Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AL-QUR’AN dan KONTEKSNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikhul Qur’an

Dosen Pengampu : Muhammad Sihabuddin M.Ag

Disusun oleh:

1. Fatckia Waqfi Arifah (2004046079)


2. Awaluddin Jamil Nur Aziz (2004026078)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dengan
judul “Al-Qur’an dan Konteksnya”. Makalah ini menjelaskan tentang sabda dankehidupan
Nabi bagian dari konteks Al-Qur’an, konteks sosio historis dan budaya Bahasa, Bahasa etik
Al-Qur’an..

Tujuan makalah ini disusun adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikhul
Qur’an. Kami dari penulis makalah mengucapkan terimakasih kepada Bapak M. Sihabudin,
M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Tarikhul Qur’an.

Kami berterimakasih kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dan membantu
,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri maupun bagi pembacanya.
BAB I
PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sebagai
petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad juga dimaksudkan
untuk mengurai permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Posisi Nabi Muhammad dalam proses
turunnya al-Qur’an adalah sebagai objek dan juga sebagai subjek. Posisi Nabi Muhammad sebagai
objek karena Allah menurunkan al-Qur’an kepadanya, sehingga beliau menjadi objek diturunkannya
al-Qur’an. Sedangkan posisinya sebagai subyek adalah posisi beliau sebagai utusan yang
menyampaikan al-Qur’an kepada umat manusia. Nabi Muhammad adalah seorang manusia yang
mempunyai keutamaan tak tertandingi dalam segala hal. Allah memberikan banyak keistimewaan
kepada Nabi Muhammad yang tidak diberikan kepada Nabi yang lain, sehingga beliau patut diberi
gelar Sayyid al-Anbiya (pemimpin para Nabi).

I.B Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan konteks Al-Qur’an?

2. Bagaimana kehidupan Nabi Muhammad menjadi konteks Al-Qur’an?

3. Apa Latar belakang pemahaman konteks tekstual sabda Nabi SAW ?

4. Bagaimana konteks Al-Qur’an dari sisi Sosio historis dan budaya Bahasa?

4. Bagaimana Bahasa etik Al-Qur’an?

1.C Tujuan Masalah

Tujuan disusunya makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pemahaman
kita,sehingga dengan ini kita dapat saling bertukar wawasan kepada orang lain. Serta dapat
menjadi motivasi kita untuk selalu berbuat kebaikan dan dapat kita aplikasikan di dalam
kehidupan nyata.
BAB II

PEMBAHASAN

II.A Pengertian konteks Al-Qur’an

Untuk memahami makna dan maksud darisebuah kalimat ataupun pembicaraan,


seseorang perlu mengetahui dalam situasi, kondisi, dan tempat seperti apakalimat tersebut
diucapkan. Yang demikianitu, dalam kajian kebahasaan dikenal dengan istilah konteks.
Pengetahuan terhadap konteks berguna agar tidak salah dalam memahami sebuah kalimat
atau ujaran. Beberapa unsuryang perlu diketahui dalam memahami konteks adalah pembicara
serta waktu dan tempat ketika berbicara.

Tidak berbeda dengan al-Qur’an, yang merupakan kalam Allah dan diturunkan
kepada Nabi Muhammad, ia juga perlu diketahui dan dianalisis konteksnya agar tidak
disalahpahami oleh pembaca. Pemahaman terhadap al-Qur’an pada saat diturunkan dan pada
saat sekarang tentu berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan pengungkapan makna al-Qur’an
hingga bisa diaplikasikan di setiap masa. Salah satu carauntuk menemukan makna asli dan
ideal moralsuatu ayat adalah dengan mengetahuikonteks sosio-historis dari ayat tersebut.

Konteks adalah situasi yang di dalamnya suatu peristiwa terjadi, atau situasi yang
menyertai munculnya sebuah teks, sedangkan kontekstual artinya berkaitan dengan konteks
tertentu. Terminologi kontekstual sendiri memiliki beberapa definisi yang menurut Noeng
Muhadjir, setidaknya terdapat tiga pengertian berbeda, yaitu:

1) berbagai usaha untuk memahami makna dalam rangka mengantisipasi problem-problem


sekarang yang biasanya muncul

2) makna yang melihat relevansi masa lalu, sekarang dan akan datang; di mana sesuatu akan
dilihat dari titik sejarah lampau, makna fungsional sekarang, dan prediksi makna yang
relevan di masa yang akan datang; dan

Pendekatan kontekstual yang dimaksud disini adalah pendekatan yang mencoba


menafsirkan Alquran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa, latar belakang sejarah,
sosiologi, dan antropologi yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Arab pra-Islam dan
selama proses wahyu Alquran berlangsung. Selanjutnya, penggalian prinsipprinsip moral
yang terkandung dalam berbagai pendekatan.

Secara substansial, pendekatan kontekstual ini berkaitan dengan pendekatan


hermeneutika, yang merupakan bagian di antara pendekatan penafsiran teks yang berangkat
dari kajian bahasa, sejarah, sosiologi, dan filosofis. untuk memahami ayat-ayat Alquran
sangatlah penting, dan tidak hanya dipahami dengan pendekatan tekstual saja, tetapi kondisi-
kondisi yang terkait dengan turunnya ayat juga menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
memahami ayat- ayat Alquran. Dimana keterlibatan kondisikondisi tersebut menjadi titik
acuan dalam memahami ayat-ayat Alquran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.

II. B Kehidupan Nabi Muhammad Menjadi Konteks Al-Qur’an

Nabi Muhammad adalah seorang manusia yang diutus oleh Allah di muka bumi.
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an dan Hadis, beliau adalah orang yang mempunyai
sifat yang sempurna dalam segala hal, karena tertanamnya sifat maksum pada diri nabi
Muhammad. Meskipun nabi Muhammad adalah manusia sempurna, beliau tetaplah manusia
dan melakukan apa yang dilakukan oleh manusia yang lain, baik berupa kebaikan ataupun
kesalahan.

Pengalaman pertama kenabian Nabi Muhammad terjadi Ketika beliau berusia 40


tahin, kira kira pada tahun ke-13 sebelum Hijriyah Ketika orang-orang pemuka Arab
mempermasalahkan
penunjukkannya sebagai nabi dan mempertanyakan kenapa wahyu ilahi tidak diturunkan
kepada “orang besar” di Makkah dan Thaif (QS Az-Zukhruf :31), al-Quran mengemukakan
jawaban yang bersifat religious dan naturalistik. Pada sisi religius dikatakan: “apakah mereka
yang mendistribusikan rahmat Tuhanmu?” (QS. Az-Zukhruf :32). Sementara jawaban
naturalistik terungkap dalam QS. Al-An’am:l24: “Allah mengetahui di mana menempatkan
kerasulan-Nya.” Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah kenabiannya secara
privat kepada keluarga dan teman-teman dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya, Ali
ibn Abi Thalib (w.661), merupakan orang-orang pertama yang membenarkan kerasulannya.
Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal dari kalangan tertindas yang tidak
memiliki posisi sosial penting, meskipun beberapa di antaranya adalah pedagang kaya –
sepertiAbu Bakr al-Shiddiq
Sekitar dua tahun setelah pewahyuan pertama, ketika Nabi menyampaikan pesan-
pesan Ilahi secara terbuka kepada khalayak ramai, timbul suatu oposisi yang aktif terhadap
Islam, dan para pengikutnya yang tidak begitu kuat mengalami penindasan keji. Pemuka suku
Quraisy mencoba membujuk Abu Thalib supaya mempengaruhi keponakannya agar
menghentikan dakwahnya, atau menarik perlindungan banu Hasyim terhadap Nabi, namun
upaya ini mengalami kegagalan. Mereka juga menyebarkan propaganda di kalangan
pemimpin-pemimpin suku di Arabia pada musim haji yang isinya menentang Muhammad,
tetapi aksi ini malah menghasilkan efek sebaliknya: nama Nabi dan misi kenabiannya
semakin dikenal secara luas di berbagai penjuru jazirah Arab.
Orang-orang Makkah telah berulangkali membujuk Muhammad agar mau
berkompromi, disinggung al-Quran dalam sejumlah kesempatan. Tetapi, upaya ini tidak
membawa hasil yang semestinya, sehingga orang-orang Quraisy mulai Menyusun rencana
untuk mengusir Nabi dari kota Makkah. Dalam QS. Al-Isra :76 disebutkan: “Sungguh mereka
hampir membuatmu gelisah di sana (Makkah) agar engkau terusir dari sana. Jika demikian
halnya, maka mereka tidak akan hidup sepeninggalmu kecuali untuk sebentar saja.” Apabila
kisah-kisah para nabi sebelum Muhammad dipandang mencerminkan situasi yang dihadapi
Nabi yang tentu saja dapat didukung berbagai riwayat yang sampai kepada kita melalui
biografi-biografi (sîrah).
Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut meninggal. Kepergian kedua
orang ini merupakan suatu kehilangan yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan
duniawi yang sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan misinya.
Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik perlindungan klannya atas Muhammad.
Tindakan ini dikecam keras dalam surat Al-Lahab. Menghadapi situasi kritis semacam itu,
Nabi berupaya mencari dukungan bagi perjuangannya dengan mengunjungi kota Thaif dan
berdakwah di sana. Di kota tersebut, ia tidak hanya diperlakukan secara keji, tetapi juga
dilempari batu, dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah.

II. C Konteks Al-Qur’an dari SosioHistoris dan Budaya Bahasa


Pengetahuan tentang aspek kunci dari konteks tempat al-Qur’an diturunkan (Mekah
dan Madinah) dapat membantu menghubungkan antara teks al-Qur’an dan lingkungan tempat
teks tersebut muncul. Dibutuhkan pengetahuan yang mendetail tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam hidup Nabi, baik di Mekah maupun diMadinah. Peristiwa-peristiwa besar
seperti Isra’ Mi’raj, hijrahnya Nabi, serta peperangan antara orang Islam dengan para
pengingkar Nabi memang disebutkan dalam al-Qur’an. Hanya saja al-Qur’an tidak
menceritakannya secara rinci. Untuk itu, penguasaan terhadap sejarah kehidupan Nabi sangat
diperlukandalam memahami makna ayat
Mu’ammar Zayn Qadafy menyamakan konteks sosio-historis dengan sabab nuzul
makro. Ini dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul Buku Pintar Sababun Nuzul, dari
Mikro hingga Makro. Ia mendefinisikan sabab nuzul makro berdasarkan beberapa istilah
kunci yang diungkapkan oleh para pakar ilmu al-Qur’an dan tafsir yang menggambarkan
sabab nuzul makro, seperti peristiwa besar , latar belakang sejarah, situasi bangsa Arab yang
menarik.
Menurut Qadafy, definisi yang dapat mendeskripsikan hakikat sabab nuzul makro
adalah konteks sosio-historis di sekitar turunnya ayat-ayat al-Qur’an .Lebih lanjut ia jelaskan
bahwa kata sosial di sini tidak dimaksudkan untuk ilmu tertentu (sosiologi) ataupun interaksi
tertentu . Sosial di sinimerupakan lawan dari kata eksak (ilmu alam), maka tercakuplah ke
dalamnya kajian sosiologis, antropologis, psikologis, kultural, politis, dan yang lainnya.
Tema-tema yang dikaji tidak terbatas pada penelitians sosiologis saja, seperti golongan sosial,
jenis-jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, peranan dan status sosial, serta
hal lain yang berkaitan dengan pola sosial objek (dalam hal ini masyarakat) yang dikaji,akan
tetapi juga meliputi segala hal yang terpikirkan dalam kajian atas kehidupan manusia.
Adapun kata historis tidak lantasmenunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi dimasa
lampau sebelum ayat diturunkan. Kataitu menekankan arti keterkaitan suatu objekpada ruang
dan waktu tertentu. Kemudiankata ‫ لوح‬merujuk kepada dua batasan, yakni tema dan waktu.
Sebagai batasan tema, kata‫( لوح‬di sekitar, tentang, kira-kira)mengharuskan adanya hubungan
antara konteks sosio-historis yang dimaksud,dengan isi ayat al-Qur’an yang ditafsirkan.
Kebudayaan masyarakat Arab baiksebelum dan sesudah Islam datang juga
berpengaruh pada aspek kebahasaan al-Qur’an. Perumpamaan-perumpamaan yang digunakan
al-Qur’an sangat bersifat Arab. Landasan teoritis dari penjelasan tentang pengaruh sistem
pengetahuan Arab terhadap gaya bahasa al-Qur’an adalah posisial-Qur’an yang oleh Nashr
Hamid Abu Zaiddisebut dengan produk budaya. Menurutnya,Tuhan sebagai penutur asli al-
Qur’an tidak bisa diteliti, tapi firman-Nya yang mewujudd alam bahasa manusia terbuka
untuk dikaji dengan pendekatan ilmiah apa pun. Ketika disebutkan ada unsur kemanusiaan
dalam teks al-Qur’an, bukan berarti bahwa al-Qur’an adalah buatan manusia. Al-Qur’an
hanyalah produk budaya yang memiliki relasi dialektis dengan teks di sekitarnya.

Beberapa gaya bahasa al-Qur'an yang secara metaforis menjalin dialektika dengan
konteks sosio-historis Arabia pra-Islam. Di antaranya adalah:

1. Majaz (Metafora)
Menurut Abd al-Qahir al-Jurjani (w. 471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah
kata yang mengacu kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan
makna lain disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan
makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar karena ada
alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari yang leksikal menuju yang
literer, atau dari yang denotatif menuju yang konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.
Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 19:
َ َ‫يَجْ َعلُونَ أ‬
‫صابِ َعهُ ْم فِي آ َذانِ ِه ْم‬
Mereka menyumbat telinganya dengan (anak) jarinya
Kata "ashabi'" di atas secara leksikal maknanya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi
orang-orang munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi
guntur yang mematikan. Tetapi yang dimaksud "ashabi'" dalam ayat tersebut adalah sebagian
dari jari-jari, bukan semuanya. Pemahaman semacam ini berdasarkan konsep teori di atas
disebut dengan majaz, salah satu alasannya adalah menyampaikan ungkapan dalam bentuk
plural (jama') namun yang dimaksudkan adalah sebagian saja.
Andaikata itu pun bisa terjadi, yaitu menutup telinga dengan semua jarinya pasti
dilakukan karena mereka benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Situasi ini
digambarkan oleh al-Qur'an karena pada awal misi kenabian Muhammad di Mekkah banyak
orang yang menyatakan "beriman" kepada Nabi, tetapi mereka masih menyembunyikan
kekafiran di dalam hatinya (munafik). Kondisi keyakinan mereka dipaparkan begitu panjang
lebar dalam al-Qur'an, khususnya dalam surat al-Baqarah.
Kalau kita mengamati secara cermat ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an maka akan
ditemukan beberapa ayat yang menggunakan bentuk penghalusan bahasa (eufimisme).
Barangkali ungkapan tersebut muncul karena ada beberapa faktor, baik yang bersifat historis
maupun bersifat etis. Konsekuensi logis dari ungkapan itu akan menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para mufassir. Karena kebanyakan gaya bahasa eufimisme berimplikasi
menjadi sebuah bahasa yang multi interpretatif (ambigu). Misalnya saja dalam surat al-Nisa'
ayat 43 disebutkan:
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا‬َ ‫أَوْ ال َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
Atau kamu menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air maka
bertayamumlah dengan tanah yang suci.
Secara leksikal kata "laamastum" berarti saling menyentuh, tetapi jika melihat konteks
keseluruhan ayat maka yang dimaksudkan dengan "laamastum" menurut jumhur ulama
adalah berhubungan badan (jama'tum), sekalipun ada sebagian berpendapat lain, yaitu
menyentuh.
Penggunaan majaz pada ayat di atas sangat dimaklumi. Sebab secara geografis,
keadaan alam Arabia yang kering dan tandus sangat memaksa orang-orang Arab untuk hidup
berpindah-pindah dari satu wadi ke wadi yang lain (nomad) guna memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebiasaan ini membuka peluang yang cukup besar akan terjadinya peperangan
antara satu kabilah dengan kabilah lainnya.
Sikap permusuhan antara kabilah ini menyebabkan munculnya sifat buruk, yaitu
mereka tidak menyukai anak perempuan karena tidak bisa diajak berperang dan hidup keras.
Mereka berharap anak keturunan laki-laki yang banyak untuk regenerasi dalam kesatuan
kabilah. Karena hanya dengan itu kekuatan dan kehormatan kabilah dapat terjaga.

2. Tasybih (Simile)
Secara etimologis tasybih berarti penyerupaan. Sedangkan secara terminologis adalah
menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan dalam hal tertentu  Para
sastrawan Arab menjelaskan bahwa tasybih merupakan elemen vital dalam karya sastra.
Menurut mereka tasybih memiliki empat unsur utama, yaitu:
 sesuatu yang diperbandingkan (al-musyabbah)
 obyek perbandingan (al-musyabbah bih)
 alasan perbandingan (wajh al-syibh)
 perangkat perbandingan (adat al-tasybih).
Sedangkan al-musyabbah dan musyabbah bih disebut tharafan al-tasybih, yaitu dua
pilar yang harus ada dalam ungkapan kalimat yang berbentuk tasybih. Apabila salah satu
yang muncul, apakah itu musyabbah atau musyabbah bih maka pembahasan ini bukan
termasuk kategori tasybih, melainkan masuk pada kajian isti'arah. Karena itu, konsep majaz,
isti'arah, dan tasybih mempunyai kaitan dan saling berhubungan.
Ahmad Badawi mengatakan, tasybih berfungsi memperjelas makna serta memperkuat
maksud dari sebuah ungkapan. Sehingga orang yang mendengarkan pembicaraan bisa
merasakan seperti pengalaman psikologis si pembicara. Dalam persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan eskatologis al-Qur'an seringkali digunakan bahasa metaforis yang
diungkapkan dalam bentuk gaya bahasa simile (tasybih).
Karena bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa mempertemukan antara ikatan
emosional dan pemahaman kognitif sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat
dan merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang teks. Contoh, bagaimana al-Qur'an
menggambarkan hari kiamat? Di situ ditampilkan suara derap pasukan berkuda yang gagah
yang siap melumatkan musuh dalam sekejap. Ada lagi al-Qur'an menggambarkan ketika
suatu saat nanti bintang-gemintang saling bertabrakan yang satu menghancurkan yang lain
sehingga memunculkan suara gemuruh yang tak terpikirkan dan manusia pun lari tunggang
langgang karena ketakutan.
Menurut analisa psiko-linguistik, metafor dan bahasa ikonografik yang disajikan al-
Qur'an sangat efektif untuk menghancurkan kesombongan masyarakat jahiliyah Arab kala itu
yang tingkat sastranya dikenal sangat tinggi
Perhatikan firman Allah yang melukiskan peristiwa hari kiamat dalam surat al-Qari'ah
ayat 1-5:
‫ا ُل‬uuَ‫ونُ ْال ِجب‬uu‫ث ۝ َوتَ ُك‬ِ ‫و‬uuُ‫اش ْال َم ْبث‬ ْ u‫ونُ النَّاسُ َك‬uu‫وْ َم يَ ُك‬uuَ‫ ةُ ۝ ي‬u‫ار َع‬
ِ ‫الفَ َر‬u ِ َ‫ك َما ْالق‬
َ ‫ار َعةُ ۝ َو َما أَ ْد َرا‬
ِ َ‫ار َعةُ ۝ َما ْالق‬
ِ َ‫ْالق‬
‫وش ۝‬ ُ ْ ْ
ِ ‫َكال ِعه ِْن ال َم ْنف‬
Hari kiamat
Apakah hari kiamat itu?
Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
Pada hari itu manusia seperti kupu-kupu yang bertebaran.
Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui seperti apa hari kiamat itu? Masyarakat Arab
yang menjadi sasaran pertama al-Qur'an diturunkan mereka berhati keras, berwatak kaku,
berpikiran sempit yang terkungkung oleh pengunungan dan padang pasir yang gersang, serta
tidak ada tanaman yang tumbuh maka untuk meneguhkan keyakinan mereka bahwa
kehidupan di dunia adalah fana Allah menggambarkan hari kiamat seperti kupu-kupu yang
bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Dalam keyakinan kita, sebagai seorang muslim tentu hari kiamat tidak sama persis
seperti illustrasi dalam ayat-ayat di atas. Tetapi hal itu perlu dipahami, bahwa peristiwa-
peristiwa ghaib seringkali diilustrasikan dengan sesuatu yang konkrit karena konteks
masyarakat yang dihadapi Nabi memiliki karakter dan watak yang kaku. Karena latar
demikian itu, maka hari kiamat dipersamakan dengan sesuatu yang nampak oleh penglihatan
mereka. Dengan maksud agar mereka bisa membaca sehingga tumbuh keyakinan kuat
terhadap ajaran yang dibawa Nabi SAW.

3. Isti'arah (Hipalase)
Para ahli bahasa, termasuk kritikus sastra meski banyak memberikan definisi isti'arah
berbeda-beda, namun inti yang dimaksud saling mendekati. Misalnya definisi yang
dikemukakan Ibn Qutaibah (w. 276 H), isti'arah adalah peminjaman kata untuk dipakai dalam
kata yang lain karena ada beberapa faktor. Pada lazimnya, orang Arab sering meminjam kata
dan menempatkannya untuk kata lain tatkala ditemukan alasan-alasan yang memungkinkan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan firman Allah surat Ibrahim ayat 1:
‫يز ْال َح ِمي ِد‬
ِ ‫اط ْال َع ِز‬ ِ ‫ور بِإ ِ ْذ ِن َربِّ ِه ْم إِلَى‬
ِ ‫ص َر‬ ُّ َ‫اس ِمن‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫ت إِلَى الن‬ َ ‫ ِكتَابٌ أَ ْنز َْلنَاهُ إِلَ ْي‬.‫الر‬
َ َّ‫ك لِتُ ْخ ِر َج الن‬

Alif, laam raa. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan
mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Dalam ayat di atas terdapat tiga kata yang dipinjam yaitu:
 al-dzulumat (gelap gulita),
 al-nur (cahaya),
 al-shirat (jalan).
Kata "al-dzulumat" dipinjam dari kata "al-kufr" (kekufuran), asalnya kekufuran
diserupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada cahaya atau petunjuk.
Kemudian kata "al-kufr" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-
dzulumat". Juga kata "al-nur" dipinjam dari kata "al-iman" (keimanan), asalnya keimanan
diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan. Kemudian kata "al-
iman" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-nur".
Dan kata "al-shirat" dipinjam dari kata "al-Islam" (keislaman), asalnya jalan
diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara atau petunjuk. Kemudian kata
"al-Islam" dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata "al-shirat".
Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata "al-dzulumat" dipahami sebagai
kekufuran, kata "al-nur" dipahami dengan keimanan, dan kata "al-shirat" dipahami dengan
keislaman.
Secara logika, diturunkannya al-Qur'an untuk manusia bukan karena mereka supaya
keluar dari suasana gelap gulita menuju cahaya untuk memperoleh jalan. Al-Qur'an adalah
wahyu sebagai pedoman hidup manusia, ia diturunkan oleh Allah agar manusia bisa keluar
dari kekufuran menuju keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan dalam syari'at Islam.
Banyak ditemukan dalam al-Qur'an, misalnya kehadiran Nabi, al-Qur'an, keimanan,
bahkan Allah sendiri sering disimbolkan dengan kata al-nur (cahaya). Secara psikologis,
untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang Arab pra-Islam yang sudah memiliki
keyakinan paganisme, yaitu menyembah berhala maka al-Qur'an sangat memperhatikan
aspek psikis mereka. Mereka terbiasa hidup nomad, berwatak kasar, dan tuhan yang
disembah adalah berhala yang nampak oleh penglihatan. Karena itu, ketika al-Qur'an
menyampaikan kebenaran, lebih-lebih yang terkait dengan persoalan ghaib (abstrak) maka al-
Qur'an menggunakan bahasa metaforik dan simbolik.
Menurut kritikus sastra bahwa dalam beberapa karya sastra jahili bahasa yang
dituangkan memiliki nilai imajinasi yang tinggi. Faktor ini muncul karena para sastrawan
jahili terbiasa hidup di pegunungan, jauh dari sumber air, dan kondisi tanah yang tidak
menguntungkan maka untuk menggapai kehidupan yang menyenangakan mereka
mengeksploatasikan melalui gubahan-gubahan karya sastra, sekalipun itu hanya dalam
hayalan. Munculnya gaya bahasa tasybih, majaz, istia'rah, dan sebagainya menjadi sarana
untuk meningkatkan kualitas imajinasi yang dikembangkan. Sehingga sangat beralasan,
apabila al-Qur'an menyampaikan pesan moral kepada mereka dengan menggunakan gaya
bahasa yang sudah mereka pahami.

4. Kinayah (Mitonimie)
Al-Mubarrad (w. 258 H) merupakan sarjana bahasa yang melakukan sistematisasi
mengenai konsep kinayah. Dalam karyanya "al-Kamil", al-Mubarrad menguraikan tiga model
kinayah beserta fungsinya:
1. menjadikan sesuatu lebih umum
2. memperindah ungkapan
3. untaian pujian
Namun al-Mubarrad tidak banyak mengulas pada model pertama dan ketiga, ia lebih
menitikberatkan pada model yang kedua, yaitu kinayah sebagai penyempurna keindahan
ungkapan, khususnya yang diambil dari ayat-ayat al-Qur'an.
Kinayah adalah mengungkapan kata, tetapi yang dimaksud bukan makna dari kata itu,
sekalipun bisa dibenarkan kalau dipahami sesuai dengan makna dasarnya.
Misalnya dalam pribahasa Arab:
‫اليد الطويلة‬
Tangan panjang
Di kalangan orang Arab sangat popular istilah "al-yad al-thawilah" untuk menyebut
(sebagai kinayah) kepada seseorang yang suka memberi atau membantu. Tetapi kalau "al-
yad al-thawilah" dipahami sebagai tangan yang panjang, sesuai dengan makna dasarnya juga
tidak salah, inilah kinayah.
Perhatikan pula dalam surat al-Zukhruf ayat 18:
‫ص ِام َغ ْي ُر ُمبِي ٍن‬ َ ‫أَ َو َم ْن يُنَ َّشأ ُ فِي ْال ِح ْليَ ِة َوهُ َو فِي ْال ِخ‬
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan
berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.
Menurut Fadlal Hasan, ayat tersebut diturunkan kepada Nabi yang dilatarbelakangi
oleh kebiasaan orang Arab jahilayah yang membenci anak-anak perempuan dan
menguburnya hidup-hidup. Selain itu, mereka juga menyangka bahwa malaikat itu anak
perempuan Allah.
Kemudian ayat tersebut diturunkan sekaligus memperkuat kebodohan dan
kedangkalan pemikiran mereka. Dalam ungkapan ayat di atas "man yunasysya'u fil
hilyati" (orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan) adalah kinayah bagi seorang
perempuan. Karena yang sering berhias dan berdandan, serta tidak memiliki kekuatan dalam
pertengkaran adalah orang perempuan.
Jadi, konteks ayat di atas sebagai kinayah bagi orang perempuan Arab jahili yang
memiliki kebiasaan berhias diri dan tidak punya kekuatan, sekalipun sifat-sifat itu juga
terdapat pada perempuan zaman sekarang.
Tauriyah (menampakkan makna lain)
Tauriyah secara bahasa adalah menyembunyikan sesuatu dan menampakkan yang
lain. Sedangkan secara istilah adalah menyampaikan bahasa atau kata dalam bentuk
tunggal (mufrad), tetapi ia memiliki dua makna (ambigu), yaitu makna dekat (denotaif) dan
makna jauh (konotatif), tetapi yang dimaksud adalah makna konotatifnya.
Misalnya dalam surat al-An'am ayat 60:
‫ا‬uu‫رْ ِج ُع ُك ْم ثُ َّم يُنَبِّئُ ُك ْم بِ َم‬u‫ ِه َم‬u‫ًمًّى ثُ َّم ِإلَ ْي‬uœ u‫ ٌل ُم َس‬u‫ضى أَ َج‬ ِ َ‫َوه َُو الَّ ِذي يَتَ َوفَّا ُك ْم بِاللَّ ْي ِل َويَ ْعلَ ُم َما َج َرحْ تُ ْم بِالنَّه‬
َ ‫ار ثُ َّم يَ ْب َعثُ ُك ْم فِي ِه لِيُ ْق‬
ُ ُ ْ
َ‫كنت ْم تَ ْع َملون‬ ُ
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang
kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk
disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali
lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.
Pada kata "jarahtum" memiliki dua makna:
 kamu kerjakan, sebagai makna dekat atau denotatif
 melakukan dosa-dosa, sebagai makna jauh atau konotatif.
Tetapi yang dikehendaki dalam ayat di atas adalah makna yang kedua, yaitu
melakukan dosa-dosa. Karena dalam konteks kalimat tersebut terkait dengan umur dan
pertanggungjawaban amal perbuatan, sehingga kata "jarahtum" lebih tepat kalau dipahami
melakukan dosa-dosa.
Pemahaman seperti ini tidak cukup dengan membaca terjemahnya saja, tetapi
penguasaan terhadap sebab-sebab turunnya ayat, keterkaitan antara maksud kalimat yang satu
dengan lainnya, dan ketajaman dzauq sangat menetukan. Dan masih banyak contoh lainnya,
terutama yang berkaitan dengan al-mutasyabihat dan metafisika

II.D Bahasa Etik Al-Qur’an: Al-Qur’an dan Wanita

Di Al-Qur’an disebutkan wanita baik dan juga buruk. Yang buruk atau yang masuk
neraka bisa jadi pelajaran dan hikmah untuk kita agar dapat mengawasi diri agar tidak
menirukannya. Dan juga wanita baik dapat menginspirasi kita agar dapat masuk surga,
Dua kelompok wanita yang disebutkan dalam Al-Qur’an, di antaranya sebelum zaman
Rasulullah dan saat zaman Rasulullah. Wanita yang ada sebelum zaman Rasulullah terdiri
atas, istri Adam (Hawa, QS. 7:19), istri Nuh dan istri Luth (QS. 66:10), istri Ibrahim (Sarah,
QS. 11: 71-72), istri Ibrahim (Hajar, QS. 14:37), istri Al Azis (sebagian riwayat menyebut
Zulaikha, QS. 12: 21), istri Imran (QS. 3: 35), istri Zakaria (QS. 19: 8), istri Fir’aun (Asiyah
binti Muzahim, QS. 66: 11), ibunda Musa (QS. 20: 38), saudara perempuan Musa (QS. 20:
40), dua perempuan yang bertemu Musa (QS. 28: 23-26), pemimpin negeri Saba’ (Balqis,
QS. 27: 44), dan Maryam putri Imran (QS. 66: 12) Sedangkan wanita yang ada pada zaman
Rasulullah adalah Istri Rasulullaah (Aisyah binti Abu Bakar ra QS. 24: 11-16), Istri
Rasulullaah (Zainab binti Jahsy ra, QS. 33: 37-38), Perempuan yang mengajukan gugatan
kepada Rasulullaah (Khaulah binti Tsa’labah, QS. 58:1), istri Rasulullaah (Hafshah binti
Umar ra, QS. 66:3), dan istri Abu Lahab (QS. 111: 4)
Terdapat lima tipe dalam perempuan. Kelima tersebut terdiri atas tipe penghasut,
tukang fitnah, biang gosip seperti Hindun dan istri Abu Lahab, tipe penggoda seperti
Zulaikha, tipe pengkhianat dan ingkar dengan suami seperti Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth,
tipe pejuang seperti Asiyah, serta tipe menjaga kesucian seperti Maryam. Disisi lain terdapat
empat wanita yang dijamin masuk surga. Hal tersebut berdasarkan HR. Baihaqi yang
berbunyi “sebaik-baik perempuan muslimah surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam, dan
Asiyah.”
beberapa kisah wanita dalam Al-Qur’an, diantaranya Maryam dan Asiyah. Kisah
kehidupan Asiyah tercatat dalam QS. Al-Qashash: 9 yang berbunyi, “Dan berkatalah istri
Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya,
mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka
tiada menyadari.” Lalu terdapat pula dalam QS. At-Tahrim ayat 11 yang berbunyi, “Ya
Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku
dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.”
Sedangkan kisah Maryam Allah abadikan namanya menjadi sebuah surat dalam
Alquran, yaitu Surat Maryam. Allah SWT memujinya dan menggambarkan Maryam sebagai
seorang wanita yang suci. Allah jugalah yang memilihnya sebagai wanita terbaik di dunia.
Allah berfirman: "Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, "Wahai Maryam,
sesungguhnya Allah telah memilihmu dan menyucikanmu dan melebihkanmu di atas segala
wanita di seluruh alam," (QS Ali Imran ayat 42).
Maryam dibesarkan dalam keluarga yang saleh dan religius seperti ibunya. Ibunda
Maryam bernazar kepada Allah mempersembahkan apa yang ada di rahimnya untuk menjadi
penyembah Allah dan mengikuti semua perintah Allah. Maryam kemudian dititipkan dalam
pengasuhan Nabi Zakaria. Nabi Zakaria belum dikaruniai anak di usianya yang sudah menua.
Nabi Zakaria membangun sebuah kamar khusus untuk Maryam di rumahnya dan Maryam
menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT. Maryam tumbuh menjadi gadis
dengan perilaku baik dalam asuhan Nabi.
Seluruh surat dalam Alquran dinamai menurut namanya dan Maryam adalah satu-
satunya wanita yang mendapat kehormatan itu (karena tidak ada surat lain dengan nama
wanita selain nama Maryam). Dia juga satu-satunya wanita yang namanya disebutkan dengan
jelas dalam Alquran. Sedangkan wanita terhormat dan status besar lainnya hanya disebutkan
sebagai referensi. Nama Maryam disebutkan secara eksplisit dalam Alquran sebanyak 34 kali
dalam 32 ayat, dan itu disebutkan 11 kali tanpa dikaitkan dengan putranya, Nabi Isa AS.
Maryam dikenal karena kesucian dan keperawanannya. Bahkan setelah ia
mengandung dan melahirkan Nabi Isa, Allah memberikan mukjizat. Nabi Isa yang masih bayi
dapat berbicara dan menjelaskan tentang kesucian ibunya sehingga membantah tuduhan
orang-orang saat itu mengenai kehamilan Maryam tanpa seorang suami. Maryam sosok yang
kuat dalam agamanya. Dia bahkan menanggung banyak kesulitan, terutama ketika dia hamil,
saat melahirkan, dan ketika dia menyusui putranya.
Maryam merupakan sosok teladan bagi semua wanita Muslim karena dia
mempertahankan karakternya yang sempurna sepanjang hidupnya. Allah mengangkat
statusnya dan memilihnya dari banyak wanita di seluruh dunia.  Allah memberkatinya dengan
beberapa mukjizat, melindunginya dan membelanya dari tuduhan dan penistaan. Maryam
menunjukkan pengabdian dan kesetiaannya yang tulus kepada Allah melalui kebajikan dan
perilakunya yang sempurna. Dia juga mengungkapkan pengabdiannya yang mendalam dan
tulus kepada-Nya yang Mahakuasa melalui tekad, pengabdian, dan penyerahan tanpa syarat
kepada Kehendak-Nya. Dia menempatkan semua harapan dan kepercayaannya hanya pada
Allah.
Hingga Allah memberi rahmat dan pertolongan-Nya, dan mengubah semua kesulitan
menjadi kebaikan dan keindahan. Dia hamil dan melahirkan anaknya sendirian. Dia
menunjukkan kesabaran dan keyakinan penuh kepada Allah dan menanggung tuduhan orang-
orangnya. Karenanya, Allah meringankan bebannya, mendukungnya, dan membantah
tuduhan apa pun terhadapnya. 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Konteks adalah situasi yang di dalamnya suatu peristiwa terjadi, atau situasi yang
menyertai munculnya sebuah teks, sedangkan kontekstual artinya berkaitan dengan konteks
tertentu. Terminologi kontekstual sendiri memiliki beberapa definisi yang menurut Noeng
Muhadjir, setidaknya terdapat tiga pengertian berbeda, yaitu:

1) berbagai usaha untuk memahami makna dalam rangka mengantisipasi problem-problem


sekarang yang biasanya muncul

2) makna yang melihat relevansi masa lalu, sekarang dan akan datang; di mana sesuatu akan
dilihat dari titik sejarah lampau, makna fungsional sekarang, dan prediksi makna yang
relevan di masa yang akan datang;

Ada empat gaya bahasa di dalam Al Qur’an yang secara metaforis menjalin dialektika dengan
konteks sosio-historis Arabia pra-Islam, yaitu : Majaz ( metafora) , Tasybih (simile), Isti’aroh
,dan Kinayah .

http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:OzPxKA68HVMJ:ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/maghza/article/view/150
6/1131+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
Rekonstruksi sejarah Al-Qur’an: taufik Adnan Amal

Anda mungkin juga menyukai