Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PRAKTIK-PRAKTIK KEARIFAN LOKAL DALAM DINAMIKA


LINGKUNGAN HIDUP
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Pendidikan
Kearifan Lokal Dan Etika Lingkungan

Dosen Pengampu : Dr. H. Zuhairi, M.Pd.


Disusun Oleh : Kelompok 10 (Kelas A)

1. Amanda Nurul Khoiriyah (2201011013)


2. Fezka Shella S.R (2201010036)
3. Muhammad Didik Alvian (2201010070)
4. Nur Azizah (2201010085)
5. Riski Wahyu Dwi S (2201010101)
6. Silvi Anggraini (2201010110)
7. Tesa Mukhlisa (2201010117)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO LAMPUNG

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah swt. Yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pendidikan Kearifan Lokal dan Etika
dengan judul “Praktik-Praktik Kearifan Lokal dalam Dinamika Lingkungan
Hidup”
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan
Tim penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca tentang pelanggaran atau kesalahan apa saja yang biasa
terjadi dalam bahasa keseharian yang bisa kita pelajari. Begitu pula atas limpahan
kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karunia kepada kami sehingga makalah ini
dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui kajian pustaka.

Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,
atau pun adanya ketidak sesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami
mohon maaf. Tim penulis menerima kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca agar
bisa membuat karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Metro, 10 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan Masalah......................................................................................................2

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN................................................................................................................3

A. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan Keanekaragaman


Hayati.............................................................................................................................3

B. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mitigasi Bencana............................................8

C. Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik Sosial.............................12

BAB III............................................................................................................................19

PENUTUP.......................................................................................................................19

A. KESIMPULAN....................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi lingkungan Indonesia yang menghasilkan keanekaragaman
ekosistem beserta sumber daya alam, melahirkan manusia Indonesia yang
berkaitan erat dengan kondisi alam dalam melakukan berbagai aktivitas untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Manusia Indonesia menanggapi alam
sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat, yang terlahir dalam
bentuk kebiasaan alami yang dituangkan menjadi adat kehidupan yang
berorientasi pada sikap alam. Kearifan lokal dianggap sebagai produk kolektif
masyarakat, difungsikan guna mencegah keangkuhan dan keserakahan manusia
dalam mengeksploitasi sumberdaya alam tanpa merusak kelestarian
hidup,Praktik kearifan lokal masyarakat merupakan respons terhadap negara
kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, budaya, suku bangsa, bahasa, adat
istiadat, dan agama yang berbeda. Hal ini mendorong kaum muda penerus
bangsa untuk mempertahankan kearifan lokal seiring dengan perkembangan
zaman dan globalisasi saat ini.

Dalam perkembangannya,masyarakat melakukan adaptasi terhadap


lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud
pengetahuan atau ide, peralatan, dan praktik dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan
Keanekaragaman Hayati?
2. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana?
3. Bagaimana Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik Sosial?

iv
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan
Keanekaragaman Hayati
2. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana
3. Untuk Mengetahui Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik
Sosial

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Konservasi Alam Dan Keanekaragaman


Hayati
1. Sejarah Singkat Konsep Biodiveresity
Terminologi Keanekaragaman Hayati atau biodiversity merupakan istilah
baru yang dimuncul dan dipopulerkan tahun 1986 pada Forum Nasional
Keanekaragaman Hayati (National Forum on Biodiversity) di Amerika Seikat.
Forum ini diadakan atas prakarsa National Academy of Science dan Smithsonian
Institute. Istilah biodiversity sebenarnya bermula dari penggunaan istilah
biological diversity. Kata biodiversity berasal dari bahasa Yunani bios yang
berarti hidup dan bahasa Latin diversitas yang berarti aneka ragam. Gabungan
kedua kata tersebut memunculkan pemaknaan baru, yaitu kehidupan yang
beraneka ragam. Terminologi ini dikemudian hari menjadi suatu konsep dalam
konteks perlindungan dan pelestarian alam.
Perhatian terhadap persoalan biodiversity muncul karena ledakan populasi
manusia yang berimplikasi pada penurunan kondisi lingkungan alam.
Pertumbuhan manusia di muka bumi ini menuntut ruang untuk hidup dan juga
berbagai sumberdaya alam lain untuk menunjang hidup. Segala aktivitas terkait
pemenuhan kebutuhan hidup manusia dapat dianggap sebagai suatu “persaingan”
dengan mahluk hidup lain. Sekitar 12% species burung dan 23 % species mamalia
berada dalam kondisi terancam punah (Sponsel, 2008). Keadaan ini tentu
mengancam kehidupan manusia di masa mendatang.
Pada KTT Bumi tahun 1992 yang diselenggarakan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, di Rio De Jainero – Brasil, dilakukan penandatanganan Konvensi
Mengenai Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) oleh 150
negara yang menghadirinya. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut
menandatangani konvensi tersebut kemudian menegaskan pengakuannya dalam

vi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Penetapan UU ini
merepresentasikan pengakuan sekaligus kesadaran pemerintah atas kekayaan
sumber daya alam Indonesia yang beraneka ragam dan ancaman ketersediaannya
akibat dari kegiatan manusia.
UU No.5 Tahun 1994 mendefinisikan keanekaragaman hayati sebagai
keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk
diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks
ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup
keanekaragaman di dalam species, antara species dan ekosistem. Definisi tersebut
merupakan terjemahan dari definisi biological diversity yang tercantum dalam
Convention on Biological Diversity.
Keanekaragaman hayati mencakup keragaman gen, species, dan proses
ekologi yang membentuk sistem kehidupan di darat, perairan air tawar, dan laut
yang saling mendukung dan membentuk keragaman di muka bumi. Implikasi
konsep biodiversity adalah kesadaran dan kesepahaman antar negara akan nilai
penting dan tanggung jawab bersama dalam menjaga dan melestarikan
keanekaragaman hayati tersebut.

2. Nilai Penting Keanekaragaman Hayati


Sumber daya alam merupakan suatu kekayaan yang tiada nilainya bagi
kehidupan manusia. Kebutuhan manusia pada masa kini tidak hanya terbatas pada
kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan akan kesehatan juga menjadi
hal penting dalam hidup manusia. Semua kebutuhan manusia tersebut disediakan
oleh alam. Dengan kata lain, manusia tergantung pada alam. Sementara alam itu
sendiri terbentuk dari susunan hubungan saling ketergantungan antara elemen satu
dengan lainnya yang sangat kompleks.
Ditinjau dari sudut pandang ilmu ekologi, Odum dalam bukunya
Fundamentals of Ecology (1996) menyebutkan saling ketergantungan antara
organisme hidup dan lingkungnnya. Hubungan yang terjalin antar elemen adalah
saling mempengaruhi sehingga arus energi mengarah pada struktur makanan,

vii
keanekaragaman biotik, dan daur material. Kehilangan atau ketidakseimbangan
salah satu elemen pada mata rantai arus energi tersebut sudah tentu akan
menyebabkan gangguan pada yang lain pada sistem tersebut.

3. Keanekaragaman Hayati sebagai Konsep Konservasi Universal


Keanekaragaman hayati sebagai suatu konsep universal dalam perspektif
konservasi telah menjadi salah satu tujuan utama dalam Millennium Development
Goals (MDGs) dan menjadi fondasi bagi beberapa poin MDGs yang lain.
Perhatian negara-negara di dunia pada konservasi keanekaragaman hayati
tentunya tidak berlebihan. Konsep konservasi biodiveristy tidak mengenal batas-
batas administrasi negara, Mahluk hidup seperti burung tidak mengenal teritori
negara seperti yang dikenal umat manusia. Sebagai contoh, burung blackburnian
wabler dan scarlet tanager di benua amerika utara akan berimigrasi ke hutan-
hutan tropis selama musim dingin (Wilson & Peter, 1988). Hutan-hutan tropis
tersebut tentunya tidak berada di Amerika tetapi di negara Brasil,Venezuela, Peru
dan lima negara lain yang dibentengi oleh kawasan hutan trois tersebut.
Setiap penghuni bumi sama-sama memiliki kepentingan untuk bertahan
hidup. Masing-masing negara dan bahkan kelompok komunitas masyarakat
memiliki cara-cara tersendiri untuk melindungi sumber daya yang mereka miliki.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep keanekaragaman hayati merupakan
hal yang bersifat universal.

4. Keanekaragaman Hayati dalam Perspektif Budaya Lokal


Sementara dari perspektif budaya, konsep biodiversity tidak dapat lepas dari
faktor manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan
keanekaragaman yang ada di muka bumi. UNESCO dan UNEP pada KTT Dunia
mengenai Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan di Johannesburg tahun
2002 menyatakan bahwa pembangunan yang lestari memerlukan keanekaragaman
budaya dan keanekaragaman hayati sebagai komponen yang sama penting dan
utama. Maksud dari pernyataan tersebut adalah untuk melindungi
keanekaragaman hayati dan sekaligus menghargai dan mengakui hak dan peran

viii
masyarakat lokal sebagai agen utama yang menjaga dan membentuk
keanekaragaman hayati.
Berbagai contoh dari praktik-praktik masyarakat lokal yang menerapkan
aktivitas konservasi biodiversity dapat dijumpai di seluruh belahan dunia. Seperti
di negara Zimbabwe – Afrika Selatan, masyarakat yang tinggal di dekat hutan di
sepanjang aliran sungai Musengezi percaya bahwa hutan yang ada di dekat
pemukiman mereka adalah hutan keramat. Penduduk dilarang mengambil hasil
hutan tanpa meminta ijin melalui seorang “pawang yang merupakan medium dari
roh-roh yang tinggal di dalam hutan. Masyarakat setempat yakin bahwa roh
leluhur mereka tinggal dalam hutan. Roh-roh penduduk yang meninggal juga akan
bergabung dengan leluhur mereka di hutan dalam wujud satwa liar, misal: para
kepala suku akan mengambil wujud hewan singa.
Kearifan lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati ini tidak saja
dilakukan oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya
alam yang ada di darat. Masyarakat pesisir pun memiliki kebajikan setempat
dalam menkonservasi ekosistemnya. Sebagai contoh di negara Tanzania,
penduduk pesisir memiliki kepercayaan bahwa gugusan terumbu karang dijaga
oleh roh-roh jahat sehingga mereka tidak berani sembarangan menangkap ikan di
area tersebut. Kepercayaan ini tentu sangat membantu mengkonservasi habitat
terbaik untuk pemijahan biota-biota laut.

5. Nilai Lingkungan dan Nilai Budaya adalah Nilai Konservasi


Masing-masing budaya lokal memperlihatkan ketergantungannya pada alam
untuk hidup. Ketergantungan ini secara otomatis menghasilkan perilaku
penghargaan terhadap alam beserta segala isinya yang terwujud dalam berbagai
bentuk tradisi, ritual, ataupun aturan-aturan adat sebagai produk budaya dari
manusia yang tinggaldi lingkungan tersebut. Wujud budaya yang muncul bersifat
fisik maupun non-fisik, literal maupun simbolisasi. Bentuk-bentuk fisik yang
terlihat seperti persawahan terasering dan adanya alokasi hutan penyangga seperti
sawah terasering Banaue-Filipina dan juga di Bali-Indonesia. Bentuk non-fisik
dapat berupa manajemen pengaturan jenis tanaman dan siklus tanam hingga
organisasi adat yang mengelola lanskap alam tersebut, contoh organisasi subak di

ix
Bali. Sementara bentuk literal muncul seperti pada pemberian kain berwarna pada
pohon besar yang dapat dijumpai di Thailand dan juga di Bali untuk menegaskan
bahwa pohon tersebut tidak dapat ditebang dengan sembarangan.
Media ritual adat juga banyak dipakai oleh masyarakat lokal untuk
mengapresiasi keanekaragaman hayati. Masyarakat di Bali menggunakan sarana
ritual sebagai wujud rasa syukur atas pemanfaatan sumber daya alam hayati yang
dapat mereka peroleh. Beberapa ritual dikhususkan oleh masyarakat Bali untuk
menghormati/menghargai alam, seperti tumpek wariga/tumpek uduh. Dalam
kesempatan tersebut masyarakat Bali memuliakan Tuhan dalam manifestasinya
sebagai pencipta segala tumbuhan yang memberikan kehidupan bagi manusia.
Ritual ini biasanya dilakukan di sawah dan kebun milik penduduk. Makna ritual
ini adalah untuk memohon kepada Tuhan agar melimpahkan berkah sehingga
tanaman dapat tumbuh dengan subur dan memberikan hasil panen yang baik
untuk kesejahteraan manusia. Makna filosofi yang terkandung dalam ritual ini
adalah bahwa manusia diingatkan untuk selalu menghargai tumbuhan yang
menjadi sumber pangan dan manusia tergantung pada tumbuhan untuk hidup.
Masyarakat Bali juga mengenal upaya menjaga ekosistem hutan melalui suatu
upacara yang disebut Wanakerti, yaitu suatu upacara yang diadakan di kawasan
hutan pura Batukaru. Salah satu bagian dari upacara ini adalah pelepasan satwa ke
hutan. Makna filosofi konservasi ekosistem hutan melalui ritual diiringi dengan
tindakan melepas satwa kembali ke hutan sebagai pengingat bahwa satwa liar juga
memiliki hak hidup di hutan. Manusia bukanlah satu-satunya mahluk hidup yang
memerlukan hutan dan produk hutan untuk hidup.
Kearifan tradisi yang terkandung pada masing-masing budaya memang
bersifat lokal, namun makna inti dari produk budaya tersebut memiliki benang
merah yang sama, yaitu konservasi keanekaragaman hayati sebagai suatu nilai
yang bersifat univesal. Bahasa dan pendekatan yang dipergunakan sangat
mungkin berbeda, walaupun demikian, tradisi maupun pengetahuan yang lokal
yang disampaikan mempunyai tujuan yang sama untuk melindungi lingkungan
alam.
Nilai-nilai lingkungan yang tercermin dari praktek-praktek kearifan lokal
meliputi perlindungan, pemanfaatan secara lestari, dan pemeliharaan. Nilai

x
tersebut berhubungan secara langsung, saling terkait, dengan sistem
kemasyarakatan dan sosial suatu komunitas. Semua kegiatan diterapkan untuk
dilaksanakan semua anggota komunitas dan ditujukan untuk kepentingan dabn
kebaikan bersama.1

B. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Mitigasi Bencana


Secara historis perspektif tentang bencana telah berubah mengenai apa yang
merupakan bencana dan apa alasannya bencana. Perspektif awal, yang masih ada di
beberapa bagian dunia, adalah bencana itu adalah tindakan Tuhan dan bahwa orang-
orang sedang ada dihukum karena kesalahan mereka. Asumsi ini masih ada
termasuk di Indonesia, banyak masyarakat Indonesia mengkaitkan terjadinya
bencana karena dosa-dosa yang telah dilakukan sehingga bencana yang terjadi
merupakan hukuman dari Tuhan dari apa yang telah mereka lakukan.
Secara logika, bencana alam seperti longsor, banjir dapat terjadi karena
kesalahan manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan, seperti
penggundulan hutan akan menyebabkan longsor dan pembuangan sampah dikali
sungai akan menyebabkan banjir karena saluran akan tersumbat, jadi ketika hujan
datang dalam waktu yang lama debit air akan bertambah dan tidak bisa mengalir
karena tersumbat oleh sampah. Jadi asumsi dosa itu merupakan perilaku manusia
yang tidak arif lingkungan.
Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena
komponenkomponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan
(vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya
risiko (risk) pada komunitas. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat
kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin
terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki
kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu
sumber ancaman tersebut. Setiap ada bencana pasti ada yang namanya bahaya,
risiko kedua hal tersebut memiliki arti yang berbeda tetapi istilah yang sering

1
I Made Supartha Utama, “Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal,” Udayana
University 01, no. 01 (2011): 1–6.

xi
digunakan secara bergantian. Bahaya adalah istilah terluas dan berarti ancaman bagi
orang-orang dan hal-hal yang mereka hargai.
Menurut Cutter, “bahaya memiliki potensi bagi mereka (mereka bisa terjadi),
tetapi mereka juga termasuk dampak yang sebenarnya dari suatu peristiwa pada
orang atau tempat-tempat”. Bahaya memiliki asal-usul yang rumit dan digambarkan
sebagai timbul dari interaksi antara sistem sosial dan alami, serta sistem teknologi.
Sedangkan risiko adalah komponen bahaya dan mengacu pada kemungkinan atau
kemungkinan suatu peristiwa atau bahaya terjadi. Melalui perkiraan probabilitas
bahaya yang terjadi dapat ditentukan tingkat keamanan yang sesuai atau penerimaan
teknologi atau tindakan. Bencana, seperti bahaya, berasal dari berbagai alam, sosial,
teknologi dan sumber-sumber lingkungan, dan dapat digambarkan sebagai peristiwa
tunggal yang menghasilkan kerugian orang, infrastruktur, atau lingkungan.
“Perbedaan antara bahaya, risiko, dan bencana penting karena menggambarkan
keragaman perspektif tentang bagaimana kita mengenali dan menilai ancaman
lingkungan (risiko), apa yang kita lakukan tentang mereka (bahaya), dan bagaimana
kita menanggapi mereka setelah mereka terjadi (itu bencana)”.
Mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mencegah
bencana atau mengurangi dampak bencana. Menurut Subiyantoro (2010: 45)
“mitigasi bencana sesungguhnya berkaitan dengan siklus penanggulangan bencana
berupa upaya penanganan sebelum terjadinya bencana”.
Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003,
mitigasi diartikan sebagai “upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana yang meliputi
kesiapsiagaan dan kewaspadaan”. Kajian tentang kearifan lokal dan mitigasi
bencana pada masyarakat tradisional di Indonesia sejatinya terlihat dalam kaitannya
dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pada masyarakat tradisional
(lokal) manusia dan alam adalah satu kesatuan karena keduanya sama-sama ciptaan
Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia diyakini sama-sama memiliki roh. Alam bisa
menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif dan sebaliknya akan bisa
marah jika kita merusaknya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 tahun 2010 Pasal 1 (4) secara
jelas disebutkan:

xii
“kegiatan mitigasi bencana selain diorientasikan kepada kegiatan fisik juga non
fisik. Maka berdasarkan amanat Pasal 16, kegiatan mitigasi bencana non
struktur/non fisik mencakup 7 (tujuh) aspek yakni:
1) penyusunan peraturan perundang-undangan
2) penyusunan peta rawan bencana
3) penyusunan peta risiko bencana
4) penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
5) penyusunan tata ruang
6) penyusunan zonasi; dan pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran
masyarakat”.2

Mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengurangi risiko dan dampak


bencana. Kearifan lokal masyarakat dapat menjadi sumber daya yang sangat
berharga dalam upaya mitigasi bencana. Berikut adalah beberapa materi kearifan
lokal yang dapat diterapkan dalam konteks mitigasi bencana:

1) Sistem Peringatan Dini Berbasis Kearifan Lokal:

a. Memahami tanda-tanda alam yang menjadi petunjuk bencana.

b. Masyarakat setempat memiliki pengetahuan tradisional dalam membaca


alam yang dapat digunakan sebagai sistem peringatan dini.

2) Penggunaan Teknologi Tradisional:

a. Masyarakat lokal sering memiliki teknologi tradisional yang dapat


digunakan dalam mitigasi bencana, seperti pembangunan rumah tahan
gempa berbasis bahan bangunan lokal.

b. Penggunaan alat tradisional untuk memprediksi cuaca atau mengukur


tinggi air sungai.

3) Pemetaan Risiko Lokal:

a. Masyarakat memiliki pengetahuan mendalam tentang geografi lokal dan


pola alam, sehingga dapat membantu dalam pemetaan risiko bencana.

2
Rendra Zainal Maliki, “Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi” 6, no. 2 (Desember 2022): 454,
https://doi.org/10.29408/geodika.v6i2.6588.

xiii
b. Identifikasi zona-zona aman dan zona-zona berisiko tinggi berdasarkan
pengalaman lokal.

4) Sistem Evakuasi Lokal:

a. Kearifan lokal dapat membantu dalam merancang sistem evakuasi yang


efektif, dengan mempertimbangkan rute evakuasi yang aman dan titik-
titik kumpul yang sudah terbukti aman.

5) Pengelolaan Sumber Daya Alam:

a. Masyarakat lokal sering memiliki praktik berkelanjutan dalam


pengelolaan sumber daya alam yang dapat membantu mengurangi risiko
bencana, seperti pengelolaan hutan yang berkelanjutan untuk
mengurangi risiko banjir dan tanah longsor.

6) Sistem Kebudayaan dan Komunitas:

a. Penguatan solidaritas dan keterlibatan komunitas dapat menjadi kearifan


lokal yang signifikan dalam menanggapi bencana. Ini termasuk sistem
gotong royong dan dukungan sosial antaranggota masyarakat.

7) Pendidikan Masyarakat:

a. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat berbasis kearifan lokal dapat


meningkatkan kesadaran akan risiko bencana dan cara menguranginya.

8) Adaptasi Budaya terhadap Bencana:

a. Budaya lokal dapat diadaptasi untuk mengurangi risiko bencana,


misalnya dengan mengajarkan tradisi lisan tentang evakuasi dan
tindakan darurat kepada generasi muda.

Penting untuk mendekati mitigasi bencana dengan menghormati kearifan


lokal dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses perencanaan dan

xiv
implementasi program mitigasi. Pendekatan ini dapat memperkuat kapasitas
komunitas untuk mengatasi bencana dengan lebih efektif.

Beragam bentuk aktivitas yang bertujuan sebagai tindakan mitigasi bencana


dapat dilaksanakan secara struktural maupun non-struktural. Contoh mitigasi
bencana banjir yang termasuk dalam kategori struktural, pelaksanaannya dapat
berupa pembuatan revitalisasi sistem drainase, normalisasi sungai, pembuatan
waduk, dan sumur serapan untuk penanggulangan bencana. Pelaksanaan mitigasi
bencana tanah longsor dapat berbentuk perbaikan tanah, pembuatan beton dinding
diafragma, pembuatan jangkar tanah, dan pembuatan parit di permukaan tanah.
Mitigasi gempa bumi dilakukan dengan mengevaluasi seismik bangunan dan
komponennya, meningkatkan kualitas bangunan dan fasilitas infrastruktur agar
tahan gempa, dan merancang struktur bangunan yang berkualitas setara tahan
gempa.

Kegiatan mitigasi bencana yang termasuk kategori non-struktural di antaranya


program sosialisasi untuk peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
mitigasi bencana, pemetaan wilayah risiko bencana, dan pemetaan serta pembuatan
data-base sumber daya manusia berprofesi medis berskala nasional.3

C. Kearifan Lokal Masyarakat Sebagai Resolusi Konflik Sosial


1. Konflik Sosial

Konflik merupakan bagian dari suatu kehidupan di dunia yang kadang tidak
dapat dihindari. Konflik umumnya bersifat negatif karena ada kecenderungan
antara pihak- 1 pihak yang terlibat konflik saling bertentangan dan berusaha untuk
saling meniadakan atau melenyapkan, yang bertentangan dianggap sebagai lawan
atau musuh. Di sinilah letak perbedaan konflik dengan rivalitas atau persaingan.
Meskipun dalam rivalitas terdapat kecenderungan untuk mengalahkan, namun
tidak mengarah pada saling meniadakan saingan atau kompetitor.

Minnery mendefinisikan konflik sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak
yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan
di mana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan
3
Budi Prasetyo, “KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS MITIGASI BENCANA,” FST Universitas
Terbuka, 2019, 116.

xv
tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut. Dalam sosiologi
konflik disebut juga pertikaian atau pertentangan, dimana pertikaian merupakan
bentuk persaingan yang berkembang secara negatif. Hal ini berarti satu pihak
bermaksud untuk mencelakakan atau berusaha menyingkirkan pihak lainnya.
Pertikaian merupakan usaha penghapusan keberadaan pihak lain. Pengertian ini
senada dengan pendapat Soedjono pertikaian adalah suatu bentuk interaksi sosial
di mana pihak yang satu berusaha menjatuhkan pihak yang lain atau berusaha
mengenyahkan rivalnya.

2. Macam Macam Konflik Sosial

Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi untuk terjadinya


konflik. Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia memiliki ciri khas masing-
masing, baik berupa konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal
menunjuk pada konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, misalnya
konflik yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan seperti di Papua,
Poso, Sambas, dan Sampit. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi
antara masyarakat dengan negara. Umumnya konflik ini terjadi karena
ketidakpuasan akan cara kerja pemerintah, misalnya konflik dengan para buruh,
konflik Aceh, serta daerah-daerah yang muncul gerakan separatisme. Soerjono
Soekanto mengklasifikasikan bentuk dan jenis-jenis konflik tersebut sebagai
berikut:

a. Konflik Pribadi

Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik
pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya
melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong tersebut
untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada
dasarnya konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.

b. Konflik Rasial

Konflik rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman


suku dan ras. Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri
biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit dan warna

xvi
rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu
Australoid, Mongoloid, Kaukasoid Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini
berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan
antarras dipertajam.

c. Konflik Antarkelas Sosial

Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai,


seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar
penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas,
menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan
yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki
kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas
mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika
perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu
memicu munculnya konflik rasial.

d. Konflik Politik Antargolongan dalam Satu Masyarakat Maupun antara


NegaraNegara yang Berdaulat

Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik
adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah.
Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan
politik yang berbedabeda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama.
Perbedaan ini memunculkan peluang terjadinya konflik antargolongan
terbuka lebar. Contoh rencana undangundang pornoaksi dan pornografi
sedang diulas, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran,
sehingga terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang setuju
dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.

e. Konflik Bersifat Internasional

Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan-perbedaan


kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik.
Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh
seluruh rakyat dalam suatu negara.

xvii
3. Resolusi Konflik

Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap, yaitu:

Tahap I : Mencari De-eskalasi

Konflik Pada tahap ini konflik yang terjadi umumnya masih diwarnai dengan
adanya konflik bersenjata, sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus
dilakukan bekerja sama dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik
dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan
menurunkan tingkat eskalasi konflik.

Pada kenyataannya, saat ini pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk
menerima perundingan dengan tujuan mengurangi beban biaya kekerasan yang
meningkat. Namun hal itu tidak sejalan dengan pemikiran Burton yang
menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible
more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable
options, that would make this ripening unnecessary”.

Tahap II: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik

Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi
konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik. Prinsip ini yang
merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90-
an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan
pinggiran konflik bersenjata, tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran
HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa
melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Intervensi kemanusiaan
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang
diadakannya negosiasi antarelit.

Tahap III: Problem-solving Approach

Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang


memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang

xviii
kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik
yang spesifik ke arah resolusi. Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika
dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual
understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif
penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing
komunitas. Alternatifalternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu
institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab
fundamental dari suatu konflik.

Bagi Burton, sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika


konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total
environment). Rothman menawarkan empat komponen utama proses problem-
solving yaitu:

1) Masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan


inisiatif komunikasi tingkat awal

2) Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain

tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-


trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang
akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi
konflik

3) Kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang


diinginkan untuk mengkomunikasikan sinyal-sinyal perdamaian

4) Komponen terakhir adalah problem-solving workshop yang berupaya


menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-\pihak bertikai untuk
melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.

Tahap IV: Peace-building

Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap


rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan
memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Ben Reily telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi

xix
masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi enam proses
yaitu:

1) pemilihan bentuk struktur negara

2) pelimpahan kedaulatan negara

3) pembentukan sistem trias-politica

4) pembentukan sistem pemilihan umum

5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik

6) pembentukan sistem peradilan.

Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami
oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam
kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut.
Sedangkan tahap konsolidasi mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus
menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua
tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan
bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat
dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai.4

Kearifan lokal masyarakat dapat menjadi salah satu solusi dalam penyelesaian
konflik sosial. pada konteks ini, kearifan lokal merujuk pada pengetahuan, nilai-
nilai, serta praktik yg dimiliki oleh rakyat setempat. Penggunaan kearifan lokal
pada penyelesaian konflik sosial dapat membantu membentuk pemahaman,
rekonsiliasi, serta harmoni di antara pihak-pihak yg terlibat pada konflik. keliru satu
cara penggunaan kearifan lokal dalam penyelesaian konflik sosial artinya melalui
partisipasi masyarakat yang terlibat pada konflik. dengan melibatkan rakyat,
konflik bisa diatasi melalui dialog, mediasi, atau perundingan yang berdasarkan
pada nilai-nilai serta istiadat-adat lokal. Hal ini dapat membantu mencapai
kesepakatan yg lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yg terlibat.

4
Herlina Astri, “PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL MELALUI PENGUATAN KEARIFAN
LOKAL,” 2012, h.152-156.

xx
Resolusi konflik berbasis kearifan lokal masyarakat ialah pendekatan yg
memakai nilai-nilai budaya, tata cara istiadat, serta tradisi lokal menjadi landasan
pada menyelesaikan konflik secara tenang. Beberapa contoh model praktik resolusi
konflik social dapat ditemukan diberbagai daerah yang berbasis kearifan lokal
diantaranya:

1) Pela gandong di Maluku , yaitu tradisi berpelukan dan berdamai yang


digunakan untuk merekonsiliasi kelompok yg berkonflik. Tradisi ini telah
terbukti ampuh menuntaskan aneka macam konflik kekerasan pada Maluku.

2) Musyawarah mufakat pada Minangkabau, yaitu proses musyawarah untuk


mencapai kesepakatan beserta pada menyelesaikan aneka macam problem.
Nilai musyawarah dijadikan panduan utama dalam penyelesaian aneka macam
sengketa tanah serta konflik sosial.

3) larangan istiadat pada Sumba, yaitu hukuman sosial berupa larangan yang
diberlakukan kepada pelaku konflik. larangan ini bertujuan mendidik dan
mencegah terjadinya konflik pada masa depan.5

5
Lenny Herlina, “Nilai-Nilai Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal Dalam Semboyan Patut Patuh
Patju Masyarakat Lombok Barat NTB,” Politea : Jurnal Politik Islam 4, no. 1 (25 Juni 2021): hal 339.

xxi
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bahwa kearifan lokal memiliki nilai penting dalam menjaga keseimbangan
ekosistem dan keberlanjutan lingkungan. Praktik-praktik kearifan lokal sering
kali didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman yang telah diwariskan dari
generasi ke generasi dalam komunitas tertentu.Praktik-praktik kearifan lokal
dapat mencakup pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, seperti
penggunaan tanaman obat tradisional, metode pertanian organik, atau
pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Praktik-praktik ini sering kali
mempertimbangkan ketergantungan manusia terhadap alam dan menjaga
keseimbangan ekosistem untuk keberlanjutan jangka panjang.

Selain itu, praktik-praktik kearifan lokal juga dapat melibatkan pemahaman


tentang hubungan antara manusia dan alam, serta pentingnya menjaga harmoni
antara keduanya. Praktik-praktik ini sering kali mencerminkan nilai-nilai budaya
dan spiritual yang diwariskan dalam masyarakat tertentu. praktik-praktik
kearifan local juga dalam dinamika lingkungan hidup memiliki nilai penting
dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan mempertahankan keseimbangan
ekosistem. Mempertahankan dan menghormati kearifan lokal dapat membantu
kita belajar dari pengetahuan dan pengalaman masa lalu untuk mencapai solusi
yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan lingkungan saat ini.

xxii
DAFTAR PUSTAKA

Budi Prasetyo. “KEARIFAN LOKAL SEBAGAI BASIS MITIGASI BENCANA.” FST

Universitas Terbuka, 2019.

Herlina Astri. “PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL MELALUI PENGUATAN

KEARIFAN LOKAL,” 2012.

Herlina, Lenny. “Nilai-Nilai Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal Dalam

Semboyan Patut Patuh Patju Masyarakat Lombok Barat NTB.” Politea : Jurnal

Politik Islam 4, no. 1 (25 Juni 2021): 161–75.

https://doi.org/10.20414/politea.v4i1.3493.

Rendra Zainal Maliki. “Jurnal Kajian Ilmu dan Pendidikan Geografi” 6, no. 2

(Desember 2022). https://doi.org/10.29408/geodika.v6i2.6588.

Supartha Utama, I Made. “Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan

Lokal.” Udayana University 01, no. 01 (2011): 1–6.

xxiii
xxiv

Anda mungkin juga menyukai