Anda di halaman 1dari 22

AL-QURAN DAN AS-SUNAH SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM ISLAM

KELOMPOK 2

1. AMANDA APRILIA
2. NURLIA PUJI UTAMI
3. RIDHO AZIZ ALFAREZI
4. RISKI WAHYU DUWI SAPUTRA
5. YOLA FEBRIYANA

KELAS A

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Tahun 2022\2023
KATA PENGHANTAR

puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Al-Quran Dan As-sunnah Sebagai
Sumber Dalil Hukum Islam” dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Pada kesempatan kali ini, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu pada Mata Kuliah Ushul Fiqih yang telah membimbing kami dalam
pengerjaan tugas makalah. Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang turut
berkontribusi dan membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baikdari segi
sistematika maupun isinya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca guna menyempurnakan makalah ini kedepannya. Penulis
berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Aamiin.

Metro,21 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................

KATA PENGANTAR ..............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

1.A. Latar Belakang...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.A. Pengertian Al-Quran..........................................................................................

2.B. ............................................................................................................................

2.C. ............................................................................................................................

BAB III PENUTUP....................................................................................................

3.A. Kesimpulan.........................................................................................................

3.B. Saran
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam buku-buku ushul fiqih kontemporer, biasa dijumpai ungkapan
yang menyatakan: “ sumber hukum islam yang disepakatiseluruh ulama ada
empat yaitu Al-quran, assunah, Al-ijma’, dan Al-qiyas”. Pada hakikatnya, kata
sumber mengandung arti yang menjadi dasar lahirnya sesuatu. Sedangkan kata
dalil mengandung arti, sesuatu yang memberi petunjuk dan mengantarkan orang
untuk menemukan sesuatu. Dalam konteks dalil, terdapat upaya ijtihad untuk
menemukan hukum islam dari sumbernya yang asli.

Oleh karena itu, yang dapat disebut sebagai sumber hukum islam
sebenarnya hanya dua, yaitu Al-quran dan Hadits. Sebab, keduanya merupakan
dasar lahirnya ketentuan hukum islam dan merupakan teks-teks nashsh yang
menjadi rujukan dalam menentukan hukum islam itu sendiri.Pada makalah ini
kami akan membahas dua sumber hukum islam yang kita ketahui yaitu Al-quran
dan Hadits. Al-quran dan Hadits merupakan sumber dari segala sumber ajaran
islam. Ijtihad para pakar membantu mengemukakan maksut dari ajaran-ajaran
yang terdapat dalam Al-quran dan Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Quran Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Pertama


1. Pengertian Al-Quran
Secara etimologi, Al-quran merupakan bentuk masdar dari kata qara’a;
timbangan kata (wazan)-nya adalah fu’lan, artinya bacaan. Lebih lanjut,
pengertian kebahasaan Al-quran ialah, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah. 1
Sementara itu, menurut Muhammad Ali ash- Shabuni Al-quran iyalah firman
Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada “ penutup para nabi
dan rasul”;(Muhammad) melalui malaikat jibril, termaktub didalam mushaf,
yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, memebacanya merupakan
ibadah, dimulai dari surah Al-fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas.2
Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan: Al-kitab atau Al-quran adalah firman
Allah yang diturunkan kepada nabu Muhammad, berbahasa arab yang nyata,
sebagai penjelasan untuk kemaslahatan baik manusia didunia dan di akhirat.3

Al-quran dalam kajian ushul fiqh merupakan objek pertama dan utama
pada kegiatan penelitian dan memecahkan suatu hukum.Al Quran mulai di
turunkan di mekkah ,tepatnya di gua hira pada tahun 611 M ,dan berakhir di
madinah pada tahun 633 M ,dalam jarak 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Al quran
turun dalam dua priode yaitu priode mekah sebelum hijrah ke madinah ( ayat
yang diturunkan disebut dengan makiyyah ) dan priode kedua dikenal dengan
ayat madiniyyah yang turun setelah rasulullah hijrah ke madinah.

Para ulama sepakat bahwa Al Quran sebagai hujjah(argumentasi) dalam


segala tindakan , artinya segala sikap dan prilaku manusia harus sejalan dan
seirama dengan tuntunan Al Quran . Namun demikian,ulama berbeda pendapat
dalam masalah apakah al quran itu lafadz dan maknanya , atau hanya lafadznya
saja. Adapun yang dimaksud dengan al quran hanya lafadz adalah bahwa jika al
quran di terjemahkan dalam bahasa lain (ghairu al-arab) tidak bisa di katakan al
quran , karena al quran hanya rangkaian huruf berbahasa arab. 4

Al quran merupakan wahyu yang difirmankan Allah baik makna maupun


lafalnya. Dengan demikian, wahyu yang disampaikan hanya dalam bentuk
maknanya saja ssedang lafalnya berasal dari nabi Muhammad tidak disebut Al
quran, melainkan hadits qudsi atau hadits pada umumnya. Al quran diturunkan

1
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. USHUL FIQH (AMZAH Jakarta, cet.1. 2010).hal.115.
2
Muhammad Ali asShabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tt, hal. 6.
3
Ali Hasbullah, Ushul at-Tasyri al-Islami, Mesir. Dar al-Ma’arif, 1971-1391, hal. 17.
4
Dr. Hasbiyallah, M.Ag. Fiqih dan Ushul Fiqh (PT REMAJA ROSDAKARYA, cet.1.).hal. 10-11.
kepada nabi muhammad. Artinya, wahyu Allah yang diturunkan kepada para
nabi dan rasul sebelum nabi muhammad, seperti: taurat, zabur, dan injil, bukan
lah Alquran. Jadi, Alquran banyak menceritakan kembali dan menyutir wahyu
dan diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul terdahulu.

2. Kehujjahan Al-Quran
Semua ulama sependapat bahwa al quran merupakan hujjah bagi setiap
muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab allah yang sifat periwayatannya
mutawatir. Periwayatan al quran sendiri, selain dilakukan oleh orang banyak dari
satu generasi ke generasi yang lain sejak generasi sahabat nabi, juga dilakukan
dalam bentuk lisan dan tulisan, dimana tidak seorang pun berbeda pendepat
dalam periwayatannya, padahal para perawih al quran tersebt berbeda beda suku,
bangsa dan wilayah tempat tinggalnya berdasarkan tempat kenyataan tersebut,
keberadaan keseluruhan ayat ayat al quran bersifat pasti (qath’i ats-tsubut)
sebagai wahyu allah.
Adapun dari segi qiro’ah (cara membacanya) secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai berikut. Para shabat nabi terdiri atas dari berbagai
suku.masing masing suku memiliki dialek (pengucapan kata) bahasa arab yang
khas, yang sebagai dialek bahasa sukunya berbeda dari dialek bahasa suku yang
lain.dalam membaca al quran, mereka tidak dapat menghindarkan diri dari
pengaruh dialek masing masing. Perbedaan cara membaca al quran yang
dipengaruhi dialek bahasa suku suku tersebutlah yang disebut dengan perbedaan
qiro’ah.dalam hal ini ada 7 qiro’ah (qiro’ah sab’ah) yangu disepakati sebgai
qiro’ah mutawatira.para ulama sepakat menyatakan bahwa qiro’ah sab’ah adalah
hujjah dalam istinbath hukum,sejalan dengan status nya sebagaoi qiro’ah
mutawtirah.
Jumhur ulama mengesahkan,ketujuh qira’ah tersebut ialah, qira’ah ibnu
katsir dimekah, Nafi’ di Madinah, Ibnu Amir di Syam(Syria), Abu Amru di
Basrah, dan qira’ah Ashim, Hamzah dan al-Kasa’i, ketiganya di Kufah.
Sementara itu, sebagian ulama lain menambahkan tiga qira’ah lagi,di samping
tujuh yang di atas, termasuk ke dalam qira’ah mutawatirah,yaitu: qira’ah
Ya’qub,Ja’far, dan qira’ah Khalafah. Dengan demikian, ulama kelompok
terakhir ini mengatakan qira’ah mutawatirah itu jumlahnya sepuluh (al-qira’ah
al-‘asyar). Akan tetapi, belakangan istilah qira’ah Alquran berkembang tidak
saja terbatas pada cara membaca yang berbeda beda karena adanya perbedaan
dialek bahasa, tetapi juga menyangkut tambahan kata pada ayat-ayat Alquran
tertentu, yang semula berperan sebagai penjelas dari ayat-ayat tersebut.
Tidak diragukan pula bahwa kabar (berita) dalam al-Quran adalah benar
dan sempurna, hukum-hukumnya (keputusan hukumnya) sangat adil
sebagaimana firman Allah SWT : " Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-
Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil . Tidak ada yang dapat mengubah
kalimat - kalimat - Nya , dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui " ( QS . al - An'am : 115 ).

 Berdasarkan hasil penelitian, di dalam membaca dan cara penyampaian


Alquran dikenal empat tingkatan qira'ah.
a. Qira'ah mutawatirah, yaitu: qira'ah yang diriwayatkan dari satu generasi ke
generasi lainnya secara berkesinambungan, mulai sejak masa sahabat, oleh
banyak orang, yang karena banyaknya mereka itu, secara logika, dijamin
tidak terdapat kesalahan dalam periwa yatannya. Pada umumnya, qira'ah
yang ada termasuk kelompok pertama ini.
b. Qira'ah masyhurah, yaitu: qira'ah yang diriwayatkan secara shahih, sejak
masa sahabat, oleh sekumpulan orang yang jumlah perawinya tidak
sebanyak perawi qira'ah mutawatirah, tetapi belakangan sejak masa tabi'in,
sejalan dengan semakin banyaknya para perawinya, qira' ah ini mejadi
mutawatir. Qira'ah ini sejalan dengan kaidah - kaidah bahasa Arab dan Rasm
Utsmâni. Contohnya: qira'ah mushhaf Ibnu Mas'ud.
c. Qira'ah âhâd, yaitu qira'ah yang diriwayatkan secara shahih, yang jumlah
perawinya tidak sebanyak qira'ah masyhurah, tetapi tidak sesuai dengan
kaidah - kaidah bahasa Arab atau Rasm Utsmânî.
d. Qira'ah syâdzdzah, yaitu: qira ' ah yang dilihat dari jumlah perawinya
tidak sebanyak jumlah perawi masyhurah apalagi mutawatirah. Jumhur
ulama menolak qira'ah syâdzdzah dipandang sebagai Alquran. Contohnya :
qira'ah yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah yang dikumpulkan oleh
Abu al-Fadhl Muhammad bin Ja'far al-Khaza'i.

Perlu ditegaskan, tinjauan peringkat qira'ah dari segi sedikit banyaknya para
perawi qira'ah hanya berlaku pada tiga generasi saja, yaitu, masa Rasulullah,
masa sahabat, dan masa tabi'in. Sedangkan pada generasi selanjutnya,
banyaknya jumlah perawi tidak lagi mem pengaruhi peringkat qira'ah
tersebut. Hal ini mengingat pada generasi generasi selanjutnya, telah banyak
instrumen yang dapat digunakan, baik secara lisan maupun tulisan, untuk
mengubah status riwayat yang bersifat âhâd menjadi mutawâtir.

3. Kedudukan Qira'ah
Semua ulama sepakat menyatakan, qira'ah mutawâtirah adalah Alquran dan
merupakan hujjah. Sebaliknya, jumhur ulama sepakat , qira'ah svádzdzah
tidak dapat dipandang sebagai Alquran. Sementara itu, terjadi perbedaan
pendapat tentang kedudukan qira'ah masyhurah. Dalam hal ini, ulama
Hanafiyah memandangnya sebagai hujjah, sementara ulama lainnya tidak
berpendapat seperti itu. Perbedaan pendapat ini, antara lain, terlihat dalam
kasus - kasus sebagai berikut.
a. Dalam kasus kifarat sumpah, jumhur ulama tidak menetapkan persyaratan
berturut - turut dalam berpuasa selama tiga hari. Jumhur ulama berpegang
pada teks ayat sebagaimana yang terdapat di dalam mushaf Utsmani:
‫فمن لم يجد فصيام ثالثة أيام‬
"Maka barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasa tiga hari."

Sedangkan ulama Hanafiyah mensyaratkan puasa tiga hari itu mesti berturut-
turut. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada qirá'ah Ibnu Mas'ud yang
berbunyi:
‫فمن لم يجد فصيام ثالثة أيام متتابعات‬
"Maka barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasa tiga hari berturut -
turut."

Sebagaimana terlihat di atas, pada qira'ah Ibnu Mas'ud terdapat kata kata
mutatâbi'ât. Sementara jumhur ulama tidak mengakui adanya kata-kata
tersebut, karena mereka menolak qira'ah Ibnu Mas'ud.

b. Jumhur ulama berpendapat, pencuri yang mengulangi perbuatan


mencurinya, setelah pernah dijatuhi hukuman potong tangan pada tangan
kanannya, maka tangan kirinya dipotong. Jumhur ulama berpegang pada teks
ayat yang terdapat pada mushaf Utsmani yang berbunyi:
QS Al-Ma'idah : 38

‫ّٰل‬
‫َو الَّساِر ُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُع ْۤو ا َاْيِدَيُهَم ا َج َز ۤا ًء ِۢب َم ا َك َسَبا َنـَك ااًل ِّم َن ال ِۗه َو ُهّٰللا َع ِز ْيٌز َحِكْيٌم‬
"Laki - laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri , potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS . al-
Ma'idah (5) : 38)

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat, pencuri yang telah pernah dijatuhi


hukuman potong tangan kanan, tidak dijatuhi hukuman potong tangan kiri,
jika ia mengulangi perbuatan mencuri. Hal ini didasarkan kepada qira'ah
Ibnu Mas'ud yang tidak diakui oleh jumhur:
‫والشارق والشارقة فاقطعوا أيمانهما‬

Berkaitan dengan qira'ah masyhurah dan syâdzdzah, perlu ditegaskan dua


hal. Pertama, para ulama sepakat, semua ayat Alquran yang terdapat di
dalam mushaf Utsmani yang ada pada kita sekarang ini bersifat qathi ats-
tsubût. Artinya, keberadaannya bersifat pasti berasal dari wahyu yang
disampaikan kepada Rasulullah, tanpa ada tambahan atau pengurangan
sedikit pun, sebagaimana yang disampaikan Rasulullah kepada para sahabat
beliau. Hal itu dibuktikan melalui periwayatannya yang semuanya bersifat
mutawatir.
Beberapa kata dalam ayat tertentu yang pada lahirnya terlihat berbeda atau
bertambah yang terdapat di dalam mushaf sahabat tertentu, jika
dibandingkan dengan mushaf Utsmani, seperti yang terdapat pada mushaf
Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas, pada hakikatnya, merupakan penafsiran dari
makna ayat tersebut yang didengar oleh para sahabat, ataupun merupakan
hasil ijtihad mereka sendiri yang dimaksudkan untuk pegangan mereka
sendiri. Akan tetapi belakangan, generasi berikutnya menduga, penafsiran
atau hasil ijtihad tersebut merupakan qira'ah syadzdzah. Dengan demikian,
penambahan atau perbedaan kata-kata tertentu itu tdak dapat disebut sebagai
ayat Alquran. Kedua, tambahan atau perubahan kata pada ayat tertentu
sebagaimana yang terdapat pada mushaf Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas
tersebut tidak terdapat pada mushaf Utsmani yang ada pada kita sekarang.

4. Keistimewaan Al-Quran
Diantara keistimewaan yang di miliki al-Quran adalah sebagai berikut:
a. Kalam Allah (kalamullah)
Al-Quran adalah murni kalam (firman) allah tanpa ada keraguan sedikit
pun.Bukan karya manusia dan tidak dapat di ubah oleh manusia. Seluruh isi
dalam al-Quran seluruhnya bersumber dari allah SWT dari mulai hurup alif
sampai ya’, bukan dari jibril dan bukan pula dari muhammad, mereka hanya
penyampai dan penerima, kemudian di sampaikan dan di jelaskan.
Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan sesungguhnya al quran ini benar benar diturunkan oleh tuhan semesta
alam, dia dibawa turun oleh ruh al amin (jibril) ke dalam hatimu
(muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang
memberi peringatan dengan bahasa arab yang jelas (QS. al-syuara:192-195).

b. Kemudahan untuk mempelajari dan mengahafalnya Al - Quran merupakan


kitab yang telah dimudahkan oleh Allah SWT , mudah dibaca , dipahami dan
diamalkan tentunya bagi orang yang berkehendak mengamalkannya . Allah
SWT tidak membebankan manusia untuk berkesusahan dan kesulitan . Hal
ini sebagaimana firman Allah SWT :Dan sesungguhnya telah Kami
mudahkan al - Quran untuk pelajaran , maka adakah orang yang mengambil
pelajaran ( QS . al - Qomar : 17 ) .

c. Kemukjizatan Diantara keistimewaan lain dari al - Quran adalah mukjizat .


Mukjizat adalah melemahkan orang - orang yang tidak eyakini bahwa al -
Quran bersumber dari Allah SWT . Hal ini sebagaimana perintah Allah
kepada Rasul - Nya , Muhammad , untuk menantang kaum musyrik Arab
untuk mendatangkan perkataan yang serupa dengan al - Quran ( seluruh al -
Quran ) , atau mendatangkan sepuluh surat yang serupa al - Quran atau satu
surat saja . Akhirnya mereka pun kalah dan tidak berdaya membuatnya . Hal
ini pun direkam dan diabadikan dalam al - Quran : organist of J og ý "
Katakanlah : " Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa al - Quran ini , niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia , sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain " ( QS . al - Isra : 88 ) . Al - Quran
merupakan mukjizat Rasulullah SAW yang sangat agung dan kekal , karena
kitab yang dimiliki para rasul sebelum beliau hanya berlaku semusim dan
wajib diimani pada masanya saja serta orang yang hidup semasanya . Al -
Quran merupakan ayat ( ajaran ) rasionalitas ( diterima oleh akal ) , sastra ,
dan kekal sepanjang masa .

5. Sifat qath'i dan zhanni Ayat-ayat Alquran


Sebagaimana telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian keberadaan ayat-
ayat Alquran, semua ayat Alquran yang terdapat dalam mushaf Utsmani
adalah bersifat qath'i ats-tsubut, yang keberadaannya pasti. Artinya, secara
meyakinkan semua ayat-ayat tersebut pasti berasal dari Rasulullah, dan tidak
ada satu ayat atau satu kata pun di dalamnya yang berasal dari pemikiran
atau reka-rekaan sahabat. Sebab semua kata-kata dan ayat-ayat nya
diriwayatkan secara mitawatir dan mulai suatu verifikasi ilmiah yang sangat
teruji, yang sampai sekarang belum ada satu penelitian ilmiah yang mampu
menandingi ketelitiannya. Dengan demikian, tidak ada satu ayat pun di
dalam Alquran yang bersifat Zhanni ats-tsubut, yang keberadaannya tida
pasti.
Dalam pada itu, ditinjau Daris segi tunjukan (dalalah) makna yang
terkandung di dalamnya, dapat di bagi dua.
a. Ayat-ayat Alquran yang bersifat qath'i ad- dalalah, yaitu ayat-ayat yang
ditujukan maknanya bersifat pasti, dalam arti, hanya mengandung makna
satu saja.
b. Ayat-ayat Alquran yang bersifat zhanni ad-dalalah, yaitu ayat-ayat yang
ditujukan maknanya mengandung lebih dari satu makna.

6. Faktor-faktor Terjadinya Zhanni ad-Dalalah


Terjadinya zhanni ad-Dalalah dipengaruhi oleh dua faktor utama,yaitu:
faktor kebahasaan dan faktor rumusan-rumusan Syara' yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip hukum Islam
a. Faktor Kebahasaan
Masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan faktor yang paling
dominan melahirkan ketidakpastian makna satu ayat. Faktor kebahasaan ini,
antara lain, lafal musytarak (kata yang mengandung lebih dari satu makna).
Contohnya. Dalam surah Al-Baqarah (2):228:
Faktor kebahasaan lainnya ada dari segi majas, contohnya makna al-lams
yang terdapat dalam surah an-Nisa (4):43:
Masalah-masalah kebahasaan lainnya yang melahirkan tunjukkan makna
ayat menjadi bersifat zhanni 'amm dan khashsh,muthlaq dan muqayyad,
tinjauan terhadap suatu lafal dari segi penggunaannya, dan tinjauan suatu
lafal dari segi kekuatannya terhadap satu makna, dan beberapa masalah
lainnya yang berkaitan dengan kebahasaan.

b. Faktor Rumusan-Rumusan Syara'


Faktor rumusan-rumusan syara' ini, antara lain, berkaitan dengan naskh
tarjih, pertentangan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah ushûliyyah.
Persoalan ini akan diuraikan lebih luas pada pembahasan tentang maqâshid
asy-syari'ah.

7. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk Penjelasan Hukum Alquran


Perlu segera ditegaskan bahwa Alquran bukanlah kitab hukum, apalagi
kitab undang-undang yang menampilkan diri sebagai kumpulan peraturan
yang bersifat sistematis dan terperinci pasal demi pasal dan bersifat spesifik.
Sebagaimana ditegaskan Alquran sendiri, sebagai kitab wahyu, fungsi
Alquran, antara lain:
a. Sebagai al-hudâ (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa untuk
keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat;
b. Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untuk hidup dengan penuh
kasih sayang, dan sebagai bukti bahwa Tuhan Maha Pengasih dan
Penyayang;
c. Sebagai maw'izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk
mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya; sebagai tibyân (pen jelasan) dan
tafshil (pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu di ketahui manusia untuk
kepentingan keselamatannya di dunia dan akhirat;
d. Sebagai furqân (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar
dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat);
e. Sebagai nûr (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat
kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya.
Akan tetapi, meskipun Alquran bukan kitab undang-undang, namun di dalam
fungsinya sebagai furqân, tafshil dan tibyân, Alquran mengandung ayat-ayat
yang berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam. Sesuai dengan kedudukannya
sebagai sumber hukum utama dan pertama dari hukum Islam, sebagaimana
juga halnya dengan undang-undang dasar suatu negara, aturan dan ketentuan
hukum yang terdapat di dalamnya, pada umumnya mengatur hal-hal yang
bersifat umum dan pokok. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan
tersebut dijabarkan oleh sunnah Nabi.

Ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terdapat di dalam Alquran ada yang


bersifat perintah, bersifat larangan, dan ada pula yang bersifat pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
Untuk mengambarkan suatu perintah, Alquran menggunakan bentuk. bentuk
ungkapan kalimat yang berbeda-beda. Terkadang Alquran meng. gunakan
kalimat perintah secara langsung dalam bentuk fil al-amr Misalnya, dalam
surah an-Nisa' (4): 77:

‫وأقيموا الصلوة وماتوا الزكوة‬

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.

Pada ayat yang lain, Alquran menggunakan bentuk kata fi'l al-madhi li al-
majhûl. Misalnya, perintah puasa yang terdapat dalam surah al Baqarah (2):
183:
‫بنائها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم‬
‫لعلكم تتقون و‬

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Sementara pada ayat yang lain, bentuk perintah Alquran mengguna kan cara
menjanjikan kebaikan, pahala, dan pujian kepada orang yang melakukan
suatu perbuatan. Misalnya, dalam surah an-Nûr (24): 52:
‫ وتخش هللا ويتقه فأولتيك هم الفائزون‬,‫ومن يطع هللا ورسوله‬

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada
Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang orang yang
mendapat kemenangan.
Selain menggunakan bentuk perintah yang berbeda-beda, bentuk perintah
Alquran itu sendiri ada yang menunjukkan pengertian mesti dilaksanakan
(wajib), di mana pelaksanaannya bersifat suatu kemestian, ada pula yang
menunjukkan anjuran (sunnah, mustahab).

Selanjutnya, sebagaimana bentuk-bentuk perintah, bentuk larangan Alquran


juga digambarkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Terkadang Alquran
mengemukakan larangannya dalam bentuk kalimat larangan secara langsung,
misalnya, dalam surah al-Baqarah (2): 42:
‫وال تلبسوا الحق بالباطل وتكتموا الحق وأنتم تعلمون‬
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya”.
Terkadang Alquran mengemukakan larangannya dalam bentuk ancaman
bagi pelaku perbuatan yang dilarangnya. Misalnya, pada surah an-Nisa' (4):
10:

‫إن الذين يأكلون أموال اليتيمى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيضلوت‬
‫شعيرات‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Pada bagian yang lain, Alquran terkadang menggambarkan larangan dalam
bentuk kalimat berita, tetapi dengan membacanya diketahui bahwa kalimat
berita tersebut berisi larangan. Misalnya, wanita yang ditalak suaminya tidak
boleh melakukan perkawinan sebelum menjalani masa iddah selama tiga
qurû', sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah (2): 228:

‫والمطلقت يتربض بأنفسهن ثلثة قروء‬

Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga kali qurû'.

Terkadang Alquran menyampaikan larangannya dengan menyebut kan


hukum perbuatan yang dilarang. Misalnya dalam surah al-Ma'idah, (5): 3:
‫ترنت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل بلغت هللا به لغير به‬
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

Sebagaimana perintah, larangan Alquran juga ada yang bersifat mutlak dan
mesti ditinggalkan (haram), tetapi ada juga yang bersifat anjuran untuk
meninggalkannya (makruh).
Selanjutnya, berbeda dengan perintah dan larangan, ada pula bentuk
penjelasan Alquran yang ketiga, yaitu yang berkaitan dengan perbuatan yang
dibolehkan (mubah). Untuk menjelaskan ketentuan hukum perbuatan yang
bersifat mubah ini, terkadang Alquran menjelaskannya dengan menyatakan
perbuatan tersebut halal. Misalnya, ketika menjelaskan ke halalan jual beli
dan keharaman riba dalam surah al-Baqarah (2): 275:
‫ذلك بأنهم قالوا إنما البيع مثل الربوا‬
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Demikian juga, terkadang Alquran menggunakan penjelasan suatu perbuatan
tanpa mengiringinya dengan janji pahala atau pujian, atau dengan
menegasikan dosa (nafy al-junâh) melakukan suatu perbuatan. Misalnya,
dalam surah an-Nisa' (4): 101:
‫وإذا ضربتم في األرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلوة إن خفتم أن يفينكم الذين كفــروا إن‬
‫الكنفرين كانوا لكم عدوا مبينا‬
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
menqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian tentang sifat qath'i dan zhannî dari
tunjukan makna ayat-ayat Alquran, maka dalam memahami ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum, tidak terlepas dari dua kategori tersebut. Artinya,
ada perintah-perintah dan larangan-larangan Alquran yang bersifat jelas
maknanya (qath'î ad-dalâlah), tetapi ada pula yang bersifat tidak jelas
maknanya (zhannî ad-dalâlah). Untuk memahami bentuk ayat-ayat Alquran
dalam bentuk zhannî ad-dalâlah diperlukan penjelasan dari hadis-hadis Nabi,
ataupun melalui penelitian-penelitian ilmiah yang berdasarkan metodologi
dan pendekatan yang benar.

8. Ayat - Ayat tentang Hukum dalam Alquran


Sebagaimana telah dijelaskan ,Alquran bukanlah kitab hukum , karena ayat
- ayat Alquran yang mengandung hukum , menurut sebagian pendapat hanya
sekitar 500 ayat . Bahkan menurut ulama lainnya , hanya sekitar 150 ayat .
Ayat - ayat Alquran yang berkaitan dengan masalah hukum yang jumlahnya
sangat terbatas itu , berisi aturan - aturan tentang hubungan manusia dengan
Allah , hubungan antarsesama manusia , dan hubungan antara manusia
dengan alam sekitarnya. Ayat - ayat yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah disebut ibadah . Misalnya shalat , puasa , zakat , haji , dan
ibadah - ibadah lainnya . Adapun hubungan antara sesama manusia , secara
garis besar disebut dengan muamalah . Dalam kelompok ini , termasuk di
dalamnya :
a. ketentuan - ketentuan yang berkaitan dengan masalah transaksi
transaksi bisnis ( jual beli , sewa - menyewa , utang piutang , gadai ,
dan upah ) dan yang berkaitan dengan harta lainnya ( muamalah dalam
arti sempit ) ;
b. ketentuan - ketentuan tentang perkawinan ( munâkahât ) , dan yang
berkaitan dengannya , seperti : perceraian , talak , rujuk , pengasuhan
anak , dan lain - lain ;
c. ketentuan - ketentuan tentang masalah kewarisan ( mîrâts ) dan wasiat ;
d. ketentuan - ketentuan tentang hukum pidana ( jinâyât ) , seperti ;
pencurian , perampokan , perusakan harta benda , pembunuhan dan
perzinahan , dan semua masalah yang berkaitan dengan kejahatan
terhadap harta dan seksual ;
e. ketentuan - ketentuan tentang peradilan ( murâfa ' ât / qadhâ ) , misalnya
: gugatan , pembuktian , kesaksian , banding , dan lain - lain ; Bab 4
Sumber dan Dalil Hukum Islam 129

B. Sunnah Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Kedua


1. Pengertian Sunnah
Ditinjau dari segi etimologi, makna kata sunnah adalah perbuatan yang
semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain, baik
perbuatan tersebut terpuji maupun tercela. Dalam konteks makna generik ini
Rasulullah bersabda:
Dari Jarir bin Abdullah, Rasulullah bersabda:

‫عن جرير بن عبد هللا قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من سن في اإلســالم شــئة حسنة فعمــل بها بعــده‬
‫كتب له مثل أجر من عمل بها وال ينقص من أجورهم شيء ومن سن في اإلسالم سنة سيئة فعمل بها بعــدة‬
‫كتب عليه مثل وزر من عمل بها وال ينقص من أوزارهم شيء‬

"Barangsiapa melakukan suatu sunnah yang baik di dalam Islam, kemudian


sunnah itu diikuti oleh orang-orang yang sesudahnya, maka diberikan kepada
nya seperti pahala orang yang mengikuti sunnah itu tanpa sedikit pun dikurangi
dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang melakukan suatu sunnah buruk di
dalam Islam, kemudian sunnah itu diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka
dipikulkan kepadanya seperti dosa orang-orang yang mengikuti sunnah itu,
tanpa sedikit pun dikurangi dari dosa mereka.

Sementara secara terminologi, makna kata sunnah dapat ditinjau dari tiga
disiplin ilmu sebagai berikut.
a. Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis, yaitu : sesuatu yang
dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau
tentang suatu peristiwa.
b. Menurut para ahli usul fiqh, sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan
masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan,
perbuatan , maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.
c. Menurut ahli fiqh, makna sunnah mengandung dua pengertian; yang pertama
sama dengan yang dimaksud ahli usul fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua
ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika
ditinggalkan tidak berdosa. Dalam pengertian yang kedua ini, sunnah merupakan
salah satu dari ahkâm at-taklifi yang lima, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh,
dan mubah.

Meskipun ketiga kelompok ahli disiplin ilmu di atas berbeda pendapat dalam
mendefinisikan sunnah, namun mereka sepakat bahwa dalam bidang agama,
hanya Rasulullah yang dapat menjadi sumber sunnah. Sebab hanya beliau saja
yang bersifat ma'shûm (bebas dari kesalahan sedang manusia lainnya tidak
ma'shûm, sehingga tidak dapat menjad sumber ajaran agama Islam.

2. Pembagian Sunnah dari Segi Bentuknya Sesuai dengan definisi di atas,


para ahli ushul fiqh membagi sunnah kepada tiga bagian sebagai berikut.
a. Sunnah Qauliyyah
Adapun yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah adalah sesuatu diucapkan Rasulullah
melalui lisan beliau yang didengar dan dipaham oleh para sahabat beliau, kemudian
diberitakan dan diriwayatkan kepada sahabat yang lain, dan periwayatan itu dilanjutkan
dari satu generas kepada generasi lainnya. Contoh sunnah qauliyyah ialah :
‫عن أنس عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال ال يؤمن أحدكم حتى يحب ألخيه ما بحث لنفسه‬
Dari Anas, dari Nabi, beliau bersabda : "Belum beriman salah seorang dari kamu,
sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya".
Dalam periwayatan sunnah qauliyyah, di antara para sahabat yang mendengar sabda
Rasulullah, ada yang mengutip dan menyampaikan dan meriwayatkannya kepada orang
lain persis sebag aimana yang di dengarnya dari Rasulullah. Akan tetapi ada pula perawi
yang menyam paikan dan meriwayatkan sabda beliau itu kepada orang lain hanya dari
segi maknanya saja, sesuai dengan pemahamannya ketika mendengar sabda tersebut.
Oleh karena itu, periwayatan yang dilakukan terhadap ucapan Nabi di atas, dapat dibagi
dua, yaitu : riwayah bi al-lah (periwayatan hadis yang redaksinya persis sesuai dengan
yang diucapkan Nabi), dan riwayah bi al-ma'nâ (periwayatan hadis yang redaksinya
berasal dari perawi, tetapi maknanya sama). Periwayatan hadis bentuk kedua ini
menjelaskan pertanyaan: mengapa di dalam kitab-kitab hadis ditemukan sunnah
qauliyyah yang antara satu hadis dengan hadis yang lain berbeda-beda redaksi hadisnya,
padahal semua itu berbicara dalam suatu masalah yang sama?

b. Sunnah Filiyyah Sunnah fi'liyyah ialah, semua gerak gerik, perbuatan, dan tingkah
laku Rasulullah yang dilihat dan diperhatikan oleh para sahabat beliau, yang kemudian
diberitakan dan diriwayatkan kepada para sahabat lainnya secara berkelanjutan dari satu
generasi kepada generasi lainnya. Contoh sunnah fi'liyyah :
‫عن عباد بن تميم عن عمه قال رأيت النبي صلى هللا عليــه وســلم يــوم خــرج يستسقي قال فحــول إلى النــاس ظهره‬
‫واستقبل القبلة يدعو ثم حول رداءه ثم صلى لنا ركعتين حمر فيهما بالقراءة‬
Dari Ubbad bin Tamim, dari pamannya, ia berkata: "Saya melihat Rasulullah pada hari
beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari, katanya : "Maka beliau
membalikkan tubuhnya membelakangi jamaah dan menghadap qiblat dan berdoa,
kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau shalat ber sama kami
dua rakaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rakaat itu".
Sunnah fi'liyyah pada dasarnya dapat dibagi kepada tiga bagian sebagai berikut.
1. Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah yang berkaitan dengan hukum.
Misalnya, tatacara shalat, puasa, haji, transaksi dagang, dan lain-lain yang berkaitan
dengan masalah ibadah dan muamalah pada umumnya. Para ulama sepakat, kedua hal
itu merupakan perbuatan dan tingkah laku Rasulullah yang berkaita dengan hukum.
Oleh karena itu, bersifat umum, berlaku bagi belia dan umatnya. Perbuatan yang
termasuk dalam kelompok pertama ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari
beliau sendiri, atau karena adanya petunjuk (qarînah) lain, baik dari Alquran maupun
dari sifat perbuatan Rasulullah tersebut yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bagian
dari ajaran agama.
2. Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah . Misalnya , beristi lebih dari empat
orang , wajib melaksanakan shalat tahajjud, shalat dhuha dan berkurban, di mana
terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hanya
merupakan khushush iyyah bagi Rasulullah, maka perbuatan tersebut tidak berlaku bagi
umat beliau. Berkaitan dengan contoh-contoh ibadah di atas, bagi beliau hukum
melaksanakannya adalah wajib, sedang bagi umatnya hanya sunnah saja. Bahkan
tentang beristri lebih dari empat orang. bagi umatnya adalah haram.
3. Perbuatan dan tingkah laku Rasulullah sebagai manusia biasa. Misalnya, cara makan
dan minum, cara berpakaian, berdiri, duduk, berjalan, cara dan gaya berbicara beliau
dan hal-hal lain yang biasa beliau lakukan sebagai manusia biasa, dan yang sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku pada masa itu. Para ulama berbeda pendapat,
apakah kedudukan perbuatan dan tingkah laku Rasulullah sebagai manusia biasa di atas
sebagai bagian dari ajaran Islam yang perlu diikuti atau tidak. Sebagian ulama
berpendapat, perbuatan tersebut merupakan bagian dari sunnah Rasulullah hanya saja,
hukum mengikutinya tidak wajib, tetapi hanya sunnah saja. Sebagian ulama lainnya
berpendapat, perbuatan tersebut tidak merupakan bagian dari sunnah, karena merupakan
adat kebiasaan dari kedudukan Rasulullah sebagai manusia biasa.

c. Sunnah Taqririyyah Sunnah taqririyyah adalah, sikap persetujuan Rasulullah


mengenai suatu peristiwa yang terjadi atau yang dilakukan sahabat beliau, di mana
terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau menyetujui perbuatan tersebut.
Contoh sunnah taqririyyah, antara lain:
‫عن خالد بن الوليد قال أتي النبي صلى هللا عليه وسلم يصب مشوي فأهوى إليه لتأكل فقيل له إنه ضــب فأمسك يــده‬
‫فقال خالد أحرام هو قال ال ولكنه ال يكون بأرض قومي فأجدني أعافه فأكل خالــد ورســول هللا صــلى هللا عليــه وســلم‬
‫ينظر‬
Dari Khalid bin Walid katanya : "Kepada Nabi dihidangkan makanan dhabb (sejenis
biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau. Kemudian ada yang berkata kepada
beliau: "Itu adalah dhabb", maka beliau menahan tangannya, maka Khalid berkata:
"Apakah haram memakannya,?" Beliau menjawab: "Tidak, tetapi binatang jenis itu
tidak biasa ditemukan di daerah saya, maka saya tidak suka dan menghindarinya". Maka
Khalid memakannya, sedang Rasulullah memandanginya"

Contoh lainnya : Pada suatu hari Rasulullah memerintahkan para sahabat beliau menuju
suatu daerah yang bernama Bani Quraizah , dan kemudian bersabda: "Kamu jangan
melaksanakan shalat ashar kecuali telah sampai di daerah Bani Quraizah". Sebagian
sahabat memahami sabda beliau itu sesuai dengan makna lahirnya, sehingga mereka
melak sanakan shalat ashar setelah waktu maghrib (karena mereka baru sampai setelah
waktu maghrib). Sementara sahabat lainnya memahami sabda beliau itu dengan
pengertian agar mereka segera sampai di sana, sehingga mereka melaksanakan salat
ashar pada waktunya, meskipun belum tiba di Bani Quraizah. Ketika informasi tentang
ijtihad dua kelompok sahabat yang berbeda itu sampai kepada Rasulllah, beliau
menyetujui keduanya, tanpa menyalahkan salah satu dari keduanya, tanpa menyalahkan
salah satu dari keduanya.

3. Pembagian Sunnah dari Segi Kualitasnya


Meskipun semua sunnah, baik qauliyyah, fi'liyyah, maupun taqririyyah dinisbahkan
kepada Nabi, namun tidak semua periwayatan sunnah hadis/khabar memiliki tingkat
kualitas yang sama, melainkan berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pada faktor
jumlah orang yang meriwayatkan suatu sunnah/khabar, ketepercayaan pada masing-
masing perawi, baik dari segi kekuatan ingatan, kejujuran dan keadilannya, dari segi
ketersambungan periwayatan suatu sunnah/hadis sejak dari Rasulullah sampai kepada
orang yang terakhir meriwayatkannya. Oleh karena itu, kualitas suatu hadis dapat dinilai
dari berbagai segi.
Ditinjau dari segi jumlah perawi yang meriwayatkan suatu sun para ulama membagi
kualitas suatu sunnah kepada tiga tingkatan , ya sebagai berikut.
a . Mutawâtirah, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sejumlah orang perawi secara
berkesinambungan dari satu generasi ke generasi perawi pada masing-masing generasi
tersebut tidak memungkinkan lainnya, di mana berdasarkan logika dan kebiasaan,
banyaknya jumlah mereka sepakat berdusta untuk merekayasa sunnah tersebut.
b. Masyhurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari satu generasi ke generasi lainnya
secara berkesinambungan, di mana pada generasi awalnya, jumlah perawinya hanya
beberapa orang saja yang tidak mencapai tingkat mutawâtirah, tetapi pada generasi
berikutnya, jumlah perawinya sedemikian banyak sehingga mencapai tingkat perawi
mutawatirah.
c. Ahâd, yaitu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinambungan dari generasi awal
kepada generasi selanjutnya sampai generasi terakhir, tetapi sejak generasi awal, jumlah
perawinya hanya beberapa orang saja, sehingga tidak mencapai tingkat masyhûrah,
apalagi mutawâtirah.
Perlu dijelaskan, masa penilaian kualitas suatu hadis ditinjau dari segi jumlah perawinya
di atas adalah sampai periode pengumpulan dan pembukuan hadis.

Sementara itu, ditinjau dari segi ketepercayaan pada para perawinya, kualitas suatu
sunnah dapat dibedakan kepada empat tingkatan sebagai berikut.
a . Shahîh yaitu, suatu sunnah yang diriwayatkan secara berkesinam bungan dari satu
perawi kepada perawi lainnya, di mana setiap perawi nya memiliki sifat adil (al-'âdil)
dan kuat ingatannya (adh - dhâbith), dan sunnah yang diriwayatkannya tidak
mengandung keanehan dibandingkan sunnah lainnya, dan tidak pula bercacat.
b. Hasan yaitu, suatu sunnah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat ingatan,
tetapi tingkat kekuatan ingatan (adh-dhabth) perawi nya lebih rendah dari pada
tingkatan kekuatan ingatan perawi sunnah shahihah. Jadi perbedaan keduanya terletak
pada rendah dan tingginya kekuatan ingatan perawinya. Tingkatan sunnah ini dapat
meningkat kepada sunnah shahîh lighairiḥâ, apabila terdapat periwayatan dari jalur lain
yang sama kedudukannya, yang bersifat menguatkan kedudukannya. Dengan demikian,
sunnah ini tidak dengan sendirinya berubah menjadi sunnah shahihah, tetapi karena
ditopang oleh jalur periwayatan dari perawi lainnya.
c. Dha'if yaitu, sunnah/khabar yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak memenuhi
kriteria perawi sunnah yang shahih dan hasan. Apabila yang memenuhi salah satu dari
lima syurûth al-qabûl (syarat-syarat untuk diperinci lebih jauh, sunnah dha'ifah adalah
sunnah dapat diterima). Dengan demikian sebuah sunnah/khabar dinilai sebagai
sunnah/khabar yang dha'if disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat ittishâl (sanad-
nya tidak bersambung), atau karena perawinya tidak dhabith, atau karena tidak
memenuhi syarat adalah, atau karena ia aneh (asy-syudzûdz) dibandingkan dengan
sunnah yang shahih lainnya, dan/atau karena bercacat (mu'alli).
d . Maudhu' (palsu) yaitu, khabar yang direkayasa dan dipalsukan oleh pemalsu sunnah,
sehingga seolah-olah berasal dari Rasulullah, baik dengan iktikad baik maupun karena
sengaja hendak merusak ajaran Islam dari dalam. Mengingat bahaya yang
ditimbulkannya dalam Islam, sebagian ulama tidak mengelompokkannya ke dalam
tingkatan sunnah/hadis/khabar . Jika tidak karena hendak membedakannya dari khabar
lainnya, mereka tidak setuju menyebutnya sebagai sunnah hadis/khabar.
Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah, dan
dari segi fungsi sunnah terhadap Alquran. Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut.
Melalui Alquran, Allah memerintahkan kepada kita untuk menempatkan kepatuhan
kepada-Nya sama dengan kepatuhan kepada Rasul-Nya. Allah berfirman dalam surah
an-Nisâ' (4): 80 :
‫َم ْن ُّيِط الَّرُسْو َل َفَقْد َاَطاَع الّٰل َۚه َو َم ْن َتَو ّٰل ى َفَم ۤا َاْر َس ْلٰن َك َع َلْيِه ْم َح ِفْيًظۗا‬
‫ِع‬
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka.

Demikian juga dalam surah an-Nisâ' (4): 59:


QS An-Nisa' : 59
‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْۤو ا َاِط ْيـُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيـُعوا الَّرُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَز ْعُتْم ِفْى َش ْى ٍء َف ُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّرُس ْو ِل ِاْن‬
‫ُكْنـُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَيـْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِلَك َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل‬٪

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Di samping itu, selain Allah memuji akhlak Rasulullah, sebagai mana terdapat dalam
surah al-Qalam (68): 4:

‫َو ِاَّنَك َلَع ٰل ى ُخ ُلٍق َع ِظ ْيٍم‬


Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Allah juga memerintahkan umat Islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai syarat
untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat dalam surah al-
Ahzâb (33): 21:
‫َلَقْد َك اَن َلُك ْم ِفْى َر ُسْو ِل ِهّٰللا ُاْس َو ٌة َح َس َنٌة ِّلَم ْن َك اَن َيْر ُجوا َهّٰللا َو اْلَيْو َم اٰاْل ِخَر َو َذ َك َر َهّٰللا َك ِثْيًر ۗا‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.

Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat jelas, kepatuhan kepada Allah
tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah. Dalam pada itu, tentu saja
mematuhi dan meneladani Rasulullah berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum yang
ditetapkan beliau. Bahkan Alquran menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada
kepatuhan seseorang kepada keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Firman Allah dalam surah an-Nisâ' (4): 65:
QS An-Nisa' : 65

‫َفاَل َو َر ِّبَك اَل ُيْؤ ِم ُنْو َن َح ّٰت ى ُيَح ِّك ُم ْو َك ِفْيَم ا َش َجَر َبْيَنُهْم ُثَّم اَل َيِج ُد ْو ا ِفْۤى َاْنُفِس ِه ْم َحَر ًجا ِّمَّم ا َقَض ْيَت َو ُيَس ِّلُم ْو ا َتْس ِلْيًم ا‬

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Dari sisi lain, tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh kepada ajaran-ajaran
Alquran sebagai wahyu Allah, tanpa mempercayai kebenaran Rasulullah dan mematuhi
beliau. Sebab, sampainya Alquran kepada seseorang melalui lisan beliau, setelah
sebelumnya diturunkan Allah melalui Jibril kepada beliau.

Selanjutnya, kedudukan sunnah sebagai sumber dan dalil ditinjau dari segi fungsi
sunnah dapat diuraikan sebagai berikut. Sebagaimana telah dijelaskan, ayat-ayat
Alquran yang berbicara tentang hukum sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-
hal yang pokok dan mendasar. Sebagaimana layaknya undang-undang dasar suatu
negara yang juga mengatur hal-hal yang dasar dan pokok memerlukan undang-undang
dan peraturan pelaksana agar dapat diberlakukan, maka ketentuan-ketentuan Alquran
yang bersifat dasar dan pokok itu pun memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk dapat
dilaksanakan. Penjelasan itu didapat di dalam sunnah. Alquran sendiri menjelaskan,
fungsi sunnah yang dominan adalah sebagai penjelas terhadap Alquran. Hal ini disebut
kan dalam surah an-Nahl (16): 64:
‫َو َم ۤا َاْنَز ْلَنا َع َلْيَك اْلـِكٰت َب ِااَّل ِلُتَبِّيَن َلُهُم اَّلِذ ى اْخ َتَلـُفْو ا ِفْيِۙه َو ُهًدى َّوَر ْح َم ًة ِّلـَقْو ٍم ُّيْؤ ِم ُنْو َن‬
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Berdasarkan fungsi sunnah sebagai penjelas Alquran, maka sunnah menduduki posisi
kedua sebagai sumber dan dalil hukum Islam, setelah Alquran sebagai sumber dan dalil
hukum Islam yang pertama. Secara lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi sunnah
sebagai penjelas (al-bayân) terhadap Alquran terdiri atas tiga kategori sebagai berikut. a.
Menjelaskan Maksud Ayat-Ayat Hukum Alquran
b. Men-takhsish ayat-ayat Alquran yang bersifat umum
c. Mengukuh dan Mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang ada dalam Alquran
d. Menetapkan hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat dalam Alquran

Anda mungkin juga menyukai