Anda di halaman 1dari 16

Pembukuan alquran

A. Pendahuluan
Kajian al Qur’an al Karim telah bermula sejak kitab ini diturunkan/ diwahyukan
kepada Nabi Muhamad Saw. Konsep-konsep di dalam al Qur’an selalu relevan dengan
problema yang dihadapi oleh manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan umat yang
ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema tersebut, kapan dan di
mana pun mereka berada.
Al Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap Muslim
bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablu min Allah wa hablu min an-nas),
serta manusia dengan alam sekitar. Untuk memahami ajaran al Qur’an secara sempurna
(kaffah) diperlukan pemahaman terhadap kandungan al Qur’an dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten.[1]
Sebagaimana diketahui, al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun
uslubnya.[2] Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna (medan semantik). Kendati
al Qur’an bahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir bahasa Arab
dapat memahami al Qur’an secara rinci. Bahkan para sahabat mengalami kesulitan untuk
memahami kandungan al Qur’an kalau hanya mendengarkan dari Rasulullah Saw.
Meski Nabi Muhammad telah mencurahkan segala upaya dalam menjaga keutuhan al
Qur’an, beliau tidak merangkum semua surah kedalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan
oleh Zaid bin Tsabit[3] dalam pernyataannya “saat Nabi Muhammad wafat, al Qur’an belum
dirangkum dalam satuan bentuk buku”[4].
Untuk itu, makalah ini akan mencoba mengurai permasalahan yang berkaitan dengan
al Qur’an, yang difokuskan pada pengertian, beserta proses pembukuan dan pembakuannya.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh ahli ilmu, seseorang tidak akan memahami sesuatu
yang spesifik, jika belum memahami sesuatu yang umum.

1. Pengertian Al Qur’an Secara Etimologi


Dalam pembahasan pengertian al Qur’an, terdapat beberapa pendapat Ulama yang
dapat dijadikan sebagai dasar memahami esensi al Qur’an, baik pengertian secara lughawi
maupun istilahi, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Muhammad bin Muhammad Abu
Syahbah dalam kitabnya Al-Madkhal li Dirasah Al Qur’an Al Karim[5], menyatakan bahwa:
“Kata Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata kerja qara’a yang berarti “bacaan”.
Ini berdasarkan firman Allah Swt. Q.S. al Qiyamah [75] : 18 ;
¼çmtR#uäö�è% ôìÎ7¨?$$sù çm»tRù&t�s% #sŒÎ*sù
Artinya : “Maka apabila kami telah membacakannya, ikutilah bacaannya”
Pendapat seperti ini didukung dan dianut al Lihyan ( 215 H ).[6] Pendapat ini diperkuat oleh
Subhi Al Salih[7] yang mendefenisikan al Qura’an dengan “bacaan” berasal dari mashdar
Qa Ra A (‫)قرأ‬.
Selain uraian makna Qur’an di atas, kata Qur’an adalah kata sifat dari al qar’u yang
bermakna al jam’u (kumpulan). Pendapat ini dikemukankan al Zujaj (311 H) yang juga
senada dengan apa yang diungkapkan oleh Abu Ishaq an Nahwi[8] dalam kamus Lisanu
al‘Arabi, disebutkan :
‫ إن علينا‬: ‫ و قوله تعالى‬.‫ فيضمها‬, ‫ و سمى قرآنا ألنه يجمع السور‬,‫“ و معني القرآن معنى الجمع‬
”.‫ اي قرأته‬, ‫ فإذا قرأناه فاتبع قرآنه‬, ‫جمعه و قرآنه اي جمعه و قرائته‬
Artinya : “Lafadz Al Qur’an itu berarti Al Jam’u (kumpulan). Untuk itu dinamakan al Qur’an sebab
terkumpul di dalamnya surat-surat, sebagimana firman Allah Swt ‘apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya’ artinya pengumpulannya dan bacaannya”.
Pendapat lain mengemukakan bahwa kata al Qur’an adalah ism alam -bukan kata
bentukan- dan sejak awal digunakan untuk kitab suci umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan
dari Imam Syafi’i (204 H)[9]. Sedangkan Menurut Moenawar Kholil[10] perkataan “al
Qur’an” (Qur’an) itu menurut lughat terambil dari nama pekerjaan qa-ra-a (‫ )قرأ‬artinya: “ia
telah membaca” maka perkataan itu berarti “bacaan”.
Hanya saja dari beberapa pendapat Ulama di atas, pendapat yang menyatakan bahwa
kata Qur’an berarti “bacaan”,yang berasal dari kata ‫ قرأنا و قرأة‬-‫ يقرأ‬-‫[ قرأ‬11] lebih kuat,
sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Shubi Al Shalih. Pendapat ini diperkuat oleh Ibn
Atsir sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Mandzhur dalam Lisanu Al Arab bahwa lafadz
Qur’an adalah bentuk mashdar yang berarti bacaan seperti kata ghufran wal kufran ( ‫الغفران و‬
‫) الكفران‬.[12]

2. Pengertian Al Qur’an secara Terminologi.


Selanjutnya adalah pengertian Al Qur’an secara terminologi. Pengertian al Qur’an
ternyata cukup menjadi perhatian para Ulama dan para ahli bahasa. Tetapi mereka memiliki
pandangan yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang
berbeda-beda pada tingkat redaksi definisi yang dijabarkan, namun secara subtansi tetap sama
bahwa al Qur’an adalah firman Allah yang telah diwahyukan (‫)كالم هللا‬.
Subtansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu
konsep, lazimnya, pembahasan apapun selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian
(defenisi) secara teknis, guna menangkap subtansi yang terkandung di dalamnya[13]. Oleh
karena itulah pengertian al Qur’an secara terminologi ini, diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadapnya.
Ada beberapa pengertian yang diungkapkan para Ulama maupun para ahli bahasa,
yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya al Qur’an itu. Menurut Umar
Shihab[14] al Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, kepada
umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Menurut Muhammad Ali Al Shabuni[15] dalam kitabnya Al Tibyan Fi ‘Ulum Al
Qur’an, menyatakan;
‫ بواسطة األمين جبريل عليه السالم‬, ‫ المنزل علي خاتم االنبياء و المرسلين‬, ‫"هو كالم هللا المعجز‬
‫ المختتم‬,‫ المبدوء بسورة الفاتحة‬, ‫ المتعبد بتالوته‬, ‫ المنقول إلينا باتواتر‬, ‫المكتوب في المصاحف‬
".‫بسورة الناس‬
Artinya: Al Qur’an adalah kalam Allah yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup para
Nabi dan Rasul, melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril ‘alaihi as salam, ditulis
dalam mushaf, disampaikan kepada kita dengan jalur mutawatir, bernilai ibadah dengan
membacanya, dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah Al Naas.
Kedua defenisi di atas telah cukup memberikan pemahaman secara deskriptif
mengenai makna al Qur’an, meskipun masih banyak defenisi-defenisi lain yang tidak
dicantumkan dalam tulisan ini. Inti dari kedua pengertian di atas tidaklah jauh berbeda, hanya
saja hal yang cukup membedakan, definisi pertama menekankan bahwa Allah menurunkan al
Qur’an kepada manusia seluruhnya, sedangkan defenisi kedua lebih menekankan bahwa
Allah menurunkan al Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. Namun dari kedua defenisi di
atas, defenisi yang diungkapkan oleh Ali Al Shabuni lebih memberikan pengertian yang lebih
jelas dan mudah untuk dipahami.
Jadi, al Qur’an adalah kalam Allah yang dimu’jizatkan, diturunkan kepada penutup
para Nabi dan Rasul, melalui perantara yang terpercaya Malaikat Jibril ‘alaihi as salam,
ditulis dalam mushaf, disampaikan kepada kita dengan jalur mutawatir, bernilai ibadah
dengan membacanya, dimulai dengan surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah Al Naas.
Pendapat ini telah disepakati oleh para Ulama Ushul, Fuqaha’ dan para Ulama dari kalangan
ahli bahasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Subhi As Shalih dalam kitabnya Mabahits Fi
Ulum Al Qur’an.[16]

B. Proses Pembukuan dan Pembakuan Al Qur’an


Salah satu yang sangat dibanggakan umat Islam dari dahulu hingga saat ini adalah
otentisitas al Qur’an yang merupakan warisan Islam terpenting dan sangat berharga.
Meskipun mushaf yang kita kenal sekarang ini berdasarkan rasm Utsman bin Affan (al
Mushaf ‘ala al Rasm al Utsman)[17], akan tetapi sebenarnya hal itu tidak begitu saja muncul
sebagai karya besar yang hampa dari proses panjang yang telah dilalui pada masa
sebelumnya.
Proses itu dimulai pada masa Rasulullah Saw, setiap kali menerima wahyu al Qur’an,
Rasulullah Saw, langsung mengingat, menghafalnya dan memberitahukan dan
membacakannya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan menghafal pula. Namun,
demi menjamin terpeliharanya keotentikan al Qur’an, beliau tidak hanya mengandalkan
hafalan, tetapi juga tulisan.[18] Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat turun, Nabi
Muhammad Saw memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat
yang baru diterimanya. Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya.
‘Abdul ‘Azhim Al Zarqaniy menyebutkan dalam kitab Manahil Al ‘Irfan Fi ‘Ulum Al
Qur’an bahwa sahabat-sahabat yang ditunjuk tersebut adalah Abu Bakar Al Shiddiq, Umar
bin Al Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khalid
bin Walid, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qays, Amir bin Fuhairah, Amar bin
Al-‘Ash dan Zubair bin Al Awwam.[19]
Selain yang telah disebutkan oleh ‘Abdul ‘Azhim Al Zarqaniy, mengenai sahabat-
sahabat penulis wahyu Nabi Muhammad Saw. Adalah M.M. Al-A’zami dalam bukunya yang
berjudul The History of The Qur’anic Text, menyebutkan bahwa terdapat enam puluh lima
sahabat yang ditunjuk dalam penulisan wahyu Nabi Muhammad Saw.[20]
Jadi, proses pembukuan dan pembakuan al Qur’an sebenarnya telah dimulai sejak
masa Rasulullah Saw. Para sahabat telah diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk menulis
tiap ayat yang telah diwahyukan kepada beliau, baik pada kulit unta, daun-daun, potongan
tulang, pelepah kurma, bahkan pada batu sekalipun.[21]

1. Jam’u Al Qur’an
Dalam sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu al Qur’an, istilah
yang dipakai untuk menunjukkan arti penulisan atau kodifikasi al Qur’an adalah ‘Jam’u Al
Qur’an’ )‫(جمع القرآن‬, artinya pengumpulan al Qur’an.[22] Sementara hanya sebagian kecil
literatur saja yang menggunakan ‘Kitabat al Qur’an’ )‫ (كتابة القرآن‬artinya penulisan al Qur’an
serta ‘Tadwin al Qur’an’ )‫ (تدوين القرآن‬, artinya pembukuan al Qur’an.
Para ulama yang memakai istilah jam’u al Qur’an membagi artinya dalam dua
kategori; Pertama, yakni lebih dititikberatkan pada proses penghafalannya (‫) الجمع في الصدور‬.
Kedua, lebih pada proses pencatatan serta penulisan al Qur’an ( ‫) الجمع في السطور‬. [23]
Apabila mencermati pembahasan yang terdapat di berbagai literatur di atas,
sesungguhnya istilah-istilah yang mereka gunakan mempunyai maksud yang sama, yaitu
proses penyampaian wahyu oleh Rasulullah Saw, kepada para sahabat, pencatatannya atau
penulisannya, sampai dihimpunnya catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf yang utuh
dan tersusun secara tertib.
Jadi proses pemeliharan al Qur’an dimulai sejak masa Rasulullah Saw, setiap kali
menerima wahyu al Qur’an, Rasulullah Saw, langsung mengingat, menghafalnya dan
memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan
menghafal pula. Namun, demi menjamin terpeliharanya keotentikan al Qur’an, beliau tidak
hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan.

2. Penulisan Al Qur’an Masa Nabi Muhammad Saw.


Penulisan atau pengumpulan al Qur’an di masa Rasulullah Saw, dikelompokkan
menjadi dua kategori, yaitu Pertama, pengumpulan secara hafalan dan penghayatan. Kedua,
pengumpulan dalam catatan berupa penulisan kitab.
Berkaitan dengan kondisi Nabi yang ummi,[24] maka perhatian utama beliau adalah
menghafal dan menghayati ayat-ayat yang diturunkan. Ibn Abbas meriwayatkan dengan
menyatakan; “karena besarnya kosentrasi Rasul kepada hafalan hingga ketika wahyu belum
selesai disampaikan Malaikat Jibril, Rasulullah mengerakkan kedua bibirnya agar dapat
menghafalnya. Oleh karena itu, turunlah ayat”.[25]
$uZøŠn=tã ¨bÎ) ÿ¾ÏmÎ/ Ÿ@yf÷ètGÏ9 y7tR$|¡Ï9 ¾ÏmÎ/ õ8Ìh�ptéB Ÿw
ôìÎ7¨?$$sù çm»tRù&t�s% #sŒÎ*sù ¼çmtR#uäö�è%ur ¼çmyè÷Hsd
¼çmtR$uŠt/ $uZøŠn=tã ¨bÎ) §NèO ¼çmtR#uäö�è%
Artinya: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka
ikutilah bacaannya itu Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.

Setelah Nabi Muhammad Saw menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan


wahyu tersebut kepada para sahabat agar mereka menghafalnya sesuai dengan hafalan Nabi.
Dalam rangkan menjaga kemurnian al Qur’an, selain ditempuh lewat jalur hafalan juga
dilengkapi dengan tulisan. Sejarah menginformasikan segera setelah menerima ayat al
Qur’an Nabi Saw, memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk menerima ayat-ayat
yang baru saja diterimanya. Disertai informasi tempat dan urutan ayat dalam setiap surahnya.
Ayat-ayat tersebut ditulis dalam pelepah kurma, batu-batu, kulit-kulit, atau tulang-tulang
binatang.[26]
Penulisan pada masa ini belum terkumpul menjadi satu mushaf disebabkan beberapa
faktor, yakni Pertama, tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan al Qur’an dalam
satu mushaf, mengingat Rasulullah masih hidup dan banyak para sahabat yang masih hafal al
Qur’an, serta tidak ada unsur-unsur yang diduga akan mengganggu kelestarian al Qur’an.
Kedua, Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, maka logis jika al Qur’an baru bisa
dikumpulkan dalam satu mushaf, setelah al Qur’an selesai diturunkan. Ketiga, selama turun al
Qur’an masih terdapat kemungkinan adanya terdapat ayat-ayat al Qur’an yang mansukh.[27]

3. Pembukuan Masa Abu Bakar Al Shiddieq


Kaum Muslimin melakukan konsensus untuk mengankat Abu Bakar Al Shiddieq
sepeninggal Rasulullah Saw. Pada masa Abu Bakar terjadi kekacauan akibat Musailamah Al
Kadzab beserta pengikut-pengikutnya. Mereka menolak membayar zakat dan murtad dari
Islam. Pasukan Islam yang dipimpin oleh Khalid bin Walid segera menumpas gerakan ini.
Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya banyak sahabat yang gugur.
Termasuk 70 orang sahabat yang diyakini telah hafal al Qur’an.[28]
Tragedi berdarah di Yamamah tersebut dicermati secara kritis oleh Umar bin Al
Khattab. Ia menjadi risau dan khawatir jika peristiwa serupa, terulang lagi, sehingga banyak
dari kalangan huffaz yang gugur. Bila demikian “masa depan” al Qur’an terancam. Maka
muncul ide kreatif Umar yang disampaikan kepada Abu Bakar Al Shiddieq untuk segera
mengumpulkan tulisan-tulisan al Qur’an yang pernah ditulis pada masa Nabi Saw.[29]
Semula Abu Bakar keberatan atas usulan Umar dengan alasan belum pernah
dilakukan Nabi Saw, tetapi akhirnya Umar berhasil meyakinkannya. Dibentuklah sebuah tim
yang diimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci
tersebut. Pada mulanya Zaid keberatan tetapi juga dapat diyakinkan. Abu Bakar memilih Zaid
bin Tsabit mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan
serta kehadirannya pada pembacaan Rasulullah Saw.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-
hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar sumber utama dalam penulisan tersebut adalah
ayat-ayat al Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi Saw, dan hafalan para sahabat.
Disamping itu untuk lebih hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al Qur’an tersebut baru benar-
benar diakui dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.[30]
Adapun karakteristik penulisan al Qur’an pada masa Abu Bakar ini adalah:
1. Seluruh ayat al Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf, berdasarkan penelitian
yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al Qur’an yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah tujuh qira’at sebagaimana yang
ditulis pada kulit Unta pada masa Rasulullah Saw.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang
memerintahkan penghimpunan al Qur’an. Umar bin Khatab adalah pelontar idenya serta Zaid
bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan al Qur’an secara
utuh dan sekaligus menghimpunnya dalam satu mushaf.

4. Pembukuan Masa Utsman Bin Affan


Pada masa pemerintahan Utsman, wilayah negara Islam telah meluas sampai ke
Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu Islam telah tersebar di beberapa
wilayah Afrika, Syiria, dan Persia. Para penghafal al Qur’an pun akhirnya menjadi tersebar,
sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat dikalangan kaum Muslimin
mengenai bacaan (qira’at) al Qur’an. Para pemeluk Islam di masing-masing daerah
mempelajari menerima bacaan al Qur’an dari sahabat ahli qira’at, di daerah yang
bersangkutan.[31]
Versi qira’at yang dimiliki dan diajarkan oleh masing-masing ahli qira’at satu sama
lain berlainan. Hal ini rupanya menimbulkan dampak negatif di kalangan umat Islam di
waktu itu. Masing-masing saling membanggakan qira’at mereka dan saling mengakui bahwa
versi qira’at mereka paling baik dan benar. Sebagai akibat perselisihan tersebut akhirnya
menimbulkan pertengkaran mulut, sehingga menjadi pertengkaran ramai antara guru al
Qur’an yang biasa mengajar anak-anak bahkan sampai saling membunuh.[32]
Hidhaifah bin al Yaman dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia, yang telah
menyatukan kekuatan perang Irak dan pasukan perang suriah pergi menemui Utsman, setelah
melihat perbedaan dikalangan Umat Islam dibeberapa wilayah. Hudhaifa menasehati Utsman
“wahai Amiral Mu’minin ambillah tindakan untuk umat ini sebelum berselisih tentang kitab
mereka seperti orang Kristen dan Yahudi ”[33]
Adanya perbedaan dalam bacaan al Qur’an bukan barang baru sebab ‘Umar sudah
mengantisipasi bahaya perbedaan ini sejak zaman pemerintahannya. Dengan mengutus Ibn
Mas’ud ke Irak setelah ‘Umar diberitahukan bahwa dia mengajarkan al Qur’an dalam dialek
Hudhail (sebagaimana Ibn Mas’ud mempelajarinya), dan .Umar tampak naik pitam:[34]
‫ إن القرأن نزل بلسان‬: ‫ أن عمر كتب ألي إبن مسعود‬, ‫وقد أخرج أبو داود من طريق كعب األنصاري‬
.‫ ال بلغة هذيل‬, ‫قريش فأقرئ الناس بلغة قريش‬
“sesungguhnya al Qur’an telah turun dalam dialek Quraisy, maka ajarkanlah menggunakan
dialek Quraisy, bukan menggunakan dialek Hudhail.”
Utsman segera mengundang para sahabat dari Anshar dan Muhajirin bermusyawarah
mencari jalan dari masalah serius tersebut. Akhirnya, dicapai seuatu kesepakatan agar
mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf. Mushaf-mushaf itu nantinya
dikirim ke berbagai kota atau daerah untuk dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin terutama
manakala terjadi perselisihan tentang qira’at al Qur’an antara mereka.
Untuk terlaksananya tugas tersebut, khalifah Utsman menunjuk satu tim yang terdiri
dari empat orang sahabat, yaitu; Zaid bin tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al As dan
Abd al Rahman bin Al Harits bin Hisyam.[35] Keempat orang ini adalah penulis wahyu, tim
ini adalah bertugas menyalin mushaf al Qur’an yang tesimpan dirumah Hafsah karena
dipandang sebagai mushaf standar.
Hasil kerja tersebut berjudul empat mushaf al Qur’an standar. Tiga di antaranya
dikirim ke syam, Kufah dan Basrah sedangkan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk
Utsman sendiri yang dikenal sebagai al Mushaf al Imam. Adapun mushaf yang semulan dari
Hafsah dikembalikan lagi kepadanya, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa jumlah
pengadaan mushaf sebanyak lima buah, ada lagi yang mengatakan sembilan buah.[36] Agar
pendapat mengenai bacaan al Qur’an dapat diselesaikan secara tuntas, Utsman
memerintahkan semua mushaf al Qur’an yang berbeda dengan hasil kerja “panitia” empat ini
segera dibakar.
Tentang jumlah mushaf yang ditulis, berapapun jumlahnya tidak menjadi persoalan,
yang pasti upaya tersebut telah berhasil melahirkan mushaf baku sebagai rujukan kaum
Muslimin dan menghilangkan perselisihan serta perpecahan diantara mereka. Beberapa
karakteristik mushaf al Qur’an yang ditulis pada masa Utsman bin Affan antara lain:[37]

1. Ayat-ayat al Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang


mutawatir.
2. Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya lebih telah disusun dengan tertib
sebagaimana al Qur’an yang dikenal sekarang. Tidak seperti mushaf yang
ditulis pada masa Abu Bakar yang hanya disusun menurut tertib
ayat.sementara surat-suratnya disusun menurut urutan turun wahyu.
4. Tidak memuat sesuatu yang bukan tergolong al Qur’an. seperti yang ditulis
sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya sebagai penjelasan
atau keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
5. Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisy saja, dengan
alasan al Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab Quraisy sekalipun pada
mulanya diizinkan membacanya dengan dialek lain.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha pembukuan mushaf, pada masa
Utsman dilakukan untuk menghilangkan perselisihan bacaan al Qur’an yang terjadi
dikalangan umat Islam pada waktu itu. Sebab, Islam di zaman Utsman telah tersebar luas di
Jazirah Arab, yang menimbulkan beragam dialek bacaan al Qur’an. Oleh sebab itulah Utsman
memerintahkan agar al Qur’an di salin menjadi beberapa mushaf yang kemudian di kirim ke
Syam, Kuffah dan Basrah sebagai mushaf standar.

5. Penyempurnaan Tulisan dan Bacaan Al Qur’an


Sepeningalan Utsman, mushaf al Qur’an belum diberi tanda baca seperti baris
(harakat) dan tanda pemisah ayat. karena daerah kekuasaan Islam semakin meluas ke
berbagai penjuru yang berlainan dialek bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif
dalam memelihara Umat dari kekeliruan membaca dan memahami al Qur’an.[38]
Upaya tersebut baru terealisir pada masa Khalifah Muawwiyah Ibn Abu Sufyan (40-
60 H) oleh Imam Abu Al Aswad al Dauli, yang memberi harakat atau baris yang berupa titik
merah pada mushaf al Qur’an. Untuk “a” (fathah) disebelah atas huruf, “u” (dhammah)
didepan huruf dan “i” (kasrah) dibawah huruf.
Usaha selanjutnya dilakukan pada masa Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan (65-68
H). Dua orang murid Abu Al Aswad al Duali, yaitu Nasar Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mar
memberi tanda untuk beberapa huruf yang sama seperti “ ba, ta, Tsa” . Dalam berbagai
sumber diriwayatkan bahwa ‘Ubaidillah din Ziyad (w.67 H) memerintahkan kepada
seseorang yagn berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif (mad) pada dua ribu kata
yang semestinya dibaca dengan suara panjang. Misalnya, ‫( كنث‬kanat) menjadi ‫( كانث‬kaanat).
Adapun penyempurnaan tanda-tanda baca lain dilakukan oleh Imam Khalid bin Ahmad pada
tahun 162 H.
Di Negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al
Qur’an di perempatan abad XX. Panitia yang dimotori para Syekh Al Azhari ini pada tahun
1342 H/ 1923 M, berhasil menerbitkan mushaf al Qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang
pertama terbit di Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah Qira’at Ashim. Sejak itu,
berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan di berbagai Negara.[39]
Jadi proses pembukuan dan pembakuan al Qur’an sebenarnya telah dimulai sejak
masa Rasulullah Saw. Sehingga saat ini kita dapat merasakan manfaat yang luar biasa dari
perjuangan tersebut, yaitu mushaf yang sudah mudah untuk dipelajari karena bacaan maupun
penulisannya telah dibakukan tanpa perselisihan bacaan, sebagaimana yang terjadi pada
zaman sahabat dan tabi’in.

C. Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapat diketahui bahwa Otentisitas dan Orisinalitas al
Qur’an sepanjang sejarahnya tetaplah terjaga dari campur tangan manusia yang jahil. Maka,
tidak perlu lagi diragukan lagi keaslian al Qur’an sebagai firman Allah Swt yang diturunkan
melalui perantara Malaikat Jibril kepada Penutup para Nabi dan Utusan yaitu Nabi
Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia, baik bangsa Arab maupun
non Arab.
Bukti historis telah memberikan data yang akurat akan keasliannya. Hal ini dapat
dilihat dari tiga sisi, antara lain :
1. Bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an telah memainkan peran dan fungsi sebagai media
untuk mempertahankan lafadh dan makna al Qur’an tetap lestari, bahwa al Qur’an lafdzan
wa ma’nan min Allah Swt ‘al Qur’an lafadz dan maknanya sekaligus dari Allah Swt’. Ini
disebabkan karena Bahasa Arab memiliki sifat keilmiahan yang khas yang tidak dimiliki oleh
bahasa yang lain. Di antaranya adalah setiap kata memiliki akar kata (asal kata). Maka,
maknanya tidak jauh dari akar kata tersebut, sebagaimana dapat dilihat dari definisi al Qur’an
itu sendiri yang tidak jauh dari makna asal katanya yaitu membaca. Sehingga, al Qur’an
berarti bacaan.
2. Proses pembukuan dan pembakuan al Qur’an dimulai sejak masa Rasulullah Saw, setiap kali
menerima wahyu al Qur’an, Rasulullah Saw, langsung mengingat, menghafalnya dan
memberitahukan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka mengingat dan
menghafal pula. Namun, demi menjamin terpeliharanya keotentikan al Qur’an, beliau tidak
hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada
ayat turun, Nabi Muhammad Saw memanggil para sahabat yang pandai menulis, untuk
menuliskan ayat-ayat yang baru diterimanya. Sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap
ayat dalam surahnya.
3. Sistem periwayatan di dalam mengumpulkan dan membukukan al Qur’an juga menjadi salah
satu standar keotentikan al Qur’an. Sehingga tidak hanya bersandar kepada data-data tertulis
seperti beberapa mushaf yang ditulis oleh para sahabat sesuai dengan pemahamannya akan
turunnya ayat per ayat atau mushaf yang telah dihimpun pada masa Abu Bakar. Periwayatan
ini lebih menekankan kepada keterpercayaan perawi (sosok kepribadian perawi) bahwa ia
seorang yang adil dan kuat hafalannya. Dari sini dapat ditegaskan bahwa al Qur’an
diturunkan secara mutawatir.
Sebagai penutup dari kesimpulan di atas, makalah ini tidak lain hanyalah sekelumit
uraian seputar al Qur’an dan masih jauh dari harapan sebagai sebuah maha karya yang ideal.
Untuk itu saran dan masukan kepada para pembaca yang haus akan ilmu-ilmu al Qur’an
senantiasa kami harapkan terutama dari dosen pembimbing mata kuliah Ulum Al Qur’an.
Meski demikian, semoga tulisan yang singkat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wallahu
A’lam bi Ash Shawab.

MANFAAT PEMBUKUAN ALQURAN

Pro kontra atas pembukuan Al Qur'an sering terjadi dikalangan umat Muslim. Ada yang
mengatakan itu Bid'ah (jika ada yang berdebat tentang Bid'ah, dan Ahli Bid'ah selalu
menyerempetkan tentang pembukan Al Qur'an), dan ada yang mengatakan itu bukan. Dan
ingat, setiap Bid'ah itu adalah sesat, jadi tidak diperkenankan ada Bid'ah yang baik apalagi
yang buruk. Tetapi sesungguhnya pembukuan Al Qur'an itu bukan termasuk perbuatan
Bid'ah. Berikut sejarahnya sehingga Al Qur'an harus dibukukan.

Sesudah wafatnya junjungan kita Nabi Muhammad S.A.W. terjadilah suatu peristiwa seorang
penipu bernama Musailamah Al-Kazzab yang menganggap dirinya sebagai nabi. Maka orang
yang lemah imannya banyaklah yang kembali murtad.

Sesudah itu, keadaan bertambah genting. Saiyidina Abu Bakar r.a. telah mengisytiharkan
perang bagi membenteras gejala buruk ini, maka terjadilah satu peperangan yang hebat.
Dengan bantuan Allah S.W.T. tentera Islam dapat menewaskan dan membunuh Musailamah.
Dalam peperangan ini banyak para hafiz (Penghafal Al Qur'an) yang terbunuh. Hal ini amat
membimbangkan Saiyidina Abu Bakar. Maka beliau memerintahkan Zaid bin Thabith untuk
mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Quran untuk dibukukan. Sesudah mendengar perintah
itu Zaid berkata : Dengan nama Allah, jika tuan hamba menyuruh hamba memindahkan
gunung dari satu tempat ke satu tempat yang lain tidaklah ia membebankanku dari
mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Quran. Bagaimanakah sanggup tuan hamba
melakukan sesuatu yang baginda sendiri tidak malakukannya?" Saiyidina Abu Bakar r.a.
menerangkan bahwa tindakan ini terpaksa dibuat demi menyelamatkan Al-Quran dari
terpupus.

Setelah Zaid mendengar keterangan itu, maka ia pun menemui penduduk-penduduk di situ
dan mengumpulkan satu demi satu lembaran ayat-ayat Al-Quran dari mereka dan
menyalinnya. Zaid r.a. juga menemui para hafiz yang menghafalnya dalam hati mereka
sehingga dapatlah Zaid mengumpulkan hingga ayat yang terakhir.

embukuan Alquran Memberikan


Kemudahan Umat Membaca dan
Memahami Alquran
Kamis 09 Jul 2009 01:09 WIB

Red:

 0

 0

Bersamaan dengan diangkatnya Muhammad sebagai nabi dan rasul akhir zaman, Allah SWT
menurunkan Alquran ke dunia melalui perantara malaikat Jibril. Untuk kali pertama dan
seterusnya, Nabi Muhammad SAW menerima Alquran sebagai kumpulan wahyu-wahyu
Allah SWT pada bulan Ramadhan.

Sebagai seorang rasul, Muhammad SAW tidak hanya sekadar menerima wahyu yang
disampaikan melalui perantara malaikat Jibril, dirinya juga berkewajiban untuk
menyampaikan wahyu tersebut kepada para pengikutnya. Dari sinilah, kemudian muncul
pemikiran untuk menuliskan (pencatatan dalam bentuk teks) wahyu Allah SWT yang sudah
diterima Nabi Muhammad SAW.

Pada tahap awal, Alquran ditulis di atas pelepah kurma, kulit binatang, potongan tulang, dan
batu. Untuk menuliskannya, Rasulullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu dari
sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Ubai bin
Ka'ab, dan Zaid bin Tsabit. Setiap ada ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk
menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah sehingga penulisan pada
lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Zaid bin Tsabit berkata, ''Kami menyusun
Alquran di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.''
Di samping itu, sebagian sahabat juga menuliskan Alquran itu atas kemauan mereka sendiri,
tanpa diperintah oleh Rasulullah SAW. Para sahabat ini menuliskan juz dan surat yang
mereka hafal langsung dari Rasulullah SAW. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Zaid bin
Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Alquran di hadapan Nabi.

Meski upaya menuliskan Alquran sudah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW, tulisan-
tulisan tersebut belum terhimpun dalam satu mushaf. Tulisan Alquran yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Sebab, Rasulullah SAW masih menanti turunnya
wahyu dari waktu ke waktu.

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak sekaligus, melainkan secara
bertahap. Kendati demikian, semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan. Dalam
suatu riwayat, Az-Zarkasyi berkata, ''Alquran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman
Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan
kemudian sesudah semuanya lengkap.''

Sepeninggal Rasulullah SAW, barulah upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang


berisikan ayat-ayat Alquran mulai dilakukan. Hal ini terjadi pertama kalinya pada masa
Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khattab. Dalam sejumlah riwayat, disebutkan
bahwa pada awal kepemimpinannya, Abu Bakar dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar
yang berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.

Karena itu, ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-
orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan ini, 70 orang hafiz (penghafal
Alquran) dari para sahabat gugur.

Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia kemudian menghadap Abu
Bakar dan memberi usul kepadanya agar segera mengumpulkan dan membukukan Alquran
sebab peperangan Yamamah telah menyebabkan banyaknya penghafal Alquran yang gugur di
medan perang. Ia juga khawatir jika peperangan di tempat lain akan menewaskan lebih
banyak penghafal Alquran.

Meski awalnya sempat ragu karena Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan
pembukuan Alquran, demi kemaslahatan umat Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit
(yang dikenal sebagai juru tulis Alquran di masa Rasulullah) untuk menuliskan dan
mengumpulkan kembali naskah Alquran yang masih berserakan tersebut. Zaid melakukan
tugasnya ini dengan sangat teliti dan hati-hati. Maka itu, dia tidak hanya cukup
mengandalkan hafalan yang ada dalam hati para hafiz tanpa disertai catatan yang ada pada
para penulis.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Zaid berkata, ''Maka, aku pun mulai mencari
Alquran. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu, dan dari hafalan
para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat Attaubah berada pada Abu
Huzaimah Al-Anshari yang tidak kudapatkan pada orang lain.''

Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan sehingga akhir surat
Attaubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan, mereka menyaksikan ayat tersebut
dicatat. Tetapi, catatannya hanya terdapat pada Abu Huzaimah Al-Ansari.
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan oleh Zaid tersebut kemudian disimpan di tangan Abu
Bakar hingga ia wafat. Sesudah itu, lembaran-lembaran pun berpindah ke tangan Umar
sewaktu ia masih hidup dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar bin Khattab.

Baru pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, untuk pertama kali, Alquran ditulis dalam
satu mushaf. Penulisan Alquran di masa Usman disesuaikan dengan tulisan aslinya yang
terdapat pada Hafsah binti Umar. Usman memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.

Beda cara membaca

Makin luasnya wilayah penyebaran Islam menyebabkan para penghafal Alquran pun tersebar
di berbagai wilayah. Penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qiraat (bacaan) dari qari dan
hafiz yang dikirim kepada mereka. Kondisi ini berdampak pada cara pembacaan Alquran di
setiap wilayah berbeda-beda.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, terdapat Huzaifah bin
Al-Yaman yang ikut menyerbu kedua tempat itu. Huzaifah melihat banyak perbedaan umat
Islam dalam cara-cara membaca Alquran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan,
tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya serta menentang
setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.

Pada mulanya, perbedaan pendapat itu dulunya diketahui oleh Rasulullah demi memberikan
kelonggaran pada kabilah-kabilah Arab pada masa itu dalam membaca dan melafalkan
Alquran menurut dialek mereka masing-masing. Pada masa Nabi Muhammad SAW,
perbedaan dialek antarkabilah sangat tipis. Namun, dalam perkembangan Islam, setelah kaum
Muslim dan wilayah Islam makin luas, cara membaca Alquran pun semakin beragam sesuai
dengan dialek masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan perselisihan dalam membaca
Alquran. Masing-masing kabilah menganggap dialeknya yang benar.

Melihat kenyataan demikian, Huzaifah segara menghadap Khalifah Usman dan melaporkan
apa yang telah dilihatnya. Maka, untuk menghindari perselisihan di antara umat, Khalifah
Usman pun meminta agar penulisan Alquran memerhatikan salinan yang dikumpulkan pada
masa Khalifah Abu Bakar demi menyatukan umat Islam dalam membaca Alquran.

Untuk itu, Khalifah Usman memerintahkan agar Alquran ditulis dalam beberapa buah. Dari
penulisan tersebut, satu buah mushaf yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf al-Imam
atau Mushaf Ustmani disimpan oleh Usman bin Affan, sedangkan sisanya dikirim ke
berbagai wilayah kekuasaan Islam, seperti Makkah, Basrah, Kufah, dan Syria. Bersamaan
dengan pengiriman salinan ini, Usman memerintahkan agar setiap orang yang mempunyai
mushaf Alquran 'berlainan' dari yang sudah disepakati itu untuk dibakar.

Hal itu dilakukan Usman setelah mendapatkan masukan dan saran dari para sahabat.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Khatib dalam kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, Ali RA
mengatakan, ''Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-
mushaf Alquran, selain harus meminta pendapat kami semuanya (sahabat--Red).'' Usman
mengatakan, ''Aku berpendapat, sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu
mushaf sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan.'' Pendapat ini kemudian disepakati
demi kemaslahatan umat Islam.
Pembukuan Alquran di masa Khalifah Usman ini memiliki beberapa faedah bagi umat Islam.
Misalnya, mempersatukan kaum Muslim dan menyeragamkan ejaan tulisan Alquran
berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW dan mempersatukan bacaan meskipun masih ada
perbedaan-perbedaan kecil yang tidak bertentangan dengan ejaan Mushaf Utsmani. Tujuan
pembukuan itu juga demi menyatukan tertib susunan surat-surat Alquran sesuai dengan
petunjuk Rasulullah SAW semasa hidupnya.

Zaid bin Tsabit: Sang Penulis Wahyu

Nama Zaid bin Tsabit dikenal sebagai penulis wahyu di masa Rasulullah SAW hingga masa
Khulafaur Rasyidin. Bahkan, hingga saat ini, Zaid dikenal sebagai salah seorang sahabat
yang memiliki peran penting dalam pengumpulan dan penulisan naskah Alquran. Karena
keilmuan dan peranannya dalam penulisan Alquran, Zaid bin Tsabit diberi gelar Jami'
Alquran al-Karim, yaitu orang yang menghimpun Alquran. Nama lengkapnya adalah Zaid
bin Tsabit bin Dhahhak Al-Anshari Al-Khazraji.

Peran Zaid bin Tsabit dalam menghimpun dan menuliskan Alquran sangat penting bagi umat
Islam. Sebab, melalui tangannya, penulisan Alquran bisa dibaca umat hingga kini di seluruh
dunia. Ketika dirinya diminta Abu Bakar untuk menghimpun dan menuliskan Alquran, Zaid
merasa beban itu teramat berat. Ia mengatakan, ''Demi Allah, seandainya mereka
menugaskanku untuk memindahkan Gunung Uhud dari posisinya, tugas itu masih lebih
ringan bagiku dibandingkan tugas yang mereka pikulkan ke pundakku untuk mengumpulkan
Alquran.''

Akan tetapi, atas inayah dan petunjuk Allah, Zaid berhasil merealisasikan misi suci tersebut
dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Semasa Rasulullah SAW, Zaid pernah
diminta Nabi untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Yahudi. Tujuannya agar Zaid dapat
membacakan surat-surat yang datang dari kaum Yahudi kepada Rasulullah. Konon, Zaid
mampu mempelajarinya dan menguasainya hanya dalam tempo 19 hari.

Ketika wafatnya, Abu Hurairah mengungkapkan kesedihannya. ''Hari ini telah berpulang
seorang ulama sekaligus tinta umat (hubar al-Ummah).''Zaid bin Tsabit adalah seorang
sahabat sejati yang menjadi pemuka ulama di Madinah dalam bidang fikih, fatwa, dan faraid
(waris). Bahkan, Khalifah Umar pernah menugaskan Zaid untuk menjadi penggantinya bila ia
sedang melakukan kunjungan ke luar Madinah.

PROBLEMATIKA PENYUSUNAN ALQURAN

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pengumpulan Al-Qur’an pada masa ini
adalah:

 Peristiwa Yamamah( 70 Qari’ terbunuh sebagai syuhada’) pada tahun 12 H


 Peperangan melawan pengikut Musailamah al-Kadzab ( Menelan korban sampai 500
orang)
Atas alasan tersebut, kaum muslimin prihatin kemudian menghadap kepada
Abu Bakar dan mendesaknya agar dilakukan pengumpulan Al-Qur’an.Awalnya abu
Bakar merasa ragu karena jika diadakan pengumpulan ditakutkan akan terjadi
perubahan atau penggantian yang dapat dikategorikan ke dalam perilaku bid’ah.
Setelah beberapa pertimbangan bahwa itu semua untuk kemaslahatan yang telah ia
ketahui secara jelas dan atas dukungan dari Umar akhirnya Abu Bakar setuju untuk
melakukan penghimpunan Al-Qur’an.
Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit atas persetujuan dengan Umar pula untuk
mulai mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an kembali dalam satu kumpulan
mushaf utuh.
Zaid adalah penghafal Al-Qur’an, penulis wahyu Rasulullah saw dan
menyaksikan penyodoran bacaan terakhir yaitu pada masa akhir hayat Rasulullah, Ia
sangat cerdas, wira’i, jujur berbudi tinggi, sangat teguh memegang ajaran agama.
Awalnya Zaid menolak tugas tersebut tapi setelah melewati rajukan Abu
Bakar dan Umar akhirnya Zaid menerimanya.

Anda mungkin juga menyukai