Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH USHUL FIQH

AL-QUR’AN & AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Kelompok 2:

Renaldi Putra Ismail (3120210091)


Ikbal Ayatillah (3120210107)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH
JAKARTA TIMUR

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nyalah sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Ushul Fiqh dengan dosen
pengampu Bapak Hadi Yasin, MA. Saya berharap, makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pembaca. Saya menyadari bahwa makalah yang telah dibuat belum
sempurna. Oleh karena itu, saya mengaharapkan kritik dan saran agar dapat
memacu saya sebagai penulis untuk membuat tulisan yang jauh lebih baik pada
tulisan-tulisan yang akan datang. Semoga pembaca dapat bermanfaat dan
mengambil pelajaran dari makalah ini.

Bekasi, 12 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

B. Tujuan Penelitian.......................................................................................2

BAB III IPEMBAHASAN..........................................................................................


A. AL-QUR’AN.............................................................................................4

1. Definisi Al-Qur’an.......................................................................................4

2. Hukum dalam Al-Qur’an.............................................................................7

3. Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum........................................................8

4. Kehujjahan Al-Qur’an..................................................................................9

5. Alqur'an Dalil Qath'i dan Zhanni...............................................................10

6. Alqur'an Dalil Kully dan Juz'i....................................................................11

B. AS-SUNNAH..........................................................................................12

1. Definisi As-Sunnah....................................................................................12

2. Kehujjahan Sunnah....................................................................................12

3. Kedudukan As-Sunnah terhadap Alqur'an.................................................13

4. Macam-macam Sunnah..............................................................................14

5. Dilalah Al-Hadits.......................................................................................16

6. Perbedaan antara hadits dan sunnah...........................................................17

BAB IV PENUTUP....................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

ii
iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kitab Samawi yang terakhir diturunkan oleh Allah Swt
kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan
sampai saat ini yang begitu terang benderang, melalui perantaraan Jibril, berisi
pedoman dan petunjuk kepada umat manusia, agar manusia dapat memperoleh
kehidupan yang Bahagia di Dunia dan Akhirat.

Sebagai kitab Samawi yang merupakan Kalam Allah, tidak terdapat perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya. Dalam
kajian terhadap al Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al
tsubut (kebenaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Dari sisi al subut al
qur’an, tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat islam tentang kebenaran
sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Alloh karena sampai kepada umat islam
secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.

Sementara dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat ayat al quran yang
berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat ayat yang qath’i dan zhanni.
Kajian mendalam terhadap ayat ayat al quran menunjukan bahwa adanya ayat ayat
yang qath’i dan zhanni merupakan ciri al quran tersendiri dalam menjelaskan
hukum (ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya
adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, alloh memang secara sengaja
menempatkan suatu ayat qath’i dan yang lain zhanni dengan maksud dan makna
tertentu.

Pembahasan qath’i dan zhanni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh
ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil atas tiga bentuk, yaitu
nas, zahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh oleh jumhur ushul
fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Sedangkan dalil

1
2

dalam kategori zahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat zhanni, karena
makna dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.

Konsep Qath’I dan Zhanni menurut pandangan Ulama ushuliyyun salaf (era
klasik) sebagai konsepsi umum yang wajar dipakai dan dianggap final, tetapi di
era modern ini konsep ini menjadi perbincangan yang serius. Gugatan dan
kegelisahan ulama ushulliyun khalaf (era kontemporer) dengan lebih banyak
mereka mendasarkan pada penolakan terhadap cara berpijak atas teks yang
mengabaikan substansi dari suatu teks.

Perumusan Masalah

1. Apa itu Al-Qur’an dan As-Sunnah?


2. Pengertian Qath’I dan Dzanni

B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
dalil dalam menetapkan suatu hukum.
2. Memberikan pemahaman tentang kedua hal di atas.
3
BAB III IPEMBAHASAN

A. AL-QUR’AN

1. Definisi Al-Qur’an
Al-Qur‟an dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraa, yang
terambil dari wazan fu‟lan, yang berarti “bacaan” atau apa yang tertulis padanya,
maqru, seperti terungkap dalam surah al-Qiyaamah (75) ayat 17-18.1

Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa Al-Qur‟an adalah Kalamullah yang


diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah SAW,
Muhammad ibn Abdullah, dalam bahasa Arab berikut maknanya yang benar, untuk
menjadi hujah (dalil) bagi Rasulullah, bahwa beliau itu utusan-Nya, sebagai
undangundang manusia, sebagai petunjuuk, sebagai pendekatan diri kepada Allah
dengan membacanya, dan dikodifikasi dalam satu mushaf, dimulai dari surah Al-
Faatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas, diriwayatkan secara mutawatir, secara
tulisan, maupun lisan, terjaga dari perubahan dan pergantian, dan sebagai pembenar.2

Al-Zarqani mendefinisikan Al-Qur‟an adalah kalam yang bersifat mukjizat,


yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf, yang
dinukilkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.3 Jadi, Al-Qur‟an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan
Malaikat Jibril dan dituliskan di dalam mushaf, dimulai dari surah alFaatihah dan
diakhiri dengan surah an-naas serta berniali ibadah membacanya.

Al-Qur‟an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan
penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Karena kedudukan Al-Qur‟an merupakan
sumber utama dan pertama bagi pnetapan hukum dan merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Seseorang yang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian,
tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari
Al-Qur’an. Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan AlQur‟an, maka ia tidak boleh
1
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh: (Jakarta: Metode Istinbath dan Istidlal,1997), hlm. 9
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushulal-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Da‟wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,
1990), hlm. 23
3
Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi Ulum Al-Qur‟an, (Mesir: Isa al-Bab al-
Halabi) Juz I, hlm. 20

4
5

mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an. Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber
dari segala sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di
luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan AlQur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-
sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan
Al-Qur’an.

Ayat pertama yang diturunkan adalah ayat 1-5 surah al-Alaq. Adapun ayat yang
terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dan dari sekian pendapat ulama, pendapat
yang lebih dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) seorag ahli ilmu AlQur’an,
dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang dinukilkan dari Ibn Abbas adalah ayat
281 surah al-Baqarah.4

Al-Qur’an diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira pada 611 M, dan berakhir di
Madinah pada 633 M, dalam waktu yang cukup panjang, yaitu selama 22 tahun, 2 bulan
dan 22 hari. Ada dua maksud turunnya Al-Qur’an secara berangsur yaitu:

a) Untuk kemantapan hati (tatsbit al-fuad), yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam
menerima dan menjalankan Al-Qur’an, baik bagi Nabi pribadi maupun bagi umatnya.
Kemantapan hati bagi Nabi ialah bahwa turunnya Al-Qur’an itu merupakan hubungan
langsung antara Nabi dengan Tuhan. Selama peristiwa turunnya Al-Qur’an itu
berlangsung komunikasi langsung. Hal ini berarti bahwa sampai akhir hayatnya Nabi
selalu dalam komunikasi dengan Tuhan sehingga hatinya menjadi mantap. Seandainya
keseluruhan wahyu itu diturunkan sekaligus dalam satu masa tertentu dalam masa hidup
Nabi, maka komunikasi hanya berlangsung dalam masa tertentu itu. Sedangkan
kemantapan hati umat dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur dapat dilihat dari
segi bahwa hukum-hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an meruapakan sesuatu yang
sudah membudaya dan meliputi semua bidang kehidupan, maka tidak mudah
melakukannya. Usaha mengubah suatu budaya mungkin berjalan dengan baik bila
dilakukan secara berangsur-angsur.

b) Dengan tujuan untuk tartil. Secara harfiah, tartil berarti membaca dengan baik dan
mudah. Prinsip tartil ini adalah bahwa Al-Qur’an turun kepada suatu kaum yang pada

4
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Gramedia Digital, 2017) hlm. 79-80
6

umumnya adalah ummi atau tidak mampu membaca dan menulis. Allah menghendaki
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga
autentisitas Al-Qur’an dapat terjamin. Untuk memudahkan umat dalam menghafal Al-
Qur’an, Allah menurunkan Al-Qur’an sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali
ayat Al-Qur’an turun dalam jumlah tertentu, maka umat mudah untuk menghafal dan
membacanya.5

Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur‟an itu dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT
mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan
keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukanNya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum
i‟tikadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.

Kedua, hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat


baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian
dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.

Ketiga, hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku


lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT dalam hubungan dengan sesama manusia,
dan dalam bentuk apaapa yang harus dilakuka atau harus dijauhi. Hukum ini disebut
hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syariah”.

Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:

1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam
hubungannya dengan Allah SWT. Seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini
disebut hukum „ibadah dalam arti khusus‟, karena muamalah pun sebenarnya termasuk
ke dalam perbuatan ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan kehendak Allah.

2. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya


dengan manusia atau alam sekitarnya. Seperti jual-beli, kawin, pembunuhan, dan

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 59-61
7

lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum „muamalah dalam arti umum‟, karena
mencakup semua bentuk pergaulan manusia dalam kehidupan bermayarakat.6

2. Hukum dalam Al-Qur’an


Hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, meliputi:

a. Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan


kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada
hari akhirat.

b. Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak.


manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.

c. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan


manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; Mengenai Ibadah dan Mengenai muamalah
dalam arti yang luas.

Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-
Ahwal al-Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci 24
dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa
manusia memerlukan bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal beribadah dan
pembinaan keluarga. Banyak manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan
dan teguran, sedang keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan
memberi warna terhadap yang lainnya.

Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum, memberi


peluang kepada manusia untuk berpikir, tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan
pengaturan yang bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam berbagai lapisan
masyarakat, dan berbagai kasus dalam sepanjang jaman. Hukum Islam memberi
peluang kepada masyarakat dan manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun
kemajuan dan kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas perinsip umum Alqur'an.
Perinsip umum itu adalah Tauhidullah, persaudaraan, persatuan dan keadilan.

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 71.
8

3. Al-Qur’an Dalam Menetapkan Hukum


Kebijaksanaan Alqur'an dalam menetapkan hukum menggunakan perinsip:

a. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan.7

Dijumpai dalam Alqur'an hukum-hukum yang bersifat azimah ( kemestian ) dan hukum
rukhshah ( kelonggaran, keringanan), misalnya kewajiban untuk shaum, dan dalam
keadaan sakit, bepergian boleh buka dan mengqadanya, mengqasar shalat dari empat
menjadi dua rakaat, bertayamum sebagai ganti air untuk berwudhu, makan makanan
yang terlarang dalam keadaan darurat.

b. Menyedikitkan tuntutan.8

Selain itu ayat Alqur'an yang berjumlah 6342 ayat ( menurut sebagian pendapat) hanya
sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum, bahkan sebagian pendapat
menyebutkan kurang dari 500 ayat. Ini menunjukan bahwa Alqur'an menyedikitkan
tuntutan. Demikian juga misalnya ; perintah zakat, hanya bagi orang yang mampu saja,
Ibadah hajji, juga hanya bagi orang yang istitho’ah9 saja.

c. Bertahan dalam menterapkan hukum.

Hal ini dapat ditunjukan dengan beberapa contoh; Haramnya minuman keras dan
perjudian proses larangannya sampai tiga kali dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni
dalam Surah Al-Baqarah: 219, An-Nisa: 43, dan Al-Maidah: 60.

Dari ayat-ayat tersebut jelas tahapan-tahapan dalam mengharamkan khamer dan maisir,
Dalam ayat 219 Al-Baqarah, hanya disebutkan bahwa dosa minum khamer dan
bermaisir lebih besar daripada manfaatnya, kemudian dikuatkan kembali dalam surat
Al-Nisa: 43 tidak boleh mendekati shalat jika mabuk, Akhitnya diharamkan dalam surat
Al-Maidah: 60.

Pentahapan diperlukan agar tidak ada goncangan kejiwaan dan


kewajibankewajiban bisa dilaksanakan dengan mantap. Perubahan dari masyarakat
Jahiliyah ke masyarakat Islam tidak sekaligus, tapi bertahan selama 22 tahun 2 bulan
dan 22 hari.

7
Lihat Al-Qur’an Surah At-Baqarah: 185, dan At-Thalaq: 7.
8
Lihat Al-Qur’an Surah Al-Maidah: 101.
9
kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur melalui
pemeriksaan medis
9

d. Al-Qur'an memberikan hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia.

Hal ini dibuktikan dengan seringnya Al-Qur'an menyebutkan sebab atau illat hukum.
Misalnya tentang adanya pengaturan harta, disebut bahwa pengaturan tersebut
dimaksudkan agar harta itu tidak hanya berputan di antara orang yang kaya saja. Juga
dalam hal tidak boleh mencaci berhala:

‫ُّوا ٱهَّلل َ َع ْد ۢ ًوا ِب َغي ِْر عِ ْل ٍم‬


۟ ‫ون ٱهَّلل ِ َف َي ُسب‬ ۟ ‫َواَل َت ُسب‬
َ ‫ُّوا ٱلَّذ‬
َ ‫ِين َي ْدع‬
ِ ‫ُون مِن ُد‬
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..
(Q.S. Al-An’am: 108).

Dalam ayat di atas ada larangan memaki-maki berhala, karena bila kita memaki-
maki berhala, mereka pun akan memaki-maki Allah.

‫ان ٰ َف ِح َش ًة َو َسٓا َء َس ِبي ًل‬


َ ‫ٱلز َن ٰ ٓى ۖ ِإ َّنهُۥ َك‬ ۟ ‫َواَل َت ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra’: 32).

Dalam ayat tersebut dilarang mendekati perbuatan yang akan mendorong pada
zina. Zina itu termasuk pada perbuatan yang keji dan menuju pada kehancuran Akhlak
manusia. Oleh karena itu dalam hukum Islam tindak pidana zina bukan delik aduan
akan tetapi delik biasa.

4. Kehujjahan Al-Qur’an
Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Qur'an
merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib dilaksanakan.
Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum
membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Qur'an. Apabila hukum permasalahan yang ia cari
tidak ditemukan dalam Al-Qur'an, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan
dalil lain. Ada beberapa alasan yang ditemukan ulama ushul fiqh tentang kewajiban
berhujjah dengan Al-Qur'an:
10

a. Al-Qur'an itu diturunkan kepada Rasulullah saw diketahui secara mutawatir, dan ini
memberi keyakinan bahwa Alqur'an itu benar-benar datang dari Allah melalui Malaikat
Jibril kepada Muhammad saw. Yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.

b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Alqur'an itu datangnya dari Allah, antaranya:

َ ِّ ‫َو َن َّز ْل َنا َع َل ْي َك ٱ ْل ِك ٰ َت َب ِت ْب ٰ َي ًنا ِّل ُكل‬


ْ ‫ش ْى ٍء َو ُهدًى َو َر ْح َم ًة َو ُب‬
َ‫ش َر ٰى لِ ْل ُم ْسلِمِين‬

Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S.
An-Nahl: 89).

c. Mukzijat Al-Qur'an juga merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur'an
datang dari Allah swt. Mukzijat Al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi
saw. yang membawa risalah ilahi dengan satu perbuatan di luar kebiasaan umat
manusia. Mukzijat Al-Qur'an menurut para ahli ushul fiqh dan ahli tafsir terlihat ketika
ada tantangan dari berbagai pihak untuk menadingi Al-Qur'an itu sendiri sehingga para
ahli sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.

5. Alqur'an Dalil Qath'i dan Zhanni


Al-Qur'an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas
qath'i (pasti benar) akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung Alqur'an ada kalanya
bersifat qath'i dan ada kalanya bersifat zhanni (relatif benar).

Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan
tidak bisa dipamahi makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya ; ayat-ayat
waris, hudud , kaffarat. Contoh ayat kaffarat:

‫ٰ َأ‬
ٍ ‫ۚ َفصِ َيا ُم َث َل َث ِة ي‬
‫َّام‬
..maka kaffaratnya puasa selama tiga hari (Q.S. Al-Ma’idah: 89).

Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang


dalam Al-Qur'an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk
dita'wilkan. Misalnya lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu qara / lafal
yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
11

‫ت َي َت َربَّصْ َن ِبَأنفُسِ ِهنَّ َث ٰ َل َث َة قُر ُٓو ٍء‬


ُ ‫َو ْٱل ُم َطلَّ ٰ َق‬
Kata quru di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci
dan haidl. Oleh sebab itu, apabila kata quru di artikan dengan suci, sebagaimana yang
dianut ulama Syafiiyyah ' adalah boleh / benar. Dan jika diartikan dengan haidl juga
boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyah.

6. Alqur'an Dalil Kully dan Juz'i


Al-Qur'an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya dengan cara:

a. Penjelasan rinci (juz'i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti


yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait
dengan masalah pidana, hudud, dan kaffarat. hukum-hukum yang rinci ini, menurut para
ahli ushul fiqh sebagai hukum taabbudi. yang tidak bisa dimasuki oleh logika.

b. Penjelasan Alqur'an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu, bersifat global /


kully, umum, dan muthlaq, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali
sehari dikerjakan, berapa ra'kaat untuk satu kali shalat, apa hukum dan syaratnya.
Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang
wajib dizakati, berapa nisab nisab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan. Untuk
hukum-hkum yang bersifat global, umum, dan muthlaq ini, Rasulullah saw. melalui
sunnahnya bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasinya. Hal inilah yang
diungkapkan Alqur'an dalan surat al-Nahl: 44.

َ‫اس َما ُن ِّزل َ ِإ َل ْي ِه ْم َو َل َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّك ُرون‬ َ ‫َوَأ‬


ِّ ‫نز ْل َنٓا ِإ َل ْي َك‬
ِ ‫ٱلذ ْك َر لِ ُت َب ِّينَ لِل َّن‬
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
12

B. AS-SUNNAH

1. Definisi As-Sunnah

Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji.
Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: dekat, baru, berita.
Dari arti-arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti
khabar, seperti dalam firman Allah:

‫ِين‬
َ ‫ص ِدق‬ ۟ ‫ث م ِّْثلِ ِهۦٓ ِإن َكا ُن‬
َ ٰ ‫وا‬ ۟ ‫َف ْل َيْأ ُت‬
ٍ ‫وا ِب َحدِي‬

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka
orang-orang yang benar (Q.S. At-Thur: 34).

Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh:

‫ غير ا لنب لقرا ن من قو ل او فعل ا و تقرير‬.‫م‬.‫ك ّل ما صد ر عن ا ص‬

adalah Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alqur'an baik berupa perkataan,
perbuatan atau persetujuan.10

2. Kehujjahan Sunnah
Dalil-dalil yang menetapkan Sunnah dapat jadi hujjah sebagai sumber hukum:

a. Dalil Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang menunjukan bahwa kaum muslimin


diperintah untuk mengikuti Allah swt dan Rasulnya saw. dengan ungkapan yang
berbeda-beda, misalnya dalam Ali Imran :32, Al-Nisa : 80, Al-Ahzab : 36.

b. Dalil As-Sunnah

Tidak sedikit hadits-hadits Rasulullah saw yang memerintahkan kaum muslimin


untuk berpegang kepada As-Sunnah, di antaranya:

10
Al-Khatib, Ushul al-Hadist, 19.
13

Nabi saw. bersabda: ingatlah sesungguhnya telah didatangkan kepadaku Alqur'an dan
yang sepertinya bersama Alqur'an. (Yaitu telah diberikan kepadaku yang sepertinya
berupa As-Sunnah). (Tirmidzi).

Hendaklah kamu berpegang teguh kepada Sunnahku, sunnah khulafau' alRasyidin yang
pada mendapat petunjuk , gigitlah sunnah dengan taring (H.R. Ahmad).

c. Ijma Shahabat

Setelah wafatnya Rasulullah saw, para sahabat jika mendapatkan satu


permasalahan, mereka mencarinya dari Alqur'an, dan jika tidak mendapatkan dari
Alqur'an, mereka bertanya-tanya kepada sahabat lain mungkin di antara mereka ada
yang hafal dan ingat. Kemudian hal tersebut dijadikan ketetapan hukum sesuai yang
disampaikan sahabat kepadanya. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar, juga Umar bin
Khatab dan para sahabat lain serta para Tabi'in. Tidak ada seorangpun dari antara
mereka yang menolak dan mengingkari bahwa sunnah Rasulullah wajib diikuti.

d. Logika

Al-Quran memerintahkan kepada manusia beberapa kewajiban, pada umumnya


bersifat global, tidak terperinci baik caranya maupun syarat-syaratnya, misalnya tentang
shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Hal ini perlu pada penjelasan sehingga 31 tidak
salah dalam melaksanakannya, maka kehadiran sunnah merupakan penjelas terhadap
kemujmalan Alqur'an.

3. Kedudukan As-Sunnah terhadap Alqur'an


Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur'an dilihat dari sisi materi hukum yang
terkandung di dalamnya sebagai berikut:

a. Sebagai Muaqqid
14

Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an


dikuatkan dan dipertegas lagi oleh As-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat
dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh As-sunnah.

b. Sebagai Bayan

Yaitu as-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum jelas,


dalam hal ini ada tiga hal:

1) Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih mujmal (samar-


samar), misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan
Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan shaum.

2) Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq)

Misalnya, Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi


berapa jumlahnya. Kemudian As-Sunnah membatasinya.

3) Mentakhshishkan keumuman
Misalnya, Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi,
kemudian as-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada
bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.

4) Menciptakan hukum baru


Misalnya, Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dan
burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.

4. Macam-macam Sunnah
Sunnah dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah ini sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan
Nabi saw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat
kepada yang lain.
Sunnah Qauliyah dapat dibedakan kepada 3 hal:
15

1) Diyakini benarnya, seperti khabar yang datang dari Allah dan dari Rasulullah
diriwayatkan oleh orang yang dipercaya dan khabar mutawatir
2) Diyaniki dustanya, seperti dua berita yang berlawanan dan berita yang menyalahi
ketentuan-ketentuan syara.
3) Yang tidak diyakini benarnya, dan juga tidak diyakini dustanya, hal ini ada tiga:
a. Tidak kuat benarnya dan tidak kuat pula dustanya, seperti berita yang disamapaikan
oleh orang bodoh
b. Khabar yang lebih dikuatkan benarnya daripada dustanya, seperti khabar yang
disampaikan oleh orang adil c. Khabar yang lebih dikuatkan dustanya daripada
benarnya, seperti khabar yang datang dari orang fasik ( orang yang mengakui peraturan-
peraturan Islam tapi tidak mengindahkannya.

b. Sunnah Fi'liyah
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan
disampaikan oleh sahabat kepada orang lain, seperti cara shalat, cara berwudlu yang
dipraktekan Nabi Saw.
Sunnah fi'liyah ini terbagi kepada beberapa bentuk, ada yang harus diikuti oleh
umatnya, dan ada yang tidak harus diikuti, bentuk tersebut :
1) Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan
seperti gerakan badan dan gerakan anggota badan. Sunnah fi'liyah ini menunjukan tidak
ada kewajiban untuk diikuti dan bersifat mubah.
2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushul
disebut al-Jibilah. Ini lebih pada urusan, keduniaan, budaya dan kebiasaan, seperti
kebiasaan berdiri, duduk, setrategi berperang, cara bercocok tanam dan lainnya. Pada
bagian ini tidak ada perintah untuk diikuti dan diperhatikan, Jumhur ulama
memandangnya kepada jenis Mubah.
3) Perangai yang membawa kepada syara' menurut kebiasaan yang baik dan tertentu.
Seperti petunjuk cara makan yang ditunjukan Nabi saw. cara minum yang diajarkan
Nabi saw. Ini lebih dari sekedar urusan jibilah, tapi sebawah dari urusan al-qurbah /
ibadah.
4) Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi saw. dan tidak boleh diikuti oleh umatnya,
seperti melakukan shaum wishal, dan beristri lebih dari empat. Adapun urusan al-
16

Qurbah ibadah yang bersifat umum tidak hanya bagi Nabi saw. saja, itu harus diikuti
oleh orang muslim, seperti shaum Ramadhan, shalat lima waktu, ibadah hajji dll.
5) Apa yang dilakukan Nabi saw. berupa penjelasan terhadap sesuatu yang bersifat
mujmal / samar tidak jelas. Maka hukumnya sama dengan yang hukum mujmal tersebut.
Seperti perintah shalat dalam Alqur'an yang mujmal, diperjelas oleh Nabi saw. dengan
perbuatannya, demikian juga ibadah Haji.
6) Apa yang dilakukan Nabi saw. menjelaskan akan kebolehan / jawaz , seperti yang
diriwayatkan An-Nawawi tentang wudhu Nabi saw yang menunjukan bahwa orang
yang berwudhu boleh satukali-satukali dan boleh duakali-duakali.

c. Sunnah Taqririyah
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. atau
sepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan
tidak mecegahnya, menunjukan persetujuan nabi.

5. Dilalah Al-Hadits
Para Ulama Hanafiyah membagi hadits ditinjau dari sisi periwayatannya kepada
hadits: Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Sedangkan menurut jumhur, hadits dibagi
kepada; Hadits Mutawatir dan Ahad, hadits masyhur masuk pada pembagian hadits
ahad menurut ulama jumhur.

a. Hadits Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut kebiasaan
mustahil mereka bersepakan untuk berdusta, kemudian dari para sahabat itu
diriwayatkan pula oleh para tabi'in dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang
seperti para sahabat yang meriwayatkan pertama kali. Hadits mutawatir itu banyak kita
jumpai pada sunnah amaliyah ( yang langsung dikerjakan oleh Rasulullah) seperti cara
mengerjakan shalat, shaum, haji dan lain-lain, perbuatan itu disaksikan oleh banyak
orang. Pada sunnah qauliyah tidak sebayank sunnah amaliyah yang mencapai derajat
mutawatir.
17

b. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh sejumlah orang
yang idak sampai pada batas Mutawatir dalam tiga masa. Hadits ini disebut juga dengan
khabar Ahad. Hadits Ahad ini terbagi kepada : Masyhur, Shahih, Hasan , dan Dhaif.

6. Perbedaan antara hadits dan sunnah


Hadits, segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi saw. walaupun hanya
sekali saja dalam hidup, dan walaupun diriwayatkan hanya seorang.

Sunnah, adalah nama amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasul melaksanakan
ibadah, yang dinukil kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Jadi hadits /
khabar berorientasi kepada ucapan, sedang sunnah berorientasi kepada perbuatan.
18

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Al-Qur‟an dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraa, yang
terambil dari wazan fu‟lan, yang berarti “bacaan”, Abdul Wahab Khallaf menyatakan
bahwa Al-Qur‟an adalah Kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat
Jibril ke dalam hati Rasulullah SAW sebagai undang-undang manusia, sebagai
petunjuk, sebagai pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya, dan dikodifikasi
dalam satu mushaf, dimulai dari surah AlFaatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas.
Sedangkan Hadits, beberapa ulama berpendapat bahwa hadist adalah segala perkataan
(sabda), perbuatan, dan ketetapan lainnya (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW, para sahabat, dan para tabiin.

2) Al-Qur‟an memuat informasi dasar berbagai masalah termasuk informasi mengenai


hukum, etika, science, antariksa, kedokteran dan sebagainya. Hal ini merupakan salah
satu bukti bahwa kandungan Al-Qur‟an bersifat luas dan luwes. Mayoritas kandungan
Al-Qur‟an merupakan dasar-dasar hukum dan pengetahuan, manusialah yang berperan
sekaligus bertugas menganalisa, merinci, dan membuat garis besar kebenaran Al-
Qur‟an agar dapat dijadikan sumber penyelesaian masalah kehidupan manusia. Hadist
mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum Islam kedua. Di dalam Al Qur‟an juga
telah dijelaskan berulang kali perintah untuk mengikuti ajaran Rasulullah SAW.

3) Fungsi Al-Qur‟an antara lain : Sebagai petunjuk (al-huda), sebagai sumber


informasi / penjelasan (bayan), sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah (al-
furqan), sebagai penyembuh (Asy-syifa‟), sebagai rahmat, sebagai nasihat atau petuah
(Almau‟idzah). Fungsi Al-Hadits antara lain : Untuk menegaskan, memperjelas dan
menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran.
19

DAFTAR PUSTAKA

al-Zarqani, M. A. (t.thn.). Manahil al-„Irfan fi Ulum Al-Qur‟an Juz 1. Mesir: Isa al-
Bab al-Halabi.

Hasbiyallah. (1997). Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal. Jakarta: Rosda.

Khallaf, A. W. (1990). Ilm Ushulal-Fiqh. Jakarta: Maktabah al-Da‟wah alIslamiyah


Syabab al-Azhar.

Syarifuddin, A. (2011). Ushul Fiqh. Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zein, S. E. (2017). Ushul Fiqh. Jakarta: Gramedia Digital .

Anda mungkin juga menyukai