Anda di halaman 1dari 20

RELEVANSI PENAFSIRAN KH.

BISRI MUSTOFA MELALUI TAFSIR


AL-IBRIZ
Relevance Of Bisri Mustofa's Interpretation Through Al-Ibriz's
Interpretation
‫صلة تفسري بسري مصطفى من خالل تفسري اإلبراز‬

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Pemikiran Tafsir Indonesia

Dosen Pengampu:

Dr. H. Kholilurrahman, M.A.

Oleh:

Denie Ekaputra
222510037
Nurul Hasanah
222510061

PROGRAM PASCASARJANA ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
1444 H/2022 M
ABSTRAK

Seorang mufasir tidak hanya sekedar menafsirkan al-Qur’an dan berusaha mengungkapkan
makna yang ada didalamnya, namun juga dipengaruhi oleh realitas yang eksis di masyarakat, salah
satunya budaya yang melingkupinya. Hal ini juga terlihat dari kitab tafsir al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Aziz karya KH. Bisri Mustofa. Di dalam kitab tafsirnya ini banyak terkandung unsur-
unsur ilmiah, vernakularisasi, dan kebudayaan masyarakat Jawa yang menarik. Ia menafsirkan al-
Qur’an dengan tidak melepaskan diri dari kebiasaan masyarakat Jawa, sehingga dalam menjelaskan
suatu ayat memiliki bentuk beragam yang dapat diterima oleh masyarakat. Tulisan ini mencangkup
beberapa penjelasan tentang kitab tafsir al-Ibriz, Pertama tentang bibliografi sang penulis kitab
tafsir al-Ibriz. Kedua, membahas latar belakang penulisan kitab al-Ibriz, Ketiga metode yang
digunakan oleh sang penulis dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, Keempat karakteristik tafsir al-
Ibriz yang memuat tentang sistematika, penggunaan dan pemilihan Bahasa, dan contoh-contoh
penafsiran dalam kitab tafsir al-Ibriz. Adapun metodologi yang digunakan pada penulisan ini ialah
metodologi kualitatif yang mengacu pada Library Reserch dengan mempelajari, mengumpulkan,
dan menganalisis dari Pustaka, baik yang berupa buku, jurnal dan artikel yang terkait dari pustaka
yang sudah pernah membahas tafsir al-Ibriz. Tafsir al-Ibriz sendiri diketegorikan sebagai tafsir al-
Ra’yi dan al-Ma’tsur sehingga beberapa pendapat mengemukakan penafsiran al-Ibriz berbentul
Ijmali dan Tahlili. Sehingga penyusun berharap agar tulisan ini menjadi sumber informatif untuk
perkembangan tafsir di Indonesia.

ABSTRACT

A mufasir is not just interpreting the Qur'an and tries to express the meaning that is in it,
but is also influenced by the reality that exists in the community, one of which is the culture that
surrounds it. This can also be seen from the Book of Tafsir Al-Ibriz Li Ma'rifat Tafsir Al-Qur'an Al-
‘Aziz by KH. Bisri Mustofa. In this book of interpretation there are many scientific elements,
vernacularization, and interesting culture of Javanese society. He interpreted the Qur'an by not
breaking away from the habits of Javanese society, so that in explaining a verse has a variety of
forms that can be accepted by the community. This paper includes several explanations about the
Book of Tafsir Al-Ibriz, first about the bibliography of the author of the Book of Tafsir Al-Ibriz.
Second, discuss the background of writing the book al-Ibriz, the three methods used by the author
in interpreting the verses of the Qur'an, the four characteristics of the interpretation of al-Ibriz
which contains the systematics, use and selection of language, and examples of interpretation in
the book Tafsir Al-Ibriz. The methodology used in this writing is a qualitative methodology that
refers to the reserch library by studying, gathering, and analyzing libraries, both in the form of
books, journals and articles related to libraries who have discussed the interpretation of Al-Ibriz.
The interpretation of al-Ibriz itself is stated as the interpretation of al-ra'yi and al-ma'tsur so that
some opinions express the interpretation of al-Ibriz with ijmali and tahlili. So that the author hopes
that this paper becomes an informative source for the development of interpretation in Indonesia.

1
‫امللخص‬
‫ احداها يه‬، ‫ ولكن يتأثر آيضً ا ابلواقع املوجود يف اجملمتع‬، ‫ال يفرس املفرس القرآن فقط القرآن وحياول التعبري عن املعىن املوجود فيه‬
،‫ يف كتاب التفسري هذا‬.‫ وينظر اىل هذا آيضً ا من كتاب االبريز ملعرفات تفسري القرآن العزيز من قبل برسي مصطفى‬.‫الثقافة اليت حتيط به‬
‫ لقد فرس القرآن من خالل عدم الانفصال عن عادات‬.‫ والثقافة املثرية لالهامتم للمجمتع اجلاوي‬، ‫ والفرحة‬، ‫هناك العديد من العنارص العلمية‬
‫ تتضمن هذه الورقة العديد‬.‫ حبيث يكون دلى اجملمتع يف رشح الية مجموعة متنوعة من الشاكل اليت ميكن قبولها من قبل اجملمتع‬، ‫اجملمتع اجلاوي‬
‫ وثالاث اليت يس تخدهما‬، ‫ انقش خلفية كتابة كتاب الابريز‬، ‫ اثني ًا‬.‫ آو ًال حول ببليوغرافيا مؤلف كتاب‬، ‫من التفسريات حول كتاب اتفزير البرييز‬
‫ وكذكل آمثةل عىل‬، ‫ واخلصائص الربعة لتفسري االبريز اذلي حيتوي عىل املهنجي والاس تخدام واختياره اللغة‬، ‫املؤلف يف تفسري آايت القرآن‬
‫ املهنجية املس تخدمة يف هذه الكتابة يه مهنجية نوعية تشري اىل دراسة املكتبات من خالل دراسة ومجع وحتليل‬.‫التفسري يف كتاب االبريز‬
‫ مت توضيح تفسري الابريز نفسه عىل آنه تفسري‬.‫املكتبات يف شلك الكتب واجملالت واملقاالت املتعلقة ابملكتبات اليت انقشت تفسري العبري‬
‫مصدرا مفيدً ا‬
ً ‫ حبيث يأمل املؤلف آن تصبح هذه الورقة‬.‫الرراوي واملسور حبيث تعرب بعض الراء عن تفسري الابريز مع اجاميل واتهلييل‬
.‫لتطوير التفسري يف اندونيس يا‬
Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup umat Islam telah mengatur semua bentuk kegiatan
yang terjadi pada kehidupan manusia. Begitu pula yang berkaitan dengan perbuatan
manusia. Semua bentuk tindakan yang dilakukan manusia mengarah pada pandangan baik
dan buruk. Kebaikan dan keburukan akan selalu dinilai sebagai sumber rujukan untuk
melakukan perbuatan dalam kehidupan manusia.
Para ulama di Indonesia sudah sejak lama menulis Kitab Tafsir, baik dalam bahasa
Melayu, Indonesia, bahasa Arab dan bahasa daerah. Adapun yang tertua adalah Abdul Rauf
Singkily yang menulis Tarjuman al-Mustafid berbahasa Melayu kurun kedua abad ke-17.
Kemudian, Nawawy al-Bantany menulis Tafsir Marah Labid di Mekah pada akhir abad 19.
Mahmud Yunus menulis Tafsir berbahasa Melayu-Indonesia yang pertama. Pada periode
berikut, banyak ulama yang melakukan penulisan tafsir yakni Ahmad Hasan,Hasbi
Assiddiqy, Buya Hamka, KH. Ahmad Sanusi, serta KH. Bisri Musthafa menyusun Tafsir
dengan judul Tafsir Al-Ibriz yakni menggunakan Bahasa Jawa.
Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa merupakan hasil pemahaman dan penafsiran
atas teks suci al-Qur’an. Beliau merupakan gabungan refleksi pembacaan atas teks suci dan
realitas lain yang mengitarinya. Seorang penafsir mencoba mengekspresikan
pengalamannya dalam bentuk kata-kata atau tulisan yang memiliki makna objektif yang
dapat dimengerti oleh pembacanya.
Seorang penafsir saat memahami dan menafsirkan sebuah teks suci, sebagaimana
seorang KH. Bisri Mustofa saat menafsirkan al-Qur’an dan kemudian dituliskan dalam
sebuah buku yang disebut al-Ibriz, pada hakekatnya telah melakukan kegiatan
hermeneutik. Kegiatan ini merupakan problem hermeneutika yang meliputi dua hal.
Pertama, seorang mufassir telah menyampaikan kehendak Tuhan dalam ‘bahasa langit’

2
kepada manusia yang menggunakan ‘bahasa bumi’. Kedua, penafsir menjelaskan isi sebuah
teks keagamaan kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang
berbeda.
Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan setiap bahasa
mencerminkan pola budaya tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran
merupakan problem pokok dalam hermeneutika. Demikian pula tafsir al-Ibriz, ia ditulis
dalam bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab pegon. Karena tafsir ini memang
hendak menyapa pembacanya dari kalangan Muslim Jawa yang sebagian besar masih
tinggal di pedesaan. Pilihan bahasa yang digunakan oleh penafsir tentu memiliki
argumentasi tersendiri, bukan asal-asalan. Artikel ini membahas karakteristik tafsir Al-
Ibriz yang ditulis dalam Bahasa Jawa dengan tulisan Arab (Arab Pegon). Tulisan ini tidak
membahas sejarah pengarangnya dan menyampingkan pikiran penulisnya. Sumber data
utamanya adalah tafsi al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa. Metod yang digunakan deskritif-
nalitis dengan pendekatan hermeneutik atau interpretative

Metode Penelitian

Secara metodologis, penelitian ini termasuk dalam lingkup Library research


(metode kepustakaan), yaitu penulisan dengan mengumpulkan data-data dari
pustaka.1 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka jenis data yang diperlukan
dan digali merupakan data berbentuk kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata, kalimat,
skema dan gambar.2
Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam penelitian ialah subyek dari mana
data diperoleh.3 Yang termasuk data primer adalah kitab tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri
Mustofa. Sedangkan Data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah, kitab dan sumber
ilmiah lainnya yang terkait dengan penelitian. Proses penelitian setelah mengumpulkan
seluruh data, Langkah selanjutnya adalah menganalisa data tersebut untuk diolah dan
merumuskan sebuah laporan hasil penelitian. Dalam menganalisa data dalam penelitian
ini menggunakan metode analisis isi (content analysis). Metode analisis ini merupakan
suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan, atau suatu alat
untuk mengobservasi dan menganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari
komunikator yang dipilih.4

Hasil Penelitian dan Pembahasan

1
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2004, h. 3.
2
Khoiri, Nur, Model dan Jenis Penelitian, (Jepara: t.tp.), h. 71.
3
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 102.
4
Burhan Bungdin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 187.

3
Biografi KH Bisri Musthafa

KH. Bisri Mustofa merupakan satu di antara sedikit ulama Indonesia yang memiliki
karya besar. KH. Bisri Mustofa adalah pengarang kitab tafsir al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir Al-
Qur’an al-‘Aziz. Kemampuan Bisri Mustofa ini tak lepas dari perkembangan kehidupan
beliau sejak masa kecil hingga menjadi ulama masyhur.5 KH. Bisri Musthafa dilahirkan di
kampung Sawahan, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi
(yang kemudian diganti menjadi Bisri Musthafa setelah menunaikan ibadah haji). KH. Bisri
Musthafa merupakan putra pertama dari pasangan H. Zainal Musthafa dengan Hj.
Chotijah.6
H. Zainal Musthafa adalah anak dari Podjojo atau H. Yahya. Sebelumnya H. Zainal
Musthafa bernama Djaja Ratiban, yang kemudian terkenal dengan sebutan Djojo Mustopo.
Beliau merupakan seorang pedagang kaya. Akan tetapi beliau merupakan orang yang
sangat mencintai kyai dan alim ulama, di samping orang yang sangat dermawan. Dan dari
keluarga ibu Mashadi masih mempunyai darah keturunan Makasar, karena Hj. Chotijah
merupakan anak dari pasangan Aminah dan E. Zajjadi. Sedangkan E. Zajjadi adalah
kelahiran Makasar dari ayah bernama E. Sjamsuddin dan ibu Datuk Djijah.7
Di usianya yang kedua puluh yakni pada tanggal 17 Rajab 1354/Juni 1935, Bisri
Musthafa dinikahkan oleh gurunya yakni KH. Cholil dari Kasingan dengan seorang gadis
bernama Ma’ rufah yang tidak lain adalah putri KH. Cholil sendiri. Dari pernikahannya,
Bisri Musthafa dikaruniai delapan orang anak, yakni:8
1) Cholil (lahir pada tanggal 12 Agustus 1942)
2) Musthafa (lahir pada tanggal 10 Agustus 1943)
3) Adib (lahir pada tanggal 30 Maret 1950)
4) Faridah (lahir pada tanggal 17 Juni 1952)
5) Najihah (lahir pada tanggal 24 Maret 1955)
6) Labib (lahir pada tahun 1956)
7) Nihayah (lahir pada tahun 1958), dan
8) Atikah (lahir pada tanggal 24 Januari 1964).

5
Afif, "Al-Ibrîz: Menyajikan Tafsir Dengan Bahasa Mudah", Al-Burhan, 17.1 (2017), 73–88.
6
Izzul Fahmi, “Lokalitas Kitab Tafsīr Al-Ibrīz Karya KH. Bisri Mustofa”, ISLAMIKA INSIDE, Vol. 5, No.
1, 2019, h. 100.
7
Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa,
(Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, 2014), h. 39-40.
8
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Sejahtera Kita, 2013), Cet. 2, h. 135.

4
Seiring perjalanan waktu. KH. Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang
perempuan asal Tegal Jawa Tengah bernama Umi Atiyah. Peristiwa tersebut kira-kira tahun
1967-an. Dalam pernikahan dengan Umi Aliyah tersebut, KH. Bisri dikaruniai satu orang
putera bernama Maimun. KH. Bisri Musthafa meninggal di Semarang pada tanggal 16
Februari 1977 karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-
paru.9
Sejak kecil, KH. Bisri Musthafa sudah akrab dengan lingkungan pesantren. Sejak
umur tujuh tahun, KH. Bisri Musthafa belajar di sekolah “Ongko Loro” di Rembang. Di
sekolah ini, KH. Bisri Musthafa hanya bertahan satu tahun, karena ketika hampir naik kelas
dua, ia diajak orang tuanya untuk ibadah haji ke tanah suci. Dalam perjalanan pulang di
pelabuhan Jeddah, ayahnya wafat setelah sebelumnya menderita sakit sepanjang
pelaksanaan haji.10
Semenjak kewafatan H. Zainal Musthafa, tanggung jawab serta urusan keluarga
dipegang oleh kakak tiri KH. Bisri Mustofa, yakni H. Zuhdi. Selanjutnya setelah itu, H.
Zuhdi mendaftarkan KH. Bisri Mustofa lagi ke sekolah HIS (Hollands Inlands School). Bisri
Mustofa diterima di sekolah HIS karena ia diakui sebagai keluarga Raden Sudjono, seorang
mantri guru HIS, sekaligus tetangga keluarga Kiai Bisri. Namun tidak lama kemudian, ia
dipaksa keluar oleh Kiai Cholil dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda hingga
akhirnya kembali lagi ke sekolah Ongko Loro yang dulu dan belajar di sana hingga
mendapatkan sertifikat dengan masa pendidikan empat tahun.11
Selanjutnya pada 1926, setelah lulus dari Ongko Loro, KH. Bisri Musthafa belajar di
Pesantren Kasingan, pimpinan KH. Cholil. Pada awalnya, Bisri Musthafa tidak berminat
belajar di pesantren sehingga hasil yang dicapai pada awal-awal mondok sangat tidak
memuaskan. Hal ini dikarenakan;12
1) Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran yang di
ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, shorof dan lain lain.
2) Bisri Musthafa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras.
Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami apa yang
diajarkan pasti akan mendapat hukuman.
3) Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman Pondok.

9
Ridhoul Wahidi, Karakteristik Penafsiran Bisri Musthofa dalam Al-Ibriz li Ma’rifati Tafsir Al-Qur’an
Al-Aziz, Tesis Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2013, h. 63.
10
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 139.
11
Izzul Fahmi, “Lokalitas Kitab Tafsīr Al-Ibrīz Karya KH. Bisri Mustofa”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal
Keislaman dan Humaniora, Volume 5, Nomor 1, (Juni 2019), h. 101.
12
Luqman Chakim, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri Musthafa,
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2014, h. 39-40.

5
4) Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup.
Setahun setelah dinikahkan oleh KH. Cholil dengan putrinya Ma’ rufah, Bisri
Musthafa berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama dengan beberapa
anggota keluarga dari Rembang. Namun seusai haji, Bisri Musthafa tidak pulang ke tanah
air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu.13
Di Mekah, beliau belajar dari satu ke guru lain secara langsung dan privat. Beliau
pernah belajar kepada Syeikh Baqil asal Yogyakarta, Syeikh Umar Hamdan Al Maghriby,
Syeikh Ali Malik, Sayid Amid, Syeikh Hasan Massath, Sayid Alwi dan KH. Abdullah
Muhaimin. Dua tahun lebih, Bisri Musthafa menuntut ilmu di Mekah. Beliau pulang ke
Kasingan tepatnya padat tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian,
mertuanya yakni KH. Cholil meninggal dunia. Sejak itu Bisri Musthafa menggantikan posisi
guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.14
KH. Bisri Musthafa dikenal pejuang yang gigih sampai akhir hayatnya. Setelah
Indonesia Merdeka, ia sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsanya. Dalam
kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Bisri Musthafa merupakan aktivis
Masyumi yang gigih berjuang. Setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total
berjuang untuk NU. Tahun 1955 Bisri Musthafa menjadi anggota konstituante, wakil dari
Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan
Konstituante dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bisri Musthafa masuk di
dalamnya.15
Perjuangan KH. Bisri Musthafa tentunya tidak hanya dengan bi al-Lisan saja akan
tetapi melalui pena banyak beliau tungakan. Kebanyakan karya beliau mengenai
keagamaan yang meliputi berbagai bidang, di antaranya: Ilmu Tafsir dan Tafsir, Ilmu Hadis
dan Hadis, Ilmu Nahwu, Ilmu Saraf, Syari’ ah atau Fiqih, Tasawuf/Akhlak, Akidah, Ilmu
Mantiq/Logika dan lain-lain. Kesemuanya itu berjumlah kurang lebih 114 judul, ada yang
berbahasa Jawa (Arab Pegon), ada yang berbahasa Indonesia (Arab Pegon), ada yang
berbahasa Indonesia (huruf Latin) dan ada yang berbahasa Arab.16 Adapun hasil karya-
karyanya antara lain;17
Bidang Tafsir; Selain tafsîr al-Ibrîz lima’rifati Tafsîr al-Qur’ân, KH. Bisri Musthofa
juga menyusun kitab Tafsîr Surat Yâsîn. Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan
para santri serta para da’i di pedasaan. Termasuk karya beliau dalam bidang tafsir ini adalah

13
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, (Yogyakarta: PT.
LKiS Pelangi Aksara, 2005), h. 20.
14
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, h. 20.
15
Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa, h. 5.
16
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 141.
17
Tholhah Hasan, Intelektualisme Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, t.t.), h. 3.

6
kitab al-Iktsir yang berarti “Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para santri yang
sedang mempelajari ilmu tafsir.
Bidang Hadits;
1. Sullâmul Afhâm li Ma’rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm, terdiri atas 4
jidil, berupa terjamah dan penjelasan. Di dalamnya memuat hadits-hadits hukum syara’
secara lengkap dengan keterangan yang sederhana.
2. al-Azwâd al-Mustofawiyah, berisi tafsiran Hadits Arba’in an-Nawaiy untuk para
santri pada tingkatan Tsanawiyah.
3. al-Mandomah al-Baiqûniyyah, berisi ilmu Mustalah al-Hadits yang berbentuk
syarh nazam.
Bidang ‘Aqidah
1. Rawihât al-Aqwâm fî ‘Azmi ‘Aqîdah al-Awwâm.
2. Durar al-Bayân fî Tarjamati Syu’bah al-Îmân. Keduanya merupakan karya
terjemahan kitab tauhid/aqidah yang dipelajari oleh para santri pada tingkat pemula
(dasar) dan berisi aliran Ahlu alSunnah wa al-Jamâ’ah. Karyanya di bidang aqidah ini
terutama ditujukan untuk pendidikan tauhid bagi orang yang sedang belajar pada tingkat
pemula.
Bidang Syari’ah
1. Sullâmul Afhâm li Ma’rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm.
2. Qawâ’id al-Bahîyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji.
3. Islam dan Shalat.
Bidang Akhlak/Tasawuf
1. Wasâya al-Abâ’ lî al-Abnâ’
2. Syi’ir Ngudi Susilo
3. Mitra Sejati
4. Qasîdah al-Ta’liqât al-Mufîdah (syarah dari Qasidah al-Munfarijah karya Syeikh
Yusuf al-Tauziri dari Tunisia).
Bidang Bahasa Arab
1. Tarjamah Syarah al-Jurumiyah,
2. Tarjamah Nazam ‘Imriti,
4. Nazam al-Maqsûd.
5. Syarah Jauhar al-Maknûn.
Bidang Ilmu Mantiq/Logika
Tarjamah Sullâm al-Munawwaraq, memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang lebih
dikenal dengan ilmu Mantiq atau logika. Isinya sangat sederhana tetapi sangat jelas dan
praktis. Mudah dipahami, banyak contohcontoh yang dapat ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Bidang Sejarah
1. Al-Nabrasy,

7
2. Târikh al-Anbiyâ’,
3. Târikh al-Awliyâ’.
Bidang-bidang Lain
Tiryâq al-Aghyâr merupakan terjemahan dari Qasidah Burdah al-Mukhtâr. Kitab
kumpulan do’a yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berjudul al-Haqîbah (dua
jilid). Buku kumpulan khutbah al-Idâmah alJumu’iyyah (enam jilid), Islam dan Keluarga
Berencana, buku cerita humor Kasykûl (tiga jilid), Syi’ir-syi’ir, Naskah Sandiwara, Metode
Berpidato, dan lain-lain. Karya-karya KH. Bisri Musthafa pada umumnya ditunjukkan pada
dua sasaran. Pertama, kelompok santri yang sedang belajar di pesantren. Kedua, kelompok
masyarakat umum di pedesaan yang giat dalam pengajian di Surau atau di Langgar.18

Sejarah Penulisan Tafsir Al-Ibriz


Tafsir al Ibriz merupakan karya fenomenal yang ditulis oleh KH. Bisri Mustofa
semasa hidupnya. Tafsir ini ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon.
Kitab tafsir ini ditulis dalam konteks Jawa yang sangat kental karena Kiai Bisri tinggal di
daerah Rembang sebagai pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin. Sebelum
menyusun kitab Tafsir al-Ibriz, KH Bisri Mustofa terlebih dulu berdiskusi dengan santri-
santrinya, di antaranya Kyai Wildan dari Kendal dan Kyai Bakir dari Comal, Pemalang.
Mereka berdiskusi tentang kitab tafsir lain yang sedang berkembang, termasuk Kitab Tafsir
al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan M Rashid Rida; Kitab Tafsir fi Zilal al-Qur’an karya
Sayyid Qutb; Kitab Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jawhari; Kitab Mahasin al-Ta’wil karya
al-Qasmi; dan Kitab Mazaya al-Qur’an karya Abu Su’ud.19
Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di
koreksi secara mendalam oleh beberapa ulama terkenal, seperti; al-‘Allamah al-Hafidz KH.
Arwani Amin, al-Mukarram KH. Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH. Hisyam, dan al-
Adib al-Hafidz KH. Sya’roni Ahmadi. Yang mana semuanya adalah ulama kenamaan asal
Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian kandungannya dapat dipertanggung jawabkan baik
secara moral maupun ilmiah.20
Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna,
dari kalangan pesantren maupun orang awam21, karena melihat kondisi sosial masyarakat
khususnya dalam keagamaan yang masih sulit dalam memahami makna Al-Qur’an. Karya
tafsir ini ditulis dengan bahasa Jawa (jawa pegon) tujuannya supaya orang-orang lokal Jawa
mampu memahami kandungan Al Qur’an dengan seksama. Oleh sebab itu KH. Bisri

18
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 141.
19
Ling Misbahuddin, “Tafsir al-Ibriz Lima’rifati Tafsir al-Qur’an al-’Aziz, Studi Metodologi dan
Pemikiran,” Tesis, Pascasarjana Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1898, h. 50.
20
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 124.
21
Afif, “ al-Ibriz menyajikan Tafsir dengan Bahasa Mudah”, Jurnal al-Burhan Vol. 17, No. 1, 2017.
h.78.

8
Musthafa menuliskan kitab ini.22 Kemudian dalam versi lain dikatakan, tafsir al-Ibriz
merupakan buah pena K.H. Bisri ini sejenis kumpulan atau sketsa ceramah yang ditulis
K.H. Bisri ketika perjalanan berangkat maupun pulang dari menyampaikan ceramah. Dari
bagian-bagian itulah akhirnya tersusun menjadi sebuah kitab tafsir yang besar.23
Ada perbedaan tahun dikarangnya kitab ini. Menurut KH. Mustafa Bisri kitab ini
mulai ditulis tahun 1369 H atau 1951 M., dan selesai ditulis tanggal 29 Rajab 1379 H. atau 28
Januari 1960 M, sedangkan menurut KH. Cholil Bisri dimulai tahun 1957 dan selesai tahun
1960.24 Tafsir al-Ibriz diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus. Sampai saat ini kitab ini
masih terus digunakan dan dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Menariknya, selain
digunakan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, tafsir ini juga banyak mendapat pujian
dari para cendekiawan seperti Hasbi as-Shidiqi, Khadijah Nasution dan Martin van
Bruinessen.25
Adapun dalam kitab al-Ibriz sendiri KH. Bisri Mustofa menyampaikan
keteragannya pada mukaddimah sebagai berikut;
“Al-Qur’ân al-Karîm sampun katah dipun terjemah dineng poro ahli terjemah,
wonten ingkang mawi boso Walondi, Inggris, Jerman, Indonesia, lan sanes-sanesipun.
Malah ingkang mawi tembung daerah, Jawi, Sunda lan sak pinunggalanipun ugi
sampun katah. Kanti terjemah terjemah wahu, umat Islam sangking sedoyo bongso lan
suku – suku, lajeng katah ingkang saget mangertos ma’na lan tegesipun. Kangge
nambah khidmah lan usaha ingkang sahe lan mulyo meniko, dumateng ngersanipun
poro mitro muslimin ingkang sami ngertos tembung daerah jawi, kawulo segahaken
terjamah tafsir al-Qur’ân al-‘Azîz mari coro ingkang persojo, enteng, serto gampil
pahaminipun”.
Begitulah ungkapan beliau dalam mukaddimah kitab al-Ibrîz. Dari keterangan
tersebut kita dapat mengetahui bahwa beliau ingin agar pembaca al-Qur’ân khususnya
orang jawa, paham akan maksud al-Qur’ân. Sebagaimana langkah penerjemahan ini sudah
dilaksanakan oleh pendahulu – pendahulunya, baik dengan bahasa Inggris, Jerman,
Belanda, Indonesia, Jawa dan Sunda. Beliau ingin menghadirkan penjelasan tafsir tersebut
dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, terutama kepada rakyat Nusantara.
Jika menilik tahun diselesaikannya tafsir al-Ibriz, tafsir ini final ditulis pada situasi
dimana kehidpan ekonomi keluarganya mulai embaik. Hal ini ditunjang oleh keberhasilan
karier polotik penulisannya yang menjadi wakil NU di majelis Konstituante pada pemilu

22
Khumaidi, “Implementasi Dakwah Kultural Dalam Kitab Al-Ibri Karya Mustofa Bisri”, Jurnal AnNida,
Vol. 10, No. 2, 2018, 184.
23
M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), hlm. 273.
24
Bisri Mustofa, Al-Ibriz: Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa (Wonosobo: Lembaga Kajian Strategis
Indonesia, 2015) h. vi.
25
Muhammad Mufid Muwaffaq, "Indikasi Tafsîr Al-’Ilmî Dalam Tafsir Al-Ibrîz Karya Bisri Musthafa",
Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, Vol. 8, No. 1, 2020.

9
1955. Indicator membaiknya kondisi ekonomi ini misalnya dapat dilihat dari keberangkatan
putra sulungnya Cholil ke Makkah selama 3 tahun pada usia 17 tahun dan Musthofa ke al-
Azhar Mesir selama 6 tahun pada usia yang tidak jauh beda. Dari sisi sosial, status KH. Bisri
Mustofa makin diakui dan dihormati oleh masyarakat, semata-mata karena perpaduannya
yang unik antara kiai, politisi dan penulis buku.26
Dari sini dapat diasusmsikan, hampir keseluruhan atau setidaknya Sebagian besar
tafsir al-Ibriz ditulis dalam situasi yang cukup kondusif, jika dilihat dari segi, ekonomi, dan
politik. Hal ini sangat berbeda jika dbandingkan dengan keadaan KH. Bisri Mustofa pada
zaman jepang dan di awal masa kemerdekaan.27
Kemudian kondisi sosial keagaamn pada saat itu memang menunjukan bahwa umat
muslim khususnya di Jawa masih kesulitan dalam memahami arti ayat-ayat Al-Qur’an.
Oleh sebab itu KH. Bisri kemudian mencoba berkhidmah dan berjuang untuk
memahamkan Al-Qur’an kepada masyarakat. Maka, beliau menuliskan terjemahan
sekaligus tafsir al-Qur’an dengan menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa jawa yang digunakan
merupakan bahasa Jawa pesantren, yaitu Jawa Pegon.28

Metodologi Penafsiran Tafsir al-Ibriz


Metode penafsiran dalam kitab tafsir al-Ibriz termasuk pada metode tahlili. Kitab
tafsir al-Ibriz menjelaskan kata-perkata dalam ayat al-Qur’an dengan memberi makna
gandhul serta menerangkan dalam tafsirnya dengan keterangan tanbih, muhimmah,
faidah, qishas, hikayah dan lain sebagainya. Selain itu, tafsir al-Ibriz juga menggunakan
bahasa yang ringan dan mudah pemahamannya bagi semua orang.29
Adapun sumber penafsiran dalam kitab tafsir ini ada dua macam; yaitu bi al-Ma’tsûr,
dan bi al-Ra’yi. Dalam tafsir ini Bisri Musthafa lebih cenderung menafsirkan ayat al-Qur’ân
secara bi al-Ra’yi. Karena pada kenyataannya tidak semua ayat terdapat suatu riwayat atau
ada keterkaitan dengan ayat yang lain. Sehingga langkah yang bisa ditempuh untuk
memahami ayat tersebut adalah dengan cara bi al-Ra’yi.30

26
Abu Rokhmad, "Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz", Analisa, Vol. 18, No.01 2011, h. 27–
38.
27
Abu Rokhmad, "Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz", Analisa, Vol. 18, No.01 2011, h. 27–
38.
28
Fejrian Yazdajird Iwanebel, “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa (Telaah Analitis Tafsir
Al-Ibriz)”. Rasail, Vol.1, No.1, 2014.
29
N Khanifah Zahroh dan M. A. Suharjianto, Metode, Corak, Dan Penafsiran Fahisyah Dalam Tafsir Al-
Ibriz Karya Kh Bisri Mustofa, (t.d), 2021.
30
Muhammad Asif, Karakterisik Tafsir al-Ibriz Karya Bisri Musthafa, Skripsi, STAIN Surakarta, 2010, h.
90.

10
Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir al-Ibriz adalah
tafsir yang bersumber dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya, ayat al-Qur’an ditafsirkan
menurut bunyi ayat tersebut bukan ayat dengan ayat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
al-Ibriz adalah tafsir yang sangat sederhana. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya,
ditafsirkan mirip dengan terjemahannya. Sedang ayat-ayat yang memerlukan penjelasan
lebih dalam, diberikan keterangan secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir
berdasarkan ayat al-Qur’an yang lain, hadits atau bahkan ra’yu, tetapi tidaklah dominan
dan terjadi dengan makna sangat sederhana.31
Berdasar peta metodologi yang disampaikan oleh al-Farmawi dan yang sealiran
dengannya, tafsir al-Ibriz disusun dengan metode tahlili, yakni suatu metode yang
menjelaskan makna-makna yang dikandung ayat al-Qur’an yang urutannya disesuaikan
dengan tertib ayat mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna ayat tersebut dapat berupa
makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbab al-nuzul-nya, serta
keterangan yang dikutip dari Nabi, sahabat maupun tabi’in.
Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini paralel dengan analisis bahasa yang
sangat penting dalam mengungkap struktur bahasa yang menjebak. Kelalaian dari sisi ini
mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading karena tidak memahami anatomi bahasa
yang ditafsirkan. Padahal, di balik gramatika sebuah tafsir tersimpan makna dan maksud
penafsir yang diinginkan. Di dalamnya, tersembunyi kepentingan ekonomi, sosial dan
politik seorang penafsir. Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al-Ibriz menggunakan
metode analitis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan melalui
makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya.32
Karakteristik Tafsir al-Ibriz
Seorang penafsir saat memahami dan menafsirkan sebuah teks suci, se-bagaimana
seorang Bisri Mustofa saat menafsirkan al-Qur’ān dan kemudian dituliskan dalam sebuah
buku yang disebut al-Ibrīz, pada hakekatnya telah melakukan kegiatan hermeneutiS.
Kegiatan ini merupakan problem hermeneutika yang meliputi dua hal. Pertama, seorang
mufassir telah menyampaikan kehendak Tuhan dalam ‘bahasa langit’ kepada manusia yang
menggunakan ‘bahasa bumi’. Kedua, penafsir menjelaskan isi sebuah teks keagamaan
kepada masyarakat yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang berbeda.33
Tafsir al-Ibriz ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa (Arab pegon). Pilihan
huruf dan bahasa ini tentu melalui pertimbangan matang oleh penafsirnya. Pertama,
bahasa Jawa adalah Bahasa ibu penafsir yang digunakan sehari-hari, meskipun ia juga
memiliki kemampuan menulis dalam Bahasa Indonesia atau Arab. Kedua, al-Ibriz ini

31
Abu Rokhmad, "Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz", Analisa, Vol. 18, No.01 (2011), 27–38.
32
Abu Rokhmad, "Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz", Analisa, Vol. 18, No.01 (2011), 27–38.
33
Ahmad Syaifuddin, “Metode Penafsiran Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa”, Skripsi, IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2001, h. 16.

11
tampaknya ditujukan kepada warga pedesaan dan komunitas pesantren yang juga akrab
dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa. Karena yang hendak disapa oleh penulis Tafsir al-
Ibriz adalah audiens dengan karakter di atas, maka penggunaan huruf dan bahasa di atas
sangat tepat. Merujuk pada kelahiran Nabi Muhammad di Mekah dan berbahasa Arab,
sehingga al-Qur’an pun diturunkan dengan Bahasa Arab, maka Tafsir al-Ibriz yang ditulis
dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa adalah bagian dari upaya penafsirnya untuk
membumikan al-Qur’an yang berbahasa langit (Arab dan Mekah) ke dalam bahasa bumi
(Jawa) agar mudah dipahami.34
Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam Tafsir al-
Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh (tata krama). Ada
semacam hierarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat
tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa, yang
tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Bahasa Jawa yang digunakan oleh Bisri Mustofa
berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan Bahasa kromo (halus).35
Penggunaan Aksara Arab Pegon dalam penyajian Tafsir al-Ibriz menjadikannya
mudah dipahami oleh audiens yang merupakan masyarakat Islam pedesaan atau Jawa
pesisir, selain itu juga menjadi ciri khas pesantren yang berada di Indonesia. Aspek lain
yang melekat pada Tafsir al-Ibriz yang menunjukkan keragaman budaya Nusantara adalah
aspek kebudayaan dan cenderung kepada pemahaman dan perilaku mistis.36
Keterpengaruhan KH. Bisri Mustafa dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-
ayat al-Qur’an tidak hanya didasarkan pada tradisi dan budaya Jawa, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh kontek tradisi pesantren yang juga merupakan background budaya yang
membentuknya. Hal ini dibuktikan oleh Muhammad Asif dalam penelitiannya yang
berjudul Qur’anic Exegesis and The Tradition of The Pesantren: Characteristics of Tafsir al-
Ibriz of Bisri Mustafa.37
Di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an KH. Bisri Mustofa banyak dipengaruhi
dengan sesuatu yang menjadi lokalitas di daerahnya yang disesuaikan dengan
masyarakatnya, misalnya penafsiran tentang Surat Az-Zumar ayat 6.
”Allah ta’ala nitahake sira kabeh sangkeng awak-awakkan kang siji (ya iku Nabi
Adam), nuli Allah ta’ala ndadekake sangking awak-awakkan mau (Nabi Adam) rupa bojone
(yaiku Hawa). Lan Allah ta’ala nurunaken kanggo sira kabeh, sangking warna-warnane raja

34
Rajiqin, Badiatul dkk. Menelusuri Jejak, Munguak Sejarah, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia.
(Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), h. 19.
35
Izzul Fahmi, "Lokalitas Kitab Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustafa", ISLAMICA: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 5, No. 1, 2019, h. 96–119.
36
Izzul Fahmi, “Lokalitas Tafsir, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora Volume 3,
Nomor 1, Juni 2017. h.113.
37
Muhammad Asif, “Qur’anic Exegesis and The Tradition of The Pesantren: Characteristics of Tafsir al-
Ibriz of Bisri Mustafa,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an Dan Budaya, Vol. 9, No. 2, 2016, h. 241–64.

12
kaya wolu, sejodoh-sejodoh (unta sejodoh, sapi sejodoh, domba sejodoh, wedus kacangan
sejodoh). Allah ta’ala nitahake sira kabeh ana ing wetenge ibu-ibu sira kebeh, rupa kedadean
(tegese asale naming rupa mani-nuli dadi getihnuli dadi daging-nganti dadi sampurna). Sira
kebeh pada manggon ana ing peteng rangkep telu (sira kebeh dibuntel ari-ari, ari-arine ana
ing telanan ana ing weteng). Iya pangeran sira kabeh naming kagungan panjenengan Allah,
sekabehane kerajaan. Ora ana pengeran kang hak kesembah kejaba namung panjenengan
Allah ta’ala dewe. Nuli kepriye teka sira kabeh pada iso di enggokake marang nyembah
sakliyane Allah ta’ala.38
Dari penafsiran diatas, terlihat sekali bagaimana KH. Bisri Mustofa menafsirkan
disesuaikan dengan budaya masyarakat sekitar. Kemudian di interpretasikan oleh KH. Bisri
Mustofa dengan mengambarkan seorang anak yang tumbuh di perut seorang ibu yang
dililit oleh ari-ari. Hal tersebut merupakan kebudayaan yang menjadikan masyarakat jawa
percaya akan ari-ari dari seorang anak harus dibungkus dengan tembikar (gerabah dari
tanah liat) dan dikubur. Ketika sudah melakukan itu, seorang anak akan memiliki rezeki
seorang raja.
Sistematika Penulisan Tafsir al-Ibriz
Dalam menafsirkan ayat Alquran, Kiai Bisri mencantumkan hampir semua asbab al-
nuzul dari ayat yang ditafsirkan. Hanya saja ia tidak selalu menyinggung munasabah
(hubungan) antara ayat. Terkadang di dalamnya dikemukakan juga beberapa pendapat
dari para mufassir terdahulu tanpa ada tarjih yang disebutkan.39 Kiai Bisri sendiri dalam
pengantar kitabnya menjelaskan bahwa dalam al-Ibriz terdapat 3 bentuk atau model
penafsiran:40
“Bentuk utawi wangu nipun dipun atur kados ing ngandap iki:”
a) Al-Qur’an dipun serat ing tengah mawi makna gandul.
b) Tarjamahipun tafsir kaserat ing pinggir kanthi tanda nomer, nomeripun ayat
dumawah ing akhiripun, nomeripun terjemah dumawah ing awalipun.
c) Katerangan-katerangan sanes mawi tanda: tanbih, faidah, muhimmah, lan sak
panunggalanipun.
(” Bentuk atau model penulisan tafsir ini bisa dilihat dari keterangan dibawah ini:
a) Alquran ditulis dibagian tengah dengan menggunakan makna gandul.

38
Bisri Mustofa, al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz, juz 1, (Kudus: Menara, t.t.).
39
Siti Nur Kholifah, “Pengaruh Penahjian Kitab Tafsir al-Ibriz Terhadap Peningkatan Kecerdasan
Spiritual Pada Santri di PPM. Al-Jihad Angkatan Tahun 2012”, Skripsi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014, h. 31.
40
Bisri Mustofa, al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-Aziz, juz 1, (Kudus: Menara, t.t.).

13
b) Terjemah tafsir ditulis dipinggir dengan menggunakan tanda nomor di mana
nomor ayat terletak di akhir, sedangkan nomor terjemah terletak di awal.
c) Keterangan-keterangan lain menggunakan tanda: tanbih, faedah, muhimmah
dan lain sebagainya.).
Penafsiran Tafsir al-Ibriz
a. Penafsiran terhadap ayat-ayat poligami
Contoh penafsiran KH. Bisri Mustofa terhadap ayat poligami sebagaimana yang
terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 3:
KH. Bisri Mustofa menafsirkan sebagai berikut;
Wong-wong Islam ing zaman awal, yen ana kang ngerumat yatimah ing mangka
kabeneran ora mahram (anak dulur upamane) iku akeh-akehe nuli dikawin pisan. Nalika iku
nganti kedadeyan ana kang ndue bojo wolu utawa sepuluh. Bareng ayat nomer loro mahu
tumurun , wong-wong mahu nuli pada kuatir yen ora bisa adil, nuli akeh kang pada sumpek,
nuli Allah Subḥānahu wa Ta’ālā nurunake ayat kang nomer telu iki, kang surasane: yen sira
kabeh kuatir ora bisa adil ana ing antarane yatim yatim kang sira rumat, iya wayoh loro-loro
bahe, utawa telu-telu bahe utawa papat-papat, saking wadon-wadon kang sira senengi, ojo
nganti punjul sangking papat. Lamun sira kabeh kuatir ora bisa adil nafaqah lan gilir,
mangka nikaha siji bahe, utawa terima ngalap cukup jariyah kang sira miliki, nikah papat
utawa siji, utawa ngalap cukup jariyah iku sejatine luwih menjamin keadilan (ora
mlempeng)41
Orang-orang Islam zaman awal, ketika merawat anak yatim perempuan yang
kebetulan bukan mahram (seumpama anak saudara) kebanyakan dinikahi juga. Ketika itu
sampai ada peristiwa ada yang mempunyai isteri delapan atau sepuluh. Ketika ayat nomer
dua turun (maksudnya surat al-Nisā’ ayat kedua), orang-orang tadi lalu khawatir tidak bisa
berbuat adil, lalu banyak yang galau. Kemudian Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menurunkan
ayat nomer tiga (surat alNisā’ ayat ketiga) yang isinya: ketika kalian semu khawatir tidak
dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang kalian pelihara, maka nikahilah dua-
dua, tiga-tiga, atau empat-empat wanita-wanita yang kamu senangi, jangan sampai lebih
dari empat. Ketika kalian semua khawatir tidak dapat berlaku adil dalam hal nafaqah dan
menggilir, maka nikahilah satu wanita saja, atau merasa cukup dengan jariyah yang kamu
miliki, menikah empat atau satu, atau merasa cukup jariyah itu sebenarnya lebih menjamin
keadilan.
b. Penafsiran terhadap lafal min nafsin Wahidin

41
Bisri Mustofa, al-Ibrîz li Ma’rifat Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîz, (Kudus: Menara, t.t.) juz 1, hal 36.

14
Contoh penafsiran KH. Bisri Mustofa dalam menafsirkan lafadz min nafsin wahidin
sebagimana yang terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 1:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu (QS. Al-Nisa’: 1).
KH. Bisri Mustofa menafsirkan sebagai berikut;
Hai iling-iling para menusha khususe ahli makkah, umume menusha kabeh. Sira
kabeh padaha taqwa marang pengeran kang hanitahaken sira kabeh saking wong siji iya iku
Adam, lan nitahake garwane (ibu Hawa’) uga saking nabi Adam, lan nuli saking Adam Hawa’
Allah ta’alanitahake menusha akeh banget lanang lan wadon. Lan pada wediha marang Allah
kang asmane tansah sira anggo sumpah, lan padaha anjaga sana’, ojo nganti pedot.
Sa’temene Allah ta’ala iku tansah nginjen-nginjen amal ira kabeh.
Hai sekalian manusia, khususnya ahli makkah, umumnya semua manusia.
Bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kalian semua dari manusia yang
satu yaitu nabi Adam, dan menciptakan istrinya (Hawa’) juga dari nabi Adam, dan dari
Adan dan Hawa’ Allah menciptakan manusia yang sangat banyak laki-laki dan perempuan.
Dan takutlah kalian semua pada Allah yang namanya selalu kamu gunakan untuk sumpah,
dan saling menjagalah terhadap saudara, jangan sampai putus. Sesungguhnya Allah SWT
selalu menghitung-hitung amal kalian semua.
Kesimpulan
Tafsir Al-Ibrîz di tulis oleh KH. Musthafa Bisri yang lahir di kampung Sawahan,
Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 dengan nama asli Mashadi. Wafat di Semarang
tanggal 16 Februari 1977 karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, berusia 62 tahun.
Tafsir Al-Ibrîz merupakan kitab tafsir yang lengkap hingga 30 juz, menggunakan metode
ijmâli. Menggabungkan dua penafsiran, yakni tafsir bi Al-Ma’tsûr dan bi Al-Ra’ yi. Tafsir ini
menggunakan corak fiqhi.
Tafsir al-Ibriz sendiri merupakan karya beliau yang fenomenal, yang mana tafsir ini
ditulis dengan tujuan agar dapat menambah khidmah dan usaha yang baik untuk umat
Islam. Bisri Mustofa menyajikan tafsirnya dengan cara yang bersahaja, ringan, dan mudah
untuk difahami oleh seluruh kalangan masyarakat khususnya masyarakat Jawa. Sehingga
untuk menwujudkan tujuan tersebut tafsir al-Ibriz ini ditulis mengunakan bahasa jawa
dengan tulisan huruf Arab atau yang disebut dengan istilah Arab Pegon. Kemudian dalam
penyusunan kitabnya Bisri menuliskan ayat Al-Quran di tengah kemudian dimaknai secara
gandul. Terjemahan tafsirnya diletakan di bagian tepi halaman ditandai dengan nomor.

15
Kelebihan dari al-Ibriz adalah menerjemahkan secara harfiah dengan tulisan
gantung di bawah tulisan ayat. Tidak menguatkan/memihak terhadap salah satu pendapat.
Kekurangan, Hadis dalam tafsirnya tidak disertai sanad yang lengkap. Terdapat Isrâiliyat.
Dalam pengutipan terkadang tidak di sertai yang jelas penyebutan siapa ulama yang dikutif. Sukar
di pahami orang luar jawa.
Dilihat dari ciri khas tafsir Al Ibrīz di atas maka KH Bisri Mustofa menerapkan
dakwah kultural. Yang berarti kegiatan dakwah dengan cara memanfaatkan budaya
masyarakat setempat sebagai sarana, media dan sasarannya, supaya bisa diterima dengan
mudah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal guna menciptakan
kultur baru dalam proses menuju kehidupan Islami.

16
Daftar Pustaka
Afif, Afif, ‘Al-Ibrîz: Menyajikan Tafsir Dengan Bahasa Mudah’, Al-Burhan, 17.1 2017, 73–88.

Ahmad Syaifuddin, “Metode Penafsiran Tafsir al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustofa”, Skripsi
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2001.
Amir, Mafri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Asif, Muhammad, “Qur’anic Exegesis and The Tradition of The Pesantren: Characteristics
of Tafsir al-Ibriz of Bisri Mustafa,” SUHUF Jurnal Pengkajian Al-Qur’an Dan Budaya
9, no. 2 (2016): 241–64, https://doi.org/10.22548/SHF.V9I2.154.
Burhan, Bungdin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
Chakim, Luqman, Tafsir-tafsir ayat nasionalisme dalam Tafsir al-Ibriz karya K.H Bisyri
Musthafa, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2014.
Fahmi, Izzul, ‘Lokalitas Kitab Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Mustafa’, ISLAMICA: Jurnal
Studi Keislaman, 5.1, 2019, 96–119.

Hasan, Tholhah, Intelektualisme Pesantren, Diva Pustaka Jakarta, t.t.,


Huda, Achmad Zainal, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustofa,
Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2005.
Iwanebel, Fejrian Yazdajird, “Corak Mistis Dalam Penafsiran KH. Bisri Mustofa (Telaah
Analitis Tafsir Al-Ibriz)”. Rasail, Vol.1, No.1, 2014.
Khoiri, Nur, Model dan Jenis Penelitian, Jepara: tt,
Khumaidi, “Implementasi Dakwah Kultural Dalam Kitab Al-Ibri Karya Mustofa Bisri”,
Jurnal An-Nida, Vol. 10, No. 2, 2018.
Misbahuddin, Ling, “Tafsir al-Ibriz Lima’rifati Tafsir al-Qur’an al-’Aziz, Studi Metodologi
dan Pemikiran,” Tesis, Pascasarjana Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1998.
Mustofa, Bisri, al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir alQur’an al-Aziz, juz 1, Kudus: Menara, t.t.
Mustofa, Bisri, Al-Ibriz: Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawa, Wonosobo: Lembaga Kajian Strategis
Indonesia, 2015.
Muwaffaq, Muhammad Mufid, ‘Indikasi Tafsîr Al-’Ilmî Dalam Tafsir Al-Ibrîz Karya Bisri
Musthafa’, Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, 8.1, 2020, 1
https://doi.org/10.24235/diyaafkar.v8i1.5882.

17
Rajiqin, Badiatul dkk. Menelusuri Jejak, Munguak Sejarah, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia.
Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.
Ridhoul Wahidi, Karakteristik Penafsiran Bisri Musthofa dalam Al-Ibrîz li Ma’rifati Tafsîr
Al-Qur’an Al-Azîz, Tesis, Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2013.
Rokhmad, Abu, ‘Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz’, Analisa, XVIII.01, 2011,
27–38.

Siti Nur Kholifah, “Pengaruh Penahjian Kitab Tafsir al-Ibriz Terhadap Peningkatan
Kecerdasan Spiritual Pada Santri di PPM. Al-Jihad Angkatan Tahun 2012,” Skripsi,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014.
Suprapto, M. Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009.
Zahroh, N Khanifah, and M A Suharjianto, ‘Metode, Corak, Dan Penafsiran Fāh} Isyah
Dalam Tafsir Al-Ibrīz Karya Kh Bisri Mustofa’, 2021.

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004.

18
19

Anda mungkin juga menyukai