Anda di halaman 1dari 27

METODE PENAFSIRAN KONTEKSTUAL

Makalah ini Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Tafsir

Dosen Pengampu:
Dr. Zakaria Husin Lubis, MA.

Disusun Oleh:
Dede Haris
NIM: 22510036
Muh Zulkifli
NIM: 222510052

MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


PASCASARJANA UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA
1444 H/ 2023 M.

0
ABSTRAK

Dewasa ini, kita dihadapkan pada perubahan kondisi di masyarakat dalam berbagai aspek. Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan transformasi budaya menjadi pemicu utama perubahan tersebut. Hal
itu menyebabkan adanya pergeseran pemahaman tentang nilai-nilai antara nilai di masa lalu dan masa kini.
Selain itu, ditinjau dari aspek agama, relevansi antara dalil-dalil agama dengan kondisi saat ini dinilai
kurang berperan aktif, sehingga hal tersebut menjadi stimulus bagi intelektual muslim masa kini untuk
menjawab tantangan tersebut. Metodologi yang dirumuskan intelektual muslim menjadi fokus kajian dalam
tulisan ini. Mereka membuat suatu metodologi yang berfokus pada aspek sosio-historis di masa awal di
mana Al-Qur’an berinteraksi dengan kondisi sekitar (makro I), kemudian dikontekstualisasikan dengan
masa kini (makro II). Tulisan ini diharap dapat menjadi pemicu kepekaan untuk mengkaji lebih jauh lagi
mengenai penafsiran kontekstual.

Kata Kunci: Eticho-legal, makro, kontekstualisasi

ABSTRACT

Today, we are faced with changing conditions in society in various aspects. The rapid development of science and
cultural transformation are the main triggers for this change. This has led to a shift in understanding of values
between past and present values. In addition, in terms of religious aspects, the relevance between religious
postulates and current conditions is considered to be less active in playing an active role, so it is a stimulus for
today's Muslim intellectuals to answer these challenges. The methodology formulated by Muslim intellectuals is
the focus of study in this paper. They created a methodology that focused on the socio-historical aspects of the
early days in which the Qur'an interacted with the surrounding conditions (macro I), then contextualized with the
present (macro II). This paper is expected to be a trigger for sensitivity to examine further contextual
interpretation.

‫ وقد أدى ذكل اىل‬.‫ التطور الرسيع للعلوم والتحول الثقايف يه احملفزات الرئيس ية لهذا التغيري‬.‫ نواجه ظروفا متغرية يف اجملمتع يف خمتلف اجلوانب‬، ‫اليوم‬
‫ تعترب الصةل بني املسلامت ادلينية والظروف احلالية أقل‬،‫ من حيث اجلوانب ادلينية‬،‫ ابلضافة اىل ذكل‬.‫حتول يف فهم القمي بني القمي املاضية واحلالية‬
‫ املهنجية اليت صاغها املثقفون املسلمون يه حمور‬.‫ ذلكل فهي حافز للمثقفني املسلمني اليوم للجابة عىل هذه التحدايت‬،‫نشاطا يف لعب دور نشط‬
‫ لقد ابتكروا مهنجية ركزت عىل اجلوانب الاجامتعية والتارخيية للايم الوىل اليت تفاعل فهيا القرأن مع الظروف احمليطة (اللك‬.‫ادلراسة يف هذه الورقة‬
.‫ من املتوقع أن تكون هذه الورقة حمفزا للحساس ية دلراسة املزيد من التفسري الس يايق‬.)‫ مث وضعها يف س ياقها مع احلارض (اللك الثاين‬، )‫الول‬

1
A. Pendahuluan
Dinamika masyarakat dalam berbagai aspek selalu mengalami perkembangan. Ditinjau dari
berbagai sudut pandang, hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam latar belakang seperti adanya
transformasi budaya dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan berbagai latar belakang
tersebut, menjadikan posisi Al-Qur’an-sebagai kitab petunjuk-dituding mengalami kejumudan dan
dinilai kurang relevan dengan kontek zaman.
Ditinjau dari aspek sejarah, Al-Qur’an mampu berdialog dan akrab dengan konteks saat itu,
dengan perantara nabi sebagai pembawa risalah yang mempunyai otoritas dalam menjelaskan
kandungan isi Al-Qur’an. Bahkan di masa setelahnya, Al-Qur’an di zaman pra-modern menjadi
inspirasi cendikiawan muslim untuk melahirkan berbagai macam karya tafsir. Hal tersebut
membuktikan bahwa upaya penarikan makna teks Al-Qur’an tidak mengenal kata final. Dengan
demikian, Al-Qur’an membuka jalan selebar-labarnya untuk dipahami dan dikonteksualisasikan
berdasarkan paradigma baru yang muncul di tengah masyarakat.
Dalam menghadapi paradigma baru yang muncul di masyarakat, cendikiawan muslim saat ini
berusaha merumuskan berbagai metodologi penafsiran yang relevan dengan konteks saat ini. Di
antara cendikiawan muslim tersebut adalah Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Abdullah Saeed
dan lain-lain. Para kontekstualis tersebut berusaha melakukan rekontruksi terhadap penafsiran Al-
Qur’an dengan tujuan melahirkan penafsiran yang dipahami secara holistik sehingga Al-Qur’an
mampu berdialog dan menjawab berbagai problem di tengah masyarakat.

B. Metode Penelitian
Metode ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), dilakukan dengan cara
mengumpulkan berbagai sumber catatan seperti buku ataupu artikel. Pada penelitian ini, peneliti
mengumpulkan informasi terkait tema pembahasan.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Wahyu dan Kontekstualisasi
Kontekstualis seperti Abdullah Saeed memiliki pandangan khas tentang pewahyuan.
Menurutnya, pewahyuan bisa dipahami terjadi dalam empat level yang berbeda. Pertama, level
ghaib. Dalam hal ini, teologi muslim menyatakan bahwa Tuhan pertama kali mewahyukan Al-
Qur’an ke lauh mahfudz dan kemudian ke langit. Dari sana, Ruh (dipahami sebagai malaikat
penyampai wahyu) membawa pewahyuan tersebut kepada Nabi. Sebelum pewahyuan sampai
kepada Nabi, ia berada di level gaib yang melampaui pemahaman manusia. Apa pun “kode” atau
“bahasa” yang digunakan untuk proses pewahyuan pada level ini tidak bisa diakses oleh manusia
biasa dan hanya sedikit yang bisa diperoleh dengan memahami secara spekulatif mengenai mode
dan kodenya.1
Kedua, hati Nabi Muhammad. Sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur’an, beliau
kemudian mengucapkannya dalam bentuk bahasa Arab, dan untuk pertama kalinya dalam
konteks kemanusiaan. Ucapan beliau ihwal pewahyuan dalam bahasa Arab juga seharusnya
dinisbahkan kepada Ruh dan akhirnya kepada Tuhan. Tuhan-lah yang memungkinkan Nabi
Muhammad mengekspresikan apa yang diwahyukan ke dalam hatinya dalam bentuk apa pun,
jika ada, termasuk dalam bahasa Nabi sendiri, dan kemudian menjadikan Al-Qur’an berbahasa
Arab itu sebagai sebuah “mukjizat”, sesuatu yang diakui oleh orang-orang di sekitar Nabi sebagai
sesuatu yang melampaui kualitas sastrawi mereka. Isu pentingnya adalah bahwa Al-Qur’an hadir
dan ada untuk kita (umat manusia) dalam bahasa manusia, yang menyoroti masalah
kemanusiaan yang berhubungan dengan kita, dan memberi kita kemampuan untuk
berhubungan dengannya. Hal ini mungkin menjadi argumen yang cukup untuk secara

1
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab, (Bandung: Mizan, 2016), cet.
I, h. 97.
2
berkelanjutan mengaitkannya dengan kehidupan manusia dan konteksnya yang terus berubah.
Karena itu, kebutuhan untuk menafsirkannya memiliki peran mediasi yang penting. 2
Ketiga, aktualisasi. Pewahyuan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari umat Islam.
Melalui cara ini, ia menjadi bagian yang vital dan hidup dalam sebuah komunitas yang hidup.
Proses dan keterlibatan pewahyuan terhadap kehidupan sosial bisa diistilahkan sebagai
aktualisasi pewahyuan.3
Keempat, aplikasi dalam konteks saat ini (kontekstualisasi). Meski berbagai teks Al-Qur’an
dinyatakan final dan lengkap setelah wafatnya Nabi, level kempat ini melibatkan dua dimensi
pewahyuan, yaitu:4
a. Komunitas-komunitas muslim selanjutnya mengelaborasi apa yang dimaksud dan
dikehendaki oleh wahyu. Setiap komunitas selanjutnya berusaha memasukkan apa yang
mereka anggap sebagai makna Al-Qur’an ke dalam kehidupan mereka. Karena kegiatan
penafsiran terus berlanjut, banyak komunitas penafsir muncul di kalangan umat Islam,
dan masing-masing membawa elemen-elemen pengetahuannya atas wahyu. Apabila
semua itu dihimpun, komunitas penafsir ini mampu berkontribusi ke arah pemahaman
Al-Qur’an yang lebih baik.
b. Dari sudut pandang Al-Qur’an, Tuhan selanjutnya memberikan panduan kepada
mereka yang sadar akan kehadiran-Nya dan yang berusaha mempraktikkan firman-Nya
di dalam kehidupan mereka. Meski dimensi ini tidak bersifat linguistik, ia menjadi
diketahui karena interaksi terus-menerus dengan bentuk linguistik wahyu di dalam Al-
Qur’an dan elaborasi yang dilakukan oleh generasi pertama umat Islam.
Hal ini berarti bahwa wahyu dalam pemahamannya yang tidak langsung (dalam perspektif
inspirasi tidak langsungnya), ketimbang dalam pemahaman linguistiknya, ada;ah sesuatu yang
berproses melalui usaha paea ulama. Pemahaman Al-Qur’an yang terakumulasi sepanjang waktu
ini berlanjut menjelaskan teks Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammadpada
awal abad ke-7 M. dengan perubahan konteks, berbagai pemahaman dan makna yang baru
bermunculan dan kemudian ditambahkan ke dalam khazanah pemahaman yang telah
terkumpul itu. karena mereka diadopsi oleh umat Islam, mereka memiliki pengaruh dan otoritas
tertentu. Karena itu bagian besar dari tafsir-tafsir Al-Qur’an baru yang muncul di kalangan umat
Islam saat ini, dan yang terus diadopsi umat Islam, bisa dipandang sebagai bagian dari tradisi
tafsir Al-Qur’an yang berpengaruh dan terus tumbuh, serta sebagai pengembangan tak langsung
dari wahyu aslinya.
Proses kontekstualisasi melibatkan dua tugas utama; pertama, berusaha mengidentifikasi
pesan-pesan dasar yang muncul dari Al-Qur’an dari proses penafsirannya, dan kemudian,
mengaplikasikan pesan-pesan itu ke konteks-konteks lain sesudahnya. Penentuan tentang apa
isi pesan itu dilakukan berdasarkan pemahaman akan bagaimana teks Al-Qur’an itu dipahami
dan diaplikasikan dalam konteks aslinya. Pesan tersebut kemudian diterjemahkan ke konteks
saat ini, sembari tetap memperhatikan relevansi pesan tersebut, baik atas konteks asli yang awal
maupun konteks baru.5
Proses penerjemahan pesan ini ke masa sekarang memerlukan pengetahuan yang luas atas
konteks makro yang asli dan konteks makro yang kontemporer. Hal ini mencakup pengetahuan
mengenai berbagai lembaga, nilai, norma, wacana, gagasan, praktik dan kerangka yang berkaitan
dengan topik spesifik yang sedang dibahas. Kesadaran akan konteks-konteks makro ini
memungkinkan sang penafsir untuk menumbuhkan pemahaman akan berbagai hal yang mirip

2
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, 98.
3
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, 98.
4
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, 98.
5
MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran Abdullah
Saeed”, jurnal Millati, vil. 1, no. 1, 2016, h. 14.
3
dan yang berbeda antara konteks awal abad ke-7 dan konteks kini abad ke-21 M. Pemahaman Al-
Qur’an secara kontekstual bergerak bolak-balik antara konteks-konteks tersebut sepanjang
proses penafsirannya. Dengan demikian, pemahaman akan konteks pewahyuan Al-Qur’an pada
awal abad ke-7 M. ini, yang dibarengi kesadaran akan bagaimana konteks mutakhir abad ke-21
M., memungkinkan penafsiran akan teks-teks Al-Qur’an yang lebih sesuai dan bermakna.6
Perlu dicatat bahwa hasil dalam merekontruksi teks bukanlah merupakan hasil yang tuntas,
suci dan final. Meski disadari bahwa dengan berbagai kendala itu proses rekontruksi ini tidak
utuh dan lengkap, tetapi perspektif kontekstualis, ia tetap menjadi bagian penting dari proses
penafsiran. Karena itu, rekontruksi perlu dilakukan secara terus menerus. Semakin banyak
informasi yang bisa dikumpulkan terkait dunia tempat Al-Qur’an diturunkan, proses rekontruksi
akan menjadi lebih akurat. Penafsir masa kini bergantung pada level dan volume pengetahuan
yang ada mengenai dunia silam itu dan tidak hendak mengklaim memiliki potret yang sempurna
dan lengkap tentangnya.

2. Nilai-Nilai Hirarkis Al-Qur’an


Nilai sering dipahami sebagai hal-hal standar yang dengannya budaya didefinisikan sebagai
sesuatu yang baik atau buruk, yang dianjurkan atau tidak dianjurkan, yang indah atau yang jelek,
penggunaan istilah ini di sini juga mencakup keyakinan. Dengan pemahaman ini, nilai adalah
apa yang seorang muslim ingin adopsi, ikuti dan praktikkan atau tolak dalam hal keyakinan,
gagasan dan praktik. Untuk mengilustrasikan hal tersebut sebuah hirarki tentatif nilai-nilai akan
disodorkan di sini, dalam urutan yang dianggap penting terlebih dahulu. 7 Jadi nilai-nilai hirarki
merupakan tingkatan nilai, semakin tinggi sebuah nilai maka semakin penting. Demikian pula
dalam sebuah ajaran, semakin bernilai tinggi maka ajaran itu semakin penting.8 di antaranya:
a. Nilai-nilai yang wajib (Obligaroty Values)
Obligatory Values adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban. Ayat-ayat yang berkaitan
dengan nilai-nilai dasar ini tidak ada tawaran untuk dikontekstualisasikan.9 Ada tiga
kategori yang termasuk dalam nilai ini:10
1) Keyakinan fundamental. Mencakup keyakinan pada Tuhan, para malaikat, para nabi,
kitab-kitab suci, hari akhir, hari perhitungam dan kehidupan sesudah mati. Hal-hal ini
umumnya diakui sebagai rukun iman.
2) Praktik-praktik ibadah fundamental yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an, seperti salat,
puasa dan haji. Umat Islam secara umum menganggap kategori ini sebagai ibadah
(mahdah), karena tidak bergantung pada konteks. Praktik-praktik ini bisa dilakukan
secara universal.
3) Hal-hal spesifik yang jelas dan tegas tentang apa yang halal dan yang haram di dalam
Al-Qur’an dan didukung oleh praktik aktual Nabi Muhammad SAW. Ini juga dianggap
bisa dipraktikkan secara universal. Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah uhilla, uhillat
atau ahalla Allah atau ahlalna. Hal ini mengindikasikan bahwa sesuatu secara kategoris
dihukumi boleh atau halal. Demikian juga, Al-Qur’an menggunakan istilah seperti
harramna dan turunannya untuk mengindikasikan larangan secara jelas.
b. Nilai-nilai fundamental (Fundamental Valus)
Nilai-nilai fundamental merupakan nilai-nilai yang berulang-ulang ditegaskan dalam
Al-Qur’an, yang didukung oleh sejumlah bukti tekstual yang signifikan. Seseorang bisa saja

66
MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual..., h. 14.
7
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, (New York, Routledge, 2006),
h. 129.
8
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2019), h. 67.
9
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, 68.
10
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, h. 133.
4
tidak menemukan teks Al-Qur’an secara khusus yang menyatakan bahwa nilai tersebut
adalah “fundamental” atau “universal”, namun adanya serangkaian teks yang berkaitan
dengan nilai tersebut bisa jadi mengindikasikan tingkat signifikansi yang dilekatkan atas
nilai tersebut karena itu menampakkan sisi universalitasnya. 11 Nilai ini dimaknai sebagai
nilai kemanusiaan dasar.12
Nilai-nilai tertentu diidentifikasi dengan nilai-nilai “kemanusiaan” yang dasar.
Contohnya dapat dilihat dari rumusan maqashid Syari’ah yang dirumuskan oleh ulama fikih
pra-modern. Pada masa kontemporer dewasa ini, sejumlah nilai yang baru bisa
dikembangkan dengan metode mencari kesimpulan induktif yang sama dan tetap
mempertimbangkan konteks yang baru. misalnya, hak-hak asasi manusia baru yang penting
saat ini, seperti perlindungan atas hal yang merugikan dan perlindungan atas kebebasan
beragama, bisa dianggap sebagai nilai-nilai universal saat ini. dengan demikian, metode ini
memungkinkan untuk menghadirkan nilai-nilai yang melindungi sejumlah hak-hak asasi
manusia yang belum diidentifikasi sebelumnya oleh para ulama masa awal. Ini adalah
wilayah yang bisa dikembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat, isu-isu dan masalah-
masalah yang muncul dalam konteks atau generasi tertentu. 13
c. Nilai-nilai perlindungan (Prottectional Values)
Nilai-nilai perlindungan adalah nilai-nilai yang memberikan dukungan legislatif atas
nilai-nilai fundamental. Misalnya, perlindungan akan kepemilikan harta adalah sebuah nilai
fundamental. Namun, nilai itu tidak akan bermakna jika tidak dipraktikkan. Penerapan
praktis ini bisa diterapkan melalui, misalnya pelarangan mencuri, dan penerapan hukuman
yang sesuai. Nilai-nilai perlindungan ini berperan penting atas pelestarian nilai-nilai
fundamentalnya, aspek universalitas bisa juga diperluas kepada nilai perlindungan. 14 Jadi,
nilai ini bisa dikatakan sebuah undang-undang bagi nilai fundamental.15
d. Nilai-nilai implementasi (Implementational Values)
Nilai-nilai implementasi adalah ukuran-ukuran spesifik yang digunakan untuk
mempraktikkan nilai-nilai perlindungan dalam masyarakat. Misalnya, nilai-nilai
perlindungan dari larangan mencuri dipraktikkan dalam masyarakat dengan menetapkan
ukuran-ukuran spesifik terhadap orang-orang yang mencuri.16 Jadi, ini dimaknai sebagai
tindakan atau langkah spesifik yang dilakukan atau digunakan untuk melaksanakan nilai-
nilai perlindungan.17
e. Nilai-nilai intruksional (Intructional Values)
Nilai-nilai intruksional adalah ukuran atau tindakan yang diambil Al-Qur’an ketika
berhadapan dengan sebuah persoalan khusus pada masa pewahyuan. 18 Nilai-nilai ini
merujuk kepada sejumlah intruksi, arahan, petunjuk dan nasehat yang bersifat spesifik di
dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan berbagai isu, situasi, lingkungan dan konteks
tertentu. Sejumlah besar nilai Al-Qur’an tampak bersifat intruksional. Teks-teks
intruksional tersebut menggunakan beragam alat kebahasaan, misalnya kalimat perintah
(amr) atau larangan (la), penyataan sederhana tentang perbuatan baik, perumpamaan,
cerita atau penyebutan kejadian tertentu. Contohnya seperti; perintah untuk menikahi lebih
dari satu perempuan dalam situasi tertentu, nasihat agar suami memperlakukan istrinya

11
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, h. 133.
12
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, 69.
13
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, 134.
14
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, 134.
15
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, 70.
16
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, 135.
17
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, 71.
18
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, 72
5
dengan baik, perintah untuk berbuat baik kepada orangtua dan orang-orang tertentu,
larangan mengambil orang kafir sebagai teman karib dan perintah untuk saling menyapa. 19
Nilai-nilai intruksional di atas memiliki kesulitan yang bertingkat-tingkat dalam usaha
kontekstualisasinya. Hal ini menyodorkan sejumlah pertanyaan yang tidak mudah bagi
mufassir seperti apakah hal tersebut terbatas pada ruang dan waktu budaya saat itu, atau
apakah ada tuntutan untuk berusaha “memunculkan kembali” lingkungan yang
memungkinkan nilai-nilai itu dipraktikkan dalam kehidupan dunia saat ini. dengan
mempertimbangkan berbagai ambiguitas itu, nilai-nilai intruksional barangkali perlu
dieksplorasi secara hati-hati untuk diperiksa apakah ada nilai tertentu yang bisa
dipraktikkan secara universal atau secara terbatas (bergantung konteks). 20
Untuk menentukan level kemungkinan penerapannya, dimungkinkan untuk mengukur
sifat-dasar universalitasnya, kemungkinan penerapannya, dan tingkat keharusannya. Tiga
kriteria berikut tampaknya relevan dalam konteks ini, yaitu21:
1) Frekuensi kejadian nilai tersebut dalam Al-Qur’an
2) Signifikansinya dalam dakwah Nabi
3) Relevansinya terhadap konteks Nabi Muhammad dan masyarakat muslim pertama
(secara budaya, periode, tempat dan situasi.

3. Teks-Teks Paralel dari Al-Qur’an dan Hadis


a. Teks-teks paralel dari Al-Qur’an
Seorang mufassir kontekstual melihat teks tambahan yang berkaitan dengan teks yang
sedang ditafsirkan. Misalnya ketika menafsirkan Al-Qur’an 4: 34, seorang mufassir mencari
teks-teks bertema dinamika gender Al-Qur’an, dalam rangka mengidentifikasiide atau nilai
Al-Qur’an seputar relasi gender. Makna yang dimaksud Al-Qur’an tidak selalu mudah
diidentifikasi, karena Al-Qur’an merujuk kepada kaum laki-laki dan perempuan dalam
sejumlah konteks dan isu yang luas. Contohnya bisa ditemukan, misalnya, dalam wilayah
pernikahan, perceraian, warisan, pengasuhan anak dan spiritualitas. Dengan
mempertimbangkan banyak teks yang bisa saja ada dalam sebuah topik khusus, hanya satu
dari teks-teks tersebut yang bisa jadi tidak digunakan untuk menentukan “pandangan Al-
Qur’an” mengenai relasi gender. Karena itu, semua teks Al-Qur’an yang tersedia mengenai
sebuah isu perlu dikaji dan disintesiskan menjadi sebuah tubuh pengetahuan yang koheren
dan menyatu untuk melihat apakah ada sebuah pola dominan yang muncul dari nilai-nilai
tersebut.22
b. Teks-teks paralel dari hadis
Sebuah masalah secara khusus muncul ketika teks-teks non-Al-Qur’an digunakan
dalam penafsiran, lhususnya teks hadis. Tidak seperti Al-Qur’an, tak ada kepastian, bahkan
dari perspektif seorang muslim, mengenai kesahihan sejumlah besar materi hadis yang bisa
diakses para mufassir. Para ulama hadis telah memperdebatkan masalah kesahihan hadis
selama berabad-abad, dan bahkan di antara hadis-hadis yang dianggap sahih, tingkat
kesahihannya beragam. Misalnya sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, karena
lebih kecil kemungkinan bahwa banyak orang bersepakat melakukan kebohongan atau
kesalahan. Hadis-hadis yang disebut terakhir disebut sebagai hadis mutawatir. Namun,

19
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, h. 137.
20
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, h. 138.
21
Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, h. 139-140.
22
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, h. 124.
6
hadis mutawatir pun dianggap memiliki tingkat kesahihan yang berbeda dengan kesahihan
Al-Qur’an.23
Dalam kaitan dengan contoh di atas, terdapat lebih banyak materi teks dalam hadis
ketimbang Al-Qur’an. Sejumlah besar hadis bisa dipandang dalam perspektif terkini sebagai
bersikap diskriminatif. Lebih banyak teks yang mendiskriminasi kaum perempuan bisa
ditemukan di dalam hadis ketimbang Al-Qur’an. Misalnya, beberapa hadis tampaknya
mereduksi peran perempuan atau istri hingga level pelayan, dan beberapa hadis tampak
mengindikasikan bahwa secara spiritual pun perempuan berada di level rendah. Di sisi lain,
terdapat banyak hadis yang berlawanan dengan hadis-hadis diskriminatif tersebut. karena
itu, terdapat level kontradiktif yang tinggi dari hadis-hadis yang disematkan kepada Nabi
mengenai isu ini. para mufassir masa lalu, yang cenderung mendukung pandangan
diskriminatif, mendukung pandangan bahwa perempuan sudah seharusnya berada di bawah
otoritas laki-laki. Pada masa modern, sejumlah besar sarjana telah memarginalkan hadis
diskriminatif tersebut dalam penafsiran mereka.24

4. Makna dalam Kerangka Kontekstual


Poin awal untuk mengekplorasi gagasan tentang makna Al Qur’an dalam konsep
pendekatan tafsir kontekstual adalah perdebatan tentang Al Qur’an sebagai kalam Allah. Untuk
itu, sebelum memulai pembahasa tentang makna kontekstual, penulis akan membahas terlebih
dahulu makna Al Qur’an sebagai kalam Allah munurut Ahlu sunnah Wal Jama’ah dan Mu’tazilah
a. Al Qur’an Sebagai Kalam Allah
1) Al Qur’an Sebagai Kalam Allah menurut Ahlu Sunah Wal Jamaah
Ahlus sunnah wal jama’ah telah sepakat bahwasanya Allah Ta’ala memiliki sifat
berbicara/berfirman. Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa lafadz (ucapan) dan
memiliki makna. Bukan hanya lafadz yang tidak memiliki makna, atau makna saja tanpa
lafadz.25 Para salaf telah sepakat bahwa penetapan sifat Al-Kalam bagi Allah dengan tanpa
mengubahnya, menolaknya, menggambarkan tata caranya, serta tidak memisalkannya.26
Kalam Allah adalah sifat yang haqiqi yang ditetapkan selayaknya bagi Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan terdiri dari huruf dan suara, dengan cara yang dikehendaki-Nya, kapan Dia
berkehendak, dan dapat didengarkan oleh siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana
Musa ‘alaihis salam mendengarnya tanpa perantara, begitu juga Jibril ‘alaihis salam dan
para malaikat serta rasul yang Allah Ta’ala izinkan untuk dapat mendengarkannya.27 Dalil-
dalil yang menunjukkan akan hal ini terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah, diantaranya:28

ِ ِِ
ُ‫وسى لمي َقاتنَا َوَكلَّ َمهُ َربُّه‬
َ ‫َولَ َّما َجاء ُم‬
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Rabb-nya telah berfirman (langsung) kepadanya (Musa).” (QS. Al-A’raf: 143)
Ayat di atas menjadi dalil bahwasanya Kalam Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Ayat
di atas juga menunjukkan bahwa Kalam Allah ditujukan kepada individu tertentu, bukan
kepada yang lain, sesuai dengan yang Dia Kehendaki.
ََّ ِ‫ك إ‬ ِ ِ ِ
‫ل‬ َ ‫يسى إِِيِن ُمتَ َوفي‬
َ ُ‫يك َوَرافع‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬
َ ‫ال هللاُ ََي ع‬
23
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, h. 125.
24
Abdullah Saeed, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, h. 125.
25
Burhanuddin Ibrahim Al Bajuri, Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal.66
26
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.41
27
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.40-42
28
Burhanuddin Ibrahim Al Bajuri, Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, h. 65-66
7
” (Ingatlah), ketika Allah berfirman: Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku “ (QS. Ali Imran: 55)
Ayat di atas berisi perkataan Allah Ta’ala kepada ‘Isa ‘alaihis salam yang menunjukkan
bahwa Kalam Allah adalah huruf, karena suatu perkataan yang bisa didengar pasti di
dalamnya terdiri dari huruf.
‫ب الطُّوِر ْاْل َْْيَ ِن َوقَ َّربْنَاهُ ََِنييا‬
ِ ِ‫َوََن َديْنَاهُ ِمن َجان‬
“Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah
mendekatkannya kepada Kami untuk bercakap-cakap. “ (QS. Maryam: 52)
Ayat ini menunjukkan bahwa Kalam Allah berupa suara, sebagaimana dipahami oleh
akal bahwa nida’ (panggilan dengan suara keras) dan munajat (ucapan dengan nada
lembut) pasti berupa suara yang dapat didengar. Dalil dari as-sunnah diantaranya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Unais dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwasanya beliau bersabda:

‫ أَن امللك أَن‬: ‫حيشر هللا اخلالئق يوم القيامة عراة حفاة غرال هبما فيناديهم بصوت يسمعه من بعد كما يسمعه من قرب‬
‫البخاري‬
‫ي‬ ‫الدَين) رواه أمحد و‬

“Allah mengumpulkan para makhluk pada hari kiamat dalam keadaan telanjang, tanpa alas
kaki, belum dikhitan, dan tidak berpakaian, kemudian Allah memanggil mereka dengan
suara yang terdengar oleh orang yang jauh, sebagaimana orang yang dekat mendengarnya:
“Sayalah Sang Raja, Sayalah Yang Membuat Perhitungan. “ (HR. Ahmad & Al-Bukhari).

Kalam Allah adalah sifat dzatiyyah ditinjau dari segi jenisnya, artinya sejak dulu Allah
memliki sifat berfirman, meskipun Allah belum berfirman kepada Musa atau makhluk-
Nya yang lain. Dan sifat berfirman bukan merupakan suatu hal yang baru terjadi setelah
sebelumnya tidak ada. Di samping itu, Kalam Allah juga merupakan sifat fi’liyyah ditinjau
dari segi kekhususan Allah berbicara dengan makhluk-Nya yang Dia kehendaki, dimana
sebelumnya Allah tidak berbicara kepadanya.29
Sifat tidak mungkin terpisah dari pemilik sifat. Karena Kalam Allah merupakan salah
satu sifat Allah maka kalam Allah tidak terpisah dari Allah. Karena itu, sifat Allah bukan
makhluk. Al-Qur’an yang agung adalah termasuk Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala,
karena itu Al-Quran bukan makhluk. Kita wajib meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam
Allah Ta’ala dan bukan makhluk ciptaan-Nya. Pembenaran kita akan hal ini merupakan
bagian dari iman kepada Allah yang merupakan rukun iman yang pertama. 30 Dalil
mengenai Al-Qur’an adalah Kalam Allah adalah

ِ‫وإِ ْن أَح ٌد ِمن الْم ْش ِركِني استَجارَك فَأ َِجره ح ََّّت يسمع َكالَم الل‬
‫ُْ َ َ ْ َ َ َ ي‬ َ َ ْ َ ُ َ‫َ َ ي‬
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,” (QS. At-Taubah: 6)

Dalil yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sesuatu yang diturunkan adalah

29
B,urhanuddin Ibrahim Al Bajuri, Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal. 65
30
Ibnu Taimiyah, Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.345
8
‫َنزلْنَاهُ ِِف لَْي لَِة الْ َق ْد ِر‬
َ ‫إِ ََّن أ‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan .” (QS. Al-
Qadr: 1)
Syaikh Muhammad bin Shalih dalam kitabnya Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan, salah satu
keistimewaan Lailatul Qadr yaitu malam dimana Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi umat manusia dan kebahagiaan mereka di dunia maupun akhirat. 31

Dalil bahwa perintah (amr) itu dibedakan dengan makhluk (bukan makhluk).

‫أَالَ لَهُ ا ْخلَلْ ُق َواْل َْم ُر‬

“Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya” (Al-A’raf:54)


Al-Qur’an termasuk dari perintah (amr) Allah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

‫ك ُروحا ِيم ْن أ َْم ِرََن‬ ِ


َ ‫ك أ َْو َحْي نَا إِلَْي‬
َ ‫َوَك َذل‬

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) wahyu (Al-Qur’an) dengan


perintah Kami.” (As-Syuura: 52)
Al-Qur’an sebagai tali Allah yang kokoh, disampaikan melalui perantara rasul untuk
menyampaikan apa yang dikehendaki Allah terhadap makhluk-Nya, dan sebagai jalan
hidup yang lurus. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Rabb semesta alam melalui malaikat
yang terpercaya kepada penghulu para nabi, yaitu Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam
dengan menggunakan bahasa Arab yang dapat dipahami. 32 Malaikat Jibril ‘alaihis salam
hanya membawa Al-Quran turun dari sisi Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur’an:33

َ ‫وح الْ ُق ُد ِس ِمن َّربِي‬


‫ك‬ ُ ‫قُ ْل نََّزلَهُ ُر‬
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari Tuhanmu” (An-Nahl:
102)
Al-Qur’an kembali kepada Allah, yaitu sifat Al-Kalam berupa Al-Qur’an kembalinya
kepada Allah Ta’ala. Dialah al-mutakallim bil Quran (yang berfirman dengan Al-Quran).
tidak ada seorangpun selain Allah yang disifati demikian.
Walaupun manusia menulis dan mencetak Al-Qur’an dalam bentuk mushaf, atau
menghafalnya dalam dada-dada mereka, atau membacanya dengan lisan-lisan mereka,
maka hal tersebut tidak mengeluarkan hakikat Al-Qur’an sebagai Kalam Allah. Hal ini
dapat dipahami karena suatu perkataan pada hakikatnya dinisbatkan kepada siapa yang
mengucapkannya pertama kali, bukan dinisbatkan kepada siapa yang menyampaikan
selanjutnya.34
Kembalinya Al-Qur’an kepada Allah juga memiliki makna bahwa Al-Qur’an akan
diangkat kepada Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di beberapa atsar bahwa Al-Qur’an

31
Syaikh Muhammad bin Shalih, Tafsir Juz ‘Amma, hal.548

32
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Syarh Lum’atul I’tiqaad Al-hadii ila sabiilir rasydi, hal.45
33
Ibnu Taimiyah Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.346
34
Ibnu Taimiyah Syarh Al ‘Aqidah Al –Wasithiyyah, hal.348
9
akan hilang dari sebagian mushaf dan dada-dada manusia pada akhir zaman. Hal yang
demikian terjadi –wallahu a’lam– ketika manusia sudah berpaling dari Al-Qur’an dan tidak
mengamalkannya, maka Allah mengangkatnya dari mereka sebagai bentuk pemuliaan
terhadap Al-Qur’an, wallahul musta’an.35

b. Al Qur’an Sebagai Kalam Allah menurut Mu’tazilah


Mu’tazilah mempunyai paham bahwa al-Qur’an itu ciptaan Allah yang tersusun dari
huruf, suara, dan kalimat. Oleh karena itu, paham Mu’tazilah mengatakan bahwa kalau al-
Qur’an terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka al-Qur’an itu pasti baru atau
tidak kekal. Qadim al-Qur’an dalam pandangan al-Mu’tazilah membawa kepada paham
syirik. Syirik adalah satu dosa besar yang tidak diampuni. Tidak ada yang qadim selain
Allah, hanya dzat Allah yang boleh qadim. Selain itu, kaum Mu’tazilah juga menyatakan
bahwa sabda Allah bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan.
Dengan demikian al-Qur’an bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Al-Qur’an tersusun
dari bagian-bagian berupa ayat dan surat, ayat yang satu mendahului yang lain dan surat
yang satu mendahului yang lain pula. Adanya sifat terdahulu dan sifat yang datang
kemudian, membuat sesuatu itu tidak bisa bersifat qadim, yaitu tak bermula, karena yang
tak bermula tak didahului oleh apa pun.36
Menurut pandangan Mu’tazilah, pendapat mereka tersebut berdasarkan dalil yakni
surah Al-Anbiya: 2, Al-Hijr: 9, Hud: 1, Az-Zumar: 23.
Dengan demikian, antara paham al-Mu’tazilah dan paham ulama-ulama tradisional
terjadi pertentangan yang tidak dapat dikompromikan. Pertentangan itu berkelanjutan
dan tidak dapat diselesaikan secara lunak, tetapi diselesaikan dengan keras, yakni dengan
cara yang disebut al-mihnah.37
Paham selanjutnya, Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Pandangan ini muncul atas konsekuensi dari paham tauhid yakni Tuhan betul-betul Maha
Esa, Dia adalah qadim, dan tidak ada yang qadim selain Dia. Oleh sebab itu, al-Mu’tazilah
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan tidak qadim. Al-Qur’an yang dimaksud
disini adalah al-Qur’an yang dibaca, yang terdiri dari huruf dan suara yang dapat didengar.
Dengan demikian jelaslah, kaum Mu’tazilah sendiri mengakui bahwa al-Qur’an tersusun
tidak bisa bersifat kekal dalam arti qadim.

c. Prinsip-prinsip Epistemologis Tafsir Kontekstual


1) Fleksibilitas Al Qur’an
Menurut Saeed, pemahaman terhadap fleksibilitas al-Qur’an, dapat ditelusuri ke
dalam dua aspek, yakni; (1) perbedaan cara baca (qira’at); dan (2) ‘penghapusan’ atau
‘penggantian’ redaksi suatu ayat dengan ayat lain (naskh).
Dalam konteks ini, menurut Saeed, Nabi Muhammad sangat fleksibel dalam hal
model pembacaan terhadap al-Qur’an. Kenyataan bahwa, al-Qur’an diturunkan
menggunakan ‘tujuh dialek’ generasi Sahabat diperbolehkan membaca al-Qur’an
sesuai dengan dialek pilihan atau yang mereka kuasai.
Selanjutnya, adalah fenomena naskh, di mana fleksibilitas tentang perubahan
ketetapan hukum ketika pewahyuannya masih berlangsung yang lebih banyak
disesuaikan dengan kondisi saat itu. Bagi Saeed, fleksibilitas dalam bidang cara baca

35
Burhanuddin Ibrahim Al Bajuri, Fathu Rabbil Bariyyah, bi talkhiishil hamawiyyah, hal. 69
36
Harun Nasution., Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 143
37
M. Amin Nurdin, Op. cit., hlm. 86
10
al-Qur’an dan perubahan ketetapan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan
kemudahan bagi umat Islam dalam aktualisasi ajaran Islam.38
Sehingga, yang menjadi inti fleksibilitas al-Qur’an menurut Saeed, adalah
bagaimana pelajaran dari fakta tersebut, dipahami sebagai upaya Nabi dalam
mengakomodir kebutuhan- kebutuhan zaman pada masa itu, untuk kemudian ditarik
ke dalam pengalaman saat ini. Nabi telah memungkinkan fleksibilitas demi
menyesuaikan al-Qur’an dengan kebutuhan umat pada masa itu. 39
Sehingga, konsep terhadap fleksibilitas al-Qur’an bisa digunakan dan menjadi
argumen serta justifikasi bagi praktek penafsiran baru atas al-Qur’an, demi
mengakomodir kebutuhan-kebutuhan umat saat ini (abad 21)40

2) Makna Teks sebagai sebuah Taksiran


Menurut Saeed, banyak sisi-sisi dari al-Qur’an yang memberikan kemungkinan
terhadap keberagaman penafsiran dan hanya bersifat perkiraan semata. Selain
kompleksitas kandungan al-Qur’an atas berbagai macam tema, ide-ide, gagasan, nilai,
dan genre teks, al-Qur’an juga mengakui adanya ayat-ayat mutasyabihat. Saeed
kemudian, membagi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam empat jenis yang sulit untuk
dipahami sehingga sifatnya hanya sebagai sebuah taksiran (approximation), yakni: (1)
ayat-ayat teologis; (2) ayat-ayat kisah; (3) ayat-ayat perumpamaan; dan (4) ayat-ayat
yang berorientasi praktis, yaitu ayat yang bermuatan ethico-legal.41
Klasifikasi yang dibuat oleh Saeed, berimplikasi pada pemahaman bahwa setiap
ayat al-Qur’an pada dasarnya tidak bisa diperlakukan secara general atau sama.
Masing-masing ayat memiliki karakteristik unik tersendiri sehingga membutuhkan
cara dan pendekatan yang berbeda pula. Hal ini akan memberikan penafsiran yang
relatif adil, ketimbang hanya mengandalkan pemahaman literalisme terhadap setiap
ayat. Pandangan ini juga memberikan justifikasi bahwasanya setiap bentuk penafsiran
seseorang hanyalah bersifat taksiran, bahkan suatu kemustahilan bagi seorang mufasir
dapat memahami secara keseluruhan dari al-Qur’an

3) Kompleksitas Makna Al Qur’an


Adanya kompleksitas makna yang berlapis di dalam al-Qur’an, Saeed
mengusulkan pengakuan akan adanya tingkat ketidakpastian dan kompleksitas
makna, pentingnya konteks (linguistik, sosio-historis, dan budaya), dan legitimasi
multi pemahaman. 42
Oleh karena itu, Abdullah Saeed mengajukan beberapa prinsip dalam memahami
kompleksitas makna, yakni:
Pertama, Pengakuan akan ketidakpastian dan kompleksitas (kerumitan)
makna. Para kontekstualis memandang bahwa objektivitas penafsiran merupa kan
sesuatu yang tidak mungkin. Karena mufasir tidak dapat mendekati teks tanpa

38
Sahiron Syamsuddin, “Argumentasi Abdullah Saeed dalam Mengusung Pendekatan Kontekstualis dalam
Penafsiran al-Qur’an” kata pengantar dalam Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran
Kontekstualis al-Qur’an, terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri (Yogyakarta: Ladang Kata dan Baitul Hikmah
Press, 2016), h. viii-ix
39
Sheyla Nichlatus Sovia, “Interpretasi Kontekstual; Studi Pemikiran Hermeneutika al- Qur’an Abdullah
Saeed”, Dialogia (Vol. 13, No. 1, 2013), h. 42
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 76.
41
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 90-91
42
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 102
11
terlebih dahulu terpengaruh oleh pengalaman, nilai, keyakian, dan prasangka
tetentu.43
Kedua, Mengakui adanya perubahan dalam makna. Para kontekstualis
memandang bahwa makna sebuah kata tidaklah statis; makna akan berubah seiring
perkembangan ilmu bahasa (linguistik) dan lingkungan budaya sebuah masyarakat.
Bagi Saeed, apa yang dianggap sebagai makna ‘inti’ sebuah kata tidaklah statis.44
Makna bukanlah objek konkret, yang bisa dibongkar begitu saja, karena makna adalah
entitas mental.45
Ketiga, Mempertimbangkan ayat-ayat ethico-legal sebagai diskursus. Menurut
para kontekstualis, bahasa adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan wacana lebih
konkret. Al-Qur’an tidak cukup dipahami sebagai sebuah teks bahasa. Karena
pembentukkan teks sebagai wahyu dalam konteks sosio-historis tertentu
menunjukkan bahwa al-Qur’an pada dasarnya adalah wacana (bahasa yang berada
dalam konteks).46
Keempat, Mengakui aspek-aspek yang membatasi makna teks. Saeed
menegaskan, meskipun dia berpandangan akan kemustahilan objektivitas total dalam
penafsiran, namun tidak berarti mengimani subjektivitas dan relativitas total. 47
Menolak obyektivitas total bukan berarti penafsiran menjadi arena bebas bagi
subyektivis dan relativis, dalam artian penafsir bisa mendekati teks sesuka dan
sekehendanya.48 Menurut Saeed, penafsiran bagaimanapun memiliki aturan yang
melahirkan batasan-batasan dalam menentukan makna, yakni: (1) Penafsiran Nabi; (2)
konteks kelahiran teks; (3) peran pembaca (reader); (4) hakikat teks; (5) konteks
kultural.
Kelima, Makna literal sebagai titik berangkat penafsiran. Menurut Saeed, setiap
orang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus menguasai bahasa Arab, bisa
membaca, menulis, dan memahaminya, tidak hanya pada level fungsi tapi juga pada
level linguistik, sastra dan stilistika. Cara ini memberikan beberapa manfaat dan
keuntungan, di antaranya: (1) menghindari dan membatasi terhadap lompatan
imajinatif tak terbatas dalam memproduksi makna; (2) membantu membangun
doktrin dan sistem teologis di atas pondasi yang lebih kokoh dan mendasar. 49

5. Penafsiran Ushuluddin Secara Kontekstual


Dalam berbagai perdebatan umat Islam kontemporer, istilah "prinsip-prinsip dasar" (ushul)
sering digunakan dalarn bentuk yang ambigu; maksudnya sering tidak jelas. Lebih penting lagi,
tidak ada pemahaman bersama atas istilah ashl, karena konsep ini dipahami secara berbeda
dalam berbagai disiplin kajian Islam dan komunitas penafsir Muslim. Ia biasa diterjernahkan
sebagai "sumber" atau "fondasi', dan memiliki sejumlah makna lain dalam teori hokum Islam,.
Dalam teologi Islam, ashl bisa meliputi segala hal dari keyakinan kepada Tuhan Yang Esa hingga
keyakinan akan kehidupan setelah mati. Pada level yang sangat mendasar, rukun iman bisa
dipahami sebagai ushul. Ragam penggunaan ashul ini memerlukan klarifikasi atas konsep ini
dan bagaimana pendekatan kontekstual berkutat dengan hal ini.50

43
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 103.
44
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 106.
45
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 104
46
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 107.
47
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 107-108.
48
Lien Iffah Naf’atu Fina, “Interpretasi Kontekstual”..., h. 73.
49
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an..., h. 112
50
Abdullah Saeed. Al Qur;an Abad 21, Tafsir Kontekstual, hal. 152
12
Ashl dalam pendekatan kontekstual adalah hal-hal di dalam agama yang tidak bisa
diubah (al-tsawabit). Hal-hal yang tidak bisa diubah seperti ini jumlahnya relatif sedikit dan
tetap menjadi fondasi agama Islam yang tidak bisa diubah, dan dengan sendirinya tidak rentan
terhadap upaya penafsiran ulang.51
Dengan menggunakan kerangka hirarki nilai-nilai tersebut, hal-hal yang tak bisa diubah
(prinsip-prinsip dasar) dalarn agama bisa diringkaskan sebagai berikut: nilai- nilai yang wajib,
fundamental, perlindungan, universal, dan instruksional. Nilai-nilai seperti ini tampak bersifat
universal dan tidak terikat dengan "konteks" spesifik apa pun. 52
1. Nilai-nilai yang Bersifat Kewajiban (obligatory values)
Kategori pertama adalah nilai-nilai yang bersifat kewajiban. Nilai-nilai yang sifatnya dasar
sangat ditekankan dalam al-Qur’an. Nilai-nilai ini membentang baik dalam periode Makkah
maupun Madinah dan tidak bergantung kepada budaya. Kebanyakan umat Islam mengakui
bagian ini sebagai bagian yang sangat penting dalamIslam.
Pertama, nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan, yakni nilai-nilai
yang secara tradisional dikenal sebagai(rukun) iman. Kedua, nilai-nilai yang berhubungan dengan
praktik ibadah yang ditekankan dalam al-Qur’an (shalat, puasa, haji, dan mengingat Allah).
Nilai-nilai ini ditekankan berulangkali dalam al- Qur’an dan tidak berubah mengikuti
perubahan kondisi. Karena itulah, mereka berlaku universal. Ketiga, sesuatu yang halal dan haram
yang disebutkan secara tegas dan jelas dalam al-Qur’an, dan tidak menghiraukan perubahan
kondisi. Menurut Saeed, kategori yang semacam ini sangat sedikit dalam al-Qur’an dan secara
prinsipil mereka berlaku universal.53
Nilai-nilai di atas bisa dianggap sebagai doktrin agama yang abadi. Upaya untuk
menyesuaikan dengan konteks sepertinya tidak berhasil pada kategori ini. Selanjutnya, menurut
Saeed, terutama untuk bagian ketiga, nilai-nilai yang diperluas dari bagian ini (melaluiijma>’ atau
qiya>s) tidak bisa dimasukkan dalam kategori ini. Yang diperhatikan adalah sesuatu yang secara
spesifik disebutkan dalam al-Qur’an.
2. Nilai-nilai Fundamental (Fundamental Values)
Abdullah Saeed memberikan batasan pada nilai-nilai fundamental ini sebagai berikut:

… adalah nilai-nilai yang ditekankan berulang-ulang dalam al-Qur’an yang mana ada bukti teks yang
kuat yang mengindikasikan bahwa mereka adalah termasuk dasar-dasar ajaran al-Qur’an.54

Dia manambahkan, penyelidikan terhadap al-Qur’an mengindikasikan bahwa nilai-


nilai fundamental ini ditekankan sebagai nilai-nilai kemanusiaan dasar.55 Pada dasarnya, ulama
awal, terutama dalam tradisi us}u>l, telah sadar akan adanya nilai-nilai ini. Misalnya, apa yang disebut
syari>’ah oleh asy-Syat}ibi (w. 766/1388)56, dan mas}lah}ah oleh at}-T{u>fi (w. 716/1316). Lima nilai
universal tersebut adalah perlindungan hidup, hak milik, kehormatan, keturunan dan agama. Di
kalanganulama us}u>l, nilai universal ini dianggap sebagai tujuan utama syari’ah (maqa>s}id asy-syari>’ah)
sebagaimana dinyatakan oleh asy-Sya>t}ibi>. Pencapaian nilai-nilai di atas melalui sebuah metode
yang diakui sebagai metode induktif (inductive corroboration) dari sumber-sumber adekuat Islam.57
Dengan metode yang sama, Saeed berpendapat bahwa nilai tersebut bisa dikembangkan,
tidak hanya terbatas lima, mengikuti kebutuhan dan perkembangan zaman, senyampang memang
diramu dari sumber yang akurat. Pada saat ini misalnya, perlindungan dari kerusakan, perlindungan

51
Abdullah Saeed. Al Qur;an Abad 21, Tafsir Kontekstual, hal. 152
52
Abdullah Saeed. Al Qur;an Abad 21, Tafsir Kontekstual, hal. 153
53
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 165-166
54
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133.
55
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 132.
56
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 145
57
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133
13
kebebasan beragama, perlindungan hak asasi manusia perlu ditambahkan kepada lima nilai yang
telah ada.58
Pada prinsipnya, menurut Saeed, apa yang disebut sebagai nilai fundamental adalah
nilai-nilai yang sifatnya universal, dan perlu ditekankan bahwa wilayah ini bisa diperluas atau
dipersempit berdasarkan kebutuhan masing-masing generasi, persoalan-persoalan yang dihadapi,
titik perhatian masing-masing generasi.59
Tampaknya nilai ini sama dengan prinsip umumnya Rahman, semisal keadilan. Nilai ini
menurut Rahman ditemukan melalui gerak pertama dari gerak gandanya. Nilai inilah yang
dijadikan prinsip umum dalam menafsirkan dan mengaplikasikan al-Qur’an dalam konteks
kekinian.

3. Nilai-nilai Proteksional (Protectional Values)


Nilai proteksional ini merupakan undang-undang bagi nilai fundamental. Fungsinya
adalah untuk memelihara keberlangsungan nilai fundamental. Misalnya, salah satu nilai
fundamental adalah perlindungan hak milik, maka, larangan mencuri dan riba merupakan nilai
proteksional dari nilai fundamental ini.60
Berbeda dengan nilai fundamental, nilai proteksional digantungkan ‘hanya’ kepada satu
atau beberapa bukti-bukti tekstual.Namun, kenyataan ini tidak mengurangi urgensi nilai ini dalam
al- Qur’an karena kekuatan nilai ini di samping berasal dari bukti teks, juga berasal dari nilai
fundamental. Karena nilai ini merupakan pemeliharaan dari nilai fundamental, universalitas
juga berlakudi sini.61
4. Nilai-nilai Implementasional (Implementational Values)
Nilai implementasional merupakan tindakan atau ukuran spesifik yang dilakukan atau
digunakan untuk melaksanakan nilai proteksional. Misalnya larangan mencuri harus ditegakkan
dalam masyarakat melalui tindakan-tindakan spesifik untuk menindaklanjuti mereka yang
melanggarnya. Dalam al-Qur’an misalnya, disebutkan bahwa hukuman bagi tindak pencurian
adalah dipotong tangannya.62
Dalam pandangan Saeed, nilai implementasional yang terekam dalam al-Qur’an tidaklah
bersifat universal. Berdasarkan penyelidikan sejarah, tindakan spesifik memotong tangan di atas,
sebagai misal, merupakan pilihan yang paling tepat untuk kondisi saat itu.
Ada beberapa fakta yang mendukung pandangan Saeed ini. Pertama, kondisi obyektif al-
Qur’an. Banyak redaksi dalam al- Qur’an yang menunjukkan ‘pengecualian’ bagi pemberlakuan
nilai implementasional, yakni bagi mereka yang bertaubat. Redaksi ini sering ditulis mengikuti
redaksi tindakan spesifik yang direkam al- Qur’an. Beberapa ayat yang mengikuti pola demikian
adalah, setelah ayat yang secara spesifik menuliskan hukuman potong tangan, hukuman
pembunuhan, hukuman cambuk bagi pelaku zina, dan hukuman rajam bagi pelaku zina.63
Kondisi obyektif di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya yang menjadi peran utama
dari al-Qur’an bukanlah redaksi literaldarinya. Jika demikian yang terjadi, tentu al-Qur’an tidak
memberikanalternatif lain seperti bentuk pengecualian di atas. Dengan demikian,yang menjadi
tujuan utama al-Qur’an adalah pencegahan dari tindakan yang dilarang.
Kedua, fakta sejarah. Yang dimaksud dengan fakta sejarah di sini adalah pilihan sikap
sahabat Nabi atau ulama terdahulu dalam mengamalkan ayat-ayat implementasional di atas.
Ketika menghadapikasus seseorang yang telah mencuri tiga kali, sahabat Nabi, ‘Umar yang saat itu

58
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133
59
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 133
60
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 166
61
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134.
62
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 167
63
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 134-135.
14
menjadi khalifah mengajukan hukuman potong tangan untuknya. Ali yang saat itu menjadi
penasihat Umar memberikan usulan yang berbeda. Menurutnya, hukuman cambuk dan
kurungan adalah hukuman yang tepat. ‘Ali menyatakan “saya malu melihat Tuhan jika
meninggalkannya tanpa tangan yang darinya dia bisa makan danbersuci untuk shalat…”. ‘Ali, sebagai
sahabat yang dikenal memahami al-Qur’an melakukan pilihan yang demikian. Ini menunjukkan
bahwapotong tangan bukan nilai yang multak harus diterapkan.64
Dalam tradisi fikih, ulama klasik telah menyadari adanya akibat negatif, sebagaimana
direnungkan oleh ‘Ali di atas, dari pemberlakuan hukuman yang sifatnya keras. Kesadaran
terhadap hal ini menuntun mereka merumuskan syarat-syarat bagi berlakunya nilai
implementasional berdasarkan bunyi literal teks. Sebagaimana dikutip Saeed dari al-Asymawi
“Hukuman yang ada dalam al-Qur’andikelilingi oleh syarat-syarat yang mungkin menjadikannya
tidak berlaku… Misalnya untuk kasus pencurian, … pencuri tidak sedangdalam kondisi terdesak
dan benar-benar membutuhkan sesuatu yang dicuri…”.65
5. Nilai-nilai Instruksional (Intructional Values)
Nilai intruksional adalah ukuran atau tindakan yang terdapat dalam al-Qur’an tentang
sebuah persoalan yang (berlaku) khusus pada masa pewahyuan. Tidak ada tekanan dalam al-
Qur’an berkaitandengan nilai ini. Bahkan tidak ada dukungan dari kategori sebelumnyabahwa nilai
ini bersifat universal. Meskipun demikian, yang menjadi persoalan di mata Saeed, nilai ini
66
diterima begitu saja (normatif)bahkan sampai sekarang, terutama oleh muslim tradisional.
Saeed memandang, dibanding nilai-nilai sebelumnya, nilai intruksional ini adalah yang
paling banyak, paling sulit, paling beragam dan berbeda-beda. Karena itu bentuk kategorisasi
adalah perkara yang sulit, dan karenanya Saeed lebih memilih menampilkannya begitu saja.
Sebagian besar nilai al-Qur’an adalah intruksional. Ayat-ayat yang termasuk dalam
kategori ini memiliki tampilan linguistik yang beragam: perintah (amr) atau larangan (la>),
pernyataan sederhana tentang ‘amal s}a>lih}, perumpamaan, atau bisa juga kisah. Secara lebih
terperinci misalnya instruksi untuk menikahi lebih dari satuperempuan dalam kondisi tertentu,
bahwa laki-laki ‘memelihara’ perempuan, untuk berbuat baik kepada orang-orang tertentu
misalnya orang tua, untuk tidak menjadikan kaum kafir sebagai teman, dan untuk
mengucapkan salam.67
Menurut Saeed, ada pertanyaan yang perlu dijawab menyikapi keberadaan nilai-nilai
intruksional ini karena seperti yang diketahui nilai-nilai tersebut sangat erat dengan kondisi saat
itu. Pertanyaan yang bisa digariskan yakni: Apakah nilai ini melampaui kekhususan budaya
sehingga harus dipatuhi dalam segala kondisi, tempat danwaktu? Atau sebaliknya, apakah
harus diciptakan kondisi yang sama agar dapat diterapkan? Bagaimana seharusnya seorang
muslimmenanggapi nilai ini?
Menjawab persoalan itu, Saeed menawarkan sebuah rumusan untuk mengukur apakah
nilai tertentu bersifat universal ataukah tidak termasuk derajat sifatnya. Takaran itu adalah
persoalan frekuensi, penekanan, dan relevansi. Pertama, frekuensi. Frekuensi berkaitan dengan
seberapa sering nilai tertentu disebutkan dalam al-Qur’an melalui penelusuran tema-tema
yang terkait dengan nilai tersebut. Misalnya ‘menolong kaum miskin’ disampaikan al-Qur’an
melalui beberapa konsep misalnya ‘menolong mereka yang membutuhkan’, memberi makan
kepada fakir miskin’, dan ‘merawat anak yatim’. Prinsipnya, semakin sering tema tersebut diulang-
ulang dalam al- Qur’an, semakin penting nilai tersebut. Meskipun, kesimpulan dari
penelusuran ini harus diakui hanya mampu mencapai derajatperkiraan karena keterbatasan

64
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
65
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 136.
66
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 138.
67
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, hlm. 169
15
menelusuri keseluruhannya dalam al- Qur’an. 68
Kedua, penekanan. Takaran ini mempertanyakan apakah nilai ini betul-betul ditekankan
dalam dakwah Nabi. Prinsip yang dipegang adalah, semakin besar penekanan nilai tertentu
dalam dakwah Nabi maka nilai tersebut semakin signifikan. Misalnya, nilai yang ditekankan Nabi
dalam dakwahnya selama periode Makkah sampai Madinah adalah membantu mereka yang
terzalimi. Namun, jika nilai tertentu disebutkan kemudian ditinggalkan, atau jika nilai-nilaiyang
bertentangan dengannya didukung dan disebarluaskan, maka bisa diasumsikan nilai tersebut tidak
lagi relevan dalam al- Qur’an.Penelusuran terhadap takaran ini memerlukan pengetahuan sejarah,
karakteristik stilistik atau linguistik teks dan konteks pada saat itu. Pengetahuan akan hal di atas
tidak bermakna untuk mengetahui waktu dan kondisi persis seperti yang terjadi pada masa
itu, tapi lebih digunakan untuk melakukan pendasaran apakah nilai tersebut ditekankan pada
periode tertentu.69
Ketiga, relevansi (hubungan/pertalian/persangkutpautan). Yang perlu ditegaskan
sebelumnya, kata relevansi yang dimaksud Saeed di sini bukan berarti bahwa seluruh nilai yang
ada dalam al-Qur’an spesifik. Saeed membagi relevan kepada dua macam; (1)relevansi terhadap
budaya tertentu yang dibatasi waktu, tempat dan kondisi, (2) relevansi universal tanpa
memperhatikan waktu, tempatdan kondisi. Yang dimaksud Saeed dengan term relevansi di sini
adalah yang kedua.70
Karena Nabi diturunkan dalam masyarakat Hijaz, ada hubungan penting antara misi
Nabi dan budaya masyarakat waktu itu. Seperti diketahui, tidak semua ajaran, nilai, dan praktik
dalammasyarakat pra-Islam yang dibuang oleh Nabi. Sehingga rasional jika dikatakan bahwa apa
yang dilakukan dan dikatakan Nabi sesuai dengan kondisi saat itu. Karena itu, wawasan akan
konteks budaya masa pewahyuan sangat penting untuk menentukan relevansinilai tertentu.
Tahap pertama adalah melakukan observasi. Tahapselanjutnya adalah membandingkan dengan
kondisi kekinian. Untukmembandingkannya, bisa dilakukan analisis terhadap aspek-aspek yang
tetap dan berubah. Langkah selanjutnya, dilakukan perenungan apakah nilai tertentu tersebut
berlaku obyektif ataukah ia ada melulu menunjukkan dan memperjuangkan terpeliharanya nilai
fundamental. Jika hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tersebut hanya bersifat spesifik pada
waktu itu, maka penerapan nilai yang sama dalam situasi yang lain bukanlah yang dimaksud oleh teks,
dan sebaliknya.

6. Penafsiran Al-Qur’an secara kontekstual


a. Pengertian Tafsir Kontekstual
Secara etimologi, kata kontekstual berasal dari kata benda bahasa Inggris yaitu context yang
diindonesiakan dengan kata ”konteks”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini
setidaknya memiliki dua arti, 1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna, 2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. 71 Sehingga
dapat dipahami bahwa kontekstual adalah menarik suatu bagian atau situasi yang ada kaitannya
dengan suatu kata/kalimat sehingga dapat menambah dan mendukung makna kata atau kalimat
tersebut. Kata kunci yang sering kali di gunakan dalam tafsir kontekstual adalah “akar
kesejahteraan”. Istilah kontekstual tampaknya diarahkan ke pernyataan tersebut. Konteks yang
dimaksud disini adalah situasi dan kondisi yang mengelilingi pembaca. Jadi Kontekstual berarti
hal-hal yang bersifat atau berkaitan dengan konteks pembaca. Dalam kamus al-Maurid (Inggris
- Arab), contexs diartikan dengan : 1) al-qarinah (indikasi) atau siyaq al-kalam (kaitan-kaitan,
latar belakang “duduk perkara” suatu pernyataan): 2) bi’ah (suasana) muhid (yang meliputi).

68
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 139
69
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 140
70
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, hlm. 141
71
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 485.
16
Kontekstual diartikan dengan qarini, mutawaqqif’ala al-qarinah (mempertimbangkan
indikasi).72
Menurut Noeng Muhadjir, istilah kontekstual sedikitnya mengandung tiga pengertian;
pertama, Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya
mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional; kedua, Pemaknaan yang melihat
keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang; di mana sesuatu akan dilihat dari sudut
makna historis dulu, makna fungsional saat ini, dan memprediksikan makna (yang dianggap
relevan) di kemudian hari; ketiga, Mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan
terapannya
Tafsir kontekstual secara sederhana adalah kegiatan untuk mengeksplanasi firman Allah swt
dengan memperhatikan indikasi- indikasi dari susunan bahasa dan keterkaitan kata demi kata
yang tersusun dalam kalimat, serta memperhatikan pula penggunaan susunan bahasa itu oleh
masyarakat, sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.73 Sehingga tafsir jenis ini memiliki aneka
ragam konteks, baik konteks bahasa, konteks waktu, konteks tempat, maupun konteks sosial
budaya.74 Dengan demikian, paling tidak, terdapat dua hal yang perlu ditekankan dalam proses
tafsir kontekstual, yaitu: aspek kebahasaan, dan aspek ruang dan waktu; baik masa terciptanya
teks pada suatu masyarakat atau lingkungan tertentu maupun masa sekarang yang menjadi
ruang dan waktu dari penafsir suatu teks.
Kontekstual adalah sebuah kecenderungan dalam menafsirkan al Qur’an tidak hanya
bertumpu pada makna lahir teks saja, tetapi juga melihat segi sosio-historis di mana, kapan dan
mengapa suatu ayat diturunkan. Di antara ciri penafsiran kontekstual adalah model tafsir ini
menekankan konteks sosio-historis dalam proses penafsirannya. Ciri lainnya, tafsir ini lebih
melihat nilai etis dari ketetapan legal (the ethico-legal content) al-Qur’an, daripada makna
literalnya. Berbeda dengan tafsir tekstual yang secara ketat mendasarkan pemaknaan teks pada
unsur linguistik dan keterangan riwayat, tafsir kontekstual melihat bahwa unsur politik, sosial,
sejarah, budaya, dan ekonomi adalah hal-hal penting dalam upaya memahami makna teks (pada
saat diturunkan, pada saat teks itu ditafsirkan, dan kemudian pada saat diterapkan). Berbeda
dengan tafsir tradisionalis, yang cenderung teologis-filosofis, tafsir kontekstual lebih cenderung
sosiologis, aksiologis, dan antropologis, karena tujuannya yang ingin memenuhi kebutuhan
kaum Muslim di era kontemporer sekarang ini.75
Al-Qur`ân sebagai sebuah teks, mengandung makna yang memuat ayat ayat muhkamât
(ajaran doktrin dan universal yang merupakan welstanschauung Al-Qur`ân) serta mutasyâbihât
(ayat-ayat ilustratif), di dalamnya terdapat perintah kepada Muhammad saw sebagai Rasulullah
(utusan Tuhan) untuk menjelaskan Al-Qur`ân ini kepada umat manusia. Tugas tersebut oleh
para pengikutnya, di era klasik maupun modern dan selanjutnya tentu saja diemban oleh para
ulama -sebagai pewaris Nabi saw, agar mereka melakukan ijtihad atau upaya ilmiah berdasarkan
aturan dalam perspektif “Ulumul Qur’an” terhadap teks Al-Qur`ân.76
b. Pendekatan dan Teori Penafsiran Kontekstual
Kontekstualisasi adalah bagaimana mengomunikasikan hukum Islam dalam dimensi
bentuk, simbol, dan bahasa budaya. Kompleksitas permasalahan kontekstualisasi terjadi karena
ketidaksamaan atau kemajemukan budaya. Hiebert sebagaimana dikutip Samuel Zwimer
menyatakan bahwa makna mengalami pergeseran antar budaya (meaning shift between

72
U. Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 42.
73
Abdur Rachim;Tafsir Kontekstual, (majalah al-Jami’ah; IAIN Sunan Kalijaga, 1989), no. 39, h.41
74
Abdur Rachim;Tafsir Kontekstual, (majalah al-Jami’ah; IAIN Sunan Kalijaga, 1989), no. 39, h.56
75
Cucu Surahman, “Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat dan Hudud,” dalam Journal of Qur’an
and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1, 2012, h. 65-66.
76
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘ulum al-Qur’an, (Dar al-fikr: Beirut, tt), jilid.2, h.128.
17
cultures).77 Karena itu tidak mungkin untuk menerjemahkan dan menafsirkan pesan dari satu
budaya ke budaya lain tanpa mengalami pergeseran makna. Pergeseran tidak dalam artian
mereduksi atau mencemari pesan teks (esensi teks), tetapi pergeseran makna justru
dimaksudkan bagaimana sebuah pesan bisa dipahami dan diaplikasikan dalam konteks budaya
yang berbeda. Kontekstualisasi justru merupakan upaya bagaimana sebuah pesan tetap relevan
bagi kehidupan penerima pesan.
Seorang penafsir kontektualis menurut Saeed adalah mereka yang meyakini bahwa ajaran
al-Qur’an seharusnya diaplikasikan secara berbeda sesuai dengan konteks. Al-Qur’an adalah
pedoman kehidupan yang bersifat praktis yang seharusnya diimplementasikan secara berbeda
dalam kondisi/suasana yang berbeda, bukan seperangkat hukum yang bersifat rigid. Pendukung
corak penafsiran ini menegaskan bahwa sarjana atau penafsir hukum harus memperhatikan
konteks sosial, politik dan budaya pewahyuan sebagaimana juga harus memperhatikan konteks
kontemporer penafsiran.78
Penafsiran kontekstual terhadap teks hukum bervariasi antara satudengan yang lain. Saeed
dalam bukunya The Qur’an: An Introduction menampilkan beberapa contoh model penafsiran
kontekstual: Fazlur Rahman,Amina Wadud, Muhammad Shahrour, Muhammed Arkoun, dan
Khaled Medhat Abou El Fadl. Karakter umum dari penafsiran kontekstual menurut Saeed adalah
argumentasi para pendukungnya bahwa makna teks-teks tertentual-Qur’an maupun hadis tidak
fix/tertentu atau bersifat tetap. Makna teks mengalami evolusi seiring perjalanan waktu dan
bergantung pada konteks sosio-historis, budaya, bahkan konteks bahasa dari teks. Penafsiran
kontekstualmelihat teks tertentu sesuai dengan sinaran konteks untuk menemukan makna yang
dinilai paling relevan dengan situasi penafsiran. Karakter lain dari kelompok kontekstualis
adalah bahwa kebenaran penafsiran/interpretasi tidak bersifat obyektif. Faktor-faktor yang
bersifat subyektif tidak bisa lepas dari pemahaman penafsir. Penafsir tidak bisa mendekati teks
tanpa intervensi pengalaman tertentu, nilai, keyakinan, dan presuposisi yang mempengaruhi
pemahaman penafsir. Karekter umum di atas tidak menafikan pendekatan yang berbeda-beda
dari masing-masing tokoh.79
Hirarki nilai di atas mendasari teori penafsiran kontekstual Saeed. Skema dan model teori
penafsiran Saeed bisa digambarkan sebagai berikut:80
Tahap pertama adalah perjumpaan penafsir dengan teks dan dunia teks. Tahap ini
dilanjutkan dengan kajian terhadap apa yang dikatakan teks tentang dirinya sendiri tanpa
merelasikan dengan komunitas penerima pertama (first recipient community) dan konteks
sekarang. Inilah yang dimaksud Saeed dengan tahap kedua penafsiran. Tahap kedua terdiri dari:
1) Kebahasaan (linguistic): menyelami aspek kebahasaan teks, makna kata dan frasa,
sintaksis (kata, frasa dan klausa), aspek gramatikal (tata bahasa dan nahwu), dan aspek
qira’at;
2) Konteks literal (literary context): dalam bahasa ilmu al-Qur’anadalah munasabah ayat,
baik ayat sebelum atau sesudah. Konteks literal menyelami fungsi teks secara parsial
(dalam surat tertentu) atau bahkan fungsi dan keterkaitan umum dengan teks makro
al- Qur’an;
3) Bentuk literal (literary form): mengidentifikasi apakah teks bersifat historis, doa,
pepatah, perumpamaan, kisah, atau hukum. Bentuk literal dan makna teks direlasikan;
4) Teks pararel (parallel text): mengeksplorasi apakah ada teks lain yang mempunyai
kemiripan dengan teks yang dikaji dan seberapa jauh teks mempunyai kemiripan dan
perbedaaan;

77
Samuel Zwemer, A Model of Muslim Contextualization (Disertasi, Clemson Uniersity, 2000), 126.
78
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction, h. 214.
79
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction, h. 221.
80
Abdullah Saeed, Reading the Qur’an in the Twenty-First Century...,h. 70.
18
5) Preseden: mengidentifikasi teks yang mempunyai kemiripan subtansi dan menelaah
apakah teks tersebut diturunkan lebih dahuluatau setelah teks utama yang dikaji.
Tahap ketiga merelasikan teks dengan komunitas penerima pertama. Tahap ketiga ini
terdiri dari:
1) Analisis Kontekstual (contextual analysis): mengidentifikasi aspek historis dan
informasi sosial yang sekiranya bisa menjelaskan makna teks, menganalisis pandangan
dunia (worldview), budaya, keyakinan, norma, nilai dan institusi dari komunitas
penerima pertama al-Qur’an di Hijaz. Termasuk dalam analisis ini adalah
mengidentifikasi sasaran teks, di mana mereka hidup dan konteks/kondisi yang
mengitari sasaran teks ketika isu-isu (politik, hukum, budaya, dan ekonomi) muncul;
2) Menentukan hakikat pesan dan cakupan teks: legal/hukum, teologi dan etika;
3) Mengeksplorasi penekanan pesan dan pesan spesifik yang sekiranyamenjadi fokus teks,
termasuk dalam hal ini mengidentifikasi apakahpesan bersifat universal (tidak spesifik
terikat konteks tertentu, komunitas tertentu) atau pesan bersifat parsial relevan dengan
konteks tertentu dan di mana posisi nilai dalam hirarki nilai sebagaimana yang telah
diterangkan di atas;
4) Mempertimbangkan pesan utama teks dengan tujuan dan konsen al- Qur’an secara
makro;
5) Mengevaluasi bagaimana teks diterima oleh komunitas penerima pertama, bagaimana
mereka menafsirkan, memahami dan mengaplikasikan teks.
Tahap keempat merelasikan teks dengan konteks kekinian/sekarang. Hal-hal yang
dipertimbangkan dalam tahapan ini adalah:
1) Menentukan konsen, problem, isu, kebutuhan kekinian yang relevandengan pesan teks;
2) Mengeksplorasi konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya kontemporer yang relevan
dengan teks;
3) Mengidentifikasi nilai-nilai spesifik, norma dan institusi yang berkorelasi dengan teks;
4) Menkomparasikan konteks kontemporer dengan konteks historis teks untuk
memahammi persamaan dan perbedaan;
5) Merelasikan bagaimana teks dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan oleh komunitas
penerima pertama dengan konteks kontemporer, termasuk dengan
mempertimbangkan persamaan dan perbedaan;
6) Mengevaluasi universalitas atau partikularitas yang dicakup teks, sejauh mana teks
mempunyai relasi atau tidak mempunyai relasi dengan tujuan makro dan konsen al-
Qur’an.
c. Aplikasi Penafsiran Kontekstual
Berikut adalah beberapa contoh aplikasi penafsiran kontekstual:81
1) Poligami
Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ yang kerap dikutip sebagai dalil untuk mengabsahkan
praktik poligami adalah:

۟ ِ ۟ ِ ۟ ِ
‫ث َوُربَ ََٰع ۖ فَإِ ْن ِخ ْفتُ ْم أََّال تَ ْع ِدلُوا فَ ََٰو ِح َدة أ َْو َما‬
َ َ‫اب لَ ُكم ِيم َن ٱلنيِ َسآء َمثْ َ ََٰن َوثُ َٰل‬ ِ
َ َ‫َوإِ ْن خ ْفتُ ْم أََّال تُ ْقسطُوا ِِف ٱلْيَ َٰتَ َم َٰى فَٱنك ُحوا َما ط‬
۟ ِ
‫نٓ أََّال تَعُولُوا‬ َ ‫ت أ َْْيََٰنُ ُك ْم ۚ َٰذَل‬
ََٰ ‫ك أ َْد‬ ْ ‫َملَ َك‬
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim

81
Muhammad Hasbiyallah, Paradigma Tafsir Kontekstual: Upaya Membumikan Nilai-Nilai Al-Qur’an,
Jurnal Studi Ilmu al-Qur’an dan al-Hadits http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/al-dzikra Volume 12, No. 1,
Juni Tahun 2018, Halaman 1 - 26
19
(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat
agar kamu tidak berbuat zalim”. (An-Nisa’: 3).
Sebagian besar ulama sepakat bahwa ayat ini merupakan dasar hukum dalam kebebasan
berpoligami. Padahal, apabila ditelusuri sejarah bangsa arab pada zaman jahiliyah, mereka itu
gemar berpoligami, sampai diantara mereka ada yang mempunyai istri sepuluh orang.
Kemudian turun ayat al-Qur’an di atas untuk membatasi kepada mereka dengan empat
orang saja. Itu pun bila mereka mampu berbuat adil. Yang diinginkan al-Qur’an
sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang
telah diberikan al-Qur’an kepada wanita.Status wanita yang selama ini cenderung dinomor
duakan akan menjadi semakin kuat jika praktek poligami tetap diberlakukan. Al- Qur’an
menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kedudukan dan hak yang sama. Maka
pernyataan al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya
dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan oleh al-
Qur’an, yaitu menyangkut keadilan dalam rumah tangga.

2) Perbudakan
Sama dengan kasus poligami di atas, al-Qur’an pun mengakui secara hukum praktek
perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan bersifat sementara dan ideal moralnya adalah
pemerdekaan budak sebagaimana dalam Surat al-Balad ayat 12-13:
‫ك َرقَبَة‬
ُّ َ‫ف‬ ُ‫ك َما ٱلْ َع َقبَة‬
َ َٰ‫َوَمآ أ َْد َرى‬
Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (Yaitu)melepaskan perbudakan
(hamba sahaya).(QS. Al-Balad: 12-13).
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus
kemerdekaannya dengan membayar sejumlahuang cicilan yang ditentukan menurut kondisi
sang budak, maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu. Tuannya tidak boleh
menolaknya, seperti yang ditegaskan al-Qur’an Surat An-Nur ayat 33:

‫وه ْم إِ ْن‬ ِ ِ ‫ٱلل ِمن فَضلِِهۦ ۗ وٱلَّ ِذين ي ب ت غو َن ٱلْكِ َٰت‬ ِ ِ ِ ِ ِِ


ُ ُ‫ت أ َْْيََٰنُ ُك ْم فَ َكاتب‬
ْ ‫ب ِمَّا َملَ َك‬ ََ ُ َ َْ َ َ ْ َُّ ‫ين َال ََي ُدو َن ن َكاحا َح َّ ََّٰت يُ ْغنيَ ُه ُم‬َ ‫َولْيَ ْستَ ْعفف ٱلَّذ‬
۟ ِ ۟
ِ‫ٱْلي َٰوة‬
ََْ ‫ض‬َ ‫صنا ليتَ ْب تَ غُوا َعَر‬ ُّ َ‫ى ءَاتََٰى ُك ْم ۚ َوَال تُ ْك ِرُهوا فَتَيََٰتِ ُك ْم َعلَى ٱلْبِغَا ِٓء إِ ْن أ ََرْد َن ََت‬ ِ َِّ ‫علِمتم فِي ِهم خْيا ۖ وءاتُوهم ِمن َّم ِال‬
ٓ ‫ٱلل ٱلَّذ‬ ‫َ ُْْ ْ َ ْ َ َ ُ ي‬
‫ور َّرِح ٌيم‬ ِ ِ ۢ ِ َّ ‫هه َّن فَإِ َّن‬
ٌ ‫ٱللَ من بَ ْعد إِ ْك ََٰره ِه َّن غَ ُف‬ ُّ ‫ٱلدُّنْيَا ۚ َوَمن يُ ْك ِر‬

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat
Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan barangsiapayang
memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah MahaPengampun lagi Maha P enyayang
(kepada mereka) sesudah merekadipaksa itu ( QS. An-Nur: 33).
Ayat di atas menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam
sejarah. Kalimat al-Qur’an “Jikakamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”, bila dipahami
dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh
penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri atau berdikari, dan karenanya
mungkin lebih baik bila ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapisebaliknya, seorang
budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta kemerdekaannya dengan menebus segala

20
syarat, maka tuannya harus memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju al-Qur’an.82

3) Kepemimpinan Perempuan pada Wilayah Publik


Dalam sejarah sosiologis-kultural, pada saat itu perempuan cenderung diposisikan
sebagai manusia kelas dua dari laki-laki, sehingga lahirlah persepsi hanya sekedar pelayan dan
pelengkap. Hal ini bisa dilihat dari kedudukan perempuan pada masa Jahiliyah yang tidak
mempunyai arti fundamental. Bahkan, kadang disamakan dengan barang yang bisa
diwariskan kepada anak- anaknya sendiri. Warisan ini diduga kuat mempengaruhi image
terhadap distorsi kedudukan dan peran perempuan sampai saat ini dalam berbagai kehidupan
publik termasuk wilayah politik yang dianggap sebagai wilayah kompotensi laki-laki.
Subordinasi peran perempuan masih banyak terjadi, baik dalam kalangan keluarga maupun
dalam kehidupan publik, khususnya wilayah politik. Sejumlah persepsi negatif dalam
masyarakat yang ditautkan pada diri perempuan masih kuat, seperti perempuan sangat
lemah, emosional, dan irrasional sehingga perannya hanya cocok dalam bidang domestik
(mengurusi dapur, menata ranjang, dan mengurusianak) dan tidak layak menjadi seorang
pemimpin, bahkan tidak jarang persepsi ini dilegitimasi dengan merujuk dan menganggap
sebagai pesan teologis.83
Dalil agama yang paling sering dirujuk untuk menguatkan argumen tersebut adalah
Q.S. an-Nisa’ ayat 34.

۟ ِِ ِ
ۚ ‫ض ُه ْم َعلَ َٰى بَ ْعض َوِِبَآ أَن َف ُقوا ِم ْن أ َْم ََٰوِلِِ ْم‬
َ ‫ٱللُ بَ ْع‬ َ ‫ال قَ ََّٰوُمو َن َعلَى ٱلني َسآء ِبَا فَض‬
َّ ‫َّل‬ ِ‫ي‬
ُ ‫ٱلر َج‬

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allahtelah Melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari hartanya…
Umumnya, para mufassir klasik menyatakan bahwa “qawwamun” berarti pemimpin,
pelindung, penanggung jawab. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa kelebihan yang
dimiliki kaum laki-laki atas kaum perempuan karena keunggulan akal dan fisiknya. Sebagai
contoh, Imam al-Razi mengatakan bahwakelebihan yang dimaksud dalam ayat di atas meliputi
dua hal, yakni: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik. Akal dan pengetahuan laki-laki
menurut al-Razi, melebihi akal dan pengetahuan perempuan. Demikian pula halnya, laki-
lakiunggul dalam pekerjaankeras.
Penafsiran kata “qawwamun” dengan pemimpin jugamewarnai khazanah penafsiran di
Indonesia. Hamka misalnya, menafsirkannya sebagai pemimpin. Dalam hubungannya
dengan pembagian harta warisan dua (untuk laki-laki) banding satu (untuk perempuan), ia
mengemukakan argumentasi bahwa konsekuensi tersebut karena laki-laki harus membayar
mahar dan memberikan nafkan kepada istrinya, dan menggaulinya dengan baik.
Jika dilakukan pembacaan ulang secara komprehensif, maka tampak bahwa penafsiran
seperti tersebut di atas tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Sebab, jika ditelaah sababun
nuzul ayat di atas, ternyata hanya berkaitan dengan persoalan rumah tangga,sehingga tidak
tepat jika digeneralisir dalam semua wilayah kepemimpinan. Penafsiran yang lebih adil
diberikan oleh Muhammad Jawad Mughniyah yang mengatakan bahwa ayat diatashanya

82
Moh. Asep Widodo, “Pendekatan Tafsir Kontekstual”, dalam
http://mohasepwidodo.blogspot.co.id/2013/01/pendekatan-tafsir-kontekstual. html diakses pada tanggal 12
Desember 2017.
83
Tasbih, “Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis (Refleksi terhadapWacana Islam Nusantara), dalam
jurnal Al-Ulum, Vol. 16, No. 1, Juni 2016, 95-96

21
ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai isteri. Keduanya adalah
rukun kehidupan. Tidak satupun diantara keduanya bisa hidup tanpa yang lain, dan keduanya
saling melengkapi.
Aspek lain harus dipertimbangkan pula bahwa bentuk kepemimpinan masa lampau
adalah kepemimpinan personal.Semua urusan diserahkan pada satu sosok pemimpin. Karena
itu, jika sosoknya lemah, maka wajarlah jika tidak direkomendasikan untuk menjadi
pemimpin. Kini, pola kepemimpinan lebih bersifat kolektifsistemik. Oleh sebab itu,
kekurangan yang dimiliki oleh seorang pemimpin --laki-laki sekalipun-- dapat disimbiosiskan
dengan perangkat kepemimpinan lainnya, misalnya lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
Bahkan, kata Amin Abdullah,kemampuan dan kelebihan yang dulunya hanya dimiliki oleh
laki- laki karena kekuatan ototnya, kini dapat digantikan dengan kecanggihan teknologi.84
Pemaparan bukti-bukti penafsiran kontekstual para tokoh awal Islam di atas kurang
sempurna bila belum dilengkapi dengan pemaparan penafsiran kontekstual para sarjana tafsir
generasi setelah mereka. Dalam hal ini, penafsiran kontekstual at-Thabari (224-310 H.) dan
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) juga perludielaborasi. Tokoh pertama dikenal sebagai
sarjana tafsir ulung klasik yang karya tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an diakui
secara luas sebagai induk dan rujukan utama tafsir bi al-ma’tsur dan mewakili tafsir-tafsir
klasik. Sementara itu, tokoh kedua dikenal sebagai sarjana tafsir modern-kontemporer yang
berpengaruh besar dalam pemikiran Islam dewasa ini dan karya tafsirnya Tafsir al-Manar
mendapatkan apresiasi luar biasa sehingga cukup mewakili tafsir-tafsir modern-
kontemporer.85
4) Al Khabisat dan At Thayyibat
At-Thabari mempunyai penafsiran kontekstual seperti dalam penafsirannya terhadap
ayat 26 surat an-Nur tentang makna al-Khabitsat dan at-Thayyibat.
‫ك ُم ََبَّءُو َن ِِمَّا يَ ُقولُو َن ۖ َِلُم َّمغْ ِفَرةٌ َوِرْز ٌق‬ ٓ ۟ ِ ‫ت ۖ وٱلطَّيِبَٰت لِلطَّيِبِني وٱلطَّيِبو َن لِلطَّيِب‬ ِ ِ ِ َ‫ٱ ْخلَبِ َٰيث‬
َ ِ‫َٰت ۚ أُوَٰلَئ‬
َ‫ي‬
ِ
ُ‫ٱخلَبِيثُو َن للْ َخبِ َٰيثَ َ يَ ُ ي َ َ ي‬ َ ‫ت للْ َخبِيث‬
ْ ‫ني َو‬ ُ
ٌ‫َك ِري‬
Sebelum menafsirkannya, ia mengutarakan dua penafsiran para sarjana Muslim yang
berbeda tentang makna dua kata ini. Penafsiran pertama, perkataan- perkataan jelek adalah
milik kaum laki-laki jelek dan perkataan- perkataan baik adalah milik orang yang baik. Ini
adalah penafsiran Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ad-Dahhak, Sa’id ibn Jubair, Qatadah, dan Atha’.
Penafsiran kedua, para wanita jelek adalah milik para laki- laki jelek dan para wanita baik
adalah milik para laki-laki yang baik. Ini adalah penafsiran Ibnu Zaid. At-Thabari memilih
pendapat pertama dengan argumentasi bahwa ayat-ayat sebelumnya mencelakaum munafik
yang berbicara kotor dan menuduh Ummul Mu’minin A’isyah RA, dan ayat ini sebagai
penutup tentang orang-orang jelek yang berbicara kotor itu. Argumentasinya menunjukkania
memperhatikan sabab al-nuzul ayat ini dan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya.
Dengan kata lain, ia menafsirkannya sesuai konteks turunnya ayat tersebut.86
5) Ahli Kitab

ِ ِ ِ َ‫ُح َّل لَ ُكم ٱلطَّيِبَٰت ۖ وطَعام ٱلَّ ِذين أُوتُو۟ا ٱلْكِ َٰتَب ِحلٌّ لَّ ُكم وطَعام ُكم ِحلٌّ َِّلم ۖ وٱلْمحص َٰن‬ ِ ‫ٱلْي وم أ‬
‫ت‬ُ َ‫ص َٰن‬َ ‫ت م َن ٱلْ ُم ْؤم َٰنَت َوٱلْ ُم ْح‬
ُ َ ْ ُ َ ُْ ْ َُ َْ َ َ ُ َ َ ُ َ‫ُ ي‬ ََْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ۟ ِ ِ
ِْ ‫َخ َدان ۗ َوَمن يَ ْك ُف ْر ب‬
‫ٱْلْيََٰ ِن‬ ْ‫ىأ‬ٓ ‫ني َوَال ُمتَّخذ‬
َ ‫ني َغ ْ َْي ُم ََٰسفح‬
َ ‫ُج َورُه َّن ُُْمصن‬ ُ ‫ب من قَ ْبل ُك ْم إِ َذآ ءَاتَْي تُ ُم‬
ُ ‫وه َّن أ‬ َ ‫م َن ٱلَّذ‬
َ َ‫ين أُوتُوا ٱلْك َٰت‬
84
Ahmad Faisal, “Tafsir Kontekstual Berwawasan Gender (Eksplorasi,Kritik dan Rekonstruksi)”, 476-479.
85
Zulyadin, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Al-Kitab dalam Al-Qur’an”, Dalam jurnal
Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 16, No.2, Desember 2012, 294.
86
M. Subhan Zamzami, “Tafsir Kontekstual, dalam http://msubhanzamzami.wordpress.com/2011/06/11/
tafsir-kontekstual/, diakses pada tanggal 12 Desember 2017

22
ِ ِِِ ِ َ ِ‫فَ َق ْد َحب‬
َ ‫ط َع َملُهُۥ َوُه َو ِف ْٱلءَاخَرة م َن ٱ ْخلََٰس ِر‬
‫ين‬
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu
halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi)
perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang
beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa
kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia” (Al Maidah: 5).
Menyikapi surat ini, Muhammad Rasyid Ridha mempunyai penafsiran kontekstual
menarik tentang konsep Ahli Kitab. Ia berpendapat bahwa al-Qur’an menyebut para penganut
agama- agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma
(Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karenakaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh
bangsa Arab, yang menjadi sasaran awal al-Qur’an, itu berada berdekatan dengan mereka di
Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang
dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing
denganmenyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan
itu di masa turunnya al-Qur’an, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak
diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu
bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-
lain.
Pendapat ulama besar ini, merupakan hasil penilaiannya secara panjang lebar riwayat-
riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in, kaidah-kaidah ushul dan
kebahasaan serta menyimak dan menimbang pendapat para ulama sebelumnya, sehingga
beliau menyimpulkan dalam fatwanya sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab sebagai
berikut:
“Kesimpulan fatwa ini adalah bahwa laki-laki Muslim yang diharamkan oleh Allah
menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita
musyrik Arab.Itulah pilihan yang dikuatkan oleh Mahaguru para mufassir Ibnu Jarirat-Thabari,
dan bahwa orang-orang Majusi, al-Shābi’īn, penyembah berhala di India, Cina, dan yang
semacam mereka seperti orang- orang Jepang adalah ahl al-kitāb yang (kitab mereka)
mengandung ajaran tauhid sampai sekarang.”
Pernyataan Muhammad Rasyid Ridha ini merupakan penafsiran kontekstualnya
terhadap konsep Ahli Kitab yang selamaini mayoritas sarjana Sunni membatasinya hanya
pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga mencakup Hindu, Budha, dan
para pengikut Konfusius karena pada saat turunnya al- Qur’an orang Arab belum mengenal
agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia
mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal al-Qur’an yang memerlukan pemahaman dan
wawasan mendalam untuk menafsirkannya seperti konsep Ahli Kitab, sehingga seorang
penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan
maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan
danditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan aktual manusia.87

d. Apresiasi dan Kritik Terhadap Tafsir Kontekstual


Tafsir keagamaan yang kontekstual telah menarik perhatianbanyak ulama dan cendikiawan
muslim untuk mengembangkannyamenurut versi masing-masing. Hal itu antara lain disebabkan
karena:
1) Tafsir kontekstual dinilai lebih mampu merespon masalah-masalah sosial kemanusiaan yang

87
Zulyadain, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Al-Kitab dalam Al-Qur’an”, 301-303.
23
terus berkembang
2) Tafsir kontekstual mendapat banyak perhatian, karena dinilai lebih responsif dalam
menangani masalah secara kongkrit. Hal tersebut karena tafsir kontekstual dibangun
berdasarkan pertimbangansitusasi yang konkrit, dan bukan atas argumen ideologis dan
teologis
3) Tafsir keagamaan yang kontekstual dinilai lebih mampu berdialog dengan dinamika
kehidupan, rasionalitas dan alam pikiran masyarakat modern
Dengan pola pikir demikian, kaum muslimin dapat berdampingan dan merespon secara
kritis- konstruktif berbagai permasalahan kemanusiaan. 88
Meskipun tampak dapat menjawab banyak problem umat, tafsir kontekstual juga
mengundang sejumlah kritik ataskelemahannya, diantaranya sebagai berikut:
1. Pertama, fakta bahwa tidak semua ayat al-Qur’an mempunyai sabab an-nuzul bahkan
sebagian besar ayat tidak memilikinya. Padahal asbab an-nuzul merupakan tonggak utama
tafsir kontekstual.
2. Kedua, rumitnya menguasai seluruh aspek kehidupan manusia sejak pra-Islam hingga
sekarang. Padahal asbab an-nuzul yang sedikit bisa disempurnakan dengan penguasaan
terhadap seluruh aspek kehidupan mereka ini.
3. Ketiga, tafsir kontekstual tidak berlaku pada ayat-ayatal-Qur’an yang berbau akidah.
4. Keempat, tafsir kontekstual cenderung berlaku pada waktu dan masa tertentu, tidak berlaku
secara universal dan sepanjang masa.
5. Kelima, perubahan kehidupan manusia yang serba cepat menuntut penafsiran kontekstual
yang juga cepat. Padahal penafsiran yang tergesa-gesa sangat berpotensi untuk keliru.89

D. Kesimpulan
Pemikiran Abdullah Saeed tentang Tafsir Kontekstual telah berhasil menambal berbagai
kekurangan para pendahulu dalm menginterpretasikan Al Qur’an. Maraknya model penafsiran
tekstual, Tafsir kontekstual hadir menawarkan alternatif motodologis berupa “tafsir kontekstual”
yang peka konteks dalam rangka mengimbangi tafsir tekstual yang begitu dominan. Tafsir
kontekstual kini memiliki aspek-aspek metodologis, mulai dari landasan teoritis, gagasan dan prinsip
kunci hingga langkah operasional penafsiran secara rigid dan sistematis. Secara umum, empat
langkah operasional penafsiran kontekstual, yaitu: 1) mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan
awal dengan memahami subjektivitas penafsir, mengkonstruksi bahasa dan makna dan dunia al-
Qur’an (perjumpaan dengan dunia teks); 2) memulai tugas penafsiran dengan cara mengidentifikasi
maksud original (asli) teks dan meyakini otentisitas serta reliabilitas teks (analisis kritis teks secara
independen); 3) mengidentifikasi makna teks dengan mengeksplorasi setiap konteksnya (makna bagi
penerima pertama; 4) mengaitkan penafsiran teks dengan konteks saat ini (proses kontekstualisasi,
makna untuk saat ini).

88
Ahmad Faisal, “Tafsir Kontekstual Berwawasan Gender(Eksplorasi, Kritik dan Rekonstruksi)”, 476-482.
89
Iffah Muzammil, “Tafsir Kontekstual, dalam web:http://iffahmuzammil.blogspot.co.id/2014/11/tafsirkon
tekstual.html, diaksespada tanggal 13 Desember 2017.

24
DAFTAR PUSTAKA

, “Kontekstualisasi Hadis dalam Kehidupan Berbangsa dan Berbudaya”, dalam Jurnal Kalam,
Volume: 11, Nomor:1, Juni 2017.

, “Progressive Interpretation and the Importance of the Socio-Historical Context of the Qur’an”, dalam
Islam, Woman and New World Order: an International Conference Proceedings, Yogyakarta: PSW UIN
Sunan Kalijaga, 2006.

, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul
Hadi, Yogyakarta:Samha dan PSW UIN Sunan Kalijaga, 2003.

, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach,

, Islamic Thought: an Introduction, London and New York: Routledge, 2006.

, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, Bandung: Teraju, 2003.

, The Qur’an: an Introduction, London and New York:Routledge, 2008.

Abdullah Saeed, Interprenting the Qur’an; Towards a Contemporary Aproach, (New York, Routledge,
2006.
Abu> Zaid, Nas}r H{a>mid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulum al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atasPemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:
Mizan, 1994.

Buwaihi, “Fazlur Rahman dan Pembaharuan Metodologi Tafsir Al- Quran”, dalam jurnal Media
Akademika, Volume: 28, Nomor: 1, Januari 2013.

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnyaal-Jumanatul ‘Ali. Bandung: J-Art, 2004.

Faisal, Ahmad, “Tafsir Kontekstual Berwawasan Gender (Eksplorasi, Kritik dan Rekonstruksi)”, dalam
jurnal Al- 'Ulum: Jurnal Studi-Studi Islam, Volume: 13 Nomor: 2, Desember 2013.

Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran, Yogyakarta: LKiS, 2003.

MK Ridwan, “Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran
Abdullah Saeed”, jurnal Millati, vil. 1, no. 1, 2016.

Mustaqimah, “Urgensi Tafsir Kontekstual dalam Penafsiran Al- Qur’an”, dalam jurnal Farabi, Volume:
12, Nomor: 1, Juni2015

Naf’atu Fina, Lien Iffah, “Interpretasi Kontekstual: Studi atas Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an Abdullah
Saeed”, Skripsi,Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009.

Ridwan, Mk., “Tradisi Kritik Tafsir: Diskursus Kritisisme Penafsiran dalam Wacana Qur’anic Studies”,
dalam jurnalTheologia, Volume: 28, Nomor:1, Juni 2017.

Rosa, Mohammad Andi, “Prinsip Dasar dan Ragam Penafsiran Kontekstual”, dalam Jurnal Holistic Al-
Hadis, Volume: 1, Nomor: 2, Juli-Desember 2015.

Saeed, Abdullah, Al-Qur’an Abad 21; Tafsir Kontekstual, terj. Ervan Nurtawab, Bandung: Mizan, 2016.

25
Sama’un, Epistimologi Tafsir Kontekstual, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2019. , “Pengantar
Studi Al-Qur’an”, terjemahan Shulkhah dan Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: Baitul Hikmah
Press.2016.

Surahman, Cucu, “TafsirKontekstual JIL: TelaahatasKonsepSyariat Islamdan Hudud”, dalam Journal of Qur’an
and Hadith Studies, Volume: 2, Nomor: 1, 2012.

Suryadilaga, Muhammad Alfatih, “Hadis dan Perannya dalam Tafsir Kontekstual Perspektif Abdullah
Saeed”, dalam Jurnal Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Volume: 5, Nomor: 2, Desember
2015.

Syahrullah, “Tarjamah Tafsiriah Terhadap Al-Qur’an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi”, dalam
Journal of Qur’an and Hadith Studies, Volume: 2, Nomor: 1, 2013.

Tasbih, “Urgensi Pemahaman Kontekstual Hadis (Refleksi terhadap Wacana Islam Nusantara), dalam
jurnal Al-Ulum,Volume: 16, Nomor: 1, Juni 2016.

Zaini, Achmad, “Model Interpretasi Al-Qur’an Abdullah Seed”, dalam jurnal Islamica, Volume: 6, Nomor:
1, September 2011.

Zulyadain, “Menimbang Kontroversi Pemaknaan Konsep Ahl Al- Kitab dalam Al-Qur’an”, Dalam jurnal
Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman, Volume: 16, Nomor: 2, Desember 2012.

26

Anda mungkin juga menyukai