Disusun Oleh
Kelompok 4
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum dalam agama Islam yang paling utama dan pokok dalam menetapkan
hukum dan memecah masalah dalam mencari suatu jawaban adalah al- Qur’an dan al-Hadis.
Sebagai sumber paling utama dalam Islam, alQur`an merupakan sumber pokok dalam berbagai
hukum Islam. Al-Qur’an sebagai sumber hukum isinya merupakan susunan hukum yang sudah
lengkap. Selain itu juga al-Qur`an memberikan tuntunan bagi manusia mengenai apa-apa yang
seharusnya ia perbuat dan ia tinggalkan dalam kehidupan kesehariannya.4 Sedangkan al-Hadis
merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Disamping sebagai sumber ajaran
Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga karena
fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur’an mujmal, mutlak, amm
dan sebagainya.
Al-Qur’an merupakan hidayah Allah yang melengkapi segala aspek kehidupan manusia.
Sumber paling utama dalam Islam adalah al-Qur’an, yang merupakan sumber pokok bagi
aqidah, ibadah, etika, dan hukum. al-Qur’an merupakan sumber primer karena tidak lepas dari
apa yang dikandung oleh alQur’an itu sendiri. Di dalam al-Qur’an sendiri di jelaskan segala
sesuatu yang berkenaan dengan segala kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya.
Meskipun al-Qur’an itu bukanlah ilmu pengetahuan dan bukan pula ilmu filsafat.8 Tetapi
didalamnya terkandung pembicaraan-pembicaraan yang penuh isyarat untuk ilmu pengetahuan
dan ilmu kefilsafatan. Sejak pertama kali di turunkan, al- Qur’an telah merubah arah dan
paradigma bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Berbagai sisi kehidupan manusia
mengalami pergeseran arah yang lebih baik dengan hadirnya al-Qur’an. Hal ini merupakan
salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam alQur’an. Sementara
itu, ada yang mengatakan bahwa semua ilmu dan pengetahuan yang ada di dunia dan akhirat
sudah terangkum semua di dalam al- Qur’an.
Dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman, “… barangsiapa tidak memutuskan dengan apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (Q.S. al- Ma’idah/5:44). Ayat
tersebut mendorong manusia, terutama orang-orang yang beriman agar menjadikan al-Qur’an
sebagai sumber hukum dalam memutuskan suatu perkara, sehingga siapa pun yang tidak
menjadikannya sebagai sumber hukum untuk memutuskan perkara, maka manusia dianggap
tidak beriman. Hukum-hukum Allah Swt. yang tercantum di dalam al-Qur’an sesungguhnya
dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kepentingan hidup manusia itu sendiri. Allah Swt.
sebagai Pencipta manusia dan alam semesta Maha Mengetahui terhadap apa yang diperlukan
agar manusia hidup damai, aman, dan sentosa.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana pembelajaran untuk lebih memahami
sumber-sumber hukum islam. Melalui makalah ini diharapkan dapat menjadi penambah
wawasan agar lebih mengetahui apa saja sumber hukum islam itu. Selain itu penulisan makalah
ini ditujukan pula untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islma II
BAB II
PEMBAHASAN
Beberapa alasannya adalah karena aturan di dalamnya bersifat universal, bahkan hanya 80 ayat
saja yang secara eskplisit menggunakan kata hukum. Menurut beliau, Al-Qur’an lebih pantas
dikatakan sebagai kitab petunjuk untuk standar moral perilaku manusia. Karena pembahasan
ibadah dan muamalah dalam Al-Qur’an bersifat umum, maka diperlukan suatu penjelas. Nabi
Muhammad lah yang kemudian merincinya melalui perkataan dan perbuatan beliau.
Contohnya adalah sholat dan zakat. Di Al-Qur’an tidak ditemukan waktu sholat, gerakan
sholat, dan lain-lain. Rincian tata-tata cara tersebut dapat ditemukan pada hadits Nabi SAW.
Al Quran sebagai kalam Allah SWT dapat dibuktikan dengan ketidaksanggupan atau
kelemahan yang dimiliki oleh manusia untuk membuatnya sebagai tandingan, walaupun
manusia itu adalah orang pintar.
B. Hadist
Sunnah (hadits) merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Quran. Sunnah juga menempati
posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian-kajian keislaman. Keberadaan dan
kedudukannya tidak diragukan lagi. Sunnah dari segi etimologi adalah perbuatan yang semula
belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang yang lebih baik perbuatan terpuji
maupun tercela. Secara terminologi, ahli fiqih dan hadis berbeda memberikan pengertian
tentang hadis. Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis yaitu suatu yang
dinisbahkan oleh Rasullullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun sikap belaiu tentang
suatu peristiwa.
Para ahli fiqh makna sunnah mengandung pengertian suatu perbuatan yang jika dikerjakan
mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Dalam pengertian ini sunnah
merupakan salah satu dari ahkam al takhlifi yang lima, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh,
mubah. Sunnah menurut istilah ahli ushul figh adalah ucapan nabi dan perbuatannya dan
takrirnya. Jadi sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut
istilah agama yaitu perbuatan nabi. Perbuatan dan takririnya (yakni ucapan dan perbuatan
sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkan). Seluruh umat Islam telah sepakat
bahwa hadis rasul merupakan sumber dan hukum Islam setelah Al Quran. Kesepakat umat
Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di
dalam hadis sudah berlaku sejak Rasullullah masih hidup.
C. Ijtihad
Menurut bahasa ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan
menurut istilah ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-
sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Ijtihat dapat dilakukan ketika suatu masalah yang
hukumnya tidak ada di dalam Al Quran dan hadis.Sehingga bisa menggunakan ijtihad dengan
menggunakan akal pikiran, namun tetap mengacu berdasarkan Al Quran dan hadits.
Bentuk ijtihad itu ada ada tiga macam, yakni:
1. Ijma
Ijma adalah kesepakatan dan ketetapan hati untuk melaksanakan sesuatu. Ijma
dilakukan untuk merumuskan suatu hukum yang tidak disebutkan secara khusus
dalam Al Quran dan hadits. Jumhur ulama, merumuskan ijma dengan
kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara' mengenai
suatu kasus atau peristiwa.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu masalah yang belum ada kedudukan
hukumnya dengan masalah lama yang pernah karena ada alasan yang sama.
Sebelumnya dalam kerangka teori hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki
tempat terakhir karena ia memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah merupakan cara dalam menetapkan hukum. Di mana
berdasarkan pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Demikian juga, ada warga negara yang diputus bersalah oleh pengadilan, lalu langsung
dimasukkan ke dalam penjara, tetapi ada juga warga negera tertentu, karena memiliki
jabatan penting dalam negara, sungguhpun diputus bersalah oleh pengadilan, hakim yang
memutuskan perkara tidak memerintahkan penahanan atas dirinya. Sementara itu banyak
masyarakat kelas bawah yang hanya disebabkan kesalahan yang ringan harus mendekam
dalam penjara dari semenjak ditangkapnya sampai habis masa tahanannya.
Dalam hal moralitas politik para elit politik Islam di Indonesia, sungguh sangat mengharukan
kalau kita cermati sifat terjang mereka dalam kancah perpolitikan, terutama dalam
menghadapi lawan politik yang samasama muslim. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana
elit politik Islam bersatu pada pasca pemilu 1999 untuk menyukseskan KH. Abdurrahman
wahid, akrab dipanggil Gus Dur, menjadi presiden RI ke-4 dan menjegal Megawati, tetapi
setelah berhasil menyukseskan Gus Dur sebagai presiden, pada tahun 2001 mereka bersatu
padu dengan kekuatan nasionalis untuk menjatuhkan Gus Dur dan mengangkat Megawati –
figur yang semula ditentang habis-habisan menjadi presiden. Terlepas dari pantas atau
tidaknya Gus Dur dilengserkan, tetapi apakah mudah berubahnya sikap politik elit Islam dari
mendukung kemudian menolak dan sebaliknya, merupakan sikap yang berlandaskan kepada
Syariat Islam? Lihatlah ketegangan yang terjadi ketika itu yang hampir-hampir memecah
belah umat Islam.
Masih banyak ajaran-ajaran Islam (syariat Islam) yang belum dijalankan oleh umat Islam, padahal
untuk menjalankannya tidak perlu keterlibatan negara. Justru ajaran- ajaran universal ini
sangat mendesak karena dampaknya menyangkut nasib orang banyak. Maka tidak salah kalau
ada orang yang mengatakan bahwa tanpa dasar negara Islam pun, syariat Islam dapat
dipraktikkan di Indonesia.
Melengkapi bekerja keras dan profesional adalah praktek bersikap dan berperilaku
mencontoh Rasulullah yaitu bersifat siddiq, fathonah, amanah dan tabligh agar kita diberikan
keselamatan dunia dan akhirat. Sifat siddiq adalah dapat dipercaya dan jujur. Sifat fathonah
adalah harus pintar. Sifat amanah adalah melaksanakan tugas yang dibebankan dan tabligh
adalah mampu melakukan komunikasi yang baik.Wujud dari kita bekerja selain mendapat
rezeki halal adalah pengakuan dari lingkungan atas prestasi kerja kita. “Sesungguhnya Allah
suka kepada hamba yang berkarya dan terampil dan siapa yang bersusah payah mencari
nafkah untuk keluarga maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla
(H.R. Ahmad).Allah juga telah menjanjikan kita mempunyai peluang memperoleh rezeki yang
luas asalkan bekerja profesional dan cerdas melalui etos kerja yang tinggi. Islam telah
mengajarkan bagaimana mempraktekan etos kerja yang tinggi. Ada 4 (empat) prinsip etos
kerja tinggi yang diajarkan Rasulullah seperti diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam
“syu’bul Iman”.
2. Bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain apalagi
menjadi benalu bagi orang lain. Makna terdalam adalah kita dilarang untuk
bersifat selalu meminta imbalan diluar kemampuan lembaga tempat kita bekerja.
3. Bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga. Tegasnya seseorang harus
mengatur rezeki yang diperoleh hasil dari memerah keringat untuk mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya dengan menghindarkan perilaku boros.
4. Bekerja untuk meringankan hidup tetangga. Artinya kita setelah memperoleh
rezeki tidak boleh egois dan harus peduli untuk meringankan kesulitan ekonomi
tetangga kita.
3. Hukum Islam sebagai Solusi Problematika Profesi
Dalam sejarahnya, agama selalu menjadi solusi terhadap problem kehidupan. Demikian pula,
Islam dibawa oleh Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw., untuk menyelesaikan persoalan
kemanusiaan yang sedemikian bobrok yang disebut sebagai zaman jahiliyah. Pada zaman itu,
masyarakat Arab suku Quraisy disebut dalam sejarah mengalami kerusakan moral yang amat
parah, baik dalam kehidupan keagamaan, social, politik, moral, dan lain-lain.
Islam datang adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah atau menjadi solusi dalam kehidupan
sehari-hari. Orang yang semula berselisih, konflik, dan atau bermusuhan, maka dengan
kehadiran Islam, mereka berubah menjadi hidup damai.
Kedamaian tersebut berasal dari hukum Islam yang sangat memperhatikan kesejahteraan dan
keadilan umatnya yang tujuan akhirnya adalah untuk menjadi pedoman manusia untuk hidup
dengan tentram di dunia. Termasuk juga dalam hal ini untuk menjawab problematika profesi,
problematika profesi yang meliputi masalah etik keprofesian. Namun keberadaan kode etik
tidak menjamin pekerjaan yang mengikuti etika-etika yang ada di masyarakat. Untuk itu setiap
dari kita perlu memperhatikan hukum islam untuk dijadikan kode etik penuh yang berdasar
pada sumber hukum Islam yakni al-Qur'an dan hadits, karena hukum Islam yang bersifat
umum dan mencakup segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya etika dalam menjalankan
profesi.
Akhlak yang bersumber dari hati akan selalu dipelihara dan dikedepankan, oleh karena umat Islam
selalu dianjurkan mencontoh kehidupan Nabi Muhammad yang juga selalu memberikan
ketauladanan tentang akhlak yang mulia itu. Jika demikian itu, maka Islam memang memberi
solusi terhadap semua problem dalam kehidupan ini termasuk problematika profesi. Kunci
utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan adalah hukum terbaik di segala
zaman dan masa. Itulah hukum Allah SWT (syariah Islam).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih
adil daripada Allah SWT, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya
(Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).
DAFTAR PUSTAKA