadap ayat ayat yang memerlukan perincian atau
penjelasan lebih lanjut, seperti ayat ayat mujmal, muthlak dan ‘am.
Jadi fungsi Hadis dalam hal ini adalah memberikan perincian dan penafsiran,
terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal, memberikan takhyid terhadap
ayat-ayat yang masih muthlal dan memberikantakhshis ayat-ayat yang masih
umum. Hadis memberikan rincian terhadap pernyataan Alquran yang masih
bersifat global. Misalnya Alquran menyatakan perintah shalat:
‛Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat‛ (Q.S Al Baqarah
/2:110).
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu Hadis merincinya,
misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah saw:
Dari Thalhah bin Ubaidillah: bahwasannya telah datang seorang Arab Badui
kepada Rasulullah saw. dan berkata: ‚Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku
salat apa yang difardukan untukku?‛ Rasul berkata: ‚Salat lima waktu, yang
lainnya adalah sunnat‛ (HR.Bukhari dan Muslim).
Alquran tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan
maupun gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadis, misalnya
sabda Rasulullah saw:
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.‛ (HR.
Bukhari)
Selanjutnya adapun fungsi Hadis terhadap Alquran adalah sebagai bayan at-
Tasyri’. Kata tasyri’ artinya perbuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan
aturan hukum.1 Jadi maksud bayan tasyri’ di sini adalah mewujukan,
mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang
tidak didapati nashnya dalam Alquran.
3. Hadis membatasi kemutlakan ayat Alquran. Misalnya Alquran mensyariatkan
wasiat:

1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), Hlm. 33

16
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda
maut dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan
bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang
yang bertakwa,‛ (Q.S Al Baqarah/2:180)18
Hadis memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan).
Kemudia bayan an-Nasakh yaitu diartikan sebagai membatalkan,
menghilangkan, memindahkan, mengubah.
4. Hadis memberikan pengecualian terhadap pernyataan Alquran yang bersifat
umum. Misalnya Alquran mengharamkan memakan bangkai dan darah:
‛Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang
disembelih atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh,
yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu
menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula
bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S
Al Maidah /5:3)19
Hadis memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis
bangkai tertentu (bangkai ikan dan belalang) dan darah tertentu (hati dan
limpa)
5. Hadis menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Alquran. Alquran
bersifat global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti.
Dalam hal ini, Hadis berperan menetapkan hokum yang belum ditetapkan oleh
Alquran, misalnya Hadis dibawah ini: Rasulullah melarang semua binatang
yang bertaring dan semua burung yang bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas).
’Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al- Sunnah
fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadis mempunyai
fungsi yang berhubungan dengan Alquran dan fungsi sehubungan dengan
pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’I
dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan
Alquran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa
yangdiistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir.
Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang

17
terdapat di dalam Alquran, sedangkan yang kedua memperjelas, , bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Alquran.2

8. HUBUNGAN HADISTDENGAN AL-QUR’AN


Al-hadits oleh para ulama didefinisikan seperti definisi Al-Sunnah, yaitu
"Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi
maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada
"ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan
bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka
ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan
oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT
yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan
hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.
Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan
Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi
berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa
athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal
yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan
sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada
beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT
dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus
dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang
melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn
Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi
kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada
Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak
berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-
ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima
ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa
enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu,

2
H. Ali Anas Nasution, M.A. Hubungan Hadis Dengan Alquran. Jurnal Thariqah Ilmiah Vol. 02 No. 02 Juli
2015

18
merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-
Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol
antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung
oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi
Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan
demikian seterusnya generasi demi generasi.
Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami
perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian
banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang
--menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-
Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya
disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit
berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw.
Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa
sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian
atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan
hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi
otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.
Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan
hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di
samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga
mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya
hadis-hadis Nabi saw.

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan,
atau qur’anan” yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dham-mu)
huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur. Dikatakan Al-
Qur’an karena ia berisikan inti sari semua kitabullah dan inti sari dari ilmu
pengetahuan.
Ulama bersepakat untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumbert utama
Islam. Sebagai sumber utama, maka sumber ajaran islam yang lain, seperti ijma’, qiyas,
dan lainnya, harus bermuara pada sumber utamanya , yaitu Al-Qur’an.
Hadis adalah kata mufrad, yang jama'nya adalah al-ahadits, dan kata dasarnya
tahdits , yang artinya "pembicara an".
Hadis/Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur'an,
sehingga seorang mujtahid tidak akan merujuk kepada Hadis ketika membahas suatu
kejadian kecuali jika tidak ditemukan kepastian hukumnya di dalam al-Qur'an, sebab al
Qur'an merupakan sumber pokok pertama dalam Islam yang harus diikuti lebih dahulu.
Al-hadits oleh para ulama didefinisikan seperti definisi Al-Sunnah, yaitu "Segala
sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi
Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan
taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah.
Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai
bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

20
B. SARAN

Alhamdulillah makalah ini telah selesai saya buat. Saya mengakui makalah ini banyak
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

21

Anda mungkin juga menyukai