1
justifikasi negatif mengenai penggunaan akal dalam
melahirkan hukum agama”.
I. Pendahuluan
Akal merupakan salah satu persoalan yang sering menjadi
tema sentral dalam tradisi pemikiran agama Islam, terutama
perannya dalam melahirkan hukum Islam. Dalam tradisi Islam,
cara berfikir hukum bermuara pada us}u>l al-fiqh,2 mengenai
metode pembacaan, pendekatan penemuan hukum dan lainnya,3
termasuk mengenai peran akal.
Melihat kitab fiqh yang berjilid-jilid disandingkan dengan
wahyu yang mendasarinya hanya berjumlah ratusan saja, tentu
menjadi bukti akan peran penting akal dalam melahirkan fiqh
(hukum) tersebut,4 terlebih dengan adanya catatan mengenai
aliran hukum Islam yang bahkan menggunakan akal sebagai
sumber utama penemuan hukum.5
Peran akan juga terlihat dalam ijtihad (intellectual
exercise),6 serta pola penggunannanya yang telah melahirkan
2 Abdullah Saeed, Islamic Thought an Introduction, (New York: Rouledge,
2006), hlm, 43-44.
3 Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama: Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhory
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2001), hlm. 16-17.
2
ragam metode ijtihad.7 Terbaginya sumber hukum Islam
(mas}adir) menjadi naqlî dan ’aqlî8 telah menempatkan posisinya
sebagai “jembatan jalan” dan “penentu jalan” dalam melahirkan
hukum islam,9 disamping posisi primernya sebagai alat untuk
mengkonstruksi teori-tepri us}u>lyah.10
Artikel ini akan membahas tema akal yang dijadikan
sebagai sebuah penalaran dalam tradisi us}u>l al-fiqh. Metode
yang digunakan adalah kategoris-kritis11 dengan titik pokus
kepada analisi mengenai porsi, posisi dan proporsi akal dalam
tradisi us}u>l al-fiqh, memberikan identifikasi, kemudian
3
menarik kesimpulan dan pandangan yang tepat mengenai
kedudukan akal.
Dalam analisis kritis, artikel ini mempertanyakan tentang
bagaimana episteme berfikir dalam memahami dan
mengeluarkan hukum dari sumbernya (nas}s}), dan analisis
kategoris digunakan untuk melihat konstruksi akal dan
memetakkan, porsi, posisi dan proporsi‘akal sebagai episteme
dalam penalaran us}u>l al-fiqh.
Artikel ini diharapkan dapat memberikan penjelasan
mengenai akal secara baik serta menghilangkan justifikasi
negatif mengenai penggunaannya dalam melahirkan hukum
agama. Meletakkan akal sebagai metode berfikir hukum islam
ditempatnya secara proporsional. Memberikan pandangan yang
baik untuk melihat akal sebagai pola pikir, pendapat manusia,
dan bagaimana ia berperan dalam tradisi penalaran hukum
islam. Dengan artikel ini, diharapkan pula dapat memperkuat
argumen akan pentingnya akal/nalar sebagai sebuah concern
dalam tradisi kajian us}u>l al-fiqh.
II. Pembahasan
A. ‘Aql: Defenisi dan Ruang Lingkup
1. ‘Aql Dalam Bingkan Kajian Semantis
Kata “’aql” yang sudah dipopulerkan dan dipakai secara
resmi dalam bahasa indonesia (akal)12 berasal dari bahasa Arab
yakni al-‘aql ()العقل, dengan pembentukan ‘aqala – ya’qilu – ‘aqlan
( )عق ققل يعق ققل عقلyang memiliki makna fahima wa tadabbara ()فهق ققم و تق ققدبر,
faham/memahami dan menghayati/merenungkan dengan
dalam. 13
4
kebijaksanaan ()النهق ققى, lawan kata dari lemah pikiran ()المحق ق ققق, dan
al-‘aql juga bisa dimaknai dengan hati ()القلب.14
Makna semantis yang sama juga dapat dijumpai di kamus-
kamus bahasa Arab lainnya, namun mencatat makna awal yang
sama yakni ‘aqala yang berarti mengikat dan menahan, karena
itu tali pengikat serban yang dipakai di Arab Saudi disebut ‘iqa>l
()عقققال,15 dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (إعتققق
)ل, tempat tahanan disebut mu’taqal ()معتقل.16
Adapun akal dalam bahasa indonesia dimaknai dengan dua
sense penggunaan, pertama penggunaan nya secara umum bisa
dimaknai, daya pikir, pikiran, ingatan. Akal juga termasuk daya
upaya, ikhtiar, jalan atau cara untuk melakukan sesuatu. Karena
itu akal dinisbatkan kepada orang yg pandai, tak mudah kalah
dalam perbantahan. Kedua penggunaannya dalam kategori
maja>z yang berlaku dalam bahasa indonesia, akal bisa
dimaknai dengan tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan, dsb.
Hal ini karena akal juga digunakan dalam mengatur siasat (siasat
baik atau buruk).17
2. ‘Aql Dalam Tinjauan al-Qur’an dan Tafsir
Materi ‘aql dalam al-Qur’an memiliki banyak bentuk
(variant) diantaranya berbetuk fi’il mud}a>ri’ seperti bentuk
kata ta’qilu>n ( )تعقل ققونatau ya’qilu>n ()يعقلق ققون, selain juga terdapat
bentuk kata kerja seperti‘aqalu>h ()عقلق ق ق ق ققوه, na’qilu ()نعقق ق ق ق ققل, dan
ya’qiluha> ()يعقله ق ق ققا. lafz} ‘aql dalam varisasi bentuk kata ini
mengandung makna faham/memahami dan mengerti. 18 Namun
al-Qur’an juga mencatat bahwa aktifitas pemahaman, dan
16 Ibid.
5
pemikiran tidak hanya dilakukan melalui akal yang berpusat di
kepala, namun juga oleh hati (al-Qalb) yang berpusat di dada.19
Ada beberapa terminologi yang digunakan al-Qur’an untuk
menngambarkan aktifitas berfikir/memahami, yakni:20 nazara ()نظر
yaitu melihat secara abstrak dalam arti berfikir dan
merenungkan ( Q.S: Qaff: 6-7). Tadabbara ()ت ق ق ق ق ق ق ق ققدبر, yaitu
merenungkan ( Q.S: Shaad: 29), tafakkara ( )تفكق ق ققرyang berarti
berfikir (Q.S: An-Nahl: 68-69), faqiha ( )فق ققهyaitu mengerti, faham
(Q:S. al-Isra’: 44), tazakkara ( )تق ق ق ق ققذكرyang berarti mengingat,
memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan,
dan mempelajari, yang kesemuanya mengandung perbuatan
berfikir (Q.S: An-Nahl: 17), dan fahima ( )فه ققمmemahami (Q.S: al-
Anbiya’: 78-79).
19 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.
7.
6
kaidah-kaidah berpikir,24 yang membangun relasi positif dengan
akal. Ali Harb mencatat relasi positif antara akal dan us}u>l al-
fiqh setidaknya dapat dicatat pada tiga hal: pertama, dalam
menghidupkan kembali tradisi berfikir manhaji (metodologis),
kedua dalam mereorintasikan kembali metode (mana>hij) yang
dilakukan para ulama, dan ketiga membangun kembali tradisi
ulama’ us}u>li>. Ketiga realsi ini sekaligus menjadi terangkum
sebagai kritik nalar/kritik epistimologi.25
Imam asy-Sya>fi’i, Mu’tazilah, Hanafiyah, Zhahiriyah, 26
dsb.27 Merupaka tokoh sejarah yang membuat us}u>l al-fiqh
mernjadi pusat teoritisasi aktivitas praksis yang memberikan
teoritisasi perbuatan, logika perilaku, serta metodologi
pembacaan. 28
24 Muhammad Abû Zahrah, Uşûl al-fiqh, (Kairo: Da>r al-fFikr al-‘Arabi, 1958),
him. 3. Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama . . . , hlm. xxiii.
28 Anjar Nugroho, “Fikih Kiri: Revitalisasi Ushul Fiqh untuk Revolusi Sosial”,
dalam jurnal Al-Ja >mi‘ah, Vol. 43, No. 2, 2005/1426 H, hlm. 428,
7
eksis beberapa abad, hingga muncul aliran fikih yang cenderung
liberal, dengan memberi porsi lebih besar kepada akal untuk
terlibat dalam proses ijtihad.31
Fakta aliran ini membuat pemetaan dan penjelasan
mengenai porsi, posisi dan proporsi akal dalam tradisi us}u>l al-
fiqh menjadi penting.
8
Akal jenis ini juga mirip dengan silogisme, 36 permainan
ini dikenal juga dengan logika Aristoteles,37 dan telah banyak
dimainkan oleh logika tradisionalis fiqh klasik, diantaranya
adalah qiya>s,38 dan al-Ja>biri menyebutnya qiya>s baya>ni,
salah satu produk khas dari nalar Arab.39
Qiya>s baya>ni dapat dilihat menjadi dua bagian.
Pertama, al-qiya>s al-iqtira>ni>, yaitu qiya>s yang tersusun
dari dua proposisi, yang manakala keduanya tidak ada yang
menentangi maka secara otomatis muncul ungkapan atau
proposisi lain yang disebut dengan kesimpulan (natîjah).40
Kedua, al-qiya>s al-istis\na`i, yang merupakan qiya>s
syart}iyah, yaitu qiya>s yang disebutkan natîjah di dalamnya
atau kebalikannnya (naqîdhnya).41
Menurut al-ja>biri>, Imam asy-Sya>fi’i bukan hanya
menciptakan–untuk tidak mengatakan bukan pencipta- teori
qiyas, tapi lebih tepatnya megembangkan teori qiya>s dari
logika bahasa.42 Alasannya, karena pengetahuan hukum lebih
banyak didasarkan pada prinsip ‘al-as}l fi> an-nas}s} la> fi>
al-wa>qi’, sehingga konstruksi penyelesaiannya berkisar pada
persoalan petunjuk wacana (dila>la>t al-khita>b) yakni
petunjuk teks (dila>la>t an-nas}s}) dan petunjuk kandungan
teks (ma’qu>l an-nas}s{), sehingga bermuara bahasan teori
qiyas. Akal digunakan dengan memutarbalikan logika untuk
37 Akh. Minhaji “Ushul Fiqh dan Perubahan Sosial Dalam Persfektif Sejarah”,
dalam Amin Abdullah (dkk.), Mencari Islam: Studi Islam Dengan Berbagai
Pendekatan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 71.
9
menyingkapi batasan-batasa deskriptif, memetakkan esensi,
dan memecahkan sebuah identitas.43Persoalan yang ada (al-
far’) dicari rujukannya pada asl dengan berpegang pada kerja
bahasa diatas.44
Karenanya, ijtihad yang dilakukan terorientasi pada
ijtihad baya>ni> -qiya>si,45 penggunaan akal dalam bagian
ini hanyalah sebatas pada hal-hal yang bisa diqiyaskan saja,
ijtihad hanyalah qiyas atau melakukan analogi. 46 Akal (fikiran)
hanya digunakan untuk membentuk (mubtadi’) hukum dan
penyempurna (al-mutammimah).47
Jika dipetakkan, maka kajian dan analisis kategoris ‘aql
diatas dapat dilebarkan menjadi fungsi ‘aql sebagai
penemuan hukum (rectsvinding). Istilah penemuan hukum
lebih tepat, karena diyakini bahwa hukum itu tidak dibuat
tetapi ditemukan. Mujtahid tidak membuat tetapi menemukan
hukum dalam nas}s}, karena adanya kenyakinan bahwa
hukum itu dibuat oleh Tuhan sebagai Syari'.48
Berikut diagram dan skema dari beberapa analisi
mengenai akal dalam cara berfikir deduktif
(istidla>l/istinta>j).
2. Istiqra’ (Induktif).
48 ‘Abd al-Wahhab Khallaf, 'Ilm Uşu>l al-Fiqh, (Mesir: Da>r al-Qala>m, 1990),
hlm. 167.
10
Istiqra’ adalah sebuah penelitian untuk mendapatkan
kebenaran atau kesimpulan,49intrumen yang digunakan
dalam menemukan hukum adalah adalah eksperimentasi dan
penalaran akal.50 Akal digunakan dalam proses
eksperimentasi, dengan mengamati realitas, menganalisis
sebab sebab (idra>k al-sabab) hingga terciptana sebuah
pengetahuan/pemahaman.\51 Al-Ja>biri menyebunya dengan
episteme burha>ni>.52 Dan berbeda dengan baya>ni,
kebenaran dalam epistem ini adalah tidak saja pemakaian
logika secara absah akan tetapi juga kesesuaian
(muta>baqah) antara nalar dengan realitas dan hukum-
hukum alam.53
Beberapa ulama telah mengembangkan metode berfikir
seperti ini, seperti asy-Sya>t}ibi.54 Berikut beberapa metode
yang dikembangkan dalam istiqra’ beserta peran akal
didalamnya:
49 al-Istiqrâ` ini memiliki beberapa arti. Pertama, untuk penelitian terhadap
nas}s}-nas}s} hukum, seperti meneliti nas}s}-nas}s} dalam upaya
menetapkan tujuan-tujuan hukum Islam. al-istiqrâ` juba berlaku penelitian
terhadap partikular-partikular makna nas}s}, untuk kemudian ditetapkan
suatu hukum umum. Kedua, al-istiqrâ` digunakannya untuk penelitian
terhadap hukumhukum spesifik (far'iyah), dengan berdasarkan metode al-
istiqrâ` atau penelitian induktif terhadap hukum-hukum spesifik, Ketiga, al-
istiqrâ` digunakannya untuk melakukan penelitian terhadap realitas sejarah
penerapan hukum dan kaitannya dengan tradisi masyarakat. Dengan
berdasarkan penelitian induktif terhadap faktor-faktor tradisi (al-istiqrâ`
al-‘âdî). Duski, “Metode Penetapan Hukum . . . “, hlm. 199-200.
11
a. al-‘Aql al-Wa>qi’i> (Akal Realitas)
Adalah cara berfiikir dalam falsafah hukum islam
yang berpegang pada kekuatan natural manusia (indrawi)
dan otoritas akal dalam memperoleh pemahaman dan
pengetahun. Dalam operasionalanya, akal berpungsi
sebagai sandaran utama, artinya mengandalkan kekuatan
rasio dengan metode diskursif (bah}s\iyyah) yakni
penelitian dan pengkajian.55
Dalam aktifitasnya akal disini dijadikan metode dan
mesin, ia menjadi penentu dalam mengolah teks, realitas
maupun hubungan antar keduanya sebagai sumber kajian.
Akal menjadi anjungan dikarenakan kesadaran masyarakat
modern menghadapi masanya, logika berfikir jelas
mempengaruhi sikap dan tindakan dalam menanggapi
masalah. Hasil yang ada didasarkan pada metode
epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi
intelektual.56 Buah yang paling nyata dalam hal ini adalah
lahirnya fikih realitas (fiqh al-wa>qi’) , seperti fiqh jual beli,
fiqh kedokteran, fiqh keluarga, dll. yang sudah dikemar
berdasarkan penelitian lapangan terlebih dahulu kemudian
dikonfirmasikan ke nas}s}.
Muhammad Syahru>r adalah salah satu yang
menerapkan peikiran ini. Ia meredifinisi konsep qiyās dalam
us}u>l al-fiqh. Menurut Syahrur, tidak tepat jika kita
sebagai generasi yang hidup di abad modern ini
menganalogkan sesuatu kepada generasi yang hidup di
masa Nabi. Menurut Syahrur, qiyās tidak berlaku untuk
yang syāhid kepada yang gāib, namun qiyās adalah
menemukan hukum baru dengan menganalogkan yang
syāhid dengan yang syāhid pula.57 Qiyās adalah penerapan
sebuah aturan hukum tertentu yang diproduksi pada masa
kini dan kepada masyarakat masa kini pula. Karena itu
12
pelarangan rokok bukan dengan analogi nas}s}, tapi lebih
kepada kajian ilmiah kedokteran.58
Syahrur dengan tegas mengatakan mengatakan
bahwa akal (aql al-wa>qi’i) mendapatkan peran vital
dengan dua pertimbangan rasional: pertama, bahwa
hukum islam adalah hukum sipil buatan manusia yang
disatu sisi mengindahkan kalam Tuhan dan disisi lain
mengindahkan realitas sosial, kedua hukum Islam bukan
syari’at ‘aini tetapi syari’at hudu>di yang membuka lebar
kreativita smanusia.59
b. al-‘Aql at-Ta’wi>li> (Akal Hermeneutis)
Adalah pola pikir yang harus disiapkan sebelum
melakukan ijtihad, Hassan Hanafi lebih senang
menyebutnya dengan kesadaran akademik yang mesti
dipersiapkan sebelum melangkah menuju ijtihad dengan
nas}s} (istidla>l), karena ini berkaitan dengan interpretasi.
Hassan Hanafi memberikan tahap kerja hermeneutis dalam
ijtihad yakni: Pertama, kesadaran historis, dengan
mematangkan pengetahuan klasik teks. Kedua kesadaran
eidetis dengan mempersiapkan diri untuk interpretasi
hermeneutik, dan ketiga, kesadaran praksis dengan
berusaha mentransformasikan wahyu dari ide normatif ke
gerakan realitas/sejarah. Ketiga proyek ini lah yang
membentuk “fikih kiri”.60
Nashr Hamid Abu Zayd juga mencoba mereproduksi
bacaan terhadap ayat hukum secara hermeneutis, dengan
konsep makna (ma’na) dan signifikansi (maghzā). Menurut
Nash Hamid, Makna (ma’na) memiliki ciri historis,
sementara signifikansi (maghzā) memiliki corak yang
bergerak (dinamis) seiring dengan perubahan horison-
60 Hasan Hanafi, Islamologi I: Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih
(Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 160 Anjar nugroho, “Fikih Kiri . . . ‘ , hlm. 445.
13
horison pembacaan.61 Kontribusi maghza> adalah
memperlebar kajian diluar teks, seperti: konteks tekstual
(siyâq an-nas}s}), konteks pembicaraan (siya>q al-
khit}a>b), konteks kondisi signifikan (siyâq al-hâl).62
Akal konteks inilah dalam us}u>l al-fiqh dimasukkan
dengan metode genetika/historis dan metode dialektika, 63
dan fungsi hermeneutika sendiri dalam kerjanya teks,
konteks dan kontekstualisasi, yang merupakan ciri dari the
progressive ijtihaditsts.64 Hermeneutika dalam us}u>l al-
fiqh menawarkan pemikiran yang bermuatan akal
(rasional), guna menghidupkan tradisi agama.
Hermeneutika melihat dan melakukan semua dengan kritis
(‘aql an-na>qid) untuk mendapatkan kajian yang benar
benar komperhensif.
c. Nalar Interdisipliner/ al-‘Aql al-Falsafi
Adalah model penalaran hukum dengan berpegang
pada filsafat, melengkapi aql at-ta’wi>li>. Model penalaran
ini menegaskan fungsi dan peran akal tidak untuk
mengukuhkan otoritas teks, melainkan melakukan analisis
dan menguji secara terus menerus sebuah konklusi secara
dialektis.65 Epistem ini lebih berorientasi pada otoritas akal
(sult}a>t al-‘aql), dengan perangkat metode penalaran
yang dikedepankan adalah induksi (al-istiqra`), inferensia
(al-istintaj), mempertimbangkan tujuan hukum (al-
maqasid).66
Filsafat yakin bahwa pengejawantahan hukum islam
sebagai pengendali masyarakat (social control),
perekayasa sosial (social engineering) dan pensejahtera
14
sosial (social welfare) telah memberikan akal fungsi penuh
untuk mengadaptasikakanya dengan lingkungan baru. 67
Dan sebaiknya memang akal mendapatkan tempat dalam
membangun realitas fiqh yang lebih baik.
Filsafat juga melakukan dailektika atau penyesuaian
(mut}a>baqah bayn al-‘aql wa al-wa>qi’) dengan didukung
oleh konsistensi form berpikir (keilmuan), dan
pertimbangan aspek practical life. Dengan dukungan ini,
akan menghasilkan cara berfikir yang baik dan terintergral
(ru’yah taka>muliyyah).68 Oreintasi seperti inilah yang
dicatat dalam tradisi us}u>l al-fiqg sebagai ijtihad al-
Istis}la>h}i.69
Dlam ‘aql al-falsafi, instrumen analisi akal dibangun
atas ketelitian (ra’y al-bashariyya>t), ketajaman
pengetahuan ilmiyah (ra’y al-‘ilmiyyat) serta keyakinan (al-
i’tiqadiyyat),70 ketiga instrumen ini menguatkan posisi akal
sebagai penentu. Intrumen akal filsafat ini menunjukkan
akal yang dibangun atas dasar episteme keilmuan yang
jelas sehingga menghasilkan sebuah bangunan metode
penawaran gagasan, struktur pelaksanaan dan pola
hubungan, sehingga membuat akal menjadi produsen
kebenaran yang bertanggung jawab atasa banguan yang
dirangkai, dan situasi yang dihadapi.71
Hal ini juga sebenarnya dilakukan oleh ahl al-ra’yi
dimasa itu dimana mereka mendapatkan banyak
permasalahan dilapangan, sehingga mereka mengandalkan
akal yang dibangun dengan basis pemikiran yang
mendalam, memperhatikan segala sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat, dan sikap kearifan
15
kebijaksaan para ulama’.72 Sekarang pun demikian, hanya
saja keilmuan lain sudah berkembag sehingga
tersentuhnya ilmu agama adengan ilmu lain menjadi
penting, guna membentuk pemahaman yang menyatu
(tawhi>d) dan holistik (kulli) sebagaimana gagasan Hasan
at-Turabi>,73 dan juga Jasser Auda.74
Jika disimpulkan, maka kajian dan analisis kategoris
‘aql diatas dapat dilebarkan menjadi fungsinya pembentuk
hukum, sebagai proses konkretisasi peraturan hukum yang
bersifat umum terhadap peristiwa-peristiwa konkret yang
terjadi di masyarakat. Istilah "pembentukan hukum"
digunakan karena beberapa ketentuan hukum belum ada
dalam nas}s} sehingga ‘aql berguna untuk membentuk
sebuah hukum (rectsvorming).
Berikut diagram dan skema dari beberapa analisi
mengenai akal dalam cara berfikir induktif (istiqra’).
74 ibid.
‘Abd al-Wahhab Khallaf, 'Ilm Uşu>l al-Fiqh, (Mesir: Da>r al-Qala>m, 1990),
hlm. 167.
16
utama secara spesifik, melainkan berpegang pada ru>h asy-
syari>’at (maghza) yang ditetapkan dalam semua ayat al-Qur’an
dan haditss secara eksplisit maupun implisit. 76 Ijtihad mode inilah
yang disebut progresif oleh Abdullah Saeed dengan
mengorientasikan pada context-based ijtihad.77 Ketiga ijtihad ini
jelas memiliki tekanan yang sama ketika digunakan oleh
manusia, tidak lepas dari unsur fiqh sebagai suatu yang skeptis-
subyektif, bisa diuji dan dikaji ulang serta tidak kebal dari
kritikan.78
Simpulan setelah mencermati hubungan nas}s} dengan
akal, hubungan nas}s} dengan tradisi atau perkembangan sosial
dan syarat ijtihad, maka cara kerja ijtihad di atas dapat
diterapkan dengan mengikuti dua dan atau atau salah satu dari
dua kerangka konseptual, pertama, gerak dari atas ke bawah
(min al-a’lâ ilâ al-adnâ), dengan memahami nas}s }kolektif,
partikular dan universal, untuk diambil suatu kesimpulan hukum.
Kemudian hukum tersebut diproyeksikan kepada kasus-kasus
atau gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat. Imam Syafi’i
dna ahl al-hadi>s\ populer dengan konseptual ini.
Kedua, kerangka konseptual gerak dari bawah ke atas (min
al-adnâ ilâ al-a’lâ), dengan mempelajai kasus-kasus atau gejala
sosial secara mendalam, untuk ditarik suatu kesimpulan hukum
tentatif. Kemudian hukum tentatif itu dikonfirmasikan dengan
nas}s} hukum. Bila ada unsur-unsur yang bertentangan, maka
nas}s} tersebut memberikan nilai-nilai (filosofis) yang sesuai
dengan tujuan-tujuan umum syarî’ah.
Kedua konsep ini jelas memperhitungkan eksistensi akal
walau dengan kadar yang berbeda. Eksistensi dan peran akal
apakah akal sebagai wacana atau metode,79 dintrumentakan oleh
76 Muhammad Sala>m Maz\ku>r, Ial-Ijtihad fi> Tasri>’ al-Isla>mi>, (Kairo,
Da>r an-Nahd}ah al-‘Arabiyah, 1984), hlm. 42-45 . lihat juga Jaih Mubarok,
Metodologi Ijtihad Hukum Islam . . .hlm. 8.
17
asy-Syât}ibî. Pertama, seandainya dalîl-dalîl syara’ tidak
mengakui peran akal, maka dalîl hukum itu bukanlah petunjuk
hukum syara’ bagi para hamba yang berakal. Kedua, seandainya
dalîl itu tidak mengakui akal maka berarti akan mengarah
kepada pembebanan sesuatu hukum yang tidak mampu
dilaksanakan oleh manusia.80 Ketiga, berdasarkan penelitian
mendalam, tempat pembebanan hukum itu adalah akal, tanpa
akal maka tidak ada beban.81
18
deduksi proporsi atau penggunaan akal kebanyakan hanya untuk
analogi, dan diposisikan membentuk (mubtadi’) hukum dari
nas}s} dan serta penyempurna (al-mutammimah).
Adapun dalam Induksi (istiqra’), akal memiliki porsi yang
aling besar, yakni: Akal 55%, 30% hadits 15%. Dalam istiqra’ akal
dpoporsikan dalam proses eksperimentasi, untuk mengamati
realitas, menganalisis sebab sebab. Ada beberapa metode dalam
istiqra’ yang menguatkan peral akal yaitu al-‘Aql al-Wa>qi’i>
(Akal Realitas), dimana akal disini dijadikan metode dan mesin
dan memiliki otoritas serta memiliki peran penting dalam kajian
lapangan (bah}s\iyyah).
al-‘Aql at-Ta’wi>li> (Akal Hermeneutis), akal diperankan
dalam menganalisi konteks tekstual (siyâq an-nas}s}), konteks
pembicaraan (siya>q al-khit}a>b), konteks kondisi signifikan
(siyâq al-hâl). Dan berperan dalam menjalankan metode
genetika/historis dan metode dialektika. Adapun al-‘Aql al-Falsafi
Adalah model penalaran hukum melengkapi aql at-ta’wi>li>.
Disini akal dibangun atas ketelitian (ra’y al-bashariyya>t),
ketajaman pengetahuan ilmiyah (ra’y al-‘ilmiyyat) serta
keyakinan (al-i’tiqadiyyat) terhadap peristiwa-peristiwa konkret
yang terjadi di masyarakat. Dalam induksi, akal memiliki pungsi
dalam membentuk sebuah hukum (rectsvorming).
Ringkasnya, penerapan nas}s} dan akal dalam penemuan
hukum-hukum haruslah padu dan bersama-sama. Dengan
demikian, ada hubungan positif antara nas}s} dengan akal, yang
di sini saya sebut dengan hubungan talâzum (saling terkait) dan
hubungan takâmul (saling melengkapi). Nas}s} tanpa akal,
terkadang sulit dipahami, dan akal tanpa nas}s} akan menjadi
liar dan tidak terkendali.
Berdasrkan ini, maka harus ada reformulasi mengenai
peran akal dalam epsitemologi hukum islam. Ada beberapa hal
yang perlu disadari pertama akal memainkan peran yang baik
dalam istinbath, kedua akal memiliki kemungkinan untuk
menjadi pencipta hukum, ia bisa membedakan baik dan buruk,
ketiga banyak posisi akal yang bersifat konfirmatif kepada teks,
tidak tunjud desebabkan keterbatasan teks yang ada. Dari sini,
maka indepedensi akal dalam berfikir dan menemukan hukum
perlu dijaga, karena ia memiliki kemampuan untuk itu.
19
IV. Daftar Pustaka
20