Anda di halaman 1dari 100

AL QURAN BACAAN YANG MULIA KARYA HB JASIN

Oleh : Mohammad Ashif Fuadi, Maharani Pattiran.

Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang penerjemahan al-Qur’an di Indonesia yang
menjadi penanda adanya interaksi umat Islam di Indonesia dengan Kitab
Sucinya yang tidak terbatas pada membaca dan mengkajinya dalam lafaz
asli, yaitu bahasa Arab. Seperti halnya tafsir al-Qur’an yang penuh dengan
dinamika, penerjemahan al-Qur’an pun menyentuh ranah polemik yang
menyeret perhatian para penganutnya dari kalangan yang berbeda-beda.
Polemik yang dimaksud dapat ditemukan di antara bangunan sejarah
penerjemahan yang panjang. Dalam kajian ini, penulis memilih dua
polemic penerjemahan yang pernah muncul, yaitu “Al-Qur’an Bacaan
Mulia” dan “Al-Qur’an Berwajah Puisi” karya HB Jassin dan “Tarjamah
Tafsiriyah Al-Qur’an” Muhammad Thalib. Keduanya memiliki wajah yang
sangat berbeda, yang pertama, dengan berpegang pada paradigma etika
dan estetika secara bebas mengutamakan keindahan kalimat dan
kedalaman makna yang syarat akan nuansa sastra. Sedangkan yang
kedua, melalui paradigma teologis mendasarkan terjemahnya atas tafsir-
tafsir Al-Qur’an sehingga menghasilkan terjemah yang sangat hati-hati,
terbatas akan makna dan kandungannya. Focus of this papers is study of
translation of qur’an in Indonesia which it becomes as code of interaction
of Islam with the holy book which is not only reading and study in original
language, that is Arabic language. In the dynamic of al qur’an translations
which making polemic among the different believers. The polemic in that
case is in the log terms history of translation. In this study, author would
like to try choosing two polemics which are “Al-Qur’an Bacaan Mulia” and
“Al-Qur’an Berwajah Puisi” karya HB Jassin and “Tarjamah Tafsiriyah Al-
Qur’an” Muhammad Thalib. Both of are having very different faces . Firstly
is keep in paradigm of ethic and esthetic freely , focusing on the beautiful
of sentence and deepen meaning of literacy . Secondly by using
theologian paradigm in translation of holy Koran, it produced of translation
in very carefully and works in limit meaning and contain.
Kata Kunci: terjemah, tafsiriyah, keindonesiaan, Jassin, Thalib
A. Pendahuluan
Al Qur’an terpatri dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang
abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi
manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian
rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput
dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat
universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai
perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk
memahami dan menafsirkan al Qur’an. Dinamika dan perkembangan
interaksi umat Islam Indonesia dengan al-Qur’an, khususnya melalui karya
tafsir dan terjemah, bahkan tidak tanpa polemik dan konflik. Baik yang
dilatarbelakangi oleh metode dan hasil terjemahan maupun sikap dan
pemahaman pembaca yang –diduga- merupakan efek dari sebuah
terjemah, sekalipun dugaan tentang sikap tersebut masih sebatas asumsi.
Akan tetapi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas muslim di
Indonesia akan mengenali makna dan kandungan al-Qur’an melalui
terjemahannya. Oleh karena itu, terjemah al-Qur’an yang merupakan
gerbang pertama dalam memahami al-Qur’an tersebut justru memiliki
posisi dan peran yang sangat vital. Sehingga tarikan konflik yang muncul
dalam hal ini bisa sama besarnya dengan konflik dalam dinamika tafsir di
Indonesia.
Berangkat dari hal ini, maka penulis akan memfokuskan kajian pada
isu-isu tertentu seputar penerjemahan al-Qur’an yang pernah muncul di
Indonesia, atau paling tidak yang pernah terekam jejaknya. Penulis
membatasi kajian pada karya HB Jassin, yaitu “Al-Qur’an Bacaan Mulia”
dan “Al-Qur’an Berwajah Puisi” dan karya Muhammad Thalib “Tarjamah
Tafsiriyah Al-Qur’an.” Pemilihan karya dari dua sosok ini dikarenakan
ramainya respon dan reaksi dari kemunculan karya-karya tersebut, di
samping itu karena karya keduanya memiliki permunculan wajah yang
sangat berbeda.
Sejarah Penerjemahan dan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia
Menelusuri sejarah penerjemahan Al-Qur’an di Indonesia tidak bisa
dilepas dari sejarah penafsirannya. Keduanya selalu bergandeng seiring
tak dapat dipisahkan, karena dalam proses penerjemahan juga terdapat
proses menafsirkan baik di awal ataupun sepanjang penerjemahan itu
berlangsung. Bahkan sebaliknya, penafsiran diawali oleh langkah
menerjemahkan terlebih dahulu, baik kata demi kata jika alih bahasa
tersebut terjadi antara bahasa Arab ke bahasa selainnya, ataupun hanya
kata tertentu saja yang asing dan membutuhkan arti dalam kata lain jika
itu terjadi dalam bahasa Arab. Jika melihat perjalanan sejarah umat Islam
di Indonesia dalam memahami Al-Qur’an, hal yang penulis maksud akan
sangat terlihat. Mereka memahami Al-Qur’an dengan terlebih dahulu
melihat terjemahnya baik ke dalam bahasa daerah maupun bahasa
Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran yang lebih luas dan
rinci.
Kondisi demikian tentu saja dilatarbelakangi oleh budaya dan
bahasa yang sangat berbeda, di mana masyarakat Islam di Indonesia
memiliki bahasa ibu yang bukan bahasa Arab. Maka dari itu, menjadi hal
maklum jika penafsiran Al-Qur’an di Indonesia melewati proses yang jauh
lebih panjang dari pada di bumi tempat asal ia diturunkan. Dari segi
pembabakan, Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian
kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia ke dalam tiga
generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX sampai dengan
tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran
yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada
surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, yang muncul
pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan dari generasi
pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa
catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks
sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan
penafsiran yang lengkap, dengan komentarkomentar yang luas terhadap
teks yang juga disertai dengan terjemahnya.1
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya
benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya
tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al
Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syekh
Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat
tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar
karya Hamka, hanya saja secara umum karya yang ada memang
cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel. Perkembangan
terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan karya tafsir yang

1 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia (Bandung: Mizan, 2000),


hlm. 17.
mengarah pada kajian tafsir maudhu’i. Hal ini banyak dipelopori oleh
Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik
seperti Lentera Hati, Membumikan al Qur’an dan Wawasan al Qur’an.
Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin
disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di
berbagai perguruan tinggi Islam. Dalam konteks perkembangan tafsir di
Indonesia, terjemah al Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya
tafsir karena pada dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk
mengungkapkan makna al Qur’an ke dalam bahasa lain. Artinya di
dalamnya terdapat unsure interpretasi manusia terhadap ayat-ayat al
Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya
juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat. Sejauh
penelusuran penulis tentang terjemah al-Qur’an di Indonesia, sudah
berlangsung sejak awal abad XX.2
Pada tahun 1965 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Al-Qur’an
dan Terjemahnya melalui Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci
Al-Qur’an. Kemudian pada 1971 terbit terjemahan al-Qur’an berbahasa
Sunda yang berjudul, al-Amin: Al-Qur’an Tarjamah Sunda, ditulis oleh tiga
serangkai: K.H. Qamaruddin Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi. 3

2 Muchlis M. Hanafi menemukan paling tidak kurang dari 20 penerjemahan telah


dihasilkan, di antaranya: TafsirQur’an Hidajatur Rahman karya Munawar Khalil;
Terjemah Tafsir karya Maulevi Mohammad Ali; Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy
dan Hs. Fachruddin; Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus; Tafsir al-Baya>n karya
TM. Hasbie ash-Shiddiqy; al-Furqa>n: Tafsir Quran karya Ahmad Hasan; Tafsir al-Azha>r
karya Buya Hamka; Tafsir Rah}mat karya H. Oemar Bakry; Terjemah dan Tafsir al-
Qur’an karya Bachtiar Surin; Terjemah/Tafsir al-Qur’an karya Moh. Rifa’i; al-Qur’an dan
Maknanya karya M. Quraish Shihab; Qur’an Kejawen karya Kemajuan Islam Yogyakarta;
Qur’an Sundawiyah: Qur’an Bahasa Sunda karya KH. Qamaruddien; al-Ibri>z karya
Bisyri Musthofa; ak-Ikli>l fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l karya Mishbabh Zainal Musthofa; al-
Qur’an Suci Bahasa Jawa karya Prof. KHR. Muhammad Adnan; al-Ami>n; dan Tarjamah
al-Qur’an Bahasa Sunda. Lihat Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan al-Qur’an
Studi pada Beberapa Penerbitan al-Qur’an dan Kasus Kontemporer” dalam S}uh}uf ,
Vol. 4, No. 2, 2011, hlm. 178-179.

3 Karya ini dikerjakan selama 7 tahun dan kali pertama diterbitkan oleh CV Diponegoro
pada 1971. Teknis penulisannya, teks al-Qur’an diletakkan di bagian kanan bidang
halaman dan terjemahan dalam bahasa Sunda diletakkan di kiri. K.H. Qamaruddin
Shaleh, H.A.A. Dahlan, dan Yus Rusamsi, al-Amin: Al-Qur’an Tarjamah Sunda (Bandung:
CV Diponegoro, 1971).
Satu tahun berselang, terbit Al-Quraan Agung yang ditulis oleh S.
Suryohudoyo. Meskipun di halaman judul ditulis Terjemahan Langsung dari
Bahasa Arab, karya ini bukanlah sekadar terjemahan Al-Qur’an seperti
yang lumrah ditemui ketika itu, karena di sejumlah ayat disertai uraian
atau komentar yang memberikan penjelasan terhadap maksud suatu
ayat.4
Masih pada1973, Nazwar Sjamsu menerbitkan Al-Qur’an dan Benda
Angkasa. Buku setebal 500 halaman ini diterbi kan pertama kali oleh
Pustaka Sa’adijah, Muka Djam Gadang No. 15 Bukit Tinggi Sumatra. Selain
mengupas secara tematik hal-hal yang terkait dengan ilmu astronomi,
Sjamsu juga menampilkan terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait
dengan tema yang dikaji.5
Masih pada tahun yang sama, K.H. Mohd. Romli menerbitkan al-Kitab al-
Mubi>n: Tafsir al-Qur’an Basa Sunda. Tafsir ini diterbitkan oleh Penerbit al-
Ma’arif Bandung dalam satu jilid.6
Berikutnya, Menteri Agama membentuk Dewan Penyelenggara Pentafsir
al-Qur’an yang pada 1975, dewan tersebut mempublikasikan “Al-Qur’an
dan Tafsirnya”.7
Tahun 1978 terbit karya terjemahan al-Qur’an lengkap 30 juz
dengan sejumlah komentar singkat pada bagian tertentu dari ayat al-
Qur’an yang ditulis dengan memakai bahasa lokal. Karya ini ditulis oleh
K.H. Hamzah Manguluang, pengajar di Madrasah As’adiyah di Sengkang,

4 Lihat S. Suryohudoyo, Quran Agung (t.k.: t.p., t.th.), hlm. 12.

5Nazwar Sjamsu, Al-Qur’an dan Benda Angkasa (Sumatra: Pustaka Sa’adijah, 1973), hlm.
13. Buku-buku Sjamsu ini, seperti Isa al-Masih di Venus, Al-Qur’an dan Sejarah Manusia,
Al-Qur’an dan Benda Angkasa, Heboh Sastra 1968, Haji dari Segi Geologi dan Sosiologi,
dan Al-Qur’an Dasar Tanya Jawab Ilmiah, diterbitkan ulang oleh penerbit Ghalia
Indonesia.

6 K.H. Mohd. Romli, al-Kita>b al-Mubi>n: Tafsir Al-Qur’an Basa Sunda (Bandung:
Penerbit al-Ma’arif, 1974).

7 Lihat “Sambutan Ketua Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an” yang ditulis oleh
Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML dalam Muqaddimah Al-Qur’an dan Tafsirnya, tahun
1992/1993.
Kabupaten Wajo. Ia menulis terjemah al-Qur’an tersebut dengan bahasa
dan aksara Bugis.8
Masih pada tahun yang sama, terbit karya tafsir lengkap 30 juz yang
ditulis berdasarkan tertib mushaf, berjudul Terjemah dan Tafsir al-Quran:
Huruf Arab dan Latin, ditulis oleh Bachtiar Surin. Edisi pertama karya ini
diterbitkan oleh F.A. Sumatera Bandung.9 Pada era akhir 1980-an muncul
edisi revisinya yang diterbitkan oleh penerbit Angkasa Bandung dengan
judul adz-Dzikra: Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an dalam Huruf Arab dan
Latin yang dicetak menjadi 6 volume.10
Pada 1993, tafsir ini diterbitkan kembali dengan judul al-Kanz:
Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an dalam 3 volume yang diterbitkan oleh
penerbit Titian Ilahi Bandung. Pada tahun yang sama, ketika wilayah
Provinsi Jawa Barat dipimpin Gubernur Aang Kunaefi, Kantor Wilayah
Departemen Agama Provinsi Jawa Barat menerbitkan terjemah dan tafsir
Al- Qur’an bahasa Sunda. Sejumlah ulama terlibat di dalam proyek ini,
yaitu K.H. Anwar Musaddad, K.H. Mhd. Romli, K.H. Hambali Ahmad, K.H.I.
Zainuddin, dan K. Moh. Salmon. Kemudian masih pada tahun 1978, H.B.
Jassin mengumumkan penerbitan Al-Quran Bacaan Mulia (ABM).
Al-Qur’an Bacaan Mulia dan Al-Qur’an Berwajah Puisi HB Jassin
Biografi HB Jassin
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin
adalah pria kelahiran Gorontalo, 31 Juli 1917 yang selalu dihubungkan
dengan dokumentasi sastra Indonesia dan ia adalah orang yang secara
penuh mencurahkan perhatiannya kepada kerja dokumentasi. Ia berasal
dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu Jassin, pegawai BPM
(Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah bertugas di Balikpapan.

8 Lihat Hamzah Manguluang, Terjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Bugis (Makassar:


Pesantren As’adiyah, 1979), di bagian Kata Pengantar.

9 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin (Bandung:
F.A. Sumatera, 1978).

10 Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin (Bandung: F.A.
Sumatera, 1978)., hlm. xi.
Di kota Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para
calon seniman, diantaranya Chairil Anwar. Dalam pulang ke Gorontalo
tahun 1939, ia terlebih dahulu menemui Sutan Takdir Alisjahbana di
Jakarta. Takdir sangat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke
Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Ia juga pernah
menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka
(1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan Pemberian Anugerah Seni
Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975), anggota
juri Sayembara Kincir Emas oleh radio Wereld Omroep Nederland (1975),
anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang disumpah (1979-
1980), Extrernal assessor Pengajian Melayu, Universiti Malaya (1980-
1992), anggota Komisi Ujian Tok-Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29
tahun International Congress of Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli
1973, penasehat Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditahun
1973-1982, anggota dewan juri Sayembara Mengarang Novel Kompas-
Gramedia tahun 1978, ketua dewan juri Sayembara Novel Sarinah di
tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus Oil Indonesia pada tahun 1984
dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen Suara Pembaruan ditahun 1991.
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah perpustakaan
pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di kantor Asisten
Residen di Gorontalo sangat berguna bagi pendokumentasian buku. Pada
tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B Jassin yang
menggantikan Dokumentasi Sastra. Sejak akhir September 1982 sampai
sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90 meter
persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73, Jakarta
Pusat.
Keindahan dan Kontroversi dalam Penerjemahan Al-Qur’an HB
Jassin
Sebagai seorang yang memahami sastra, HB Jassin memiliki dua
karya berkaitan dengan terjemah al-Qur’an yang cukup kontroversial di
masa kemunculannya, yaitu “Al-Qur’an Bacaan Mulia” dan “Al-Qur’an
Berwajah Puisi”. Ide penyusunan “Al-Qur’an Bacaan Mulia” itu sendiri
bemula ketika istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962,
peristiwa ini cukup menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh
malam, dia mengaji terus sampai selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada
malam kedelapan, ketika rumah sepi, dia meneruskan mengaji seorang
diri. Tidak puas dengan sekedar membaca saja, dia mulai
mempergunakan beberapa buku terjemahan untuk mendalami dan
meresapi isi kitab suci itu. Berikut ini adalah kutipan tulisan HB Jassin
pada pendahuluannya dalam Al-Qur’an Bacaan Mulia:
Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami
hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran, ayat-ayat yang
mustahil adalah bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri.
Keyakinan ini saya resapi kebenarannya, karena ayatayat itu meliputi
masalah-masalah kehidupan yang amat luas serta tinggi dan dalam
maknanya…
Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun hari
yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat dalam
sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh
murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah
menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 45. Tapi semua itu saya terima sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti hakikat dan saya
anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa. Sampai tibalah suatu
hari hati saya terbuka untuk mulai menterjemahkan al-Quran, setelah
tanggal 7 Oktober 1972, di negeri dingin yang jauh dari katulistiwa yakni
di negeri Belanda.
Pikiran untuk menterjemahkan al-Quran secara puitis timbul pada
saya oleh membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang
saya peroleh dari kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah
terjemahan yang saya rasa paling indah disertai keterangan-keterangan
yang luas dan universal sifatnya. Untuk menimbulkan kesan yang estetis
penyair mempergunakan irama dan bunyi. Bukan saja irama yang
membuai beralun-alun, tapi juga- jika perlu- irama singkat melompat-
lompat atau tiba-tiba berhenti mengejut untuk kemudian melompat lagi
penuh tenaga hidup. Bunyi yang merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi
bukan saja diujung baris, tapi juga diantara baris, mempertinggi kesan
keindahan pada pendengar atau pembaca.
Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an dan ang dan
bunyi sukukatasukukata yang terbuka menimbulkan kesan yang merdu.
Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak
sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi
persajakan diujung baris, diantara baris ataupun ditengah baris. Dibawah
ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak perkataan
sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam surah (26)
asy-Syu’ara dikisahkan Firaun meminta pertimbangan kepada para
pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa.
Mereka menjawab: “Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan kirim
ke kota-kota para bentara.” (26:36) Pada hemat saya lebih bertenaga dan
penuh ancaman rasanya jika baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota. Dibawah ini sebuah contoh
perbedaan pilihan kata yang menimbulkan perbedaan penghayatan
estetis secara audiovisual. Surah (61) ash-Shaf ayat 2 kita lihat
diterjemahkan:
“Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?” Dapat
dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakana Apa yang tiada kamu lakukan?.11
Wacana ini pun kemudian menyeruak ketengah masyarakat luas
yang menimbulkan respon pro dan kontra terhadap ide HB Jassin yang
mencoba menterjemahkan Al Qur’an secara puitis. Bagi sebagaian orang
yang keberatan dengan ide HB Jassin merasa bahwa ini dapat merusakan
pemahaman kandungan al-Qur’an, tak ayal lagi masalah teknis
penterjemahan bukanlah masalah kecil. Beberapa perbedaan pemahaman
ayat sendiri sebagaimana biasanya sudah cukup menimbulkan debat
ilmiah. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa yang melakukan
penterjemahan justru seorang doktor sastra Indonesia. Tokoh ini sama
sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an juga mengaku
bukan ahli dalam bahasa Arab. Hans Bague jassin sendiri mengaku
11 HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, (Jakarta: Grafiti, 1975), hlm. V.
memang tidak pernah mendapatkan pelajaran khusus membaca al-
Qur’an. Hanya saja, sewaktu kecil ia sering mendengar neneknya sering
membaca kitab suci itu dan Jassin begitu terkesima. Baru saat mahasiswa,
di fakultas sastra Universitas indonesia (UI), tamat 1957, ia sempat
mempelajari bahasa arab. Di sana Jassin juga mempelajari terjemahan-
terjemahan al-qur’an, naskah-naskah lama dari ar-Raniri, Hamzah Fansuri,
yang berupa tulisan arab melayu beserta kutipan-kutipan bahaa arabnya,
dan juga mempelajari cara menerjemahkan lewat kamus.
Namun Jassin lebih dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia. Ia
malahan dianggap sebagai Paus sastra Indonesia (ada juga yang
menyebutnya Empu Sastra). Kemudian pada 1975, almamaternya
menganugerahkan gelar Doktor Honoris causa. Motivasi dari usahanya ini
diungkapkan Jassin secara sederhana, bahwa terjemahan yang sudah
dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia semuanya ditulis dalam bahasa
prosa. Dan hal itu tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh
para penterjemah yang pada umumnya adalah guru-guru agama ialah
kandungan kitab suci itu. Padahal sebenarnya bahasa Qur’an sangat puitis
dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra
walaupun dalam setiap mushaf (buku Qur’an) ayat-ayat itu secara visuil
disusun sebagai prosa.
Maka tampaklah Jassin memandang prosa dan puisi pertama kali
dari segi visuil dari segi tata-muka. Jassin sendiri menyatakan bahwa
perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran puisi disusun tidak
baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman
saja. Sudah tentu sebagaimana dikatakan Jassin tidak semua baris prosa
bisa dirobah menjadi puisi dengan hanya merobah susunan. Dengan kata
lain puisi Quran tidak sekedar kalimat terpotongpotong. Tapi pengertian
puisi sebagai bentuk Susunan kalimat itulah yang sering dipakai para
penterjemah puitis yang sudah lebih dulu mencoba seperti Mohamad
Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf Ali Beirut
yang menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling indah dan
yang mendorong dia melakukan hal serupa dalam bahasa Indonesia.
Sudah tentu perasaan enak dan tidak enak terhadap sesuatu terjemahan
hampir selalu bersifat relatif. Tapi justru sebagian orang mengatakan
bahwa diukur dengan citarasa puisi terjemahan Yusuf Ali justru kalah
indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke pikcthall yang disusun
secara ayat aslinya. Sebab mungkin saja lebih dari Yusuf Ali Pickthall
berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya lantas
menuangkan ke dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa bahasa
Inggeris tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut syair atau
sajak. Karena bertolak dari bentuk itulah agaknya salah-satu alasan
mengapa Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya (terjemahan juz
XXX dan belum diterbitkan) sebagai puitisasi terjemah Qur’an dan bukan
terjemah puitis Qur’an. Tetapi barangkali menarik bahwa dengan berpijak
pada citarasa dan suasana asli, ‘dalam arti menghadapi Quran sebagai
karya puisi’, akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari
terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan mengguru-gurui
atau lebih mementingkan kandungan makna semata-mata menurut istilah
Jassin. Contoh penerjemahan HB Jassin surat al-Naml/27 ayat 59-66:
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,
Dan selamat sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.
Apakah Allah yang lebih baik,
Atau apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?”
Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi,
Dan yang menurunkan bagimu hujan dari langit?
Ya, dengannya Kami tumbuhkan
Kebun-kebun buah-buahan yang indah.
Tiadalah kamu mampu menumbuhkan pohon-pohon didalamnya.
(Mungkinkah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi mereka adalah kamu yang menyimpang (dari Kebenaran).
Atau siapakah yang menjadikan bumi,
Tempat kediaman yang kukuh kuat?
Yang menempatkan sungai-sungai ditengah-tengahnya,
Yang memancangkan gunung-gunung diatasnya,
Dan menaruh sekatan antara kedua lautan?
(Mungkinlah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi kebanyakan mereka tiada tahu.
Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang dalam
kesulitan,
Jika ia menyeru (Tuhan),
Yang menghilangkan keburukan,
Dan menjadikan kamu khalifah dimuka bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Alangkah sedikit kamu mengambil peringatan!
Atau siapakah yang membimbing kamu
Dalam kegelapan di daratan dan di lautan,
Dan siapakah yang mengirimkan angin
Sebagai pembawa kabar gembira,
Mendahului rahmat-Nya?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Mahatinggi Allah diatas apa yang mereka persekutukan Ia!
Atau siapakah yang pertama kali memulai ciptaan,
Kemudian mengulanginya?
Dan siapakah yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Katakanlah, “Bawalah bukti yang nyata,
Jika kamu berkata benar!”
Katakanlah, “Tiada yang tahu di langit dan di bumi apa yang gaib, Kecuali
Allah.
Dan tiada mereka tahu apabila mereka dibangkitkan.
Tiada pula ilmu mereka sampai kepada (ilmu) akhirat,
Bahkan mereka dalam keraguan mengenai hal itu
Tidak, mereka buta untuk itu.12
Pada tanggal 31 Juli 1993, HB Jassin kembali membuat kontroversi
adalah penyusunan Al-Qur’an berwajah puisi. Munculnya ide ini membuat
umat Islam digegerkan oleh peristiwa langka dan fenomenal. Al-Qur’an

12 HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, (Jakarta: Grafiti, 1975), surat al-Naml ayat
56-66.
yang ditulis oleh Jassin ini banyak menuai kritik dari berbagai kalangan.
Ada yang menanggapinya sebagai bid’ah, ada juga yang berpendapat
bahwa kesastraan Alqur’an yang walaupun tanpa dipuitisasikan, ia telah
mengandung sastra yang tinggi. Itulah berbagai apresiasi atas karya dari
seorang master sastra yang lahir dari Gorontalo ini. Terlepas apakah
karyanya menibulkan kontroversi atau tidak, ia telah menyumbang karya
seni dalam khazanah keislaman.
Al-Qur’an Berwajah Puisi –bukan al-Qur’an Sebagai Puisi karena
hanya lay out-nya yang berbentuk puisi- adalah salah satu karya Jassin
yang lahir karena termotivasi akan ketinggian sastra yang terkandung
dalam al-Qur’an. Ia berpendapat “Mengapa al-Qur’an yang begitu indah
bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah
perwajahannya?“ katanya. “Ayat ayat al-Qur’an bagaikan intan, setiap
sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar
dari sudut-sudut lainnya. Tidak mustahil, bila anda mempersilakan orang
lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang
anda lihat “. Estetika bahasa dan kandungan yang puitis bisa jadi untuk
menjawab kecenderungan bangsa Quraisy saat itu yang mengagungkan
puisi, sekaligus menantangnya untuk membuat satu bait “puisi” yang
seindah Alqur’an (Asy Syu’ara: 224-225).13
Selain itu, Jassin berpendapat memperlihatkan keagungan al-Qur’an
adalah dengan menyesuaikan para pembacanya. Misal, Tafsir Al-Ibriz
karya K.H. Bisri Mustafa merupakan apresiasi beliau atas keadaan sosial
masyarakat Jawa yang plural. Sedangkan Jassin, dari kalangan seniman,
memunculkan keagungan Alqur’an lewat bahasa puisinya agar dapat
dirasakan oleh para seniman. Tafsir lokal dibuat agar makna al-Qur’an
lebih dipahami umat. Namun ada juga yang menganggap sesat. Berikut
adalah contoh salah satu halaman dalam Al-Qur’an Berwajah Puisi:
)2(‫ن‬ ‫قحرآ ح ح‬ ‫م ال ح ن‬ ‫) ع حل ر ح‬1 ( ‫ن‬
‫ح ن‬ ‫الرر ح‬
)4(‫ن‬ ‫ه ال ححيَنا ح‬ ‫) ع حل ر ح‬3 ( ‫ن‬
‫م ن‬ ‫سَنا ح‬‫نن ح‬
‫خل حقح ا ح‬
‫ل‬ ‫ح‬
)6(‫ن‬
‫دا ن‬
‫ج ح‬
‫س ن‬
‫جنر ي ح ح‬ ‫م حوال ر‬
‫ش ح‬ ‫ج ن‬
‫) حوالن ر ح‬5 ( ‫ن‬
‫سحبَنا ن‬
‫منر ب ن ح‬ ‫س حوال ح ح‬
‫ق ح‬ ‫م ن‬ ‫ال ر‬
‫ش ح‬
13 http://info@wahidinstitute.org. Diakses tanggal 12 Juni 2014 pukul 13.30 WIB.
)8(‫ن‬ ‫ف ال ح ن‬
‫ميحزا ن‬ ‫ل ت حط حغح ح‬
‫وا ن‬ ‫ر‬
‫ح‬
‫) أ‬7 ( ‫ن‬
‫ميحزا ح‬‫ضع ح ا ل ح ن‬
‫مَناحء حرفحعححهَنا وحوح ح‬
‫س ح‬ ‫حوال ر‬
)9(‫ن‬ ‫سوا ال ح ن‬
‫ميحزا ح‬ ‫ط وح ح‬
‫ل ت حن ن‬ ‫س ن‬ ‫ن نبَنال ح ن‬
‫ق ح‬ ‫موا ال حوححز ح‬
‫نقي ن‬
‫ح‬
‫حوأ‬
) 11 ( ‫مَنام ن‬ ‫كح ح‬
‫ت ال ح‬ ‫ذا ن‬ ‫ل ح‬‫خ ن‬ ‫ ) نفيحهَنا حفَناك نهح ة‬10 ( ‫حنَنام ن‬
‫ة حوالن ر ح‬
‫ضعححهَنا نلل ح‬‫ض وح ح‬‫حر ح‬
‫حوال ح‬
) 12 ( ‫ن‬
‫حَنا ن‬ ‫ف حوالرري ح ح‬ ‫ص ن‬ ‫ذو ال حعح ح‬ ‫حوال ح ب‬
‫ب ن‬
) 13 ( ‫ن‬‫مَنا ت نك حذ ذحبَنا ن‬
‫لنء حرب ذك ن ح‬‫يذ آ ح ح‬
‫ح‬
‫فحنبأ‬
Perdebatan tentang apakah Alqur’an cenderung pada garis puitis
atau prosa, dalam literature islam, telah muncul jauh sebelum H.B. Jassin
memuitisasikan ayat-ayat al Qur’an. Mayoritas ulama menyatakan bahwa
tanpa dipuitisasikan, sesungguhnya ayat-ayat alqur’an telah mengandung
nilai puisi yang sangat agung. Tapi ia sendiri bukanlah puisi. Al-Qur’an
Berwajah Puisi, yang mencoba melakukan dekonstruksi terhadap tipografi
teksteks al-Qur’an yang normatif, bukan hanya tidak direstui
penerbitannya oleh Munawir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, tapi juga
dituding Ketua MUI, KH Hasan Basri, sebagai mempermainkan al-Qur’an.
Jassin memang pantas digelari Octopus, gurita besar yang punya ratusan
tangan. Apapun karyanya selalu direspons orang, pro maupun kontra. Ia
memang dilahirkan dengan penuh polemik.14
Kontroversi yang timbul dilatari oleh 2 sebab. Pertama, HB Jassin
tidak menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar tafsir.
Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3 hal
diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang
pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius. Sebuah

14 http://islamlib.com/id/artikel/alqur’an-sebagai-puisi. Diakses tanggal 12 Juni


2014, pukul 22.20 WIB.
invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid’ah yang tidak punya rujukan
atau basis hujjah dari sumber-sumber hukum Islam.
Simpulan
Dari hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
menerjemahkan tidak sekadar mengganti dan memindah bahasa yang
satu ke dalam bahasa yang lain, melainkan juga mentransfer aspek-aspek
dan unsur yang dikandungnya, baik dari segi makna, maksud, dan nuansa
psikologi. Hal itu harus dipertimbangkan secara cermat, termasuk dengan
etika dan estetika bahasa. Tanpa pertimbangan-pertimbangan tersebut,
maka sebuah karya terjemah akan semakin menemui problematikanya.
Hal itu dapat merubah racikan kalimat menjadi kering gersang, bahkan
semakin membuka ruang distorsi semakin lebar. Dua polemik
penerjemahan yang pernah muncul, yaitu “Al- Qur’an Bacaan Mulia” dan
“Al-Qur’an Berwajah Puisi” karya HB Jassin dan “Tarjamah Tafsiriyah Al-
Qur’an” Muhammad Thalib. Keduanya memiliki wajah yang sangat
berbeda, yang pertama, dengan berpegang pada paradigma etika dan
estetika secara bebas mengutamakan keindahan kalimat dan kedalaman
makna yang syarat akan nuansa sastra. Sedangkan yang kedua, melalui
paradigma teologis mendasarkan terjemahnya atas tafsir-tafsir Al-Qur’an
sehingga menghasilkan terjemah yang sangat hati-hati, terbatas akan
makna dan kandungannya.
Abstrak
Artikel ini membincang dua proyek sastrawan kenamaan Indonesia, H.B.
Jassin, seputar Al-Qur’an. Karir besar Jassin dalam sastra
mengantarkannya kepada ranah al-Qur’an, dengan karya terjemahan
berjudul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan penulisan mushaf berwajah
puisi. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, artikel ini berakhir
pada kesimpulan bahwa kedua karya H.B Jassin merupakan resepsi
estetisnya terhadap Al-Qur’an. Berkaitan dengan epistemologi, kedua
bentuk resepsi ini merupakan hasil dari pengetahuan intuitif Jassin yang ia
asah dalam waktu yang panjang.
Keywords: resepsi estetis, epistemologi intuitif, sastra, shi‘r

Pendahuluan
Sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an mendapatkan resepsi yang luar
biasa besar dari penganutnya. Resepsi yang paling jelas terlihat pertama
sekali adalah resepsi hermeneutis, di mana al-Qur’an telah menghasilkan
ratusan kitab-kitab tafsir sepanjang sejarah. Penulisan tafsir ini akan terus
berkembang hingga akhir zaman. Selain itu, al-Qur’an juga diresepsi
secara kultural dan estetis. Resepsi terakhir ini mengambil beberapa
bentuk seperti kaligrafi. Untuk konteks Indonesia, bentuk resepsi estetis
lainnya adalah penerjemahan al- Qur’an ke bahasa puitis sebagaimana
yang dilakukan oleh H.B. Jassin. Bukan hanya itu, H.B. Jassin juga telah
menyelesaikan karya resepsi estetis lainnya yang ia sebut Al-Qur’an
Berwajah Puisi. Sayangnya, karya kedua ini tidak diizinkan untuk
diedarkan kepada publik oleh Kementrian Agama dan Majelis Ulama
Indonesia. Menempatkan karya Jassin kepada aspek estetis saja cukup
problematis.
Pada satu sisi, Jassin berusaha mengungkap keindahan puitik al-
Qur’an. Jelas ini adalah resepsi estetis. Akan tetapi, pada sisi lain, ia
membuatnya dalam bentuk terjemahan al-Qur’an. Sebagai terjemah,
maka ia juga resepsi hermeneutis, karena bagaimanapun juga terjemahan
adalah hasil penafsiran. Al-Qur’an Berwajah Puisi, meskipun bisa kita
anggap sebagai karya kaligrafi, bagi Jassin tetap merupakan karya dengan
pemaknaan, karena, penyusunan layout al- Qur’an sebagaimana layout
puisi, mempersyaratkan pembaca untuk memahami teks al-Qur’an,
sebagaimana ia memahami teks puisi. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya
untuk membahas resepsi estetis H.B.Jassin terhadap al-Qur’an tanpa
mengenyampingkan resepsi hermeneutisnya. Dari itu, maka artikel ini
akan mengelaborasi kedua resepsi H.B. Jassin tersebut. Pola yang
dijalankan oleh H.B. Jassin dalam menulis Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia
penerjemahan al-Qur’an atau menyusun Al-Qur’an Berwajah Puisi
mengantarkan pada hipotesis bahwa Jassin menggunakan pengetahuan
intuitif untuk semua itu. Selanjutnya, hipotesis ini akan diuji dengan
menggunakan metode deskriptif untuk menggambarkan resepsi
estetisnya secara objektif, dan metode analitis untuk mendalami dan
mengkritisi epistemologi keilmuan yang ia gunakan sebagai resepsi
interpretatifnya.
H.B. Jassin: Empu Penyair Indonesia Nama lengkapnya adalah Hans
Bague Jassin atau biasa disebut H.B. Jassin. Ia dilahirkan pada pada
tanggal 31 Juli 1917 di Gorontalo dari pasangan Mantu Jassin dan Habiba
Jau. Sejak kecil, Jassin adalah anak yang suka membaca. Ia gemar
membaca buku-buku yang dimiliki ayahnya meskipun ia tidak begitu
memahaminya. Kegemaran membaca membawanya ke ranah sastra
terutama sekali setelah ia mengenal seorang Belanda bernama M.A.
Duisterhof,guru sekaligus kepala sekolah dari tempat Jassin belajar.15
Semasa mudanya, Jassin telah berkenalan dengan beberapa
sastrawan seperti Chairil Anwar. Ia merasa beruntung bisa bertemu
dengan sastrawan idolanya, Sutan Takdir Alisjahbana. Pertemuan singkat
tersebut ternyata menimbulkan kesan mendalam dalam diri Sutan,
sehingga ia mengirim surat ke Gorontalo meminta Jassin agar mau
bekerja di lembaga sastra yang ia pimpin,Balai Pustaka.16
Jassin terlibat dalam sejumlah aktifitas sastra. Ia sempat mengisi
posisi redaktur majalah ternama di Indonesia seperti Mimbar Indonesia
(1947-1966), majalah Zenith (1953-1956), dan sebagainya. Ia juga pernah
menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan Perum Balai Pustaka
(1987-1994), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon Penerjemah yang
disumpah (1979-1980), dan sejumlah jabatan penting lainnya dalam dunia
sastra dan penulisan.17 Pada tahun 1953, Jassin diangkat menjadi Dosen
Luar Biasa di Universitas Indonesia untuk mata kuliah Kesusastraan
Indonesia Modern. Jassin diberhentikan dari Universitas Indonesia pada
tahun 1964 diakibatkan oleh keterlibatannya dalam Manifest
Kebudayaan.18 Jassin meninggal pada Sabtu dini hari 11 Maret 2000 pada
usia 83 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sebagai
penghormatan serta penghargaan atas jasa-jasanya, Jassin dimakamkan

15 Pamusuk Erneste, H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1987), 2.

16 Leila S. Chudori, “H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia,” dalam www. tempo.com,
diakses pada tanggal 9 April 2014.

17 Siti Rohamatin Fitriani, “Perbandingan Metodologi Penafsiran A. Hassan Dalam Tafsir


Al-Furqan dan H.B. Jassin Dalam Al-Qur’an Al-Karim Bacaan yang Mulia.” Skripsi: UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tidak diterbitkan, 70

18 Alexander Supartono, Lekra vs Manikebu (Jakarta: STF Driyakarya, 2000), 11.


di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta dengan upacara
kehormatan militer Apel Persada.19
Selama hidupnya, Jassin dikenal sebagai seorang yang teguh
dengan idealismenya, terutama ketika terjadi pertentangan antara Lekra
dan Manifest. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) didukung penuh oleh
pemerintah. Pengikut Lekra akan mendapatkan fasilitas yang berlimpah
mulai dari keuangan, penerbitan, popularitas, hingga studi ke luar negeri.
Menurut Hamka, Lekra berpaham komunis. Pada sisi lain, Manifest,
lembaga sastra yang menentang Lekra. Di sini lah posisi Jassin. Berbagai
cara dilakukan Lekra untuk membujuk Jassin untuk berpindah haluan.
Akan tetapi, Jassin terkenal teguh dengan idealismenya, maka cara-cara
yang lebih intimidatif tidak jarang dilakukan. Sebagai contoh,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Hamka mereka tuduh sebagai karya
plagiasi. Jassin dalam hal ini berada di garda terdepan membela Hamka.20
Sikap tersebut memperlihatkan jati diri Jassin sebagai seorang yang
berani. Keberanian ini lah yang membuatknya tahan banting ketika
kontroversi cerpen Langit Makin Mendung mengantarkannya ke penjara.
Keberanian ini pula lah yang meneguhkannya untuk menyelesaikan
penulisan Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan Al-Qur’an Berwajah Puisi
meskipun di bawah tekanan dari berbagai arah. Selain itu, Jassin adalah
seorang yang istimewa. Kemampuan sebagai seorang kritikus,
dokumentator, pengajar, penulis, penerjemah serta kemampuan-
kemampuan lain yang dimilikinya sulit untuk ditemukan bandingannya di
Indonesia. Jasanya sebagai seorang dokumentator bagi kesusastraan
Indonesia telah sangat membantu pelestarian kekayaan budaya bangsa
yang amat bernilai. Karya-karyanya, baik yang ia tulis sendiri maupun
yang ia terjemahkan dari karya orang lain, jelas merupakan sumbangan
yang benar-benar berharga bagi siapa pun yang ingin mengambil manfaat
darinya. Walaupun lebih dikenal sebagai seorang dokumentator dan

19 Siti Rohamatin Fitriani, “Perbandingan Metodologi Penafsiran,” 70.

20 Hamka, “Sambutan Cetakan Pertama” dalam H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia cet.
III (Jakarta: Djambatan, 1991), xiii.
kritikus sastra, H.B. Jassin juga mempunyai peran yang tidak kecil dalam
hal penerjemahan. Ia menguasai sejumlah bahasa asing seperti Belanda,
Jerman, Inggris, Belanda, Prancis.21
Ia telah menerjemahkan sedikitnya 15 buku dalam bahasa-bahasa
tersebut.22 Namun begitu kompetensi berbahasa Arabnya dipertanyakan
berbagai pihak yang mengkritisi Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Resepsi
Estetis H.B. Jassin terhadap Al-Qur’an Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia
Perlu digarisbawahi, bahwa yang didiskusikan dalam tulisan ini adalah dua
karya yang berbeda. Yang pertama adalah terjemahan al-Qur’an yang
diberi judul Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia, dan yang kedua adalah Al-
Qur’an Berwajah Puisi. Kedua karya ini tidak lepas dari kecenderungan
sastrawi yang dimiliki oleh Jassin sebagai pengaruh dari professional
concern-nya sebagai sastrawan. Kedua karya ini tidak jauh dari unsur
puisi. Jika pada Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia unsur puisi berada pada
bentuk terjemahan, pada Al-Qur’an Berwajah Puisi terletak pada layout
dan tata letak penulisan al-Qur’an. Kelahiran Al-Qur’anul Karim Bacaan
Mulia merupakan wujud kesadaran religius seorang sastrawan yang
muncul pada hari tuanya. Paling tidak, itulah kesan yang terlihat dari
artikel pertama yang terdapat dalam buku Kontroversi Al-Qur’an Berwajah
Puisi.23 Pada artikel pembuka tersebut, M. Amin dan Yulius P. Silalahi
menuliskan sebagai berikut:
“Kini di usianya yang makin renta, Jassin juga semakin sadar, bahwa
semua manusia akan kembali ke Khalik-Nya. Itu makanya Jassin banyak
berzikir. Jassin mengaku, sebagai manusia dia amat lemah. Kesalahan-

21 Pamusuk Erneste, H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia, 12-14.

22 Leila S. Chudori, “H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia.”

23 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (Jakarta: Graviti: 1995). Buku
tersebut merupakan kumpulan artikel dan surat, baik dalam media massa, jurnal ilmiah,
instansi pemerintahan, dan pribadi, yang berkaitan dengan proyek Alquran Berwajah
Puisi H.B. Jassin. Tidak kurang dari 31 artikel surat kabar/majalah dan 62 surat pribadi
maupun instansi, yang melibatkan 21 media massa/majalah/jurnal, puluhan tokoh
nasional, dan beberapa instansi pemerintahan. Terlihat betapa terobosan H.B. Jassin ini
sangat fenomenal pada masanya.
kesalahan di masa lalu kerap membayang di ingatannya, dan itu
membuatnya selalu meminta ampunan pada Tuhan.”24
Kiranya tidak berlebihan apa yang ditulis oleh M. Amin dan Yulius P.
Silalahi tersebut memperhatikan tanggapan yang serupa juga diberikan
oleh Hamka. Meskipun memberikan kesaksian yang memberatkan Jassin
pada siding di Pengadilan Negeri Jakarta berkenaan dengan kasus cerpen
“Langit Semakin Mendung,” Hamka memberi tangapan yang positif terkait
usaha Jassin dalam penerjemahan al-Qur’an dalam sambutannya untuk
cetakan pertama Al- Qur’anul Karim Bacaan Mulia. Dalam sambutan
tersebut, Hamka memperlihatkan integritas H.B. Jassin sebagai seorang
sastrawan, dan sebagai seorang manusia yang terpanggil hatinya untuk
mempelajari al-Qur’an pada masa tuanya. Hamka menuliskan percakapan
langsungnya bersama Jassin pada perjalanan pulang dari ruang sidang.
“Perhatian saya kian lama kian mendalam kepada al-Qur’an. Tidak saya
biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya. Saya renungkan
ayat demi ayat!”25 Penjelasan Jassin tersebut dikomentari seperti ini oleh
Hamka dalam kelanjutan sambutannya:
“Maka dapat dipahami jika ia pada mulanya tertarik merenungkan al-
Qur’an, lalu tenggelam ke dalam keindahannya, lalu terjalin cinta kepada
Tuhan karenanya,lalu timbul keinginan hendak turut berbakti kepada
agama dengan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
kesusastraan yang Indah.” Berdasarkan pengakuannya, Jassin tergerak
untuk mempelajari al-Qur’an semenjak wafat istrinya pada tahun 1962.
Selama tujuh hari al-Qur’an
dibacakan di rumahnya. Ia kembali ingat masa kecilnya yang tidak begitu
dekat dengan al-Qur’an. Bahkan ia sempat jengkel dengan muballigh
yang khutbah (dalam bahasanya Jassin menyebut ‘berteriak-teriak’). Ia
hanya sering mendengar neneknya membacakan al-Qur’an. Baginya,
bacaan sang nenek begitu indah didengar. Lantas ia berpikir, mengapa

24 M. Amin dan Yulius P. Silalahi, “Antara Teka-teki Hidup dan Teka-teki Silang” dalam
H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi (Jakarta: Graviti: 1995), 5.

25 Hamka, “Sambutan,” Cetakan Pertama, xiii.


bukan dia sendiri yang membacakan al-Qur’an untuk Istrinya. Semenjak
itulah, ia mulai membaca al- Qur’an. Tidak ada satu hari pun yang ia
lewatkan tanpa membaca al-Qur’an. Semakin hari, muncul rasa ingin
tahu. Ia mulai mempelajari makna dari apa yang ia baca. Awalnya, ia
mempelajari terjemahan al-Qur’an. Jassin tidak puas dengan terjemahan
per ayat. Pada akhirnya, ia mempelajari makna kata demi kata. Sebagai
seorang sastrawan yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap unsur-
unsur sastra, bagi Jassin bahasa al-Qur’an sangat indah. Ia menjelaskan
bahwa bahasa al-Qur’an sangat puitis. Setelah melakukannya selama
sepuluh tahun, ia tergerak untuk menerjemahkan al-Qur’an kepada
bahasa Indonesia. Sebelum Jassin, di Indonesia sudah beredar sejumlah
terjemahan al-Qur’an.26 Peter G. Riddell membagi penerjemahan al-Qur’an
ke bahasa Melayu dan Indonesia. Pada periode pertama (1500-1920) ia
menyoroti terjemahanterjemahan parsial yang telah dilakukan oleh
Hamzah Fansuri,27 Syamsy al-Di>n al-Sumatrani (w. 1630), Nur al-Di>n al-
Ra>niri (w. 1658), dan Abd al-Ra’uf al- Singkili (w. 1693). Selain
terjemahan parsial dalam beberapa tulisannya, nama terakhir juga
menerjemahkan al-Qur’an secara lengkap yang lebih dikenal sebagai
Tarjuma>n al-Mustafi>d, yang juga berisi beberapa ulasan dari kitab tafsir
klasik seperti Jala>layn, al-Kha>zin, dan al-Bayd{a>wi. Periode kedua
menandai bangkitnya minat orang Indonesia untuk kembali
menerjemahkan al-Qur’an.Banyak tokoh yang terlibat dalam
penerjemahan pada periode ini seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad
Hasan, Mahmud Yunus, Hamidy dan Fakhruddin (keduanya menghasilkan
satu karya terjemahan), dan terjemahan resmi Departemen Agama
Republik Indonesia. Periode ketiga (pertengahan 1960 hingga sekarang),
menurut Peter G. Riddell, ditandai dengan banyaknya muncul terjemahan
penggalan-penggalan ayat al-Qur’an dan tafsir dalam bahasa Indonesia

26 Peter G. Riddel, “Menerjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia,”


dalam Henri Chambert-Loir, Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), 397.

27 Tahun wafat Hamzah Fansuri sebenarnya masih diperdebatkan, dan kebanyakan


pakar memperkirakan ia meninggal antara tahun 1590-1609.
yang lebih panjang dan keinginan untuk mengabadikan efek puisi dalam
terjemahan teks al-Qur’an. H.B. Jassin termasuk kepada periode terakhir
ini.28 Kategorisasi Riddell di atas didasarkan kepada bahasa tujuan al-
Qur’an diterjemahkan, yaitu bahasa Melayu dan Indonesia. Jika diterapkan
kategori geografis Indonesia, maka ada sejumlah terjemahan lainnya yang
luput dari perhatian Riddell. Tulisan Moch. Nur Ichwan dalam buku yang
sama mengisi kekosongan tersebut. Ia menyebutkan beberapa karya
terjemahan lainnya yaitu Kitab Kur’an: Tetedakanipun ing Tembang Arab
Kajawekaken (1858) yang ditulis dengan aksara Jawa; Fayd al-Rah}ma>n
fi Tafsi>r al-Qur’a>n (1894) karya Muhammad S|a>lih{ bin ‘Umar al-
Samarani yang ditulis dengan bahasa Jawa menggunakan Arab pegon;
Qur’an Sundawiyah oleh Muhammad Kurdi (1936) dan Al-Amin: al-Qur’an
Tarjamah Sunda oleh K.H. Qamaruddin Saleh, H.A.A Dahlan dan Yus
Rumsasi (1976), keduanya dalam bahasa Sunda; Tarjamah al- Qur’an al-
Kari>m: Tarejumanna Akorang Mahesa Manguluang (1985) dalam bahasa
Bugis.29
Dari keseluruhan karya terjemahan tersebut, karya Jassin memiliki
keunikan tersendiri. Dari segi bahasa yang digunakan, terjemahan Jassin
sama dengan karya H.O.S Tjokroaminoto, Ahmad Hasan, Mahmud Yunus,
dan Departemen Agama, dan berbeda dengan sejumlah terjemahan yang
menggunakan bahasa Jawa, Sunda, dan Bugis. Dari segi tulisan, Jassin
menggunakan tulisan latin, bukan tulisan pegon atau aksara Jawa.
Meskipun begitu, terjemahan Jassin tetap memiliki perbedaan dengan
Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan Mahmud Yunus. Ketiga tokoh tersebut
menggunakan bahasa Indonesia dalam bentuk prosa, sementara Jassin
menggubah terjemahannya dalam bentuk puisi. Akan tetapi, Jassin
bukanlah satu-satunya yang melakukan penerjemahan al-Qur’an ke
bentuk puisi. Ahmad Bestari Asnin, Syaifuddin b. K.H. Isa Anshary, dan
Muhammad Diponegoro juga melakukan hal serupa. Ahmad Bestari Asnin

28 Peter G. Riddell, “Menerjemahkan al-Qur’an,” 400-405.

29 Moch. Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik: Terjemahan Resmi al-Qur’an di
Indonesia,” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan
Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), 417-418.
tidak bisa menyelesaikan terjemahannya karena ia telah meninggal
terlebih dahulu. Sementara kedua tokoh berikutnya menerbitkan
terjemahan puitis al-Qur’an terhadap ayat-ayat pilihan, bukan seluruh al-
Qur’an sebagaimana Jassin.30
Sebagai gambaran yang lebih rinci,Al-Qur’an al-Karim Bacaan Mulia
karya H.B. Jassin bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut:
1. Menggunakan pola tartib mus}h}afi>.
2. Pada halaman pertama, surat al-Fa>tih{ah, Jassin memberi hiasan
kaligrafi surat al-‘Alaq ayat 1-12 dalam pola pintu yang sisi atasnya
berbentuk bundar. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai hal ini.
Dekorasi semacam ini ditemukan pada setiap awal juz.

3. Page orientation yang digunakan disusun dari kiri ke kanan, bukan


kanan ke kiri sebagaimana lazimnya layout teks Arab. Dalam hal ini, Jassin
mengikuti pola penerjemahan yang telah beredar sebelumnya, seperti
terjemahan Mahmud Yunus dan terjemahan Departemen Agama yang
juga menggunakan tata letak dari kiri ke kanan.
4. Penerjemahan H.B Jassin menyertakan teks Arabnya. Kedua teks ini
disusun berdampingan, teks Arab ditempatkan di sebelah kanan, dan

30 Peter G. Riddell, “Menerjemahkan al-Qur’an,” 405.


terjemahannya di sebelah kiri. Model seperti ini juga digunakan oleh
terjemah Departemen Agama sebelumnya. Hanya saja, satu keunikan
versi Jassin adalah teks Arab maupun terjemahannya disusun simetris
dengan pola rata tengah (centered-alignment). Pola penulisan ini
mengikuti kepada pola penulisan populer pada puisi.

5. Di tiap awal surat, ia menuliskan nama surat, status


makki/madani, dan jumlah ayat. Ia menuliskannya dalam kedua bahasa,
Arab di sebelah kanan dan terjemahan Indonesia di sebelah kiri.
6. Menggunakan tanda kurung untuk beberapa kondisi:
a. Pada kata tertentu yang memiliki tunjukan makna khas. Kata al-kita>b
digunakan dalam banyak tempat dan konteks makna dalam al-Qur’an,
sebagaimana yang diperlihatkan oleh Mufrada>t fi Ghari>b al-Qur’a>n.
Pada kata al-Kita>b yang merujuk kepada al-Qur’an, Jassin
menambahkannya dalam tanda kurung seperti pada al-Baqarah ayat
2. Jassin menerjemahkan ayat tersebut dengan: “Inilah Kitab (al
Qur’an)....”31 Ini merupakan tanggapan Jassin terhadap kritik Nazwar
Syamsu yang menyoroti cara Jassin menerjemahkan sejumlah kata,
termasuk kata al-Kita>b.32

31 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia cet. III (T.tp: Djambatan, 1991), 2.
b. Makna tunjukan dari kata ganti tertentu, seperti dhami>r atau
maus}u>l. Sebagai contoh ayat alladhi> ja’ala lakum al-‘ard}. Pada ayat
tersebut, Jassin menyebutkan kata tunjukan dari maus}u>l alladhi>,
sehingga ia menerjemahkannya: “(Tuhan) yang menjadikan bumi....”33
c. Pada ayat yang mengimplisitkan kata tertentu. Kondisi ini merupakan
pemakaian tanda kurung paling banyak yang digunakan oleh Jassin.
Sebagai contoh, ketika ia menerjemahkan h}atta> idha> balaghu> al-
nika>h}, ia menambahkan kata ‘usia’ di dalam kurung sebagai makna
implisit dari frase ayat tersebut.34
7. Menggunakan footnote di beberapa tempat. Ada beberapa kriteria yang
digunakan Jassin dalam fitur catatan kaki ini:
a. Pada ayat yang menggunakan tams}i>l, seperti kata marad} pada al-
Baqarah: 10. Jassin menerjemahkan kata tersebut secara literal, penyakit,
akan tetapi menempatkan catatan kaki untuk menjelaskan makna dari
tams\i>l tersebut, yaitu dengki, iri hati, dendam, sombong, takabbur , dan
segala macam kekotoran hati.35
b. Pada kata-kata yang tidak memiliki padanan yang tepat dalam bahasa
Indonesia, seperti kata al-sufaha>’. Jassin menerjemahkannya dengan
safih dengan memberikan penjelasan lebih lanjut pada catatan kaki.36
c. Pada kata yang memiliki penafsiran tertentu, seperti kata al-s}abr pada
al-Baqarah: 45. Jassin tetap menerjemahkan kata tersebut dengan
‘kesabaran.’ Hanya saja, ia memberikan catatan kaki, bahwa yang
dimaksud dengan kesabaran di sana adalah puasa.37

32 Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB Jassin (Padang Panjang:


Pustaka Saadiyah 1916, 1978), 10.

33 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, 4.

34 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, 102.

35 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, 3.

36 Ia menjelaskan bahwa safih adalah orang yang angkuh, bodoh, kurang ajar, tak
masuk nasihat, suka melawan dan tidak ada rasa malu.
Al-Qur’an Berwajah Puisi Jika Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia muncul
sebagai akibat dari munculnya religiusitas H.B. Jassin semenjak
meninggalnya istrinya, Al-Qur’an Berwajah Puisi merupakan kelanjutan
dari karya pertama tersebut. Jassin mengakui kekurangannya dalam
kompetensi menerjemahkan al-Qur’an. Ia kemudian memilih untuk
bersikap terbuka terhadap kritik dan saran seputar karya tersebut, yang
akan ia perbaiki pada cetakan berikut. Semenjak saat itu, hari demi hari
tidak ada yang ia lewatkan tanpa menulis al-Qur’an. Dalam
sebuah wawancara, Jassin menyatakan bahwa ia menulis al-Qur’an setiap
saat. Selain memperbaiki kesalahan-kesalahan pada penerjemahan dan
menambah unsur puitiknya, Jassin juga mulai menyusun tulisan Arabnya
supaya sejajar dengan terjemahannya. Hal ini ia lakukan terus menerus,
hingga ia menemukan ide, mengapa al-Qur’an tidak ditulis dalam bentuk
puisi saja?.38
Selanjutnya, ia mengaku telah melakukan penelitian terhadap
bentuk cetakan-cetakan al-Qur’an di sejumlah negara. Ia mendatangi
sejumlah toko buku dan melihat cetakan al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an
memiliki bahasa puitik yang indah, akan tetapi mengapa al-Qur’an selalu
ditulis dalam bentuk prosa?
Penulisan al-Qur’an dengan format yang direncanakan oleh Jassin
ternyata ditolak oleh MUI dan Kementrian Agama melalui Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur’an pada akhir tahun 1992. Penolakan tersebut
dituangkan oleh MUI melalui surat No. U 1061/MUI/XII/1992 yang
ditandatangani oleh K.H. Hasan Basri dan Sekretaris Umum Prodjokusumo.
Sementara penolakan Kementrian Agama dinyatakan dalam surat no P
III/TL.02/1/242/1179/1992 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Litbang
Agama Puslitbang Lektur Agama Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an
Depag, H.A. Hafizh Dasuki. Surat tersebut dikirim kepada Jassin pada awal
tahun 1993.39 Contoh halaman Al-Qur’an Berwajah Puisi. Contoh ini bukan
dari Al-Qur’an Berwajah Puisi secara langsung. Penulis tidak mendapatkan

37 H.B. Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia, 8.

38 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 16.


akses kepada buku langsungnya karena bukunya tidak jadi diterbitkan. Ini
merupakan contoh dalam buku Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi.40

Kontroversi Karya H.B. Jassin


Menurut Peter G. Riddel, kontroversi seputar penerjemahan al-
Qur’an disebabkan beberapa faktor. Faktor pertama berkaitan dengan
keyakinan Muslim mengenai i’ja>z al-Qur’a>n, bahwa al-Qur’an tidak bisa
ditiru. Doktrin i’ja>z ini menjadi kendala yang tidak memperkenankan
manusia mengintervensi penuturan wahyu Tuhan. Kedua, dugaan adanya
penodaan (tah}ri>f) terhadap kitab-kitab terdahulu disebabkan beberapa
hal, di antaranya beredarnya terjemahan-terjemahan yang beragam. Hal
ini menjadikan Muslim lebih memilih teks wahyu dalam bentuk aslinya
daripada hasil terjemahan. Ketiga, beberapa pandangan teologis
menjelaskan bahwa penerjemahan al-Qur’an akan berpotensi pada

39 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 17.

40 Lihat H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 280


penodaan terhadap al-Qur’an itu sendiri. 41 Untuk konteks Indonesia,
Sayyid ‘Usma>n (1822-1913), ulama Betawi keturunan Hadhramawt,
menulis H{ukm al-Rah}ma>n bi al-Nahy ‘an Tarjamah al-Qur’a>n pada
tahun 1909. Menurutnya, berdasarkan ijma’ menerjemahkan al-Qur’an
hukumnya haram baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
Menerjemahkan al-Qur’an merupakan distorsi (tah{ri>f), pengubahan
(tabdi<l), bahkan penghinaan (iha>nah) terhadap al-Qur’an. Selain itu,
Rasyid Ridha juga menolak proyek penerjemahan Tjokroaminoto yang ia
ambil dari terjemahan al-Qur’an bahasa Inggris, The Holy Qur’an oleh
Muhammad Ali. Bagi Ridha, terjemahan Ali tersebut sudah menyimpang
dari ajaran Islam. Bukan hanya dari Rasyid Ridha, penerjemahan
Tjokroaminoto juga dikecam oleh Muhammadiah dan organisasi Islam
lainnya. Hanya saja, kemunculan karya terjemahan yang terus sambung-
menyambung di Indonesia mempelihatkan bahwa fatwa-fatwa tersebut
tidak begitu populer di Indonesia.42
Kendatipun demikian, proyek H.B. Jassin tidak luput dari kontroversi.
Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia menuai kontroversi karena ini adalah
inisiasi pertama untuk konteks Indonesia. Dalam sebuah prakata buku
penerbit Mutiara,disebutkan bahwa Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia tidak
menjunjung kesucian al-Qur’an, bahkan isinya jauh menyimpang dari
maksud ayat-ayat kitab suci itu. Oemar Bakry menuduh Jassin melakukan
penerjemahan dari terjemahan al- Qur’an, bukan dari al-Qur’an sendiri.
Selain itu, Bakry menyoroti kompetensi keilmuan Jassin dalam bidang al-
Qur’an.43 Selain itu, Nazwar Syamsu juga mengkritisi penerjemahan Jassin.
Ia menulis sebuah buku yang berisikan koreksian terhadap terjemahan Al-
Qur’anul Karim Bacaan Mulia .44
Al-Qur’an Berwajah Puisi tidak kalah kontroversi. H.B. Jassin sendiri
mengumpulkan setiap artikel-artikel baik di Jurnal, koran, atau majalah

41 Peter G. Riddell, “Menerjemahkan al-Qur’an,” 397.

42 Moch. Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci dan Politik,” 418.

43 Peter G. Riddell, “Menerjemahkan al-Qur’an,” 406


yang menyoroti Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi menjadi satu buku.
Di dalam buku tersebut, kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi terpusat
pada beberapa aspek: otentisitas al-Qur’an terkait al-Qur’an sebagai
wahyu dan al-Qur’an sebagai puisi, problem potensi penyelewengan
penafsiran, gejolak umat, dan seputar rasm uthma>ni. Satu hal yang
menarik adalah bahwa Jassin mengaku telah berkonsultasi kepada
sedikitnya 200 ulama dan cendikiawan mengenai inisiasinya. Ia juga
berkonsultasi kepada Munawar Sjazali dan M. Quraish Shihab. Pada
awalnya keduanya mendukung Jassin, akan tetapi keduanya berbicara
atas nama Mentri Agama dan MUI, keduanya menolak Al-Qur’an Berwajah
Puisi. Tokoh yang tetap mendukung secara penuh di antaranya adalah
Menristek B.J. Habiebie dan K.H. Abdurrahman Wahid. 45 Epistemologi
Intuitif dalam Resepsi Estetis terhadap Al-Qur’an Bagian ini akan
berangkat dari persepsi bahwa terjemah pada hakikatnya sama dengan
penafsiran.46 Konsekuensinya, langkah-langkah yang dikenal dalam tafsir

44 Nazwar Syamsu mencurigai ada maksud-maksud terselubung yang dilakukan oleh


H.B. Jassin dalam kekeliruan yang ditemukan dalam terjemahannya. Meskipun dengan
halus ia menolak mencurigai Jassin yang mengawali penerjemahan Alquran di Belanda
—yang mayoritas penduduknya bukan muslim, dan ketidaksempatan Jassin
mengunjungi Mekkah dalam perjalanannya ke beberapa negara di Eropa—
sebagaimana yang ia tulis pada pengantar bukunya, pada halaman-halaman berikut ia
terlihat tergoda dan tidak bisa menahan diri terhadap kecurigaannya yang berbau
konspirasi antarkeyakinan. Satu hal yang menggelikan, terlihat Nazwab Syamsu
memiliki penafsiran tersendiri terhadap ayat-ayat tertentu dalam Alquran.
Penafsirannya tersebut berbeda dengan penafsiran pada umumnya, tentu saja itu
adalah hak intelektualitas Syamsu. Hanya saja, perbedaan pendapat tersebut ia
sandarkan sebagai kesalahan terjemahan HB. Jassin. Ia menilai bahwa al-Baqarah: 34
bukanlah perintah Allah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, melainkan sujud
kepada Allah demi menghormati Adam. Bagi Syamsu, tiada yang pantas menerima
sujud makhluk ini selain Allah semata. Maka, ketika Jassin menulis ‘sujudlah kepada
Adam’ ia mengklaim itu sebagai kesalahan, karena terjemahan yang benar adalah
‘sujudlah bagi Adam.’ Begitu juga dengan al-Baqarah: 35. Kata wala taqraba> hadhihi
al-shaja>rah yang diterjemahkan oleh Jassin dengan ‘tapi janganlah dekati pohon ini’
merupakan suatu kesalahan. Bagi Syamsu, shaja>rah tidak berarti pohon, melainkan
pertumbuhan. Maksudnya, Allah melarang Adam untuk melakukan pertumbuhan di
dalam surga, melakukan hubungan seksual yang bermuara kepada bertumbuhnya
manusia. Hal ini, menurut Syamsu, karena Adamditentukan untuk berketurunan di
bumi, bukan di surga. 35-36.

45 H.B. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, 20-25

46 Muhammad Husain al-Dhahabi> al-Tafsir wa al-Mufassirūn juz 1 (t.t: Maktabah Mus’ab


ibn Umair al-Islamiyyah, 2004), 22.
secara metodis adalah langkah-langkah yang juga harus diperhatikan
dalam terjemah.47
Selain itu, bagian ini juga akan menggolongkan Al-Qur’an Berwajah
Puisi sebagai terjemahan dalam bentuk yang berbeda. Jika pada Al-
Qur’anul Karim Bacaan Mulia Jassin menerjemahkan al-Qur’an dalam
bentuk sastra, pada Al-Qur’an Berwajah Puisi Jassin menekankan unsur
sastra dalam layout penulisan al-Qur’an. Keduanya adalah resepsi estetika
Jassin yang berkaitan dengan manifestasi sastrawi al-Qur’an dan
perenungan maknanya. Pertanyaannya perangkat apakah yang digunakan
oleh Jassin? Telah disebutkan sebelumnya, HB. Jassin tidak memiliki
kompetensi yang cukup dalam bahasa Arab yang merupakan gerbang
untuk memasuki pemahaman al- Qur’an. Namun begitu, Jassin mengakui
bahwa ia secara langsung menerjemahkan al-Qur’an, bukan mengolah
ulang terjemahan al-Qur’an yang telah ada. Akan tetapi, ia mengaku
bahwa ia mempelajari sejumlah terjemahan al-Qur’an seperti karya
Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran
karya John Medows Rodwell, The Koran Arthur J. Arberry The Koran
Interpreted Yusuf Ali, The Holy Koran, hingga terjemahan Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Dia juga membuka kamus, A
Dictionary and Glossary of the Koran, susunan John Penrice, yang memuat
semua kata dalam al-Qur’an.48 Jassin menolak tuduhan bahwa ia tidak
secara langsung menerjemahkan al-Qur’an. Penolakan ini juga bisa

47 Secara metodologis, tafsir memiliki perangkat-perangkat tertentu. Dalam tradisi


‘Ulu>m al-Qur’a>n dikenal beberapa perangkat seperti asba>b al-nuzu>l, i’ja>z al-
Qur’a>n, muh}kam wa mutasha>bih dan diskursus qawa>’id al-tafsi>r yang membahas
kaidahkaidah yang harus diperhatikan oleh seorang penafsir ketika menafsirkan ayat
Alquran. Di sana terdapat sejumlah rambu seperti h}adhf, d|}ami>r, al-amr wa al-nahy,
istifha>m, dan sebagainya. Pada saat ini, perangkat-perangkat bantu penafsiran
diperkaya dengan sejumlah prinsip atau metode dari hermeneutika yang diolah dari
beberapa tokoh. Dikenal lah beberapa istilah seperti ma> fi> al-Qur’a>n dan ma>
h}awla al-Qur’a>n Amin Khulli, double movement Fazlurrahman, atau dari tokoh
hermeneutika langsung seperti empat prinsip hermeneutika Gadamer, hermeneutika
linguistik dan psikologis Schleiermacher, dan sebagainya. Semua perangkat yang
digunakan dalam tafsir tersebut adalah perangkat yang juga digunakan dalam
penerjemahan Alquran.

48 Leila S. Chudori, “H.B. Jassin: Juru Peta Sastra Indonesia.”


dipahami dari perbedaan istilah terjemahan puitis Al-Qur’an dan puitisasi
terjemahan al-Qur’an yang disampaikan oleh
Muhammad Diponegoro. Ia menyebut Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia
sebagai terjemahan puitis al-Qur’an, yaitu menerjemahkan al-Qur’an
dengan bahasa puitis, sementara puitisasi terjemahan al-Qur’an adalah
menggubah puisi berdasarkan terjemahan al-Qur’an, sebagaimana yang
ia lakukan sendiri.Meskipun begitu, kita bisa melihat dua proses yang
berbeda, ketika Jassin mempelajari makna ayat dan kata demi kata al-
Qur’an dan ketika ia menerjemahkannya secara puitis. Jassin telah
melakukan yang pertama semenjak tahun 1962 sementara ia baru
menerjemahkan al-Qur’an sepuluh tahun kemudian.49
Artinya, kita harus menerima pengakuan Jassin sendiri bahwa ia
tidak semata-mata melandaskan terjemahan puitisnya terhadap
terjemahan al-Qur’an. Akan tetapi, problematika kompetensi bahasa Arab
dan rujukan penerjemahan ini adalah semua informasi yang ada
mengenai alat apa yang digunakan Jassin dalam penerjemahannya. Tidak
ada keterangan bahwa ia menggunakan analisis-analisis menggunakan
item-item qawa>’id al-tafsi>r atau hermeneutis lainnya. Dengan
kompetensi yang ia miliki, berat kemungkinan bahwa ia tidak
menggunakan semua itu. Maka, kesimpulannya H.B. Jassin tidak
menggunakan metode apapun dalam mengolah karyanya. Metode dalam
konteks ini adalah dalam artian praktis-aplikatif. Dari sudut pandang
filosofis, problem pengetahuan seorang manusia tetaplah menjadi
persoalan; bagaimana cara suatu pengetahuan muncul dalam diri
manusia?. Faktanya, kedua karya tersebut adalah buah dari pengetahuan
Jassin. Maka, bagaimanakah pengetahuan H.B. Jassin muncul pada dirinya
sehingga ia mampu menyelesaikan Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan
Al-Qur’an Berwajah Puisi?
H.B. Jassin tidak menggunakan item-item bantu atau langkah
procedural dalam karyanya. Yang ia lakukan hanyalah perenungan,
sebagaimana lazimnya seorang sastrawan dalam menggubah sebuah

49 Yudi P. “Penggagas Al-Qur’an Berwajah Puisi H.B. Jassin,” dalam H.B. Jassin,Kontroversi
Al-Qur’an Berwajah Puisi, 100.
puisi. Bagi Jassin, prosa adalah tulisan menggunakan pengetahuan,
sementara puisi adalah tulisan menggunakan perasaan.50
Maka, usaha Jassin mengungkap unsur puitik al-Qur’an, baik dari
segi terjemahan atau penulisannya, harus dipahami dalam konteks ini; ia
lebih menekankan sensitifitas perasaannya sebagai sastrawan dalam
menyelesaikan kedua karyanya. Setiap hari ia mempelajari makna ayat al-
Qur’an kata demi kata. Setelah sekian lama membaca dan merenungi
makna al-Qur’an, sebagai manusia berlatarbelakang sastra, tiba-tiba
terbetik ide untuk menerjemahkan al-Qur’an secara puitis. Ketika
terjemahan ini diselesaikan, ia terbuka untuk segala kritik. Keterbukaan ini
semakin melarutkannya dalam dunia perenungan makna al-Qur’an untuk
memperbaiki terjemahannya. Setiap hari ia lalui dengan menuliskan al-
Qur’an dan terjemahannya, sehingga terbetik ide kedua untuk menyusun
al-Qur’an dalam layout simetris ala puisi. Penulisan al-Qur’an dengan
layout baru ini juga ia lalui dengan perenungan. Bagian kosong dalam
penulisan simetris ini merupakan space yang dimiliki Al-Qur’an Berwajah
Puisi untuk memperdalam renungan dan rasa bagi siapa saja yang
membacanya. Exercise adalah apa yang dilakukan oleh Jassin. Ia
melakukan perenungan panjang yang semakin hari semakin
mengembangkan potensinya. Inilah jawaban dari cara kemunculan
pengetahuan Jassin yang kemudian melahirkan kedua karyanya.
Perenungan panjang yang ia lakukan memperlebar potensi akal yang ia
miliki, dan ini menjadikan pengetahuan datang secara intuitif kepadanya.
Pengetahuan intuitif disebut dengan sejumlah istilah dalam epistemology
pengetahuan. Menurut Mehdi Ha’iri Yazdi pengetahuan dengan cara ini
disebut hud}u>ri>, dan al-Jabiri menyebutnya dengan ‘irfa>ni. Bagi Jabiri,
pengetahuan ‘irfani adalah pengetahuan tentang hakikat Tuhan dan
perkara-perkara agama lainnya yang didapati dengan kekuatan ira>dah.
Al-Jabiri cenderung menilai ‘irfa>ni dalam tradisi sufi dalam Islam bersifat
matter-oriented; lebih memperhatikan bentuk pengetahuan yang diterima
secara kashf tanpa mempermasalahkan korelasinya dengan metode

50 H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991),
mendapatkannya.51 Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan intuitif ini
bersifat personal dan tidak bisa diverifikasi, sehingga satu-satunya yang
bisa didiskusikan adalah hasilnya. Sementara bagi Yazdi, pengetahuan
hud}u>ri> adalah kesadaran yang biasa terjadi pada manusia. Baginya,
hud}u>ri> adalah kesadaran non-fenomenal yang identik dengan wujud
fitrah manusia sendiri. Dengan menjelaskan pandangan Ibnu Sina,
pengetahuan hud}u>ri> berasal dari potensialitas total manusia, yang
dapat dicerap tanpa pengenalan.52
Ibnu Sina mengaitkan intuisi dengan potensi manusia. Dalam
konteks ini, pada prinsipnya penjelasan mengenai intuisi bisa
dikembangkan, bukan sekedar mendikusikan hasil dari pengetahuan
intuitif. Kita bisa mendiskusikan condition of possibility, mengapa intuisi
menjadi mungkin pada diri seseorang. Hal ini sangat relevan mengikuti
pandangan Yazdi bahwa intuisi adalah fakta biasa yang berkaitan dengan
fitrah manusia. Jika intuisi identik dengan potensi manusia, maka pada
titik ini lah manusia bisa melatih intuisinya. Dengan pola ini, intuisi bisa
dijelaskan dengan lebih rasional daripada pemahaman yang berkembang
di dunia sufi. Tugas manusia adalah mengembangkan potensinya. Ini bisa
ia lakukan dengan perenungan terus menerus atau dengan proses yang
lebih kongkrit seperti berdialog atau membaca. Dengan potensi yang baik,
intuisi akan muncul dengan sendirinya seperti munculnya sebuah ide
dalam pikiran manusia. Pada titik ini, intuisi, hud}u>ri, atau ‘irfa>ni bisa
dipetakan kepada dua hal:
proses dan hasil. Proses berkaitan dengan usaha manusia
melakukan exercise untuk mengembangkan potensinya. Dalam konsep
intuisi yang lebih rasional ini perbedaannya dengan intuisi dalam tradisi
sufi adalah korelasi antara exercise dengan bentuk kashf yang diterima.
Dalam konteks ini, Jassin adalah seorang yang dengan terus menerus

51 M. Abed al-Ja>biri>, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab: Dira>sa>t Tah}li>li>ya>t Naqdiyyah


liNaz }m al-Ma’ifat fi> al-Thaqa>fah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi> al-‘Arabi>. 1993),
253.

52 Mehdi Ha’iri Yazdi, Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam: Menghadirkan


Cahaya Tuhan (Bandung, Mizan, t.t), 51-53 dan 122.
melakukan exercise untuk mengembangkan potensinya. Ia secara terus
menerus membaca, mempelajari arti kata per kata,dan meresapi makna
al-Qur’an secara serius selama 30 tahun, terhitung tahun 1962 setelah
meninggalnya istrinya sampai tahun 1992 ketika ia menyelesaikan Al-
Qur’an Berwajah Puisi. Dalam konteks ini, maka pilihan-pilihan diksi yang
digunakan Jassin dalam Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia atau pemotongan
ayat yang ia lakukan pada Al-Qur’an Berwajah Puisi adalah hasil dari
intuisinya. Kedua karya Jassin adalah hasil dari intuisinya. Dari sudut
pandang hasil, karya Jassin tidak memenuhi kualifikasi suatu pengetahuan
disebut intuitif. Al- Jabiri menyampaikan bahwa pengetahuan ‘irfa>ni>
menghasilkan kesimpulan yang tertutup atau yang biasa dibahasakan
dengan haqq al-yaqi>n.40 Pada sisi lain,Jassin cenderung bersifat
diskrusif dan terbuka. Ia menerima kritikan terhadap terjemahannya dan
mengubahnya dari setiap cetakan ke cetakan berikutnya.Dari kedua sudut
pandang, proses dan hasil, Jassin menyusun karyanya dengan
pengetahuan intuitif unik, yaitu intuitif yang terbuka.
Kesimpulan
Penjabaran sederhana di atas bermuara kepada beberapa
kesimpulan. Pertama, Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia dan Al-Qur’an
berwajah puisi adalah wujud kan religiusitas Jassin di masa tuanya.
Kedua,penerjemahan puitik ala Jassin adalah sesuatu hal yang baru dan
unik, begitu juga dengan Al-Quran Berwajah Puisi. Ketiga, Jassin
menggunakan model pengetahuan intuitif untuk menyelesakan kedua
karyanya, akan tetapi model pengetahuan intuitif yang ia hasilkan unik
karena bersifat terbuka.
Latar Belakang Masalah
Setiap muslim sudah tentu mempunyai keinginan untuk dapat
membaca dan memahami Al-Qur'an dalam gaya bahasa yang asli, yaitu
Bahasa Arab. Tetapi karena tiap orang tidak mempunyai kemampuan atau
kesempatan yang sama, maka tidaklah keinginan tersebut di atas dapat
dicapai oleh setiap muslim. Untuk itulah maka Al-Qur'an diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa di dunia.53
Terjemahan Al-Qur'an ke dalam berbagai bahasa dunia di antaranya
telah dilakukan dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Tamil, Pastaho, Jepang,
Perancis, Spanyol, dan berbagai bahasa di kepulauan timur dan beberapa
Bahasa Afrika. Juga terdapat terjemahan dalam bahasa China. Terjemahan
dalam Bahasa Urdu yang pertama dimulai oleh Syah Abdul Qodir dari
Delhi (wafat tahun 1826). Kemudian setelah itu banyaklah dilakukan
orang terjemahan ke dalam Bahasa Urdu, yang sebagian dari hasil
terjemahannya tidak sampai selesai. Di antara terjemahan yang lengkap
dan masih dipergunakan sampai saat ini ialah terjemahan dari Syah
Rafiuddin, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Maulvi Nazir Ahmad, mereka
semua dari Delhi. Beberapa tahun terakhir Al-Qur'an telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa atas bantuan Rabithah Al Alam Al Islami dan
Dar Al Ifta Wa Al Irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’
Khadim Al Haramain Al Syarifain Al Malik Fahd untuk pencetakkan mushaf
telah mencetak terjemahan Al-Qur'an dalam berbagai bahasa seperti
Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia.54
Berbagai hasil penerjemahan Al-Qur'an di dunia ini ternyata bayak
membawa nilai positif, baik bagi penerjemah itu sendiri maupun bagi
pembacanya, di antaranya adalah seorang penerjemah Al-Qur'an dalam
Bahasa Inggris Marmaduke Pickthall, ia telah menerjemahkan Al-Qur'an
dalam gaya bahasa sastra. Karena latar belakang tersebut ia akhirnya
memeluk Islam karena menganggap Islam agama yang mudah dipahami
oleh setiap orang dan sebagai agama yang rasional.55
Keperluan kita akan berbagai ilmu agama yang bersumber dari Al-
Qur'an rnemang sangat besar dan tidak ada batasnya, akan tetapi untuk

53 Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : PT. Karya


Toha Putra, 1990), h.30

54 Ibid., h.35

55 H.B. Jassin, Al-Qur'anul Karim-Bacaan Mulia, (Jakarta: PT. Jambatan, 1991),


cet. Ke-3, h. XVI
memahaminya ternyata memang bukan hal yang mudah, terutama bagi
para pembaca yang tidak memahami gaya bahasa Al-Qur'an. Oleh sebab
itu saat ini di tengah berbagai berita dan opini, serta makin pesatnya ilmu
pengetahuan di Indonesia, hasil karya terjemahan Al-Qur'an ke dalam
Bahasa Indonesia sangat member kontribusi dalam proses pemahaman isi
Al-Qur'an. Semua terjemahan itu pada umumnya ditulis dalam bahasa
prosa, hal mana tiada mengherankan karena yang dipentingkan oleh para
penerjemah yang pada umumnya guru-guru agama, ialah isi kandungan
kitab suci itu. Juga disebabkan karena Al Qur'an itu sendiri secara visuil
disusun sebagai prosa, meskipun sebenarnya bahasanya sangat puitis
dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra.
Maka tidaklah mengherankan pula apabila belakangan ini ada usaha-
usaha dari para penyair untuk mempuitisasikan terjemahan ayatayatnya,
seperti yang mula-rnula dilakukan oleh beberapa penyair Islam golongan
pujangga baru di antaranya Rifa'i Ali dan kemudian setelah perang dunia
kedua oleh Diponegoro, Syu'bah Asa, Ali Audah, Taufik Ismail, Ajip Rosyidi,
dan lain-lain.56
Terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia yang beredar saat ini
sudah cukup banyak. Di antaranya yang terpopuler adalah Tafsir Qur'an
Karim Mahmoed Joenoes yang terbit pertama kali tahun 1938, Al Furqan A.
Hasan, terbit tahun 1953, Tafsir Annur karya TM. Hashi Ash Siddieqy yang
jilid pertamanya terbit pada tahun 1956 dan jilid X dan terakhir tahnn
1973,Tafsir Qur'an H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS tahun 1960,
dan yang terkemudian Al-Qur'an dan terjemahnya yang pertama kali
terbit tahun 1970, dengan sponsor Departemen Agama Republik
Indonesia.57
Dari sekian banyak tokoh penerjemah Al-Qur'an yang berusaha
menerjemahkan dengan gaya bahasa syair dan prosa, melalui skripsi ini
saya akan menyajikan seorang tokoh penyair yang semasa hidupnya
56 H.B. Jassin, Pengantar Al Qur’anul Karim-Bacaan Mulia, (Jakarta: PT. Jambatan,
1978), cet. Ke-1, h.12

57 H.B. Jassin, Pengantar Al Qur’anul Karim-Bacaan Mulia, (Jakarta: PT. Jambatan,


1978), cet. Ke-1, h.12
banyak menghasilkan karya sastra dan berhasil menerjemahkan Al-Qur'an
dengan gaya bahasa puisi, ia adalah Hans Bague Jassin.
Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia sastra tentunya ia
mempunyai banyak pengalaman dalam menulis karya yang identik
dengan dirinya, salah satu karya yang cukup populer di kalangan
masyarakat pecinta Al-Qur'an adalah terjemahan Al-Qur'anul Karim-
Bacaan Mulia yang hasil terjemahannya bergaya puitis. Karena alasan
tersebut maka penulis merasa termotivasi untuk menuangkannya dalam
bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-
QUR'ANUL KARIM BACAAN MULIA KARYA H.B. JASSIN”.
Pendapat H.B. Jassin tentang penerjemahan Al-Qur'an adalah
bahwasanya untuk memperoleh terjemahan puitis yang efektif diperlukan
perbendaharaan kata yang luas untuk memungkinkan mencari kata-kata
sinonim yang lebih merdu bunyinya atau jumlah suku katanya
memungkinkan irama yang lebih harmonis dalam hubungan kandungan
makna. Kata-kata sinonim diperlukan supaya ada variasi dalam
pengungkapan sesuai dengan keindahan bunyi dan keserasian irama.
Begitu pula kata-kata yang dimiliki oleh terjemahan yang puitis
sebenarnya bersifat netral. Oleh karenanya menurut ia kata-kata yang
dikatakan puitis adalah kata-kata yang menurut bunyinya enak didengar.

Contoh :
Artinya : l. Menurut terjemahan Departemen Agama
"mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat"
2. Menurut terjemahan H.B.Jassin
“mengapa kamu katakan

apa yang tiada kamu lakukan?


Artinya : 1. Menurut terjemahan Departement Agama
“mereka yang memelihara sholat”
2. Menurut terjemahan H.B.Jassin
“mereka yang setia menjalankan sembahyang”
Selain itu penulis ingin mengetahui bagaimana langkah-langkah
H.B. Jassin dalam menerjemahkan kitab suci tersebut, karena
sebagaimana tercantum dalam berbagai buku yang
berkaitan dengan hasil terjemahannya ia bukanlah seorang tokoh agama
dan ia menyelesaikan

Latar Belakang Penerjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia


(halaman 24)

Latar belakang pembahasan penerjemahan Al-Qur'anul Karim


Bacaan Mulia dimulai dengan pengalaman pribadi yang dialami oleh H.B.
Jassin sendiri. Pada mulanya bagaimana timbul pertanyaan pada dirinya,
bagaimana ia jatuh cinta kepada Al-Qur'an.
Pada tanggal 12 Maret 1962 istrinya yang tercinta meninggal dunia,
kejadian tersebut sangat menggugah kesadarannya akan arti hidup
manusia yang singkat di dunia ini. Berbuat baiklah terhadap sesama
manusia, bersabarlah, beramallah, balaslah kejahatan dengan kebaikan,
niscaya kejahatan berubah menjadi kebaikan. Tujuh hari lamanya setiap
malam diadakan pembacaan Al-Qur’an di rumah keluarganya, sejak
malam pertama jenazah istrinya diangkut dari rumah sakit dan
dibaringkan dalam rumah, ia mengikuti semua kegiatan itu sampai selesai
30 juz dalam waktu tujuh hari. Pada malam kedelapan sepilah rumah,
tidak ada lagi yang datang membaca Al-Qur’an, maka timbullah fikiran
pada dirinya, mengapa saya, ungkap Jassin dalam hati, tidak meneruskan
sendiri pengajian itu? lalu ia coba mengaji dengan suara perlahan, makin
lama makin keras dengan suara beralun terbawa oleh rasa haru yang
terkandung di dalam hati.58
Pagi-pagi ia membaca Firman-firman Allah SWT, menangkap
getaran-getaran udara yang diproduksi oleh tenggorokan, diolah menjadi

58 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.219
pengertian-pengertian oleh akal dan fikiran dan merasuk ke dalam hati
yang peka menerima. Alangkah nikmat isi kandungan Firman-firman Allah,
alangkah dalam, luas, jauh, tinggi, luhur, dan murni. Ia memulai pekerjaan
dengan Bismillah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah, kedua kalimat
tayyibah tersebut bukan sekedar ucapan rutin, tetapi merupakan sebuah
rutinitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran tiap gerak langkah
hidup hanyalah terjadi karena Allah dan H.B. Jassin bersukur bahwa ia
telah selamat melakukan sesuatu pekerjaan karena karunia-Nya,59
Sepuluh tahun lebih ia menyelami ayat demi ayat, tidak satu pun
hari yang lewat tanpa menghirup firman Allah SWT yang maha suci,
sekalipun hanya satu ayat dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula,
bahkan pernah dituduh murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan
atas tuduhan menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-
nabi, Pancasila dan UUD 1945. Tapi semua itu diterimanya sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam ke dalam inti hakikat (kebenaran)
dan hal yang demikian ia anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha
Esa. Berbagai fitnahan dan tuduhan demikian ia jadikan sebagai pelajaran
dan ia tidak berkeinginan untuk menjawabnya. Selanjutnya H.B. Jassin
dengan lapang dada dan berjiwa besar memanfaatkan waktu yang ia
miliki untuk menukik lebih dalam ke dalam samudra Al-Qur'an. Ayat demi
ayat dibacanya secara cermat dan teliti dengan penuh penghayatan dari
sinilah mulai muncul pemikiran untuk menerjemahkan Bacaan Mulia ke
dalam Bahasa Indonesia yang puitis.60
Mulai menerjemahkan Al-Qur'an
Sampai tibalah suatu hari hati H.B Jassin terbuka untuk memulai
menerjemahkan Al-Qur'an, pada tanggal 7 Oktober 1972, di negeri yang
dingin jauh dari katulistiwa, yakni di negeri Belanda. Satu tahun lamanya
di negeri kincir angin tersebut Jassin menerjemahkan sebagian dari isi
kandungan Al-Qur'an dan sekembali di Indonesia lebih dari satu tahun
59 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.220

60 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.221
pula ia mengerjakannya, Alhamdulillah selesailah seluruhnya sebanyak 30
juz tanggal 18 Desember 1974 di Jakarta, Ibukota Republik Indonesia.
Karena selalu dibawa ke mana-mana untuk mengerjakannya, tercatatlah
berbagai kota tempat terjemahan pernah dilakukan seperti Amsterdam,
Berlin, Paris, London, Antwerpen, Kuala Lumpur, Singapura, tetapi juga
kampungkampung kecil seperti Leiden; Zaandam, Reuver, Peperga dan
beberapa kali dalam perjalanan dipesawat terbang.
Pikiran untuk menerjemahkan Al-Qur'an secara puitis muncul pada
diri H.B. Jassin setelah membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy
Quran yang diperolehnya dari seorang kawan, Haji Kasim Mansyur tahun
1969. Itulah terjemahan yang dirasakan yang paling indah penuh rasa
estetika yang tinggi karena dalam estetika disertai pula dengan berbagai
keterangan yang luas dan universal sifatnya. Dalam pekerjaan
menerjemahkan sudah barang tentu Jassin bertolak dari kitab induk Al-
Qur'anul Karim sendiri yang berbahasa Arab artinya ia tidak
menerjemahkan hasil terjemahan orang lain, di samping itu ia
mempergunakan sebagai perbandingan terjemahan-terjemahan lain
dalam bahasa asing sebagai bahan perbandingan dan Bahasa Indonesia
serta beberapa kamus Arab-Inggris. Jadi, terjemahanya bukanlah
terjemahan dari terjemahan Yusuf Ali ataupun terjemahan lainnya.
Susunan sajak terjemahan dalam Bahasa Indonesia adalah susunan karya
H.B. Jassin sendiri, sedang susunan sajak dalam Bahasa Arab (Al-Qur'an)
disusun baru sesuai dengan baris-baris sajak dalam Bahasa Indonesia.61
Sesudah tanggal 18 Desember 1974 terjemahan tersebut selesai
secara keseluruhan, diketiknya baik-baik dan diserahkan kepada penerbit
Djambatan berangsur-angsur sampai lengkap 27 Agustus 1975. Tapi
dalam pada itu di luaran timbul, pertanyaan apakah terjemahan saya,
menurut H.B. Jassin dapat dipertanggung jawabkan dari sudut isinya,
mengingat bahwa saya bukan seorang ulama yang telah mempelajari isi

61 H.B. Jassin, Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, (Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), h.222
Al-Qur'an secara mendalam dari berbagai sudut sebagaimana yang
disyaratkan bagi seorang penerjemah Al-Qur'an tutur Jassin.62
Sebelum hasil karyanya diterbitkan dan didistribusikan kepada
masyarakat umum,kepada Majelis Ulama Indonesia yang ketika itu
diketuai oleh Hamka, datang permintaan supaya terjemahan itu diperiksa
oleh para ulama, tugas itu oleh MUI pusat diserahkan kepada Majelis
Ulama DKI. Untuk keperluan penjelasan, lembaga tersebut mengundang
H.B. Jassin dalam suatu pertemuan di kediaman Gubernur Jakarta Raya
saat itu Haji Ali Sadikin, tanggal 25 Agustus 1976. Pertemuan ini di pimpin
oleh K.H. Rahmatullah Shiddiq. Hasilnya adalah bahwa Majelis Ulama DKI
menghargai usaha penerjemahan yang dilakukan oleh Jassin, dan akan
memberikan bantuan untuk meneliti isi terjemahan tersebut. Untuk itu
dibentuklah suatu panitia yang terdiri atas K.H. Saleh Suaidy, Muchtar
Luthfi Al Anshari, dan H. Iskandar Idris. Oleh karena K.H. Saleh Suaidy
meninggal dunia, kedudukannyadigantikan oleh K.H. Abdul Azis, itu pun
hanya beberapa waktu saja Karen a kemudian beliau ditugaskan oleh
pemerintahan DKI untuk menjadi ketua rombongan Haji ke Tanah Suci
Mekkah menjelang akhir tahun 1976. Mukhtar Lutfi yang juga dikenal
sebagai pengurus lembaga pendidikan Al Irsyad pusat menyebutkan tidak
seluruh terjemahan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia diteliti oleh tim
peneliti, tapi hanya sebagian saja, itupun dilakukan apabila H.B. Jassin
merasa ragu terhadap terjemahan ayat yang diterjemahkannya. Penelitian
tersebut berlangsung lebih kurang 45 hari.63
Apabila ditelaah secara mendalam karya H.B. Jassin yang berjudul
kontroversi Al-Qur'an berwajah puisi, kelihatan bahwa hal-hal yang
melatar belakangi kritikus sastra ini menerjemahkan secara puitis (bukan
mempuisikan Al-Qur'an) adalah sebagai berikut :

62 smail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama edisi 1990,


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.ke-1, h. 110

63 smail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama edisi 1990,


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.ke-1, h. 110
1. Jassin memandang Al-Qur'an baik edisi Indonesia, Turki, Mesir
maupun Arab, semua susunannya sama yakni berbentuk prosa menurut
istilah H.B: Jassin.
2. Bahasa Al-Qur'an itu puitis seperti puisi, sehingga rasanya lebih
indah kalau disusun berbentuk puisi dan tentunya enak dibaca.
3. Dari segi spiritualpun keindahan bahasanya bisa diresapi, enak
dibaca dan penuh irama.64
Kitab Rujukan
Menurut DR. Ismail Lubis M.A dalam disertasinya yang berjudul Falsifikasi
terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama 1990 menyatakan apabila
dilihat dalam beberapa catatan H.B. Jassin yang dikutipnya dari media
cetak Kompas tertanggal 08 Nopember 1978 diuraikan kembali dalam
polemik tentang Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia, kiranya tidak tepat kalau
H.B. Jassin dalam menerjemahkan AlQur'an secara puitis dikatakan
mempergunakan kitab rujukan tetapi lebih tepat mempergunakan bahan
perbandingan, seperti tampak pada kutipan pernyataan berikut ini:
“Tentulah ada untungnya bahwa Al-Qur'an yang saya terjemahkan
sudah ada terjemahannya dalam bahasa-bahasa yang saya kuasai. Tidak
ada salahnya untuk mempergunakan terjemahan-terjemahan tersebut
sebagai perbandingan, asalkan induk yang ditejemahkan tetap Al-Qur'an
dalam Bahasa Arab”. Dari pernyataan ini muncul alasan bahwa ia tidak
mempergunakan kitab rujukan. Ia tidak mengingkari telah memakai
berbagai terjemahan sebagai bahan. perbandingan dalam fungsinya
sebagai kamus dan buku tafsiran. Kemudian Jassin menambahkan bahwa
ia mempergunakannya secara kritis, cermat dan hati-hati tidak sekedar
ambil sana ambil sini. Bahan perbandingan yang dipergunakan dalam
menerjemahkan bacaan mulia ke dalam
Bahasa Indonesia secara puitis antara lain ialah :
1. The Eternal Message Of Muhammad, oleh Abdul Rachman Azzam.
2. Sejarah Al-Qur'an, oleh Haji Aboebakar.
3. The Message Of The Qur'an, oleh Ali Hasyim Amir.

64 smail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama edisi 1990,


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.ke-1, h. 111
4. An Advanced Learner's Arabic English Dictionary, oleh H. Anthony
Salamone
5. The Koran Interpreted oleh Arthur J. Arberry
6. The Holy Qur'an, oleh A. Yusuf Ali
7. Baidawi's commentary on surat 12 of the Qur'an, oleh F.L. Besston
8. The Koran, oleh George Sale
9. Concordantiae Corani Arabicae, oleh Gustavus Flagel
10. Die Richtungen der Islamischen koran Auslengung, oleh Ignaz
Goldziher
11. Arabic-English Dictionary, oleh J.G. Have S.J
12. De Koran, oleh J. H. Kramers
13. The Koran, oleh J.M Rodwell
14. A Dictionary and Glossary of the Koran, oleh John Penrice
15. Al-Qur'anul karim beserta Terjemah dan Tafsirnya, oleh H.M Kasim
Bakry
16. The Qur'an, oleh Muhammad Khan Zafrulla
17. The Meaning of the Glorius Koran, oleh M. Picthall
18. The Koran, oleh NJ Dawood
19. Le Coran, oleh Regris Blachere
20. The Qura'an, oleh Richard Bell
21. Der Koran, oleh Rudy Paret
22. Sejarah dan Pengantar Ilrnu Tafsir, oleh T.M. Hasbi Ash Shiddiedy
23. An Introduction to the Qur'an, oleh W. Montgomery Bell Watt
24. Tafsir Qur'un Karim, oleh H. Zainuddin Hamidy.65

Latar Belakang Penyebutan Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia

Penyebutan kalimat Bacaan Mulia setelah Al-Qur'anul Karim sengaja


diletakkan oleh H.B Jassin dalam kitab terjemahan Al-Qur’anul Karim
bertolak pada ayat 77 surat Al-Waqi'ah
yang berbunyi :
􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭⌧􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭

65 smail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur’an, Departemen Agama edisi 1990,


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet.ke-1, h. 114
"Bahwa ini .sesungguhnya Bacaan yang mulia "
Judul buku terjemahan karangan H.B. Jassin bukan "Bacaan Mulia ", tapi
Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia. Kata-kata itu jelas tertulis pada bagian
kulit buku dengan huruf berbahasa Indonesia berwarna Emas. Kata-kata
Al-Qur'anul Karim bahkan ditulis dengan huruf yang indah. Kemudian pada
halaman Franse Titel, tertulis kata-kata yang sama dengan huruf-huruf
yang sama dan kemudian lagi pada halaman judul dengan jelas dan
terang tercantum pula di atas dengan kaligrafi yang artistik "Al-Quranu'l
Karim" dan di bawahnya sebagai keterangan "Bacaan Mulia ". Prinsipnya
sama dengan halaman-halaman terjemahan, yakni nama surah dengan
tulisan Arab dan di sampingnya terjemahannya dalam Bahasa Indonesia:
Al-Baqarah dengan huruf Arab, di sebelahnya dengan huruf Latin: "Sapi
Betina " dengan huruf Arab: Ali Imran, Annisa di sampingnya Keluarga
Imran, dan Wanita-wanita dan seterusnya. Di punggung buku tertulis pula
Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia dan di atas kotak edisi istimewa
memancar pula dengan hurufhuruf emas.66
Ada orang yang mengusulkan supaya "Al-Qur'an" jangan
diterjemahkan dengan "Bacaan", karena dengan demikian Al-Qur'an
disamakan saja dengan sembarang bacaan, katanya. Apakah untuk
membaca Qur'an orang harus mengatakan "mengqara'a Qur'an” karena
membaca Qur'an dianggap ungkapan yang merendahkan martabat
Qur'an? Adakah suatu larangan berupa ayat atau hadits yang melarang
untuk menerjemahkan kata "Qur'an " dengan "Bacaan ".67
BIOGRAFI H.B.JASSIN
Riwayat Hidup H.B.Jassin
Nama lengkap Jassin adalah Hans Bague Jassin, lahir 31 juli 1917 di
Gorontalo (Sulawesi Utara), dan wafat pada tanggal 11 maret tahun 2000.
Berpendidikan Guovernements H.I.S. Gorontalo (tamat 1932), H.B.S-B 5
tahun di Medan (tamat 1939), Fakultas Sastra Universitas

66 H.B. Jassin, Sastra Indonesia warga sastra dunia,op.cit., h. 239

67 H.B. Jassin, Sastra Indonesia warga sastra dunia,op.cit., h. 239


Indonesia (tamat 1957), kemudian memperdalam pengetahuan dalam
bidang Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Universitas Yale, Amerika
Serikat (1953-1959), dan terakhir menerima gelar Doctor Honoris Causa
dari Universitas Indonesia (1975).68
Pengalaman pendidikan di Universitas Yale oleh Jassin memiliki
pengalaman tersendiri yang ia tuangkan dalam bentuk sebuah buku yang
berjudul "Omong-omong H.B. Jassin perjalanan ke Amerika 1958-1959)"
terbitan Balai Pustaka. Dalam buku tersebut penulis bermaksud
menyajikannya secara singkat Ia adalah salah seorang dari 16 pegawai
negeri yang ditugaskan belajar di Amerika Serikat, sesuai dengan Surat
Keputusan Perdana Menteri R.I. tanggal 17 juli 1958, No. 303/P.M./1958.
Penugasannya juga atas anjuran Menteri P dan K, yang menurut rencana
setelah kembali dari Amerika, ia akan pergi ke Uni Soviet dan R.R.C.
Beasiwa dan biaya perjalanan ia peroleh dari Pemerintah Amerika Serikat
melalui Kementerian P dan K, Dalam Surat Keputusan itu dilampirkan
daftar nama-nama peserta yang akan berangkat beserta tujuan sekolah
masingmasing di Amerika. Jadi, walaupun mereka berada dalam satu
kelompok mereka pergi dan pulang dengan tujuan masing-masing.
Lamanya perjalanannya sebelas bulan, ia berangkat dari Jakarta tanggal
21 juli 1958 dan tiba kembali di Jakarta tanggal 21 juli 1959. Ia sempat
mengunjungi negara-negara bagiannya antara lain Indiana, North
Carolina, Connecticut. Enam minggu yang pertama, yaitu tanggal 24 Juli
sampai 3 September 1958 Jassin berada di Bloomington, Indiana untuk
mengikuti Orientation Course, yang diadakan di Indiana University. Di
sana dia diajarkan “Comparative Literature”, tetapi saat itu muslin panas
sehingga ia tidak dapat mengikuti kuliah-kuliah yang diadakan. Profesor
Horts Frencz, sebagai ketua jurusan comparative literature
mengundangnya untuk menghadapi kongres Comparative Literature
Association. Kesempatan ini dipergunakannya dengan senang hati,
sekedar untuk mendapatkan bayangan dan pengalaman tentang kongres
tingkat Internasional. Tempat Kongres itu diadakan di Chapel Hill, North
68 Pamusuk Eneste, Leksikon kesusastraan Indonesia modern, (Jakarta: PT. Jambatan,
1990), edisi baru, h.73-75
Carolina, yang dimulai tanggal 8-12 september 1958. Dan kongres itu
dihadiri oleh para sarjana Ilmu Perbandingan Kesusasteraan,dari Eropa,
Amerika dan beberapa negara lain. Tempat kuliahnya sebenarnya di Yale
University, New Heaven, Connecticut. Kuliah itu diadakan dua Catur Wulan
yaitu dari pertengahan September1958 sampai dengan Mei 1959. Di
Tempat tersebut jurusan Comparative Litrature menjadi bagian yang
berdiri sendiri dengan ketuanya Reene Weliek, ia mengikuti empat mata
kuliah, pertama dua mata kuliah dari Profesor Wellek yaitu Contemporary
Criticism in England, The United States, and the European Continent dan
Tolstoy in his European setting. Kedua, dari Profesor Brooks yaitu
Twentieth Century, dan ketiga dari - Profesor Wimsat, yaitu Theories of
Poetry. Satu hal yang perlu Jassin catat adalah mata kuliah Kesusasteraan
diajarkan tersendiri di dalam satu jurusan, tidak sebagai mata kuliah
tambahan atau pembantu. Lain dari keadaan di Universitas Indonesia
pada tahun 50-an, mata kuliah kesusastraan diajarkan bersama dengan
mata kuliah bahasa. Mata kuliah bahasa tersebut lebih mendapat tempat,
atau menjadi mata kuliah utama. Namun kini kedua mata kuliah itu,
keseusastraan dan bahasa atau linguistik, pengajaranya telah berhasil
dipisahkan. Jadi kedua ilmu itu mempunyai masing-masing jurusan. Di Yale
University untuk mencapai satu tingkat M.A. atau Ph.D, mahasiswa wajib
mengikuti berbagai persyaratan. Persyaratan itu umumya adalah
mahasiswa harus menempuh empat mata kuliah, yang dipilih bersama
ketua jurusan. Dengan terbatasnya mata kuliah yang dipilih
memungkinkan mahasiswa lebih khusus dan mendalam mempelajarinya.
Sistem pengajaran di Amerika umumnya lebih mementingkan bentuk
seminar. Dengan bentuk seperti ini mahasiswa diajarkan untuk membuat
makalah sendiri, dan harus mempertahankannya dalam diskusi antar
mahasiswa. Hal ini dapat dilakukan karena jumlah mata kuliah yang
terbatas. Dengan memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang
“Ilmu Perbandingan Kesusastraan” yang dipelajarinya di Amerika sangat
menunjang ajar mengajarnya di Fakultas Sastra-UI, selain itu, juga
mendukung Disertasi tentang “Kesusastraan Indonesia Modern” yang
sedang dipersiapkannya.69
Sebagai seorang akademisi tentunya banyak pengalaman dan
penghargaan yang telah diperolehnya, dalam buku sastra Indonesia
sebagai warga sastra Dunia ia mendapatkan pengakuan yang beragam
dari berbagai pihak: H.B. Jassin adalah tokoh yang sudah tidak asing lagi
dalam kesusastraan Indonesia. Gayus Siagian menyebutnya “Paus
Kesusastraan Indonesia”, Profesor Teeuw menyebutnya “Penjaga Sastra
Indonesia”, Arief Budiman menyebutnya “Kritikus Sastra yang bekerja
secara cermat dan kontinyu”, M.H. Rustandi Kartakusuma memberinya
predikat “Penerjemah yang baik”, dan Profesor Harsya W.Bachtiar, ketika
masih menjabat Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1975)
pernah mengatakan “Fakultas Sastra Universitas Indonesia sendiri sudah
sejak 1969 ingin mengangkatnya sebagai guru besar.
Pembelaan Dalam Perkara “LANGIT MAKIN MENDUNG”
Selain pengalamannya dalam dunia pendidikan H.B.Jassin juga
memiliki pengalaman yang tidak dapat dilupakannya begitu saja, karena
hal tersebut berkaitan dengan karya cipta orang lain tapi ia bersedia
untuk menjadi terdakwa saat itu. Pembelaannya dalam perkara “Langit
Makin Mendung” di muka pengadilan Jakarta Pusat pada bulan Agustus
1968 dilakukannya dengan ikhlas dan senang hati terhadap cerita pendek
karya seseorang yang berada di balik nama Ki panji kusmin. Pembelaan
yang dimaksud adalah karena isi cerita dalam Cerpen itu berkaitan
dengan hal-hal yang bertentangan dengan akidah agama tertentu (Islam),
menurut Jaksa penuntut dan Menteri Agama waktu itu, sedangkan
menurut Jassin sendiri semua fakta yang tersaji dalam cerita itu hanya
bersifat imajinasi, khayal, atau fantasi, sedangkan akidah adalah soal
dogma atau hakikat. Dan fantasi tidak sama dengan hakikat. Logika yang
semu dicoba saudara jaksa paksakan kepada terdakwa dengan
pertanyaan sebagai berikut :

69 Balai Pustaka, Omong-omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), (Jakarta


PT. Balai Pustaka, 2000), cet/ke-10, h. VII-X.
1. Tuhan di antara salah satu sifatnya adalah Qadir, artinya maha kuasa,
kalau Tuhan digambarkan sebagai terpaksa, apakah itu tidak
bertentangan dengan agama? Ketika terdakwa memberikan penjelasan,
penjelasannya ditolak, yang dikehendaki oleh jaksa hanya jawaban “ya”
atau “tidak”, menurut Jassin saat itu ia berhadapan dengan logika jaksa
karena jaksa mensejajarkan karangan sastra yang bersifat imajiner
dengan ajaran agama ynag bukan imajiner.
2. Contoh lain di mana penuntut umum dalam tanya jawabnya hanya
meminta jawaban “ya” atau “tidak” atas pertanyaan menurut sifat dua
puluh dan ayat Qur'an, Tuhan itu sempurna; dijawab tertuduh “ya”, betul,
lalu penuntut melanjutkan dalam cerita itu Tuhan digambarkan sebagai
orang tua, berarti Tuhan tidak sempurna. Dia bisa muda dan bisa tua dan
tentu bisa mati. Apakah ini tidak bertentangan dengan keyakinan dan
iman saudara sebagai orang Islam? Dijawab oleh terdakwa “ya” ini
bertentangan dengan keyakinan dan agama. Di sini menurut Jassin
nampak suatu kontradiksi, suatu kelicikan terjadi dan manipulasi dalam
pemikiran. Menurutnya lagi Tuhan tidak tergantung pada cara manusia
menggambarkan ada-Nya. Dia menerima semua yang beritikad baik
mencari Wajah-Nya. Sifat dua puluh hanyalah tafsiran manusia, sekalipun
bedasarkan Qur'an dan Hadits. Tuhan di sini coba dirumuskan dengan
kata-kata dan istilah, tapi Tuhan tidak dapat dirumuskan. Jadi sifat 20 pun
belum lengkap menafsirkan, apalagi menggambarkan Tuhan yang
sesungguhnya. Pengarang Ki panji kusmin tak bermaksud menghina
Tuhan hanya karena ia menggambarkannya sebagai orang tua
berkacamata (apakah orang tua berkacamata hina?). Lagi pula yang
digambarkan ini bukanlah zat Tuhan, siapakah yang zat Tuhan? Tuhan
yang digambarkan ini adalah Tuhan imajiner, bukan Tuhan hakikat,
bagaimanakah pengarang dapat menghina Tuhan yang sesungguhnya
dalam dunia yang imajiner.
3. Tuduhan berikutnya berdasarkan KUHP 156 menyatakan di muka umum
penghinaan terhadap sesuatu golongan, dalam hal ini ialah golongan kiai-
kiai Islam. Menurut terdakwa adalah tidak beralasan sama sekali. Pertama
pengarang dengan ceritanya sama sekali tidak bermaksud menghina para
kiai historis. Kedua cerita itu adala imajiner, bukan laporan-sejarah:
Ketiga; tokoh-kiai yang imajiner itu dalam rangka kejadian imajiner adalah
kiai yang menyelewengkan agama dan sebagian yang demikian patut
dicela. Kiai-kiai yang dimaksud pengarang dalam ceritanya yang imajiner
itu tentulah bukan yang seperti Hamka, Muhammad Natsir, Isa Anshari,
Firdaus A.N. sebab para kiai yang semacam mereka ini yang menegakkan
Islam, tapi mengapa justru dijebloskan ke dalam tahanan. Rangkuti
berpendapaat bahwa tujuan pengarang adalah hendak mensucikan Islam
dari racun-racun faham baru yang menyesatkan (Nasakom), sehingga
banyak dari pengikutpengikutnya dengan sadar ataupun tidak
memperpincang ataupun melumpuhkan Islam. lman dan Islam menjadi
permainan bibir semata. Semua peristiwa dan gejala yang destruktif
untuk Islam inilah yang menjadi latar belakang timbulnya imajinasi
pengarang Ki panji kusmin. Menurut H.B. Jassin, saya tidak kenal dengan
Ki panji kusmin waktu karangan-karangan yang pertama saya terima,
sebagaimana biasa tiap pengarang yang berhasil lolos masuk dalam
majalah SASTRA, otomatis saya kirimi formulir biografi pengarang untuk
keperluan dokumentasi, tapi ia mendapat jawaban: “Saya baru mulai pak.
Belum sepatutnya saya memberikan biografi saya, nantilah apabila saya
telah maju dalam karang mengarang akan saya kirimkan”. Jawaban ini
bagi Jassin jadi petunjuk bahwa pengarang bukan seorang yang suka
menonjolkan diri, tapi seorang yang rendah hati, seorang yang jatmika.
Kemudian pada saat berikutnya, barulah terdakwa mendapatkan
gambaran sedikit mengenai pengarang. Ibu Ki panji kusmin melukiskan
dia sebagai seorang yang pendiam, tidak banyak bergaul dengan orang,
suka menyisihkan diri, sederhana, suka merenung-merenung dan menulis-
menulis. Ki panji kusmin lahir tahun 1941, sekolahnya sampai tamat
Akademi Pelayaran dan beberapa tahun menjadi mualim. Tapi pekerjaan
di kapal rupanya tidak menarik hatinya dan ia kemudian turun ke darat
dan bekerja di lapangan perdagangan. Mengenai agama Ki panji kusmin
lahir dari keluarga beragama Islam. Tapi ia sekolah di sekolah katolik sejak
sekolah dasar. Sebagai seorang pendiam dan pemalu serta tidak banyak
pergaulan, ia mempunyai rasa rendah diri, dapatkah kita bayangkan jiwa
pengarang tatkala ceritanya dihebohkan orang. Rang berdemonstrasi,
mendatangi kantor majalah yang memuat ceritanya, mencari pemimpin
perusahaan dan pemimpin redaksi dan mencari pengarang, ia cepat-cepat
minta maaf kaget sendiri oleh akibat tulisannya. Pendidikan pengarang di
sekolah katolik sejak sekolah dasar, mempunyai pengaruh pada hasil
ciptaannya, seperti demikian halnya dengan Amir Hamzah. Dapatlah kita
mengerti mengapa ia sampai mempersonifikasikan Tuhan dan melukiskan
Nabinabi, hal-hal yang tidak asing dalam seni Nasrani. Cerita “Langit
makin mendung” adalah bagian pertama dari satu cerita panjang. Tiap
orang yang membaca bagian pertama ini merasakan bahwa cerita belum
selesai, masih ada sambungannya. Cerita perjalannya Nabi ke bumi baru
berada pada tingkat pertama. Dikatakan bahwa Nabi membuat riset ke
bumi. Turunnya Nabi ke bumi adalah karena pertimbangan yang mulia
mengadakan riset karena umatnya akhir-akhir ini sudah jarang yang
nampak masuk surga. Di bumi berkecamuk kemesuman, kemunafikkan,
kelaparan, tangis dan kebencian. Maka apabila Nabi merasa terpanggil
untuk mengadakan riset itu adalah sesuai dengan kemuliaan jiwanya
sebagai pemimpin umat yang bertanggungjawab. Pengarang tidak sesaat
pun merendahkan Nabi. Ketika burak kendaraannya bertabrakkan dengan
Sputnik Rusia terpental bersama Jibril, mereka tidak cidera suatu apapun,
tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagaikan kapas. Sebaliknya
sputnik yang tidak punya rem ketiganya masuk ke dalam neraka. Apabila
Iblis terdengar mengatakan bahwa Islam terancam digantikan Nasakom.
Nabi dengan pasti berkat “sabda Allah tidak akan kalah. Begitu pun Islam.
Ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun”. Meskipun Nabi turun
di atas daerah yang penuh kemaksiatan, jauh dari pada beliau sesuai
dengan kemuliaan akan lakunya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang terkutuk, sebaliknya beliau murka melihat keadaan di daerah itu.
Nabi menggeleng-geleng melihat segala kemaksiatan. Betapa mungkin
rakyat yang sebagian besar beragama Islam begitu bebas berbuat cabul
katanya, dan apabila Nabi kemudian akan mengusulkan supaya dipasang
TV di surga, Jassin mengartikan bahwa maksud pemasangan itu adalah
untuk mengikuti keadaan masyarakat yang tambah merosot dan untuk
dapat mengambil tindakan-tinadakan pencegahan atau perbaikan. Jadi
bukanlah untuk menyaksikan adegan-adegan cabul yang telah ternyata
menjijikan bagi Nabi. Kecabulan di daerah senen digambarkan dengan
realistis, justru untuk menampilkan kebobrokan masyarakat di tengah
Alam Nasakom yang membawa kemelaratan. Tapi meskipun realistis,
gambarannya tidak menjadi porno. Dalam cerpen tersebut tidak sesaat
pun pengarang memperlihatkan romantik yang menggugah syahwat
nafsu birahi, malahan Nabi merasa jijik melihat kemesuman dan perihatin
terhadap kemelaratan dan penderitaan umatnya. Keadaan agama sudah
sangat menyedihkan, disebabkan karena pengaruh Ajaran Nasakom.
Sundel-sundel pun sudah dijadikan soko guru revolusi. Batu-batu di
seluruh dunia tidak cukup untuk menghukum para pezinah ,
pelacurpelacur telah menguasai seluruh negeri. Yang dikeritik pengarang
Ki panji kusmin ialah "PBR" yang menciptakan nasakom dan menuduh
orang yang menentang komunis sebagai komunistophobi. Ia mengkritik
juga para Kiai yang tidak berani menegur apalagi menentang PBR.
Meskipun ia nyata-nyata melanggar berbagai suruhan agama dan
melakukan kekejian pengarang dalam berimajinasi pergunakan alat alat
gaya bahasa berupa pekerjaan maksiat di depan umum. Kepandaian
pengarang dalam berimajinasi diiringi dengan kepandaiannya dalam
mempergunakan alat-alat gaya bahasa berupa ironi, sarkasme, humor,
satire, sinisme dan sebagainya. Tapi alat-alat ini tanpa pengertian dari
pihak pembaca bisa disalah tafsirkan sebagai contoh ironi, ironi adalah
cara pengucapan dimana seseorang mengatakan sesuatu, sedangkan
yang dimaksud adalah sebaliknya. Setelah Nabi menyaksikan adegan-
adegan mesum di daerah planet, adegan pengeroyokan terhadap
pencopet yang kemudian dilindungi oleh orang berbaju hijau, berkatalah
Nabi: “Sesungguhhya tontonan ini mengasyikkan meskipun kotor. Akan ku
usulkan dipasang TV di surga”. Pembaca yang tidak sadar tingkat-tingkat
gaya bahasa tersebut di atas, akan mengira bahwa ucapan itu dikatakan
serius, sedang sebenarnya Nabi justru hendak mengatakan yang
sebaliknya.70 Demikianlah sekelumit tentang pembelaan H.B. Jassin
terhadap cerita pendek “Langit makin mendung” karangan Ki panji
kusmin. Demikianlah sekelumit tentang pembelaan H.B. Jassin terhadap
cerita pendek “Langit makin mendung” karangan Ki panji kusmin.
Meskipun demikian setelah sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
selesai H.B. Jassin yang pulang ditemani istrinya bersama dengan Hamka
yang berada dalam satu mobil, Hamka memohon kepada hakim agar
pesakitan (H.B. Jassin) dibebaskan saja. Sebab menurut Hamka pesakitan
belum mengetahui lebih mendalam pandangan Islam terhadap karangan
seperti itu.
B. Hasil Karyanya
l. Karya Asli
Dalam opini umum yang berkembang saat ini, salah satu unsur
penting yang dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas keilmuan
seorang tokoh adalah berupa banyaknya
jumlah dan sejauh mana bobot karya tulis yang dihasilkannya. Di antara
karangan H.B. Jassin
yang tercatat adalah :
- Angkatan 45 (1952), Tifa penyair dan daerahnya (1952), Kesusastraan
Indonesia Modern dalam kritik dan Esai I-IV (1954 dan 1957). Pertanggung
jawab (1970D, Sastra Indonesia sebagai warga Sastra Dunia(1983),
Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), Surat-surat 1943-1983 (1984),
Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), Koran dan Sastra
Indonesia (1994), Omong-omong H.B.Jassin (perjalanan ke Amerika 1958-
1959) edisi revisi (2000), Gema Tanah Air, edisi revisi (2000).

2. Karya Terjemahan
Di antara berbagai karya hasil terjemahannya antara lain saat ini telah
terkumpul di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin adalah : Chushinguran
karya Sakat Syioya, Renungan Indonesia karya Syahrasad (1947), Terbang
Malam karya A. De St Exupery, Kisah-kisah dari Rumania, Api Islam karya
70 Balai Pustaka, Omong-omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), (Jakarta
PT. BalaiPustaka, 2000), cet/ke-10, h. VII-X.
Syed Ameer Ali, Cerita Panji dalam Perbandinangan, bersama Zuber
Usman karya R.M.Ng.Poerbatjaraka, Max Haveluar karya Multatuli (1972),
Kian kemari Indonesia dan Belanda dalam Sastra, The Complette Poems
of Chairil Anwar dikerjakan bersama Liau Yoek fang, Al-Quran Bacaan
Mulia yang telah di terbitkan beberapa kali (1978,1982,dan 1990). Dan
beberapa karya di mana ia bertindak sebagai Editor karya-karya tersebut.
Di antaranya adalah: Pancaran Cita (1946), Kesusastraan Indonesia di
masa Jepang (1948), Amir Hamzah raja Penyair Pujangga Baru (1962),
Pujangga Baru;Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66 ; Prosa dan Puisi
(1968), Kontroversi Al-Qur'an Berwajah Puisi (1995).
Di tengah berbagai kesibukan dan aktifitasnya sebagai seorang penulis
akademisi dan lain sebagainya, ternyata Jassin memiliki beberapa catatan
menarik, selain untuk kegiatan dalam dunia pendidikan seperti pada
tahun 1939 ia bekerja di Kantor Asisten Residen Gorontalo, kemudian di
Balai Pustaka ia bergelut cukup lama, sekitar tujuh tahun (1940-1947),
dan terakhir pada Lembaga Bahasa dan Budaya pada tahun 1953-1973. 71
TINJAUAN TERHADAP TERJEMAHAN AL-QURANUL KARIM
BACAAN MULIA

A. Cara kerja H.B. Jassin dalam menerjemahkannya. H.B. Jassin


bekerja
1. Dengan cara mempelajari berbagai terjemahan dalam Bahasa
Indonesia dan Bahasa Asing.
2. Cara menyasun baris-baris sajak dipertimbangkan. Dari sudut irama
yang bertalian dengan pengaturan nafas, dari sudut keteraturan bunyi
demi kenikmatan pendengaran dan juga dari sudut kesatuan isi kalimat
atau bagian-bagian kalimat. Hal ini dapat kita lihat dalam seluruh hasil
terjemahannya di dalam terjemahan Al-Qur'an "Bacaan Mulia" di bawah
ini contoh mengatur irama dengan merubah letak perkataan sesuai
dengan makna yang terkandung di dalamnya. Di dalam surat Asy-Syu'aro

71 Kusman K dan Mahmud SU, Sastra Indonesia dan Daerah (sejumlah masalah),
(Bandung: PT. AngkasaBandung, 1997), h.17
dikisahkan Fir'aun meminta pertimbangan kepada para pembesarnya apa
yang harus dilakukan untuk rnelawan Musa. Terjemahannya adalah :
Mereka menjawab : ‘Suruhlah tunggu
(Musa) dan saudarianya
Dan kirim ke kota-kota para bentara.
Menurut H.B. Jassin lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika
baris
terakhir disusun demikian :Dan kirim para bentara ke kota-kota.72

3. Adakalanya demi irama persajakan ia menerjemahkan menurut akibat


dari apa yang

diterbitkan oleh kata itu, misalnya:


􀂭 􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭 􀂭􀂭⌧􀂭􀂭􀂭􀂭 􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭
Dan hari itu sangkakala pun ditiup
Lebih hidup dan lebih lancar kedengarannya, jika diterjemahkan:
Dan hari itu sangkakala pun dibunyikan (Q.S. 27, 87)
4. Dengan mempergunakan berbagai kamus Arab dengan keterangan
dalam Bahasa Asing, daftar kata, konkordansi dan buku-buku ilmu bantu
untuk menyokong pengertian,
sebagaimana dinyatakan sendiri oleh HB. Jassin sendiri. 73“Dalam
mempelajari isi Al- Qur’an dan kemudian menerjemahkannya ke dalam
Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing dan mempergunakan berbagai
kamus Arab dengan keterangan dalam bahasa asing yang saya mengerti,
daftar kata-kata, korkondansi dan sekian banyak buku-buku ilmu Bantu
untuk menyokong pengertian.” Selanjutnya H.B. Jassin memberikan
contoh praktek kerjanya ketika menerjemahkan kata tukadzziban dalam
surat Arrahman ayat 55. Dalam Bahasa lnggris diterjemahkan : (you)
deny, kata kerjanya tidak menunjukkan keduaan. Tetapi, kata H.B. Jassin,
ada seorang penerjemah Arthur. J. Arberry, yang memberikan pemecahan
bagus sekali. Surat Ar-Rahman ayat 55 yang berbunyi :

72 H.B. Jassin, Pengantar Bacaan Mulia,

73 Ismail Lubis, Falsifkasi terjemahan Al-Qur’an Depag 1990.op.cit., h. 121.


􀂭􀂭☺􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭
􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭
Wich of your lord's bounties, will you and you deny ?

Meskipun kata-kata Inggrisnya tidak menjadi dualis, kata personanya yang


diulang menunjukkan dualis, lanjutnya. Tetapi tetap saja masih terdapat
kekurangan tidak jelas siapa yang dimaksud "you and you". Kuncinya
ditemukan dalam terjemahan Departemen Agama, di sana diterangkan
bahwa yang dimaksud ialah golongan jin dan manusia, yaitu dalam
terjemahan ayat 35 surat yang sama "yursalu'alaikuma syuwazun " :
kepada kamu jin dan manusia dilepaskan nyala api .... maka ayat tersebut
diterjemahkannya demikian : Maka karunia manakah dari Tuhanmu yang
kamu (manusia) dan kamu (jin) dustakan ?
B. Hambatan-hambatan dan tanggapan tokoh penerjemah Al-
Qur'an terhadap
terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia.
Hambatan-hambatan (dalam penerjemahan Bacaan Mulia). Usaha
menerjemahkan Al-Qur' an ke dalam Bahasa Indonesia bukanlah tugas
mudah dan tanpa hambatan. Berbagai tanggapan dan respon datang dari
berbagai pihak yang disampaikan melalui barbagai media dan instansi
pada waktu itu. Apa yang menjadi kekhawatiran H.B. Jassin rrrengenai isi
terjemahannya benar-benar menjadi kenyataan, meski H.A. Mukti Ali dan
Hamka, masing-masing sebagai Menteri Agama dan ketua Majelis Ulama
Indonesia, telah memberikan sambutan atas terbitnya terjemahan Al-
Qur'an tersebut. Saya amat berterima kasih atas catatan-catatan yang
disampaikan kepada saya tutur Jassin mengenai terjemahannya "Bacaan
Mulia ". Ada yang sifatnya membangun, ada yang diuraikan dengan hati
yang dingin dan ada pula yang dilontarkan dengan emosi meluap-luap.
Semua respon dan tanggapan tersebut diterimanya dengan perasaan
bersyukur, karena menggugahnya untuk mempelajari Al-Qur'an lebih
mendalam lagi dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Dengan
mengadakan perbaikan-perbaikan, Insya Allah akan diperoleh hasil
terjemahan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Di antara
hambatan yang paling bermasalah menurut H.B. Jassin adalah :
1. Kekakuan terjemahan
Kekakuan dalam terjemahan mungkin timbul karena terlalu dipengaruhi
oleh susunan kalimat dalam Bahasa Arab dengan tidak memperhatikan
susunan menurut rasa Bahasa Indonesia atau pengambilan suatu
ungkapan dalam konstruksi kalimat Bahasa Arab tanpa menggantinya
dengan ungkapan Bahasa Indonesia.
2. Tidak adanya tanda-tanda baca yang jelas, sehingga masing-masing
orang dapat menggunakan tanda baca yang beda, akibatnya akan
menimbulkan pengertian yang berbeda pula.
3. Jenis kata sambung yang terbatas dan masing -masing mempunyai
fungsi yang dapat berbeda-beda. Kata sambung wa tidak selalu
diterjemahkan dengan "dan" bisa juga dengan ‘karena, sedang,
sementara’ dan juga dapat berfungsi sebagai titik dan koma saja, sekedar
tanda pemisah antara dua kalimat. Fa bisa diterjemahkan dengan `maka,
karena itu' atau tidak diterjemahkan sama sekali.
Di bawah ini dapat rnelihat reaksi yang datang dari berbagai lapisan, di
antaranya :
1. H. Oemar Bakry, dalam bentuk surat ia menyampaikannya kepada
Menteri Agama waktu itu, ketua Majelis Ulama Indonesia, dan ketua
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Suratnya berisi contoh-contoh
terjemahan yang dengan istilahnya sendiri disebut "keganjilan-keganjilan
". Berbagai contoh yang dikatakan ganjil oleh Oemar Bakry ialah :
1. Kata "􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭" kadang-kadang diterjemahkan oleh H.B. Jassin dengan
"petunjuk" seperti pada ayat 2 surah Al-Baqarah dan kadang-kadang
diterjemahkan dengan “pimpinan" seperti pada ayat 16 surat yang sama.
Terjemahnya berbunyi "Merekalah yang menukar pimpinan dengan
kesesatan. "
2. Ayat ke-3 pada surah Al-Baqarah "Wal ladzina yu'minuna bil ghaibi"
diterjema.hkan dengan "(bagi) mereka yang beriman kepada yang ghaib"
ini berarti bahwa Al-Qur'an itu adalah petunjuk bagi :
a. Mereka yang takwa (kepada Tuhan)
b. Mereka yang beriman kepada yang ghaib dan dapat menjadi petunjuk
kepada orang yang bertakwa walaupun tidak beriman kepada yang ghaib,
dan sekalipun kepada orang mempercayainya saja adanya hari kiamat
walaupun tidak bertaqwa kepada Tuhan. Menurut Oemar Bakry,
demikianlah pengertian dari teks pada potongan ayat tersebut, karena
penerjemah menilai kata "Alladzina yu'minuna" adalah keterangan tujuan
kedua setelah kata "Iil muttaqina" atau dalam ilmu Nahwu, kata
"Alladzina" di i'rabkan oleh Jassin mengikuti (ma'tuf) kepada "Al-Muttaqina
". Sedangkan menurut Bakry hal tersebut jelas suatu kesalahan besar
menurut aturan ilmu tata Bahasa Arab, karena sesuatu kata yang tanpa
didahului oleh huruf `ataf telah dinilai sebagai ma'tuf (keterangan atau
bagian kedua dari yang sedang dijelaskan). Kata "alladzina" dalam ilmu
Nahwu menurut Oemar Bakry adalah "Isim Mausul", apabila tidak ada
yang mengubah dari fungsi aslinya, ia berfungsi sebagai penghubung dan
kalimat sesudahnya sebagai "shilah" (keterangan) lebih lanjut dari kata
sebelumnya (Maushulnya) bukan sebagai bagian yang terpisah atau
berdiri sendiri dari maushulnya. Dengan demikian, kata Oemar Bakry, isi
ayat tersebut telah dipecah oleh H.B. Jassin karena kekeliruan dalam
menetapkan fungsi sesuatu kata atau anak kalimat dari ayat-ayat Al-
Qur'an yang berbahasa Arab itu. Surat Oemar Bakry ini ditutup dengan
harapan pada Departemen Agama dan Majelis Ulama untuk meneliti hasil
terjemahan H.B. Jassin dan mengambil langkah-langkah positif dari hasil
penelitian tersebut.
2. Surat Team Peneliti Bacaan Mulia H.B. Jassin dari surabaya kepada
Menteri Agama RI di Jakarta. Surat ini pada pokoknya berisi :
1) Contoh-contoh terjemahan H.B. Jassin yang dinilai tidak tepat.
2) Penolakan terhadap hasil perbaikan yang dilakukan oleh Lajnah
Pentashih Departemen Agama RI.
3) Keraguan terhadap basil penelitian dan koreksian yang dilakukan oleh
Majelis Ulama DKI Jakarta.
4) Rasa penyesalan atas sambutan Menteri Agama dan Hamka ketika
Bacaan Mulia ini diterbitkan.
5) Harapan kepada Menteri Agama untuk mencegah peredaran Bacaan
Mulia tersebut.
Sebagai contoh yang tidak tepat menurut basil penelitian Team Peneliti
Bacaan Mulia H.B. Jassin ini ialah :
1) Terjemahan ayat 44 surat al-Baqarah :
Apakah kamu perintahkan orang Berbuat kebaikan, kamu sendiri lupa
(melakukan),
Padahal kamu membaca Al-Kitab? Tidakkah kamu menggunakan pikiran?
Kata “􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭 ” Menurut Team Peneliti dari
Surabaya ini, H.B. Jassin telah salah mengartikan. Seharusnya: "Kamu
melupakan dirimu sendiri."
2) Terjemahan ayat 49 surat al-Baqarah :
Dan (ingatlah) ketika kami
Selamatkan kamu dari orang Fir’aun.
Mereka menimpakan kepadamu
Siksaan yang pedih menyakitkan.
Mereka menyembelih putera-puteramu
Dan membiarkan hidup
Anak-anak perempuanmu.
Yang demikian itu merupakan ujian.
Yang dasyat dari tuhanmu.
Kata “􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭􀂭 ” seharusnya diterjemahkan : “dari Fir’aun dan
pengikut-pengikutnya.”
3. Surat (catatan-catatan) dari Dewan Da'wah Islamiyah Jakarta Raya
tentang kesalahankesalahan dalam Teriemah atau Arti yang Tidak
Mencapai Maksud Al-Qur'anul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin.
contoh yang salah atau yang tidak mencapai maksud menurut Dewan
Da'wah Islamiyah Indonesia Jakarta Raya ini ialah:
1) Penggunaan kata "Bacaan Mulia " untuk ' Al-Qur'an al-Karim ", tidak
mengenai maksud yang sebenarnya.
2) Terjemahan ayat 56 surat Ar-Rahman :
Dalam
keduanya
(gadis-gadis)
Yang suci
menundukka
n pandang,
Tiada
manusia
maupun jin
Sebelum
mereka
pernah
menjamah
Menurut Dewan Da'wah, kalimat: "Dalam keduanya (gadis-gadis) yang
suci menundukkan pandang. Tiada menusia maupun jin sebelum mereka
menjamah, " tidak memberi pengertian yang jelas. Mungkin maksudnya,
"Dalam sorga itu ada gadis-gudis suci yang menundukkan pandangan
yang belum pernah sebelumnya manusia dan jin menjamah ", kata Dewan
Da'wah mengakhiri pendapatnya. Contoh-contoh kesalahan dan arti yang
tidak mencapai maksud di atas, dilampiri dengan sepucuk surat yang
isinya memohon kepada Menteri Agama :
1) Agar membentuk sebuah panitia pemeriksa yang terdiri atas ulama dan
cendikiawan yang memenuhi sekurang-kurangnya dua syarat, yaitu
"tabahhur" dalam ilmu-ilmu agama (mengusai betul ilmu-ilmu agama) dan
"ta'amuq" dalam Bahasa Al-Qur'an dan Bahasa Indonesia (mendalam
betul dalam Bahasa AlQur'an dan Bahasa Indonesia).
2) Menahan sementara penerbitan dan penyebaran Al-Qur'anul Karim
Bacaan Mulia H.B. Jassin sampai pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia
selesai. Masih banyak tanggapan atas terbitnya Al-Qur'anul Karim Bacaan
Mulia H.B. Jassin, baik berbentuk surat maupun artikel yang isinya secara
keseluruhan tidak sempat dikemukakan di sini, di antaranya :
1) Surat dari Majelis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara' Departemen
Kesehatan R.I kepada Menteri Agama.
2) Artikel dengan judul "Bacaannya Mengasyikkan, Tapi Terjemahannya
Perlu Diamankan, " oleh aminuddin Aziz, Pelita, Jumat 22 dan 23
Desember 1978.
3) Pendapat dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Zaidan Djauhari dan
Amin Iskandari yang disampaikan kepada pers tentang banyaknya
kesalahan dalam Terjemahan Al-Qur'an H.B. Jassin, Pos Kota, 23 Oktober
1978. Apabila diperhatikan reaksi masyarakat atas terjemahan H.B. Jassin
yang pada umumnya disampaikan melalui surat kepada Menteri Agama,
Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia,
atau ditulis dalam berbagai media cetak seperti surat kabar, sudah
selayaknya penerbitan karya tersebut ditangguhkan. Kenyataannya tetap
diterbitkan sebagaimana diharapkan oleh H.B. Jassin dan sebagian
masyarakat yang cara pandangnya terhadap karya tersebut berbeda
dengan mereka yang bereaksi. Ketika hal izin penerbitan ini ditanyakan ke
Departemen Agama, secara tegas dijawab bahwa selain naskah itu sudah
dikoreksi oleh tim, tetap saja memerlukan penyempurnaan-
penyempurnaan di kemudian hari seperti yang dialami oleh
terjemahanterjemahan Al-Qur'an lainnya. Jadi, dapat dikatakan selalu ada
permasalahanpemasalahan yang akan muncul sesuai dengan
perkembangan pemikiran para pembaca dan perkembangan bahasa
penerima sebagai konsekuensi dari karya terjemahan yang mengandung
nilai subyektif. Di sisi lain tidak semua hasil koreksian yang disampaikan
oleh masyarakat kepada Departemen Agama, Majelis Ulama dan badan-
badan lain sebagai hal yang prinsip (kebenaran yang menjadi pokok dasar
bertindak). Sebagai contoh dapat dikemukakan hasil koreksian yang
disampaikan oleh H. Oemar Bakry :
Kata-kala "huda" kadang-kadang diterjemahkan dengan "penunjuk"
seperti pada ayat 2 surat Al-Baqarah, dan kadang-kadang diterjemahkan
dengan "pimpinan" seperti pada ayat 16 surat Al-Baqarah. Terjemahan
berbunyi "merekalah yang menukar pimpinan dengan kesesatan".
Bukanlah pasangan yang lebih tepat ialah "petunjuk" sehingga keindahan
bahasanya dapat terpelihara? Dalam koreksian di atas, Oemar Bakry
menginginkan pasangan yang lebih tepat dalam kalimat terjemahan
sehingga keindahan bahasanya dapat terpelihara. Dalam hal ini H.B.
Jassin juga berkata : "tapi saya menerjemahkan Qur'an ke dalam Bahasa
Indonesia yang puitis, dengan memperhatikan keindahan bunyi, irama,
hiasan, warna dan suasana." Jadi, penggunaan kata "pimpinan" pada ayat
16 surat Al-Baqarah tersebut dimaksudkan oleh H.B. Jassin untuk
keindahan bunyi dan suasana sehingga tidak membosankan pembaca,
sebab kata pimpinan sama artinya dengan bimbingan, yang juga
merupakan terjemahan kata "huda" pada ayat 175 surat Al-Baqarah.
Contoh kedua adalah kata " 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣" pada ayat 265 surat Al-Baqarah
yang diartikan oleh H.B. Jassin dengan "ernbun ". Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, embun yang dimaksudkan oleh H.B. Jassin tidak terlaiu
menyimpang dari makna yang dimaksudkan oleh Ibnu Kasir. Dalam
tafsirnya, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Ibnu Kasir mengartikan "􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣"
dengan “ ” `gerimis' atau `hujan rintik-rintik', sedangkan embun dalam
Bahasa Indonesia salah satu pengertiannya ialah titik-titik air yang jatuh
dari udara. (pada malam hari).

C. Analisa Terhadap Terjemahan Karya H.B. Jassin Pada Surat Ar-


Rahman dan
Perbandingannya dengan Terjemahan Departemen Agama R.I.
Suatu terjemahan biasanya ditulis pada naskah agar dapat dikaji oleh
orang yang tidak memahami Bahasa Arab (bahasa Al-Qur'an) sehingga
dapat memahami kehendak Allah Azza
Wa Jalla dari kitab-Nya Al-Aziz lantaran terjemahan itu.74
Kata "terjemah" dapat digunakan pada dua arti yaitu terjemah
harfiah atau pengalihan bahasa secara Iafzi dari suatu bahasa ke dalam
bahasa lain di mana tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan
tertib bahasa sumber, dan terjemah tafsiriah atau terjemah maknawiyah,
yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa adanya
ikatan dengan konteks bahasa asal atau memperhatikan susunan
kalimatnya. Daiam surat Ar-Rahman terdapat 78 ayat yang memiliki
keistimewaan tersendiri karena terdapat 31 ayat dimana bunyi ayat
tersebut di ulang-ulang sebanyak itu pula. Lebih lanjut, sehubungan
74 Muhammad Ali Ashobuni, Attibyun fi ulumil Qur’an, penerjemah, Muhammad Qodirun
Nur, (Jakarta:Pustaka Amani, 1988), h. 285.
dengan analisa yang penulis lakukan pada terjemahan surat Ar-Rahman
karya H.B. Jassin yang akan dibandingkan dengan terjemahan
Departemen Agama, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan:
Agar jenis penerjemahan Al-Qur'an yang dilakukan oleh H.B. Jassin
bisa ditetapkan, terlebih dahulu dikemukakan contoh-contoh sebagai
sampel. Dalam haI ini penulis mengambil surat Ar-Rahman agar mudah
dibandingkan dengan terjemahan Departemen Agama. Berikut ini adalah
kutipan Ar-Rahman yang secara langsung diambil dari H.B. Jassin
(1991,749-754) tanpa perubahan.
Dari contoh contoh di atas, dapat dikatakan bahwa penerjemahan
yang dilakukan oleh H.B. Jassin terdapat kesamaan dengan terjemahan
Departemen Agama yaitu adanya footnote sebagai penjelas dari kata-kata
yang tidak dipahami seperti pada ayat 17, 46, dan 62. Dapat dikatakan
pula bahwa penerjemahannya secara harfiah (walaupun tidak mutlak).
Dikatakan demikian karena terdapat kata-kata yang tidak dapat diketahui
maksud dan penggunaannya sebagai akibat logis dari penerjemahan
tersebut. Hal ini terjadi karena tidak selamanya bahasa penerima mampu
membunyikan bahasa sumber seperti yang dimaksud oleh bahasa sumber
itu sendiri. Untuk itulah tim penerjemah Al-Qur'an Departemen Agama
daIam mengatasi kalimat terjemahan yang tidak dipahami memberikan
tambahan kata-kata atau catatan. Kata-kata yang tidak dapat diketahui
maksud penggunaanya pada terjemahan H. B. Jassin di atas antara lain
ialah :
l. Pada ayat 20 "tiada saling berlewatan" tidak jelas apa yang
dimaksudkan dengan kalimat itu. Terjemahan Departemen Agama
Republik Indonesia melalui catatan kaki nomor 1444 mengatakan : bahwa
"laa yabghiyan" menurut ahli tafsir maksudnya adalah "masing-
masingnya tidak menghendaki". Dengan demikian maksud ayat 19-20
ialah bahwa ada dua laut yang keduanya tercerai karena dibatasi tanah
genting. Tetapi tanah itu tidak dikehendaki (tidak diperlukan) maka pada
akhirnya, tanah itu dibuang (digali untuk keperluan lalu lintas) maka
betemulah dua lautan itu seperti Terusan Suez dan Terusan Panama.75
2. Pada ayat 29 "... Ia penuh kesibukan" tidak jelas maksudnya.
Terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama Republik Indonesia, melalui
catatan kaki nomor 1445 menjelaskan, maksudnya : Allah senantiasa
dalam keadaan menciptakan; menghidupkan, memelihara, memberi
rezeki, dan lain-lain .76
3. Pada ayat 41, "dicekam pada ubun-ubun dan kaki-kakinya", tidak jelas
apa yang dimaksudkan dengan dicekam pada ubun-ubun dan kaki-
kakinya. Terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama Republik Indonesia
melalui catatan kaki nomor 1446 mengatakan maksudnya : pada hari
berhisab tidak lagi didengar alasan-alasan dan uzur-uzur yang mereka
kemukakan.
4. Pada ayat 46, "Dua sorga". Apakah yang dimaksud dengan dua surga.
Ada kesamaan antara Jassin dengan Departemen Agama. Tetapi
terjemahan Al-Qur'an Departemen Agama Republik Indonesia melalui
catatan kaki nomor 1447 mengatakan yang dimaksud dua surga selain
yang dikatakan oleh H.B. Jassin. Departemen Agama memberi tambahan
yaitu surga untuk manusia dan surga untuk jin. 77 H.B. Jassin dalam
menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an kadangkala berusaha memberikan
kejelasan makna dengan cara membuat kata-kata dalam kurung seperti
yang dilakukan oleh tim penerjemah Al-Qur'an departemen Agama,
misalnya :
1. Pada ayat 2, "mengajari (Muhammad) Al-Qur'an", darimana datangnya
kata (Muhammad) secara harfiah, dalam bahasa sumber tidak ada yang
tepat diartikan yang demikian, akan tetapi kalau secara maknawiyah bisa

75 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Madinah Al-Munawaroh,


loc.cit.

76 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Madinah Al-Munawaroh,


loc.cit.

77 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Madinah Al-Munawaroh,


loc.cit.
saja ada, sebagaimana dalam tafsirnya lbnu Katsir. Departemen Agama
tidak menggunakan kata tersebut dalam terjemahannya.
2. Pada ayat 12 kalimat 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 (Al-habbu) diartikan dengan padi-
padian, padahal dalam bahasaArab padi itu 􀀣􀀣 (ruzzun). Secara harfiah
dalam bahasa sumber kata Al-habbu diterjemah "biji-bijian di dalam kulit"
walaupun padi itu tennasuk biji- bijian yang berkulit tetapi tidak tepat
apabila kata Al-habbu diterjemahkan dengan bijibijian di dalam kulit.
Departemen Agama RI sendiri menerjemahkan kata Al-habhu dengan biji-
bijian yang berkulit.
3. Pada ayat 13, "maka karunia manakah dari Tuhanmu yang kamu
(manusia) dan kamu ( jin) dustakan?" kata Arab mana yang diartikan
dengan " dari". Dalam ayat ini tidak ada kata atau 􀀣􀀣 atau 􀀣􀀣. Mengapa
lalu muncul makna "dari". Jadi keberadaan kata dari semata-mata
pertimbangan maknawi, sedangkan Departemen Agama kata tersebut
tidak ada. Ayat ini berjumlah 31 kali disebut dengan terjemahan yang
sama.
4. Pada ayat 14, "tanah liat kering berbunyi" dari mana datangnya kata
"berbunyi". Secara harfiah dalam bahasa sumber tidak ada kata yang
tepat diartikan dengan "berbunyi". Dalam kamus kontemporer Arab-
Indonesia ditemukan kata tersebut dengan arti "suara bising" atau
"keramaian". Kata 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 dalam terjemahan Departemen Agama
diterjemahkan secara harfiah yaitu "tanah kering".
5. Pada ayat 56," dalam keduanya (gadis-gadis)". Dalam ayat ini tidak ada
kata yang menunjukkan arti "gadis-gadis" sedangkan Departemen Agama
menerjemahkan dengan "bidadari-bidadari" kalau dilihat daripada sifat
"bidadari-bidadari" yang masih gadis tentunya orang tidak akan
menyangkalnya akan tetapi gadis-gadis tidak sama dengan bidadari-
bidadari.
6. Pada ayat 64. "hijau tua warnanya (karena daun yang rimbun)".
Darimanakah asalnya kata "karena daun yang rimbun". Dalam bahasa
sumber tidak ada yang tepat diartikan dengan karena daun yang rimbun.
Sementara Departemen Agama tidak menggunakan kalimat tersebut
dalam terjemahannya hanya ada penambahan kata kelihatan yang tidak
terdapat dalam terjemahan H.B. Jassin.
7. Pada ayat 66, "dalam (masing-masing dari) keduanya". Apabila dillhat
dari susunan bahasa sumber tidak ditemukan kata-kata yang dapat
diterjemahkan dengan "masingmasing dari". Dalam ayat ini tidak ada kata
􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 dan 􀀣􀀣. Menurut penulis keberadaan kata-kata "masing-masing
dari" hanya karena pertimbangan maknawi.
8. Pada ayat 70 dan 72 kata 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 dan ⌦􀀣􀀣􀀣􀀣 diterjemahkan
dengan hauri-hauri. Menurut penulis H.B. Jassin melakukan Arabisasi
dalam terjemahannya karena dalam Ensiklopedi Al-Qur' an kedua kata
tersebut salah satu artinya adalah "bidadari" sebagaimana dalam
terjemahan Departemen Agama.
9. Pada ayat 78, H.B. Jassin menerjemahkan kata 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 dengan
"terpujilah". Sedangkan Departemen Agama mengartikannya dengan
"Maha suci". Menurut penulis terjemahan H.B. Jassin tidak tepat karena
dalam kamus Arab-Indonesia sendiri kata 􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣􀀣 diterjemahkan
dengan "Maha luhur atau Maha suci". Dari 78 ayat yang ada dalam surat
Ar-Rahman ini H.B. Jassin maupun tim penerjemah Al-Qur'an Departemen
Agama menerjemahkan surat ke-55 ini mendekati harfiah, dikatakan
demikian karena :
1. Sudah diartikan sesuai dengan padanan kata, meskipun ada juga yang
susunannya tidak sesuai dengan susunan bahasa sumber. Misalnya pada
ayat 56 dan ayat 74.
2. Sudah diartikan sesuai dengan padanan kata, tetapi terdapat
penambahan kata-kata baik di dalam kurung ataupun tidak. Dalam hal ini
contoh penerjemahan H.B. Jassin pada ayat 2, 14, 17, 20, 24, dan ayat 31.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan yang
dilakukan oleh H.B. Jassin dan tim penerjemah Departemen Agama
terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Penerjemahan yang
dilakukan oleh kedua pihak ini hampir mendekati harfiah, dan ada pula
maknawiah atau tafsiriyah. Perbedaan yang paling mencolok adalah. H.B.
Jasssin menerjemahkan surat Ar-rahman secara puitis sedangkan
Departemen Agama secara prosa.
A. Kesimpulan
Pada sub bagian akhir dari penulisan ini, penulis berusaha
mengambil beberapa kesimpulan dari seluruh hasil penelitian dan analisa
tentang terjemahan Al-Qur'an. Khususnya Bacaan Mulia karya H.B. Jassin.
Kesimpulan-kesimpulan ini dibuat sesuai dengan rumusan-rumusan
masalah sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I.
Kesimpulan-kesimpulan tersebut adalah :
1. Setiap muslim sudah tentu berkeinginan untuk dapat membaca dan
memahami isi kandungan Al-Qur'an dalam gaya bahasanya yang asli,
tetapi kesempatan yang demikian tidak semudah yang dibayangkan, oleh
karenanya terjemahan dan tafsir ke dalam berbagai bahasa di dunia
sangat membantu proses tersebut. Sebagaimana yang dilakukan oleh
syah Abdul Qodir dari Delhi, ataupun para penerjemah Indonesia seperti
Mahmud Yunus, Zinuddin Hamidy, dan lain-lain. Terjemahan-terjemahan
Al-Qur'an tersebut ada yang ditulis secara prosa dan sastra.
2. Terjemahan adalah menyampaikan pembicaraan kepada orang yang
belum menerimanya atau menjelaskan dengan rnenggunakan bahasa
aslinya, atau dengan bahasa yang lebih sederhana. Terjemah adalah
mengalih pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
3. Usaha penerjemahan Al-Qur'an yang dilakukan oleh penerjemah-
penerjemah Eropa (Orientalis) bermaksud menandingi Islam dan
berkecenderungan atau bertendensi negatif dalam rangka mencapai
target-target mereka yaitu menyudutkan Islam. Di antara mereka adalah
Ladovicci Meracci, A. Ross, Du Ryer, dan J.M. Rodwell. Usaha yang hina
tersebut diikuti oleh para sarjana muslim yang berusaha menerjemahkan
secara obyektif seperti DR. Muhammad Abdul Hakim Khan dan
Muhammad Mannaduke Pickthall.
4. Beberapa kelemahan dalam terjemahan Al-Qur'an adalah masalah
bahasa terjemahan, tidak menguasai bahasa sasaran, teknik penulisan
dan transliterasi.
5. Cara kerja H.B. Jassin dalam menerjemahkan Al- Qur'an adalah dengan
mempelajari berbagai terjemahan Al-Qur'an dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Asing serta mempergunakan bermacam-macam kamus bahasa
Arab, daftar kata korkondansi, dan berbagai buku ilmu bantu untuk dapat
menyokong berbagai pengertian.
6. Berbagai hambatan dalam penerjemahan "Bacaan Mulia di antaranya
adalah kekakuan dalam terjemahan, tidak adanya tanda-tanda baca yang
jelas sehingga akan menghasilkan pengertian yang berbeda, dan jenis
kata sambung yang terbatas dan masing-masing mernpunyai fungsi yang
dapat berbeda."
7. Seluruh pola penerjemahan dalam Bacaan Mulia pada umumnya
bersifat puitis, begitu pula pada surat Ar-Rahman, dan pada ayat yang
diulang sebanyak 31 kali langsung menjelaskan maksud ayat. Namun
tidak sama kalimat-kalimat prosa dapat disusun secara visuil menjadi
puisi, karena tergantung pada pmilihan kata yang dipergunakan.
B. Saran-Saran
1. Menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga pemerintah yaitu
departemen Agama RI untuk pelatihan penerjemahan Al-Qur'an dan
tafsirnya serta pembuatan kamus Al-Qur'an.
2. Mengadakan berbagai seminar dan lokakarya dengan para ahli dan
penerjemah, khususnya penerjemah Al-Qur'an, dan bimbingan yang
diperuntukkan bagi para peminat pemula agar tidak terjadi kesalahan
dalam penerjemahannya.
3. Mendirikan lembaga-lembaga atau biro-biro penerjemahan Arab-
Indonesia dan sebaliknya secara profesional sebagai sarana
pengembangan bakat keterampilan menerjemah bagi para peminatnya.
4. Mengadakan buku-buku tafsir berbahasa Indonesia semacam tafsir Al-
Azhar demi memperkaya intetektualitas Islam di tanah air sebagai bukti
pemahaman yang meningkat kepada kitab suci Al-Qur'an.
5. Menyusun program penerjemahan buku-buku berbahasa Arab dan
pemeliharaannya oleh sebuah lembaga konsorsium dari perguruan-
perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, beserta jumlah buku yang
akan di terjemahkan dan diterbitkan tiap tahun.
6. Mengkaji ulang berbagai terjemahan Al-Qur’an baik yang berbahasa
Indonesia maupun berbahasa Asing guna memperoleh informasi dari tiap-
tiap terjemahan tersebut yang pada akhirnya menemukan terjemahan Al-
Qur’an yang layak berlaku di masyarakat.
7. Membuat sejarah penerjemahan Al-Qur’an secara akurat dan secara
detail, karena sampai saat ini berbagai literatur tentang penerjemahan ini
belum ditemukan yang memiliki data akurat dan lengkap.

Kasus Terjemahan H. B. Jassin

Oleh Abdurrahman Wahid


Akhirnya, terjemahan Al Qur'an yang dilakukan H.B Jassin jadi juga
terbit cetakan keduanya."Bacaan Mulia", penerbit Yayasan 23 januari
1942, Jakarta, 1982, xxxviii +891 halaman. Cetakan kedua itu terbit di
sekitar hari ulang tahun Jassin yang ke-65, menjadi semacam hadiah
ulang tahun baginya. Mungkin sebagai persiapan memasuki 'masa
pensiun' - walaupun dalam kenyataan tidak akan pernah ada masa seperti
itu bagi orang seperti penerjemah yang satu ini.
Tentu saja suara yang menentang dan tidak menyetujui kerja Jassin
itu juga akan berkumandang lagi. Walaupun mungkin tidak akan seramai
dulu. Argumentasi demi argumentasi akan dilancarkan, mungkin sebagian
besar pengulangan apa yang telah dilontarkan di masa lalu.
Tetapi masih belum jelas apakah akan mampu semua serangan atas
'Bacaan Mulia' itu menahan beredarnya karya terjemahan itu di tengah-
tengah masyarakat. Yang menarik perhatian dalam kasus ini adalah
konteksnya: penolakan lembaga-lembaga agama yang telah mapan atas
dasar alasan keagamaan yang bersifat formal, ternyata tidak mampu
menghentikan beredarnya sebuah karya yang dianggap tidak memenuhi
kriteria sebagai 'karya agama'. Dengan kata lain, sesuatu yang secara
keagamaan formal dinilai 'mbeling', ternyata dapat merebut hati
masyarakat.
Adapun keberadaan yang diajukan terhadap terjemahan Jassin itu
menyangkut hal-hal yang prinsipiil, dipandang dari sudut ajaran Islam.
Secara umum, serangan dan keberatan dapat dibagi dua. Pertama
serangan yang meragukan kompetensi Jassin sebagai penerjemah.
Khususnya menyangkut kemampuannya memahami Al Qur'an yang
diturunkan dalam bahasa Arab Klassik. Jika kemampuan itu tak cukup
sahkah hasil terjemahannya sebagai sesuatu yang secara formal tidak -
dididik untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama Islam, melakukan
kerja penerjemahan kitab suci Al Qur'an?
Di sini masuk pula sejumlah tuduhan yang menolak kepatutan moral
(moral fitness) Jassin pribadi untuk melakukan 'kerja keagamaan'
tersebut.
Tadinya diharapkan akan terjadi perdebatan terbuka. Sejumlah
forum yang akan melakukan dialog seperti itu bahkan telah dipersiapkan.
Bahkan penulis kolom inipun pernah diminta oleh Koordinator Dakwah
Islamiyah (KODI) DKI Jakarta Raya untuk mempersiapkan sebuah makalah
tentang masalah di atas. Sayang, semua harapan itu tidak terpenuhi
sama sekali.
Sebab pertama adalah karena tidak adanya perkenan dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, lembaga pemerintahan yang
diserahi menyelesaikan masalah penerjemahan Al Qur'an oleh Jassin itu.
Alasan yang dibisik-bisikan ialah: kasus ini terlalu sensitif, bisa
menimbulkan ‘gejolak di masyarakat'.
Masalahnya lalu diserahkan kepada sebuah team peneliti, tanpa
diketahui apa yang diperdebatkan di dalamnya. Padahal masalah yang
dipersoalkan sebenarnya menyangkut sejumlah hal yang sangat menarik
untuk diketahui kejelasannya. Misalnya, bagaimana sesuatu yang indah
secara manusiawi harus dihadapkan kepada sikap formal agama? Apakah
persyaratan formal yang harus dimiliki seorang penerjemah Al Qur'an
menentukan keabsahan setiap karya terjemahan. Kitab Suci itu?
Dapatkah dilakukan terjemahan tidak langsung atas Al Qur'an tanpa
penguasaan mendalam atas bahasa Arab? Adakah pengaruh moralitas
dan perilaku pribadi seseorang penerjemah terhadap sah tidaknya
karyanya - terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan yang dilancarkan
terhadap Jassin? Sayang, lepaslah sudah peluang untuk memahami hal-
hal tersebut secara mendalam. Padahal secara keseluruhan hal-hal itu
dapat juga ditelusuri adanya dalam banyak 'kasus-kasus' lain di bidang
keagamaan. Sebagaimana setiap kasus yang dipecahkan secara
institusional belaka, tanpa perhatian cukup kepada aspek intelektualnya,
penanganan 'di bawah tangan' atau 'Bacaan Mulia'-nya H.B.Jassin
sebenarnya hanya menunda persoalan belaka. Kemudian hari, toh masih
akan ada orang melakukan kerja penerjemahan Al Qur'an, bukan?
(Sumber: TEMPO, 21 Agustus 1982)

Kitab Para Penyair Tuhan tidak suka para penyair, kecuali yang
bertakwa.

LARUT MALAM. Sesudah salat Isya, dia mulai mengetik. Lampu 40 waat
dengan kap khusus menyorot Alquran yang terbuka. Lirih-lirih terdengar
surah an-Nisaa dari qariah favoritnya, Saidah Ahmad. Dia merenung.
Dipasangnya kaset lain dan terdengarlah suaranya melantunkan surah
Yassin. Disusul terjemahannya dalam puisi bahasa Inggris, petikan dari
Yusuf Ali. Juga suaranya sendiri, seperti deklamasi. Membangun suasana
seperti itu membantu pekerjaannya menerjemahkan Alquran. Setelah
menelan Bodrex, dia mengetik lagi. H.B. Jassin sedang mengerjakan
terjemahan Alquran. “Saya melihatnya dari sudut sastra. Dan ini bukan
tafsir melainkan terjemahan - dalam bentuk puisi,” ujar Jassin dalam
wawancara dengan Tempo, 29 Maret 1975.
Sosoknya tak pernah lepas dari kontroversi. Belum juga rampung masalah
cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, dimuat di
majalah Sastra edisi Agustus 1968 dan dianggap menghina Tuhan, yang
membuatnya duduk di kursi pesakitan dan mendapat vonis setahun
penjara dengan masa percobaan dua tahun –salinan putusannya tak
pernah dia terima– H.B. Jassin mempersiapkan sebuah karya yang juga
memantik kegalauan sejumlah ulama.Sehari setelah pemakaman istrinya,
Arsiti, pada 12 Maret 1962, Jassin menggelar tahlilan di rumahnya selama
seminggu. Pada malam kedelapan, ketika tak ada lagi orang tahlilan,
Jassin membaca Alquran sendiri. Hatinya terketuk. Keindahan bacaan dan
bahasa Alquran mengilhaminya untuk menerjemahkan Alquran dengan
bahasa puisi. Dalam pengantar cetakan kedua, Jassin juga mengaitkannya
dengan latar belakang bacaan Alquran dari sang nenek dan serangan
Lekra kepada dirinya di masa Orde Lama. “Orang sekarang berlomba-
lomba menerbitkan tafsiran yang tebal-tebal, tapi saya kira yang tak
kurang pentingnya ialah suatu terjemahan saja yang bisa
dipertanggungjawabkan dari sudut keindahan bahasa dan sudut ilmiah…,”
tulis Jassin dalam suratnya kepada B. Soelarto, 17 Desember 1964,
sebagaimana termuat dalam Surat-surat 1943-1983.
Dalam mengerjakan karyanya, Jassin mengumumkan bahwa dia
bermaksud membuat terjemahan baru yang bukan hanya mengungkap
makna dari teks Arabnya, namun juga mengabadikan keindahan
puitisnya. “Untuk pertama kalinya, dalam konteks Indonesia, seorang
penerjemah secara terbuka memberikan preseden bagi tercapainya
padanan fungsional yang signifikan pada teks sasaran,” tulis Peter Riddell.
Sebelum mengerjakan karyanya, Jassin mempelajari Alquran dari
berbagai terjemahan. Ada karya Mohammed Marmaduke Pickthall, The
Meaning of the Glorious Koran, yang terjemahannya, tanpa teks Alquran,
disahkan Senat Dewan Universitas Al-Azhar. Ada pula karya John Medows
Rodwell (The Koran), Arthur J. Arberry yang non-Muslim (The Koran
Interpreted), Yusuf Ali (The Holy Koran), hingga terjemahan Departemen
Agama (Al-Qur’an dan Terjemahannya). Dia juga membuka kamus, A
Dictionary and Glossary of the Koran, susunan John Penrice, yang memuat
semua kata dalam Alquran.
Sepuluh tahun kemudian, setelah mempelajari berbagai terjemahan
dan mencoba mengetahui artinya kata demi kata, Jassin merasa lega. “…
alhamdulillah sekarang saya sudah sanggup menerjemahkan tidak hanya
dengan akal, tapi terutama dengan hati dan perasaan,” tulis Jassin dalam
suratnya dari Leiden kepada Kasim Mansur tanggal 24 Oktober 1972.

Jassin berada di Negeri Belanda pada 1972 karena mendapat beasiswa


dari Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda untuk
melakukan riset pembaruan sastra Indonesia dan mempelajari pengajaran
bahasa dan sastra di berbagai negara Eropa. Istrinya, Lily (Yuliko Willem),
ikut dengan ongkos sendiri. Di Belanda pula Jassin mencoba
menyelesaikan karyanya.
Kasim Mansur, sastrawan asal Surabaya yang juga sahabat Jassin,
adalah orang yang mendorong dan membantu Jassin dalam
menyelesaikan karya ini. Setidaknya ini terlihat dalam surat Jassin kepada
Kasim Mansur: “Terima kasih Sim, atas terjemahan Abdullah Yusuf Ali yang
saya dapat dari Kasim tiga tahun yang lalu dan atas anjuran Kasim untuk
menerjemahkan Alquran. ”Jassin tidaklah asing dengan bahasa Arab.
Selama tiga tahun dia mempelajari bahasa Arab dari A.S. Alatas, dosen
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan penterjemah Al-Majdulin
Musthafa Lutfi Al-Manfaluthi –selain pelajaran ilmu-ilmu Islam dari
islamolog terkenal Prof Pangeran Arjo Hoesin Djajadiningrat. Jassin juga
menerjemahkan buku pelajaran teologi dasar al-Jawahirul Kalamiyah
sebagai latihan. “Hanya ia memang tidak secara langsung mempelajari
ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi yang merupakan gerbang bagi
penguasaan ilmu-ilmu alat untuk seorang pentafsir (bukan sekadar
penterjemah) Quran,” tulis Tempo, 4 Oktober 1975.

Sudah sepuluh tahun pula Jassin membaca Alquran berurutan dari


permulaan hingga habis dan kemudian diulang lagi. Jassin memulai
penerjemahan surah Al-Mu’minun karena kebetulan sedang mempelajari
surah ini. Sesudah itu, dia akan mengerjakan surah Yassin, yang populer
dalam kehidupan orang Indonesia. Kemudian surah Ar-Rahman dan Al-
Waqiah karena dia anggap secara estetis paling indah dalam seluruh
Alquran karena bunyi dan iramanya. Sesudah itu dia kembali akan
menerjemahkan surah-surah sesudah Al-Mu’minun.

“Aduh Sim, makin didalami makin nikmat. Mudah-mudahan saya berhasil


mengungkapkan kembali keindahan bentuk dan kandungannya,” tulis
Jassin dalam suratnya kepada Kasim Mansur, 26 November 1972.

Sebagian terjemahannya dimuat di Panji Masyarakat dan mendapat


komentar dari kawan-kawannya, yang menganggap karya Jassin akan jauh
dari aslinya karena mendasarkan pada terjemahan bahasa Inggris atau
bahasa lainnya. Dalam surat kepada Kasin Mansur, 9 Desember 1972,
Jassin membantah anggapan itu.
“Mengenai komentar kawan-kawan, saya kira lebih baik saya diam saja.
Yang penting saya harus memberikan bukti. Hanya perlu dijelaskan bahwa
saya menerjemahkan dari Alquran bahasa Arab sebagai induk dan
mempergunakan terjemahan-terjemahan lain sebagai perbandingan dan
memakai pula kamus-kamus dan Konkordansi Flugel untuk mencek
kembali.”

Pada akhirnya Jassin menyelesaikan karyanya dan diterbitkan Djambatan


tahun 1978 dengan judul Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Mushaf dan
kaligrafi dikerjakan Haji R. Ganda Mangundihardja. Buya Hamka dan
Menteri Agama Mukti Ali memberi kata pengantar.

Muncullah kontroversi. Menurut laporan Tempo, 10 Juli 1982, tak


lama sesudah cetakan pertama, beberapa orang serentak menyerangnya
di media. Bermacam surat datang ke Menteri Agama atau Majelis Ulama
Indonesia, minta terjemahan tersebut dicabut dari peredaran. Terbit pula
tiga buku: Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin
oleh Nazwar Syamsu, Padang Panjang, Polemik tentang Al Quranul Karim
Bacaan Mulia oleh H. Oemar Bakry, dan Sorotan atas Terjemahan Quran
H.B. Jassin oleh KH Siradjuddin Abbas.

Umumnya, mereka beralasan Jassin bukanlah ulama yang


mempelajari Alquran secara mendalam sebagaimana layaknya
penerjemah Alquran. Kemampuan bahasa Arabnya juga disangsikan.
Bahkan mereka keberatan pada penggunaan sejumlah istilah dan
ungkapan.

Oemar Bakry, misalnya, menuduh Jassin tak punya cukup bekal


pengetahuan agama untuk mengerjakan sebuah tugas mahapenting
seperti menerjemahkan Alquran. Dia juga menolak pemilihan judul buku
Jassin, yang dia anggap “menolahkan martabat Alquran menjadi sama
dengan buku-buku lain ciptaan manusia. Buku… bacaan bahagia, bacaan
sempurna, bacaan utama, dan lain-lain sebagainya,” sebagaimana dikutip
Peter Riddell.
Sebenarnya Jassin bukanlah orang pertama yang melakukannya.
Dalam bahasa daerah, R. Hidayat Suryalaga secara bertahap menerbitkan
penjelasan Alquran dalam bahasa Sunda dalam beberapa jilid, dengan
judul Saritilawah Basa Sunda, yang dimulainya pada 1944. Menurut Peter
Riddell, pendekatannya mengingatkan pada karya Jassin, Al-Quran:
Bacaan Mulia. Suryalaga menuliskan terjemahannya berdasarkan
terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa Indonesia dan Jawa, dan
menuangkannya ke dalam dangding, syair tradisional Sunda. Namun
karyanya tak memicu penolakan seperti dialami Bacaan Mulia Jassin.

“Ini mungkin disebabkan oleh dua hal; pertama, teks bahasa sasaran itu
ditulis dalam salah satu bahasa daerah minoritas. Kedua, dan mungkin
yang paling penting, Jassin telah meninggalkan jejak yang dapat
dimanfaatkan oleh penerjemah-penerjemah lainnya,” tulis Peter Riddell
dalam “Menerjemahkan Al-qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia”,
termuat dalam Sadur.

Jassin sendiri sadar bahwa karyanya akan menimbulkan polemik.


Sebelum naskah itu terbit, Jassin sempat mempresentasikannya dalam
sebuah acara di Musabaqah Tilawatil Quran Nasional tahun 1975 di
Palembang. Jassin membacakan ceramahnya sepanjang 11 halaman,
menuturkan pengalaman pribadinya mengapa dia tertarik pada Alquran
dan kemudian berusaha menerjemahkannya secara puitis. Salah satunya,
ujar Jassin sebagaimana dikutip Tempo 4 Oktober 1975, semua
terjemahan yang sudah dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia ditulis
dalam bahasa prosa. Tak mengherankan karena para penerjemah –
umumnya guru agama– mementingkan kandungan kitab suci itu. Padahal
sebenarnya bahasa Alquran sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun
sebagai puisi dalam pengertian sastra.

Pembicaraan juga memasuki masalah teknis penerjemahan. Kritik


pun berdatangan. Bagi Jassin, kritik semacam itu bisa dialamatkan ke
terjemahan mana pun sebab tak ada satu terjemahan yang disepakati
semua orang. Alquran, katanya, demikian besar sehingga tak akan habis
diterjemahkan. Toh dia mau menerima sejumlah masukan. Dia juga akan
meminta pendapat orang dalam koreksi terakhir naskahnya.

Jassin mendapat dukungan dari Ustadz Mukhtar Luthfi al-Anshari,


ketua panitia Majelis Ulama DKI yang mengoreksi terjemahannya. Katanya
kepada Tempo, 10 Juli 1982: "Kebanyakan ulama sebenarnya hanya
berpegang pada sebagian saja dari kitab-kitab tafsir andalan sebagai
perbandingan." Dan di Indonesia, "biasanya yang dipegang terutama
tafsir Ibnu Katsir."

Jassin dipanggil menghadap Majelis Ulama Daerah Istimewa Jakarta


pada 25 Agustus 1976 untuk menjawab berbagai tuduhan seputar
terjemahannya.

Atas reaksi itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia


(MUI) bergerak. Setelah Jassin diundang dalam satu sidang para ulama,
MUI memutuskan menyerahkan masalah ini kepada MUI DKI Jakarta yang
kemudian membentuk sebuah panitia bernama Tim Perbaikan Terjemahan
Al-Quranul Karim Bacaan Mulia untuk meneliti karya itu. Panitia diketuai
oleh Mukhtar Luthfi al-Anshari. Pekerjaan itu makan waktu tiga tahun,
selesai Maret 1982.

Akhirnya karya itu terbit bertepatan dengan hari ulang tahun Jassin
ke-65. Penerbitnya Yayasan 23 Januari 1942, yang didirikan tokoh-tokoh
dari Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M. Gobel, Ir.
Ciputra, Mukhtar Peju, dan H.B. Jassin sendiri. Pada 1984, Yayasan 23
Januari 1942 juga menerbitkan karya Jassin lainnya, Juz Amma Berita
Besar.

“Maka, dengan usaha Dr H.B. Jassin menulis terjemahan Alquran,


dia telah sampai pada batas yang dia sendiri tidak dapat mundur lagi buat
turut memperkuat perkembangan penyebaran Islam di tanah air kita
bersama-sama dengan teman-temannya yang lain,” ujar Hamka
mengenai terjemahan AlQuranul Karim Bacaan Mulia, seperti dikutip
Pamusuk Eneste, H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.
Satu masalah rampung, Jassin kembali membuat kontroversi. Bukan
hanya terjemahan Indonesia yang ingin dipuitisasikan, Jassin pun hendak
menyusun urutan tulisan Alquran secara puitis. Sejak 1991, dia menulis
ulang Alquran dalam bentuk tipografi puisi, diurutkan secara simetris. Jika
ujung ayat itu berbunyi akhir ayat "nun", misalnya, bunyi ujung-ujung ayat
berikutnya diatur pada yang berbunyi "nun" juga, begitulah kira-kira.
Penulisannya dilakukan oleh kaligrafer D. Sirodjuddin A.R. Dia sudah
mempersiapkan judulnya, Al Quran Berwajah Puisi.

Yang memotivasi Jassin: "Mengapa Alquran yang begitu indah


bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah
perwajahannya."

Jassin bukanlah sastrawan pertama. Mohammad Diponegoro (Dipo)


sudah melakukannya, meski hanya juz 29 dan 30. Dipo menerbitkan buku
Pekabaran, Puitisasi Terjemahan Al Qur′an Juz ′Amma, yang diterbitkan
Budaya Jaya pada 1977. Bersama karya-karya Djamil Suherman dan
Kaswanda Saleh, terjemahan puitis juz 30 Alquran gubahan Dipo
dikumpulkan pengarang A. Bastari Asnin dalam Kabar dari Langit, yang
meski tak jadi diterbitkan kerap dideklamasikan dan merupakan awal
kegiatan puitisasi di belakang hari. Dipo sendiri tak menganggap dirinya
pelopor. Dia menyebut penyair Rifai Ali pada 1930-an sebagai perintisnya.

Jasssin baru mengerjakan 10 juz ketika muncul imbauan agar tak


melanjutkannya. ”Mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya,” ujar
ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, lembaga yang berwenang
mengesahkan penerbitan Alquran, seperti dikutip Tempo, 13 Februari
1993.

MUI mengajukan keberatan. Dalam suratnya antara lain disebutkan,


naskah H.B. Jassin tak sesuai dengan mushaf Al Imam, mushaf (tulisan
naskah Quran) yang menjadi standar di dunia Islam, termasuk Indonesia.
Susunan kalimat ayat yang dikerjakan Jassin juga tak mengindahkan
ketentuan qiroatnya, antara lain soal pemenggalan kalimat.
Tentu saja Jassin kecewa. Soalnya, jauh sebelum ada larangan itu,
dia sudah menghubungi orang-orang seperti Ketua Lajnah Pentashih
Mushaf Al Quran Hafizh Dasuki, Menteri Agama Munawir Sjadzali, dan
Ketua MUI Hassan Basri.

Jassin melayangkan surat kepada Hafizh Dasuki dan Hasan Basri.


Dia mempertanyakan keberatan kedua lembaga tersebut. Misalnya,
tentang apa saja mudarat dan manfaat kreasinya, tentang Alquran yang
beredar sekarang seragam dengan mushaf Al Imam yang asli, juga
tentang ketentuan-ketentuan mengenai qiraat yang paling asli.

Alquran berwajah puisi urung terbit hingga kini.

Jassin menyadari surat Asy Syu’araa (para penyair) menyebutkan


bahwa Tuhan tak suka pada penyair. Tapi, ada sambungannya,”kecuali
orang-orang yang takwa,” ujar Jassin dikutip Tempo.

AL-QUR’ĀN AL-KARĪM
Tidak diragukan lagi bahwa sejarah tafsir Alquran berlangsung
melalui berbagai tahap dan kurun waktu yang panjang, sehingga
mencapai bentuknya yang kita saksikan sekarang ini, berupa tulisan
berjilid-jilid banyaknya, yang masih berupa tulisan tangan. 78

Dalam konteks ini, penafsiran Alquran telah dimulai sejak


Alquran itu disampaikan Nabi Muhammad saw, kepada umatnya. Hal
ini merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dibantah oleh siapa
pun, termasuk oleh sejarawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun
non-Muslim. Fakta yang mendukung penafsiran Alquran sangat valid
dan mutawātir sehingga tidak mungkin ditolak. 79

78[1] Lihat Shubhi al-Shālih, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Tim
Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Al-Quran (cet. VII; Jakarta: Pustaka
Pirdaus, 1999), h. 383

79[2] Lihat Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (cet I;


Solo : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 4
Memahami makna dan kandungan Alquran adalah sangat
penting, karena sebagai sumber ajaran Islam yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, di samping Alquran berfungsi sebagai
petunjuk, ia juga sebagai pembeda, yang membedakan antara yang
hak dan yang bathil, antara yang benar dan yang salah.

Sebagai sumber ajaran Islam, Alquran memiliki sistem ajaran


yang tidak hanya mengatur hubungan antara sesama manusia,
termasuk juga hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Ajaran tersebut tercakup dalam Alquran yang meliputi aspek akidah,
80
syari’ah dan akhlak.

Sebagai kitab suci yang mengatur tata cara kehidupan manusia,


maka tentulah upaya-upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran pada
dasarnya telah menjadi bagian penting dalam kehidupan umat Islam,
khususnya kalangan cendekiawan Muslim (mufassir) sejak dahulu
sampai sekarang. 81 Bahkan dalam sejarah awal Islam, Rasulullah saw
berserta sahabatnya telah melakukan kegiatan tersebut.

Kegiatan menafsirkan ayat-ayat Alquran tidak hanya terbatas


pada daerah-daerah tertentu seperti Arab Saudi, sebagai tempat
dimana sebagian ayat-ayat Alquran diturunkan, tetapi telah tersebar
ke pelosok kawasan-kawasan Muslim, termasuk tokokh yang
berupaya menggali dan mengkaji kandungan-kandungan Alquran
dengan bentuk, metode dan corak yang berbeda-beda yang
dituangkan ke dalam tafsir mereka masing-masing.

80[3] Lihat selengkapnya Wahbah al-Zuihaily, Ushūl al-Fiqh al-Islāmiy, juz I (Cet. II;
Bairūt: Dār al-Fikr, 1996), h. 438

81[4] Dalam perkembangan tafsir aq dapat dikelompokkan dalam beberapa periode


:1. Periode Ulama Mutaqaddimīn (abad III – VIII H / IX – XIII)
2. Periode Ulama Mutaakhkhirīn (abad IX – XII H / XIII – XIX M)
3. Periode Ulama Modern (abad X / XIX M sampai sekarang).
Lihat Nashruddin Baidan, op. cit., h. 13-20
Salah satu di antara mufassir yang dimaksud adalah Dr. HB.
Jassin dengan karya tafsirnya Al-Qur’ān al-Karīm Bacaan Mulia”.
Berdasarkan latar belakang seperti yang yelah dipaparkan, maka
makalah ini akan menganlisis bentuk, metode dan corak penafsiran
yang digunakan HB. Jassin, termasuk kritik penulis terhadap karya
tafsirnya yang meliputi keistimewaan dan kekurangan Al-Qur’ān al-
Karīm Bacaan Mulia tersebut.

II. BIOGRAFI HB. JASSIN


Nama lengkapnya adalah Hans Bague Jassin, lahir di Gorontalo, 31 Juli
1917 dan meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Ia beristeri tiga orang,
yakni Tientje Van Buren (cerai), Arsiti (meninggal) dan Yuliko Willem.
Sedangkan anaknya empat orang yakni Hannibal Jassin, Mastinah
Jassin, Yulius Firdaus Jassin serta Helena Magdalena Jassin. 82 [5]
Mengenai riwayat pendidikannya adalah sebagai berikut :
Selanjutnya hubungi Mahmud Suyuti 08124288374

REVIEW TAFSIR AL-QURAN BACAAN MULIA

KARYA HB JASSIN
Oleh: Darman, Enjen Zaenal Mutaqin, Fahmi Muhammad Tosin
A. Pendahuluan
Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang
abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi
manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian
rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput
dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat
universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan
meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu.
Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai
dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai
perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk
memahami dan menafsirkan al Qur’an.
82[5] Diakses lewat internet : field/D:\ My. Dokuments/MUS/HB. Jassin, 1/12/2005,
h. i
Perkembangan penafsiran al Qur’an di Indonesia agak berbeda
dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan
tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-
Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar
belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka,
maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa
al Qur’an sehingga proses penafsiran juga cepat dan pesat. Hal ini
berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa
Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai
dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru
kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan
rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an
di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan
yang berlaku di tempat asalnya.
Dari segi pembabakan, Howard M. Federspiel pernah melakukan
pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia
ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX
sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan
penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan
cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua,
yang muncul pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan
dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya penambahan
penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang
disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun
1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-
komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan
terjemahnya.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya
benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya
tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al
Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syekh
Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat
tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar
karya Hamka, hanya saja secara umum karya yang ada memang
cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel.
Perkembangan terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan
karya tafsir yang mengarah pada kajian tafsir maudhu’i. Hal ini banyak
dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa
buku tafsir tematik seperti Lentera Hati, Membumikan al Qur’an dan
Wawasan al Qur’an. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis
yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari
tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.
Dalam konteks perkembangan tafsir di Indonesia, terjemah al
Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada
dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna
al Qur’an ke dalam bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur
interpretasi manusia terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam
bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya juga disertai dengan
catatan kaki tentang makna satu ayat. Terjemah al Qur’an juga
dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada dasarnya terjemah
juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna al Qur’an ke dalam
bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur interpretasi manusia
terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana,
terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna
satu ayat.
Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan review atas tafsir
Bacaan Mulia karya HB Jassin yang meliputi biografi penulis, latar
belakang penulisan, metode, contoh penafsiran, dan gagasan revolusioner
penulis dalam tafsirnya.
B. Biografi Penulis
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi H.B. Jassin
selalu dihubungkan dengan dokumentasi sastra Indonesia dan H.B Jassin
adalah orang yang secara penuh mencurahkan perhatiannya kepasda
kerja dokumentasi. Itulah sebabnya, orang yang bermaksud mencari
informasi tentang sastra Indonesia tidak dapat melepaskan dirinya
dengan hasil pengumpulan bahan dokumentasi yang disusun oleh H.B
Jassin.Kerja dokumentasi bagi H.B Jassin adalah kerja yang sudah
dimulainya sejak mudanya dengan penuh kecintaan.
Ia berasal dari keluarga Islam yang taat. Ayahnya Bague Mantu
Jassin, pegawai BPM (Bataafsche Petroleum Maat-schappij), pernah
bertugas di Balikpapan, sehingga kota itu meninggalkan kenang-kenang
yang manis baginya. Ibunya Habiba Jau, sangat mencintainya. Di kota
Medan ia banyak berkenalan dengan seniman dan para calon seniman,
diantaranya Chairil Anwar. Dalam perjalanannya pulang ke Gorontalo
tahun 1939, ia mampir untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana di
Jakarta. Takdir sengat terkesan dengan Jassin dan mengirim surat ke
Gorontalo, menyatakan ada lowongan di Balai Pustaka. Rupanya surat itu
berlayar bersama-sama dengan Jassin ke Gorontalo. Untuk menyenangkan
orang tuanya, ia bekerja di kantor Asisten Rsiden Gorontalo antara bulan
Agustus sampai Desember 1939, sebagai tenaga magang.
Pada bulan Januari 1940, Jassin mendapat izin dari orang tuanya
untuk memenuhi permintaan Sutan Takdir Alisjahbana.Pada bulan Februari
1940, H.B Jassin mulai bekerja di Balai Pustaka.Ia mula-mula duduk dalam
sidang pengarang redaksi buku di bawah bimbingan Armijn Pane pada
tahun 1940-1942 dan kemudian menjadi redaktur majalah Panji Pustaka
tahun 1942-1945. Setelah Panji Pustaka diganti menjadi Panca Raya, ia
menjabat wakil pemimpin redaksi di tahun 1943 sampai dengan 21 Juli
1947.Tanggal 21 Juli 1947 itulah akhir kariernya di Balai Pustaka.
Setelah keluar dari Balai Pustaka, H.B Jassin secara terus-menerus
bekerja dalam lingkungan majalah sastra-budaya. Ia menjadi redaktur
majalah Mimbar Indonesia ditahun 1947-1966, majalah Zenith ditahun
1951-1954, majalah Bahasa dan Budaya ditahun 1952-1963, majalah
Kisah tahun 1953-1956, majalah Seni tahun 1955 dan majalah Sastra
ditahun 1961-1964 dan tahun 1967-1969.
Ia juga pernah menjadi anggota dewan pertimbangan pembukuan
Perum Balai Pustaka (1987-1994), anggota Panitia Pertimbangan
Pemberian Anugerah Seni Bidang Sastra, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1975), anggota juri Sayembara Kincir Emas oleh radio
Wereld Omroep Nederland (1975), anggota Panitia Pelaksana Ujian Calon
Penerjemah yang disumpah (1979-1980), Extrernal assessor Pengajian
Melayu, Universiti Malaya (1980-1992), anggota Komisi Ujian Tok-
Vertlader, Leiden tahun 1972, peserta 29 tahun International Congress of
Orientalist, Paris dari tanggal 16-22 Juli 1973, penasehat Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa ditahun 1973-1982, anggota dewan juri
Sayembara Mengarang Novel Kompas-Gramedia tahun 1978, ketua dewan
juri Sayembara Novel Sarinah di tahun 1983, anggota dewan juri Pegasus
Oil Indonesia pada tahun 1984 dan ketua dewan juri Sayembara Cerpen
Suara Pembaruan ditahun 1991.
Pada tahun 1964, ia dipecat dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia karena keterlibatannya dalam Manifes Kebudayaan. Pemecatan
itu berlangsung ejak dilarangnya Manifes Kebudayaan oleh Presiden
Soekarno 8 Mei 1964 sampai meletusnya G30S/PKI tahun 1965.
Cerpen Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung, yang dimuat HB
Jassin dalam Sastra, 1971, sempat dianggap ''menghina Tuhan''. Di
pengadilan, ia diminta mengungkapkan nama Ki Panji Kusmin sebenarnya.
Permintaan ditolaknya. Pada tanggal 28 Oktober 1970 ia dijatuhi hukuman
bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Sejak tahun 1940, H.B Jassin telah mulai membina sebuah
perpustakaan pribadi. Pengalaman admisitrasinya selama ia magang di
kantor Asisten Residen di Gorontalo sangat berguna bagi
pendokumentasian buku.
Pada tanngal 30 Mei 1970, lahirlah Yayasan Dokumentasi Sastra H.B
Jassin yang menggantikan Dokumenrasi Sastra, Sejak akhir September
1982 s/d sekarang bangunan itu berdiri dan menempati areal seluas 90
meter persegi dalam komplek Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini Raya 73,
Jakarta Pusat.
Sejarah mencatat, sepanjang hidupnya HB Jassin menumpahkan
perhatiannya mendorong kemajuan sastra-budaya di Indonesia. Berkat
ketekunan, ketelitian dan ketelatenannya, ia dikenal sebagai kritisi sastra
terkemuka sekaligus dokumentator sastra terlengkap. Kini, kurang lebih
30 ribu buku dan majalah sastra, guntingan surat kabar, dan catatan-
catatan pribadi pengarang yang dihimpunnya tersimpan di Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Begitu besarnya pengaruh H.B. Jassin di antara kalangan sastrawan,
Gajus Siagian (almarhum) menjulukinya “Paus Sastra Indonesia”. Saat itu
berkembang suatu ‘keadaan’ dimana seseorang dianggap sastrawan yang
sah dan masuk dalam ‘kalangan dalam’ bila H.B. Jassin sudah
‘membabtisnya’. Meski kedengarannya berlebihan namun begitulah
adanya.
Saat itu, ada beberapa pengarang yang lama berada di ‘kalangan
luar’ sebelum akhirnya diakui masuk dalam ‘kalangan dalam’ seperti
Motinggo Busye, Marga T yang aktif produktif mengarang, dan penulis
novel pop lainnya. Padahal karya-karya mereka cukup baik, berseni dan
bernilai tinggi.Mereka bergabung menjadi ‘kalangan dalam’ karena
"pengaruh besar kepausan" H.B. Jassin.H.B. Jassin jugalah yang
menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan '45.Lebih dari 30
tahun, julukan itu disandangnya.
Jassin rajin dan tekun mendokumentasikan karya sastra, dan segala
yang berkaitan dengannya.Dari tangannya lahir sekitar 20 karangan asli,
dan 10 terjemahan. Yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa
Penyair dan Daerahnya, Kesusasteraan Indonesia Baru Masa Jepang,
Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-
1967) dan tafsir Alquran dalam buku Qur'an Bacaan Mulia. Pada saat
ulang tahunnya ke-67, PT Gramedia menyerahkan ''kado'' buku Surat-
Surat 1943-1983 yang saat itu baru saja terbit. Di dalamnya terhimpun
surat Jassin kepada sekitar 100 sastrawan dan seniman Indonesia.
H.B. Jassin mempunyai prinsip kuat dan jujur.Mengomentari buku
Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, ia menilainya tidak mengandung
hal-hal yang melanggar hukum.Pelarangan terhadap buku itu lebih banyak
karena dikarang oleh bekas tokoh lekra.
Wafat
Pria gemuk pendek ini menikah tiga kali.Istri pertama, Tientje van
Buren, wanita Indo yang suaminya orang Belanda yang disekap Jepang,
pisah cerai. Lalu Arsiti, ibu dua anaknya, meninggal pada 1962. Sekitar 10
bulan kemudian ia menikahi gadis kerabatnya sendiri, Yuliko Willem, yang
terpaut usia 26 tahun. Yuliko juga memberinya dua anak. Dari kedua istri
ini, ia memiliki empat anak, yakni Hannibal Jassin, Mastinah Jassin, Yulius
Firdaus Jassin, Helena Magdalena Jassin, 10 orang cucu, dan seorang cicit.
Ia meninggal pada usia 83 tahun, Sabtu dini hari, 11 Maret 2000
saat dirawat akibat penyakit stroke yang sudah dideritanya selama
bertahun-tahun di Paviliun stroke Soepardjo Rustam Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sebagai penghormatan, ia dimakamkan
dalam upacara kehormatan militer "Apel Persada" di Taman Makam
Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta.
RIWAYAT SINGKAT
Nama :Hans Bague Jassin
Lahir :Gorontalo, 31 Juli 1917
Wafat :11 Maret 2000
Pendidikan :SD, Gorontalo (1932),HBS Medan (1939),Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (1957),pernah kuliah di Universitas Yale, Amerika
Serikat (1959),Doctor Honoris Causa dari Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (1975),menguasai bahasa Inggris, Belanda, perancis dan
Jerman.
Profesi :Sekretaris redaksi Pujanggan Baru (1940-1942), Penasehat Balai
Pustaka (1940-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970),
Nusantara (1963-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan Yayasan Idayu
(1974-1992), Redaksi penyusun Daftar Pustaka Bahasa dan Kesusastran
Indonesia (1969-1972).Redaksi penyusun buku dr. Irene Hilgers-Hesse
(editor), Perlenim Reisfeld (1972).Redaksi penyusun Almanak sastra
Indonesia I Daftar Pustaka (1972).Penasehat Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1973-1982).
Prestasi :Tokoh Pembukuan Nasional (2 Mei 1996), Penghargaan dari
pengurus pusat IKAPI atas jasa-jasanya kepada perbukuan di Indonesia
(17 Oktober 2000)
Karya Tulis :Tifa Penyair dan Daerahnya (1952),Kesusastraan Indonesia
Modern Dalam Kritik dan Esei I-IV (1954),Heboh Sastra 1968 (1970),Sastra
Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia (1983),Pengarang Indonesia dan
Dunianya (1983),Surat-Surat 1943-1983 (1984),Sastra Indonesia dan
Perjuangan Bangsa (1993),Koran dan Sastra Indonesia (1994),
Darah Laut : Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997),Omong-Omong HB. Jassin
(1997).
C. Latar Belakang Penulisan
Ketika istri HB Jassin meninggal dunia pada 12 Maret 1962, peristiwa
ini cukup menggugah beliau. Dalam pengajian selama tujuh malam, dia
mengaji terus sampai selesai 30 juz dalam tujuh hari. Pada malam
kedelapan, ketika rumah sepi, dia meneruskan mengaji seorang diri. Tidak
puas dengan sekedar membaca saja, dia mulai mempergunakan beberapa
buku terjemahan untuk mendalami dan meresapi isi kitab suci itu.
Berikut ini adalah kutipan tulisan HB Jassin pada
pendahuluannyadalam tafsir Bacaan Mulia:
Saya merasa tumbuh jiwa dan pengetahuan saya karena menyelami
hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Quran, ayat-ayat yang
mustahil adalah bikinan manusia tapi firman-firman Tuhan sendiri.
Keyakinan ini saya resapi kebenarannya, karena ayat-ayat itu meliputi
masalah-masalah kehidupan yang amat luas serta tinggi dan dalam
maknanya.
Saya merasa mengisi jiwa saya dengan firman-firman Tuhan
sehingga firman-firman itu menjadi nafas saya, menjadi darah yang
beredar ditubuh saya, menjadi daging saya. Hari demi hari saya
menyelami dan meresapi isi al-Quran, keyakinan bertambah mantap dan
padat. Saya menghadapi hidup dengan hati yang aman dan tenteram.
Sepuluh tahun lebih saya menyelami ayat demi ayat, tidak satupun
hari yang lewat tanpa menghirup firman Tuhan, sekalipun hanya seayat
dalam sehari. Ujian demi ujian menimpa pula bahkan pernah saya dituduh
murtad dan berhadapan dengan hakim pengadilan atas tuduhan telah
menghina Tuhan, menghina agama Islam, Rasul dan Nabi-nabi, Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 45. Tapi semua itu saya terima sebagai
cambuk untuk lebih dalam menyelam kedalam inti hakikat dan saya
anggap sebagai karunia dari Tuhan Yang Mahaesa.
Sampai tibalah suatu hari hati saya terbuka untuk mulai
menterjemahkan al-Quran, setelah tanggal 7 Oktober 1972, di negeri
dingin yang jauh dari katulistiwa yakni di negeri Belanda. Pikiran untuk
menterjemahkan al-Quran secara puitis timbul pada saya oleh membaca
terjemahan Abdullah Yusuf Ali The Holy Quran yang saya peroleh dari
kawan saya, Haji Kasim Mansur tahun 1969. Itulah terjemahan yang saya
rasa paling indah disertai keterangan-keterangan yang luas dan universal
sifatnya.
Untuk menimbulkan kesan yang estetis penyair mempergunakan
irama dan bunyi. Bukan saja irama yang membuai beralun-alun, tapi juga-
jika perlu- irama singkat melompat-lompat arau tiba-tiba berhenti
mengejut untuk kemudian melompat lagi penuh tenaga hidup. Bunyi yang
merdu didengar, ulangan-ulangan bunyi bukan saja diujung baris, tapi
juga diantara baris, mempertinggi kesan keindahan pada pendengar atau
pembaca.
Didalam persajakan Indonesia bunyi bergaung am, an dan ang dan
bunyi sukukata-sukukata yang terbuka menuimbulkan kesan yang merdu.
Bahasa Indonesia ternyata kaya akan aneka ragam bunyi sehingga tidak
sukar untuk mencari kata-kata yang bagus kedengarannya demi
persajakan diujung baris, diantara baris ataupun ditengah baris.
Dibawah ini sebuah contoh mengatur irama dengan mengobah letak
perkataan sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya. Didalam
surah (26) asy-Syu’ara dikisahkan Firaun meminta pertimbangan kepada
para pembesarnya apa yang harus dilakukan untuk melawan Musa.
Mereka menjawab: “Suruhlah tunggu (Musa) dan saudaranya, dan
kirim ke kota-kota para bentara.” (26:36)
Pada hemat saya lebih bertenaga dan penuh ancaman rasanya jika
baris terakhir disusun demikian:
Dan kirim para bentara ke kota-kota.
Dibawah ini sebuah contoh perbedaan pilihan kata yang
menimbulkan perbedaan penghayatan estetis secara audiovisual. Surah
(61) ash-Shaf ayat 2 kita lihat diterjemahkan:
Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Dapat dipuitisasikan demikian:
Mengapa kamu katakan
Apa yang tiada kamu lakukan?
D. Gagasan Revolusioner
H.B. JASSIN bangkit dari kursinya, menuju mimbar dan mengucapkan
salam. "Saudara-saudara", katanya."Saya bukanlah seorang ahli dan
sayapun tidak ahli bahasa Arab.Karena itu saya minta saudara-saudara
membantu saya dan janganlah Mengganyang saya".Hadirin yang telah
berkumpul untuk salah-satu acara dalam keramaian Musabaqah Tilawatil
Quran Nasional ke VIIl di Palembang yang lalu (TEMPO 6 September),
tertawa penuh mengerti. Mereka juga mengikuti dengan simpati ketika
Jassin membacakan ceramahnya sepanjang 11 halaman menuturkan
pengalaman pribadinya mengapa ia sampai tertarik kepada Quran dan
kemudian berusaha menterjemahkannya secara puitis (lihat box).
Begitulah pelan-pelan pembicaraan lantas memasuki masalah-masalah
teknis penterjemahan -- dan hadirin hening sebagian kening mulai
berkerut.Tak ayal lagi masalah teknis penterjemahan bukanlah masalah
kecil.
Beberapa perbedaan pemahaman ayat sendiri sebagaimana
biasanya sudah cukup menimbulkan debat ilmiah. Ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa yang melakukan penterjemahan justru seorang doktor
sastra Indonesia. Tokoh ini sama sekali tidak dikenal dalam bidang ilmu-
ilmu Qur'an juga mengaku bukan ahli dalam bahasa Arab. Tak heran bila
pembanding ceramah Drs H. Husin Abdul Mu'in yang sehari-harinya
Kepala Perwakilan Departemen Agama Sumatera Selatan di samping
dengan sangat simpatik menyatakan penghargaannya kepada niat yang
ikhlas dari penterjemah juga memberi semacam usul yang halus untuk
berhati-hati.Tidak Beragama Islam Hadirin setidak-tidaknya para ustaz
yang banyak pengetahuan memang kelihatan berusaha untuk tetap
berlapang fikiran.
Namun agaknya ada persoalan: sebagian sumber-sumber bandingan
Jassin di samping kitab-kitab tafsir bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris
dari dunia Islam juga buah tangan para penterjemah Barat yang
sebagiannya diketahui tidak beragama Islam. Lagi pula difikir-fikir apa sih
perlunya puitisasi itu dalam penterjemahan Qur'an? Alasan Jassin
diberikan secara sederhana. Terjemahan yang sudah dikerjakan orang
dalam bahasa Indonesia (menurut Jassin sudah berjumlah kira-kira 10)
semuanya ditulis dalam bahasa prosa. Dan hal itu tiada mengherankan
karena yang dipentingkan oleh para penterjemah yang pada umumnya
adalah guru-guru agama ialah kandungan kitab suci itu.
Padahal sebenarnya bahasa Qur'an sangat puitis dan ayat-ayatnya
dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra -- walaupun dalam
setiap mushaf (buku Qur'an) ayat-ayat itu secara visuil disusun sebagai
prosa .Maka tampaklah Jassin memandang prosa dan puisi pertama kali
dari segi visuil dari segi tata-muka.Ia sendiri menyatakan bahwa
perbedaan sebuah puisi dari prosa biasanya lantaran puisi disusun tidak
baris demi baris yang panjangnya memenuhi muka halaman, akan tetapi
baris demi baris yang panjangnya memenuhi sebagian muka halaman
saja. Ia memberi contoh. Surah Yusuf ayat 3 biasanya diterjemahkan
begini: Kami ceritakan kepadamu kisah yang paling indah dengan
mewahyukan kepadamu (bagian) Quran ini, meskipun kamu sebelumnya
orang yang tiada sadar (akan kebenaran). Dan dengan susunan berikut ia
menjadi puisi: Kami ceritakan kepdamu kisah yang paling Indah Dengan
mewahyukan kepadamu. (bagian) Quran ini, Meskipun kamu sebelumnya
orang yang tiada sadar (akan kebenaran). Sudah tentu sebagaimana
dikatakan Jassin tidak semua baris prosa bisa dirobah menjadi puisi
dengan hanya merobah susunan.
Namun dengan cara pendekatan itu apakah puisi seperti dimaksud
Jassin? Sementara Jassin menyaakan bahwa bahasa Qur'an sangat puitis
puisi Qur'an itu justru tidak diungkapkan dalam kalimat terpotong-potong.
Dengan kata lain puisi Quran tidak sekedar kalimat terpotong-potong. Tapi
pengertian puisi sebagai bentuk Susunan kalimat itulah yang sering
dipakai para penterjemah puitis yang sudah lebih dulu mencoba seperti
Mohamad Diponegoro atau Djamil Suherman. Lebih-lebih Abdullah Yusuf
Ali Beirut--yang menurut Jassin merupakan penterjemah puitis yang paling
indah dan yang mendorong dia melakukan hal serupa dalam bahasa
Indonesia. Sudah tentu perasaan enak dan tidak enak terhadap sesuatu
terjemahan hampir selalu bersifat relatif.Tapi justru sebagian orang
mengatakan bahwa diukur dengan citarasa puisi terjemahan Yusuf Ali
justru kalah indah dibanding terjemahan Mohamad Marmaduke pikcthall
yang disusun secara ayat aslinya.Sebab mungkin saja lebih dari Yusuf Ali
Pickthall berangkat dari penguasaan terhadap citarasa bahasa aslinya
lantas menuangkan ke dalam terjemahan berdasar penguasaan citarasa
bahasa Inggeris tanpa bertolak dari pola bentuk yang lazim disebut syair
atau sajak.Karena bertolak dari bentuk itulah agaknya salah-satu alasan
mengapa Mohamad Diponegoro menyebut hasil karyanya (terjemahan juz
XXX dan belum diterbitkan) sebagai puitisasi terjemah Qur'an dan bukan
terjemah puitis Qur'an. Tetapi barangkali menarik bahwa dengan berpijak
pada citarasa dan suasana asli, 'dalam arti menghadapi Quran sebagai
karya puisi', akan melahirkan hasil yang bisa jauh berbeda dari
terjemahan lazim. Antara lain: terjemahan tidak lagi akan mengguru-gurui
atau lebih mementingkan kandungan makna semata-mata menurut istilah
Jassin.
Sudah diketahui bahwa yang selama ini galib disebut terjemahan
Quran (bukan tafsir) sebenarnya toh bukan hanya terjemah - melainkan
plus keterangan--yang hampir selalu diletakkan dalam kurung.Sebuah
kalimat dalam Qur'an kadang-kadang mungkin memang tidak jalan
menurut logika tatabahasa sehari-hari.Tetapi betulkah keadaan tidak jalan
tersebut bukan merupakan satu bagian tak terpisahkan dari puisi--dan
karenanya orang haruslah mengangkat seperti aslinya dan kalau perlu
memberinya catatan kaki seperti dalam tafsir? Maka barangsiapa melihat
konsep terjemahan Jassin - yang sekarang sudah ada di penerbit --
maupun terjemahan Yusuf Ali orang akan tahu bahwa sesungguhnya
puisinya hanya bentuk bukan semangat tenaga atau dorongan puitik.
"Tangan Allah" Tetapi untunglah Jassin juga menggarap puisi Quran
dengan mempertahankan suasana puitiknya. Berbeda dari terjemah-
terjemah yang laim Jassin misalnya tidak menterjemahkan 'Wajah Allah'
dengan 'Kebesaran/Pengetahuan Allah' tidak pula 'Tangan Allah' dengan
'Kekuasaan Allah'. Dalam terjemahan Departemen Agama awal ayat 35
Surah Nur yang berbunyi Allahu nuurussumawati wal-ardh diterjemahkan
dengan: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi". Dalam hal ini
Jassin berbeda: ia menterjemahkannya persis seperti ayat aslinya: "Allah
Cahaya langit dan bumi - dan menyerahkan pengertian "cahaya" itu
kepada Quran sendiri atau kepada tafsir. Begitu pula tidak
menterjemahkan an la taziru waziratun wizra ukhra dengan: "bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" -- seperti
terjemah Departemen Agama maupun Mahmud Yunus. Melainkan: Bahwa
tiada pemikul beban Akan memikul beban orang lain dan hal itu sama
dengan yang diperbuat Yusuf Ali maupun Hashim Amir Ali - secara lebih
langsung kepada kata aslinya. Lebih lagi ayat yang sangat populer -
tentang penciptaan semesta.Semesta dalam terjemahan Jassin diciptakan
Tuhan tidak dalam enam masa - seperti umumnya ditulis para
penterjemah Indonesia.Melainkan enam hari sesuai dengan bunyi
ayatnya. Tentu saja kata Jassin orang bisa menafsirkan hari dengan 'masa'
atau 'abad' tapi itu soal lain.
Di sinilah tiba-tiba kelihatan peranan -- yang mungkin kedengaran
agak asing - dari para penterjemah puitis .Bahwa mereka selayaknya
membiarkan pembaca menerima bagian-hagian Quran yang masih utuh -
yang sebenarnya menimbulkan kenikmatan religius tersendiri.Tidak justru
membuyarkannya semata-mata dengan semangat mau rasionil yang tak
jarang merobah pengertian ayat yang dalam dan penuh rahasia menjadi
sesuatu yang datar.Tetapi Jassin melihat contoh-contoh terjemahannya
yang digelarkan di Palembang itu, tidak sepenuhnya mengambil peranan
itu.
Ia misalnya menganggap kalimat Quran yaqbidluna aidiahum tidak
dapat diterjemahkan secara persis sebab akan berbunyi: mereka
mengepalkan tangan. Orang bisa salah faham dan karena itu ia
menterjemahkannya menurut maksud: mereka berlaku bakhil. Di sinilah
orang boleh setuju pada kritik pembanding Husin Abd. Muin: bahwa Jassin
(yang sudah berniat untuk kembali ke pokok pangkal itu) justru suka
menggunakan kata-kata Indonesia yang dalam bahasa Arab sebetulnya
sudah ada yang lain. Berlaku bakhil misalnya dalam bahasa Arab adalah
yabkhalun. Jadi mengapa ia tidak menterjemahkan -- misalnya
-menggenggamkan (bukan mengepalkan) tangan? Maka ramailah orang di
Palembang itu. Contoh-contoh yang dikemukakan Jassin rupanya
menggerakkan para peserta diskusi tersebut sebagiannya dengan
semangat ilmiah yang ikhlas untuk akhirnya tidak memenuhi harapan
Jassin agar jangan "mengganyang" dia. Cobalah: Jassin mengganti
terjemahan "yang memelihara sembahyang" dengan "yang setia
menjalankan sembahyang". Jatuh pada dagu (muka) mereka dalam sujud
dengan jatuh sujud dengan kerendahan hati. Surga yang mengalir sungai-
sungai di bawahnya dengan" ....di dalamnya". Orang seakan-akan
meminta pertanggungjawaban Jassin pada pengetahuannya dalam
berbagai cabang ilmu bahasa Arab.Meyembah Matahari Padahal tanpa
menuntut demikian tak ada seorang yang tidak tahu bahwa perbedaan
dalam terjemah terdapat justru dalam karya para ulama sendiri. Misalnya:
dalam diskusi tersebut Husin Abd. Mu'in mengkritik Jassin karena
menterjemahkan yasjuduna lisy-syamsi min dunil-Lah dengan: "Mereka
menyembah matahari dan bukan Allah" - sebagai ganti selain Allah
seperti dalam terjemah-terjemah lain. Alasan Jssin: karena mereka itu
tidak menyembah Allah sama-sekali. Padahal menurut Husin: mereka itu
menyembah Allah juga dan menyembah matahari sebagai perantaraan
Allah atau perwujudan Allah atau di samping Allah. Husin jelas kuat. Tapi
yang sama dengan Jassin bukan tidak ada: A. Hassan, Pickthall Maulana
Muhammad Ali! Sedang yang sejalan dengan Husin rupanya adalah
terjemahan Departemen Agama.Begit pula sungai-sungai di dalam surga
(Jassin) atau di bawah surga (Husin). Pickthall sama dengan Husin
underneathl. Sedang A. Hassan sama dengan Jassin (padanya). Jassin
sendiri menyebut contoh sukarnya penterjemahan yang justru
mengantarkan setiap penterjemah pada kontroversi. Misalnya Surah 24 :
19: Innalladzina yuhibbuna an tasyi'al fahisyatu fil-ladzina amanu lahum
'adza bun alim. Terjemah Yusuf Ali: * Those who love (to see) scandal
published broadcast A mong the believers, will have A grievous penalty *
Sedang terjemah AJ Arberry: Those who love that indecency should be
spread about concerning them that believe - there awaits them a painful
chastisement * Perbedaan itu mungkin karena kata filladzina amanu
dalam bahasa Arab bisa berarti 'di kalangan orang mukmin' tapi juga
'mengenai orang mukmin'. Maka Jassin lantas melihat asbabun nuzul
(sebab-sebab turun ayat).Ketahuan ayat itu berkenaan dengan peristiwa
Ifk, di mana Aisyah isteri Nabi kena fitnah dan fitnah itu disebarkan di
kalangan orang mukmin.Jassin lantas menganggap terjemah Yusuf Ali
lebih tepat.Menarik bahwa Pickthall (yang buku terjemahannya -- tanpa
teks Quran! -- disahkan oleh Senat Dewan Universitas Al-Azhar) justru
sama penterjemahannya dengan Arberry (yang bukan Islam itu). Maka
tampaklah di sini bahwa doktor sastra ini bukan tidak berhati-hati dengan
mempelajari latar-belakang dan seluk-beluk. Setelah ia menyatakan
dalam forum Palembang itu bahwa saya bertolak dari Kitab induk Al-
Quranul Karim sendiri..jadi terjemahan saya bukanlah terjemahan dari
terjemahan...". ia dalam pekerjaannya mempergunakan sebagai
perbandingan 19 terjemah Qur-an (9 bahasa Inggeris 1 Perancis, 1
Belanda, 2 Jerman, 6 Indonesia) 7 kitab sejarah Quran dan Tafsir (2
Indonesia, 4 Inggeris, 1 Jerman) 4 kamus dan konkordansi (1 Arab-Jerman
dan 3 Arab-lnggeris). Adapun kitab-langsung dari bahasa Arab?Sudah
tentu tak ada.Dan itulah yang bagi rakyat muslimin betapapun juga dirasa
kurang layak.Orang memang lazim mengharapkan sesuatu yang resmi.Itu
ada baiknya. Tapi kenyataan toh menunjukkan bahwa Quran adalah begitu
populer hingga hampir tak seorang muslim tidak mengenalnya apa lagi
bila ia telah sungguh-sungguh mempelajarinya walaupun lewat sarana
yang tidak resmi. Maka seorang muslim - yang perhatiannya maupun
kebiasaannya tidak terpisahkan dari Quran - mempelajari dengan tekun
hanya satu tafsir yang bonafid saja sedang ia sendiri mengerti bahasa
Arab secara pasif meskipun tidak mendalam sudah bisa dijamin bahwa ia
bukan lagi orang luar. Dan Jassin termasuk orang seperti itu. Ia 10 tahun
lamanya--seperti dinyatakannya - mempersiapkan diri dengan segala
terjemah dan tafsir sedang ia sendiri tidak pula asing dari bahasa Arab.
Jassin barangkali hanyalah seorang yang tidak suka memamerkan
kepandaian (jarang sekali misalnya orang tahu bahwa iamenguasai
bahasa-bahasa Inggeris, Jerman, Perancis, dan Belanda - sebab bila Jassin
berbahasa Indonesia tidak akan terdengar satu patah kata asing).
Begitupun Jassin ada tiga tahun mempelajari bahasa Arab dari AS Alatas
dosen Fakultas Sastra UI dan penterjemah Majdulin Al-Manfaluthi--selain
pelajaran ilmu-ilmu Islam dari islamolog terkenal Prof. Pangeran Arjo
Hoesin Djajadiningrat.Jassin juga menterjemahkan buku pelajaran theologi
elementer Jawahirul Kalamiyah sebagai latihan dahulu. Hanya ia memang
tidak secara langsung mempelajari ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi
yang merupakan gerbang bagi penguasaan ilmu-ilmu alat untuk seorang
pentafsir (bukan sekedar penterjemah) Quran. Namun di atas segala-
galanya tidak percayakah anda bahwa menterjemahkan Quran dilihat dari
segi teknis sebenarnya jauh lebih mudah dibanding menterjemahkan
sebuah syair atau karya sastra Arab? Sebab bandingan sudah demikian
banyak.Orang toh pada akhirnya lebih cenderung melihat hasilnya.Yakni
apakah terjemahan Jassin memang bisa dipertanggung jawabkan.Dan di
rumah kontraknya yang kecil di Tanah Tinggi Jakarta Jassin menyatakan
bahwa kritik seperti yang diterimanya di Palembang itu adalah kritik-kritik
yang bisa dihadapkan dengan kitab terjemah yang mana juga sebab tidak
ada satu terjemahan yang disepakati semua orang. Quran itu katanya
demikian besar sehingga tidak akan habis diterjemahkan. Toh ia
menyatakan beberapa hal yang diterimanya di Palembang itu ada
mempengaruhi dia. Ia sendiri kalau perlu akan meminta pendapat orang
dalam koreksi terakhir naskah yang kini contohnya sudah ada di penerbit
itu. Yang jelas kelihatan adalah manfaat dengan lahirnya terjemah puitis
itu. Pertama segi perhatian yang lebih besar terhadap bahasa Indonesia
dalam dunia penterjemahan Quran. Sebab problim ini memang cukup
mengganggu.Terjemahan Departemen Agama sendiri tidak bisa dikatakan
bagus dari segi itu.Lebih-lebih terjemahan Ustadz Mahmud Junus maupun
juga Prof. Hasbi Ash Shiddieqy.Dan lebih parah -- maaf-- adalah
terjemahan Ustadz Hassan dari Persis yang masyhur itu.Di sinilah bisa
dilihat bahwa ilmu-ilmu bahasa Arab dan seluk beluk Quran saja tidak
cukup. Perlu juga kemampuan menyatakannya dalam bahasa Indonesia
yang tidak kaku, misalnya kalimat "Allah memberi petunjuk" pada Hassan
kadang diterjemahkan dengan "Allah memberi petunjukan" (lihat misalnya
Al-Baqarah 70). Jassin sendiri dalam ceramahnya mengatakan bahwa
"kekakuan dalam terjemahan mungkin timbul karena terlalu mengikuti
konstruksi kalimat Arab dengan tidak memperhatikan rasa bahasa
Indonesia". Jassin memberi contoh terjemahan S. Yusuf 29: "Sungguh jika
kau menyembah Tuhan selain aku pasti aku akan menjadikan kau salah-
seorang yang dipenjarakan". Lantas ia mengganti kalimat terakhir itu
dengan "pasti kumasukkan kau ke dalam penjara" (sebab orang yang
dimasukkan ke penjara menjadi salah-seorang yang dipenjarakan
bukan?). Selain itu Jassin menterjemahkan ungkapan-ungkapan menurut
jalan bahasa Arab ke dalam ungkapan Indonesia. Misalnya: bainana wa
bainakum (secara harfiah berarti: antara kami dan antara kamu) diganti
dengan: "antara kami dan kamu" atau "antara kita". Ungkapan bahasa
Arab "mati dan hidup" atau "malam dan siang" tentu saja ia pulangkan ke
dalam ungkapan kita menjadi "hidup dan mati" siang dan malam. Kata
sambung wa tidak selalu berarti dan. Tapi juga 'karena', 'sedang',
sementara.Bisa juga dianggap hanya berfungsi sebagai koma atau titik. Fa
sebaliknya bisa diterjemahkan dengan 'maka', 'karena itu' atau bahkan
tidak ia terjemahkan sama sekali. Syahdan dalam khazanah terjemah
Quran Indonesia sekarang sudah lahir pula Tafsir Al-Azhar dari Hamka
yang sampai sekarang belum terbit komplit.Tafsir ini harus dibilang karya
yang paling bagus bahasanya - dengan catatan Hamka sebagai ulama
terpandang lebih menitik beratkan pada kandungan ilmiah ayat daripada
puisi Quran sendiri.Sebaliknya dengan terjemah Jassin. Dengan segala
kelebihan dan kekurangannya ia akan merupakan satu kenyataan yang
penting dari dua jurusan: dari jurusan pemakaian bahasa yang baik dan
pengenalan sastra Indonesia luas ke tengah rakyat dan dari segi artinya
sebagai satu monumen dalam dunia sastra Indonesia. Toh bagi Jassin arti
pekerjaannya itu tampak sederhana saja: sebuah persembahan yang
dikerjakan dengan susah-payah. Sebuah bukti ibadah.
E. Contoh Penafsiran
Berikut ini adalah terjemahan HB Jassin untuk suratan-Naml (27) ayat 59-
66:
Katakanlah, “Segala puji bagi Allah,
Dan selamat sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang telah dipilih-Nya.
Apakah Allah yang lebih baik,
Atau apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya)?”

Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi,


Dan yang menurunkan bagimu hujan dari langit?
Ya, dengannya Kami tumbuhkan
Kebun-kebun buah-buahan yang indah.
Tiadalah kamu mampu menumbuhkan pohon-pohon didalamnya.
(Mungkinkah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi mereka adalah kamu yang menyimpang (dari Kebenaran).

Atau siapakah yang menjadikan bumi,


Tempat kediaman yang kukuh kuat?
Yang menempatkan sungai-sungai ditengah-tengahnya,
Yang memancangkan gunung-gunung diatasnya,
Dan menaruh sekatan antara kedua lautan?
(Mungkinlah) ada sembahan (lain) disamping Allah?
Tidak, tapi kebanyakan mereka tiada tahu.

Atau siapakah yang memperkenankan (permohonan) orang dalam


kesulitan,
Jika ia menyeru (Tuhan),
Yang menghilangkan keburukan,
Dan menjadikan kamu khalifah dimuka bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Alangkah sedikit kamu mengambil peringatan!

Atau siapakah yang membimbing kamu


Dalam kegelapan di daratan dan di lautan,
Dan siapakah yang mengirimkan angin
Sebagai pembawa kabar gembira,
Mendahului rahmat-Nya?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Mahatinggi Allah diatas apa yang mereka persekutukan Ia!

Atau siapakah yang pertama kali memulai ciptaan,


Kemudian mengulanginya?
Dan siapakah yang memberi kamu rezeki dari langit dan bumi?
(Mungkinkah) ada Tuhan (lain) disamping Allah?
Katakanlah, “Bawalah bukti yang nyata,
Jika kamu berkata benar!”

Katakanlah, “Tiada yang tahu di langit dan di bumi apa yang gaib,
Kecuali Allah.
Dan tiada mereka tahu apabila mereka dibangkitkan.

Tiada pula ilmu mereka sampai kepada (ilmu) akhirat,


Bahkan mereka dalam keraguan mengenai hal itu
Tidak, mereka buta untuk itu.

Bandingkan dengan terjemahan penerbit Algesindo seperti dibawah


ini:

Katakanlah (Muhammad), “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas
hamba-hambanya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik,
ataukah apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)?”
Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan yang
menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu
kebun-kebun yang berpemandangan indah? Kamu tidak akan mampu
menumbuhkan pohon-pohonnya. Apakah disamping Allah ada tuhan
(yang lain)? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang
(dari kebenaran).
Bukankah Dia (Allah) yang memberi petunjuk kepada kamu dalam
kegelapan di daratan dan lautan
dan yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum
(kedatangan) rahmatNya? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?
Mahatinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan.
Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan (mahluk) dari permulaannya
kemudian mengulanginya (lagi) dan yang memberikan rezeki kepadamu
dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan(yang lain)?
Katakanlah, “Kemukakanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang yang
benar.”
Katakanlah (Muhammad), “Tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi
yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak
mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.”
Bahkan pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana).
Bahkan mereka ragu ragu tentangnya (akhirat itu). Bahkan mereka buta
tentang itu.
F. Metode
Secara format, buku Jassin ini tidak ada bedanya dengan Al-Qur'an
dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama.Disisi kanan
halaman ada teks al-Qur'an dalam tulisan Arab tentunya dan di sisi kiri,
terjemahannya. Yang berbeda adalah gaya terjemahannya. Terjemahan
terbitan Depag dikerjakan oleh para pakar tafsir dan sastra Arab
terkemuka di Indonesia. Hasilnya: sebuah terjemahan yang biasa,
layaknya terjemahan buku Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia.
HB Jassin tidak mempunyai basis kemampuan bahasa Arab apalagi
tafsir.Beliau hanya seorang Paus Sastra Indonesia (menurut Gauis Siagian)
atau Wali Penjaga Sastra Indonesia (menurut Prof AA Teeuw).Dalam usaha
penulisan buku ini, HB Jassin amat terbantu dengan adanya terjemahan
al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris, bahasa yang cukup
dikuasainya.Diantaranya, terjemahan karya seorang muallaf, Sir
Marmaduke Pitchall dan seorang Pakistan Muhammad Jusuf Ali.Terjemahan
Jusuf Ali adalah terjemahan al-Qur'an ke Bahasa Inggris terbaik dan paling
populer hingga saat ini.
KONTROVERSI
Kontroversi timbul dilatari 3 sebab.Pertama, HB Jassin tidak
menguasai bahasa serta sastra Arab dan bukan seorang pakar
tafsir.Bahkan terjemahan sekalipun (apalagi buku tafsir) membutuhkan 3
hal diatas. Kedua, apa yang dilakukan HB Jassin mungkin adalah yang
pertama di dunia. Bagi sebagian orang itu adalah ide jenius.Sebuah
invention. Bagi sebagian lain, itu adalah bid'ah yang tidak punya rujukan
atau basis dalil/hujjah/reason dari sumber-sumber hukum Islam. Ketiga, al-
Qur'an secara jelas "membela dirinya sendiri" lewat ayat-ayatnya bahwa
ia bukan kitab sastra. Meletakkan al-Qur'an sebagai hanya karya sastra
semata berarti merendahkan al-Qur'an itu sendiri.Fungsi utama al-Quran
adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Para diskusan setuju bahwa karya Jassin ini bermaksud
menyampaikan ketinggian sastrawi al-Qur'an kepada bangsa Indonesia
yang tidak menguasai sastra Arab.Dari keseluruhan polemik yang
kemudian mencuat, semuanya mengerucut pada keberatan utama: Jassin
bukan pakar tafsir karena itu ia tidak pantas menulis sebuah terjemahan
al-Qur'an sekalipun. Apa yang dilakukan Jassin sebenarnya bukan hal yang
benar-benar baru. Sayyid Qutb pernah menerbitkan Tafsir Fi Dzilaalil
Qur'an.Latar belakang pengetahuan sastra Arab SQ membuat tafsir
tersebut cendrung sastrawi. Di abad keemasan Islam, dikenal juga tafsir-
tafsir yang indah, semacam Tafsir Ibn Araby, Tafsir al-Ma'ani dst. Juga
tafsir yang membahas satu demi satu kosa kata al-Quran.
KESIMPULAN
Agaknya kita harus merespon positif karya HB Jassin ini.Bila segala
sesuatu dinilai dari niat, maka karya Jassin ini lahir dari kecintaan pada al-
Qur'an, bukan maksud buruk. Dan akhirnya, paska polemik, sejarah
memenangkan Jassin: terjemahan itu mengalami cetak ulang terus
menerus hingga saat ini. Hmmm, bila suatu saat menikah, saya mungkin
menggunakan karya Jassin ini sebagai bagian dari mahar. Apalagi jika ia
yang saya persunting tidak bisa memahami keindahan sastrawi al-Qur'an
langsung dari bahasa aslinya.

Anda mungkin juga menyukai