Anda di halaman 1dari 21

SUMBER HUKUM NON WAHYU (RASIO) DALAM

HUKUM ISLAM
Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ushul al-fiqh”

Oleh:

Sukma Arohman Putra


NIM 503230014

HKI B

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Abdul Mun’im, M.Ag.


NIP 195611071994031001

PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2023
A. Latar Belakang
Dalam pembentukan hukum, fikih tidak akan dapat berdiri tanpa “ushulnya”, berbeda
dengan ushûl yang dapat berdiri sendiri tanpa fikih, karena ia adalah dasarnya. Oleh sebab itu,
usul fikih adalah ilmu yang sangat penting dalam menghasilkan hukum Islam yang responsif
dan adaptable terhadap permasalahan kontemporer, karena ilmu ini membahas tentang
metode-metode, dasar dasar, pendekatan-pendekatan, dan teori teori yang digunakan dalam
memahami ajaran Islam. Hal inilah yang menjadikannya menempati posisi sentral dalam studi
keislaman, sehinga seringkali disebut sebagai “the queen of Islamic science”. Dari kaidah
kaidah yang lahir yang dirumuskan oleh para mujahid Islam dalam disiplin ilmu ini,
membawa dampak hukum yang dapat mengakomodir, antara necessity of life dengan tujuan
hidup manusia di akhirat kelak.1
Oleh sebab itu, merupakan suatu kepastian bahwa formulasi ajaran dan hukum hukum
yang dibawa Islam selalu mengarahkan arah hidup manusia kepada jalan kebenaran dan
keselamatan, baik dalam interaksi vertikalnya kepada Sang Pencipta, maupun interaksi
horizontalnya sebagai makhluk sosial, bahkan dalam hubungannya dengan sesama makhluk di
alam raya. Ini karena dalam pembentukan dan penentuan hukumnya dengan berdasar kepada
Al-Quran dan Hadis, sudah melalui proses yang panjang dalam diskusi argumentatif para
ahlinya demi kemaslahatan umat manusia.
Islam sangat mengerti bahwa manusia adalah makhluk sosial dinamis yang selalu
menciptakan perubahan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupannya. Semua hal
yang berhubungan dengan perkembangan kehidupan manusia tidak terlepas dari hasil
pemikiran akal dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits. Karena kecerdasan akal manusialah
yang menjadikannya makhluk istimewa, karena dengan potensi akalnya, manusia dapat terus
mengembangkan ide, melakukan berbagai inovasi, kreasi dan lain lain.2
Dalam memahami suatu nash (teks), terutama nash Al-Qur’an dan Hadits, ada dua
pendekatan yang biasa dilakukan para ulama dalam pemahaman, yaitu pendekatan tekstual
dan pendekatan kontekstual. Pendekatan tekstual artinya sebuah pendekatan studi terhadap
suatu nash/teks yang menjadikan lafal-lafal nash/teks tersebut sebagai obyek. Pendekatan ini
menekankan analisisnya pada sisi kebahasaan dalam memahami suatu nash/teks. Begitu pula,
1
Muhammad Tholchah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, (Jakarta: Bangun
Prakarya,1986), hlm. 19.
2
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.
20
pendekatan tekstual terhadap nash hadits dilakukan dengan cara menganalisa ketelitian
redaksi sabda Rasulullah, dimana nabi Muhammad diberikan keistimewaan dari Allah dengan
Jawami’ al-Kalim, yakni lafadz yang sedikit namun mencakup makna yang luas.3
Pemahaman teks hukum secara kontekstual, berarti mencoba memahami ayat/kalimat
yang terdapat di dalam Al- Qur’an dan Hadis terutama yang berhubungan dengan hukum
untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia sesuai pada zaman dimana Al-Qur’an itu
berada.4 Pentingnya memahami teks hukum secara kontekstual karena segala hukum yang
tergantung di dalamnya, adalah untuk kemaslahatan bagi umat manusia. Melanggarnya adalah
petaka bagi manusia itu sendiri. keistimewaan dari Allah dengan Jawami’ al-Kalim, yakni
lafadz yang sedikit namun mencakup makna yang luas. Butuh pemahaman yang dalam, upaya
penafsiran yang komprehensif agar apa yang dimaksud dalam suatu teks ayat dapat dipahami
dengan lebih baik. Meskipun tidak akan ada yang dapat menafsirkan ayat dengan author
centre interpretation. Namun usaha manusia “untuk dapat lebih mendekati” makna Al-Qur’an
dalam arti memahami teks hukum dalam konteks kekinian tentu sangat urgen, mengingat
berbagai macam perubahan yang begitu derastis dari sejak zaman Al-Qur’an diturunkan
sampai pada zaman modern saat ini.
Namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam menjawab tantangan globalisasi saat
ini, karena Al-Qur’an adalah shâlihun fî kulli zamânin wa makânin. Oleh sebab itu, disinilah
salah satu fungsi akal dan ra’yu dalam memerankan tugasnya. Permasalahan kontemporer,
tentu dapat terjawab melalui analisis yang dilakukan oleh akal, dengan tetap berdasarkan
Alquran dan hadis. Dalam kajian ilmu ushul fiqh, masalah otoritas dan kapasitas akal dalam
mencoba mencari solusi/mencari ketetapan hukum dari setiap permasalahan baru yang timbul,
namun tidak terdapat nas yang jelas untuk menjadi dalilnya, menjadikan ra’yu sebagai salah
satu solusi dalam menjawab problematika kontemporer umat Islam. Namun, para ulama
berbeda pendapat dalam penggunaan ra’yu jenis ini sebagai dalil hukum, para ahlipun
membuat klasifikasi ra’yu. Jumhur sepakat mendahulukan ra’yu yang tetap mengambil dalil
dari premis mayor yang terdapat dalam teks-teks kitab suci sebagai ra’yu yang dapat diterima.

B. Rumusan Masalah

3
M. Solahudin, Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur’an, AlBayan: Jurnal Studi
Al-Qur‟an dan Tafsir 1, 2 (Desember 2016), hlm. 115
4
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani al Hadits
1. Bagaimana Kedudukan Akal Dalam Penalaran Hukum Islam ?
2. Macam Macam Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual ?
3. Contoh Kasus Hukum Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam Yang Diselesaikan Dengan
Metode Rasional?

C. Pembahasan
1. Pengertian Ra’yu
Secara etimologi kata ra’yu adalah yang berarti melihat. Kata ra’yu atau yang
semakna, banyak terdapat dalam Al-Quran. Semua memberi isyarat terhadap penggunaan
akal pikiran manusia mengenai alam sekitarnya. Menurut Abû Hasan kata ra’yu memiliki
arti: pengelihatan dan pandangan dengan mata atau hati, segala sesuatu yang dilihat oleh
manusia, jamaknya (al-Ara’).5 Secara terminologi, ra’yu menurut Muhammad Rowas, yaitu
segala sesuatu yang diutamakan manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung.6
Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari kata (ra’â-yarâ-ru‘yan). Penggunaan kata ra’yu bisa
berubah arti sesuai dengan tempat penggunaannya. Jika seseorang melihat bulan dalam
keadaan sadar maka diungkapkan.7
Kata al-ra’yu juga memiliki arti “melihat dengan hati”, (1) pandangan hati; setelah
upaya berfikir dan merenung dan mendapatkan ma‘rifah untuk menetapkan sesuatu yang
benar terhadap masalah yang tanda-tandanya bertentangan, (2) berfikir, yaitu menggunakan
akal dengan aneka sarana yang diarahkan oleh syara‘ untuk sampai kepada petunjuk yang
benar dalam menetapkan hukum dimana tidak ditemui dalil nas, (3) menetapkan hukum
syariah dengan menggunakan kaidah yang telah ditetapkan. Kata ra’yu atau yang seakar
dengan itu terdapat pada 328 ayat dalam Alquran . Dalam bukunya, Amir Syarifudin
menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan kata ra’yu di dalam Alquran itu tergantung
kepada apa yang menjadi obyek dari perbuatan “melihat” itu. Obyek yang dikenai dengan
kata ra’yu di dalam Alquran secara garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
obyek yang kongkrit (berupa) atau obyek yang abstrak (tidak berupa).8
Kesempurnaan ajaran Islam bukanlah terletak pada penjelasan Al-Qur‟an secara
rinci terhadap setiap persoalan yang dihadapi ummat, melainkan pada kandungannya yang
berisi ajaran-ajaran dasar dan pokok. Sebagai sumber utama ajaran Islam, Al-Qur‟an
menjelaskan masalah-masalah hukum secara global, karena apabila dijelaskan secara rinci,
Al-Qur‟an akan kehilangan relevansi dengan dinamika kehidupan dan masyarakat yang

5
Abû al-Hasan Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariya, Mu‘jam alMaqâyis fî al-Lughah (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1994),
436.
6
Muhammad Rawas Qal’ah Ji dan Hamid SHadiq Qanibi, Mu‘jam Lughat al-Fuqahâ (Bayrût: Dâr al-Naffas,
1985), h. 218
7
M. Solahudin, Pendekatan Tekstual Dan Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur’an, AlBayan: Jurnal Studi
Al-Qur’an dan Tafsir 1, 2 (Desember 2016), hlm. 115
8
Lailatu Rohmah, Hermeneutika Al-Qur’an: Studi Atas Metode Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid, Jurnal
Hikmah of Islamic Studies XII, No. 2 Tahun 2016, hlm. 223-224
senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. Memang ada juga ayat-ayat yang
berbicara secara rinci tentang suatu masalah, namun secara umum ayat Al-Qur’an adalah
normatif dan besifat global.9
Oleh karena itu disini penulis ingin menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
ra’yu. Ini bukanlah merupakan sesuatu yang aneh mengingat ra’yu berkaitan dengan suatu
aktifitas vital yang dilakukan oleh manusia. Kata ini sering kali digunakan dalam artian
“melihat” atau “menyangka” Mata dan hati/akal merupakan komponen penting dalam
kehidupan manusia dalam berpikir, kegiatan berpikir sangat erat kaitannya dengan akal,
karenanya Allah SWT menggunakan kata berakal dalam artian yang sama dengan kata
berpikir, bahkan paling tidak kata “akala” terdapat dalam 49 ayat dalam Al-Quran.10
2. Kedudukan Akal Dalam Penalaran Hukum Islam
Akal adalah perangai manusia yang melebihi derajatnya dari makhluk lainnya.
Dengan akalnya manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah, antara yang baik
dan yang buruk, sehingga bisa di sederhanakan bahwa akal adalah alat berfikir yang hanya
dimiliki oleh manusia.11
Sementara itu yang dimaksud dengan hukum islam dalam uraian ini adalah, meliputi
fiqh dan ushul fiqh. Yaitu hukum syar’iy yang berhubungan dengan tingkah laku mukallaf
yang disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci, beserta umber sumber dan kaidah
hukunnya. Didalam Al-Qur’an telah banyak kita jumpai ayat-ayat yang berkenaan dengan
akal dan penggunaanya (berfikir), hal tersebut menunjukan bahwa akal mempunyai
kedudukan yang sangat penting.
Memperhatikan dalil-dalil hukum islam, baik yang disepakati oleh para fuqaha
ataupun yang diperselisihkan, baik yang berupa nash ataupun bukan nash, timbul
keinginan untuk mengetahui apa sebab perselisihan tersebut, dan apa tanggapan dari islam
mengenai permasalahan tersebut.12 Dengan memahami kedudukan akal dalam hukum islam
tersebut diharapkan dapat mengatasi kesulitan yang kita hadapi dalam menyelesaikan

9
Amir Syarifuddin,Ushul Fikih I, 2009, Kencana Prenada Media,Jakarta, hlm. 240. Lihat juga Noul J
Coulson, 1987, The History Of Islamic Law,Edisi Terjemahan Oleh Hamid Ahmad,P3M Jakarta, hlm. 15.
10
Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fikih 1, Kencana Prenada Media, Jakarta 2009.halaman 121
11
Nurcholish Madjid, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam dalam; Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah , editor; Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 242-243
12
Abu Zahrah, 1957. Ushul Al Fikih, Dar Al Fikr Al Araby,Kairo, hlm. 87.
permasalahan khilafiyah, maupun yang baru timbul akibat kemajuan zaman yang terdapat
perbedaan kebudayaan dan adat.
Hukum islam mengatur tingkah laku manusia sebagai mukallaf baik yang
berhubungan dengan tuhan (ibadat), maupun yang berhubungan dengan sesama manusia
(muamallat). Itu berarti masalaah ibadat kita harus melaksanakanya sesuai nash,
maksudnya adalah kita tidak boleh melaksanakan sesuatu sebelum ada nash yang
memerintahkan. Sedangkan dalam masalah muamalat, kita bebas melakukan sesuatu
sampai itu dilarang.
Semua hukum islam telah tersusun secara teratur oleh para ahli fiqh melalui
pendapat-pendapat fiqhnya mengenai persoalan dimasa mereka, atau yang mereka
perkiakan akan terjadi dikemudian hari. Oleh sebab itu dengan mengambil dalil-dalil dari
Al-Qur’an, Hadits dan sumber hukum yang lain, seperti Ijma, Qiyas, Istihsan, Istihsab Dan
Maslahah Mursalah merupakan perbendaharaan yang sangat besar sekali. Walaupun para
ahli fiqh berbeda beda dalam memaknainya sesuai dengan zaman dan lingkungan para ahli
fiqh tersebut. Akan tetapi itu tidak harus dilaksanakan seluruhnya, sebab banyak sekali
ketentuan-ketentuan hukum yang ada didalamnya bertentangan antara satu ahli fiqh dengan
ahli fiqh yang lainya. Yang disebabkan oleh perbedaan madzab dan pemikiran ahli fiqh.
Disisi lain, hukum islam yang turun dari nash, belum mencakup semua pemecahan dari
semua masalah, terutama yang hadir dizaman setelah para sahabat. 13 Disamping itu, ada
beberapa yang belum disepakati oleh kaum muslimin, sebagian digunakan dalam dasar
penetapan suatu hukum, dan sebagian lagi tidak. Diantara adalah : Al Istihsan, Al
Maslahah Mursalah, Al ‘Urf, Alistihhab.
Didalam Al-Qur’an terulangnya kata "akal" dan aneka bentuknya dalam jumlah 22
dan 24 kali. mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Bahkan kedudukan itu diperkuat
oleh ketetapan al-Qur‟an tentang pencabutan/pembatasan wewenang mengelola dan
membelanjakan hartawalau milik seseorang bagi yang tidak memiliki akal/pengetahuan Qs.
AnNisa (4): 5 sebagai berikut :

13
Penjelasan ini dapat dilihat Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isuisu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 76-89
‫ِف‬ ‫ِق‬ ‫ّٰل‬
‫َو اَل ُتْؤ ُتوا الُّسَف َه ۤاَء َاْم َو اَلُك ُم اَّلْيِت َجَعَل ال ُه َلُك ْم ٰي ًم ا َّو اْر ُز ُقْو ُه ْم ْيَه ا َو اْك ُس ْو ُه ْم َو ُقْو ُلْو ا ُهَلْم‬
‫َقْو اًل َّم ْع ُر ْو ًفا‬
Terjemahanya :
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya,
harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik”.

Bahkan pengabaian akal berpotensi mengantar seseorang tersiksa di dalam neraka,


seperti Qs. Al-Mulk (67):11 sebagai berikut :14

‫َفاۡع َت ُفۡو ا ِبَذ ۢۡن ِبِه ۡمۚ‌ َف ۡح ًق ا َاِّلۡص ٰح ِب الَّس ِعۡي ِر‬
‫ُس‬ ‫َر‬
Terjemahanya :
“Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni
neraka yang menyala-nyala”

Melalui akal, lahir kemampuan menjangkau pemahaman sesuatu yang pada


gilirannya mengantar pada dorongan berakhlak luhur. Ini dapat dinamai al-„aql al-wazi‟,
yakni akal pendorong. Akal juga digunakan untuk memperhatikan dan menganalisis
sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam untuk memperoleh kesimpulan
ilmiah dan hikmah yang dapat ditarik dari analisis tersebut. Kerja akal di sini membuahkan
ilmu pengetahuan sekaligus perolehan hikmah yang mengantar pemiliknya mengetahui dan
mengamalkan apa yang diketahuinya. Ini dinamai al’aql al-mudrik, yakni akal penjangkau
(pengetahuan).
Di samping kedua fungsi di atas, masih ada lagi yang melebihi keduanya, yaitu yang
mencakup keduanya, tapi dalam bentuk yang sempurna dan matang sehingga tidak ada lagi
kekurangan atau kekeruhan. Memang, bisa saja ada akal yang menghasilkan pengetahuan,
tetapi (masih berpotensi mengandung) kekurangan hikmah. Demikian juga bisa jadi ada
hikmah yang dilahirkan oleh mereka yang tidak berpengetahuan. Dari pemaparan diatas,
nampak bahwa akal memiliki kedudukan sangat penting dalam perumusan sesuatu itu
menjadi dalil hukum, baik yang disepakati ataupun diperselisihkan. Ditambah dengan

14
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Halim, jilid IX, (Beirut: Daar al-Ma’arif, t.th), hlm. 420.
selalu diadakanya peninjauan dari segi akal maupun dari segi dalil naqli, bahwa akal selalu
berfungsi dan memiliki peranan penting dalam perumusan itu menjadi dalil hukum. Dari
pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa akal memiliki peranan pokok dalam menentukan
seseorang dianggap mukallaf atau bukan.
Dari uraian diatas dapat difahami pemahaman hukum fikih yang berasal dari
rasionalisasi yang bersumber diluar Al-Quran dan As Sunnah disebut pemahaman yang
berdasarkan ra‟yu atau rasio. Bentuk penggunaan ra’yu ini dapat diklasifikasikan antara
lain:15
1. Dilihat dari orang yang menggunakannya, penggunaan ra’yu dalam bentuk ini
ada dua cara:
a) Penggunaan ra’yu secara kolektif, artinya hukum yang didapatkan dari hasil
penalaran yang sama atau kesepakatan pendapat dalam menetapkan hukum.
Cara ini disebut dengan Ijtihad Jama’i.
b) Penggunaan ra’yu secara perorangan, artinya apa yang didapat oleh seorang
mujtahid tentang suatu masalah hukum belum tentu sama dengan mujtahid lain
pada masalah hukum yang sama. Cara penggunaan ra’yu seperti ini disebut
dengan Ijtihad Fardhi.
Dilihat dari dua cara penggunaan ra’yu tersebut diatas yang terkuat dari segi
kebenarannya atau terhindarnya dari kesalahan adalah ijtihad jama’i. Dalam istilah hukum
Islam cara penggunaan ra’yu seperti ini disebut dengan ijma’.
2. Dilihat dari segi ada atau tidaknya dasar rujukan ra’yu itu kepada nash Al-Quran
ataupun sunnah.Dalam hal ini terdapat dua bentuk:
a. Ra’yu yang merujuk kepada Al-Qur‟an dan As Sunnah.
b. Ra’yu yang tidak merujuk secara jelas pada Al-Qur’an dan As Sunnah.
Diantara dua pengunaan ra’yu tersebut yang paling kuat tingkat kebenarannya adalah
ra’yu yang merujuk pada Al-Quran dan As Sunnah. Penggunaan ra’yu dalam dua bentuk
diatas dalam istilah hukum Islam disebut dengan Qiyas.

3. Macam Macam Metode Penalaran Hukum Ekstra Tekstual


15
Mohammad Iqbal, 1981, The Reconstruction Of Thought In Islam, Nusrat Ali Nasri Kitab Bahavan, New
Delhi, hlm. 65.
Pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah
uṣūl fiqh disebut ijtihad, tidak bisa dipisahkan dengan perubahan-perubahan sosial
(transformasi sosial) yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan masyarakat dari zaman
ke zaman. Perubahan perubahan tersebut terjadi, baik karena adanya permasalahan
permasalahan yang baru maupun karena permasalahan yang telah terjadi di masa yang lalu
yang belum terselesaikan. Di sinilah peran hukum Islam untuk menunjukkan relevansinya
dan kefleksibelannya dalam setiap waktu dan di segala zaman. Secara umum, ijtihad itu
dapat dikatakan sebagai suatu upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam
menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap
permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.16
Urgensi dari adanya hal tersebut merupakan upaya untuk mengantisipasi berbagai
tantangan baru yang senantiasa muncul sebagai akibat sifat evolusioner kehidupan. Di sini,
peranan manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut untuk senantiasa berpikir, tetapi bukan
dalam pengertian berpikir bebas tanpa kontrol, ia harus berpikir dalam batasbatas bingkai
Islam, yakni senantiasa terkait dengan makna Al-Qur’an dan Sunnah.17
Dalam proses itu pula dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik langsung maupun
tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan sosial yang salah satu di antaranya diakibatkan
oleh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan hal yang
perlu disadari adalah bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus senantiasa diberi arah
oleh hukum, sehingga perubahan sosial tersebut dapat mewujudkan kebutuhan dan
kemaslahatan bagi umat manusia, bukan malah sebaliknya. Walaupun sosial itu ada yang
mempunyai akibat menguntungkan, dan membawa kemajuan dan perkembangan
(progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang mempunyai akibat merugikan dan berarti
membawa kemunduran (regress), seperti banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikan
masyarakat tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat
mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.
Demikian itu juga berimbas pada semua sistem hukum, termasuk dalam hal ini
hukum Islam. Bahkan, karena hukum Islam didasarkan pada wahyu, hukum Islam itu
mempunyai perbedaan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum
16
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Perlajar, 1996),
255
17
Jalaluddin Rakhmat, 1995, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fikih,Dari Fikih Khulafa Ar Rasyidin hingga
Mazhab Liberalisme,Paramadina Jakarta, hlm. 276.
yang lainnya. Tidak menutup kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai
pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan menetapkan hukum atas suatu
masalah oleh masyarakat dunia, tidak hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, Allah SWT, Al-Qur’an dan
Hadis memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan dalam masalah akidah dan ibadah. Dalam hal ini manusia tidak
diperbolehkan melakukan perubahan perubahan dan pengembangan serta interpretasi lain
selain yang dimaksud oleh Syāri‘ sedikit pun. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah
wajib (maḥḍah) serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang
telah diatur secara rinci oleh nash.
Berbeda dengan masalah-masalah tersebut di atas, maka masalah muamalah atau
sosial kemasyarakatan dalam arti yang luas telah dinyatakan dan digariskan oleh Allah
SWT dalam garis besarnya saja (mujmal) dan bersifat zanni (tidak pasti). Berkaitan dengan
hal tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepadanya, diberi
“kebebasan” dan “keleluasaan” untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari
selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.18
Salah satu tujuan diberikannya kebebasan kepada manusia untuk mencari alternatif
pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan adalah
untuk merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri. Oleh karena pengaturan sebagian
besar masalah sosial kemasyarakatan dalam hidup dan kehidupan manusia adalah dengan
nas-nas dalam bentuk pokok-pokok (ijmāl)-nya saja, maka masalah sosial kemasyarakatan
ini menjadi lapangan ijtihad. Dalam bidang ini, kita dapat melihat bagaimana dinamika
hukum Islam dalam mengantisipasi dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam masyarakat dalam berbagai bidang. Ini tidaklah berarti bahwa masalah sosial
kemasyarakatan tidak mengandung dimensi ibadah. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih
ditujukan untuk memberikan penekanan terhadap masalah masalah yang tidak menerima
perubahan dan pengembangan dengan berbagai Metodologi ijtihad dan pertimbangan yang
diterapkan. Dengan kata lain, sebagai sumber tasyrī‘ ketiga, obyek ijtihad itu adalah segala

18
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 102.
Lihat juga; Abdurrahman I.Doi, Syari’ah The Islamic Law, alih bahasa oleh Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm. 148
sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nas Al-Qur’an dan as-Sunnah serta masalah
masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan nash.19
Dalam perspektif pemikiran hukum Islam (uṣūl fiqh) para ulama uṣūl menerapkan
berbagai Metodologi dalam melakukan ijtihad hukum. Metodologi yang diterapkan itu
antara lain, adalah qiyas, istislah, istishab dan ‘urf. Metodologi tersebut berguna untuk
menggali hukum yang permasalahanya belum terdapat dalam nas (Al Qur’an dan Hadis).
Berdasarkan uraian di atas itulah, pada akhirnya diperlukan suatu pembahasan secara
mendalam dan tersendiri dalam kaitannya dengan dengan corak penalaran yang perlu
dikembangkan dalam upaya penerapan menggali hukum dari nas (Al-Qur’an dan Hadis).
Antara lain sebagai berikut :
1. Al-Qiyas
Qiyas secara bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu.1 Menurut
Hasyim Kamali qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau
kualitas sesuatu. Yang dimaksud qiyas menurut para ahli ushul al-fiqh adalah
mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nas-shnya dengan hukum
suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan ‘illat
ukumnya dari kedua peristiwa itu.20
2. Istihsan
Istihsan ialah membagi al-qiyas atau meninggalkan al-qiyas dan
menetapkan apa yang lebih bermanfaat bagi manusia. 21 Dalam buku lain Istihsan
adalah mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahah
orang banyak. Imam Syafi’i dengan tegas menolak istihsan karena dipandangnya
sebagai penetapan hukum berdasarkan keinginan dan mencari yang enak, tanpa
rujukan pada nas atau keluar dari nass. Ulama-ulama yang berpegang kepada
istihsan sebagai sumber hukum, yang kebanyakan mereka adalah fuqaha-fuqaha
aliran Hanafiyah dan Malikiyah. Baik fuqaha Hanafiyah maupun Malikiyah baru
memakai istihsan manakala penetapan hukum berdasarkan qiyas itu akan
mengakibatkan suatu kejanggalan dan ketidakadilan.
3. Istishab
19
Wahbah Zuhayli, 2002, Tajdid Fikih Al Islami,diterjemahkan dalam Kontroversi Pembaharuan Fikih,
Ahmad Mulyadi,Erlangga Jakarta, hlm. 88.
20
Ahmad Hasan, Qiyas Penalaran Analogis Di Dalam Hukum Islam (Bandung, Pustaka, 2001), 112
21
Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fikih 1, Kencana Prenada Media, Jakarta 2009.halaman 121
Yang disebut istishab menurut ushuliyun adalah menetapkan hukum sesuatu
menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya.
Dengan ungkapan lain istishab ialah menjadikan hukum suatu peristiwa yang
telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil
yang mengubah ketentuan hukum itu. Macam-macam istishab ada dua macam
yakni:22
a. Istishab kepada hukum akal dalam predikat ibahah (mubah) atau baraatul
ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Misalnya: jika si Ahmad mengaku
mempiutangkan kepada Badri, padahal si Ahmad tidak mempunyai bukti atas
pengakuannya itu, maka si Badri bebas dari kewajiban membayar berdasarkan
baraatul ashliyah. Karena demikianlah menurut hukum aslinya, sampai si
Ahmad membuktikan pengakuannya.
b. Istishab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada satu dalil
pun yang merubahnya. Misalnya seorang berwudhu, kemudian ragu apakah ia
sudah batal atau belum, maka dia dihukumi sebagai orang yang masih dalam
keadaan wudu, berdasarkan istishab terhadap hukum suatu peristiwa yang
mendahuluinya secara yakin.
4. Maslahah Murslahah
Menurut pengetian istilah ushul al-fiqh Maslahah mursalah ialah
menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di
dalam Al-Qur’an dan Sunah atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak
kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Prosedur yang harus dilalui dalam
menggunakan Maslahah Mursalah harus memenuhi tiga syarat, yakni:
a. Maslahah yang dicapai itu benar-benar nyata, bukan sekedar dugaan yang tidak
meyakinkan adanya.
b. Maslahah harus bersifat umum, bukan Maslahah perorangan atau kelompok
tertentu saja.
c. Maslahah harus tidak bertentangan dengan ketentuan hukum atau prinsip
agama yang telah ditetapkan oleh agama dengan nash atau ijma’. Contoh:
perkawinan anak di bawah umur tidak dilarang oleh agama dan sah jika
22
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Yogyakarta, Pustaka Perlajar, 1996),
255.
dilakukan oleh walinya yang berwenang. Namun, data-data statistik
menunjukkan perkawinan anak di bawah umur membawa akibat perceraian,
karena anak-anak belum siap fisik dan mentalnya untuk menghadapi tugas-
tugas sebagai suami istri. Dan perceraian tidak sesuai dengan tujuan
perkawinan,. Maka atas dasar Maslahah mursalah pemerintah dibenarkan
melarang perkawinan anak-anak, dan membuat peraturan tentang batas umur
bagi calon suami istri.
5. Sadzudh Dhariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.23 Menurut kebanyakan ulama ushul al fiqh dapat
diartikan sebagai perantara atau jalan yang membawa kepada kejelekan /
kerusakan saja. Dengan demikian yang menjadi dasar diterimanya . Sadzudh
Dhariah sebagai sumber hukum pokok islam adalah tinjauan dari akibat suatu
perbuatan, ketika suatu prbuatan mengarah kepada diperintahkan, maka itu
menjadi mathlub (diprintahkan). Sebaliknya jika perbuatan itu mengarah kepada
yang buruk, maka itu dilarang.
Peninjauan yang dilakukan adalah memerhitungkan akibat perbuatanya,
bukan dari niatnya. Jadi perbuatan dicela aau dipuji dikaji dilihat dari akibatnya.
Contohnya adalah: melihat aurat wanita bukan mahram dan bukan pula istrinya
adalah haram, karena perbuatan itu bias membawa kepada perbuatan keji/zina.
6.‘Urf
‘Urf adalah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan
terus-menerus berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut al-Ghazali prosedur
‘urf yang sehat/baik ialah ‘urf yang telah dikenal oleh masyarakat dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang diharamkan, dan tidak
membatalkan semua kewajiban.13 Contoh: jual beli dimana si pembeli
mmenyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya,
tanpa mengadakan ijab-qabul , karena harga barang tersebut sudah dima’lumi
bersama.14 Secara etimologis, metode berasal dari kata 'met' dan 'hodes' yang
berarti melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus

23
Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fikih 1, Kencana Prenada Media, Jakarta 2009.halaman 121
ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga Metode Penetapan Hukum
Islam berarti cara yang ditempuh dalam menetapkan hukum islam. Sumber hukum
pada masa Rasulullah tetap berpegang teguh pada AlQuran Al-Karim dan Sunnah
Rasulullah.
Pengenalan Al-Quran terhadap hukum, mayoritasnya bersifat universal tidak
parsial dan global tidak rinci. Untuk memahami Al-Quran, dibutuhkan Sunnah.
Oleh karena itu, sumber dari Al-Quran yang universal diperjelas dengan sunnah.
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motede penetapan hukum dipakai dengan istilah
“Istinbath”.15 Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan
istinbath ini memberikan kaidah kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum
dari dalil. Dalam penetapan hukum islam secara umum dapat di kelompokkan
kepada tiga macam :24
yaitu pertama, Metode verbal (at-turuq al-lafzdiyah) yaitu metode
penetapan hukum yang bertumpu kepada analisis kebahasaan. Thuruq lafdziyah
dikatakan juga sebagai pendekatan lafadz yang penerapannya membutuhkan
beberapa factor pendukung yaitu:
a. Penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta
konotasinya dari segi umum dan khusus,
b. Mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi ( ataukan
termasuk dalalah yang mafhum yang diambil dari konteks kalimat;
c. Mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah nash;
Kedua, Metode substansial (at-turuq al-ma’nawiyah), yaitu metode
penetapan hukum yang bertumpu kepada pengertian implisit nash dengan
menggali substansi-substansi hukum islam (al-iltifatila al-ma’aniwa al-maqasid).
Ketiga Metode kontemporer yaitu suatu cara yang ditempuh pada masa
kini (modern) untuk mencapai atau menetapkan Hukum Islam.
4. Contoh Kasus Hukum Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam Yang Diselesaikan
Dengan Metode Rasional
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.
Berbicara tentang hal tersebut, berbagai ahli mengemukakan beragam definisi tentang
24
Jalaluddin Rakhmat, 1995, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fikih,Dari Fikih Khulafa Ar Rasyidin hingga
Mazhab Liberalisme,Paramadina Jakarta, hlm. 276.
hukum sesuai dengan sudut pandangan masing-masing. Keragaman tersebut sebenarnya
lebih banyak disebabkan oleh perbedaan cara melihat hukum itu sendiri dari pada
perbedaan pandangan tentang apa yang dimaksud, hukum. Seperti disinggung oleh3 Hart,
orang yang bergerak dalam bidang hokum umumnya mengetahui apa hukum tersebut,
tetapi ia sering mendapat kesulitan untuk menerangkannya kepada orang lain dalam
bentuk sebuah definisi yang tegas.25
Sementara itu, Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, para pakar hukum Islam tidak
mempergunakan kata hukum Islam dalam literatur yang ditulisnya. Yang biasa
dipergunakan adalah istilah syariat Islam, hukum syara’, fiqih, syariat
dan syara’. Kata hukum Islam baru muncul ketika para orientalis Barat mulai mengadakan
penelitian terhadap ketentuan syariat Islam dengan term Islamic Law yang secara harfiah
dapat disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum
dan kata Islam secara terpisah merupakan kata yang dipergunakan dalam bahasa Arab dan
juga berlaku dalam bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai, meskipun tidak ditemukan
artinya secara definitive.26
Hukum Islam sebagai tatanan dalam hukum modern dan salah satu sistem hukum
yang berlaku di dunia ini, substansinya mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, salah
satunya yakni mencakup hukum-hukum yang berhubungan dengan keluarga (al ahwal
asy-syahsyiyah) seperti nikah, talak, rujuk, wasiat, waris dan hadhanah. Dengan demikian
hukum adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat karena hukum
Islam adalah hukum Tuhan karenanya dia abadi dan berlaku sepanjang zaman.
Terhadap pandangan yang demikian, banyak pemikir hukum yang pada akhirnya
membagi hukum sebagai teks dalam makna dan lafadz. Secara makna berarti sebagai
bentuk ideal dan pesan moral yang oleh karenanya sebagai sesuatu yang universal dan
abadi. Sedangkan sebagai lafadz hukum adalah bentukan budaya yang berdasarkan
sosiologis dan sangat mudah dipengaruhi oleh konteksnya. Berkaitan dengan hal tersebut,
para pemikir hukum dalam perspektif implementatif menuangkan gagasan antara konsep
syariah dan fikih. Konsep pertama, diasumsikan sebagai hukum Tuhan yang abadi dan

25
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 198
26
Nurcholish Madjid, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam dalam; Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah , editor; Budhy Munawar Rachman, (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 242-243
tidak bisa berubah, Sedangkan konsep kedua, adalah seabagai hukum Islam dari hasil
penemuan manusia yang bersifat kontekstual bisa berubah.27
Reformasi terhadap hukum Islam yang telah dilakukan di negara-negara Islam di
Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Tenggara berhasil melahirkan
perubahan besar dalam satu abad terakhir, baik dalam sistem peradilan maupun dalam
sistem yang diterapkan. Karena urgensitas perundang-undangan hukum keluarga, maka ia
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk Hukum Islam itu sendiri. Artinya,
Hukum Islam dimaknai sebagai salah satu produk yang didalamnya terdapat Undang-
undang mengenai Hukum Keluarga. Salah satu bagian dari Hukum Keluarga adalah
membahas mengenai masalah-masalah dalam perkawinan, termasuk perkara perceraian di
dalamnya. Dinamika permasalahan rumah tangga saat ini semakin beragam. Hakikat
kesucian pernikahan saat ini sudah mulai terkikis. Pergeseran cara pandang dalam
menghadapi permasalahan rumah tangga dewasa ini, banyak faktor yang menyebabkan
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Faktor-faktor yang dihadapi tersebut berbeda-
beda, seperti faktor ekonomi keluarga, latar belakang pendidikan, faktor biologis, dan lain
sebagainya. Perceraian adalah salah satu fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, lebih
ektsrim lagi dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari gaya hidup (life style).

KESIMPULAN
Dalam menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang tidak terdapat dalam nas
Alquran dan hadis, ra’yu dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam yang diakui
keabsahannya. Namun demikian, tentu saja Alquran dan hadis harus tetap menjadi acuan utama
27
Jalaluddin Rahmat, 1994, “Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memaham Hukum Islam”, dalam
Kontekstulisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah,Paramadina Jakarta, hlm. 355.
dalam mengatasi keterbatasan akal dalam istinbat hukum Islam. Terdapat perbedaan mendasar
antara al-ra’yu dan al- ‘aqlu. al-Ra’yu adalah sesuatu yang diputuskan oleh hati sesudah melalui
proses pemikiran, penelitian dan pencarian kebenaran dari sesuatu yang bertentangan dengan
dalil yang ada/karena tidak didapati dalil yang jelas dari nas. Sedangkan al-‘aqlu adalah
merupakan alat untuk mengetahui kewajiban dan kebenaran. Akal adalah sumber utama yang
dapat mengetahui sebagian besar dari kemaslahatan dan keburukan yang berkaitan dengan
urusan duniawi dan ukhrawi.
Sementara itu akal juga berfungsi untuk membantu manusia, dalam proses memahami
permasalahan kontemporer yang belum ada penyelesaianya di dalam Al Qur’an dan Hadits.
Karena lewat akal lah munculya metode metode dalam penalaran hukum islam. Selain itu juga
Kewajiban berpikir tersebut bertujuan untuk menyingkap dan menggali segala rahasia dan
hikmah yang Allah maksudkan untuk kemaslahatan manusia dan hal tersebut hanya dapat
dicapai melalui penggunaan dan pemberdayaan akal atau ra‟yu, karena akal atau ra‟yu
merupakan komponen utama dalam proses berfikir, karena pada hakikatnya proses berpikir itu
menuju kepada pencarian kebenaran.
Sementara itu Hukum Keluarga menduduki posisi yang amat penting dalam Hukum Islam,
berkaitan dengan kontribusinya dalam upaya menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan
harmonis. Itulah sebabnya di banyak negara Islam atau di negara yang berpenduduk muslim
mayoritas, terutama di Indonesia , bidang hukum keluarga senantiasa mendapatkan apresiasi
tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk berkala untuk legislasi hukum Islam menjadi hukum
positif ke dalam produk perundang-undangan. Adanya tuntutan perubahan zaman,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat pembaharuan hukum keluarga Islam
di Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Pembaharuan ini merupakan jawaban atas tantangan
modernitas dalam hukum keluarga, karena pemahaman konvensional yang mapan tentang
berbagai ayat al Quran, hadis, dan kitab-kitab fiqh tidak mampu menjawab tantangan problem
hukum keluarga yang muncul pada era modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, 1978, Ushul Fikih, Dar al Qalam, Kairo.

Abu Ishaq Asy Syatibi, 1970, Al Muwafaqat fi Ushul Al ahkam, Muhammad Ali Shubyih Kairo.
Abu Yazid, 2007, Nalar dan Wahyu, Interrelasi Dalam Pembentukan Syariat Islam, Jakarta,
Erlannga.

Abu Zahrah, 1957, Ushul Al Fikih,Dar Al Fikr Al Araby,Kairo. Ahmad Warson Munawwir,
1997. Kamus al-Munawwir. Pustaka Progresif, Surabaya.

Ali Yafie, 1995, Konsep Konsep Hukum, Paramadina, Jakarta.

Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fikih 1, Kencana Prenada Media, Jakarta.

Atho Mudzhar, 1994, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam,dalam Kontekstulisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah,Paramadina Jakarta.

Ibnu Qayyim AlJauziyyah, 1955, I‟lam Al Muwaqiuun, Juz III, Al-Maktabah AlTijariyah,
Qahirah.

Imaduddin Ismail Bin Umar, 1994, Tafsir Ibnu Kasir, Juz II, Muassasah Dar Al Hilal, Kairo.

Imam Abu Hanifah, 1902, Fikih Al Akbar, Maktabah Amirah As Syarqiyah, Mesir, terjemahan
Afif Muhammad, Pustaka, Bandung.

Jalaluddin Rahmat, 1994, “Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memaham Hukum Islam”, dalam
Kontekstulisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina Jakarta.

Jalaluddin Rakhmat, 1995, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fikih,Dari Fikih Khulafa Ar
Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme,Paramadina Jakarta.

Mohammad Iqbal, 1981, The Reconstruction Of Thought In Islam, Nusrat Ali Nasri Kitab
Bahavan, New Delhi. Muhammad bin Ismail al-Bukhari, t.t., Shahih Al Bukhari, juz
III,Dar Sa‟b, Beirut. Muhammad Fu‟ad „Abdul Baqi, 324 H, Mu‟jam Mufahras li Alfazim
al-Qur‟an al-Karim, Dar al-Hadis, Kairo.

Muhammad Najjar dkk., 2004, Mu‟jam al-Wasit Muhaqqiq: Majma‟ al-Lughah al Arabiyyah,
Maktabah Syuruq al-Dauliyah, Mesir.

Noul J Coulson, 1987, The History Of Islamic Law,Edisi Terjemahan Oleh Hamid Ahmad,P3M
Jakarta.

Wahbah Zuhayli, 2002, Tajdid Fikih Al Islami, terjemahan Kontraversi Pembaharuan


Fikih, penterjemah Ahmad Mulyadi, Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai