Anda di halaman 1dari 11

RIVIEW BUKU

Sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’an


Karya Ahmad Athaillah
Oleh: Amik Rikza Zakaria
Prodi Pendidikan Agama Islam
Universitas Sains Al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo
Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kitab suci kaum Muslim dan menjadi sumber ajaran Islam yang
pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka
agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan
jika selama ini kaum Muslim tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga
telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga autentisitasnya. Upaya tersebut telah
mereka laksanakan Nabi Muhammad saw masih berada di Mekkah dan sebelum berhijrah
ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak
al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.

Meskipun demikian, terdapat dua penilaian yang kontradiktif yang telah diberikan
terhadap keahlian dan autentisitas al-Qur’an tersebut. Penilaian petama datang dari luar,
yaitu dari golongan kaum non Muslim, khususnya kaum orientalis. Penilaian yang kedua
datang dari dalam, yaitu dari kalangan muslim sendiri. Penilaian dari luar pada umumnya
bersifat negatif. Menurut mereka, al-Qur’an itu bukanlah wahyu Allah, melainkan hasil
karya Muhammad yang yang sumbernya berasal dari berbagai pihak. Selain menolak al-
Qur’an bersumber dari Allah, pada umumnya kaum orientalis juga menggugat keabsahan
mushaf Ustmani dan autentisitasnya. Penilaian yang negatif dari kaum orientalis tersebut
tentu saja ditolak oleh kaum Muslim, karena kontradiksi dengan keyakinan dan penilaian
mereka. Menurut mereka, al-Qur’an adalah kitab suci yang berasal dari Allah yang paling
autentik. Keyakinan dan penilaian tersebut telah diperpegangi dan diikuti oleh kaum
Muslim secara ijma’ sejak ribuan tahun yang silam hingga akhir abad ke-20. 1 Dari hal
tersebut di atas, maka Ahmad Athaillah (penulis buku) mempublikasikan bukunya dengan
judul Sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’an. Sesuai dengan judulnya
terdapat dua masalah pokok yang akan dijawab dalam tulisan tersebut. Pertama, apakah al-

1
Ahmad Athaillah, sejarah al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010, hal. 3.
1
Qur’an itu firman (kalam) Allah. Kedua, apakah kitab suci al-Qur’an tersebut masih
autentik hingga saat ini. Sesuai dengan judul tersebut, maka uraian pembahasannya
mencakup hal-hal yang berkenaan dengan: (1) Pengertian, bagian-bagian, dan isi
kandungan al-Qur’an, (2) pembuktian al-Qur’an sebagai kalam Allah, (3) proses turunnya
kalam Allah tersebut kepada Nabi Muhammad saw, (4) usaha-usaha pemeliharaan
autentisitas al-Qur’an yang telah dilakukan kaum muslim sejak masa Rosulullah saw
hingga abad ke-21 ini.

Pengertian, Bagian-bagian dan Isi Kandungan Al-Qur’an

Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab, tidak ada kesepakatan tentang
ucapan, asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an. Menurut al-Syafi’i,2 kata al-Qur’an
adalah nama asli dan tidak pernah dipungut dari kata lain. Kata tersebut khusus dipakai
untuk menjadi nama firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Menurut al-Farra,3 kata al-Qur’an berasal dari kata al-qara’in jamak dari qarinah yang
berarti yang berarti kawan, sebab ayat-ayat yang terdapat di dalamnya saling membenarkan
dan menjadi kawan antara yang satu dengan yang lain. Menurut al-Asy’ari, 4 kata al-Qur’an
berasal dari kata qarana yang berarti menggabungkan, sebab surat-surat dan ayat-ayat al-
Qur’an itu telah digabungkan antara yang satu dengan yang lain menjadi satu. Menurut al-
Zajjaj,5 kata al-Qur’an berasal dari kata al-aqar’u yang berarti himpunan dan ternyata al-
Qur’an telah menghimpun sari pati kitab-kitab suci terdahulu. Menurut al-Lihyani,6 kata
al-Qur’an berasal dari kata kerja qara’a yang berarti membaca dengan padanan kata fu’lan,
namun dengan arti maqru’ yang dalam bahasa Indonesia berarti yang dibaca atau bacaan.

Dari kalangan orientalis, seperti Schawally, Welhausen, dan Horofitz berpendapat,


kata al-Qur’an adalah pinjaman dari kata keryana, kiryana dalam bahasa Ibrani atau
Suryani yang berarti bacaan atau apa yang dibaca. Mereka juga dengan tegas mengatakan
bahwa kata qira’at dengan arti membaca tidak berasal dari kta bahasa Arab asli. Adapaun
pendapat sementara kaum orientalis yang menyatakan bahwa kata qara’a dengan arti
membaca bukan bahasa Arab asli tidak perlu dibantah. Sebab kata qara’a dengan arti
membaca, memang belum dipakai orang-orang Arab pada masa jahiliah terdahulu. Waktu

2
Al-Syafi’i adalah seorang pakar fiqh dan ushul al-fiqh, hadits, tafsir, dan bahasa Arab, dan pendiri mazhab
Syafi’i. Wafat pada 204 H.
3
Al-Farra adalah seorang pakar tafsir dan pakar bahasa Arab yang wafat pada 207 H.
4
Al-Asy’ari adalah seorang pakar ilmu kalam dan pendiri aliran Asy’ariyah yang wafat pada 224 H.
5
Al-Zajjaj adalah seorang pakar bahasa Arab yang wafat pada 311 H.
6
Al-Lihyani adalah seorang ahli bahasa Arab yang wafat pada 215 H.
2
itu kata qara’a dipakai denagn arti bunting, sedangkan kata qara’a dengan arti membaca
dipungut oleh orang-orang Arab dari bahasa Arami, kemudian mereka pakai dalam bahasa
mereka. Namun, karena kata qara’a dengan arti membaca sudah dipakai oleh orang-orang
Arab sejak masa jahiliah dan sebelum Islam lahir, tentu saja sudah cukup menjadi alasan
bagi kita untuk mengatakan kata tersebut adalah kata Arab dan sekaligus pula dipakai
untuk menjadi nama kitab suci kaum Muslim.

Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sabagai nama diri. Dan
secara gabungan kata itu dipakai untuk nama Qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk
penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh
mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.7 Sebagian ulama menyebutkan bahwa
penamaan kitab ini dengan nama Qur’an di antara kitab-kitab Allah itu karena kitab ini
mencakup inti dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu. 8 Hal itu
diisyaratkan dalam firman-Nya: artinya ”dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Qur’an)
sebagai penjelasan bagi segala sesuatu.”9 Para ulama menyebutkan definisi Qur’an yang
mendekati maknanya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa:
“Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
lewat perantaraan malaikat Jibril dan diturunkan secara berkesinambungan yang
pembacaanya merupakan suatu ibadah.” Dalam definisi “kalam” merupakan kelompok
jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkannya kepada Allah
(Kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin, dan malaikat.

Dengan berbagai definisi di atas, maka akan dapat diambil beberapa sifat yang
esensial bagi al-Qur’an dan sekaligus pula merupakan ciri-ciri khas yang membedakannya
dengan dengan kitab suci lain. Pertama, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. Kedua, diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril. Ketiga, diturunkan dalam
bahasa Arab, baik dari segi lafal maupun maknanya. Keempat, disampaikan kepada kita
secara mutawatir. Kelima, menjadi petunjuk manusia, sekaligus pula menjadi mukjizat
yang abadi bagi kerasulan Nabi Muhammad saw. Keenam, bacaan tersebut merupakan
ibadah bagi orang yang membacanya.

7
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013, hal. 16.
8
Ibid.
9
Q.S. An-Nahl [16]:89.
3
Surat-surat di dalam al-Qur’an tidak sama jumlah ayatnya dan tidak sama pula
panjang pendeknya. Dengan melihat panjang-pendeknya surat, maka para ulama telah
mengklasifikasikan surat-surat al-Qur’an menjadi empat macam, yaitu al-Sab’u al-thiwal,
al-Mi’un, al-Matsani dan al-Mufhashshal.10 Meskipun para ulama sudah sepakat tentang
jumlah ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an sebanyak 114 buah, mereka tidak sepakat
lagi tentang ayatnya. Menurut hasil hitungan para ulama Bashrah jumlah seluruh ayat al-
Qur’an adalah 6.205 buah. Menurut ulama Madinah, sebanyak 6.214 buah. Menurut para
ulama Mekkah, sebanyak 6.220 buah. Menurut ulama Syam, sebanyak 6.226 buah.
Menurut ulama Kufah, sebanyak 6.236 buah.11 Munculnya perbedaan pendapat tersebut
disebabkan oleh beberapa perbedaan. Pertama tentang status Fatihah al-Surah (pembuka
surat), kedua tentang status basmallah yang terdapat pada permulaan surat, dan yang ketiga
tentang menetapkan akhir dan penghabisan ayat (fashilah).12

Membaca al-Qur’an termasuk perbuatan ibadah. Namun tidak hanya untuk dibaca,
tetapi juga harus dijadikan pedoman hidup oleh manusia dalam mencari kesejahteraan dan
kebahagiaan yang diridhai Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Maka Al-Qur’an
mengandung hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Hal-hal yang
terkandung dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi empat macam. Pertama, akidah
yang wajib diimani, baik yang berkenaan dengan Allah, malaikat, kitab-kitabnya, Rosul-
rosul-Nya dan hari kiamat. Kedua, hukum-hukum yang praksis yang mengatur hubungan
dengan dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, baik yang muslim
maupun non-muslim dan dengan alam lingkungannya. Ketiga, akhlak yang mulia, yang
dapat memperbaiki kondisi perangai perorangan dan masyarakat serta mendidik rohani
seseorang dan umat menjadi pribadi-pribadi yang luhur dan umat yang baik. Keempat,
janji akan memperoleh balasan baik yang berlipat ganda bagi orang-orang yang mau
mencari keridhaan Allah dan mau meniti jalan yang selamat baik di dunia maupun di
akhirat. Dan ancaman yang setimpal bagi orang-orang yang berbuat jahat atau tercela. 13
Berbeda dengan kitab suci lain, al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat manusia, sebab
al Qur’an adalah kitab suci yang terkahir sekali diturunkan oleh Allah untuk umat manusia.
Oleh karena al-Qur’an adalah kitab suci terakhir dan untuk seluruh umat manusia,

10
Ahmad Athaillah, Sejarah al-Qur’an, hal. 24.
11
Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang,
1972, hal. 70.
12
Ahmad. Athaillah, sejarah al-Qur’an, hal. 28.
13
Ahmad Athaillah, Sejarah Al-Qur’an, hal. 32-33.
4
petunjuk-petunjuk di dalamnya tentu saja bersifat universal, lengkap dan mampu
menghadapi tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sepanjang
masa.

Pembuktian Al-Qur’an Sebagai Kalam Allah

Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat yang menyatakan bahwa kitab suci itu
berasal dari Allah SWT, bukan dari hasil karya Nabi Muhammad saw. Allah berfirman
dalam surat Yunus ayat 37-38 yang artinya “tidaklah mungkin al-Qur’an itu dibuat oleh
selain Allah, tetapi (al-Qur’an itu datang) untuk membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan
menjelaskan hukum-hukum yang telas ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya,
(diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Ataukah kamu mengatakan “(kalau benar yang
kamu katakan itu), cobalah datangkan (buat) sebuah surat saja yang sepertinya dan
ajaklah siapa saja yang dapat kamu ajak untuk membuatnya selain Allah jika kamu orang
yang benar." Fakta yang membuktikan al-Qur’an dari Allah dan bukan hasil karya Nabi
Muhammad saw salah satunya adalah pada mulanya Nabi Muhammad saw selalu terburu-
buru dalam menghafal al-Qur’an yang sedang dibacakan Jibril. Beliau baru berhenti dari
sifat terburu-buru itu setelah memperoleh jaminan dari Allah bahwa al-Qur’an itu akan
selalu melekat dalam ingatan beliau. Jaminan itu telah disebutkan dalam firman Allah
dalam surat al-Qiyamah ayat 16-19 yang artinya “janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk (membaca) al-Qur’an, karena ingin cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas
tanggungan Kami mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu) panadai
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakanya itu, kemudian sesungguhnya
atas tanggungan Kami menjelaskan.”14

Sebagai bukti lagi bahwa al-Qur’an itu berasal dari Allah ialah bahwa tidak ada
seorang pun dalam sejarah yang pernah mampu menandingi dan menyamainya, daik dari
segi kepetahan dan keindahan bahasanya, gaya dan susunanya, pemilihan kata dan nilai
sastranya maupun dari segi kepadatan dan kebenaran isinya. Hal itu, karena al-Qur’an itu
adalah kalam Allah, bukan sabda Nabi Muhammad saw. H.A.R. Gibb dari kalangan
orientalis juga mengakui hal tersebut, menurutnya “kalau memang benar al-Qur’an itu
merupakan hasil karya manusia (Muhammad), orang lain tentu akan dapat pula
menandinginya. Cobalah mereka mengarang sebuah ungkapan seni yang menyerupai al-
Qur’an. Kalau sampai sekarang ternyata mereka tidak mampu untuk menandinginya,
14
Muhammad al A’zami, Sejarah Teks Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2014, hal. 50.
5
sudah sewajarnya mereka menerima al-Qur’an sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an dan
Muhammad saw.”15 Pernyataan tersebut di samping merupakan kesaksian bahwa al-Qur’an
adalah kalam Allah, sekaligus pula telah menepis pernyataan sementara orang bahwa al-
Qur’an adalah rekayasa Nabi Muhammad saw atau produk budaya, baik lafal dan
maknanya maupun lafalnya saja.

Proses Turunnya Kalam Allah tersebut Kepada Nabi Muhammad saw

Allah SWT berfirman yang artinya ”dan tidak ada seorang manusia pun yang
Allah berbicara kepadanya, kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tabir atau
denga mengurus seseorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanyadengan izin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi dan Maha Bijaksana.” 16
Menurut cara di atas, cara-cara Allah dalam berbicara kepada seseorang yang dikehendaki-
Nya melalui tiga macam, yaitu melalui wahyu, berfirman dari balik tabir, dan melalui
perantara malaikat Jibril. Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya ada yang melalui
perantaraan ada yang tidak melalui perantaraan. Pertama melalui lantaran malaikat
pembawa wahyu yakni malaikat Jibril, kedua tanpa melalui perantaraan, diantaranya ialah
melalui mimpi.17

Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul. Pertama, datang
kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi
faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh
itu. Kedua, malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk
manusia.18 Oleh karena al-Qur’an berisi risalah Allah yang terakhir dan untuk seluruh umat
manusia, sudah semestinya pula jika wahyu Allah ysng terkandung dalam kitab suci itu
diturunkan dengan cara melalui perantara malaikat Jibril dalam bentuk makna dan lafalnya
sealigus. Hal ini telah dinyatakan dalam al-Qur’an sendiri dengan jelas di beberapa
ayatnya, antara lain seperti yang disebutkan di dalam surat asy-Syu’ara ayat 192-193 yang
artinya “dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan alam
semseta, dia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan
dengan bahasa Arab yang jelas”.

15
Ahmad Athaillah, Sejarah Al-Qur’an, hal. 109-110.
16
Q.S. Asy-Syura [52]:51.
17
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, hal.44.
18
Ibid., hal. 48.
6
Firman Allah yang menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui
perantara malaikat Jibril dengan bahasa Arab yang jelas telah membuktikan bahwa Nabi
Muhammad saw telah meneriam al-Qur’an itu benar-benar dalam bentuk makna dan
lafalnya, tanpa ada campur tangan dan interpretasi dari Jibril atau Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian peran Jibril dalam menyampaikan al-Qur’an kepada Rasulullah saw
hanya sekedar membacakan apa yang telah diterimanya secara harfiah. Sebab, baik makna
maupun lafalnya adalah langsung dari Allah sendiri.

Sudah diketahui bahwa Jibril berulang kali turun menyampaikan ayat-ayat al-
Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Hal itu sudah sewajarnya demikian, sebab ayat-ayat
al-Qur’an tidaklah diturunkan sekaligus secara keseluruhan, tetapi secara berangsur-angsur
sesuai dengan keperluan yang ada. Itulah sebabnya, ayat-ayat al-Qur’an atau surat-suratnya
yang diturunkan tidak sama jumlah panjang pendeknya, terkadang diturunkan sekaligus
secara penuh dan terkadang sebagianya saja. Menurut pendapat yang terkuat dan riwayat
yang sahih, firman Allah yang pertama kali diutrunkan kepada Nabi Muhammad saw
adalah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Diriwaayatkan bahwa kaum kafir, baik dari kaum Yahudi
maupun kaum musyrik mencela Nabi Muhammad saw atas turunya al-Qur’an secara
berangsur. Mereka mendesak agar al-Qur’an diturunkan sekali saja. Lalu al-Qur’an
menurunkan dua ayat itu untuk menyanggah mereka. Sanggahan itu menunjukan dua hal:
pertama, bahwa al-Qur’an turun secara berangsur kepada Nabi Muhammad saw. Kedua,
kitab-kitab samawi sebelumnya turun sekali saja secara keseluruhan. Ini sudah masyhur
dikalangan ulama dan hampir menjadi konsensus di kalangan mereka.19

Adapaun hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah


menabahkan hati Nabi Muhammad saw dan menguatkan hatinya, bertahap dalam mendidik
umat yang sedang tumbuh, baik dari segi ilmu maupun prakteknya, menanggapi secara
cepat peristiwa dan kejadian. Setiap kali terjadi peristiwa baru, maka al-Qur’an akan turun
berkenaan dengannya, menunjukan sumber al-Qur’an, bahwa ia merupakan kalamullah
semata. Tidak mungkin ia merupakan kalam Muhammad saw. 20 Al-Qur’an di samping
diturunkan dalam bentuk wahyu matluw dan secara berangsur-angsur, juga diturunkan
dalam tujuh harf. Hal ini telah dinyatakan dalam beberapa hadits sahih yang diriwayatkan
oleh lebih dari 20 orang melalui 40 sanad.21 Ada banyak pendapat mengenai maksud dari
19
Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002, hal. 49.
20
Ibid., hal. 50-61.
21
Ahmad Athaillah, Sejarah Al-Qur’an, hal. 169.
7
tujuh harf. Pertama, yang dimaksud dengan tujuh harf bukanlah jumlah arti dalam
sebenarnya, tetapi maksudnya adalah keringanan, kemudahan, dan keluasan. Kedua, yang
dimaksud dengan tujuh harf adalah tujuh segi atau cara dalam lafadh-lafadh yang berbeda
tetapi mempunyai makna yang sama. Ketiga, kelompok ketiga ini mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan tujuh harf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang tersebar
dalam al-Qur’an/. Kempat, yang dimaksud dengan tujuh harf adalah qiroat sab’ah, ini
adalah pendapat yang jelek dan buruk. Kelima, bahwasanya tujuh harf termasuk masalah
sulit yang tidak bisa diketahui maknanya. Karena huruf dalam bahasa biasa dipakai dalam
huruf hijaiyah, atau pada kalimat, atau pada makna, atau pada arah. Keenam, tujuh harf
adalah tujuh segi perbedaan yang ada dalam qiroat yang perbedaan itu tidak keluar dari
lingkaran tujuh segi tersebut. Ketujuh, bahwasanya tujuh harf adalah tujuh segi, dari
perintah, larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah-kisah dan perumpamaan. Atau
perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan perumpamaan-perumpamaan.22

Turunya al-Qur’an dalam tujuh harf mempunyai beberapa hikmah dan rahasia, di
antaranya adalah sebagai bukti atas terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari pergantian
dan perubahan dalam keadannya yang mempunyai segi-segi yang banyak, meringankan
umat dan memudahkan umat dalam membaca al-Qur’an,dan menyatukan umat Islam
dalam satu bahasa yang ada di antara mereka yaitu bahasa Quraisy yang al-Qur’an turun
dengan bahasa tersebut.

Usaha-usaha pemeliharaan autentisitas al-Qur’an

Pemeliharaan al-Quran pada masa Rasulullah saw dikelompokan menjadi dua


kategori,pertama pemeliharan al-Qur’an dalam dada sering juga disebut pengumpulan al-
Qur’an dalam arti menghafalnya dalam hati. Kedua, pemeliharaan al-Qur’an dengan
tulisan walaupun Nabi Muhammad saw dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Qur’an
secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya
mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Pada masa Abu bakar terjadi tragedi berdarah di
peperangan Yamamah yang menggugurkan 70 orang sahabat yang hafidz Qur’an dicermati
secara kritis oleh Umar bin Khattab, sehingga munculah ide brilian dari beliau dengan
mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang
pernah ditulis pada masa Rasulullah saw. Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar,
dengan alasan belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, tetapi akhirnya Umar
22
Abduh Zulfidarakaha, Al-Qur’an dan Qiroat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996, hal. 92-101.
8
berhasil meyakinkannya sehingga dibentuklah sebuah tim yang dipimpin oleh Zaid bin
Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Abu Bakar memilih
Zaid mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya
serta dia juga hadir pada saat al-Qur’an dibacakan oleh Rasulallah terahir kalinya.

Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat
hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah
penulisan ayat-ayat al-Qur’an yang di hafal oleh para sahabat dan yang ditulis di hadapan
Nabi. Dalam rentang waktu kerja tim, kesulitan terberat yang dialami oleh Zaid adalah saat
tidak menemukan naskah mengenai ayat 128 dari surat at-Taubah. Ayat tersebut dihafal
oleh banyak Zaid sendiri termasik Zaid sendiri, namun tidak ditemukan banyak tulisan.
Kesulitan itu nanti berkhir ketika naskah dari ayat tersebut ditemukan ditangan seorang
bernama Abu Khuzaimah al-Anshari. Hasil kerja yang berupa mushaf al-Qur’an disimpan
oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan Umar bin Khattab,
sepeninggal Umar mushaf diambil oleh Hafsah binti Umar. Dari rekaman sejarah di atas
diketahui bahwa Abu Bakar yang memerintahkan pertama penghimpunan al-Qur’an, Umar
adalah pencetus ide yang brilian, serta Zaid bin Tsabit adlah aktor utama yang melakukan
kerja besar penulisan al-Qur’an secara utuh dan sekaligus menhimpunya dalam bentuk
mushaf. pemeliharaan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dinakaman pengumpulan yang
kedua.

Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan diantara orang yang ikut perang
tersebut adalah Khuzaifah bin al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam cara-cara
membaca al-Qur’an, bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan kesalahan. Melihat
keadaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera melaporkan kepada khlifah Utsman
tentang sesuatu yang dilihatnya. Utsman segera bermusyawarah mencari jalan keluar dari
masalah serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar mushaf Abu Bakar
disalin kembali menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi
perselisihan tentang cara membaca al-Qur’an. Untuk terlaksananya tugas tersebut Utsman
menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam. 23 Hasil kerja tersebut
berwujud empat mushaf al-Quran standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kufah, dan
Basrah, dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian

23
Abduh Zulfidakaraha, Al-Qur’an dan Qira’at, hal. 37.
9
dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat
diselesaikan dengan tuntas maka Utsman memerintahkan semua mushaf yang berbeda
dengan hasil kerja empat panitia ini untuk dibakar. Dengan usahanya ini Utsman telah
berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga
al-Qur’an dari perubahan yang menyimpang sepanjang zaman. Mushaf yang ditulis dimana
Utsman inilah yang kemudian menjadi rujukan sampai sekarang. Dalam hal tersebut di
atas, maka pemeliharan al-Qur’an tidaklah berhenti sampai disitu, melainkan umat islam
dimasa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga al-Quran dengan cara
berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji al-Qur’an serta memahami makna yang
sebenarnya sesuai kaidah tafsir, sehingga setiap perubahan isi al-Qur’an serta adanya
upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.

Penutup

Setelah memaparkan sejarah al-Qur’an sejak masa Rasulallah hingga sekarang,


dapat disimpulkan bahwa al-qur’an benar-benar kalam Allah , baik ide, maupun lafalnya,
bukan hasil karya Nabi muhammad saw atau produk budaya sebaigamana dikatakan oleh
sementara orang. Kebenaran al-Qur’an tersebut sebagai kalam Allah dapat dibuktikan
melalui pernyataanya sendiri maupun melalui isi kandungannya yang antara lain
mengkriktik beberapa sikap dan kebijakan Rasulallah diantara ayat-ayatnya pada mulanya
tidak diketahui oleh beliau akan maksudnya.

Al-Qur’an itu tidak hanya autentik pada masa Rasulullah saw, akan tetapi juga
autentik hingga sekarang ini dan seterusnya. Sebab al-Qur’an itu tidak hanya dihafal dan
didokumentasikan dalam bentuk tulisan sejak masa Rasul hingga saat ini, tetapi juga telah
dipelihara autentisitasnya oleh kaum Muslim melalui pengkodifikasiaannya pada masa
Khalifah Abu Bakar secara cermat dan teliti dalam sebuah mushaf resmi. Kemudian pada
masa Utsman mushaf resmi itu kemudian disalin ke dalam beberapa mushaf dan sekarang
terkenal dengan mushaf Utsmani. Setelah itu penulisan al-Qur’an di dalam mushaf
disempurnakan dengan diberi titik dan baris. Qira’atnya yang absah dan mutawatir juga
telah dikodifikasikan sehingga salah membaca pun dapat dihindari. Mengingat hal tersebut,
maka sudah semestinya kaum Muslim meyakini dan mengimani kebenaran, keilahian, dan
keatutitentikan kitab suci mereka dan jangan sampai meragukannya.

DAFTAR PUSTAKA

10
Athaillah, Ahmad, Sejarah Al-Qur’an: Verifikasi tentang Otentisitas Al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hasanusin, Maulana (editor), Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir, Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa, 2011.
Ash-Shidieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972.
Tim GIP (editor), Sejarah Teks Al-Qur’an, terj. Sohirin Solihin, Jakarta: Gema
Insani, 2014.
Zulfidarakaha, Abduh, Al-Qur’an dan Qira’at, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996.

11

Anda mungkin juga menyukai