Kelompok 2:
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayah-Nyalah sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Ushul Fiqh dengan dosen
pengampu Bapak Hadi Yasin, MA. Saya berharap, makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pembaca. Saya menyadari bahwa makalah yang telah dibuat belum
sempurna. Oleh karena itu, saya mengaharapkan kritik dan saran agar dapat
memacu saya sebagai penulis untuk membuat tulisan yang jauh lebih baik pada
tulisan-tulisan yang akan datang. Semoga pembaca dapat bermanfaat dan
mengambil pelajaran dari makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
B. AS-SUNNAH ......................................................................................... 12
ii
iii
BAB I PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab Samawi yang terakhir diturunkan oleh Allah Swt
kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan sampai
saat ini yang begitu terang benderang, melalui perantaraan Jibril, berisi pedoman
dan petunjuk kepada umat manusia, agar manusia dapat memperoleh kehidupan
yang Bahagia di Dunia dan Akhirat.
Sebagai kitab Samawi yang merupakan Kalam Allah, tidak terdapat perbedaan
pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya. Dalam kajian
terhadap al Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al tsubut
(kebenaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Dari sisi al subut al qur’an,
tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat islam tentang kebenaran
sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Alloh karena sampai kepada umat islam
secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.
Sementara dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat ayat al quran yang
berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat ayat yang qath’i dan zhanni.
Kajian mendalam terhadap ayat ayat al quran menunjukan bahwa adanya ayat ayat
yang qath’i dan zhanni merupakan ciri al quran tersendiri dalam menjelaskan
hukum (ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya
adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, alloh memang secara sengaja
menempatkan suatu ayat qath’i dan yang lain zhanni dengan maksud dan makna
tertentu.
Pembahasan qath’i dan zhanni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh
ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil atas tiga bentuk, yaitu
nas, zahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh oleh jumhur ushul
fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Sedangkan dalil
1
2
dalam kategori zahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat zhanni, karena makna
dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.
Konsep Qath’I dan Zhanni menurut pandangan Ulama ushuliyyun salaf (era klasik)
sebagai konsepsi umum yang wajar dipakai dan dianggap final, tetapi di era modern
ini konsep ini menjadi perbincangan yang serius. Gugatan dan kegelisahan ulama
ushulliyun khalaf (era kontemporer) dengan lebih banyak mereka mendasarkan
pada penolakan terhadap cara berpijak atas teks yang mengabaikan substansi dari
suatu teks.
Perumusan Masalah
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dalil
dalam menetapkan suatu hukum.
2. Memberikan pemahaman tentang kedua hal di atas.
3
BAB III IPEMBAHASAN
A. AL-QUR’AN
1. Definisi Al-Qur’an
Al-Qur‟an dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraa, yang
terambil dari wazan fu‟lan, yang berarti “bacaan” atau apa yang tertulis padanya, maqru,
seperti terungkap dalam surah al-Qiyaamah (75) ayat 17-18.1
Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa Al-Qur‟an adalah Kalamullah yang diturunkan
oleh Allah melalui malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah SAW, Muhammad ibn
Abdullah, dalam bahasa Arab berikut maknanya yang benar, untuk menjadi hujah (dalil)
bagi Rasulullah, bahwa beliau itu utusan-Nya, sebagai undangundang manusia, sebagai
petunjuuk, sebagai pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya, dan dikodifikasi
dalam satu mushaf, dimulai dari surah Al-Faatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas,
diriwayatkan secara mutawatir, secara tulisan, maupun lisan, terjaga dari perubahan dan
pergantian, dan sebagai pembenar.2
Al-Qur‟an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan
penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Karena kedudukan Al-Qur‟an merupakan
sumber utama dan pertama bagi pnetapan hukum dan merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Seseorang yang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan
pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an.
Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan AlQur‟an, maka ia tidak boleh mencari
1
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh: (Jakarta: Metode Istinbath dan Istidlal,1997), hlm. 9
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushulal-Fiqh, (Jakarta: Maktabah al-Da‟wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar,
1990), hlm. 23
3
Muhammad Abdul Azhim al-Zarqani, Manahil al-„Irfan fi Ulum Al-Qur‟an, (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi)
Juz I, hlm. 20
4
5
jawaban lain di luar Al-Qur’an. Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai
sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala
sumber hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur’an,
maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan AlQur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hukum selain Al-
Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.
Ayat pertama yang diturunkan adalah ayat 1-5 surah al-Alaq. Adapun ayat yang
terakhir diturunkan ulama berbeda pendapat, dan dari sekian pendapat ulama, pendapat
yang lebih dipilih oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) seorag ahli ilmu AlQur’an, dalam
kitabnya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an yang dinukilkan dari Ibn Abbas adalah ayat 281
surah al-Baqarah.4
Al-Qur’an diturunkan di Mekkah, tepatnya di Gua Hira pada 611 M, dan berakhir di
Madinah pada 633 M, dalam waktu yang cukup panjang, yaitu selama 22 tahun, 2 bulan
dan 22 hari. Ada dua maksud turunnya Al-Qur’an secara berangsur yaitu:
a) Untuk kemantapan hati (tatsbit al-fuad), yaitu ketenangan dan kepuasan rohani dalam
menerima dan menjalankan Al-Qur’an, baik bagi Nabi pribadi maupun bagi umatnya.
Kemantapan hati bagi Nabi ialah bahwa turunnya Al-Qur’an itu merupakan hubungan
langsung antara Nabi dengan Tuhan. Selama peristiwa turunnya Al-Qur’an itu
berlangsung komunikasi langsung. Hal ini berarti bahwa sampai akhir hayatnya Nabi
selalu dalam komunikasi dengan Tuhan sehingga hatinya menjadi mantap. Seandainya
keseluruhan wahyu itu diturunkan sekaligus dalam satu masa tertentu dalam masa hidup
Nabi, maka komunikasi hanya berlangsung dalam masa tertentu itu. Sedangkan
kemantapan hati umat dengan turunnya Al-Qur’an secara berangsur dapat dilihat dari segi
bahwa hukum-hukum Allah yang ada dalam Al-Qur’an meruapakan sesuatu yang sudah
membudaya dan meliputi semua bidang kehidupan, maka tidak mudah melakukannya.
Usaha mengubah suatu budaya mungkin berjalan dengan baik bila dilakukan secara
berangsur-angsur.
b) Dengan tujuan untuk tartil. Secara harfiah, tartil berarti membaca dengan baik dan
mudah. Prinsip tartil ini adalah bahwa Al-Qur’an turun kepada suatu kaum yang pada
umumnya adalah ummi atau tidak mampu membaca dan menulis. Allah menghendaki
4
Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Gramedia Digital, 2017) hlm. 79-80
6
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal oleh umat dengan baik secara menyeluruh sehingga
autentisitas Al-Qur’an dapat terjamin. Untuk memudahkan umat dalam menghafal Al-
Qur’an, Allah menurunkan Al-Qur’an sedikit demi sedikit, secara bertahap. Setiap kali
ayat Al-Qur’an turun dalam jumlah tertentu, maka umat mudah untuk menghafal dan
membacanya.5
Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur‟an itu dapat dibagi tiga macam:
Pertama, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai
apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya,
seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukanNya. Hukum yang
menyangkut keyakinan ini disebut hukum i‟tikadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid”
atau “Ushuluddin”.
1. Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam
hubungannya dengan Allah SWT. Seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini
disebut hukum „ibadah dalam arti khusus‟, karena muamalah pun sebenarnya termasuk
ke dalam perbuatan ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan kehendak Allah.
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 59-61
7
Hukum-hukum ini disebut hukum „muamalah dalam arti umum‟, karena mencakup
semua bentuk pergaulan manusia dalam kehidupan bermayarakat.6
Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-
Ahwal al-Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci 24
dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa
manusia memerlukan bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal beribadah dan
pembinaan keluarga. Banyak manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan
dan teguran, sedang keluarga merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan
memberi warna terhadap yang lainnya.
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 71.
8
Dijumpai dalam Alqur'an hukum-hukum yang bersifat azimah ( kemestian ) dan hukum
rukhshah ( kelonggaran, keringanan), misalnya kewajiban untuk shaum, dan dalam
keadaan sakit, bepergian boleh buka dan mengqadanya, mengqasar shalat dari empat
menjadi dua rakaat, bertayamum sebagai ganti air untuk berwudhu, makan makanan yang
terlarang dalam keadaan darurat.
b. Menyedikitkan tuntutan.8
Selain itu ayat Alqur'an yang berjumlah 6342 ayat ( menurut sebagian pendapat) hanya
sekitar 500 ayat saja yang berkaitan dengan hukum, bahkan sebagian pendapat
menyebutkan kurang dari 500 ayat. Ini menunjukan bahwa Alqur'an menyedikitkan
tuntutan. Demikian juga misalnya ; perintah zakat, hanya bagi orang yang mampu saja,
Ibadah hajji, juga hanya bagi orang yang istitho’ah9 saja.
Hal ini dapat ditunjukan dengan beberapa contoh; Haramnya minuman keras dan
perjudian proses larangannya sampai tiga kali dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yakni
dalam Surah Al-Baqarah: 219, An-Nisa: 43, dan Al-Maidah: 60.
Dari ayat-ayat tersebut jelas tahapan-tahapan dalam mengharamkan khamer dan maisir,
Dalam ayat 219 Al-Baqarah, hanya disebutkan bahwa dosa minum khamer dan bermaisir
lebih besar daripada manfaatnya, kemudian dikuatkan kembali dalam surat Al-Nisa: 43
tidak boleh mendekati shalat jika mabuk, Akhitnya diharamkan dalam surat Al-Maidah:
60.
7
Lihat Al-Qur’an Surah At-Baqarah: 185, dan At-Thalaq: 7.
8
Lihat Al-Qur’an Surah Al-Maidah: 101.
9
kemampuan jamaah haji dari aspek kesehatan yang meliputi fisik dan mental yang terukur melalui
pemeriksaan medis
9
Jahiliyah ke masyarakat Islam tidak sekaligus, tapi bertahan selama 22 tahun 2 bulan dan
22 hari.
Hal ini dibuktikan dengan seringnya Al-Qur'an menyebutkan sebab atau illat hukum.
Misalnya tentang adanya pengaturan harta, disebut bahwa pengaturan tersebut
dimaksudkan agar harta itu tidak hanya berputan di antara orang yang kaya saja. Juga
dalam hal tidak boleh mencaci berhala:
Dalam ayat di atas ada larangan memaki-maki berhala, karena bila kita memaki-
maki berhala, mereka pun akan memaki-maki Allah.
س ِبيل
َ سا َء ۟ َو ََل تَ ْق َرب
َ ُوا ٱ ِلزنَى ۖ إِ َّنهُۥ َكانَ فَ ِحشَة َو
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk (Q.S. Al-Isra’: 32).
Dalam ayat tersebut dilarang mendekati perbuatan yang akan mendorong pada
zina. Zina itu termasuk pada perbuatan yang keji dan menuju pada kehancuran Akhlak
manusia. Oleh karena itu dalam hukum Islam tindak pidana zina bukan delik aduan akan
tetapi delik biasa.
4. Kehujjahan Al-Qur’an
Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa Al-Qur'an
merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib dilaksanakan.
Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum
membahas dan meneliti ayat-ayat Al-Qur'an. Apabila hukum permasalahan yang ia cari
tidak ditemukan dalam Al-Qur'an, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil
10
lain. Ada beberapa alasan yang ditemukan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah
dengan Al-Qur'an:
a. Al-Qur'an itu diturunkan kepada Rasulullah saw diketahui secara mutawatir, dan ini
memberi keyakinan bahwa Alqur'an itu benar-benar datang dari Allah melalui Malaikat
Jibril kepada Muhammad saw. Yang dikenal sebagai orang yang paling dipercaya.
b. Banyak ayat yang menyatakan bahwa Alqur'an itu datangnya dari Allah, antaranya:
َ س ِل ِم
ين َ َ علَ ْيكَ ٱ ْل ِك َٰت
ْ ب تِ ْب َٰيَنًا ِلك ُِل ش َْى ٍء َو ُهدًى َو َرحْ َمةً َوبُش َْر َٰى ِل ْل ُم َ َونَ َّز ْلنَا
Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (Q.S.
An-Nahl: 89).
c. Mukzijat Al-Qur'an juga merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur'an
datang dari Allah swt. Mukzijat Al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi
saw. yang membawa risalah ilahi dengan satu perbuatan di luar kebiasaan umat manusia.
Mukzijat Al-Qur'an menurut para ahli ushul fiqh dan ahli tafsir terlihat ketika ada
tantangan dari berbagai pihak untuk menadingi Al-Qur'an itu sendiri sehingga para ahli
sastra Arab di mana dan kapan pun tidak bisa menandinginya.
Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak
bisa dipamahi makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya ; ayat-ayat waris, hudud
, kaffarat. Contoh ayat kaffarat:
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam
Al-Qur'an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita'wilkan.
Misalnya lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu qara / lafal yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 228.
َ َوٱ ْل ُم
ْ طلَّقَتُ َيت ََر َّب
صنَ ِبأَنفُ ِس ِه َّن ثَلَثَةَ قُ ُروء
Kata quru di atas merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci
dan haidl. Oleh sebab itu, apabila kata quru di artikan dengan suci, sebagaimana yang
dianut ulama Syafiiyyah ' adalah boleh / benar. Dan jika diartikan dengan haidl juga boleh
(benar) sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyah.
b. Penjelasan Alqur'an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu, bersifat global / kully,
umum, dan muthlaq, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari
dikerjakan, berapa ra'kaat untuk satu kali shalat, apa hukum dan syaratnya. Demikian juga
dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci benda-benda yang wajib dizakati,
berapa nisab nisab zakat, dan berapa kadar yang harus dizakatkan. Untuk hukum-hkum
yang bersifat global, umum, dan muthlaq ini, Rasulullah saw. melalui sunnahnya bertugas
menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasinya. Hal inilah yang diungkapkan Alqur'an
dalan surat al-Nahl: 44.
B. AS-SUNNAH
1. Definisi As-Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji.
Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: dekat, baru, berita.
Dari arti-arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti
khabar, seperti dalam firman Allah:
َص ِدقِين
َ وا ۟ ُ فَ ْل َيأْت
۟ ُوا ِب َحدِيث ِم ْث ِل ِهۦ ِإن َكان
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka
orang-orang yang benar (Q.S. At-Thur: 34).
adalah Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alqur'an baik berupa perkataan,
perbuatan atau persetujuan.10
2. Kehujjahan Sunnah
Dalil-dalil yang menetapkan Sunnah dapat jadi hujjah sebagai sumber hukum:
a. Dalil Al-Qur'an
b. Dalil As-Sunnah
10
Al-Khatib, Ushul al-Hadist, 19.
13
Nabi saw. bersabda: ingatlah sesungguhnya telah didatangkan kepadaku Alqur'an dan
yang sepertinya bersama Alqur'an. (Yaitu telah diberikan kepadaku yang sepertinya
berupa As-Sunnah). (Tirmidzi).
Hendaklah kamu berpegang teguh kepada Sunnahku, sunnah khulafau' alRasyidin yang
pada mendapat petunjuk , gigitlah sunnah dengan taring (H.R. Ahmad).
c. Ijma Shahabat
d. Logika
a. Sebagai Muaqqid
Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an
dikuatkan dan dipertegas lagi oleh As-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat
dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh As-sunnah.
b. Sebagai Bayan
3) Mentakhshishkan keumuman
Misalnya, Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi,
kemudian as-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada bangkai
ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4. Macam-macam Sunnah
Sunnah dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah ini sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan
Nabi saw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat
kepada yang lain.
15
b. Sunnah Fi'liyah
Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan disampaikan
oleh sahabat kepada orang lain, seperti cara shalat, cara berwudlu yang dipraktekan Nabi
Saw.
Sunnah fi'liyah ini terbagi kepada beberapa bentuk, ada yang harus diikuti oleh
umatnya, dan ada yang tidak harus diikuti, bentuk tersebut :
1) Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan
seperti gerakan badan dan gerakan anggota badan. Sunnah fi'liyah ini menunjukan tidak
ada kewajiban untuk diikuti dan bersifat mubah.
2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushul disebut
al-Jibilah. Ini lebih pada urusan, keduniaan, budaya dan kebiasaan, seperti kebiasaan
berdiri, duduk, setrategi berperang, cara bercocok tanam dan lainnya. Pada bagian ini
tidak ada perintah untuk diikuti dan diperhatikan, Jumhur ulama memandangnya kepada
jenis Mubah.
3) Perangai yang membawa kepada syara' menurut kebiasaan yang baik dan tertentu.
Seperti petunjuk cara makan yang ditunjukan Nabi saw. cara minum yang diajarkan Nabi
saw. Ini lebih dari sekedar urusan jibilah, tapi sebawah dari urusan al-qurbah / ibadah.
4) Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi saw. dan tidak boleh diikuti oleh umatnya,
seperti melakukan shaum wishal, dan beristri lebih dari empat. Adapun urusan al-Qurbah
16
ibadah yang bersifat umum tidak hanya bagi Nabi saw. saja, itu harus diikuti oleh orang
muslim, seperti shaum Ramadhan, shalat lima waktu, ibadah hajji dll.
5) Apa yang dilakukan Nabi saw. berupa penjelasan terhadap sesuatu yang bersifat
mujmal / samar tidak jelas. Maka hukumnya sama dengan yang hukum mujmal tersebut.
Seperti perintah shalat dalam Alqur'an yang mujmal, diperjelas oleh Nabi saw. dengan
perbuatannya, demikian juga ibadah Haji.
6) Apa yang dilakukan Nabi saw. menjelaskan akan kebolehan / jawaz , seperti yang
diriwayatkan An-Nawawi tentang wudhu Nabi saw yang menunjukan bahwa orang yang
berwudhu boleh satukali-satukali dan boleh duakali-duakali.
c. Sunnah Taqririyah
Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. atau
sepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan
tidak mecegahnya, menunjukan persetujuan nabi.
5. Dilalah Al-Hadits
Para Ulama Hanafiyah membagi hadits ditinjau dari sisi periwayatannya kepada
hadits: Mutawatir, Masyhur dan Ahad. Sedangkan menurut jumhur, hadits dibagi kepada;
Hadits Mutawatir dan Ahad, hadits masyhur masuk pada pembagian hadits ahad menurut
ulama jumhur.
a. Hadits Mutawatir
Hadits yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat yang menurut kebiasaan
mustahil mereka bersepakan untuk berdusta, kemudian dari para sahabat itu diriwayatkan
pula oleh para tabi'in dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang seperti para
sahabat yang meriwayatkan pertama kali. Hadits mutawatir itu banyak kita jumpai pada
sunnah amaliyah ( yang langsung dikerjakan oleh Rasulullah) seperti cara mengerjakan
shalat, shaum, haji dan lain-lain, perbuatan itu disaksikan oleh banyak orang. Pada sunnah
qauliyah tidak sebayank sunnah amaliyah yang mencapai derajat mutawatir.
17
b. Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. oleh sejumlah orang
yang idak sampai pada batas Mutawatir dalam tiga masa. Hadits ini disebut juga dengan
khabar Ahad. Hadits Ahad ini terbagi kepada : Masyhur, Shahih, Hasan , dan Dhaif.
Sunnah, adalah nama amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasul melaksanakan
ibadah, yang dinukil kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Jadi hadits /
khabar berorientasi kepada ucapan, sedang sunnah berorientasi kepada perbuatan.
18
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Al-Qur‟an dari segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qaraa, yang terambil
dari wazan fu‟lan, yang berarti “bacaan”, Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa Al-
Qur‟an adalah Kalamullah yang diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril ke dalam
hati Rasulullah SAW sebagai undang-undang manusia, sebagai petunjuk, sebagai
pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya, dan dikodifikasi dalam satu mushaf,
dimulai dari surah AlFaatihah dan diakhiri dengan surah An-Naas. Sedangkan Hadits,
beberapa ulama berpendapat bahwa hadist adalah segala perkataan (sabda), perbuatan,
dan ketetapan lainnya (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, para
sahabat, dan para tabiin.
3) Fungsi Al-Qur‟an antara lain : Sebagai petunjuk (al-huda), sebagai sumber informasi
/ penjelasan (bayan), sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah (al-furqan),
sebagai penyembuh (Asy-syifa‟), sebagai rahmat, sebagai nasihat atau petuah
(Almau‟idzah). Fungsi Al-Hadits antara lain : Untuk menegaskan, memperjelas dan
menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran.
19
DAFTAR PUSTAKA
al-Zarqani, M. A. (t.thn.). Manahil al-„Irfan fi Ulum Al-Qur‟an Juz 1. Mesir: Isa al-Bab
al-Halabi.
Hasbiyallah. (1997). Fiqh dan Ushul Fiqh Metode Istinbath dan Istidlal. Jakarta: Rosda.