Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Memahami Perubahan Masyarakat
Perubahan masyarakat itu adalah suatu hal alamiah yang terjadi seiring dengan
berjalannya waktu, itu terjadi karena kehidupan manusia yang secara teratur bergerak
menuju suatu kesempurnaan. Dalam hal ini tidak ada namanya masyarakat yang tidak
menginkan suatu perubahan. Itu adalah suatu hal yang salah, semuanya harus bergerak,
mengalir untuk menuju suatu perubahan yang lebih sempurna dari sebelumnya serta
merencanakan pembaharuan untuk masa yang akan datang. Menurut Harun Nasution
pembaharuan itu identik dengan modernisme di Barat. Modernisme disini mempunyai
arti fikiran, aliran gerakan dan usahauntuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusiinstitusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Tata nilai dan norma itu datang dengan sendirinya seiring dengan keberadaan
manusia itu sendiri. Tata nilai dan norma itu ada yang dibuat sesuai dengan kesepakatan,
bahkan ada juga karena ada paksaan dari pihak yang berkuasa dan juga adapula karena
ajaran oleh agama yang lebih luas, universal dan abadi. Di dalam Agama Islam
menyimpan banyak sekali norma-norma, bukan hanya dalam konteks hubungan manusia
kepada Tuhan, tetapi lebih jauh dalam konteks interaksi manusia sesama manusia dan
manusia dengan alam lingkungannya.
Hukum Islam adalah hukum yang merupakan hasil dari sebuah perubahan
pemikiran manusia yang sepanjang dirumuskan manusia dari segenap keanekaragaman
norma-norma agama ini yang dilahirkan dari ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Al-Khulafa

al-Rasyidun

adalah

penafsir

hukum

awal

dengan

kapasitas

kemanusiaan, dalam artian tidak adalagi wahyu yang turun saat ini. Semua hukum yang
mereka buat di bawah naungan nilai-nilai dan norma-norma hukum Al-Quran dan sunnah
yang telah dipahami dan diterapkan dengan pertimbangan konstektual. Mereka telah
memberikan kontribusi yang dalam evolusi pemikiran tentang hukum Islam, yang dapat
dipetakan dalam tiga hal penting setelah ditinggalkan Rasulullah SAW, seperti:
1. Al-Khulafa al-Rasyidun mampu meneruskan kepemimpinan Rasul dalam pemerintah
yang amanah, mempertahankan serta memperluas wilayah kekuasaan negara,
memperbanyak penganut agama Islam dan menjaga keutuhan ajarannya.

2. Al-Khulafa al-Rasyidun berhasil menjalankan ajaran Islam dalam kehidupan seharihari mereka dengan menerapkan nilai-nilai dalam Al-Quran dalam bersikap dan
bertingkah laku.
3. Al-Khulafa al-Rasyidun telah menciptakan pola-pola pemikiran hukum yang menjadi
konsep dan panduan dalam memahami ajaran Islam ketika berhadapan dengan
tantangan daan perubahan zaman.

B. Pola Pembahasan
Pemahaman yang sesungguhnya bagaimana ijtihad yang dilakukan al-Khulafa alRasyidun dalam menentukan Hukum Islam ketika berhadapan dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat.
Hukum dan aturan yang lahir di masa al-Khurafa al-Rasyidun dipengaruhi oleh
perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini ditandai bagaimana
mereka melibatkan berbagai elemen penting dalam masyarakat dan tokoh profesional
yang seperti ahli agama, hukum, politik, ekonomi, militer, kemasyarakatan dan
sebagainya. Dalam menentukan arah politik negara dan berbagai kebijaksanann lainnya
yang berkaitan dengan perjalanan pemerintahan secara konsisten dalam forum
musyawarah.

C. Sudut Pandang secara Sosiologis


Teori menurut Ian Robertson adalah a statemant that organizes a set of consepts in
a meaningful way bay explaining the relationship among them. Yaitu sebuah pernyataan
yang menyusun seperangkat konsep-konsep dalam sebuah cara memahami dengan
menjelaskan hubungan antara konsep-konsep tersebut. Menurut Robertson sebuah fakta
sebenarnya diam tanpa makna sampai kita memberikannya melalui teori. Menurut
Graham C. Kinloch, teori adalah seperangkat hubungan yang digunakan untuk
menjelaskan dan menginterpretasikan cara fenomena khusus itu beroperasi.
Di dalam hukum Islam dalam pengertiannya yang umum diartikan sebagai hukum
yang dikeluarkan dari nilai-nilai yang diajarkan agama Islam. Semua itu terdapat di
dalam Al-Quran dan Sunnah, sedangkan penetapannya menjadi ketentuan hukum
dikeluarkan oleh ulama yang disebut dengan fiqh.
1. Muhammad Atho Mudzhar berpendapat hukum Islam merupakan produk interaksi
ulama dengan lingkungan sosial yang ada disekitarnya, dengan demikian hukum
Islam tidak boleh kebal dengan kekuasaan.

2. Amin Ihsan al-Barkati mengatakan tidak diingkari perubahan hukum karena


perubahan waktu.
3. Muhammad Syarif Ahmad mengatakan persoalan sosial, politik dan individu-individu
adalah persoalan duniawi, persoalan duniawi ketentuannya harus disesuaikan dengan
kaedah perubahan waktu dan perbedaan tempat.
4. Imam Syatibi menyatakan putusan para pemimpin selalu mengikuti perubahan yang
berkaitan dengan waktu dan tempat.
5. Ian Robertson mengatakan perubahan sosial adalah perubahan pola-pola budaya (tata
nilai), struktur-struktur sosial dan perilaku sosial pada rentangan waktu.

D. Sistem Penulisan
Penulisan buku ini didasarkan kepada sumber kepustakaan kualitatif. Sumber data
diambil dari kitab-kitab agama yang berkaitan dengan sejarah, ajaran dan pemikiran
keislaman.
Metode periwayatan hadits mewarnai penulisan kitab-kitab sejatah. Biasanya
ulama menghimpun sejarah dalam rangka memahami ajaran agama bukan sebagai
penyimpan peristiwa, karena itu banyak peristiwa penting yang hilang. Namun,
kehilangan data tentang peristiwa tidak begitu mengganggu kehilangan sejarah karena
pendokumentasian sejarawan terhadap data yang berkaitan dengan ajaran agama adalah
lebih penting.
Al-Quran menghadirkan banyak sekali informasi mengenai masyarakat arab dalam
rangka melakukan reformasi sosial. Sedangkan hadits memberikan penjelasan tiap
informasi Al-Quran dengan penjelasan yang cukup. Selain menambah data baru yang
tidak berkaitan dengan Al-Quran.

BAB II
PENGERTIAN-PENGERTIAN
DASAR TENTANG HUKUM ISLAM,
PERUBAHAN SOSIAL DAN AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
A. Pengertian Hukum Islam
Kata hukum itu berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hukm, yang mempunyai makna
itsbatu amrin li amrin au nafyuhu anhu (menetapkan sesuatu kepada sesuatu atau
menafikan sesuatu dari sesuatu), dan al-qada bi al-adalah (memutuskan dengan adil).
Menetapkan sesuatu untuk yang lain disebut menetapkan hukum kepada sesuatu tersebut.
Misalnya saja, jika penetapan hukum itu berdasarkan akal maka disebut dengan hukum
akal, jika penetapannya dengan adat maka disebut hukum adat dan jika penetapannya
berdasarkan Syariat maka disebut hukum Syariat.
Hukum syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari Al-Quran
dan Sunnah. Al-Quran dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan yang valid.
Pemahaman dan penafsiran kedua sumberkewahyuan ini di sebut dengan fiqh. Hukum
fiqh inilah yang disebut dengan hukum Islam. Di sini akan dikemukakan peristilahan ini
dan perbedaannya dengan Syariat dan fiqh.
1. Syariat
Menurut Ibn Manzur (630-711) syariah diambil dari kata syaraa, maknanya
mengambil air dengan mulut, tempat lalunya air dan tempat minuman yang diteguk
orang. Menurut Ali al-Jurjani (740-*16) syaru secara bahasa maknanya secara
bahasa maknanya bayan, audah dan izhar. Menurut al-Qurtubi (w. 671 H) syaraa itu
adalah jalan besar, jalan menujju ke tempat air dan jalan keselamatan.
Dalam Q. S. Al-Maidah/5: 48 Allah SWT berfirman:


Untuk tiap-tiap umamt diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang
terang.
Syirah dalam ayat ini diterjemahkan dengan aturan dan minhaj diterjemahkan
dengan jalan yang terang.
Syariat didefinisikan oleh para ahli sebagai berikut:

a. Ibn Manzur mendefinisikannya dengan Syariat dan syirah adalah ketetapan Allah
yang dituangkan dalam bentuk agama, seperti puasa, shalat, haji, zakat dan
sekalian perbuatan baik.
b. Zakaria al-Ansari syariah menurut istilah ialah membolehkan sesuatu atau
melarangnya.
c. Al-Jurjani mendefinisikannya dengan syariah ialah perintah untuk menjalani
pengabdian.
d. Abul Ala al-Mududi mengatakan syariat itu adalah bagaimana cara untuk
mengabdi kepada Allah dan jalan mana yang ditempuh untuk pengabdian kepadaNya.
2. Fiqh
Al-fiqh secara bahasa maknanya faham, mengerti, mengetahui dan cerdas.
Menurut Ibn Syumail, seorang laki-laki yang faqih maknanya berilmu, setiap orang
yang alim atas sesuatu maka ia disebut faqih terhadap sesuatu tersebut. Menurut alManawi memahami maksud dari perkataan orang yang berkata disebut faqih.
Fiqh menurut istilah dapat dilihat dari beberapa definisi berikut ini:
a. Zakaria al-Ansari mengatakan fiqh itu ialah ilmu tentang hukum-hukum syara
yang bersifat amaliah yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terinci.
b. Menurut al-Manawi (952-1031 H) fiqh ialah ilmu tentang hukum-hukum yang
bersifat syariat yang (jalan pengeluarannya) melalui ijtihad.
c. Menurut Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M) fiqh itu adalah mengenal hukumhukum Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf seperti wajib, haram,
sunnat, makruh dan boleh yang di keluarkan dari Al-Kitab dan Sunnah. Apabila
hukum-hukum itu dikeluarkan dari dalil tersebut, maka disebutlah dengan fiqh.
d. Menurut Jabal al-Banna fiqh adalah segala pendapat ulama yang dikeluarkan dari
pemahaman atas nas-nas syariah, baik Al-Quran, hadits atau jalur istimbat yang
lain.
e. Menurut Fathuttahman Djamil fiqh ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang
mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Tuhan.
f. Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pada masa sahabat fiqh dipahami sebagai
ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penyelidikan yang mendalam.
Segala ilmu pengetahuan agamapada saat itu disebut dengan fiqh. Pada abad kedua
yaitu pada masa mujtahid, fiqh dipahami sebagai hukum-hukum yang dipetik dari

kitab Allah dan Sunnaturrasul dengan jalan ijtihadyang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf.
3. Ijtihad
Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya maupun melahirkan hukum
yang baru disebut ijtihad/al-ijtihad. Menurut Muhammad Salam Madkur, ijtihad
secara garis besar bertitik tolak pada pencarian pengertian dan maksud Al-Quran dan
Sunnah, menganalogikan kasus baru kepada kasus yang sudah ada hukumnya dan
mengeluarkan hukum baru yang sejalan dengan tujuan syariah (maqasid). Untuk
usaha ini menurut Ali Hasb Allah, seorang mujtahid haruslah menguasai tiga hal,
yaitu penguasaan bahasa, penguasaan dalil dan pengetahuan tentang maqasid.
Ketika Muadz ibn Jabal akan ditempatkan sebagai hakim ke Yaman, Rasulullah
SAW bertanya:
Bagaimana sikapmu apabila diajukan kepadamu suatu kasus untuk ditetapkan
hukumnya?. Muadz menjawab, aku akan memutuskan berdasarkan kitab Allah.
Rasul bertanya, bagaimana bila kamu tidak menemukan hukumnya di Kitab
Allah?. Muadz menjawab, aku akan menemukannya berdasarkan sunnah
Rasulullah SAW. Rasul bertanya, bagaimana bila kau tidak menemukan hukumnya
dari sunnah Rasulullah?. Muadz menjawab, aku akan berijtihad menggunakan
akal ikiranku dan aku tidak akan berhenti mencari. Rasulullah SAW lalu menepiknepuk dadanya sambil memuji Allah, segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada utusan Rasul-Nya sengan sikap yang disenangi oleh Rasul-Nya.

B. Paradigma Perubahan Masyarakat


Karakter

yang

mendasar

tentang

masyarakat

yang

mempengaruhi

pendefinisiannya, yaitu:
1. Masyarakat merupakan kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup berkelompok.
Makhluk hidup terdiri dari dua species, hidup dan berkembang tetapi pasif disebut
dengan tumbuh-tumbuhan. Sedangkan yang hidup dan aktif disebut hayawanat.
Manusia adalah hewan yang berpikir.
2. Masyarakat (manusia) merupakan kumpulan unik dan istimewa dan hidup saling
menopang.
Manusia tidak akan bisa hidup seorang diri. Karena hidup berkelompok itu manusia
bisa melakukan kepentingan yang lebih banyak dari hanya untuk mempertahankan
diri dan berkembang biak.

3. Manusia bersifar dengan kelemahan, sesuatu yang diinginkannya tidak dapat di


adakannya sendiri, tetapi bisa ditutupi dengan saling memberi.
Allah SWT berfirman dalam Q. S. An-Nisa/4:28

Allah hendak memberikan keinginan kepadamu, dan manusia dijadikan


bersifat lemah.
4. Manusia adalah bagian dari alam semesta, fenomena dari ciptaan Tuhan yang maha
kuasa dan senantiasa berubah.

C. Khilafah dalam Islam


Di dalam sebuah kelompok sudah pasti harus adanya pemimpin dan aturan. Sebab
manusia itu merupakan makhluk yang lemah yang harus saling bahu membahu untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam upaya saling memenuhi kebutuhan bersama, manusia
perlu berinteraksi, bertukar manfaat, barang dan jasa. Interaksi tersebut perlu yang
namanya aturan supaya terciptanya ketentraman dan saling rela satu sama lain, tidak
adanya saling sikut dan perselisihan yang tidak sesuai aturan. Untuk memastikan
peraturan itu berlaku di suatu kelompok maka sangat diperlukan sesosok pemimpin yang
mengawal dan menjalankan peraturan tersebut.
Tujuan politik dalam Islam ialah untuk memberikan perlindungan kepada manusia
dalam hal kemaslahatan yang telah digariskan. Di dalam Islam masyarakat diberikan
batasan bahwa rakyat wajib patuh kepada pemimpin selama pemimpin tersebut setia
dengan norma kepemimpinan yang mengikatnya.
Islam lebih suka dengan istilah kepemimpinan (imam) yang memiliki kewenangan
(uli al-amri). Allah SWT berfirman dalam Q. S. An-Nisa/4:59


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri
diantara kamu.

BAB III
PERUBAHAN MASYARAKAT
PADA MASA AL-KHULAFA AL-RASYIDUN
A. Perubahan Struktur
Pada bab ini akan dibahas tentang bagaimana al-Khulafa al-Rasyidun menjalankan
hidup dan pemerintahan pada saat masyarakat Arab sedang mengalami proses perubahan
yang cepat, berkah dari lahirnya agama Islam. Disini perbandingan itu tidak melibatkan
Arab secara keseluruhan sedapatnya dibatasi pada tanah Hijaz yang menjadi bumi tempat
lahirnya Islam.
Al-Khulafa al-Rasyidun tampil sebagai kepala pemerintahan Jazirah Arabia yang
diwarisi dari Nabi dikembangkan sampai ke Syam (di masa Abu Bakar), Irak dan Persia
(di masa Umar) hingga kepangkal Afrika (di masa Utsman), sebuah wilayah yang cukup
luas untuk ukuran saat ini.
Negara belum memiliki batasan definitif mengenai siapa yang dianggap sebagai
warga negara. Pelapisan masyarakat berkembang dari sistem yang diciptakan Islam,
selain sistem sosial alamiah dimana saja karena peranan, keilmuan dan kekayaan
misalnya. Secara normatif agama membagi manusia dalam kelompok kafir dan muslim.
Tetapi ada juga yang tidak hanya normatif, juga defenitif berdasarkan dengan keimanan
dan faktor lainnya. Pengelompokan ini terdiri dari:
1.

As-Sabiqun Awwalun
As-Sabiqun Awwalun adalah orang-orang yang paling dahulu masuk Islam.
Menurut as-Syabi, mereka itu adalah orang-orang Muhajirin dan Anshar yang ikut
dalam baiat al-ridwan pada saat terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Menurut Abu Musa
al_Asyari, Said ibn Musayyab, Muhammad ibn Sirin, al-Hasan dan Qatadah mereka
adalah orang-orang yang shalat pada 2 kiblat. Dari pendapat di atas terlihat bahwa
kelompok ini adalah kelas paling elit, akan tetapi karena masa sulit Islam itu cukup
panjang maka pengalaman dan kontribusi orang juga berbeda, maka berbeda pula
pendapat mengenai siapa yang termasuk kelas al-Sabiqun Awwalun ini.
Umar berkata, Sesungguhnya aku melihat bahwa kita (Muhajirin) menduduki
ketinggian yang tidak lagi dicapai oleh orang yang setelah kita. Ubay membenarkan
kemungkinan tersebut dan menjawab, Aku memiliki dalil pendukung pada ayat awal
Surah al-Jumuah/62:3


Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan
dengan mereka dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
Kemudian padaSurah al-Hasyr/59:10


Dan orang-orang yang datang sesudah mereka.
Dengan pendapat Ubay ini kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun adalah sebagian
dari kelas muhajirin saja.
2. Muhajirin
Muhajirin adalah kelas yang terdiri dari orang-orang Quraisy Mekkah yang
beriman kepada Nabi dan melakukan hijrah ke Madinah untuk menghindari intimidasi
kelompok penentang Rasul.
Kelompok Muhajirin ini terbagi dua, ada yang melakukan hijrah dua kali seperti
Utsman ibn Affaan, ada juga yang hijrah sekali yaitu Muhajirin lainnya. Sebab
sebelum ada dukungan Ansar Madinah terhadap Islam Nabi telah menyarankan
beberapa orang pengikutnya untuk hijrah ke Etiopia, di samping untuk
menyelamatkan diri juga untuk menjaring simpati dari kaum Nasrani.
3. Ansar
Ansar adalah kaum Muslimin yang membantu Rasul untuk tinggal di Madinah.
Mereka adalah penduduk asli Madinah yang beriman yang terdiri dari dua kabilah
yaitu Auz dan Khazraj.
4. Muslim
Kelompok Muslim adalah setiap orang yang beriman kepada Rasulullah SAW
yang bukan kelompok Muhajirin dan Anshar. Sekalipun mereka berasal dari kaum
Quraisy dengan segenap pecahannya.
5. Budak
Di masa Rasulullah SAW dan al-Khulafa al-Rasyidun masih banyak terdapat
budak, baik budak sisa zaman jahiliah maupun budak yang diperoleh belakangan hari
dari orang kafir yang melawan Islam yang dapat ditaklukkan. Mereka yang menjadi
tawanan biasanya menjadi hak bagi orang yang menawannya. Karena pergaulan para
budak baik dengan kaum Musliin, banyak diantara mereka yang masuk Islam
sekalipun masih berstatus budak.

6. Dzimmi
Dzimmi berasal dari kata dzimmah, maknanya aman. Orang yang bukan non
Muslim yang berada negara Islam diberi perlindungan dan kebebasan menjalankan
agamanya dengan kewajiban membayar jizyah sesuai ukuran yang telah ditetapkan
negara. Baik mereka penduduk taklukan maupun penduduk yang datang dari luar dan
menetap di Negara Islam, karena suatu kepentingan dagang dan lainnya atau memilih
menetap di Negara Islam.
7. Mawali
Mawali adalah penduduk yang telah merdeka, baik karena tuannya mau
menerima tebusan dari dirinya sendiri atau dibebaskantanpa konpensasi. Sebelum
merdeka mereka bekerja untuk tuannya, tetapi setelah merdeka mereka bekerja untuk
dirinya sendiri.
8. Muallaf
Pada umumnya kelompok Muallaf ini adalah orang-orang berpengaruh yang
ketika Islam masih lemah mereka diberikan tunjangan agar tidak memusuhi Islam.
Menurut al-Zuhri muallaf adalah orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam
sekalipun orang kaya. Pendapat lain mengatakan:
a. Orang yang kafir dibujuk hatinya agar rekat kepada Islam.
b. Orang yang tidak diislamkan dengan pemaksaan dan pedang tetapi diislamkan
dengan pemberian dan ihsan.
c. Orang yang Islam secara lahiriah tetapi hati mereka belum yyakin, maka
diberikanlah zakat agar tetap hati mereka.
d. Pemuka kaum musyrikin yang mempunyai bayak pengikut, diberikan zakat agar
pengikut mereka lunak kepada Islam.

B. Perubahan Perilaku dan Tata Nilai


Perubahan tata nilai selama pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun terlihat dari
bergesernya cara pandang dan pola berbuat masyarakat dalam beberapa aspek penting.
Ada beberapa aspek perubahan, sebagai berikut:
1. Kepercayaan
Perubahan yang penting dari masyarakat Arab adalah dalam keyakinan. Arab
Jahiliyah sesungguh nya berpaham monotheisme, seperti yang dianut sebagian
pembesar Mekkah yang disebut Agama Hanif. Mereka tetap mempercayai adanya hari
berbangkit, tidak membolehkan membunuh anak perempuan yang masih kecil, tidak

membolehkan meminum khamar, dan main judi. Di antara pembuka mereka yang
termasyhur adalah Qis ibn Saadah al-Ayyadi, Muawwiyah ibn Abi Salt, Zuhair ibn
Abi Sulma, sebagaimana juga ada orang Arab yang menyembah bintang, tuhan baik
dan tuhan buruk.
2. Norma Kemuliaan
Pada masa jahiliyah ada tradisi dua orang yang terkemuka berdebat dalam satu
majlis ditengahi oleh satu orang yang bijak, yang disebut hakam untuk mencari status
siapa yang paling mulia di antara mereka. Adu kemuliaan ini disebut mufakharah dan
munafirah. Orang Arab suka dengan kemuliaan dan kebanggaan, mereka mempunyai
kebiasaan membanggakan kelebihannya dari yang lain, baik perseorangan maupun
kabilah atau kelebihan dalam kemakkmuran daerah yang terbaik.
3. Penghargaan terhadap Wanita
Perubahan itu terlihat pada beberapa faktor ajaran agama yang menetapkan
hukum terhadap wanita yang merombak cara pandang Arab terhadap wanita.
a. Wadu al-Banat
Wadu al-Banat adalah membunuh anak perempuan yang baru lahir karena
takut masa depannya menjadi sengsara. Islam sangat menentang hal ini,
membunuh secara umum dan membunuh anak secara khusus dan lebih khusus lagi
membunuh anak perempuan yang baru lahir menjadi daya jual ajaran Islam sejak
periode Mekkah. Nabi mengajarkan penghargaan terhadap wanita kepada semua
kabilah yang melakukan haji. Sebab ada tiga kabilah yang melakukan Wadu alBanat ini, yaitu Mudar, Khuzaah dan Tamim.
b. Perkawinan Arab
Perlindungan wanita tidak hanya dalam persoalan nyawanya, tetapi juga
dalam statusnya dalam rumah tangga. Hukum perkawinan Arab pada umumna
tidak memberikan penghargaan yang semestinya bagi wanita, baik sebelum, ketika
dan setelah perkawinan. Instituti perkawinan Arab tercatat dalam beberapa bentuk
nikah, yaitu nikah maqt, nikah istibda, nikah sighar, nikah akhdan, nikah baghaya
dan nikah mutah. Kesemua pernikahan ini legal sebagai bagian dari memperoleh
apa yang dicari dari perkawinan, seperti anak misalnya.

4. Ekonomi
Pola kehidupan ekonomi Arab mengalami perubahan setelah datangnya Islam.
Dagang dua kali setahun praktis ditinggalkan, ditingkatkan menjadi dagang antar
kota, antar pulau dan antar negara. Sebelumnya, di Jazirah Arab banyak terdapat pusat
perdagangan yang dibuka pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun.
Ada beberapa yang tercatat dari sistem ekonomi Arab yang dibatalkan Islam
adalah:
1. Sistem jual beli dengan menggunakan tongkat, pakaian mana yang kena lemparan
tongkat itulah yang dibeli dengan satu dirham.
2. Sistem jual beli dengan menyentuh barang yang akan dibeli atau menunjuknya dan
membisikkannya menghindari sumpah.
3. Sistem melempar batu untuk barang yang akan dibeli.
4. Sistem jual beli riba, seperti beli emas dengan emas, perak dengan perak.
5. Sanksi Khamar
Perubahan tata nilai pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun telah jauh
meninggalkan apa yang telah mereka temukan dan berlaku pada masa Rasulullah
SAW. Di masa Rasulullah sanksi minum khamar ini empat puluh kali pukulan dengan
sandal, tongkat atau ujung besi. Tetapi di zaman Umar ditambahi menjadi 80kali
dengan alat cambuk.
6. Warisan
Arab menettapkan warisan dari empat sebab, yaitu:
a. Nasab. Warisan nasab disebabkan memiliki hubungan darah secara langsung.
Tetapi nasab tidak berlaku mutlak jika yang meninggal itu orang tua maka warisan
hanya untuk orang dewasa, sedangkan perempuan dan anak-anak tidak mendapat
bagian. Jika yang meninggal itu statusnya anak maka orang tua mendapat wasiat.
b. Perkawinan. Apabila terjadi perkawinan suami isteri saling mewarisi. Khadijah
mewarisi dari dua suaminya yang meninggal sehingga ia menjadi janda yang kaya
raya.
c. Perjanjian dan sumpah. Warisan sumpah dengan cara bersumpah kepada orang lain
dengan mengikrarkan darahku darahmu, kehormatanku kehormatanmu, engkau
mewarisiku dan aku mewarisimu, aku menuntut bela atas dirimu dan engkau
menuntut bela atas diriku.
d. Tabanni. Tabanni adalah anak angkat. Apabila seorang mengambil orang lain
sebagai anaknya maka keduanya menjadi senasab dan saling mewarisi.

BAB IV
PRINSIP DAN METODE IJTIHAD
A. Prinsip Ijtihad
Ada beberapa prinsip dalam Ijtihad, yaitu:
1. Prinsip Kebersamaan.
Prinsip kebersamaan dalam menetapkan hhukum direkam dari pola musyawarah
yang dilakukan al-Khulafa al-Rasyidun dalam menyelesaikan masalah. Pada
umumnya kesatuan pendapat tidak terjadi, kecuali kesepakatan bahwa persoalan
tersebut telah dirembukkan di meja musyawarah.
Musyawarah dalam pola berttindak yang sangat penting dalam menyelesaikan
urusan, sebab musyawarah mengajarkan keluhuran sebagai berikut:
a. Kesetaraan status.
b. Pemaduan berbagai macam pemikiran yang diarahkan mencari jalan yang terbaik.
c. Tiap peserta musyawarah memiliki hak suara yang seimbang dan adil.
d. Tidak ada dominasi mayoritas karena jumlah anggotanya atau dominasi minoritas
karena keistimewaan yang dimilikinya.
e. Keputusan musyawarah membenani setiap anggotanya untuk dijalankan dengan
serius dan bertanggung jawab.
f. Musyawarah memeberikan kehormatan kepada teman sehingga mengikat hati
mereka.
g. Musyawarah memberikan keluasan bagi manusia untuk menggunakan akalnya.
2. Prinsip dan Tujuan Hukum yang Terarah.
3. Prinsip Rasionalitas.
4. Prinsip Mendengar Suara Hati (istihsan).
5. Prinsip Keterbukaan.

B. Metode Ijtihad
Secara garis besar ijtihad Al-Khulafa al-Rasyidun ada dua bentuk yaitu
menafsirkan nas dan membuat keputusan terhadap kasus. Al-Khulafa al-Rasyidun
nampaknya tidak membutuhkan ijtihad dalam memahami nas Al-Quran, sebab mereka
memahami dengan baik ayat per ayat, kandungan, tujuan dan hubungannya dengan ayat
lain, serta sunnah yang menjelaskannya. Akan tetapi dalam bentuk yang kedua yaitu

bagaimana menetapkan hukum terhadap kasus, persoalan yang mereka hadapi ialah
tentang bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membuat ketentuannya
dari sekian banyak jalan yang telah menjadi prinsip ijtihad mereka. Mereka tidak bisa
mencontoh Nabi untuk menanti wahyu, karena wahyu telah selesai. Satu-satunya cara
yang bisa dilakukan untuk membuat kebijakannya sesuai dengan norma Al-Quran adalah
dengan menelaah ketentuan Al-Quran lebih dahulu lalu sunnah.

C. Karakter Hukum Khalifah


Ada dua karakter dalam hukum Khalifah, yaitu:
1. Kebenaran dan Persamaan
Al-Khulafa al-Rasyidun tidak pernah bertindak pilih kasih kepada siapapun
dalam persoalan hukum. Hukum mereka melindungi yang lemah dan yang benar. Jika
pelanggaran hukum terjadi maka sanksi hukum akan diterapkan tanpa melihat status
pelakunya, sekalipun ia seorang pejabat atau karib kerabatnya.
2. Kemulian dan Keluhuran Manusia
Dalam pandangan al-Khulafa al-Rasyidun hukum mempunyai manfaat dan
fungsi untuk membunuh virus-virus kemungkaran yang merusak kemuliaan manusia.
Untuk menjaga agar jangan terjadi kerusakan, hukum justru dibuat sekalipun tidak
ada

contohnya

di

zaman

Nabi.

Setiap

melakukan

kebijakan

mereka

mempertimbangkan akibat dari kebijakan tersebut secara sosiologis pada masa yang
akan datang.

BAB V
IJTIHAD DALAM
BIDANG-BIDANG AGAMA
A. Ijtihad terhadap Al-Quran
Ijtihad terhadap Al-Quran disini maksudnya adalah kebijakan yang berkaitan
dengan Al-Quran. Dalam persoalan pengumpulan dan penulisan Al-Quran dalam satu
naskah adalah sesuatu yang sama sekali baru di masa al-Khulafa al-Rasyidun. Kebijakan
yang mereka lakukan untuk mendokumentasikan Al-Quran ini menjadi penting dan
istimewa sehingga menjadi karakter dalam definisi yang dikemukakan Al-Jurjani yaitu
Al-Wuran adala kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul yang tertulis dalam mushafmushaf yang ditransformasi secara mutawatis tanpa keraguan. Al-Quran menurut ahli
hakikat adalah ilmu ladduni yang global yang merangkum keseluruhan hakikat.
Ada tiga kebijakan yang dilakukan oleh al-Khulafa al-Rasyidun dalam persoalan
ini, yaitu penulisan Al-Quran dalam satu mushaf, penyeragaman qiraat dan pemberian
tambu-rambu tanda baca. Semua didasarkan terhadap perkembangan masyarakat yang
terjadi selama masa pemerintahan mereka.

B. Ijtihad dalam Bidang Ibadah


Ibadah secara umum bermakna kepatuhan kepada Allah. Segala aktifitas manusia
yang selaras dengan aturan yang telah ditentukan agama bermakna ibadah dan dinilai
sebagai ibadah sekalipun berhubungan dengan duniawi.

C. Ijtihad tentang Zakat


Harta benda adalah sarana terpenting dalam hidup mempunyai magnet yang kuat
untuk merubah sebuah prinsip dan bisa menimbulkan kecembururan, kedengkian dan
sifat berbahaya lainnya. Kecintaan kepada harta benda menggiring orang menjadi rakus
dan curang yang dapat menimbulkan pertumpahan darah. Oleh karena itu Allah SWT
mewajibkan kepada orang kaya untuk memberikan sebagian harta yang dimilikinya
kepada orang miskin agar kecemburuan dapat ditekan sekaligus sebagai bantuan kepada
orang miskin dalam kehidupan mereka.

BAB VI
IJTIHAD DALAM BIDANG
HUKUM KELUARGA
A. Ijtihad dalam Soal Perkawinan
1. Mencabut Kebolehan Menikahi Wanita Kitabiyah
Dalam masalah perkawinan ada beberapa persoalan penting yang telah dikenal
akrab oleh kaum muslimin tetapi diputuskan berbeda oleh Khulafa al-Rasyidun.
Setelah diperhatikan dengan seksama kebijakan tersebut juga didasari sebuah
pertimbangan untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, sehingga dapat
dijadikan kaedah universal dalam menjalankan pemerintahan, yaitu Umar melarang
tentaranya menikah dengan wanita kitabiyah di daerah taklukan. Ibn Saad
menceritakan, Hudzaifah menikahi wanita kitabiyah di Madain. umar mengirim
surat kepadanya. Hendaklah engkau rahasiakan perbuatan kamu ini. Hudaifah
bertanya, Apakah perbuatan ini haram awhai Amir al-Mukminin?. Umar
membalas suratnya, Aku takut kaum muslimin yang lain meniru kelakuanmu, lalu
mereka lebih memilih wanita ahli zimmah karena kecantikan dan itu cukup menjadi
bencana bagi wanita muslimah.
2. Ijtihad tentang Talak tiga
Perkawinan mencerminkan harkat dan martabat manusia yang berbeda dari
spesies lain sehingga defenisi manusia adalah hewan yang menikah. Perkawinan
secara pragmatis melahirkan keindahan dan kedamaian, mempererat tali persaudaraan,
merekatkan hati yang retak dan permusuhan serta dapat menjanjikan suatu masa
depan yang cerah dan kuat.
Islam mendudukkan keberadaan suami dan isteri dalam rumah tangga adalah
sama dan seimbang, baik dalam hak maupun kewajiban, hanya saha derhat suami satu
tingkat di atas isteri dengan kewajiban menaggung beban ekonomi dan kepemimpinan
dalam rumah tangga. Seorang perempuan yang bercerai dari suaminya mempuntai
masa iddah, yaitu masa transisi dari sebagai isteri dan bebas dari ikatan rumah tangga.
Dalam masa ini isteri dapat dirujuk kembali dan bahtera rumah tangga dapat kembali
berjalan dan keputusan untuk itu diberikan sepenuhnya kepada suami. Ukuran yang
dipakai untuk menentukan lamanya masa iddah ini adalah tiga kali suci dari haid atau
sekitar tiga buln yang bertujuan untuk memastikan tahimnya tidak mengandung anak

dari suami yang menceraikannya. Waktu yang dibokehkan untuk cerai adalah pada
saat isteri sedang dalam suci. Jika dalam tahimnya ada anak maka masa menantinya
ditentukan dengan kelahiran anaknya. Apabila masa iddah ini usai, maka isteri bebas
menentukan nasibnya, ia tidak boleh dihalangi kawin dengan bakal suaminya dan ia
berhak mutlak menentukan dirinya sendiri dalam persoalan perkawinan. Untuk
perkawinan yang putus sebelum campur, masa iddah ini tidak ada.
3. Hak Mengasuh Anak
Keputusan hukum dalam bidang rumah tangga yang tak kalah briliannya yang
terjadi di zaman khulafa adalah persoalan mengasuh anak yang diperoleh dari sebuah
perkawinan setelah terjadinya perceraian. Dalam hikayatnya adalah tentang Umar
yang menikahi seorang wanita Ansar dan melahirkan anak yang bernama Asim.
Umar kemudian menceraikannya. Suatu hari Umar berkunjung ke Quba dan ia
mendapati anaknya bermain di halaman mesjid, lalu ia menangkapnya, memeluknya
dan membawanya pergi. Nenek si anak mencegah Umar dan mereka bertengkar
hingga kasusnya dibawa kepada khalifah Abu Bakar. Umar menuntut agar anaknya
Asim berada di bawah pengasuhannya. Sebab dialah ayahnya yang bertanggung
jawab akan pembiayaan membesarkannya. Abu bakar berkata, Lepaskan anak itu
kepada neneknya. Umar menjawab, Bagaimana mungkin kulepaskan, anak ini
adalah anakku. Abu Bakar mengatakan, Bau tubuh dan kelembutan ibunya lebih
baik buat si anak dari bau tubuh dan tabiatmu Umar. Abu Bakar memutuskan anak
balita diasuh oleh ibunya jika terjadi perceraian.

BAB VII
IJTIHAD DALAM BIDANG
POLITIK DAN PERADILAN
A. Ijtihad tentang Negara
Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam bidang kenegaraan pada pokoknya
terangkum dalam tiga kerangka, menentukan corak pemerintahan, membentuk struktur
pemerintahan dan membuat kebijakan program kerja. Ketiga pokok kenegaraan ini
semuanya lahir dan berkembang berkaitan dengan keadaan yang dihadapi, sehingga
dapat disimpulkan bahwa ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun mereka dipengaruhi oleh
dinamika dan perkembangan masyarakat.
1. Pembentukan Negara dengan Satu Kepala Pemerintahan
Ijtihad al-Khulafa al-Rasyidun dalam pembentukan kenegaraan bercorak satu
orang kepala negara, dibantu beberapa orang mentri dengan kewenangan menjalankan
pemerintahan di bawah kontrol rakyat. Masyarakat Madinah bergejolak spontan
setelah tersiar berita bahwa Rasulullah SAW telah wafat. Berita ini sesungguhnya
telah dinanti, karena gejala akan kepergian Rasul telah cukup kuat, namun bagi
sebahagian masyarakat sangat berat menerima kenyataan ini. Umar membantah secara
langsung dan berteriak di jalanan sambil menebar ancaman. Orang-orang yang
munafiklah yang mengatakan Rasulullah SAW wafat, hanya pergi kepada tuhannya
sebagaimana Musa ibn Imran pergi menghadap Tuhan selama empat puluh hari,
kemudian ia kembali setelah dikatakan kaumnya meninggal dunia. Demi Allah,
Rasulullah SAW akan kembali dan akan memotong tangan dan kaki orang-orang
yang mengatakan bahwa beliau telah mati.
2. Pembentukan Aparat Kenegaraan
Terobosan pertama yanng dilakukan khalifah adalah menciptakan satu iklim
dimana pemerintah meberikan pelayanan kepada publik dan publik sendiri mengawasi
jalannya roda pemerintahan yang dijalankan oleh aparatur negara. Muhammad Salam
Madkur mengatakan masa Abu Bakar adalah hari pertama Islam mempunyai
pemerintahan dalam bentuknya yang sempurna yang bertumpu kepada kekuatan
politik, tidak lagi pada kekuatan kharismatik relijius seperti masa pemerintahan
Rasulullah SAW.

3. Persoalan Ghanimah
Kufah, Syam dan Irak ditaklukan pada tahun 17 Hijriyah oleh Saad ibn Abi
Waqqas dari tiga daerah yang luas ini mendatangkan harta ghanimah yang luar biasa
banyaknya. Umar membagi semua harta yang diperoleh menurut hukum ghanimah.
Aturan ayat menegaskan empat bagian harta ghanimah diserahkan kepada pasukan
untuk dibagi secara merata kepada tiap personil yang terlibat dalam peperangan
tersebut (Q. S. Al-Anfal/8: 41). Harta ghanimah yang diperoleh dari peperangan
dengan pihak kafir harbi (musuh yang masih dalam status perang). Sedangkan jika
mereka menyerah tanpa peperangan disebut fai. Tanah milik para pembesar dan raja
yang terbunuh atau melarikan diri disebut al-safawi. Untuk tanah seperti ini Umar
memasukkannya ke kas negara.
4. Menetapkan Penanggalan
5. Memberi Untuk Rakyat

B. Ijtihad dalam Bidang Peradilan


Orang Arab telah mengenal adanya peradilan yang mereka sebut al-qadaa. Secara
harfiah

berarti

memutuskan,

menetapkan,

memerintahkan,

melaksanakan,

menyempurnakan, menciptakan, memastikan, mewasiatkan, membunuh, menunaikan


daan mengeluarkan. Abdul Hafiz mengatakan al-qada sama dengan al-hukm yaitu
peradilan dan orang Arab sebelum Islam telah mengenal adanya proses peradilan. Akan
tetapi karakter peradilan Arab menurut Hafiz belumlah mencerminkan sebuah peradilan
luhur, disebabkan peradilan saat itu:
a. Membedakan antara yang terpandang/elit dan jelata.
b. Pijakan hukum bukanlah kebenaran, tetapi fanatisme kabilah.
c. Peradilan dapat mengekspolitasi orang lain, misalnya gadai boleh dimiliki apabila
orang yang berhutang tidak dapat menebusnya, demikian juga orang yang berhutang
dapat dijual (dijadikan budak) apabila tidak mampu membayar hutangnya.
Fungsi dari Ijtihad dalam bidang peradilan, yaitu:
1.

Membentuk Lembaga Peradilan.

2.

Mengangkat Hakim.

3.

Membuat Hukum Acara.

C. Ijtihad di Bidang Jinayat


1. Jarimah Khamar
Ketika diangkat kasus orang yang minum-minuman keras yang tahan terhadap
empat puluh kali jilid, Umar menambahinya menjadi 80 kali cambuk, sebab jumlah
sebelumnya tidak lagi efektif untuk memberinya pelajaran.
2. Melepaskan Hukum Pencuri
Dalam kasus pencurian, Umar tidak menghukum orang yang mencuri dimusim
kelaparan, demikian juga kasus budak yang mencuri unta karena lapar. Pada masa
Umar terjadi musim paceklik sehingga banyaklah orang menjadi pencuri. Umar tidak
melakukan hukuman had kepada mereka sebab maslahat yang diinginkan oleh
hukuman tersebut pada saat ini tidak tepat, sebab pada saat orang sangat lapar maka
hal-hal yang haram menjadi halal bagi mereka.
Begitu juga ketika dua orang budak Hathib bin Abi Baltaah mencuri seekor
unta orang Muzainah dan memakannya, mereka mengakui perbuatannya di depan
Umar. Umar menyuruh petugas untuk menjalankan hukuman amputasi, tetapi
kemudian dia undur dan menyuruh melepaskan mereka. Umar berkata kepada
Abdurrahman bin Hatbih: Demi Allah, kamu mempekerjakan mereka dan
membiarkan mereka lapar, sehingga sampai batas jika mereka memakan barang yang
diharamkan Allah menjadi halal buat mereka. Aku tidak akan memotong tangan
mereka, karena aku tidak menghukum mereka maka aku menjatuhkan denda
kepadamu untuk membayar ganti rugi unta orang Muzani itu dua kali harga unta.
Harga unta ketika itu 400 dirham, maka ia membayar 800 dirham. Ketentuan ayat
tentang hukuman kaasus ini adalah potong tangan. Allah SWT berfirman dalam Q. S.
Al-Maidah/5: 38.

Anda mungkin juga menyukai