Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah swt. Yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pendidikan Kearifan Lokal dan Etika
dengan judul “Praktik-Praktik Kearifan Lokal dalam Dinamika Lingkungan
Hidup”
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca tentang pelanggaran atau kesalahan apa saja yang biasa
terjadi dalam bahasa keseharian yang bisa kita pelajari. Begitu pula atas limpahan
kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karunia kepada kami sehingga makalah ini
dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,
atau pun adanya ketidak sesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami
mohon maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar
bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................................2
BAB II...............................................................................................................................3
PEMBAHASAN................................................................................................................3
BAB III............................................................................................................................19
PENUTUP.......................................................................................................................19
A. KESIMPULAN....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi lingkungan Indonesia yang menghasilkan keanekaragaman
ekosistem beserta sumber daya alam, melahirkan manusia Indonesia yang
berkaitan erat dengan kondisi alam dalam melakukan berbagai aktivitas untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Manusia Indonesia menanggapi alam
sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat, yang terlahir dalam
bentuk kebiasaan alami yang dituangkan menjadi adat kehidupan yang
berorientasi pada sikap alam. Kearifan lokal dianggap sebagai produk kolektif
masyarakat, difungsikan guna mencegah keangkuhan dan keserakahan manusia
dalam mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa merusak kelestarian
hidup,Praktik kearifan lokal masyarakat merupakan respons terhadap negara
kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, budaya, suku bangsa, bahasa, adat
istiadat, dan agama yang berbeda. Hal ini mendorong kaum muda penerus
bangsa untuk mempertahankan kearifan lokal seiring dengan perkembangan
zaman dan globalisasi saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan
Keanekaragaman Hayati?
2. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana?
3. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik Sosial?
iv
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan
Keanekaragaman Hayati
2. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana
3. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik
Sosial
v
BAB II
PEMBAHASAN
vi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Penetapan UU ini
merepresentasikan pengakuan sekaligus kesadaran pemerintah atas kekayaan
sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan ancaman ketersediaannya
akibat dari kegiatan manusia.
UU No.5 Tahun 1994 mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai
keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk
diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks
ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup
keanekaragaman di dalam species, antara species dan ekosistem. Definisi tersebut
merupakan terjemahan dari definisi biological diversity yang tercantum dalam
Convention on Biological Diversity.
Keanekaragaman hayati mencakup keragaman gen, species, dan proses
ekologi yang membentuk sistem kehidupan di darat, perairan air tawar, dan laut
yang saling mendukung dan membentuk keragaman di muka bumi. Implikasi
konsep biodiversity adalah kesadaran dan kesepahaman antar negara akan nilai
penting dan tanggung jawab bersama dalam menjaga dan melestarikan
keanekaragaman hayati tersebut.
vii
keanekaragaman biotik, dan daur material. Kehilangan atau ketidakseimbangan
salah satu elemen pada mata rantai arus energi tersebut sudah tentu akan
menyebabkan gangguan pada yang lain pada sistem tersebut.
viii
masyarakat lokal sebagai agen utama yang menjaga dan membentuk
keanekaragaman hayati.
Berbagai contoh dari praktik-praktik masyarakat lokal yang menerapkan
aktivitas konservasi biodiversity dapat dijumpai di seluruh belahan dunia. Seperti
di negara Zimbabwe – Afrika Selatan, masyarakat yang tinggal di dekat hutan di
sepanjang aliran sungai Musengezi percaya bahwa hutan yang ada di dekat
pemukiman mereka adalah hutan keramat. Penduduk dilarang mengambil hasil
hutan tanpa meminta ijin melalui seorang “pawang yang merupakan medium dari
roh-roh yang tinggal di dalam hutan. Masyarakat setempat yakin bahwa roh
leluhur mereka tinggal dalam hutan. Roh-roh penduduk yang meninggal juga akan
bergabung dengan leluhur mereka di hutan dalam wujud satwa liar, misal: para
kepala suku akan mengambil wujud hewan singa.
Kearifan lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati ini tidak saja
dilakukan oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya
alam yang ada di darat. Masyarakat pesisir pun memiliki kebajikan setempat
dalam menkonservasi ekosistemnya. Sebagai contoh di negara Tanzania,
penduduk pesisir memiliki kepercayaan bahwa gugusan terumbu karang dijaga
oleh roh-roh jahat sehingga mereka tidak berani sembarangan menangkap ikan di
area tersebut. Kepercayaan ini tentu sangat membantu mengkonservasi habitat
terbaik untuk pemijahan biota-biota laut.
ix
Bali. Sementara bentuk literal muncul seperti pada pemberian kain berwarna pada
pohon besar yang dapat dijumpai di Thailand dan juga di Bali untuk menegaskan
bahwa pohon tersebut tidak dapat ditebang dengan sembarangan.
Media ritual adat juga banyak dipakai oleh masyarakat lokal untuk
mengapresiasi keanekaragaman hayati. Masyarakat di Bali menggunakan sarana
ritual sebagai wujud rasa syukur atas pemanfaatan sumber daya alam hayati yang
dapat mereka peroleh. Beberapa ritual dikhususkan oleh masyarakat Bali untuk
menghormati/menghargai alam, seperti tumpek wariga/tumpek uduh. Dalam
kesempatan tersebut masyarakat Bali memuliakan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai pencipta segala tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi manusia.
Ritual ini biasanya dilakukan di sawah dan kebun milik penduduk. Makna ritual
ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar melimpahkan berkah sehingga
tanaman dapat tumbuh dengan subur dan memberikan hasil panen yang baik
untuk kesejahteraan manusia. Makna filosofi yang terkandung dalam ritual ini
adalah bahwa manusia diingatkan untuk selalu menghargai tumbuhan yang
menjadi sumber pangan dan manusia tergantung pada tumbuhan untuk hidup.
Masyarakat Bali juga mengenal upaya menjaga ekosistem hutan melalui suatu
upacara yang disebut Wanakerti, yaitu suatu upacara yang diadakan di kawasan
hutan pura Batukaru. Salah satu bagian dari upacara ini adalah pelepasan satwa ke
hutan. Makna filosofi konservasi ekosistem hutan melalui ritual diiringi dengan
tindakan melepas satwa kembali ke hutan sebagai pengingat bahwa satwa liar juga
memiliki hak hidup di hutan. Manusia bukanlah satu-satunya mahluk hidup yang
memerlukan hutan dan produk hutan untuk hidup.
Kearifan tradisi yang terkandung pada masing-masing budaya memang
bersifat lokal, namun makna inti dari produk budaya tersebut memiliki benang
merah yang sama, yaitu konservasi keanekaragaman hayati sebagai suatu nilai
yang bersifat univesal. Bahasa dan pendekatan yang dipergunakan sangat
mungkin berbeda, walaupun demikian, tradisi maupun pengetahuan yang lokal
yang disampaikan mempunyai tujuan yang sama untuk melindungi lingkungan
alam.
Nilai-nilai lingkungan yang tercermin dari praktek-praktek kearifan lokal
meliputi perlindungan, pemanfaatan secara lestari, dan pemeliharaan. Nilai
x
tersebut berhubungan secara langsung, saling terkait, dengan sistem
kemasyarakatan dan sosial suatu komunitas. Semua kegiatan diterapkan untuk
dilaksanakan semua anggota komunitas dan ditujukan untuk kepentingan dabn
kebaikan bersama.1
1
I Made Supartha Utama, “Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal,” Udayana
University 01, no. 01 (2011): 1–6.
xi
digunakan secara bergantian. Bahaya adalah istilah terluas dan berarti ancaman bagi
orang-orang dan hal-hal yang mereka hargai.
Menurut Cutter, “bahaya memiliki potensi bagi mereka (mereka bisa terjadi),
tetapi mereka juga termasuk dampak yang sebenarnya dari suatu peristiwa pada
orang atau tempat-tempat”. Bahaya memiliki asal-usul yang rumit dan digambarkan
sebagai timbul dari interaksi antara sistem sosial dan alami, serta sistem teknologi.
Sedangkan risiko adalah komponen bahaya dan mengacu pada kemungkinan atau
kemungkinan suatu peristiwa atau bahaya terjadi. Melalui perkiraan probabilitas
bahaya yang terjadi dapat ditentukan tingkat keamanan yang sesuai atau penerimaan
teknologi atau tindakan. Bencana, seperti bahaya, berasal dari berbagai alam, sosial,
teknologi dan sumber-sumber lingkungan, dan dapat digambarkan sebagai peristiwa
tunggal yang menghasilkan kerugian orang, infrastruktur, atau lingkungan.
“Perbedaan antara bahaya, risiko, dan bencana penting karena menggambarkan
keragaman perspektif tentang bagaimana kita mengenali dan menilai ancaman
lingkungan (risiko), apa yang kita lakukan tentang mereka (bahaya), dan bagaimana
kita menanggapi mereka setelah mereka terjadi (itu bencana)”.
Mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mencegah
bencana atau mengurangi dampak bencana. Menurut Subiyantoro (2010: 45)
“mitigasi bencana sesungguhnya berkaitan dengan siklus penanggulangan bencana
berupa upaya penanganan sebelum terjadinya bencana”.
Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003,
mitigasi diartikan sebagai “upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi
kesiapsiagaan dan kewaspadaan”. Kajian tentang kearifan lokal dan mitigasi
bencana pada masyarakat tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya
dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakat tradisional
(lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan
Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa
menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa
marah jika kita merusaknya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2010 Pasal 1 (4) secara
jelas disebutkan:
xii
“kegiatan mitigasi bencana selain diorientasikan kepada kegiatan fisik juga non
fisik. Maka berdasarkan amanat Pasal 16, kegiatan mitigasi bencana non
struktur/non fisik mencakup 7 (tujuh) aspek yakni:
1) penyusunan peraturan perundang-undangan
2) penyusunan peta rawan bencana
3) penyusunan peta risiko bencana
4) penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
5) penyusunan tata ruang
6) penyusunan zonasi; dan pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran
masyarakat”.2
2
Rendra Zainal Maliki, “Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi” 6, no. 2 (Desember 2022): 454,
https://doi.org/10.29408/geodika.v6i2.6588.
xiii
b. Identifikasi zona-zona aman dan zona-zona berisiko tinggi berdasarkan
pengalaman lokal.
7) Pendidikan Masyarakat:
xiv
implementasi program mitigasi. Pendekatan ini dapat memperkuat kapasitas
komunitas untuk mengatasi bencana dengan lebih efektif.
Konflik merupakan bagian dari suatu kehidupan di dunia yang kadang tidak
dapat dihindari. Konflik umumnya bersifat negatif karena ada kecenderungan
antara pihak- 1 pihak yang terlibat konflik saling bertentangan dan berusaha untuk
saling meniadakan atau melenyapkan, yang bertentangan dianggap sebagai lawan
atau musuh. Di sinilah letak perbedaan konflik dengan rivalitas atau persaingan.
Meskipun dalam rivalitas terdapat kecenderungan untuk mengalahkan, namun
tidak mengarah pada saling meniadakan saingan atau kompetitor.
Minnery mendefinisikan konflik sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak
yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan
di mana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan
3
Budi Prasetyo, “KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS MITIGASI BENCANA,” FST Universitas
Terbuka, 2019, 116.
xv
tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut. Dalam sosiologi
konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan, dimana pertikaian merupakan
bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak
bermaksud untuk mencelakakan atau berusaha menyingkirkan pihak lainnya.
Pertikaian merupakan usaha penghapusan keberadaan pihak lain. Pengertian ini
senada dengan pendapat Soedjono pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial
di mana pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain atau berusaha
mengenyahkan rivalnya.
a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik
pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya
melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong tersebut
untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada
dasarnya konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.
b. Konflik Rasial
xvi
rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu
Australoid, Mongoloid, Kaukasoid Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini
berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan
antarras dipertajam.
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik
adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan
politik yang berbedabeda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama.
Perbedaan ini memunculkan peluang terjadinya konflik antargolongan
terbuka lebar. Contoh rencana undangundang pornoaksi dan pornografi
sedang diulas, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran,
sehingga terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang setuju
dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.
xvii
3. Resolusi Konflik
Konflik Pada tahap ini konflik yang terjadi umumnya masih diwarnai dengan
adanya konflik bersenjata, sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus
dilakukan bekerja sama dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik
dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan
menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Pada kenyataannya, saat ini pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk
menerima perundingan dengan tujuan mengurangi beban biaya kekerasan yang
meningkat. Namun hal itu tidak sejalan dengan pemikiran Burton yang
menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible
more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable
options, that would make this ripening unnecessary”.
Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi
konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik. Prinsip ini yang
merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90-
an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan
pinggiran konflik bersenjata, tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran
HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa
melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Intervensi kemanusiaan
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang
diadakannya negosiasi antarelit.
xviii
kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik
yang spesifik ke arah resolusi. Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika
dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual
understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif
penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing
komunitas. Alternatifalternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu
institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab
fundamental dari suatu konflik.
xix
masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi enam proses
yaitu:
Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami
oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam
kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut.
Sedangkan tahap konsolidasi mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus
menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua
tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan
bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat
dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai.4
Kearifan lokal masyarakat dapat menjadi salah satu solusi dalam penyelesaian
konflik sosial. pada konteks ini, kearifan lokal merujuk pada pengetahuan, nilai-
nilai, serta praktik yg dimiliki oleh rakyat setempat. Penggunaan kearifan lokal
pada penyelesaian konflik sosial dapat membantu membentuk pemahaman,
rekonsiliasi, serta harmoni di antara pihak-pihak yg terlibat pada konflik. keliru satu
cara penggunaan kearifan lokal dalam penyelesaian konflik sosial artinya melalui
partisipasi masyarakat yang terlibat pada konflik. dengan melibatkan rakyat,
konflik bisa diatasi melalui dialog, mediasi, atau perundingan yang berdasarkan
pada nilai-nilai serta istiadat-adat lokal. Hal ini dapat membantu mencapai
kesepakatan yg lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yg terlibat.
4
Herlina Astri, “PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL MELALUI PENGUATAN KEARIFAN
LOKAL,” 2012, h.152-156.
xx
Resolusi konflik berbasis kearifan lokal masyarakat ialah pendekatan yg
memakai nilai-nilai budaya, tata cara istiadat, serta tradisi lokal menjadi landasan
pada menyelesaikan konflik secara tenang. Beberapa contoh model praktik resolusi
konflik social dapat ditemukan diberbagai daerah yang berbasis kearifan lokal
diantaranya:
3) larangan istiadat pada Sumba, yaitu hukuman sosial berupa larangan yang
diberlakukan kepada pelaku konflik. larangan ini bertujuan mendidik dan
mencegah terjadinya konflik pada masa depan.5
5
Lenny Herlina, “Nilai-Nilai Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal Dalam Semboyan Patut Patuh
Patju Masyarakat Lombok Barat NTB,” Politea : Jurnal Politik Islam 4, no. 1 (25 Juni 2021): hal 339.
xxi
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa kearifan lokal memiliki nilai penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem dan keberlanjutan lingkungan. Praktik-praktik kearifan lokal sering
kali didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi dalam komunitas tertentu.Praktik-praktik kearifan lokal
dapat mencakup pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, seperti
penggunaan tanaman obat tradisional, metode pertanian organik, atau
pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Praktik-praktik ini sering kali
mempertimbangkan ketergantungan manusia terhadap alam dan menjaga
keseimbangan ekosistem untuk keberlanjutan jangka panjang.
xxii
DAFTAR PUSTAKA
Semboyan Patut Patuh Patju Masyarakat Lombok Barat NTB.” Politea : Jurnal
https://doi.org/10.20414/politea.v4i1.3493.
Rendra Zainal Maliki. “Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi” 6, no. 2
xxiii
xxiv