Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang penerjemahan al-Qur’an di Indonesia yang
menjadi penanda adanya interaksi umat Islam di Indonesia dengan Kitab
Sucinya yang tidak terbatas pada membaca dan mengkajinya dalam lafaz
asli, yaitu bahasa Arab. Seperti halnya tafsir al-Qur’an yang penuh dengan
dinamika, penerjemahan al-Qur’an pun menyentuh ranah polemik yang
menyeret perhatian para penganutnya dari kalangan yang berbeda-beda.
Polemik yang dimaksud dapat ditemukan di antara bangunan sejarah
penerjemahan yang panjang. Dalam kajian ini, penulis memilih dua
polemic penerjemahan yang pernah muncul, yaitu “Al-Qur’an Bacaan
Mulia” dan “Al-Qur’an Berwajah Puisi” karya HB Jassin dan “Tarjamah
Tafsiriyah Al-Qur’an” Muhammad Thalib. Keduanya memiliki wajah yang
sangat berbeda, yang pertama, dengan berpegang pada paradigma etika
dan estetika secara bebas mengutamakan keindahan kalimat dan
kedalaman makna yang syarat akan nuansa sastra. Sedangkan yang
kedua, melalui paradigma teologis mendasarkan terjemahnya atas tafsir-
tafsir Al-Qur’an sehingga menghasilkan terjemah yang sangat hati-hati,
terbatas akan makna dan kandungannya. Focus of this papers is study of
translation of qur’an in Indonesia which it becomes as code of interaction
of Islam with the holy book which is not only reading and study in original
language, that is Arabic language. In the dynamic of al qur’an translations
which making polemic among the different believers. The polemic in that
case is in the log terms history of translation. In this study, author would
like to try choosing two polemics which are “Al-Qur’an Bacaan Mulia” and
“Al-Qur’an Berwajah Puisi” karya HB Jassin and “Tarjamah Tafsiriyah Al-
Qur’an” Muhammad Thalib. Both of are having very different faces . Firstly
is keep in paradigm of ethic and esthetic freely , focusing on the beautiful
of sentence and deepen meaning of literacy . Secondly by using
theologian paradigm in translation of holy Koran, it produced of translation
in very carefully and works in limit meaning and contain.
Kata Kunci: terjemah, tafsiriyah, keindonesiaan, Jassin, Thalib
A. Pendahuluan
Al Qur’an terpatri dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang
abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi
manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian
rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput
dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat
universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai
perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk
memahami dan menafsirkan al Qur’an. Dinamika dan perkembangan
interaksi umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an, khususnya melalui karya
tafsir dan terjemah, bahkan tidak tanpa polemik dan konflik. Baik yang
dilatarbelakangi oleh metode dan hasil terjemahan maupun sikap dan
pemahaman pembaca yang –diduga- merupakan efek dari sebuah
terjemah, sekalipun dugaan tentang sikap tersebut masih sebatas asumsi.
Akan tetapi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas muslim di
Indonesia akan mengenali makna dan kandungan al-Qur’an melalui
terjemahannya. Oleh karena itu, terjemah al-Qur’an yang merupakan
gerbang pertama dalam memahami al-Qur’an tersebut justru memiliki
posisi dan peran yang sangat vital. Sehingga tarikan konflik yang muncul
dalam hal ini bisa sama besarnya dengan konflik dalam dinamika tafsir di
Indonesia.
Berangkat dari hal ini, maka penulis akan memfokuskan kajian pada
isu-isu tertentu seputar penerjemahan al-Qur’an yang pernah muncul di
Indonesia, atau paling tidak yang pernah terekam jejaknya. Penulis
membatasi kajian pada karya HB Jassin, yaitu “Al-Qur’an Bacaan Mulia”
dan “Al-Qur’an Berwajah Puisi” dan karya Muhammad Thalib “Tarjamah
Tafsiriyah Al-Qur’an.” Pemilihan karya dari dua sosok ini dikarenakan
ramainya respon dan reaksi dari kemunculan karya-karya tersebut, di
samping itu karena karya keduanya memiliki permunculan wajah yang
sangat berbeda.
Sejarah Penerjemahan dan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Menelusuri sejarah penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia tidak bisa
dilepas dari sejarah penafsirannya. Keduanya selalu bergandeng seiring
tak dapat dipisahkan, karena dalam proses penerjemahan juga terdapat
proses menafsirkan baik di awal ataupun sepanjang penerjemahan itu
berlangsung. Bahkan sebaliknya, penafsiran diawali oleh langkah
menerjemahkan terlebih dahulu, baik kata demi kata jika alih bahasa
tersebut terjadi antara bahasa Arab ke bahasa selainnya, ataupun hanya
kata tertentu saja yang asing dan membutuhkan arti dalam kata lain jika
itu terjadi dalam bahasa Arab. Jika melihat perjalanan sejarah umat Islam
di Indonesia dalam memahami Al-Qur’an, hal yang penulis maksud akan
sangat terlihat. Mereka memahami Al-Qur’an dengan terlebih dahulu
melihat terjemahnya baik ke dalam bahasa daerah maupun bahasa
Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan
rinci.
Kondisi demikian tentu saja dilatarbelakangi oleh budaya dan
bahasa yang sangat berbeda, di mana masyarakat Islam di Indonesia
memiliki bahasa ibu yang bukan bahasa Arab. Maka dari itu, menjadi hal
maklum jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melewati proses yang jauh
lebih panjang dari pada di bumi tempat asal ia diturunkan. Dari segi
pembabakan, Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian
kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia ke dalam tiga
generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX sampai dengan
tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran
yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada
surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, yang muncul
pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan dari generasi
pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa
catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks
sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan
penafsiran yang lengkap, dengan komentarkomentar yang luas terhadap
teks yang juga disertai dengan terjemahnya.1
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya
benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya
tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al
Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syekh
Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat
tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar
karya Hamka, hanya saja secara umum karya yang ada memang
cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel. Perkembangan
terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan karya tafsir yang
3 Karya ini dikerjakan selama 7 tahun dan kali pertama diterbitkan oleh CV Diponegoro
pada 1971. Teknis penulisannya, teks al-Qur’an diletakkan di bagian kanan bidang
halaman dan terjemahan dalam bahasa Sunda diletakkan di kiri. K.H. Qamaruddin
Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi, al-Amin: Al-Qur’an Tarjamah Sunda (Bandung:
CV Diponegoro, 1971).
Satu tahun berselang, terbit Al-Quraan Agung yang ditulis oleh S.
Suryohudoyo. Meskipun di halaman judul ditulis Terjemahan Langsung dari
Bahasa Arab, karya ini bukanlah sekadar terjemahan Al-Qur’an seperti
yang lumrah ditemui ketika itu, karena di sejumlah ayat disertai uraian
atau komentar yang memberikan penjelasan terhadap maksud suatu
ayat.4
Masih pada1973, Nazwar Sjamsu menerbitkan Al-Qur’an dan Benda
Angkasa. Buku setebal 500 halaman ini diterbi kan pertama kali oleh
Pustaka Sa’adijah, Muka Djam Gadang No. 15 Bukit Tinggi Sumatra. Selain
mengupas secara tematik hal-hal yang terkait dengan ilmu astronomi,
Sjamsu juga menampilkan terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait
dengan tema yang dikaji.5
Masih pada tahun yang sama, K.H. Mohd. Romli menerbitkan al-Kitab al-
Mubi>n: Tafsir al-Qur’an Basa Sunda. Tafsir ini diterbitkan oleh Penerbit al-
Ma’arif Bandung dalam satu jilid.6
Berikutnya, Menteri Agama membentuk Dewan Penyelenggara Pentafsir
al-Qur’an yang pada 1975, dewan tersebut mempublikasikan “Al-Qur’an
dan Tafsirnya”.7
Tahun 1978 terbit karya terjemahan al-Qur’an lengkap 30 juz
dengan sejumlah komentar singkat pada bagian tertentu dari ayat al-
Qur’an yang ditulis dengan memakai bahasa lokal. Karya ini ditulis oleh
K.H. Hamzah Manguluang, pengajar di Madrasah As’adiyah di Sengkang,
5Nazwar Sjamsu, Al-Qur’an dan Benda Angkasa (Sumatra: Pustaka Sa’adijah, 1973), hlm.
13. Buku-buku Sjamsu ini, seperti Isa al-Masih di Venus, Al-Qur’an dan Sejarah Manusia,
Al-Qur’an dan Benda Angkasa, Heboh Sastra 1968, Haji dari Segi Geologi dan Sosiologi,
dan Al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Ilmiah, diterbitkan ulang oleh penerbit Ghalia
Indonesia.
6 K.H. Mohd. Romli, al-Kita>b al-Mubi>n: Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda (Bandung:
Penerbit al-Ma’arif, 1974).
7 Lihat “Sambutan Ketua Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an” yang ditulis oleh
Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML dalam Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, tahun
1992/1993.
Kabupaten Wajo. Ia menulis terjemah al-Qur’an tersebut dengan bahasa
dan aksara Bugis.8
Masih pada tahun yang sama, terbit karya tafsir lengkap 30 juz yang
ditulis berdasarkan tertib mushaf, berjudul Terjemah dan Tafsir al-Quran:
Huruf Arab dan Latin, ditulis oleh Bachtiar Surin. Edisi pertama karya ini
diterbitkan oleh F.A. Sumatera Bandung.9 Pada era akhir 1980-an muncul
edisi revisinya yang diterbitkan oleh penerbit Angkasa Bandung dengan
judul adz-Dzikra: Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an dalam Huruf Arab dan
Latin yang dicetak menjadi 6 volume.10
Pada 1993, tafsir ini diterbitkan kembali dengan judul al-Kanz:
Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an dalam 3 volume yang diterbitkan oleh
penerbit Titian Ilahi Bandung. Pada tahun yang sama, ketika wilayah
Provinsi Jawa Barat dipimpin Gubernur Aang Kunaefi, Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi Jawa Barat menerbitkan terjemah dan tafsir
Al- Qur’an bahasa Sunda. Sejumlah ulama terlibat di dalam proyek ini,
yaitu K.H. Anwar Musaddad, K.H. Mhd. Romli, K.H. Hambali Ahmad, K.H.I.
Zainuddin, dan K. Moh. Salmon. Kemudian masih pada tahun 1978, H.B.
Jassin mengumumkan penerbitan Al-Quran Bacaan Mulia (ABM).
Al-Qur’an Bacaan Mulia dan Al-Qur’an Berwajah Puisi HB Jassin
Biografi HB Jassin
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin
adalah pria kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917 yang selalu dihubungkan
dengan dokumentasi sastra Indonesia dan ia adalah orang yang secara
penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja dokumentasi. Ia berasal
dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM
(Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan.
9 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin (Bandung:
F.A. Sumatera, 1978).
10 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin (Bandung: F.A.
Sumatera, 1978)., hlm. xi.
Di kota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para
calon seniman, diantaranya Chairil Anwar. Dalam pulang ke Gorontalo
tahun 1939, ia terlebih dahulu menemui Sutan Takdir Alisjahbana di
Jakarta. Takdir sangat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke
Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Ia juga pernah
menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka
(1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni
Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota
juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975),
anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-
1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-
1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29
tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli
1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun
1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-
Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di
tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984
dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991.
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan
pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten
Residen di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku. Pada
tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang
menggantikan Dokumentasi Sastra. Sejak akhir September 1982 sampai
sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter
persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta
Pusat.
Keindahan dan Kontroversi dalam Penerjemahan Al-Qur’an HB
Jassin
Sebagai seorang yang memahami sastra, HB Jassin memiliki dua
karya berkaitan dengan terjemah al-Qur’an yang cukup kontroversial di
masa kemunculannya, yaitu “Al-Qur’an Bacaan Mulia” dan “Al-Qur’an
Berwajah Puisi”. Ide penyusunan “Al-Qur’an Bacaan Mulia” itu sendiri
bemula ketika istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962,
peristiwa ini cukup menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh
malam, dia mengaji terus sampai selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada
malam kedelapan, ketika rumah sepi, dia meneruskan mengaji seorang
diri. Tidak puas dengan sekedar membaca saja, dia mulai
mempergunakan beberapa buku terjemahan untuk mendalami dan
meresapi isi kitab suci itu. Berikut ini adalah kutipan tulisan HB Jassin
pada pendahuluannya dalam Al-Qur’an Bacaan Mulia:
Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami
hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran, ayat-ayat yang
mustahil adalah bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri.
Keyakinan ini saya resapi kebenarannya, karena ayatayat itu meliputi
masalah-masalah kehidupan yang amat luas serta tinggi dan dalam
maknanya…
Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun hari
yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat dalam
sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh
murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah
menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 45. Tapi semua itu saya terima sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti hakikat dan saya
anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa. Sampai tibalah suatu
hari hati saya terbuka untuk mulai menterjemahkan al-Quran, setelah
tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari katulistiwa yakni
di negeri Belanda.
Pikiran untuk menterjemahkan al-Quran secara puitis timbul pada
saya oleh membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang
saya peroleh dari kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah
terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan
yang luas dan universal sifatnya. Untuk menimbulkan kesan yang estetis
penyair mempergunakan irama dan bunyi. Bukan saja irama yang
membuai beralun-alun, tapi juga- jika perlu- irama singkat melompat-
lompat atau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi
penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi
bukan saja diujung baris, tapi juga diantara baris, mempertinggi kesan
keindahan pada pendengar atau pembaca.
Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an dan ang dan
bunyi sukukatasukukata yang terbuka menimbulkan kesan yang merdu.
Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak
sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi
persajakan diujung baris, diantara baris ataupun ditengah baris. Dibawah
ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak perkataan
sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam surah (26)
asy-Syu’ara dikisahkan Firaun meminta pertimbangan kepada para
pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa.
Mereka menjawab: “Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim
ke kota-kota para bentara.” (26:36) Pada hemat saya lebih bertenaga dan
penuh ancaman rasanya jika baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota. Dibawah ini sebuah contoh
perbedaan pilihan kata yang menimbulkan perbedaan penghayatan
estetis secara audiovisual. Surah (61) ash-Shaf ayat 2 kita lihat
diterjemahkan:
“Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” Dapat
dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakana Apa yang tiada kamu lakukan?.11
Wacana ini pun kemudian menyeruak ketengah masyarakat luas
yang menimbulkan respon pro dan kontra terhadap ide HB Jassin yang
mencoba menterjemahkan Al Qur’an secara puitis. Bagi sebagaian orang
yang keberatan dengan ide HB Jassin merasa bahwa ini dapat merusakan
pemahaman kandungan al-Qur’an, tak ayal lagi masalah teknis
penterjemahan bukanlah masalah kecil. Beberapa perbedaan pemahaman
ayat sendiri sebagaimana biasanya sudah cukup menimbulkan debat
ilmiah. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa yang melakukan
penterjemahan justru seorang doktor sastra Indonesia. Tokoh ini sama
sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an juga mengaku
bukan ahli dalam bahasa Arab. Hans Bague jassin sendiri mengaku
11 HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, (Jakarta: Grafiti, 1975), hlm. V.
memang tidak pernah mendapatkan pelajaran khusus membaca al-
Qur’an. Hanya saja, sewaktu kecil ia sering mendengar neneknya sering
membaca kitab suci itu dan Jassin begitu terkesima. Baru saat mahasiswa,
di fakultas sastra Universitas indonesia (UI), tamat 1957, ia sempat
mempelajari bahasa arab. Di sana Jassin juga mempelajari terjemahan-
terjemahan al-qur’an, naskah-naskah lama dari ar-Raniri, Hamzah Fansuri,
yang berupa tulisan arab melayu beserta kutipan-kutipan bahaa arabnya,
dan juga mempelajari cara menerjemahkan lewat kamus.
Namun Jassin lebih dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia. Ia
malahan dianggap sebagai Paus sastra Indonesia (ada juga yang
menyebutnya Empu Sastra). Kemudian pada 1975, almamaternya
menganugerahkan gelar Doktor Honoris causa. Motivasi dari usahanya ini
diungkapkan Jassin secara sederhana, bahwa terjemahan yang sudah
dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia semuanya ditulis dalam bahasa
prosa. Dan hal itu tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh
para penterjemah yang pada umumnya adalah guru-guru agama ialah
kandungan kitab suci itu. Padahal sebenarnya bahasa Qur’an sangat puitis
dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra
walaupun dalam setiap mushaf (buku Qur’an) ayat-ayat itu secara visuil
disusun sebagai prosa.
Maka tampaklah Jassin memandang prosa dan puisi pertama kali
dari segi visuil dari segi tata-muka. Jassin sendiri menyatakan bahwa
perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran puisi disusun tidak
baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman
saja. Sudah tentu sebagaimana dikatakan Jassin tidak semua baris prosa
bisa dirobah menjadi puisi dengan hanya merobah susunan. Dengan kata
lain puisi Quran tidak sekedar kalimat terpotongpotong. Tapi pengertian
puisi sebagai bentuk Susunan kalimat itulah yang sering dipakai para
penterjemah puitis yang sudah lebih dulu mencoba seperti Mohamad
Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf Ali Beirut
yang menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling indah dan
yang mendorong dia melakukan hal serupa dalam bahasa Indonesia.
Sudah tentu perasaan enak dan tidak enak terhadap sesuatu terjemahan
hampir selalu bersifat relatif. Tapi justru sebagian orang mengatakan
bahwa diukur dengan citarasa puisi terjemahan Yusuf Ali justru kalah
indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke pikcthall yang disusun
secara ayat aslinya. Sebab mungkin saja lebih dari Yusuf Ali Pickthall
berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya lantas
menuangkan ke dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa bahasa
Inggeris tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut syair atau
sajak. Karena bertolak dari bentuk itulah agaknya salah-satu alasan
mengapa Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya (terjemahan juz
XXX dan belum diterbitkan) sebagai puitisasi terjemah Qur’an dan bukan
terjemah puitis Qur’an. Tetapi barangkali menarik bahwa dengan berpijak
pada citarasa dan suasana asli, ‘dalam arti menghadapi Quran sebagai
karya puisi’, akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari
terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan mengguru-gurui
atau lebih mementingkan kandungan makna semata-mata menurut istilah
Jassin. Contoh penerjemahan HB Jassin surat al-Naml/27 ayat 59-66:
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,
Dan selamat sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.
Apakah Allah yang lebih baik,
Atau apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?”
Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi,
Dan yang menurunkan bagimu hujan dari langit?
Ya, dengannya Kami tumbuhkan
Kebun-kebun buah-buahan yang indah.
Tiadalah kamu mampu menumbuhkan pohon-pohon didalamnya.
(Mungkinkah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi mereka adalah kamu yang menyimpang (dari Kebenaran).
Atau siapakah yang menjadikan bumi,
Tempat kediaman yang kukuh kuat?
Yang menempatkan sungai-sungai ditengah-tengahnya,
Yang memancangkan gunung-gunung diatasnya,
Dan menaruh sekatan antara kedua lautan?
(Mungkinlah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi kebanyakan mereka tiada tahu.
Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang dalam
kesulitan,
Jika ia menyeru (Tuhan),
Yang menghilangkan keburukan,
Dan menjadikan kamu khalifah dimuka bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Alangkah sedikit kamu mengambil peringatan!
Atau siapakah yang membimbing kamu
Dalam kegelapan di daratan dan di lautan,
Dan siapakah yang mengirimkan angin
Sebagai pembawa kabar gembira,
Mendahului rahmat-Nya?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Mahatinggi Allah diatas apa yang mereka persekutukan Ia!
Atau siapakah yang pertama kali memulai ciptaan,
Kemudian mengulanginya?
Dan siapakah yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Katakanlah, “Bawalah bukti yang nyata,
Jika kamu berkata benar!”
Katakanlah, “Tiada yang tahu di langit dan di bumi apa yang gaib, Kecuali
Allah.
Dan tiada mereka tahu apabila mereka dibangkitkan.
Tiada pula ilmu mereka sampai kepada (ilmu) akhirat,
Bahkan mereka dalam keraguan mengenai hal itu
Tidak, mereka buta untuk itu.12
Pada tanggal 31 Juli 1993, HB Jassin kembali membuat kontroversi
adalah penyusunan Al-Qur’an berwajah puisi. Munculnya ide ini membuat
umat Islam digegerkan oleh peristiwa langka dan fenomenal. Al-Qur’an
12 HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, (Jakarta: Grafiti, 1975), surat al-Naml ayat
56-66.
yang ditulis oleh Jassin ini banyak menuai kritik dari berbagai kalangan.
Ada yang menanggapinya sebagai bid’ah, ada juga yang berpendapat
bahwa kesastraan Alqur’an yang walaupun tanpa dipuitisasikan, ia telah
mengandung sastra yang tinggi. Itulah berbagai apresiasi atas karya dari
seorang master sastra yang lahir dari Gorontalo ini. Terlepas apakah
karyanya menibulkan kontroversi atau tidak, ia telah menyumbang karya
seni dalam khazanah keislaman.
Al-Qur’an Berwajah Puisi –bukan al-Qur’an Sebagai Puisi karena
hanya lay out-nya yang berbentuk puisi- adalah salah satu karya Jassin
yang lahir karena termotivasi akan ketinggian sastra yang terkandung
dalam al-Qur’an. Ia berpendapat “Mengapa al-Qur’an yang begitu indah
bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah
perwajahannya?“ katanya. “Ayat ayat al-Qur’an bagaikan intan, setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut lainnya. Tidak mustahil, bila anda mempersilakan orang
lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang
anda lihat “. Estetika bahasa dan kandungan yang puitis bisa jadi untuk
menjawab kecenderungan bangsa Quraisy saat itu yang mengagungkan
puisi, sekaligus menantangnya untuk membuat satu bait “puisi” yang
seindah Alqur’an (Asy Syu’ara: 224-225).13
Selain itu, Jassin berpendapat memperlihatkan keagungan al-Qur’an
adalah dengan menyesuaikan para pembacanya. Misal, Tafsir Al-Ibriz
karya K.H. Bisri Mustafa merupakan apresiasi beliau atas keadaan sosial
masyarakat Jawa yang plural. Sedangkan Jassin, dari kalangan seniman,
memunculkan keagungan Alqur’an lewat bahasa puisinya agar dapat
dirasakan oleh para seniman. Tafsir lokal dibuat agar makna al-Qur’an
lebih dipahami umat. Namun ada juga yang menganggap sesat. Berikut
adalah contoh salah satu halaman dalam Al-Qur’an Berwajah Puisi:
)2(ن قحرآ ح ح م ال ح ن ) ع حل ر ح1 ( ن
ح ن الرر ح
)4(ن ه ال ححيَنا ح ) ع حل ر ح3 ( ن
م ن سَنا حنن ح
خل حقح ا ح
ل ح
)6(ن
دا ن
ج ح
س ن
جنر ي ح ح م حوال ر
ش ح ج ن
) حوالن ر ح5 ( ن
سحبَنا ن
منر ب ن ح س حوال ح ح
ق ح م ن ال ر
ش ح
13 http://info@wahidinstitute.org. Diakses tanggal 12 Juni 2014 pukul 13.30 WIB.
)8(ن ف ال ح ن
ميحزا ن ل ت حط حغح ح
وا ن ر
ح
) أ7 ( ن
ميحزا حضع ح ا ل ح ن
مَناحء حرفحعححهَنا وحوح ح
س ح حوال ر
)9(ن سوا ال ح ن
ميحزا ح ط وح ح
ل ت حن ن س ن ن نبَنال ح ن
ق ح موا ال حوححز ح
نقي ن
ح
حوأ
) 11 ( مَنام ن كح ح
ت ال ح ذا ن ل حخ ن ) نفيحهَنا حفَناك نهح ة10 ( حنَنام ن
ة حوالن ر ح
ضعححهَنا نلل حض وح ححر ح
حوال ح
) 12 ( ن
حَنا ن ف حوالرري ح ح ص ن ذو ال حعح ح حوال ح ب
ب ن
) 13 ( نمَنا ت نك حذ ذحبَنا ن
لنء حرب ذك ن حيذ آ ح ح
ح
فحنب أ
Perdebatan tentang apakah Alqur’an cenderung pada garis puitis
atau prosa, dalam literature islam, telah muncul jauh sebelum H.B. Jassin
memuitisasikan ayat-ayat al Qur’an. Mayoritas ulama menyatakan bahwa
tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat alqur’an telah mengandung
nilai puisi yang sangat agung. Tapi ia sendiri bukanlah puisi. Al-Qur’an
Berwajah Puisi, yang mencoba melakukan dekonstruksi terhadap tipografi
teksteks al-Qur’an yang normatif, bukan hanya tidak direstui
penerbitannya oleh Munawir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, tapi juga
dituding Ketua MUI, KH Hasan Basri, sebagai mempermainkan al-Qur’an.
Jassin memang pantas digelari Octopus, gurita besar yang punya ratusan
tangan. Apapun karyanya selalu direspons orang, pro maupun kontra. Ia
memang dilahirkan dengan penuh polemik.14
Kontroversi yang timbul dilatari oleh 2 sebab. Pertama, HB Jassin
tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir.
Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3 hal
diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang
pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah
Pendahuluan
Sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an mendapatkan resepsi yang luar
biasa besar dari penganutnya. Resepsi yang paling jelas terlihat pertama
sekali adalah resepsi hermeneutis, di mana al-Qur’an telah menghasilkan
ratusan kitab-kitab tafsir sepanjang sejarah. Penulisan tafsir ini akan terus
berkembang hingga akhir zaman. Selain itu, al-Qur’an juga diresepsi
secara kultural dan estetis. Resepsi terakhir ini mengambil beberapa
bentuk seperti kaligrafi. Untuk konteks Indonesia, bentuk resepsi estetis
lainnya adalah penerjemahan al- Qur’an ke bahasa puitis sebagaimana
yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Bukan hanya itu, H.B. Jassin juga telah
menyelesaikan karya resepsi estetis lainnya yang ia sebut Al-Qur’an
Berwajah Puisi. Sayangnya, karya kedua ini tidak diizinkan untuk
diedarkan kepada publik oleh Kementrian Agama dan Majelis Ulama
Indonesia. Menempatkan karya Jassin kepada aspek estetis saja cukup
problematis.
Pada satu sisi, Jassin berusaha mengungkap keindahan puitik al-
Qur’an. Jelas ini adalah resepsi estetis. Akan tetapi, pada sisi lain, ia
membuatnya dalam bentuk terjemahan al-Qur’an. Sebagai terjemah,
maka ia juga resepsi hermeneutis, karena bagaimanapun juga terjemahan
adalah hasil penafsiran. Al-Qur’an Berwajah Puisi, meskipun bisa kita
anggap sebagai karya kaligrafi, bagi Jassin tetap merupakan karya dengan
pemaknaan, karena, penyusunan layout al- Qur’an sebagaimana layout
puisi, mempersyaratkan pembaca untuk memahami teks al-Qur’an,
sebagaimana ia memahami teks puisi. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya
untuk membahas resepsi estetis H.B.Jassin terhadap al-Qur’an tanpa
mengenyampingkan resepsi hermeneutisnya. Dari itu, maka artikel ini
akan mengelaborasi kedua resepsi H.B. Jassin tersebut. Pola yang
dijalankan oleh H.B. Jassin dalam menulis Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia
penerjemahan al-Qur’an atau menyusun Al-Qur’an Berwajah Puisi
mengantarkan pada hipotesis bahwa Jassin menggunakan pengetahuan
intuitif untuk semua itu. Selanjutnya, hipotesis ini akan diuji dengan
menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan resepsi
estetisnya secara objektif, dan metode analitis untuk mendalami dan
mengkritisi epistemologi keilmuan yang ia gunakan sebagai resepsi
interpretatifnya.
H.B. Jassin: Empu Penyair Indonesia Nama lengkapnya adalah Hans
Bague Jassin atau biasa disebut H.B. Jassin. Ia dilahirkan pada pada
tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo dari pasangan Mantu Jassin dan Habiba
Jau. Sejak kecil, Jassin adalah anak yang suka membaca. Ia gemar
membaca buku-buku yang dimiliki ayahnya meskipun ia tidak begitu
memahaminya. Kegemaran membaca membawanya ke ranah sastra
terutama sekali setelah ia mengenal seorang Belanda bernama M.A.
Duisterhof,guru sekaligus kepala sekolah dari tempat Jassin belajar.15
Semasa mudanya, Jassin telah berkenalan dengan beberapa
sastrawan seperti Chairil Anwar. Ia merasa beruntung bisa bertemu
dengan sastrawan idolanya, Sutan Takdir Alisjahbana. Pertemuan singkat
tersebut ternyata menimbulkan kesan mendalam dalam diri Sutan,
sehingga ia mengirim surat ke Gorontalo meminta Jassin agar mau
bekerja di lembaga sastra yang ia pimpin,Balai Pustaka.16
Jassin terlibat dalam sejumlah aktifitas sastra. Ia sempat mengisi
posisi redaktur majalah ternama di Indonesia seperti Mimbar Indonesia
(1947-1966), majalah Zenith (1953-1956), dan sebagainya. Ia juga pernah
menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka
(1987-1994), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang
disumpah (1979-1980), dan sejumlah jabatan penting lainnya dalam dunia
sastra dan penulisan.17 Pada tahun 1953, Jassin diangkat menjadi Dosen
Luar Biasa di Universitas Indonesia untuk mata kuliah Kesusastraan
Indonesia Modern. Jassin diberhentikan dari Universitas Indonesia pada
tahun 1964 diakibatkan oleh keterlibatannya dalam Manifest
Kebudayaan.18 Jassin meninggal pada Sabtu dini hari 11 Maret 2000 pada
usia 83 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sebagai
penghormatan serta penghargaan atas jasa-jasanya, Jassin dimakamkan
15 Pamusuk Erneste, H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1987), 2.
16 Leila S. Chudori, “H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia,” dalam www. tempo.com,
diakses pada tanggal 9 April 2014.
20 Hamka, “Sambutan Cetakan Pertama” dalam H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia cet.
III (Jakarta: Djambatan, 1991), xiii.
kritikus sastra, H.B. Jassin juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam
hal penerjemahan. Ia menguasai sejumlah bahasa asing seperti Belanda,
Jerman, Inggris, Belanda, Prancis.21
Ia telah menerjemahkan sedikitnya 15 buku dalam bahasa-bahasa
tersebut.22 Namun begitu kompetensi berbahasa Arabnya dipertanyakan
berbagai pihak yang mengkritisi Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Resepsi
Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur’an Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia
Perlu digarisbawahi, bahwa yang didiskusikan dalam tulisan ini adalah dua
karya yang berbeda. Yang pertama adalah terjemahan al-Qur’an yang
diberi judul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia, dan yang kedua adalah Al-
Qur’an Berwajah Puisi. Kedua karya ini tidak lepas dari kecenderungan
sastrawi yang dimiliki oleh Jassin sebagai pengaruh dari professional
concern-nya sebagai sastrawan. Kedua karya ini tidak jauh dari unsur
puisi. Jika pada Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia unsur puisi berada pada
bentuk terjemahan, pada Al-Qur’an Berwajah Puisi terletak pada layout
dan tata letak penulisan al-Qur’an. Kelahiran Al-Qur’anul Karim Bacaan
Mulia merupakan wujud kesadaran religius seorang sastrawan yang
muncul pada hari tuanya. Paling tidak, itulah kesan yang terlihat dari
artikel pertama yang terdapat dalam buku Kontroversi Al-Qur’an Berwajah
Puisi.23 Pada artikel pembuka tersebut, M. Amin dan Yulius P. Silalahi
menuliskan sebagai berikut:
“Kini di usianya yang makin renta, Jassin juga semakin sadar, bahwa
semua manusia akan kembali ke Khalik-Nya. Itu makanya Jassin banyak
berzikir. Jassin mengaku, sebagai manusia dia amat lemah. Kesalahan-
23 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (Jakarta: Graviti: 1995). Buku
tersebut merupakan kumpulan artikel dan surat, baik dalam media massa, jurnal ilmiah,
instansi pemerintahan, dan pribadi, yang berkaitan dengan proyek Alquran Berwajah
Puisi H.B. Jassin. Tidak kurang dari 31 artikel surat kabar/majalah dan 62 surat pribadi
maupun instansi, yang melibatkan 21 media massa/majalah/jurnal, puluhan tokoh
nasional, dan beberapa instansi pemerintahan. Terlihat betapa terobosan H.B. Jassin ini
sangat fenomenal pada masanya.
kesalahan di masa lalu kerap membayang di ingatannya, dan itu
membuatnya selalu meminta ampunan pada Tuhan.”24
Kiranya tidak berlebihan apa yang ditulis oleh M. Amin dan Yulius P.
Silalahi tersebut memperhatikan tanggapan yang serupa juga diberikan
oleh Hamka. Meskipun memberikan kesaksian yang memberatkan Jassin
pada siding di Pengadilan Negeri Jakarta berkenaan dengan kasus cerpen
“Langit Semakin Mendung,” Hamka memberi tangapan yang positif terkait
usaha Jassin dalam penerjemahan al-Qur’an dalam sambutannya untuk
cetakan pertama Al- Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Dalam sambutan
tersebut, Hamka memperlihatkan integritas H.B. Jassin sebagai seorang
sastrawan, dan sebagai seorang manusia yang terpanggil hatinya untuk
mempelajari al-Qur’an pada masa tuanya. Hamka menuliskan percakapan
langsungnya bersama Jassin pada perjalanan pulang dari ruang sidang.
“Perhatian saya kian lama kian mendalam kepada al-Qur’an. Tidak saya
biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya. Saya renungkan
ayat demi ayat!”25 Penjelasan Jassin tersebut dikomentari seperti ini oleh
Hamka dalam kelanjutan sambutannya:
“Maka dapat dipahami jika ia pada mulanya tertarik merenungkan al-
Qur’an, lalu tenggelam ke dalam keindahannya, lalu terjalin cinta kepada
Tuhan karenanya,lalu timbul keinginan hendak turut berbakti kepada
agama dengan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
kesusastraan yang Indah.” Berdasarkan pengakuannya, Jassin tergerak
untuk mempelajari al-Qur’an semenjak wafat istrinya pada tahun 1962.
Selama tujuh hari al-Qur’an
dibacakan di rumahnya. Ia kembali ingat masa kecilnya yang tidak begitu
dekat dengan al-Qur’an. Bahkan ia sempat jengkel dengan muballigh
yang khutbah (dalam bahasanya Jassin menyebut ‘berteriak-teriak’). Ia
hanya sering mendengar neneknya membacakan al-Qur’an. Baginya,
bacaan sang nenek begitu indah didengar. Lantas ia berpikir, mengapa
24 M. Amin dan Yulius P. Silalahi, “Antara Teka-teki Hidup dan Teka-teki Silang” dalam
H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (Jakarta: Graviti: 1995), 5.
29 Moch. Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik: Terjemahan Resmi al-Qur’an di
Indonesia,” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), 417-418.
tidak bisa menyelesaikan terjemahannya karena ia telah meninggal
terlebih dahulu. Sementara kedua tokoh berikutnya menerbitkan
terjemahan puitis al-Qur’an terhadap ayat-ayat pilihan, bukan seluruh al-
Qur’an sebagaimana Jassin.30
Sebagai gambaran yang lebih rinci,Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia
karya H.B. Jassin bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Menggunakan pola tartib mus}h}afi>.
2. Pada halaman pertama, surat al-Fa>tih{ah, Jassin memberi hiasan
kaligrafi surat al-‘Alaq ayat 1-12 dalam pola pintu yang sisi atasnya
berbentuk bundar. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai hal ini.
Dekorasi semacam ini ditemukan pada setiap awal juz.
31 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia cet. III (T.tp: Djambatan, 1991), 2.
b. Makna tunjukan dari kata ganti tertentu, seperti dhami>r atau
maus}u>l. Sebagai contoh ayat alladhi> ja’ala lakum al-‘ard}. Pada ayat
tersebut, Jassin menyebutkan kata tunjukan dari maus}u>l alladhi>,
sehingga ia menerjemahkannya: “(Tuhan) yang menjadikan bumi....”33
c. Pada ayat yang mengimplisitkan kata tertentu. Kondisi ini merupakan
pemakaian tanda kurung paling banyak yang digunakan oleh Jassin.
Sebagai contoh, ketika ia menerjemahkan h}atta> idha> balaghu> al-
nika>h}, ia menambahkan kata ‘usia’ di dalam kurung sebagai makna
implisit dari frase ayat tersebut.34
7. Menggunakan footnote di beberapa tempat. Ada beberapa kriteria yang
digunakan Jassin dalam fitur catatan kaki ini:
a. Pada ayat yang menggunakan tams}i>l, seperti kata marad} pada al-
Baqarah: 10. Jassin menerjemahkan kata tersebut secara literal, penyakit,
akan tetapi menempatkan catatan kaki untuk menjelaskan makna dari
tams\i>l tersebut, yaitu dengki, iri hati, dendam, sombong, takabbur , dan
segala macam kekotoran hati.35
b. Pada kata-kata yang tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa
Indonesia, seperti kata al-sufaha>’. Jassin menerjemahkannya dengan
safih dengan memberikan penjelasan lebih lanjut pada catatan kaki.36
c. Pada kata yang memiliki penafsiran tertentu, seperti kata al-s}abr pada
al-Baqarah: 45. Jassin tetap menerjemahkan kata tersebut dengan
‘kesabaran.’ Hanya saja, ia memberikan catatan kaki, bahwa yang
dimaksud dengan kesabaran di sana adalah puasa.37
36 Ia menjelaskan bahwa safih adalah orang yang angkuh, bodoh, kurang ajar, tak
masuk nasihat, suka melawan dan tidak ada rasa malu.
Al-Qur’an Berwajah Puisi Jika Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia muncul
sebagai akibat dari munculnya religiusitas H.B. Jassin semenjak
meninggalnya istrinya, Al-Qur’an Berwajah Puisi merupakan kelanjutan
dari karya pertama tersebut. Jassin mengakui kekurangannya dalam
kompetensi menerjemahkan al-Qur’an. Ia kemudian memilih untuk
bersikap terbuka terhadap kritik dan saran seputar karya tersebut, yang
akan ia perbaiki pada cetakan berikut. Semenjak saat itu, hari demi hari
tidak ada yang ia lewatkan tanpa menulis al-Qur’an. Dalam
sebuah wawancara, Jassin menyatakan bahwa ia menulis al-Qur’an setiap
saat. Selain memperbaiki kesalahan-kesalahan pada penerjemahan dan
menambah unsur puitiknya, Jassin juga mulai menyusun tulisan Arabnya
supaya sejajar dengan terjemahannya. Hal ini ia lakukan terus menerus,
hingga ia menemukan ide, mengapa al-Qur’an tidak ditulis dalam bentuk
puisi saja?.38
Selanjutnya, ia mengaku telah melakukan penelitian terhadap
bentuk cetakan-cetakan al-Qur’an di sejumlah negara. Ia mendatangi
sejumlah toko buku dan melihat cetakan al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an
memiliki bahasa puitik yang indah, akan tetapi mengapa al-Qur’an selalu
ditulis dalam bentuk prosa?
Penulisan al-Qur’an dengan format yang direncanakan oleh Jassin
ternyata ditolak oleh MUI dan Kementrian Agama melalui Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an pada akhir tahun 1992. Penolakan tersebut
dituangkan oleh MUI melalui surat No. U 1061/MUI/XII/1992 yang
ditandatangani oleh K.H. Hasan Basri dan Sekretaris Umum Prodjokusumo.
Sementara penolakan Kementrian Agama dinyatakan dalam surat no P
III/TL.02/1/242/1179/1992 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Litbang
Agama Puslitbang Lektur Agama Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an
Depag, H.A. Hafizh Dasuki. Surat tersebut dikirim kepada Jassin pada awal
tahun 1993.39 Contoh halaman Al-Qur’an Berwajah Puisi. Contoh ini bukan
dari Al-Qur’an Berwajah Puisi secara langsung. Penulis tidak mendapatkan
49 Yudi P. “Penggagas Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin,” dalam H.B. Jassin,Kontroversi
Al-Qur’an Berwajah Puisi, 100.
puisi. Bagi Jassin, prosa adalah tulisan menggunakan pengetahuan,
sementara puisi adalah tulisan menggunakan perasaan.50
Maka, usaha Jassin mengungkap unsur puitik al-Qur’an, baik dari
segi terjemahan atau penulisannya, harus dipahami dalam konteks ini; ia
lebih menekankan sensitifitas perasaannya sebagai sastrawan dalam
menyelesaikan kedua karyanya. Setiap hari ia mempelajari makna ayat al-
Qur’an kata demi kata. Setelah sekian lama membaca dan merenungi
makna al-Qur’an, sebagai manusia berlatarbelakang sastra, tiba-tiba
terbetik ide untuk menerjemahkan al-Qur’an secara puitis. Ketika
terjemahan ini diselesaikan, ia terbuka untuk segala kritik. Keterbukaan ini
semakin melarutkannya dalam dunia perenungan makna al-Qur’an untuk
memperbaiki terjemahannya. Setiap hari ia lalui dengan menuliskan al-
Qur’an dan terjemahannya, sehingga terbetik ide kedua untuk menyusun
al-Qur’an dalam layout simetris ala puisi. Penulisan al-Qur’an dengan
layout baru ini juga ia lalui dengan perenungan. Bagian kosong dalam
penulisan simetris ini merupakan space yang dimiliki Al-Qur’an Berwajah
Puisi untuk memperdalam renungan dan rasa bagi siapa saja yang
membacanya. Exercise adalah apa yang dilakukan oleh Jassin. Ia
melakukan perenungan panjang yang semakin hari semakin
mengembangkan potensinya. Inilah jawaban dari cara kemunculan
pengetahuan Jassin yang kemudian melahirkan kedua karyanya.
Perenungan panjang yang ia lakukan memperlebar potensi akal yang ia
miliki, dan ini menjadikan pengetahuan datang secara intuitif kepadanya.
Pengetahuan intuitif disebut dengan sejumlah istilah dalam epistemology
pengetahuan. Menurut Mehdi Ha’iri Yazdi pengetahuan dengan cara ini
disebut hud}u>ri>, dan al-Jabiri menyebutnya dengan ‘irfa>ni. Bagi Jabiri,
pengetahuan ‘irfani adalah pengetahuan tentang hakikat Tuhan dan
perkara-perkara agama lainnya yang didapati dengan kekuatan ira>dah.
Al-Jabiri cenderung menilai ‘irfa>ni dalam tradisi sufi dalam Islam bersifat
matter-oriented; lebih memperhatikan bentuk pengetahuan yang diterima
secara kashf tanpa mempermasalahkan korelasinya dengan metode
50 H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991),
mendapatkannya.51 Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan intuitif ini
bersifat personal dan tidak bisa diverifikasi, sehingga satu-satunya yang
bisa didiskusikan adalah hasilnya. Sementara bagi Yazdi, pengetahuan
hud}u>ri> adalah kesadaran yang biasa terjadi pada manusia. Baginya,
hud}u>ri> adalah kesadaran non-fenomenal yang identik dengan wujud
fitrah manusia sendiri. Dengan menjelaskan pandangan Ibnu Sina,
pengetahuan hud}u>ri> berasal dari potensialitas total manusia, yang
dapat dicerap tanpa pengenalan.52
Ibnu Sina mengaitkan intuisi dengan potensi manusia. Dalam
konteks ini, pada prinsipnya penjelasan mengenai intuisi bisa
dikembangkan, bukan sekedar mendikusikan hasil dari pengetahuan
intuitif. Kita bisa mendiskusikan condition of possibility, mengapa intuisi
menjadi mungkin pada diri seseorang. Hal ini sangat relevan mengikuti
pandangan Yazdi bahwa intuisi adalah fakta biasa yang berkaitan dengan
fitrah manusia. Jika intuisi identik dengan potensi manusia, maka pada
titik ini lah manusia bisa melatih intuisinya. Dengan pola ini, intuisi bisa
dijelaskan dengan lebih rasional daripada pemahaman yang berkembang
di dunia sufi. Tugas manusia adalah mengembangkan potensinya. Ini bisa
ia lakukan dengan perenungan terus menerus atau dengan proses yang
lebih kongkrit seperti berdialog atau membaca. Dengan potensi yang baik,
intuisi akan muncul dengan sendirinya seperti munculnya sebuah ide
dalam pikiran manusia. Pada titik ini, intuisi, hud}u>ri, atau ‘irfa>ni bisa
dipetakan kepada dua hal:
proses dan hasil. Proses berkaitan dengan usaha manusia
melakukan exercise untuk mengembangkan potensinya. Dalam konsep
intuisi yang lebih rasional ini perbedaannya dengan intuisi dalam tradisi
sufi adalah korelasi antara exercise dengan bentuk kashf yang diterima.
Dalam konteks ini, Jassin adalah seorang yang dengan terus menerus
54 Ibid., h.35
Contoh :
Artinya : l. Menurut terjemahan Departemen Agama
"mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat"
2. Menurut terjemahan H.B.Jassin
“mengapa kamu katakan
58 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.219
pengertian-pengertian oleh akal dan fikiran dan merasuk ke dalam hati
yang peka menerima. Alangkah nikmat isi kandungan Firman-firman Allah,
alangkah dalam, luas, jauh, tinggi, luhur, dan murni. Ia memulai pekerjaan
dengan Bismillah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah, kedua kalimat
tayyibah tersebut bukan sekedar ucapan rutin, tetapi merupakan sebuah
rutinitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran tiap gerak langkah
hidup hanyalah terjadi karena Allah dan H.B. Jassin bersukur bahwa ia
telah selamat melakukan sesuatu pekerjaan karena karunia-Nya,59
Sepuluh tahun lebih ia menyelami ayat demi ayat, tidak satu pun
hari yang lewat tanpa menghirup firman Allah SWT yang maha suci,
sekalipun hanya satu ayat dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula,
bahkan pernah dituduh murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan
atas tuduhan menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-
nabi, Pancasila dan UUD 1945. Tapi semua itu diterimanya sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam ke dalam inti hakikat (kebenaran)
dan hal yang demikian ia anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Berbagai fitnahan dan tuduhan demikian ia jadikan sebagai pelajaran
dan ia tidak berkeinginan untuk menjawabnya. Selanjutnya H.B. Jassin
dengan lapang dada dan berjiwa besar memanfaatkan waktu yang ia
miliki untuk menukik lebih dalam ke dalam samudra Al-Qur'an. Ayat demi
ayat dibacanya secara cermat dan teliti dengan penuh penghayatan dari
sinilah mulai muncul pemikiran untuk menerjemahkan Bacaan Mulia ke
dalam Bahasa Indonesia yang puitis.60
Mulai menerjemahkan Al-Qur'an
Sampai tibalah suatu hari hati H.B Jassin terbuka untuk memulai
menerjemahkan Al-Qur'an, pada tanggal 7 Oktober 1972, di negeri yang
dingin jauh dari katulistiwa, yakni di negeri Belanda. Satu tahun lamanya
di negeri kincir angin tersebut Jassin menerjemahkan sebagian dari isi
kandungan Al-Qur'an dan sekembali di Indonesia lebih dari satu tahun
59 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.220
60 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.221
pula ia mengerjakannya, Alhamdulillah selesailah seluruhnya sebanyak 30
juz tanggal 18 Desember 1974 di Jakarta, Ibukota Republik Indonesia.
Karena selalu dibawa ke mana-mana untuk mengerjakannya, tercatatlah
berbagai kota tempat terjemahan pernah dilakukan seperti Amsterdam,
Berlin, Paris, London, Antwerpen, Kuala Lumpur, Singapura, tetapi juga
kampungkampung kecil seperti Leiden; Zaandam, Reuver, Peperga dan
beberapa kali dalam perjalanan dipesawat terbang.
Pikiran untuk menerjemahkan Al-Qur'an secara puitis muncul pada
diri H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy
Quran yang diperolehnya dari seorang kawan, Haji Kasim Mansyur tahun
1969. Itulah terjemahan yang dirasakan yang paling indah penuh rasa
estetika yang tinggi karena dalam estetika disertai pula dengan berbagai
keterangan yang luas dan universal sifatnya. Dalam pekerjaan
menerjemahkan sudah barang tentu Jassin bertolak dari kitab induk Al-
Qur'anul Karim sendiri yang berbahasa Arab artinya ia tidak
menerjemahkan hasil terjemahan orang lain, di samping itu ia
mempergunakan sebagai perbandingan terjemahan-terjemahan lain
dalam bahasa asing sebagai bahan perbandingan dan Bahasa Indonesia
serta beberapa kamus Arab-Inggris. Jadi, terjemahanya bukanlah
terjemahan dari terjemahan Yusuf Ali ataupun terjemahan lainnya.
Susunan sajak terjemahan dalam Bahasa Indonesia adalah susunan karya
H.B. Jassin sendiri, sedang susunan sajak dalam Bahasa Arab (Al-Qur'an)
disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam Bahasa Indonesia.61
Sesudah tanggal 18 Desember 1974 terjemahan tersebut selesai
secara keseluruhan, diketiknya baik-baik dan diserahkan kepada penerbit
Djambatan berangsur-angsur sampai lengkap 27 Agustus 1975. Tapi
dalam pada itu di luaran timbul, pertanyaan apakah terjemahan saya,
menurut H.B. Jassin dapat dipertanggung jawabkan dari sudut isinya,
mengingat bahwa saya bukan seorang ulama yang telah mempelajari isi
61 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.222
Al-Qur'an secara mendalam dari berbagai sudut sebagaimana yang
disyaratkan bagi seorang penerjemah Al-Qur'an tutur Jassin.62
Sebelum hasil karyanya diterbitkan dan didistribusikan kepada
masyarakat umum,kepada Majelis Ulama Indonesia yang ketika itu
diketuai oleh Hamka, datang permintaan supaya terjemahan itu diperiksa
oleh para ulama, tugas itu oleh MUI pusat diserahkan kepada Majelis
Ulama DKI. Untuk keperluan penjelasan, lembaga tersebut mengundang
H.B. Jassin dalam suatu pertemuan di kediaman Gubernur Jakarta Raya
saat itu Haji Ali Sadikin, tanggal 25 Agustus 1976. Pertemuan ini di pimpin
oleh K.H. Rahmatullah Shiddiq. Hasilnya adalah bahwa Majelis Ulama DKI
menghargai usaha penerjemahan yang dilakukan oleh Jassin, dan akan
memberikan bantuan untuk meneliti isi terjemahan tersebut. Untuk itu
dibentuklah suatu panitia yang terdiri atas K.H. Saleh Suaidy, Muchtar
Luthfi Al Anshari, dan H. Iskandar Idris. Oleh karena K.H. Saleh Suaidy
meninggal dunia, kedudukannyadigantikan oleh K.H. Abdul Azis, itu pun
hanya beberapa waktu saja Karen a kemudian beliau ditugaskan oleh
pemerintahan DKI untuk menjadi ketua rombongan Haji ke Tanah Suci
Mekkah menjelang akhir tahun 1976. Mukhtar Lutfi yang juga dikenal
sebagai pengurus lembaga pendidikan Al Irsyad pusat menyebutkan tidak
seluruh terjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia diteliti oleh tim
peneliti, tapi hanya sebagian saja, itupun dilakukan apabila H.B. Jassin
merasa ragu terhadap terjemahan ayat yang diterjemahkannya. Penelitian
tersebut berlangsung lebih kurang 45 hari.63
Apabila ditelaah secara mendalam karya H.B. Jassin yang berjudul
kontroversi Al-Qur'an berwajah puisi, kelihatan bahwa hal-hal yang
melatar belakangi kritikus sastra ini menerjemahkan secara puitis (bukan
mempuisikan Al-Qur'an) adalah sebagai berikut :
2. Karya Terjemahan
Di antara berbagai karya hasil terjemahannya antara lain saat ini telah
terkumpul di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin adalah : Chushinguran
karya Sakat Syioya, Renungan Indonesia karya Syahrasad (1947), Terbang
Malam karya A. De St Exupery, Kisah-kisah dari Rumania, Api Islam karya
70 Balai Pustaka, Omong-omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), (Jakarta
PT. BalaiPustaka, 2000), cet/ke-10, h. VII-X.
Syed Ameer Ali, Cerita Panji dalam Perbandinangan, bersama Zuber
Usman karya R.M.Ng.Poerbatjaraka, Max Haveluar karya Multatuli (1972),
Kian kemari Indonesia dan Belanda dalam Sastra, The Complette Poems
of Chairil Anwar dikerjakan bersama Liau Yoek fang, Al-Quran Bacaan
Mulia yang telah di terbitkan beberapa kali (1978,1982,dan 1990). Dan
beberapa karya di mana ia bertindak sebagai Editor karya-karya tersebut.
Di antaranya adalah: Pancaran Cita (1946), Kesusastraan Indonesia di
masa Jepang (1948), Amir Hamzah raja Penyair Pujangga Baru (1962),
Pujangga Baru;Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66 ; Prosa dan Puisi
(1968), Kontroversi Al-Qur'an Berwajah Puisi (1995).
Di tengah berbagai kesibukan dan aktifitasnya sebagai seorang penulis
akademisi dan lain sebagainya, ternyata Jassin memiliki beberapa catatan
menarik, selain untuk kegiatan dalam dunia pendidikan seperti pada
tahun 1939 ia bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian di
Balai Pustaka ia bergelut cukup lama, sekitar tujuh tahun (1940-1947),
dan terakhir pada Lembaga Bahasa dan Budaya pada tahun 1953-1973. 71
TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-QURANUL KARIM
BACAAN MULIA
71 Kusman K dan Mahmud SU, Sastra Indonesia dan Daerah (sejumlah masalah),
(Bandung: PT. AngkasaBandung, 1997), h.17
dikisahkan Fir'aun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa
yang harus dilakukan untuk rnelawan Musa. Terjemahannya adalah :
Mereka menjawab : ‘Suruhlah tunggu
(Musa) dan saudarianya
Dan kirim ke kota-kota para bentara.
Menurut H.B. Jassin lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika
baris
terakhir disusun demikian :Dan kirim para bentara ke kota-kota.72
Kitab Para Penyair Tuhan tidak suka para penyair, kecuali yang
bertakwa.
LARUT MALAM. Sesudah salat Isya, dia mulai mengetik. Lampu 40 waat
dengan kap khusus menyorot Alquran yang terbuka. Lirih-lirih terdengar
surah an-Nisaa dari qariah favoritnya, Saidah Ahmad. Dia merenung.
Dipasangnya kaset lain dan terdengarlah suaranya melantunkan surah
Yassin. Disusul terjemahannya dalam puisi bahasa Inggris, petikan dari
Yusuf Ali. Juga suaranya sendiri, seperti deklamasi. Membangun suasana
seperti itu membantu pekerjaannya menerjemahkan Alquran. Setelah
menelan Bodrex, dia mengetik lagi. H.B. Jassin sedang mengerjakan
terjemahan Alquran. “Saya melihatnya dari sudut sastra. Dan ini bukan
tafsir melainkan terjemahan - dalam bentuk puisi,” ujar Jassin dalam
wawancara dengan Tempo, 29 Maret 1975.
Sosoknya tak pernah lepas dari kontroversi. Belum juga rampung masalah
cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, dimuat di
majalah Sastra edisi Agustus 1968 dan dianggap menghina Tuhan, yang
membuatnya duduk di kursi pesakitan dan mendapat vonis setahun
penjara dengan masa percobaan dua tahun –salinan putusannya tak
pernah dia terima– H.B. Jassin mempersiapkan sebuah karya yang juga
memantik kegalauan sejumlah ulama.Sehari setelah pemakaman istrinya,
Arsiti, pada 12 Maret 1962, Jassin menggelar tahlilan di rumahnya selama
seminggu. Pada malam kedelapan, ketika tak ada lagi orang tahlilan,
Jassin membaca Alquran sendiri. Hatinya terketuk. Keindahan bacaan dan
bahasa Alquran mengilhaminya untuk menerjemahkan Alquran dengan
bahasa puisi. Dalam pengantar cetakan kedua, Jassin juga mengaitkannya
dengan latar belakang bacaan Alquran dari sang nenek dan serangan
Lekra kepada dirinya di masa Orde Lama. “Orang sekarang berlomba-
lomba menerbitkan tafsiran yang tebal-tebal, tapi saya kira yang tak
kurang pentingnya ialah suatu terjemahan saja yang bisa
dipertanggungjawabkan dari sudut keindahan bahasa dan sudut ilmiah…,”
tulis Jassin dalam suratnya kepada B. Soelarto, 17 Desember 1964,
sebagaimana termuat dalam Surat-surat 1943-1983.
Dalam mengerjakan karyanya, Jassin mengumumkan bahwa dia
bermaksud membuat terjemahan baru yang bukan hanya mengungkap
makna dari teks Arabnya, namun juga mengabadikan keindahan
puitisnya. “Untuk pertama kalinya, dalam konteks Indonesia, seorang
penerjemah secara terbuka memberikan preseden bagi tercapainya
padanan fungsional yang signifikan pada teks sasaran,” tulis Peter Riddell.
Sebelum mengerjakan karyanya, Jassin mempelajari Alquran dari
berbagai terjemahan. Ada karya Mohammed Marmaduke Pickthall, The
Meaning of the Glorious Koran, yang terjemahannya, tanpa teks Alquran,
disahkan Senat Dewan Universitas Al-Azhar. Ada pula karya John Medows
Rodwell (The Koran), Arthur J. Arberry yang non-Muslim (The Koran
Interpreted), Yusuf Ali (The Holy Koran), hingga terjemahan Departemen
Agama (Al-Qur’an dan Terjemahannya). Dia juga membuka kamus, A
Dictionary and Glossary of the Koran, susunan John Penrice, yang memuat
semua kata dalam Alquran.
Sepuluh tahun kemudian, setelah mempelajari berbagai terjemahan
dan mencoba mengetahui artinya kata demi kata, Jassin merasa lega. “…
alhamdulillah sekarang saya sudah sanggup menerjemahkan tidak hanya
dengan akal, tapi terutama dengan hati dan perasaan,” tulis Jassin dalam
suratnya dari Leiden kepada Kasim Mansur tanggal 24 Oktober 1972.
“Ini mungkin disebabkan oleh dua hal; pertama, teks bahasa sasaran itu
ditulis dalam salah satu bahasa daerah minoritas. Kedua, dan mungkin
yang paling penting, Jassin telah meninggalkan jejak yang dapat
dimanfaatkan oleh penerjemah-penerjemah lainnya,” tulis Peter Riddell
dalam “Menerjemahkan Al-qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia”,
termuat dalam Sadur.
Akhirnya karya itu terbit bertepatan dengan hari ulang tahun Jassin
ke-65. Penerbitnya Yayasan 23 Januari 1942, yang didirikan tokoh-tokoh
dari Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M. Gobel, Ir.
Ciputra, Mukhtar Peju, dan H.B. Jassin sendiri. Pada 1984, Yayasan 23
Januari 1942 juga menerbitkan karya Jassin lainnya, Juz Amma Berita
Besar.
AL-QUR’ĀN AL-KARĪM
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir Alquran berlangsung
melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang, sehingga
mencapai bentuknya yang kita saksikan sekarang ini, berupa tulisan
berjilid-jilid banyaknya, yang masih berupa tulisan tangan. 78
78[1] Lihat Shubhi al-Shālih, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Tim
Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran (cet. VII; Jakarta: Pustaka
Pirdaus, 1999), h. 383
80[3] Lihat selengkapnya Wahbah al-Zuihaily, Ushūl al-Fiqh al-Islāmiy, juz I (Cet. II;
Bairūt: Dār al-Fikr, 1996), h. 438
KARYA HB JASSIN
Oleh: Darman, Enjen Zaenal Mutaqin, Fahmi Muhammad Tosin
A. Pendahuluan
Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang
abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi
manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian
rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput
dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat
universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai
perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk
memahami dan menafsirkan al Qur’an.
82[5] Diakses lewat internet : field/D:\ My. Dokuments/MUS/HB. Jassin, 1/12/2005,
h. i
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda
dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan
tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-
Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar
belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka,
maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa
al Qur’an sehingga proses penafsiran juga cepat dan pesat. Hal ini
berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa
Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai
dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru
kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan
rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an
di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan
yang berlaku di tempat asalnya.
Dari segi pembabakan, Howard M. Federspiel pernah melakukan
pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia
ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX
sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan
penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan
cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua,
yang muncul pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan
dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya penambahan
penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang
disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun
1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-
komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan
terjemahnya.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya
benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya
tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al
Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syekh
Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat
tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar
karya Hamka, hanya saja secara umum karya yang ada memang
cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel.
Perkembangan terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan
karya tafsir yang mengarah pada kajian tafsir maudhu’i. Hal ini banyak
dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa
buku tafsir tematik seperti Lentera Hati, Membumikan al Qur’an dan
Wawasan al Qur’an. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis
yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari
tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.
Dalam konteks perkembangan tafsir di Indonesia, terjemah al
Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada
dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna
al Qur’an ke dalam bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur
interpretasi manusia terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam
bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya juga disertai dengan
catatan kaki tentang makna satu ayat. Terjemah al Qur’an juga
dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada dasarnya terjemah
juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna al Qur’an ke dalam
bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur interpretasi manusia
terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana,
terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna
satu ayat.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan review atas tafsir
Bacaan Mulia karya HB Jassin yang meliputi biografi penulis, latar
belakang penulisan, metode, contoh penafsiran, dan gagasan revolusioner
penulis dalam tafsirnya.
B. Biografi Penulis
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin
selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B Jassin
adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepasda
kerja dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari
informasi tentang sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya
dengan hasil pengumpulan bahan dokumentasi yang disusun oleh H.B
Jassin.Kerja dokumentasi bagi H.B Jassin adalah kerja yang sudah
dimulainya sejak mudanya dengan penuh kecintaan.
Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu
Jassin, pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah
bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenang-kenang
yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Di kota
Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman,
diantaranya Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo
tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana di
Jakarta. Takdir sengat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke
Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu
berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan
orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Rsiden Gorontalo antara bulan
Agustus sampai Desember 1939, sebagai tenaga magang.
Pada bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya
untuk memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana.Pada bulan Februari
1940, H.B Jassin mulai bekerja di Balai Pustaka.Ia mula-mula duduk dalam
sidang pengarang redaksi buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada
tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji Pustaka
tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia
menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943 sampai dengan 21 Juli
1947.Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka.
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus
bekerja dalam lingkungan majalah sastra-budaya. Ia menjadi redaktur
majalah Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun
1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah
Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra
ditahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969.
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan
Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan
Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio
Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon
Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian
Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-
Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of
Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri
Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan
juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus
Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen
Suara Pembaruan ditahun 1991.
Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan
itu berlangsung ejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden
Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun 1965.
Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat HB
Jassin dalam Sastra, 1971, sempat dianggap ''menghina Tuhan''. Di
pengadilan, ia diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya.
Permintaan ditolaknya. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman
bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah
perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di
kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat berguna bagi
pendokumentasian buku.
Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B
Jassin yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September
1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90
meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73,
Jakarta Pusat.
Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya HB Jassin menumpahkan
perhatiannya mendorong kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat
ketekunan, ketelitian dan ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi sastra
terkemuka sekaligus dokumentator sastra terlengkap. Kini, kurang lebih
30 ribu buku dan majalah sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-
catatan pribadi pengarang yang dihimpunnya tersimpan di Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Begitu besarnya pengaruh H.B. Jassin di antara kalangan sastrawan,
Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra Indonesia”. Saat itu
berkembang suatu ‘keadaan’ dimana seseorang dianggap sastrawan yang
sah dan masuk dalam ‘kalangan dalam’ bila H.B. Jassin sudah
‘membabtisnya’. Meski kedengarannya berlebihan namun begitulah
adanya.
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan
luar’ sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti
Motinggo Busye, Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis
novel pop lainnya. Padahal karya-karya mereka cukup baik, berseni dan
bernilai tinggi.Mereka bergabung menjadi ‘kalangan dalam’ karena
"pengaruh besar kepausan" H.B. Jassin.H.B. Jassin jugalah yang
menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan '45.Lebih dari 30
tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra, dan segala
yang berkaitan dengannya.Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli,
dan 10 terjemahan. Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa
Penyair dan Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang,
Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-
1967) dan tafsir Alquran dalam buku Qur'an Bacaan Mulia. Pada saat
ulang tahunnya ke-67, PT Gramedia menyerahkan ''kado'' buku Surat-
Surat 1943-1983 yang saat itu baru saja terbit. Di dalamnya terhimpun
surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman Indonesia.
H.B. Jassin mempunyai prinsip kuat dan jujur.Mengomentari buku
Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, ia menilainya tidak mengandung
hal-hal yang melanggar hukum.Pelarangan terhadap buku itu lebih banyak
karena dikarang oleh bekas tokoh lekra.
Wafat
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali.Istri pertama, Tientje van
Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang,
pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10
bulan kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang
terpaut usia 26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri
ini, ia memiliki empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius
Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000
saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama
bertahun-tahun di Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai penghormatan, ia dimakamkan
dalam upacara kehormatan militer "Apel Persada" di Taman Makam
Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.
RIWAYAT SINGKAT
Nama :Hans Bague Jassin
Lahir :Gorontalo, 31 Juli 1917
Wafat :11 Maret 2000
Pendidikan :SD, Gorontalo (1932),HBS Medan (1939),Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (1957),pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika
Serikat (1959),Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1975),menguasai bahasa Inggris, Belanda, perancis dan
Jerman.
Profesi :Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942), Penasehat Balai
Pustaka (1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970),
Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu
(1974-1992), Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran
Indonesia (1969-1972).Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse
(editor), Perlenim Reisfeld (1972).Redaksi penyusun Almanak sastra
Indonesia I Daftar Pustaka (1972).Penasehat Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1973-1982).
Prestasi :Tokoh Pembukuan Nasional (2 Mei 1996), Penghargaan dari
pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia
(17 Oktober 2000)
Karya Tulis :Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),Kesusastraan Indonesia
Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954),Heboh Sastra 1968 (1970),Sastra
Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),Pengarang Indonesia dan
Dunianya (1983),Surat-Surat 1943-1983 (1984),Sastra Indonesia dan
Perjuangan Bangsa (1993),Koran dan Sastra Indonesia (1994),
Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),Omong-Omong HB. Jassin
(1997).
C. Latar Belakang Penulisan
Ketika istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962, peristiwa
ini cukup menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh malam, dia
mengaji terus sampai selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada malam
kedelapan, ketika rumah sepi, dia meneruskan mengaji seorang diri. Tidak
puas dengan sekedar membaca saja, dia mulai mempergunakan beberapa
buku terjemahan untuk mendalami dan meresapi isi kitab suci itu.
Berikut ini adalah kutipan tulisan HB Jassin pada
pendahuluannyadalam tafsir Bacaan Mulia:
Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami
hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran, ayat-ayat yang
mustahil adalah bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri.
Keyakinan ini saya resapi kebenarannya, karena ayat-ayat itu meliputi
masalah-masalah kehidupan yang amat luas serta tinggi dan dalam
maknanya.
Saya merasa mengisi jiwa saya dengan firman-firman Tuhan
sehingga firman-firman itu menjadi nafas saya, menjadi darah yang
beredar ditubuh saya, menjadi daging saya. Hari demi hari saya
menyelami dan meresapi isi al-Quran, keyakinan bertambah mantap dan
padat. Saya menghadapi hidup dengan hati yang aman dan tenteram.
Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun
hari yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat
dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh
murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah
menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 45. Tapi semua itu saya terima sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti hakikat dan saya
anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa.
Sampai tibalah suatu hari hati saya terbuka untuk mulai
menterjemahkan al-Quran, setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri
dingin yang jauh dari katulistiwa yakni di negeri Belanda. Pikiran untuk
menterjemahkan al-Quran secara puitis timbul pada saya oleh membaca
terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang saya peroleh dari
kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah terjemahan yang saya
rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal
sifatnya.
Untuk menimbulkan kesan yang estetis penyair mempergunakan
irama dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga-
jika perlu- irama singkat melompat-lompat arau tiba-tiba berhenti
mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang
merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi bukan saja diujung baris, tapi
juga diantara baris, mempertinggi kesan keindahan pada pendengar atau
pembaca.
Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an dan ang dan
bunyi sukukata-sukukata yang terbuka menuimbulkan kesan yang merdu.
Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak
sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi
persajakan diujung baris, diantara baris ataupun ditengah baris.
Dibawah ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak
perkataan sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam
surah (26) asy-Syu’ara dikisahkan Firaun meminta pertimbangan kepada
para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa.
Mereka menjawab: “Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan
kirim ke kota-kota para bentara.” (26:36)
Pada hemat saya lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika
baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota.
Dibawah ini sebuah contoh perbedaan pilihan kata yang
menimbulkan perbedaan penghayatan estetis secara audiovisual. Surah
(61) ash-Shaf ayat 2 kita lihat diterjemahkan:
Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Dapat dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakan
Apa yang tiada kamu lakukan?
D. Gagasan Revolusioner
H.B. JASSIN bangkit dari kursinya, menuju mimbar dan mengucapkan
salam. "Saudara-saudara", katanya."Saya bukanlah seorang ahli dan
sayapun tidak ahli bahasa Arab.Karena itu saya minta saudara-saudara
membantu saya dan janganlah Mengganyang saya".Hadirin yang telah
berkumpul untuk salah-satu acara dalam keramaian Musabaqah Tilawatil
Quran Nasional ke VIIl di Palembang yang lalu (TEMPO 6 September),
tertawa penuh mengerti. Mereka juga mengikuti dengan simpati ketika
Jassin membacakan ceramahnya sepanjang 11 halaman menuturkan
pengalaman pribadinya mengapa ia sampai tertarik kepada Quran dan
kemudian berusaha menterjemahkannya secara puitis (lihat box).
Begitulah pelan-pelan pembicaraan lantas memasuki masalah-masalah
teknis penterjemahan -- dan hadirin hening sebagian kening mulai
berkerut.Tak ayal lagi masalah teknis penterjemahan bukanlah masalah
kecil.
Beberapa perbedaan pemahaman ayat sendiri sebagaimana
biasanya sudah cukup menimbulkan debat ilmiah. Ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa yang melakukan penterjemahan justru seorang doktor
sastra Indonesia. Tokoh ini sama sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-
ilmu Qur'an juga mengaku bukan ahli dalam bahasa Arab. Tak heran bila
pembanding ceramah Drs H. Husin Abdul Mu'in yang sehari-harinya
Kepala Perwakilan Departemen Agama Sumatera Selatan di samping
dengan sangat simpatik menyatakan penghargaannya kepada niat yang
ikhlas dari penterjemah juga memberi semacam usul yang halus untuk
berhati-hati.Tidak Beragama Islam Hadirin setidak-tidaknya para ustaz
yang banyak pengetahuan memang kelihatan berusaha untuk tetap
berlapang fikiran.
Namun agaknya ada persoalan: sebagian sumber-sumber bandingan
Jassin di samping kitab-kitab tafsir bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris
dari dunia Islam juga buah tangan para penterjemah Barat yang
sebagiannya diketahui tidak beragama Islam. Lagi pula difikir-fikir apa sih
perlunya puitisasi itu dalam penterjemahan Qur'an? Alasan Jassin
diberikan secara sederhana. Terjemahan yang sudah dikerjakan orang
dalam bahasa Indonesia (menurut Jassin sudah berjumlah kira-kira 10)
semuanya ditulis dalam bahasa prosa. Dan hal itu tiada mengherankan
karena yang dipentingkan oleh para penterjemah yang pada umumnya
adalah guru-guru agama ialah kandungan kitab suci itu.
Padahal sebenarnya bahasa Qur'an sangat puitis dan ayat-ayatnya
dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra -- walaupun dalam
setiap mushaf (buku Qur'an) ayat-ayat itu secara visuil disusun sebagai
prosa .Maka tampaklah Jassin memandang prosa dan puisi pertama kali
dari segi visuil dari segi tata-muka.Ia sendiri menyatakan bahwa
perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran puisi disusun tidak
baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman
saja. Ia memberi contoh. Surah Yusuf ayat 3 biasanya diterjemahkan
begini: Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan
mewahyukan kepadamu (bagian) Quran ini, meskipun kamu sebelumnya
orang yang tiada sadar (akan kebenaran). Dan dengan susunan berikut ia
menjadi puisi: Kami ceritakan kepdamu kisah yang paling Indah Dengan
mewahyukan kepadamu. (bagian) Quran ini, Meskipun kamu sebelumnya
orang yang tiada sadar (akan kebenaran). Sudah tentu sebagaimana
dikatakan Jassin tidak semua baris prosa bisa dirobah menjadi puisi
dengan hanya merobah susunan.
Namun dengan cara pendekatan itu apakah puisi seperti dimaksud
Jassin? Sementara Jassin menyaakan bahwa bahasa Qur'an sangat puitis
puisi Qur'an itu justru tidak diungkapkan dalam kalimat terpotong-potong.
Dengan kata lain puisi Quran tidak sekedar kalimat terpotong-potong. Tapi
pengertian puisi sebagai bentuk Susunan kalimat itulah yang sering
dipakai para penterjemah puitis yang sudah lebih dulu mencoba seperti
Mohamad Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf
Ali Beirut--yang menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling
indah dan yang mendorong dia melakukan hal serupa dalam bahasa
Indonesia. Sudah tentu perasaan enak dan tidak enak terhadap sesuatu
terjemahan hampir selalu bersifat relatif.Tapi justru sebagian orang
mengatakan bahwa diukur dengan citarasa puisi terjemahan Yusuf Ali
justru kalah indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke pikcthall
yang disusun secara ayat aslinya.Sebab mungkin saja lebih dari Yusuf Ali
Pickthall berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya
lantas menuangkan ke dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa
bahasa Inggeris tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut syair
atau sajak.Karena bertolak dari bentuk itulah agaknya salah-satu alasan
mengapa Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya (terjemahan juz
XXX dan belum diterbitkan) sebagai puitisasi terjemah Qur'an dan bukan
terjemah puitis Qur'an. Tetapi barangkali menarik bahwa dengan berpijak
pada citarasa dan suasana asli, 'dalam arti menghadapi Quran sebagai
karya puisi', akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari
terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan mengguru-gurui
atau lebih mementingkan kandungan makna semata-mata menurut istilah
Jassin.
Sudah diketahui bahwa yang selama ini galib disebut terjemahan
Quran (bukan tafsir) sebenarnya toh bukan hanya terjemah - melainkan
plus keterangan--yang hampir selalu diletakkan dalam kurung.Sebuah
kalimat dalam Qur'an kadang-kadang mungkin memang tidak jalan
menurut logika tatabahasa sehari-hari.Tetapi betulkah keadaan tidak jalan
tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi--dan
karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu
memberinya catatan kaki seperti dalam tafsir? Maka barangsiapa melihat
konsep terjemahan Jassin - yang sekarang sudah ada di penerbit --
maupun terjemahan Yusuf Ali orang akan tahu bahwa sesungguhnya
puisinya hanya bentuk bukan semangat tenaga atau dorongan puitik.
"Tangan Allah" Tetapi untunglah Jassin juga menggarap puisi Quran
dengan mempertahankan suasana puitiknya. Berbeda dari terjemah-
terjemah yang laim Jassin misalnya tidak menterjemahkan 'Wajah Allah'
dengan 'Kebesaran/Pengetahuan Allah' tidak pula 'Tangan Allah' dengan
'Kekuasaan Allah'. Dalam terjemahan Departemen Agama awal ayat 35
Surah Nur yang berbunyi Allahu nuurussumawati wal-ardh diterjemahkan
dengan: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi". Dalam hal ini
Jassin berbeda: ia menterjemahkannya persis seperti ayat aslinya: "Allah
Cahaya langit dan bumi - dan menyerahkan pengertian "cahaya" itu
kepada Quran sendiri atau kepada tafsir. Begitu pula tidak
menterjemahkan an la taziru waziratun wizra ukhra dengan: "bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" -- seperti
terjemah Departemen Agama maupun Mahmud Yunus. Melainkan: Bahwa
tiada pemikul beban Akan memikul beban orang lain dan hal itu sama
dengan yang diperbuat Yusuf Ali maupun Hashim Amir Ali - secara lebih
langsung kepada kata aslinya. Lebih lagi ayat yang sangat populer -
tentang penciptaan semesta.Semesta dalam terjemahan Jassin diciptakan
Tuhan tidak dalam enam masa - seperti umumnya ditulis para
penterjemah Indonesia.Melainkan enam hari sesuai dengan bunyi
ayatnya. Tentu saja kata Jassin orang bisa menafsirkan hari dengan 'masa'
atau 'abad' tapi itu soal lain.
Di sinilah tiba-tiba kelihatan peranan -- yang mungkin kedengaran
agak asing - dari para penterjemah puitis .Bahwa mereka selayaknya
membiarkan pembaca menerima bagian-hagian Quran yang masih utuh -
yang sebenarnya menimbulkan kenikmatan religius tersendiri.Tidak justru
membuyarkannya semata-mata dengan semangat mau rasionil yang tak
jarang merobah pengertian ayat yang dalam dan penuh rahasia menjadi
sesuatu yang datar.Tetapi Jassin melihat contoh-contoh terjemahannya
yang digelarkan di Palembang itu, tidak sepenuhnya mengambil peranan
itu.
Ia misalnya menganggap kalimat Quran yaqbidluna aidiahum tidak
dapat diterjemahkan secara persis sebab akan berbunyi: mereka
mengepalkan tangan. Orang bisa salah faham dan karena itu ia
menterjemahkannya menurut maksud: mereka berlaku bakhil. Di sinilah
orang boleh setuju pada kritik pembanding Husin Abd. Muin: bahwa Jassin
(yang sudah berniat untuk kembali ke pokok pangkal itu) justru suka
menggunakan kata-kata Indonesia yang dalam bahasa Arab sebetulnya
sudah ada yang lain. Berlaku bakhil misalnya dalam bahasa Arab adalah
yabkhalun. Jadi mengapa ia tidak menterjemahkan -- misalnya
-menggenggamkan (bukan mengepalkan) tangan? Maka ramailah orang di
Palembang itu. Contoh-contoh yang dikemukakan Jassin rupanya
menggerakkan para peserta diskusi tersebut sebagiannya dengan
semangat ilmiah yang ikhlas untuk akhirnya tidak memenuhi harapan
Jassin agar jangan "mengganyang" dia. Cobalah: Jassin mengganti
terjemahan "yang memelihara sembahyang" dengan "yang setia
menjalankan sembahyang". Jatuh pada dagu (muka) mereka dalam sujud
dengan jatuh sujud dengan kerendahan hati. Surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya dengan" ....di dalamnya". Orang seakan-akan
meminta pertanggungjawaban Jassin pada pengetahuannya dalam
berbagai cabang ilmu bahasa Arab.Meyembah Matahari Padahal tanpa
menuntut demikian tak ada seorang yang tidak tahu bahwa perbedaan
dalam terjemah terdapat justru dalam karya para ulama sendiri. Misalnya:
dalam diskusi tersebut Husin Abd. Mu'in mengkritik Jassin karena
menterjemahkan yasjuduna lisy-syamsi min dunil-Lah dengan: "Mereka
menyembah matahari dan bukan Allah" - sebagai ganti selain Allah
seperti dalam terjemah-terjemah lain. Alasan Jssin: karena mereka itu
tidak menyembah Allah sama-sekali. Padahal menurut Husin: mereka itu
menyembah Allah juga dan menyembah matahari sebagai perantaraan
Allah atau perwujudan Allah atau di samping Allah. Husin jelas kuat. Tapi
yang sama dengan Jassin bukan tidak ada: A. Hassan, Pickthall Maulana
Muhammad Ali! Sedang yang sejalan dengan Husin rupanya adalah
terjemahan Departemen Agama.Begit pula sungai-sungai di dalam surga
(Jassin) atau di bawah surga (Husin). Pickthall sama dengan Husin
underneathl. Sedang A. Hassan sama dengan Jassin (padanya). Jassin
sendiri menyebut contoh sukarnya penterjemahan yang justru
mengantarkan setiap penterjemah pada kontroversi. Misalnya Surah 24 :
19: Innalladzina yuhibbuna an tasyi'al fahisyatu fil-ladzina amanu lahum
'adza bun alim. Terjemah Yusuf Ali: * Those who love (to see) scandal
published broadcast A mong the believers, will have A grievous penalty *
Sedang terjemah AJ Arberry: Those who love that indecency should be
spread about concerning them that believe - there awaits them a painful
chastisement * Perbedaan itu mungkin karena kata filladzina amanu
dalam bahasa Arab bisa berarti 'di kalangan orang mukmin' tapi juga
'mengenai orang mukmin'. Maka Jassin lantas melihat asbabun nuzul
(sebab-sebab turun ayat).Ketahuan ayat itu berkenaan dengan peristiwa
Ifk, di mana Aisyah isteri Nabi kena fitnah dan fitnah itu disebarkan di
kalangan orang mukmin.Jassin lantas menganggap terjemah Yusuf Ali
lebih tepat.Menarik bahwa Pickthall (yang buku terjemahannya -- tanpa
teks Quran! -- disahkan oleh Senat Dewan Universitas Al-Azhar) justru
sama penterjemahannya dengan Arberry (yang bukan Islam itu). Maka
tampaklah di sini bahwa doktor sastra ini bukan tidak berhati-hati dengan
mempelajari latar-belakang dan seluk-beluk. Setelah ia menyatakan
dalam forum Palembang itu bahwa saya bertolak dari Kitab induk Al-
Quranul Karim sendiri..jadi terjemahan saya bukanlah terjemahan dari
terjemahan...". ia dalam pekerjaannya mempergunakan sebagai
perbandingan 19 terjemah Qur-an (9 bahasa Inggeris 1 Perancis, 1
Belanda, 2 Jerman, 6 Indonesia) 7 kitab sejarah Quran dan Tafsir (2
Indonesia, 4 Inggeris, 1 Jerman) 4 kamus dan konkordansi (1 Arab-Jerman
dan 3 Arab-lnggeris). Adapun kitab-langsung dari bahasa Arab?Sudah
tentu tak ada.Dan itulah yang bagi rakyat muslimin betapapun juga dirasa
kurang layak.Orang memang lazim mengharapkan sesuatu yang resmi.Itu
ada baiknya. Tapi kenyataan toh menunjukkan bahwa Quran adalah begitu
populer hingga hampir tak seorang muslim tidak mengenalnya apa lagi
bila ia telah sungguh-sungguh mempelajarinya walaupun lewat sarana
yang tidak resmi. Maka seorang muslim - yang perhatiannya maupun
kebiasaannya tidak terpisahkan dari Quran - mempelajari dengan tekun
hanya satu tafsir yang bonafid saja sedang ia sendiri mengerti bahasa
Arab secara pasif meskipun tidak mendalam sudah bisa dijamin bahwa ia
bukan lagi orang luar. Dan Jassin termasuk orang seperti itu. Ia 10 tahun
lamanya--seperti dinyatakannya - mempersiapkan diri dengan segala
terjemah dan tafsir sedang ia sendiri tidak pula asing dari bahasa Arab.
Jassin barangkali hanyalah seorang yang tidak suka memamerkan
kepandaian (jarang sekali misalnya orang tahu bahwa iamenguasai
bahasa-bahasa Inggeris, Jerman, Perancis, dan Belanda - sebab bila Jassin
berbahasa Indonesia tidak akan terdengar satu patah kata asing).
Begitupun Jassin ada tiga tahun mempelajari bahasa Arab dari AS Alatas
dosen Fakultas Sastra UI dan penterjemah Majdulin Al-Manfaluthi--selain
pelajaran ilmu-ilmu Islam dari islamolog terkenal Prof. Pangeran Arjo
Hoesin Djajadiningrat.Jassin juga menterjemahkan buku pelajaran theologi
elementer Jawahirul Kalamiyah sebagai latihan dahulu. Hanya ia memang
tidak secara langsung mempelajari ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi
yang merupakan gerbang bagi penguasaan ilmu-ilmu alat untuk seorang
pentafsir (bukan sekedar penterjemah) Quran. Namun di atas segala-
galanya tidak percayakah anda bahwa menterjemahkan Quran dilihat dari
segi teknis sebenarnya jauh lebih mudah dibanding menterjemahkan
sebuah syair atau karya sastra Arab? Sebab bandingan sudah demikian
banyak.Orang toh pada akhirnya lebih cenderung melihat hasilnya.Yakni
apakah terjemahan Jassin memang bisa dipertanggung jawabkan.Dan di
rumah kontraknya yang kecil di Tanah Tinggi Jakarta Jassin menyatakan
bahwa kritik seperti yang diterimanya di Palembang itu adalah kritik-kritik
yang bisa dihadapkan dengan kitab terjemah yang mana juga sebab tidak
ada satu terjemahan yang disepakati semua orang. Quran itu katanya
demikian besar sehingga tidak akan habis diterjemahkan. Toh ia
menyatakan beberapa hal yang diterimanya di Palembang itu ada
mempengaruhi dia. Ia sendiri kalau perlu akan meminta pendapat orang
dalam koreksi terakhir naskah yang kini contohnya sudah ada di penerbit
itu. Yang jelas kelihatan adalah manfaat dengan lahirnya terjemah puitis
itu. Pertama segi perhatian yang lebih besar terhadap bahasa Indonesia
dalam dunia penterjemahan Quran. Sebab problim ini memang cukup
mengganggu.Terjemahan Departemen Agama sendiri tidak bisa dikatakan
bagus dari segi itu.Lebih-lebih terjemahan Ustadz Mahmud Junus maupun
juga Prof. Hasbi Ash Shiddieqy.Dan lebih parah -- maaf-- adalah
terjemahan Ustadz Hassan dari Persis yang masyhur itu.Di sinilah bisa
dilihat bahwa ilmu-ilmu bahasa Arab dan seluk beluk Quran saja tidak
cukup. Perlu juga kemampuan menyatakannya dalam bahasa Indonesia
yang tidak kaku, misalnya kalimat "Allah memberi petunjuk" pada Hassan
kadang diterjemahkan dengan "Allah memberi petunjukan" (lihat misalnya
Al-Baqarah 70). Jassin sendiri dalam ceramahnya mengatakan bahwa
"kekakuan dalam terjemahan mungkin timbul karena terlalu mengikuti
konstruksi kalimat Arab dengan tidak memperhatikan rasa bahasa
Indonesia". Jassin memberi contoh terjemahan S. Yusuf 29: "Sungguh jika
kau menyembah Tuhan selain aku pasti aku akan menjadikan kau salah-
seorang yang dipenjarakan". Lantas ia mengganti kalimat terakhir itu
dengan "pasti kumasukkan kau ke dalam penjara" (sebab orang yang
dimasukkan ke penjara menjadi salah-seorang yang dipenjarakan
bukan?). Selain itu Jassin menterjemahkan ungkapan-ungkapan menurut
jalan bahasa Arab ke dalam ungkapan Indonesia. Misalnya: bainana wa
bainakum (secara harfiah berarti: antara kami dan antara kamu) diganti
dengan: "antara kami dan kamu" atau "antara kita". Ungkapan bahasa
Arab "mati dan hidup" atau "malam dan siang" tentu saja ia pulangkan ke
dalam ungkapan kita menjadi "hidup dan mati" siang dan malam. Kata
sambung wa tidak selalu berarti dan. Tapi juga 'karena', 'sedang',
sementara.Bisa juga dianggap hanya berfungsi sebagai koma atau titik. Fa
sebaliknya bisa diterjemahkan dengan 'maka', 'karena itu' atau bahkan
tidak ia terjemahkan sama sekali. Syahdan dalam khazanah terjemah
Quran Indonesia sekarang sudah lahir pula Tafsir Al-Azhar dari Hamka
yang sampai sekarang belum terbit komplit.Tafsir ini harus dibilang karya
yang paling bagus bahasanya - dengan catatan Hamka sebagai ulama
terpandang lebih menitik beratkan pada kandungan ilmiah ayat daripada
puisi Quran sendiri.Sebaliknya dengan terjemah Jassin. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya ia akan merupakan satu kenyataan yang
penting dari dua jurusan: dari jurusan pemakaian bahasa yang baik dan
pengenalan sastra Indonesia luas ke tengah rakyat dan dari segi artinya
sebagai satu monumen dalam dunia sastra Indonesia. Toh bagi Jassin arti
pekerjaannya itu tampak sederhana saja: sebuah persembahan yang
dikerjakan dengan susah-payah. Sebuah bukti ibadah.
E. Contoh Penafsiran
Berikut ini adalah terjemahan HB Jassin untuk suratan-Naml (27) ayat 59-
66:
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,
Dan selamat sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.
Apakah Allah yang lebih baik,
Atau apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?”
Katakanlah, “Tiada yang tahu di langit dan di bumi apa yang gaib,
Kecuali Allah.
Dan tiada mereka tahu apabila mereka dibangkitkan.
Katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas
hamba-hambanya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik,
ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)?”
Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah disamping Allah ada tuhan
(yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang
(dari kebenaran).
Bukankah Dia (Allah) yang memberi petunjuk kepada kamu dalam
kegelapan di daratan dan lautan
dan yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum
(kedatangan) rahmatNya? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?
Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan.
Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan (mahluk) dari permulaannya
kemudian mengulanginya (lagi) dan yang memberikan rezeki kepadamu
dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan(yang lain)?
Katakanlah, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang yang
benar.”
Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak
mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.”
Bahkan pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana).
Bahkan mereka ragu ragu tentangnya (akhirat itu). Bahkan mereka buta
tentang itu.
F. Metode
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an
dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama.Disisi kanan
halaman ada teks al-Qur'an dalam tulisan Arab tentunya dan di sisi kiri,
terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan
terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab
terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa,
layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi
tafsir.Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis Siagian)
atau Wali Penjaga Sastra Indonesia (menurut Prof AA Teeuw).Dalam usaha
penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan
al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup
dikuasainya.Diantaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir
Marmaduke Pitchall dan seorang Pakistan Muhammad Jusuf Ali.Terjemahan
Jusuf Ali adalah terjemahan al-Qur'an ke Bahasa Inggris terbaik dan paling
populer hingga saat ini.
KONTROVERSI
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab.Pertama, HB Jassin tidak
menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar
tafsir.Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3
hal diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang
pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius.Sebuah
invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan
atau basis dalil/hujjah/reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-
Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa
ia bukan kitab sastra. Meletakkan al-Qur'an sebagai hanya karya sastra
semata berarti merendahkan al-Qur'an itu sendiri.Fungsi utama al-Quran
adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud
menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia
yang tidak menguasai sastra Arab.Dari keseluruhan polemik yang
kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin
bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan
al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang
benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil
Qur'an.Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat tafsir
tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-
tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani dst. Juga
tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.
KESIMPULAN
Agaknya kita harus merespon positif karya HB Jassin ini.Bila segala
sesuatu dinilai dari niat, maka karya Jassin ini lahir dari kecintaan pada al-
Qur'an, bukan maksud buruk. Dan akhirnya, paska polemik, sejarah
memenangkan Jassin: terjemahan itu mengalami cetak ulang terus
menerus hingga saat ini. Hmmm, bila suatu saat menikah, saya mungkin
menggunakan karya Jassin ini sebagai bagian dari mahar. Apalagi jika ia
yang saya persunting tidak bisa memahami keindahan sastrawi al-Qur'an
langsung dari bahasa aslinya.