Anda di halaman 1dari 9

REVIEW BUKU

Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan


Karya Mohammad Rifai
Oleh: Amik Rikza Zakaria
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Universitas Sains Al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo

Pendahuluan
Setiap muslim tentunya sudah tahu bahwa ibadah, terutama ibadah wajib, merupakan
suatu kewajiban yang harus kita jalankan sebagai rasa syukur dan patuh kita kepada Tuhan
yang telah menciptakan dunia seisinya, termasuk kita. Memang, meskipun Allah Swt.
mewajibkan Hamba Nya untuk beribadah, namun dia memberikan kebebasan kepada kita
untuk memilih dua hal dengan konsekuensinya masing-masing, yakni beribadah. Jika kita
memilih pilihan pertama ini, maka kita akan mendapatkan berbagai kenikmatan dan
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, tidak hanya itu, jika kita rajin beribadah,
ikhlas karena Nya, maka Allah Swt. akan meninggalkan derajat, memuliakan, memuji-muji
kita, dan yang pasti akan menempatkan kita di dalam surga-Nya (insya Allah). Atau, tidak
beribadah. Namun sebaliknya, jika kita memilih untuk lalai dalam beribadah (tidak
beribadah), maka kitapun akan mendapat hukuman yang setimpal (ahzab Allah), yakni
neraka (naudzubillah).
Selain melakukan ibadah, mestinya menjadi seorang muslim wajib tau mempelajari
tentang al-Qur’an, al-Qur’an menerangkan tentang masalah islam secara terperinci, seperti
hukum-hukum pernikahan, dan hukum waris dan ada hal-hal yang dikemukakan secara
umum dan garis-garis besarnya saja hingga perlu diterangkan dengan hadis-hadis Nabi
Muhammad SAW. Dan ada yang diserahkan kepada kaum muslimin sendiri
memperincinya. al-Qur’an mengemukakan prinsip musyawarah adanya suatu badan yang
mewakili rakyat. Juga islam membuka pintu ijtihad bagi kaum muslimi dalam hal yang
tidak diterangkan dalam al-Qur’an. Kesempatan ijtihad inilah memungkinkan manusia
memberi komentar, memberikan keterangan dan mengeluarkan pendapat tentang hal yang
tidak disebut dalam al-Qur’an.1

1
Mohammad Rifai, Mengapa Tafsir Al Qur’an Dibutuhkan, Semarang: Wicaksana, 2000, hal. 8.

1
Kebutuhan Tafsir
Pada masa Rasulullah SAW. kebutuhan tafsir belum dirasakan, sebab para sahabat
dapat bertanya langsung kepada Nabi Muhammad SAW. setelah Nabi Muhammad SAW
wafat dan Islam tersebar luas di luar jaziratul Arab, terjadilah persinggungan antar agama
Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaannya, di satu pilihan dengan kebudayaan
sama di pihak yang lain, maka persoalan-persoalan baru itu perlu dapat dipecahkan apabila
ayat-ayat al-Qur’an itu ditafsirkan dan diberi komentar untuk menjawab persoalan-
persoalan yang baru timbul itu. Maka timbullah dari para sahabat, tabi’in dan tabi’it
tabi’in, upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Demikian mufassir itu berkembang dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga
timbullah penyelidikan dan perubahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh
generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar menukar pengalaman yang dialami oleh
manusia daerah yang satu dengan daerah yang lain, maka yang masih sesuai dipakai, mana
yang kurang sesuai dilengkapi dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai
nanti keadaan dan masa mambutuhkan pula.
Tafsir al-Qur’an juga selalu berkembang mengikuti perkembangan masa dan
memenuhi kebutuhan manusia dalam satu generasi ke generasi berikutnya, maka dalam
ilmu tafsir terdapat pula aliran-aliran dan perbedaan pendapat puluhan, bahkan ratusan
kitab-kitab tafsir dari berbagai aliran, sebagai hasil karya dari generasi-generasi
sebelumnya.2
Masalah ini mengapa tafsir al-Qur’an dibituhkan oleh kaum muslimin, padahal al-
Qur’an adalah kitabun mubin (kitab yang memberikan penerapan) seperti yang dinyatakan
Allah yang artinya: “dan telah kami turunkan kepadamu al-Qur’an yang menjelaskan
segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat serta sebagai pembawa berita gembira bagi
kaum muslimin”.3
Di dalam al-Qur’an Allah menjelaskan dasar-dasar kaidah, kaidah-kaidah syari’at
dan hukum, serta asas perilaku, menuntun mereka ke jalan yang paling lurus dalam
masalah-masalah itu, terkadang menyerahkan perincian-perincian itu kepada sunnah
Nabawi atau kepada akal orang-orang muslim. Tidak heran jika sekian banyak lafadz-
lafadz atau ayat-ayat al-Qur’an itu memebutuhan tafsir, karena ada ayat yang susunan

2
Ibid, hal. 8-9.
3
QS. An-Nahl [16]: 49.

2
kalimatnya singkat, tetapi luas pengertiannya; dalam lafadz yang sedikit dan singkat saja
terhimpun sekian banyak makna.
Sebab-sebab ini, manusia sangat membutuhkan tafsir al-Qur’an agar dapat
memahami dengan baik dan mengamalkannya dengan baik pula, sebagaimana Allah Swt
berfirman: Artinya “apakah mereka tidak memeperhatikan (al-Qur’an dan maksut) al-
Qur’an? Sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, tentu mereka dapati pertentangan
yang banyak di dalamnya”4

Tafsir, Pertumbuhan, dan Perkembangannya


Pertumbuhan tafsir al-Qur’an dimulai sejak Nabi Muhammad SAW, masih hidup.
Beliaulah orang yang pertama menguraikan al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya
wahyu yang diturunkan, Allah Swt, ke dalam hatinya. Pada masa itu tak seorangpun dari
para sahabat beliau yang berani menafsirkan al-Qur’an, karena beliau masih ada ditengah-
tengah mereka.5
Bahwa dengan semakin luas penyebaran umat Islam, budaya-budaya asing ikut
mempengaruhi tafsir al-Qur’an. Pemerintahan dinasti Abbasiyyah mengganti tradisi Arab
menjadi tradisi non-Arab. Terkait dengan bacaan al-Qur’an, terdapat kesulitan bagi bangsa
selain Arab untuk mengucapkan huruf Arab, apalagi membaca ayat al-Qur’an. Persoalan
ini menggugah para ulama untuk membuat cara membaca al-Qur’an. Cara tersebut terkenal
dengan sebutan “metode Baghdadiyyah”, yakni metode yang dirumuskan para ulama di
Baghdad, ibukota dinasti Abbasiyyah.
Terkait dengan tafsir ayat al-Qur’an, pemahaman makna al-Qur’an semakin
diperkaya dengan tinjauan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan filsafat. Pada masa
pemerintahan dinasti Abbasiyyah, ilmu pengetahuan yang dirintis umat Islam mencapai
tingkat keemasan. Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan muslim
berangkat dari al-Qur’an dan berakhir kepada al-Qur’an pula. Artinya, rahasia ayat al-
Qur’an dijadikan pijakan awal untuk penelitian para ilmuwan. Tidak sedikit para ilmuwan
muslim yang terlebih menghafal al-Qur’an. Selain itu ilmu-ilmu al-Qur’an juga terlebih
dahulu dipelajari sebelum mendalami ilmu al-Qur’an. Karenanya, penelitian ilmiah mereka
tidak terlepas dari ayat al-Qur’an.

4
QS. an-Nisa [4]: 82.
5
Mohammad Rifai, Mengapa Tafsir Al Qur’an Dibutuhkan, hal. 10.

3
Mereka mencoba untuk menjelaskan makna al-Qur’an dengan hasil penelitian ilmu
pengetahuan dan filsafat. Penafsiran para ilmuwan ini kemudian menjadi polemik, karena
tidak mengikuti cara menafsirkan ayat yang sudah berlaku yaitu tafsir bil ma’tsur. Para
ilmuwan ini menggali pemahaman makna ayat al-Qur’an dengan penalaran akal pikiran.
Oleh sebab itu tafsir dengan cara ini disebut “tafsir al-Qur-an dengan penalaran” (tafsir bil
ma’qul). Moh. Ali Aziz dalam buku Mengenal Tuntas Al-Qur’an bahwa Imam Fakhrudin
al-Razi menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan hasil pemikiran ilmu pengetahuan dan
filsafat yang berkembang di masa Dinasti Abbasiyyah. Penafsirannya ditulis dalam buku
yang berjudul Mafatihul Ghayb (kunci-kunci pembuka alam gaib). Kemajuan ilmu
pengetahuan diikuti oleh perkembangan tafsir al-Qur’an. Imam al-Thanthawi Jauhari
menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hasil peneliti ilmiah di masa modern.
Kemampuan manusia untuk memahami semua ilmu pengetahuan sangat terbatas.
Oleh sebab itu, ilmuwan muslim memfokuskan diri pada satu disiplin ilmu atau keahlian
tertentu. Keahlian masing-masing ilmuwan muslim menjadi penentu corak tafsirnya.
Ilmuwan yang ahli ilmu hukum akan menjelaskan makna al-Qur’an lebih banyak dari sisi
hukum, ilmuwan yang ahli filsafat juga menguraikan makna al-Qur’an dengan penafsiran
filosofis. Ilmuwan sosial lebih memperhatikan ayat-ayat sosiologis dan menjelaskan
maknanya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial. Ilmuwan saintis menjelaskan ilmu al-
Qur’an dengan menghubungkan temuan ilmu pengetahuan yang relavan dengan makna
ayat, demikian seterusnya.6

Tantangan Al-Qur’an di Masa Depan


Sejak al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hingga kini, al-Qur’an
tidak pernah sepi dari tantangan. Setiap zaman memiliki karakternya dan tantangan
terhadap al-Qur’an disesuaikan dengan karakter zamannya. Demikian ini merupakan
resiko al-Qur’an sebagai mukjizat. Al-Qur’an sendiri yang memberi tantangan dan al-
Qur’an pula yang mengatasi tantangan dari siapapun. Dahulu Musailamah al-Kadzdzab
(sang pendusta) mencoba manandingi al-Qur’an dengan membuat satu surat yang disusun
dengan nilai sastra. Usaha Musailamah ini bukan hanya gagal, tetapi juga menjadi bahan
tertawaan. Tidak hanya orang lain yang tertawa, ia sendiri akhirnya tertawa.
Saat ini, ada lagi tantangan untuk al-Qur’an, yaitu terbitnya al-Qur’an palsu, Al-
Furqonul Haqq atau The True Furqon. Tentu saja al-Qur’an ini tidak sesuai dengan mushaf

6
Moh. Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Qur’an, Surabaya: Imtiyaz, 2012, hal. 200-201.

4
al-Qur’an yang ada di tangan orang Islam. Buku palsu ini memiliki 77 surat, padahal
jumlah surat dalam buku al-Qur’an adalah 114. Setiap surat dalam buku al-Qur’an palsu
tersebut tidak diawali dengan basmallah. Kandungannya pun juga banyak yang
bertentangan dengan kepercayaan Islam.
Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang dapat menyaingi Islam dari segi
kemampuannya dalam menyebarkan dan meyakinkan pengikutnya. Hanya saja, sistem
perpolitikan modern menjadikan agama sebagai sarana pragmatis untuk mencapai tujuan-
tujuan politis. Seperti yang dilakukan oleh zionisme terhadap agama kristen.7
Tantangan lain terhadap al-Qur’an bukan hanya adanya al-Qur’an palsu, namun
berupa upaya meragukan kebenaran kandungan al-Qur’an. Upaya ini dilakukan oleh para
ilmuan yang tidak simpatik kepada Islam. Mereka menelusuri sejarah al-Qur’an dengan
pendekatan antropologis. Dalam pendekatan ini, Mushaf al-Qur’an dianggap sebagai hasil
karya manusia yang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial lingkungannya. Jika
Mushaf al-Qur’an diragukan, maka dengan sendirinya kandungan al-Qur’an menjadi salah.
Cara berfikir semacam ini senantiasa dikorbankan kepada umat Islam. Para ulama
kemudian membela diri kebenaran al-Qur’an dengan argumentasi dan fakta sejarah. Al-
A’zami yang telah dikutip oleh Moh. Ali Aziz dalam buku Mengenal Tuntas Al-Qur’an
bahwa telah memaparkan bukti keilmiahan keaslian Mushaf al-Qur’an yang benar-benar
bersumber dari Nabi SAW, baik dari segi bacaan, tulisan maupun pengaturan urutan surat
dan ayat.
Tantagan dahsyat yang lain adalah perselisihan dikalangan umat Islam akibat
perbedaan pendapat tentang makna ayat al-Qur’an. Perselisihan semakin hebat, bahkan
meluas apabila disusupi oleh kepentingan individu atau kelompok. Kasus seperti ini bukan
suatu yang baru. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada dua orang yang berselisih
tentang makna ayat al-Qur’an. Perselisihan ini terdengar oleh Nabi SAW hingga beliau
keluar dengan wajah yang tampak marah. Nabi Muhammad SAW bersabda,
“sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah hancur karena perselisihan mereka
tentang kitab Allah. Hadist ini menunjukkan salah satu penyebab kehancuran umat yaitu
perselisihan yang tak kunjung selesai. Umumnya, perselisihan lebih didorong oleh klaim
kebenaran. Masing-masing pihak merasa pendapatnya paling benar, sementara pendapat
yang lain adalah salah. Kunci meredam perselisihan adalah kemauan berdialog dan
berdiskusi. Dari komunikasi ini, suatu argumen bisa dipatahkan oleh argumen yang lain.
Abdul Shabur Syahin, Saat Qur’an Butuh Pembelaan, diterjemahkan oleh Khoirul Amrul Harapan dan
7

Akhmad Faozan, Jakarta: Erlangga, 2005, hal. 400.

5
Argumen yang selama ini dianggap benar ternyata diketahui kelemahannya. Jika ada,
masing-masing pihak menerima perbedaan itu dengan lapang hati.8

Metode Penafsiran
Seiring dengan perjalanan waktu dengan banyak berkembangnya kitab tafsit al-
Qur’an, para ulama membedaka corak tafsir itu berdasarkan metode yang digunakan dalam
penulisannya. Abd al-Hayy al-Farmawi dikutip Mahfudz Masduki dalam buku Tafsir Al-
Misbah Kajian Atas Amtsal Al-Qur’an bahwa misalnya, membagi metode tafsir menjadi
empat macam yaitu metode atau manhaj tahlili, ijmali, muqarin, dan maudlu’i. Pertama,
At-tafsir al-Tahlili (tafsir dengan metode tahlili). Tahlili berasal dari kata hallala-yuhallilu-
tahlilan, yang berarti mengurai, menganalisis. Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang
menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalamnya mushaf al-Qur’an.
Bisa dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir
tahlili, setidaknya ada tujuh metode tafsir ini, yaitu. Pertama, Tafsir bil al-ma’tsur ialah
cara penafsiran dengan menggunakan atsar atau riwayat sebagai sumber pokoknya. Tafsir
ini juga disebut dengan al-tafsir bi al-riwayah atau al-tafsir bi al-manqul. Kedua, Tafsir bi
ar-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan menempatkan rasio atau akal sebagai
titik tolak. Tafsir corak ini dinamakan juga at-tafsir bi al-ijtihad atau at-tafsir al-ijtihadi
yaitu penafsiran dengan menggunakan ijtihad. Ketiga, Tafsir al-fiqhi adalah tafsir yang
berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fiqih (hukum Islam). Keempat, Tafsir al-
Shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam dunia
tasawuf, tafsir dalam bentuk ini juga terbadi menjadi dua, yakni at-tafsir as-sufi an-
nazhari dan at-tafsir al-faidhi atau at-tafsir al-isyari. Kelima, Tafsir al-falsafi adalah tafsir
yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima pemikiran-pemikiran
filsafat yunani yang berkembang di dunia Islam, seperti Ibnu Sina dan al-Farabi, maupun
yang menolak pemikiran filsafat itu. Keenam, Tafsir al-ilmi adalah penafsiran al-Qur’an
dalam hubungan dengan ilmu pengetahuan. Ketujuh, Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah
suatu cabang tafsir yang baru muncul pada masa modern. Tafsir corak ini berusaha untuk
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan yang disusun dengan
bahasa yang lugas dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu

8
Moh. Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Qur,an, hal. 204-206.

6
mengaplikasikan pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan
bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.9
Bisa juga dapat diartikan  tafsir al-Qur’an adalah penjelasan atau keterangan untuk
memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan
demikian menafsirkan al-Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna
yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat tersebut. 10
Ciri-ciri yang nampak pada metode ijmali adalah, mufasirnya langsung menafsirkan
al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Selain itu tidak
terdapat ruang atau kesempatan untuk menjelaskan secara rinci, namun tafsirannya ringkas
dan umum, seakan-akan kita masih membaca al-Qur’an, walaupun sebenarnya yang kita
baca adalah kitab tafsirnya.11

Hakekat dan Orientasi Penafsiran


Abdul Mustaqim dalm buku Epistemologi Tafsir Kontemporer bahwa Fazlur Rahman
dan Muhammad Syahrur memiliki pandangan yang hampir sama terkait dengan hakikat
tafsir. Menurut keduanya, tafsir adalah hasil ijtihad atau interpretasi manusia atas teks-teks
al-Qur’an yang harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak final dan harus diletakkan
dalam kontek dimana tafsir itu diproduksi. Oleh karena itu, tafsir sangat terbuka untuk
dikritisi dan dikaji ulang sesuai sengan tuntunan zamannya, mengingat ia lahir dalam
situasi spesifik yang sarat dengan kondisi rasio-historis mufassir-nya. 12 Menurut Shahrur,
tafsir harus merupakan kajian ilmiah yang objektif atas teks suci keagamaan (an-nash al-
qudsiy). Boleh dilandasi kepentingan-kepentingan tertentu sebab hal itu akan
menjerumuskan seseorang ke dalam sikap wahm (dugaan-dugaan yang keliru) dan
menyebabkan hilangnya “objektifitas” penafsiran.13

Penutup
Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai kitab suci yang mampu menjawab
berbagai persoalan hidup yang dihadapi oleh umat manusia di masa kapanpun dan di
tempat manapun. Sejak masa lampau hingga sekarang telah banyak ditulis kitab-kitab tafsir

9
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah Kajian Atas Amtsal Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal.
25-31.
10
Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Al Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 40.
11
Ibid, hal. 35
12
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2011, hal. 117-118.
13
Ibid, hal. 118.

7
oleh para ulama’ tafsir, sebagai upaya untuk memahami pesan-pesan al-Qur’an guna untuk
merespon segala perubahan dan perkembangan yang terjadi pada setiap zaman.
Karya tulis ini ditulis sebagai upaya untuk memberikan setitik pemahaman mengenai
mengapa tafsir al-Qur’an dibutuhkan bagi umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia
yang merupakan mayoritas di negeri ini. Dalam buku mengapa tafsir al-Qur’an dibutuhkan
kiranya sangat diperlukan umat Islam saat ini karena memang materinya senantiasa terkait
dengan konteks dan situasi sehingga benar-benar “membumi”.14

Daftar Pustaka

14
Nasruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat al-Fatihah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal. 127.

8
Aziz, Moh. Ali, Mengenal Tuntas Al-Qur’an, Surabaya: Imtiyaz, 2012.

Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

, Tafsir Kontemporer Surat al-Fatihah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Masduki, Mahfud, Tafsir Al-Misbah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LkiS, 2011.

Rifai, Mohammad, Mengapa Tafsir Al-Qur’an Dibutuhkan, Semarang: Wicaksana, 2000.

Syahin, Abdul Shabur, Saat Qur’an Butuh Pembelaan, diterjemahkan oleh Khoirul Amru
Harapan dan Akhmad Faozan, Jakarta: Erlangga, 2005.

Anda mungkin juga menyukai