Al-qur’an al-karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah
satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh
Allah dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”(QS. Al-Hijr:9
)
1
Muhammad Quraish shihab, Membumikan Al-qur’an, (Bandung: Mizan,1998), hlm.21.
2
Ahmad Asy-syirbashi, Sejarah Tafsir Al-qir’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Pustaka (Jakarta: Pustaka
Firdaus,2001), hlm.33
3
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, hlm.21.
1
yang luar biasa dan menakutkan.”4 Oleh karena itu, tafsir pada abad pertama/klasik
cenderung bersifat mistis, artinya, disitu tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah
tafsir. Jadi, Tafsir Nabi dan para shahabat diterima begitu saja hingga nyaris tanpa kritik.
Sementara tafsir pada periode selanjutnya yaitu periode pertengahan, meski sudah ada
sedikit nuansa kritisisme, namun masih menunjukkan wajah yang ideologis, sebab
pembelaan terhadap madzhab sangat kental mewarnai tafsir.5
Demikianlah tafsir dari masa klasik sampai masa pertengahan, sampai timbullah
kemudian beraneka warna corak tafsir. Ada yang berdasar nalar penulisnya, ada pula
yang berdasar riwayat-riwayat, adapula yang menyatukan keduanya. Persoalan yang
dibahas pun bermacam-macam.
Jika ditelaah dari awal sampai akhir sejarah perkembangan tafsir Al-qur’an,tentu
pembahasannya akan panjang. Untuk itu, makalah ini membatasi diri hanya akan
memaparkan “Sejarah Perkembangan Tafsir Pada Periode Pertengahan”.
Pokok permasalahan makalah ini terfokus pada:
1. Apa latar belakang munculnya penafsiran pada periode pertengahan?
2. Bagaimana karakteristik tafsir pada periode ini?
3. Apa saja problematika penafsiran pada periode ini?
4
Ahmad Asy-syirbashi, Sejarah Tafsir Al-qir’an, hlm.33.
5
M. Amin Abdullah, pengantar dalam Abdul Mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana,2005), hlm.ix.
2
mengumpulkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasullullah SAW yang berfungsi
sebagai penafsir makna-makna ayat al-qur’an. Keadaan demikian berlangsung sampai
pada masa terakhir Bani Umayyah dan masa awal Bani Abbasiyah. Setelah itu timbullah
gerakan ilmiah dan mulailah masa pembukuan ilmu dan science secara klasifikasi,
pembagian bab-bab dan sistematikanya.6 Akibatnya, tafsir juga terpisah dari hadits.
Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang
sistematis7, artinya pada masa ini tafsir sudah terpisah dari hadits, ia sudah menjadi suatu
ilmu tersendiri. Pada masa ini tafsir sudah mencakup seluruh ayat al-qur’an dan
menganut sistem mushafi, yang artinya penafsiran dilakukan berdasar urutan ayat dan
surat seperti yang ada dalam mushaf8(maksudnya mushaf resmi Utsmani)9 dan sampai
ketangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Penafsiran seperti ini dilakukan
disebabkan kaum muslimin telah memasuki masa-masa suram dan mereka membutuhkan
hasil penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh ulama yang mempunyai ilmu yang
mendalam tentang bahasa Arab dan keahlian tertentu dalam ilmu agama.10
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman
keemasan ilmu pengetahuan. Periode ini ditandai dengan berkembangnya berbagai
diskusi cabang ilmu pengetahuan, baik yang merupakan cabang pengetahuan asli umat
Islam maupun cabang-cabang ilmu pengetahuan yang bahan-bahan dan sumbernya
diadopsi dari dunia luar (non Islam).11
Ilmu semakin berkembang pesat,pembukuannya mencapai kesempurnaan, cabang-
cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah
“Kalam” semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat
bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu naqli serta setiap golongan berupaya
mendukung madzhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir ternoda polusi udara
tidak sehat. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada
pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Pada diri mereka melekat
istilah-istilah ilmiah, akidah madzhabi, dan pengetahuan falsafi. Masing-masing mufassir
6
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ( Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm.22-23.
7
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir,hlm. 56.
8
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Madzahib at-Tafsir,( Maktabah Mush’ab bin Umair al-Islamiyah,tt),jld.
I ,hlm. 104-105.
9
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir,hlm. 64.
10
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,hlm.23.
11
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir,hlm.57
3
memenuhi tafsirnya hanya dengan ilmu yang paling dikuasainya tanpa memperhatikan
ilmu-ilmu yang lain. Masing-masing golongan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
penafsiran yang tidak dapat diterima oleh ayat itu sendiri demi mendukung kepentingan
madzhabnya atau menolak pihak lawan, sehingga tafsir kehilangan fungsi utamanya
sebagai sarana petunjuk, pembimbing dan pengetahuan mengenai hukum agama. Dengan
demikian tafsir bir-ra’yi lebih unggul daripada tafsir bil-ma’tsur.12
Daulat Abbasiyah adalah contoh sejarah yang memiliki kepedulian serius terhadap
perkembangan peradaban manusia, baik melalui perintah resmi penerjemahan buku-buku
ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia terkenal,
maupun dengan dibukanya forum-forum dialog ilmiah tebuka yang dihadiri oleh seluruh
wakil cabang keilmuan yang ada.
Dalam forum dialog ilmiah terbuka inilah, tejadi dialog disiplin antar ilmu yang
seringkali berakhir dengan mendiskreditkan. Contoh paling populer adalah perdebatan
antara peminat studi agama (Mutakallimin) dengan ahli filsafat atau logika Yunani, antara
ahli kalam dengan ahli hadits, juga antara ahli kalam dengan ahli fiqh. tidak kalah
serunya dengan ketegangan yang terjadi diantara ahli al-zahir, adalah ketegangan yang
terjadi fuqoha dan para teolog dengan para sufi penempuh jalan spiritual yang tidak
jarang berakhir dengan jatuhnya “vonis” atas kelompok sufi dengan ekskusi fisik seperti
yang menimpa al-Hallaj, al-Syahrawardi dan beberapa tokoh sufi lainnya.
Ketegangan antar disiplin ilmu diatas ternyata menimbulkan dampak psikologis
dikalangan peminat masing-masing disiplin ilmu untuk berusaha meraih dukungan
masyarakat maupun pemerintah melalui klaim kebenaran pihaknya dengan mencari
justifikasi dari al-Qur’an. Inilah embrio dari tafsir zaman pertengahan yang sarat
“kepentingan” subjektif (ideologis) mufassirnya. Apalagi mengingat adanya campur
tangan politik pada setiap ketegangan ini, dimana kelompok-kelompok tertentu seringkali
dimanfaatkan untuk memback-up kekuatan atau dijadikan kendaraan politik tertentu,
terutama di zaman pertengahan Islam. Zaman diantara politik dan agama sulit dipisahkan,
karena keduanya saling memanfaatkan dalam usaha merebut hati masyarakat.
12
Manna’ Khalil Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Pustaka Litera
AntarNusa,2004), hlm.477-478.
4
Bias berbagai kepentingan inilah yang secara umum melatarbelakangi tampilnya
beberapa karakteristik dalam penafsiran al-Qur’an yang ditengarai perbedaannya dengan
tafsir pada periode awal (klasik).13
13
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir,hlm.57,60.
5
tersebut miliknya. Mana yang dimenangkan dalam kasus seperti ini?
Dan kasus-kasus yang semisal dengannya dan tidak ada kaitannya
dengan ayat tersebut diatas.14 Karena ayat diatas muncul sebagai
kisah pribadi Nabi Yusuf yang sedang terlibat kasus dengan seorang
wanita. Sama sekali tidak kaitannya dengan kasus-kasus yang telah
disebutkan!
Contoh penafsiran seorang tokoh besar tasawwuf teoritis yaitu Ibn
Arabi, ia adalah seorang penganut paham wihdah al wujud. Contoh
penafsirannya dalam surat an-Nisa ayat 1
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri.”
14
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Madzahib at-Tafsir, jld.II, hlm. 155.
15
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Madzahib at-Tafsir, jld.II, hlm. 85.
6
“(yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.”
Ar-Razi menafsirkan ayat tersebut dengan mengaitkan ayat lain
yakni surat an-Nisa ayat 69:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin orang-orang yang mati
syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-
baiknya.”
Dia menyatakan sebagai berikut: “ tidak diragukan lagi bahwa
pemuka ash-shiddiqin adalah Abu Bakar. Oleh sebab itu ayat ini
mengandung pengertian bahwa Allah telah memerintahkan kita agar
mencari hidayah yang sama dengan yang diperoleh Abu Bakar dan
para shiddiqin yang lain. Kalau Abu Bakar itu orang yang dzalim,
niscaya tidak dibenarkan untuk dijadikan panutan. Oleh karena itu,
tidak dapat disangkal bahwa ayat ini menunjukkan imamah Abu
Bakar.” Penafsiran ini hanyalah sebagai justifikasi saja, meskipun ar-
Razi menafsirkannya dengan ayat al-Qur’an yang lain, sebab terlalu
jauh korelasi antara ayat 7 surat al-Fatihah dengan an-Nisa ayat 69,
terlebih jika ditarik-tarik pada persoalan politik yakni imamah Abu
Bakar.16
Contoh-contoh diatas menunjukkan adanya dorongan yang kuat
pada diri mufassir untuk menuangkan gagasan subjektifnya, sebagai
seorang spesialis dibidangnya masing-masing, dalam setiap
kesempatan disepanjang usahanya menafsirkan al-Qur’an.
2. Banyaknya Pengulangan (tikraar) dan Bertele-tele (tathwiil)
16
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, hlm.62-63.
7
Sebagaimana yang telah dijelaskan diawal bahwa pada umumnya
tafsir pada masa ini mengikuti sistem mushafi, yaitu berdasar urutan
ayat dan surat dalam mushaf resmi Utsmani.
Konsekuensi dari penafsiran berdasar mushaf ini adalah mufassir
seringkali dihadapkan pada ayat-ayat yang redaksinya mirip dengan
ayat yang lain yang kebetulan terdapat dalam beberapa surat, ataupun
redaksinya berbeda tapi ada kemiripan pesan yang dibawanya. Dalam
kaitan ini, seorang mufassir mau tidak mau tentu akan menyinggung
pernyataan-pernyataannya yang telah dikemukakan pada ayat
sebelumnya yang redaksi atau pesan yang dikandungnya mirip.
Mufassir model ini cenderung lupa untuk mengantisipasi adanya
pengulangan tersebut. Penulis tafsir ini bahkan masih perlu untuk
memberikan ulasan yang cukup panjang dalam setiap penafsiran atas
masing-masing ayat, sehingga tampak berlebihan jika dibandingkan
dengan ukuran ayat yang ditafsirkannya. Itulah sebabnya tafsir model
ini oleh pengamat tafsir dewasa ini sering dituduh sebagai tafsir yang
bertele-tele (at-Tafsir ath-Thuulaa). Karakter tafsir inilah yang menjadi
salah satu alasan ditawarkannya model tafsir yang mengikuti sistem
tematik (maudlu’i), sehingga pengulangan-pengulangan bisa dihindari
sebanyak-banyak-nya.17
3. Bersifat Atomistik (Parsial)
Pada tafsir masa ini, sang mufassir biasanya menyajikan terlebih
dahulu suatu ayat, kemudian tafsirnya diuraikan dan bahkan
terkadang yang diuraikan hanya bagian tertentu dari ayat tadi. Tafsir
model ini sering kali memperlakukan kata-kata tertentu atau bahkan
tanda baca tertentu dari kata-kata itu, juga penggunaan-penggunaan
yang bersifat individual dalam al-Qur’an dalam keadaan terlepas dari
konteks sastra sebagai satu kesatuan dengan ayat sebelum dan
sesudahnya dalam mushaf maupun konteks kronologis (turun)nya.
Kupasan mereka terkonsentrasikan pada satu kata atau bagiannya
17
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, hlm.63-65.
8
yang se-dang ia hadapi, tanpa mempertimbangkan pesan holistik dari
kata-kata dan peng-gunaannya dalam keseluruhan al-Qur’an. Dalam
tafsir ini seorang mufassir umumnya, sengaja ataupun tidak telah
menjadikan sebuah unit al-Qur’an tercabut dari konteks sas-tra dan
kronologisnya.
Contoh konkret penafsiran seperti ini dalam jajaran tafsir ahkam
misalnya terlihat jelas dalam penafsiran ayat 38 surat al-Maidah:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
9
dicapai. Hal ini disebabkan oleh keterkungkungan para mufassir dari
kalangan fiqh dalam lingkaran diskusi fiqhiyah.18
18
Abdul mustaqim, Aliran-aliran Tafsir, hlm. 65-69.
10
qur’an sesuai dengan kemampuan manusianya tentu akan
menggambarkan minat dan horizon pengetahuan sang mufassirnya.
Dengan latarbelakang seperti ini,mudah di terka bila tafsir yang
muncul kepermukaan pada periode pertengahan akan di dominasi oleh
“kepentingan” spesialisasi yang menjadi basis intelektual
mufassirnya.Keanekaragaman corak tafsir itu sejalan dengan
keragaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu dan menjadi minat
mufassirnya sebelum ia bertindak menafsirkan al-qur’an.Mengingat
adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masing –
masing disiplin ilmu ini yang mencoba menggunakan basis
pengetahuannya sebagai kerangka pemahaman al-qur’an,atau bahkan
adanya beberapa diantaranya yang secara sengaja mencari dasar
yang meligitimasi teori – teorinya dari al-qur’an,maka muncullah apa
yang kemudian di sebut dengan tafsir fiqhi,tafsir I’tiqodi,tafsir
sufi,tafsir ilmi,dan tafsir falsafi,bahkan yang seeding “ngepop”
sekarang ini adalah tafsir feminis yang sarat dengan aroma analisis
jendernya.
1.tafsir corak fiqih {at-tafsir al fiqhi}
Corak penafsiran ini di bangun berdasarkan wawasan mufasirnya
dalam bidang fiqih sebagai basisnya,dengan kata lain adalah tafsir
yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqih,karena fiqih sudah menjadi
minat dasar mufassirnya sebelum ia melakukan penafsiran.Embrio dari
tafsir fiqhi sebenarnya sudah kelihatan semenjak Nabi meninggal dunia
dan munculnya beberapa kasus hukum yang pada zaman Nabi belum
ada,sehingga baelum mendapat-kan pemecahannya.Tuntutan untuk
mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at,menyebabkan
mereka tertarik untuk menggali dasar-dasar hukumnya dari al-qur’an.
2. Tafsir corak teologis {At-tafsir al-I’tiqodi}
Penafsiran al-qur’an corak teologis merupakan salah satu bentuk
penafsiran yang tidak hanya di tulis oleh simpatisan tertentu ,lebih
11
jauh,adalah tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut
pandangsebuah aliran teologis.
Tafsir model ini,lebih banyak / mengedepankan tema-tena teologis
dibandingkan pesab-pesan pokok yang terkandung didalam al-qur’an.
3.Tafsir corak sufistik {at-tafsir ash-shufi}
Dalam dunia islam ada dua kelompok sufi yang sedang
berkembang yaitu praktisi sufi yang lebih mengedepankan sikap
praktis untuk mendekatkan diri kepada Allah dan para teosof yang
lebih konsendengan teoru-teori mistisnya19.Kedua model sufisme ini
mempunyai pengaruh tersendiri dalam dunia penafsiran al-
qur’an,maka lahirlah dua model penafsiran yang dikenal dengan istilah
tafsir shufi isyari dan tafsir shufi nadhori.
Tafsir shufi nadhori dibangun untuk mempromosikan salah satu
dari sekian teori mistik dengan menggeser tujuan al-qur’an kepada
tujuan dan target mistis mufassirnya.Sedangkan tafsir shufi isyari atau
faidhli adalah pentakwilan ayat-ayat al-qur’an yang berbeda ddengan
makna lahirnya,dan disesuaikan dengan petunjuk khusus yang
diterima para tokoh sufisme tetapi antara kedua makna masih dapat
dikompromikan.
4.Tafsir corak falsafi {at-tafsir al-falsafi }
Terjemahan buku-buku filsafat dari berbagai suimber di dunia
kedalam bahasa arab menimbulkan respon yang berbeda-beda di
kalangan kaum muslimin,ada yang secara tegas menolak teori-teori
tersebut lantaran bertentangan dengan keyakinan teologis
mereka.Tetapi,ada sebagian yang merasa kagum atas teori-teori ini
dan merasa mampu mengintegrasikan antar hikmah dan aqidah,antar
filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan keduanya,di tempuh dengan dua cara
yaitu,mentakwilkan teks-teks al-qur’an sesuai dengan pandangan para
filosof,artinya berusaha menundukkan teks-teks al-qur’an pada
19
Abdul mustaqim,Madzahibut tafsir.hal 85
12
pandangan –pandangan filosof hingga keduanya tampak
sejalan.Kedua,menjelaskan teks-teks keagamaan dengan
menggunakanberbagai pandagan dan teori filsafat.
Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi,tafsir yang
didominasi oleh teori-teori filsafat atau menempatkan filsafat sebagai
paradigmanya.
5.Tafsir corak ilmi {at-tafsir al-ilmi}
Tafsir ilmi dibangun berdasarkan asunsi bahwa al-qur’an
mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan
maupan yang belum,hal ini menimbulkan pro-kontra di kalangan para
ulama,sebagian berpandapat bahwa al-qur’an bukanlah buku ilmu
pengetahuan melainkan sebuah kitab petunjuk bagi umat manusia,jika
seseorang berusaha melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan
ayat-ayat al-qur’an,dikhawatirkan jika pada saatnya teori itu runtuh
oleh teori yang baru,maka akan menimbulkan kesan ayat al-qur’an ikut
runtuh.
Terlepas dari pro-kontra diatas,sepatutnya dapat diambil jalan tengah
yang lebih moderat,al-qur’an memang bukanlah buku ilmu
pengetahuan,namun tak dapat dielakkan didalam al-qur’an terdapat
isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya
mengenbangkan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh Tafsir Periode Pertengahan
Diantara tafsir-tafsir yang muncul pada masa ini antara lain, pada
abad ke-3 H diantaranya adalah Ibn Jarir ath-Thabari penulis tafsir al-
Kabir yang merangkum berbagai tafsir sebelumnya. Banyak ulama
tafsir berikutnya yang mengutip buah pikirannya. Kemudian menyusul
Muhammad bin Khalid al-Barqi yang menulis kitab tafsir Imla’ul Imam
Abi Muhammad al-Hasan al-‘Askari, ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi, Ibn
Majah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini –seorang ulama hadits
terkenal-, dan al-Asyaj Abu Sa’id bin Rahawaih.
13
Pada abad ke-4H, diantaranya adalah an-Naisaburi, Abu Hasan Al-
Asy’ari (Imam Ahlu Sunnah), ‘Ali Bin Isa ar-Rummani (ahli ilmu nahwu
yang sangat terkenal),Abu Hilal al-‘Askari, Abdullah bin Muhammad Al-
Kufi, Ibnu Habban dan Ibnu Faurak.
Pada abad ke-5H hadir seorang ulama tafsir terkemuka dari
madzhab Syi’ah Imamiyyah yang sekaligus juga adalah sebagai ulama
fiqh madzhab itu: Syeikh Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi
penulis kitab al-Bayan al-Jami’ li Kulli ‘Ulum al-Qur’an, as-Sayyid asy-
Syarif ar-Ridha al-Musawi, penulis kitab tafsir Haqqiqut Tanzil wa
Daqaiqut Ta’wil, Imamul Haramain Abul Ma’ali al-Juwaini dan Abdul
Malik ats-Tsa’labi.
Sedang dalam abad ke-6 H, kaum muslimin mengenal seorang
ulama tafsir kenamaan Jarullah az-Zamakhsyari yang menulis al-
Kasysyaf. Pada zamannya dikenal juga seorang ulama tafsir bernama
Abul-Fadl bin al-Hasan al-Fadhil at-Thibrisi, penyusun Majma’ul Bayan,
kitab tafsir yang terkenal sangat indah susunannya. Kemudian Abul
Baqa Al’Ikbani, Abu Muhammad al-Baghawidan Ibn ad-Dihan.
Sementara pada abad ke-7 H dikenal seorang ulama tafsir
ternama Al-Baidhawi, penulis kitab tafsir Anwar at-Tanzil yang
dilengkapi dengan uraian (syarh) dan tanggapan (ta’liq) para ulama
berikutnya. Para penuntut ilmu tafsir menggunakan kitab tersebut
sebagai buku pegangan untuk mendalami ilmu Qur’an. Pada masa itu
dikenal juga ulama-ulama tafsir lain seperti: Ibn Zirin, Syeikh Akbar
Muhyiddin al-‘Arabi penulis kitab al-Futuhat, Ibn ‘Aqil an-Nahwi dan
Muhammad binSulaiman al-Balkhi yang terkenal dengan nama Ibn an-
Naqib.
Menginjak abad ke-8 H kita temui Syeikh Badruddin az-Zarkasyi,
yang sekaligus juga sebagai ulama fiqh madzhab Syafi’I, Ibn Katsir
Ismail bin Umar Al-Qurasyi, Abu Hayyan al-Andalusi yangmenulis dua
buah kitab tafsir al-Bahr dan an-Nahr, serta Muhammad bin ‘IrfahAL-
Maliki dan Ibn an-Naqqasy.
14
Masuk ke abad 9 H, kita temui seorang ulama tafsir bernama al-
Buqa’I penulis kitab Nidazmud-Durar fi Tanasubil Ayat wa Suwar. Para
ulama tafsir yang lain misalnya: al-Maula al-Jami, Burhanuddin bin
Jama’ah, ‘Aalaa’uddin al-Faramani penulis kitab Bahrul Ulum fi At-
Tafsir, dan al-Jalal as-Sayuthi yang menyusun kitab al-Itqan fi Ulumil
Qur’an.
Dalam abad ke-10 H ada seorang mufassir terkenal dengan nama
Syeikh ‘Ali bin Yunus as-Sinbathi, yang meringkas kitab Majma’ul
Bayan; Ibn Kamal Pasha, Abu Sa’ud al-‘Imadi –mufti Konstantinopel-
dan penulis kitab tafsir besar dengan judul Bi Irsyad al-Aqli as-Salimila
Mazayal Kitab al-Karim; dan Syeikh Abu Yahya Zakariyya bin
Muhammad al-Anshari.
Tahun-tahun abad ke-11 H kaum muslimin mengenal para ulama
tafsir seperti Syeikh ‘Ali al-Qari, Syeikh Hasan al-Buraini, Syeikh
Baha’uddin al-‘Amili al-Kurki penulis kitab tafsir yang berjudul ‘Ainul
Hayat dan buku berjudul Kisykul; Syeikh Khairuddin ar-Ramli, dan
Syikha al-Khafaji.
Pada abad ke-12H dikenal ulama tafsir seperti Syeikh al-‘Arif Abdul
Ghani an-Nabulsi yang mengarang Tahrir al-Hawiy fi Saryh al-
Baidhawiy dan as-Sayyid Hasyim al-Bahrani penulis kitab al-Burhan fi
Tafsir al-Qur’an.
Pada abad ke13 H seorang ulama tafsir bernama Al-Alusi telah
mengisi daftar nama-nama ulama terkenal dengan bukunya yang
berjudul Ruh al-Ma’aniy; as-Sayyid Muhammad al-Hamzawi mufti
Damaskus dan penulis kitab tafsir Durul Asrar. Kitab ini ditulis dengan
huruf muhmal (huruf yang tidak terpakai lagi), karenanya masih
diperlukan penafsiran khusus.20 Sedangkan abad 14 H, tafsir sudah
masuk periode kontemporer.
20
Ahmad Asy-syirbashi, Sejarah Tafsir Al-qir’an, hlm.95-97.
15
Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas dapat diambil kesimpulan:
Latar belakang munculnya penafsiran pada masa ini yaitu:
Karakteristik tafsir pada masa pertengahan:
1. Pemaksaan gagasan asing (non Qur’an) ke dalam tafsir
2. Menggunakan sistem mushafi, yaitu berdasar urutan ayat dan surat dalam
mushaf (mushaf resmi Utsmani), sehingga tafsirnya bertele-tele dan
banyaknya pengulangan pernyataan, dikarenakan satu pokok bahasan
dijelaskan oleh ayat-ayat yang terletak dalam berbagai surat yang berbeda.
3. bersifat atomistik (parsial) yaitu hanya terfokus pada satu bagian dari
suatu ayat.
Problema-problema tafsir pada masa pertengahan
Tafsir pada abad pertengahan mempunyai berbagai macam corak /nuansa khusus
ynag memberikan warna tersendiri terhadap sebuah penafsiran.Keanekaragaman corak
penafsiran itu sejalan dengan keberagaman disiplin ilmu yang berkembang saat itu dan
menjadi minat mufassirnya sebelum ia bertindak menafsirkan al-qur’an.21
Ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan umat islam selama abad pertengahan
terutama yang berhubungan langsung dengan keislaman adalah ilmu fiqih,ilmu
kalam,ilmu tasawuf,ilmu bahasa dan sastra,serta filsafat.
Corak – corak penafsiran yang muncul pada periode pertengahan:
1.Tafsir corak fiqih {at-tafsir al fiqhi}
2.Tafsir corak teologis {at-tafsir al-I’tiqodi}
3.Tafsir corak sufistik {at-tafsir ash-shufi}
4.Tafsir corak falsafi {at-tafsir al-falsafi}
5.Tafsir corak ilmi {at-tafsir al ‘Ilmi}
21
Abdul mustaqim,madzahibut tafsir,hal.81-82
16
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj.
Mudzakir AS. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.
‘Aridl, ‘Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta :
Rajawali Pers.
Asy-Syirbashi, ahmad. 2001. Sejarah Tafsir Qur’an. Terj. Tim Pustaka
Firdaus. Jakarta: Tim Pustaka Firdaus.
Dzahaby, Muhammad Husein. 2004. at-Tafsir wal Mufassirun. Maktabah
Mush’ab Umair al-Islamiyah.
Goldziher, ignaz. 2006. Madzhab Tafsir. Terj. M. Alaika Salamullah, dkk.
Yogyakarta : elSAQ Press.
Mustaqim, Abdul. 2005. Aliran-aliran Tafsir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
17