Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH PENGAJARAN AL-QUR’AN

Disusun guna Memenuhi Tugas Kuliah :

Mata Kuliah : Sejarah Teks Al-Qur’an

Dosen Pengampu : Althaf Husein Muzakky, M.Ag


Disusun Oleh:
Kelompok 2 / IQT B

1. AISYAH KHOIRUNNISA (2130110038)

2. ISMI NUR SABILA (2130110057)

3. M. FAIQ SHIFA AMAL (2130110060)

PROGRAM STUDY ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an diturunkan Allah memiliki multi fungsi, selain berfungsi utamanya sebagai
hudan (petunjuk) bagi manusia (QS. Al. Baqarah : 2), (QS. Al-Baqarah :185 ), (QS.
Fusilat :44) (Sya'rawi, 2010) Al-Qur’an juga berfungsi sebagai furqon (pemisah)
(Furqon),mauizah (nasehat) (QS. Yusuf : 57 ), syifa’ (penyembuh obat ), busyro (kabar
gembira), rahmat (rahmat), ketika Al-Qur’an berfungsi sebagai syifa (penyembuh obat) maka
dapat dilihat bahwa kata Syifa’ terulang sebanyak empat kali (Al-azfahani, 2008). Tiga ayat
di antaranya kata “Syifa” disandingkan dengan Al-Qur’an dan satu ayat disandingkan dengan
“Madhi”.

Sebuah hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Abdulullah Ibn Mas;ud yang dishahihkan
oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya, diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalan Sunan Al-
Kubra, diriwayatkan juga oleh Imam Ad-Daarul Qutni dalam kitab al-i’lal

} ‫العمل و القرأن } {رواه الحاكم والدار القني‬: ‫ {عليكم بالشفائين‬: ‫ قال النبي صلي هللا عليه وسلم‬: ‫عن عبد هللا رضي هللا عنه‬

“Dari Abdulullah RA dia berkata, Rasulullah pernah berkata, “Hendaklah kalian mencari
dua jenis penyembuhan : madu dan Al-Qur’an.” (H.R Al-Hakim dan Ad-Daarul qutni)

Efektivitas fungsi fungsi Al-Qur’an tersebut baik sebagai hudan, firqon, syifa,
mauizah dan berbagai fungsi lainnya sangat tergantung pada interaksi dan pergaulan yang
erat antara hamba itu dengan Al-Qur’an, dan hal tersebut merupakan salah satu syarat utama
dalam memperoleh berbagai fungsi Al-Qur’an tersebut, ketika intensitas hubungan antara
hamba dan Al-Qur’an semakin erat, maka semakin besar memungkinkan seseorang hamba
akan memperoleh syifa dan rahmat dari Allah.

Fahmi Islam Jiwanto dalam karya tulisannya, membuat beberapa step atau
tingkatannya dalam rangka berinteraksi dengan Al-Qur’an yang disebut dengan Maratib
Qira’ah Al-Qur’an atau “tahapan berinteraksi dan menelaah Al-Qur’an”. Dalam Maratib
Qira’ah Al-Qur’an, Fahmi Islam menyebutkan beberapa tahapan dalam Qira’ah Al-Qur’an
antara lain tallafuz (melafalkan), tafahhum (memahami), tadabbur ( merenungkan), tafakkur
(memikirkan), takhassyu (khusyu’) dan tanfiz (mengamalkan). (Jiwanto, 2012)

2
Tahapan Qira’ah talaffuz merupakan tahaapan awal yang harus ditempuh dan dikuasai
dalam Qira’ah agar dapat mengoptimalkan berbagai funfsi Al-Qur’an, talaffuz berarti
berinteraksi dengan Al-Qur’an melalui pembacaan Al-Qur’an dengan menunaikan hak
membacanya sesuai dengan makharijul huruf, sifatul huruf dan ahkamul huruf yang baik dan
benar, dimulai dari proses tilawah Al-Qur’an (membaca dengan mushaf dan membaca
dengan hafalan ) adalah keahlian mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang muslim (Azami,
1390 H Juz 1) bagaimana seseorang pantas disebut muslim, jikalau kompetisi ini dasar ini
saja tidak dimilikinya, karena bahkam ibadah yang merupakan tiang dari agamanya saja,
mengharuskan untuk bisa membaca dengan hafal sebagian ayat ayat Al-Qur’an, apalagi
perintah pertama yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah “mambaca/iqra’”.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian permasalahn di atas, maka penulis akan merumuskan makalah ini sebagai
berikut :

a. Bagaimana pembelajaran Al-Qur’an di era nabi?


b. Bagaimana perkembangan pembelajaran Al-Qur’an di era setelah nabi?

C. TUJUAN PENELITIAN
a. Dapat mengetahui pembelajaran Al-Qur’an di era nabi
b. Dapat mengetahui perkembangan pembelajaran al-Qur’an di era setelah nabi wafat?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan pengajaran Al-Qur’an

Sejarah perkembangan pengajaran Al-Qur’an ini tidak hanya ada pada masa
Rasulullah SAW saja, akan tetapi adanya perkembangan pembelajaran dan pengajaran
Al-Qur’an pada masa tabi’in dan juga sahabat nabi sampai nanti ada nya
perkembangan pembelajaran Al-Qur’an pada pada masa klasik hingga era modern ini.
Rosulullah SAW hingga awal ke-2 periode dimana lahirnya ilmu-ilmu Al-Qur’an atau
cabang-cabanya nya ilmu Al-Qur’an.

Ayat pertamaa yang diwahyukan pada Nabi Muhammad adalah :

‫۝‬۱ ‫إقرأ باسم ربك الذي خلق‬

“Bacalah atas nama tuhanmu yang telah menciptaka“.

Tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad pernah belajar seni menulis dan
umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf sepanjang hayat. Sepotong ayat di atas
meberi isyarat bukan tentang persoalan buta huruf, melainkan pentingnya pendidikan
yang sehat bagi masyarakat di masa mendatang. Nabi Muhammad mencurahkan
segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam pengembangan penddikan.
Manfaat serta imbalan para pelajar dan juga sanski hukum bagi pengekang ilmu
pengetahuan. Abu Hurairah melaporkan bahwa Nabi Muhammad pernah bersabda :

“Siapa yang memilih jalan pencarian ilmu pengetahuan, Allah akan membuka baginya
jalan menuju surga.”

Nabi Muhammad minta para ilmuwan dari yang masih belum berbudaya agar
kerja sama menasehati mereka yang tidak pernah belajar, dan kaum cendikiawan agar
mau mengembangkan ilmunya pada para jiran. Penekanan diberikan pada setiap yang
memiliki keahlian karya tulis di mana dalam sebuah hadits ditegaskan agar
mengambil peran laksana seorang ayah pada anak.

Nabi Muhammad tidak pernah menyianyiakan upaya dan keinginan


masyarakat dalam mempelajari Kalamullah :

4
a. Ustman bin Affan melaporkan bahwa Nabi muhammad pernah bersabda, “yang
terbaik di antara kamu sekalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an kemudian
mengajarkan pada orang lain.
b. Menurut Ibn Mas’ud Nabi Muhammad memberi komentar,”Siapa yang membaca
satu huruf kitab Allah ia akan diberi imbalan amal shaleh, dan satu amal saleh
akan mendapat pahala sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif lam mim
sebagai satu huruf melainkan alif satu huruf lam satu huruf dan mim satu huruf.

Masalah berikutnya kita akan meresapi secara mendalam bagaimana Nabi


Muhammad berhasil dalam mencapai tujuan pengajaran Al-Qur’an kepada umat
islam. Ini akan dapat terungkap dengan baik sekiranya kita membagi bahasan ke
dalam situasi di zaman Mekkah dan Madinah.

Adapun pada zaman periode mekkah Nabi Muhmmad adalah sebagai Guru Al-
Qur’an, sebaaimana kitab suci Al-Qur’an diturunkan di Mekkah ; imam as- Suyuti
mendaftar urutan terperinci tentang srah surah yang diturunkan. Al-Qur’an dapat
bertindak sebagai alat petunjuk bagi jiwa yang kalut di mana terbukti kehidupan
seorang penyembah patung berhala akan selalu merasa tidak puas, pengembangannya
yang awalnya melakukan penindasan terhadap masyarakat Muslim menyebabkan
mereka mengadakan kontak dengan Nabi Muhammad.

1. Orang pertama di luar jalur keturunan keluarga Nabi Muhammad yang masuk
islam adalah Abu Bakr. Nabi Muhammad masuk islam dengan membaca beberapa
ayat Al-Qur’an.
2. Kemudian Abu Bakr membawa teman teman terdekat menemui Nabi Muhammad,
seperti Utsman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, az-Zubair bin al-Awwam,
Talha dan Sa’d bin Abi Waqqas. Nabi Muhammad mengenalkan agama baru
dengan membacakan ayat ayat Al-Qur’an dan yang menyebabakan mereka masuk
Islam.
3. Abu Ubaidah, Abu Salama, Abdullah bin al-Arqam dan Utsman bin Maz’zun
menemui Nabi Muhammad bertanya tentang hal ini ihwal islam. Nabi Muhammad
menjelaskan dengan membaca Al-Qur’an dan kemudian mereka menerima Islam.
4. Ketika Utba bin Rabi’a pergi menemuo Nabi Muhammad membawa usulan atas
nama orang Quraish, menawarkan rayuan dengan harapan ia dapat meninggalkan
misinya, Nabi Muhammad dengan sabar menunggu sebelum ia menjawab

5
beberapa ayat sebagai “sekarang dengarkan ucapan saya” dan kemudian ia
membaca beberapa ayat sebagai respons terhadap tawaran mereka.
5. Beberapa orang kristen dan Ethiopia mengunjungi Nabi Muhammad ke Mekkah
meanyakan tentang islam. Beliau menjelaskan pada mereka dengan membaca Al-
Qur’an dan mereka masuk islam.
B. Sejarah pembelajaran Al-Qur’an di era Nabi (Periode Makkah dan Madinah)
1. Sejarah Pembelajaran Al-Quran Periode Makkah
Makkah adalah salah satu kota termasyhur dalam sejarah Islam karena di kota
inilah Rasulullah terakhir diutus kepada umat manusia, yakni Nabi Muhammad,
dilahirkan pada tahun 570 M. Makkah merupakan sebuah kota yang terletak di area
pegunungan yang panas, tidak ramah dan terjal.1
Berdasarkan nama tempat ini, dikenal sebuah istilah bagi periodesasi dakwah
Nabi yang pertama, yakni periode Makkah (al-fatrah al-makkiyyah). Periode ini
merujuk kepada aktifitas Nabi Muhammad selama masih berada di Makkah (pra-
hijrah) hingga beliau melaksanakan hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Periode ini
merupakan masa pembinaan dan pemantapan ke dalam serta penyusunan kekuatan
dakwah. Oleh karena itu, materi-materi dakwah pada periode ini lebih
menitikberatkan kepada masalah aqidah dan keimanan. Hal ini didasarkan pada fakta
bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada periode ini umumnya berkaitan
dengan masalah tersebut.2

Sebelum menerima wahyu pertama, dengan hikmah dan rahmat dari Allah
SWT., Nabi Muhammad sudah melakukan semacam pemanasan atau persiapan di gua
Hira yang berlangsung selama beberapa hari bahkan minggu. 3 Proses tahfiz al-Quran
yang paling awal dalam sejarah adalah ketika wahyu pertama turun kepada Nabi di
gua Hira kemudian beliau turun dari gunung Nur dan membacakan wahyu pertama
dari hafalannya kepada siti Khadijah ra.

Mulai saat itu, tiap kali al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad, beliau
menerimanya, menghafalnya dan membacakannya kepada sahabat laki-laki dan
perempuan.4 Nabi diperintahkan untuk membacakan dan menyampaikan al-Quran
1
Espsito, John L. 2002. Ensiklopedi- Oxford Dunia Islam Modern . Terj. Eva Y.N dkk. Cet. II. Bandung :
Mizan.
2
Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
3
Khalil, ‘Imad ad-Din. 1991. Dirasah fi as-Sirah. Cet. XII. Bairut : Mu’assasah ar-Risalah.
4
Ishaq, Muhammad bin. 2004. as-Sirah an-Nabawiyyah . Edit. Ahmed Farrid. Cet. 1. Bairut : Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.

6
kepada umatnya dengan pelan (tartîl) hingga memudahkan mereka untuk mendengar
bacaan dan menghafalnya. Sesudah para sahabat menghafal ayat-ayat al-Quran, maka
mereka akan menyebarkan apa yang dihafal kepada anak-anak dan orang lain (baca:
sahabat lain) yang tidak menyaksikan ketika ayat-ayat tersebut turun kepada Nabi,
dengan cara ini tidak ada satu atau dua hari lewat kecuali wahyu al-Quran sudah
dihafal dalam dada sekian sahabat.

Para sahabat as-sâbiqun ila al-islam adalah orang-orang pertama yang


mendengar dan mempelajari al-Quran dari Nabi, seperti isterinya Khadijah, ‘Ali bin
Abi Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abu Bakr ra. Pada mulanya dakwah Islam
disampaikan secara sembunyi-sembunyi melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke
hati. Nabi menggunakan metode ini untuk berdakwah kepada keluarga sendiri yang
berada satu rumah dengannya, kemudian terhadap tetangganya dan kenalan-kenalan
akrabnya dengan pendekatan personal.5

Karena jumlah orang-orang yang memeluk Islam sudah mencapai sekitar


dualima orang, Nabi menambah metode dakwah baru penyebaran Islam dengan
menyelenggarakan pengajaran klasik secara tetap di rumah kediaman sahabat Al-
Arqam bin Abi Al-Arqam Adapun materi yang disampaikan di tempat itu difokuskan
pada masalah keimanan, akhlak dan latihan menghafal ayat-ayat al-Quran yang telah
diwahyukan. Rumah itu tak jauh dari Ka‘bah. Ia terletak di selatan bukit Shafa.
Menurut Ali Mustafa Yaqub.6

Di antara sahabat yang mengajarkan hafalan dan bacaan al-Quran di Makkah


selain Rasulullah adalah sahabat Khabbab bin al-Artt. Ia mendatangi muridnya dari
rumah ke rumah, sehingga dapat juga dikatakan dia salah satu guru privat al-Quran di
periode Makkah.

Pembelajaran al-Quran telah dilakukan oleh beberapa sahabat di beberapa


rumah secara pribadi. ada beberapa sahabat yang mempunyai catatan al-Quran
sebagai koleksi pribadi atau untuk digunakan sebagai sarana belajar al-Quran.
Menurut sahabat Ibnu ‘Abbas, ayat-ayat yang diturunkan di Makkah direkam dalam
bentuk tulisan sejak dari sana dan hal ini tercatat pada awal sejarah penyebaran Islam.
perempuan pada masa itu juga belajar al-Quran, ini didukung juga oleh riwayat yang
5
Karya, Soekama, dkk. 1996. Ensklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan Islam. Cet. I, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu.
6
Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. Hlm. 132

7
telah disebut di atas bahwa Rasul membacakan wahyu al-Quran kepada kaum lelaki
kemudian kaum perempuan, dan banyak riwayat-riwayat lain yang menceritakan
bahwa Nabi memberi waktu khusus untuk mengisi majlis ta’lim para wanita.

Meskipun situasi keamanan di Makkah tidak stabil, namun setelah ‘Umar


masuk Islam, kaum Muslim merasa sedikit lega. Oleh karena itu, tempat mereka
belajar yang tadinya dirahasiakan di rumah al-Arqam itu kemudian dipindahkan ke
rumah Nabi sendiri.7 Namun tidak ada kejelasan apakah rumah Nabi ini adalah rumah
di mana dulu beliau dilahirkan atau rumah beliau sesudah menikah dengan Khadijah.

Fakta sejarah bahwa jumlah surat-surat makkiyyah lebih banyak dari surat-
surat madaniyyah memberi isyarat atau menunjukan bahwa sejak periode Makkah
sudah banyak sahabat yang memfokuskan kegiatan belajarnya atau aktivitas sehari-
harinya untuk mempelajari dan menghafalkan ayat-ayat al-Quran, mungkin dari
peserta didik di Dar alArqam atau sahabat-sahabat lain karena pembacaan dan
pengajaran alQuran termasuk inti kegiatan dakwah Nabi Muhammad.

Dikarenakan Nabi dan sahabatnya menghadapi banyak cobaan di Makkah,


akhirnya Allah SWT mengizinkan Rasul-Nya untuk melakukan hijrah ke Yatsrib
(Madinah), Nabi berhijrah bersama sahabat Abu Bakr. Nabi tiba di Madinah pada
tanggal dua belas Rabi‘ al-Awwal 622 M.

2. Sejarah Pembelajaran Al-Quran Periode Madinah


Madinah pada masa pra-Islam disebut Yatsrib. Setelah hijrah kota ini menjadi
rumah Nabi Muhammad. Madinah merupakan sebuah oasis berjarak 440 km. dari
utara Makkah, ia semula adalah permukiman petani dengan hutan-hutan palem serta
tanah pertanian yang tersebar luas. Penghuninya antara lain adalah orang Arab dan
Yahudi. Dengan bermukimnya Nabi di sana, Yatsrib disebut dengan julukan kota
Nabi (madinah an-Nabi) atau singkatnya Madinah.8
Periode Madinah (pasca-hijrah) merupakan periode pembentukan masyarakat
Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan ajaran-ajaran dan sistem Islam, walaupun
di antara warganya terdapat orang-orang yang bukan Muslim. Meskipun antara
periode Makkah dan Madinah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan, namun suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa periode Madinah
7
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh, Bairut : Dar al-Fikr.hlm. 58
8
Espsito, John L. 2002. Ensiklopedi- Oxford Dunia Islam Modern . Terj. Eva Y.N dkk. Cet. II. Bandung :
Mizan.. hlm. 300

8
yang masanya lebih pendek dari pada periode Makkah itu memberikan hasil yang
lebih gemilang dibandingkan dengan periode Makkah9
Ketika Nabi pindah ke Madinah, aktifitas pertama kali yang dilakukannya
adalah membangun masjid. Tanah masjid Nabi pada asalnya merupakan sebuah
marbad (tempat untuk mengeringkan kurma) milik dua anak yatim dari Bani Najjar
yang bernama Sahl dan Suhail. Nabi membeli tanah ini dari mereka untuk
membangun masjid dan rumahrumahnya.10 Pada masa selanjutnya, masjid ini menjadi
pusat pendidikan. Di antara tempat-tempat pendidikan yang ada di Madinah adalah :
1. Shuffah. Shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk melaksanakan
aktifitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi
pendatang baru (muhajirin) yang tergolong miskin dan tidak punya tempat tinggal.
Di sini, para sahabat diajarkan membaca dan menghafal al-Quran secara benar, di
samping juga diajarkan materi hukum Islam di bawah bimbingan langsung dari
Nabi.11 Pada masa itu, setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar di kota
Madinah, salah satunya terletak di samping Masjid Nabawi.12
2. Dar al-Qurra’. Dar al-Qurra’ ini yang secara etimologis berarti rumah para
pembaca al-Quran. Semula ia merupakan rumah milik Makhramah bin Naufal,
namun tidak ada kejelasan apakah Dar al-Qurra’ ini merupakan asrama bagi para
qari’, tempat belajar mereka atau tempat tinggal sekaligus tempat belajar. Namun
yang akhir ini agaknya yang lebih mendekati kebenaran.13
3. Kuttab. Kuttab berarti tempat belajar atau tempat di mana dilangsungkan
kegiatan tulis-menulis, bentuk jamaknya katatib, biasanya Kuttab ini dipakai
sebagai tempat pendidikan yang dikhususkan bagi anak-anak. Pada waktu itu,
terdapat beberapa kuttab di Madinah.14
4. Masjid. Semenjak masjid berdiri di zaman Nabi, ia telah dijadikan pusat kegiatan
dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut

9
Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.. hlm. 300
10
Hisyam, ‘Abdul Malik bin. 2009. as-Sirah an-Nabawiyyah . Cet. II. Iskandariyyah : Dar al-‘Aqidah. Hlm.
286-287
11
Susari. 2004. “Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah” dalam Sejarah Pendidikan Islam
Pada Periode Klasik Dan Pertengahan. Abuddin Nata (ed.). Cet. I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 32
12
al-Baihaqi, Abi Bakr Ahmad bin al-Husain. 1992. as-Sunan al-Kubra . Bairut : Dar al-Ma‘rifah. Hlm. 135
13
al-A’zami, M. M. 2005. The History of the Qur’anic Text from Revelation to Compilationi Study with the Old
and New Testatement. Terj. Sohirin Solihin dkk. Jakarta : Gema Insani. Hlm. 135
14
Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. Hlm. 135

9
pendidikan maupun sosial dan ekonomi. Namun yang lebih penting adalah
sebagai lembaga pendidikan.15
5. rumah para sahabat. Rumah para sahabat juga dipakai untuk belajar dan
mengajar meskipun tidak secara rutin. Misalnya apabila Nabi kedatangan tamu-
tamu dari daerah sekitar Madinah, mereka menginap di rumah para sahabat.
Seraya menginap, mereka belajar al-Quran dan ajaran Islam dari Nabi atau
sahabat pemilik rumah.
Nabi adalah almu ‘allim al-awwal di Madinah dan dibantu oleh beberapa
sahabat senior ketika Nabi sibuk dengan urusan lain. Selain ini, Nabi pernah
mengirimkan beberapa sahabat ke beberapa daerah luar kota Madinah, misal ketika
rombongan dari Yaman meminta dari Nabi agar mengirimkan bersama mereka
seorang yang mengajarkan mereka al-Quran, Nabi mengirimkan Abi ‘Ubaidah,
riwayat lain menceritakan bahwa Nabi mengutus Mu‘adz dan Abu Musa ke Yaman
sebagai guru al-Qur’an.
Pembelajaran al-Quran di Madinah masih didominasi oleh metode oral
(musyafahah), karena masyarakat Madinah yang menguasai bacatulis sangat sedikit
bahkan lebih sedikit dari masyarakat Makkah. Di antara mereka yang bisa menulis
ketika Nabi hijrah adalah Ubay bin Ka‘b, Zaid bin Tsabit, Sa‘d bin ‘Ubadah, Rafi‘ bin
Malik.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para sahabat sangat serius,
teliti dan hati-hati dalam menghafalkan al-Quran hingga adanya tambahan satu huruf
menjadi persoalan yang sangat diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat juga dalam
riwayat mengenai perbedaan ‘Umar dan Zaid dalam bacaan QS. at-Taubah:100 di
mana pada akhirnya mereka bertanya kepada Ubay dan mengikuti bacaannya.16
Dalam pembelajaran al-Quran, para sahabat mengacu kepada talaqqi dan
pendengaran dari Nabi atau dari sahabat yang menerima dari Nabi. Mereka tidak
mengacu kepada shahifah-shahifah karena hal itu akan menghilangkan atau
melewatkan hal yang penting dalam bacaan al-Quran secara benar yaitu tajwid wa al-
ada’ atau hal-hal yang berkaitan dengan cara bacaan.
Hasil pendidikan Nabi kepada para sahabat membuahkan banyak sahabat yang
tercatat namanya dalam sejarah sebagai penghafal dan guru al-Quran, atau dengan
15
Susari. 2004. “Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah” dalam Sejarah Pendidikan Islam
Pada Periode Klasik Dan Pertengahan. Abuddin Nata (ed.). Cet. I. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 37
16
az-Zinjani, Abu Abdullah. 1993. Wawasan Baru Tarikh al-Quran. Terj. Kamaluddin Marzuki Anwar. Cet. III.
Bandung : Penerbit Mizan. Hlm. 55-56

10
istilah awalnya qurra’. Para qari’ ini adalah orang yang akan meneruskan perjalanan
pendidikan pengajaran al-Quran pada generasi selanjutnya. Dengan demikian, al-
Quran tetap dihafal, diambil dan dipelajari secara langsung dari mulut para qari’ dan
guru. Dari Allah ke Malaikat Jibril ke Nabi Muhammad, dari Nabi ke Sahabat, dari
Sahabat ke Sahabat lain dan Tabi‘in dan seterusnya sampai kepada kita dengan sanad
yang bersambung kepada Nabi Muhammad.
Apa yang dilakukan oleh Nabi semuanya adalah dalam rangka memperbaiki
dan meningkatkan pola serta kualitas pendidikan dan pengetahuan sahabat yang
mayoritas dari mereka belum dapat membaca dan menulis. Sistem budaya pendidikan
yang diciptakan oleh Nabi sangat memotivasi sahabat dalam hal belajar, Nabi tidak
sekedar berusaha dengan ucapan (baca: hadis) akan tetapi juga dengan tindakan dan
action. Sebagai contoh, untuk mendekatkan al-Quran kepada masyarakat, Nabi
menjadikan hafalan beberapa surat al-Quran sebagai mahar (mas kawin) nikah.
Mendahulukan proses pemakaman seorang yang mati syahid yang hafalnya lebih
banyak. Seorang qari’ adalah orang yang berhak menjadi imam sholat. Memberi panji
perang kepada sahabat yang hafalnya paling banyak, dan masih banyak sekali
riwayat-riwayat lain tentang penghargaan Nabi terhadap qurra’ sahabat. Budaya ini
membuat sahabat semangat mempelajari dan menghafal al-Quran, dan ini akan
berlanjut ke masa Khulafa’ ar-Rasyidin, khususnya masa ‘Umar bin al-Khattab.
Budaya taqdir al- ‘ilm wa ahlih bisa menjadi faktor penting dalam kemajuan dan
perkembangan ilmu dalam sebuah masyarakat atau negara.
C. Perkembangan Pembelajaran Al-Qur’an di Era Setelah Nabi Wafat.
Pada masa setelah nabi wafat, banyak peristiwa besar yang terjadi, salah
satunya ialah wafatnya para huffazh dalam perang yamamah. Tercatat 70 huffazh
syahid dalam peristiwa itu (bahkan dalam satu riwayat di sebutkan hingga 500
huffadz)17. Peristiwa itu lah yang melatar belakangi terjadinya kodifikasi al-qur’an
untuk pertama kalinya yang dipimpin oleh khalifah abu bakar ash-shiddiq atas usulan
umar bin khattab. Dan Peristiwa kodifikasi al-quran berlangsung hingga masa
pemerintahan khalifah utsman bin affan.
pada masa Utsman Islam semakin tersebar luas dan telah bersentuhan dengan
banyak suku dan negara sehingga perbedaan cara baca Al-Quran mulai terlihat.
Karena tidak semua mengetahui adanya perbedaan qiraat yang diperbolehkan Nabi,

17
Muhammad Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān FīUlūm al-Qur’ān(Mesir: Isa al-Bābi al-Ḥalabi,
t.th.),249

11
maka di kalangan para murid muncul perasaan bahwa qiraat nya yang paling benar
dan berasal dari Nabi saw. Untuk menghindari kekacauan dan perpecahan yang lebih
besar, Usman pun berinisiatif untuk melakukan standarisasi Al-qur’an yakni
menghimpun mushaf Utsmani, tetapi bukan berati membatasi pada satu qiraat saja.
Hal itu karena mushaf Utsmani itu sendiri mengandung dan dapat dibaca dengan
beberapa qiraat. Mushaf itu belum memiliki baris dan tanda baca sehingga bisa dibaca
dengan beberapa versi qira’at meskipun tulisannya sama.
Dalam penghimpunannya, Utsman terlebih dahulu merujuk pada mushaf yang
pernah dihimpun di masa Abu Bakar. Utsman kemudian memberikan tambahan
miqyas — selain syarat tentang adanya riwayat/sanad dari bacaan tersebut — kepada
Zaid bin Tsabit yakni jika ada bacaan Zaid yang berbeda dengan bacaan lain, maka
hendaklah Zaid mengambil bacaan Quraisy. Semenjak itu, yang menjadi standar
bacaan bagi umat Islam saat itu bukan lagi guru atau imam qiraat akan tetapi Al-
Qur’an yakni mushaf Utsmani18.
Imam qiraat kedua berasal dari generasi tabi’in yang merupakan murid dari
imam qiraat pertama dari kalangan sahabat. Para tabi’in ini membentuk dan
mempunyai halaqah di kota-kota besar seperti Makah, Madinah, Kufah, Basrah, dan
Syam. Di Makah seperti Mujahid dan Ikrimah. Di Madinah ada Umar bin Abdul Aziz
dan Ibnu Syihah az-Zuhri. Di Kufah ada Sa’id bin Jabir dan Al-qamah. Di Basrah ada
Ibnu Sirin dan Qatadah. Di Syam ada al-Mughirah dan Khulayfah bin Sa’ad.19
Imam qira’at ketiga adalah ulama ahli qiraat yang hidup pada pertengahan
kedua abad dua Hijriah yang belajar pada imam qiraat kedua, termasuk di dalamnya
tujuh orang imam qiraat sab’ah. Di antara mereka yakni Ibnu Katsir (salah satu imam
qiraat sab’ah) di Makah, Nafi bin Nuaim di Madinah, Ashim, Hamzah dan Kisai di
Kufah, Abu Amr bin al-A’la di Basrah, dan Abdullah bin Amir di Suriah20.
Imam qiraat pada generasi ketiga ini berupaya meneliti dan menyeleksi
berbagai versi qiraat yang ada dan berkembang saat itu. Dengan upaya tersebut
diharapkan dapat dibedakan mana qiraat yang bisa dipertanggung jawabkan serta
diakui qur’aniyyatnya dan mana yang tidak. Upaya tersebut dilatar belakangi antara
lain, oleh suatu kondisi di mana pada saat itu ada sebagian qiraat yang tidak

18
Helfina Rayya. Ilmu Qiraat (Telaah terhadap Sejarah Perkembangan & Pandangan Ignaz Goldziher).
https://www.academia.edu/12876076/Ilmu_Qiraat_Telaah_terhadap_Sejarah_Perkembangan_and_Pandangan_I
gnaz_Goldziher_
19
Hasanuddin AF. Anatomi Al-Qur'an. hlm. 132
20
Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, hlm. 206

12
menyalahi rasm usmani,tetapi tidak seorang ahli qiraat pun sebelumnya pernah
membacanya. Dengan kata lain, saat itu telah berkembang qiraat dikalangan kaum
muslimin yang diragukan kebenarannya. Hal ini mengingat makin meluasnya daerah
kekuasaan Islam, serta semakin banyak pula pemeluk agama Islam dari luar kalangan
bangsa Arab21.
Pada masa ini, para imam telah memiliki miqyas yang berbeda-beda dalam
menerima dan menolak suatu qiraat.Ketika menetapkan suatu miqyas dan ternyata
menemukan beberapa qiraat yang dapat diterima maka imam qiraat tentuakan
memilih bacaan yang mudah baginya atau mengajarkan suatu versi qiraat pada
seorang murid dan versi qiraat lain pada murid yang berbeda. Jadi, ketika proses
menentukan qiraat seorang imam memiliki miqyas dan kemudian berhak memilih
(ikhtiyār ) satu atau beberapa versi dari sejumlah versi yang memenuhi miqyasnya.
Karena itu, suatu qiraat yang tidak dipilih dan diajarkan oleh imam qiraat —
meskipun riwayatnya ada dan memenuhi miqyas — otomatis tidak tersampaikan pada
murid-murid dan sanadnya menjadi putus pada akhirnya akan menjadi qiraat syadz.
Selanjutnya imam qiraat generasi keempat yakni mereka yang belajar dari
kelompok ketika seperti Ibnu Iyasy, Hafsh, dan Khalaf. Adapun generasi qiraat
kelima adalah para pengkaji dan penyusun ilmu qiraat seperti Abu ‘Ubaid al-Qasim
bin Salam, Ahmad Jubair al-Kufi,Abu Ja’farIbn Jarir ath-Thabari, dan Ismail Ishak al-
Maliki. Setelah generasi kelima ini pengkajian dan pengembangan ilmu qiraat
semakin meluas, di antaranya penulisan qiraat dalam bentuk prosa dan puisi oleh al-
Dani dan al-Syathibi22.
Demikian seterusnya hingga generasi ke generasi. Dengan demikian
penyampaian qiraat Alquran dilakukan sebagaimana penyampaian hadis. Tak seorang
pun dari ahli qiraat yang boleh diambil qiraat nya kecuali ada kepastian bahwa dia
telah menerima qiraat tersebut dari ulama sebelumnya (gurunya), hingga rangkaian
sanad itu berakhir pada seorang sahabat Nabi yang langsung menerima qiraat itu dari
Nabi saw. Atas dasar itu pula mereka melarang mutlak qiraat berdasarkan qiyas.
Karena suatu qiraat tidak akan diterima jika tidak memiliki sanad yang sampai kepada
Nabi saw. meskipun sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan pada mushaf
Utsmani23.

21
Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an,…hlm. 134-136.
22
Ahmad Izzan,„Ulumul Qurān, …h. 206
23
Subhi as-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm.325-326

13
Oleh karena itu, periwayatan yang bermuara kepada Nabi saw. Merupakan
sumber asli serta sumber satu-satunya bagi qiraat Alquran yang dikenal dikalangan
kaum muslimin. Dengan begitu, jelaslah bahwa qiraat Alquran itu bersifat tawqifiyyat
dan bukan bersifat ikhtiyariyat atau hasil ijtihad dan rekayas para ahli qiraat . Karena
itu pula, para sahabat tidak memandang adanya satu versi qiraat yang lebih baik atau
lebih utama dari versi qiraat yang lainnya karena keduanya sama-sama berasal dari
Nabi berdasarkan firman Allah swt24
Orang yang disebut-sebut pertama kali menyusun ilmu qiraat adalah Abu
‘Ubaid al-Qasim bin Sallam. Selain Abu Ubaid, adapula Abu Ja’far al-Thabari dan
Abu Hatim al-Sajistani yang telah menghimpun sejumlah sistem qiraat dalam karya
mereka. Adapun orang pertama yang menghimpun qiraat sab’ah adalah Abu Bakar
Ahmad bin Musa al-Abbas atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Mujahid (w.324 H).
Beliaulah yang pada awal 300 H di Baghdad menghimpun tujuh qiraat dari tujuh
imam Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam25
Ketujuh tokoh itu dipilih oleh Ibnu Mujahid dengan pertimbangan bahwa
merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur bacaannya bagus, memiliki
kedalaman ilmu dan panjang umurnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah bahwa
merekalah yang dijadikan imam qiraat di masyarakat mereka masing-masing.
Kemasyhuran ketujuh tokoh qiraat tersebut semakin meluas setelah Ibnu Mujahid
secara khusus membukukan qiraat-qiraat mereka26
Meski demikian, selain mereka sebenarnya masih ada pula imam qiraat lain
yang tidak kalah menguasai qiraat, hanya saja secara kebetulan bagi Ibnu Mujahid
tujuh imam itulah yang dianggapnya tepat. Sejak penghimpunan Ibnu Mujahid itulah
istilah tujuh qiraat mulai dikenal. Belakangan banyak pula yang mengira bahwa istilah
tujuh qiraat tersebut adalah yang dimaksud hadis Nabi saw. dengan tujuh huruf 27.
padahal pembatasan pada angka tujuh tersebut hanyalah kebetulan semata.

24
Hasanuddin AF,Anatomi Al-Qur ‘an. hlm. 123
25
Subhi as-Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hlm.325-326

26
Acep Hermawan. Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
hlm.136
27
Ada beragam versi hadis ‘tujuh huruf’ yang dimuat dalam beberapa kitab hadis seperti Shahīh al -Bukhārī,
Shahīh Muslim, Sunan al -Tirmidzī, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan ‘tujuh huruf’ dalam hadis-hadis tersebut. Ada yang memaknainya dengan tujuh bahasa, tujuh aspek
hukum/ajaran dalam Alquran, juga tujuh ragam cara baca atau yang disebut qiraat.Pandangan terakhir yakni
yang menghubungkan dengan qiraat kiranya cukup banyak terutama setelah munculnya himpunan tujuh qiraat
oleh Ibnu Mujahid tersebut

14
BAB III

KESIMPULAN

Sejarah perkembangan pengajaran Al-Qur’an ini tidak hanya ada pada masa
Rasulullah SAW saja, akan tetapi adanya perkembangan pembelajaran dan pengajaran
Al-Qur’an pada masa tabi’in dan juga sahabat nabi sampai nanti ada nya
perkembangan pembelajaran Al-Qur’an pada pada masa klasik hingga era modern ini.
Periode Makkah merupakan masa pembinaan dan pemantapan ke dalam serta
penyusunan kekuatan dakwah. Oleh karena itu, materi-materi dakwah pada periode
ini lebih menitik beratkan kepada masalah aqidah dan keimanan. Hal ini didasarkan
pada fakta bahwa ayat-ayat al-Quran yang diturunkan pada periode ini umumnya
berkaitan dengan masalah tersebut.
Berlanjut kedalam periode madinah, periode ini merupakan periode
pembentukan masyarakat Islam, yaitu masyarakat yang menerapkan ajaran-ajaran dan
sistem Islam. disinilah mulai terbangun cikal bakal meluasnya keilmuwan islam, yang
ditandai dengan berdirinya berbagai tempat-tempat menuntut ilmu seperti shuffah, dar
al-qurra', kuttab, dan masjid yang selain digunakan untuk beribadah juga digunakan
untuk sarana pendidikan.
Selanjutnya adalah periode ketiga, yang dimana setelah rosulullah wafat,
tonggak kepemimpinan rosulullah sebagai kepala negara diteruskan oleh sayyidina
abu bakar ash-shiddiq. Disaat itulah terjadi perang besar antara kamu muslimin
melawan kaum munafiqin yang mengakibatkan gugurnya 70 huffadz sebagai syahid.
Melihat peristiwa itu, sayyidina umar merasa khawatir akan keberlangsungan al-
qur’an jikalau tidak dikodifikasi (dikumpulkan dalam satu buku) mengingat pada saat
itu al-qur’an masih berupa shuhuf—shuhuf yang terpisah dalam berbagai media
seperti pelepah kurma dan lain sebagainya. kekhawatiran umar pun akhirnya
ditanggapi baik oleh abu bakar dan mulailah proses kodifikasi al-qur’an tersebut.
Peristiwa kodifikasi al-qur’an memakan waktu yang cukup lama dan selesai
pada masa utsman bin affan. Setelah selesai peristiwa tersebut ternyata masih
menimbulkan masalah baru, yakni perbedaan cara baca Al-Quran. Karena tidak
semua mengetahui adanya perbedaan qiraat yang diperbolehkan Nabi, maka di
kalangan para murid muncul perasaan bahwa qiraat nya yang paling benar dan berasal
dari Nabi saw. Untuk menghindari kekacauan dan perpecahan yang lebih besar,
Utsman pun berinisiatif untuk melakukan standarisasi Al-qur’an yakni menghimpun

15
mushaf Utsmani, tetapi bukan berati membatasi pada satu qiraat saja. Hal itu karena
mushaf Utsmani itu sendiri mengandung dan dapat dibaca dengan beberapa qiraat.
Mushaf itu belum memiliki baris dan tanda baca sehingga bisa dibaca dengan
beberapa versi qira’at meskipun tulisannya sama.
Selanjutnya mushaf utsmani disebar luaskan ke berbagai kota besar di jazirah
arab sekaligus dengan para sahabat yang diutus sebagai guru untuk mengajarkan
mushaf tersebut kepada masyarakat dan berhasil melahirkan para ulama qira’at pada
generasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

al-Asfahani, Abi Na‘im Ahmad bin ‘Abd Allah. tt. Hilyah al-Awliya’ wa Tabaqat al -Asfiya’.
Bairut : Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah.

al-Baihaqi, Abi Bakr Ahmad bin al-Husain. 1992. as-Sunan al-Kubra . Bairut : Dar al-
Ma‘rifah.

16
al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 1989. Ushul al-Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh, Bairut : Dar al-
Fikr.

as-Subaki, ‘Abd al-Latif. 1969. Al- Wahy Ila ar-RasuL Muhammad. Kairo : al-Majlis al-A‘la
li asy-Syu’un al-Islamiyyah.

az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. 2004. Manahil al- ‘Irfan , Manahil al- ‘Irfan fi
‘Ulum al-Qur’an . Cet. II. Beirut : Dar alKutub al-‘Ilmiyyah.

az-Zinjani, Abu Abdullah. 1993. Wawasan Baru Tarikh al-Quran. Terj. Kamaluddin Marzuki
Anwar. Cet. III. Bandung : Penerbit Mizan.

Espsito, John L. 2002. Ensiklopedi- Oxford Dunia Islam Modern . Terj. Eva Y.N dkk. Cet. II.
Bandung : Mizan.

Hisyam, ‘Abdul Malik bin. 2009. as-Sirah an-Nabawiyyah . Cet. II. Iskandariyyah : Dar
al-‘Aqidah.

Ishaq, Muhammad bin. 2004. as-Sirah an-Nabawiyyah . Edit. Ahmed Farrid. Cet. 1. Bairut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Karya, Soekarno, dkk. 1996. Ensklopedi Mini Sejarah & Kebudayaan islam, Cet. 1, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu

Khalil, Imad Al-din. 1991. Dirasah fi as-sirah. Cet. XII. Beirut : Muassasah ar-Risalah.

Susari, 2004. “Lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah” dalam sejarah


pendidikan islam pada periode Klasik dan Pertengahan. Abbudin Nata (ed.). Cet. !. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.

Yaqub, Ali Mustafa. 2000. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Cet. II. Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus.

Muhammad Abd al-Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān FīUlūm al-Qur’ān(Mesir: Isa al-Bābi
al-Ḥalabi, t.th.)

17
Helfina Rayya. Ilmu Qiraat (Telaah terhadap Sejarah Perkembangan & Pandangan Ignaz
Goldziher).https://www.academia.edu/12876076/Ilmu_Qiraat_Telaah_terhadap_Sejarah_Per
kembangan_and_Pandangan_Ignaz_Goldziher_

Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur'an. Anatomi Al-Qur’an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya
Terhadap Istinbath hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, Bandung: Tafakkur, 2011.

Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).

Acep Hermawan. Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011).

18

Anda mungkin juga menyukai