Anda di halaman 1dari 30

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Syari’at Islam

Syari’at berarti penjelasan atau jalan yang digariskan Allah SWT untuk

umat yang tunduk pada hukumNya, Islam.1 Yusuf Musa mendefenisikan syari’at

sebagai keseluruhan hukum agama yang disyariatkan oleh Allah SWT bagi umat

Islam melalui Al-Qur’an dan sunnah Nabi.2

Para ulama menyebut kata syariat khusus untuk hukum yang telah

ditetapkan Allah SWT agar manusia beriman dan beramal shaleh yang dapat

membawa mereka bahagia di dunia dan di akhirat.3

Sementara syariah menurut pengertian syara’ merupakan segala sesuatu

yang disyariatkan oleh Allah SWT yang meliputi aqidah, hukum, dan adab

(akhlaq) yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.4

Jadi penulis menyimpulkan bahwa syariat itu adalah hukum-hukum

(peraturan) yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah untuk manusia agar

mereka keluar dari kegelapan menuju ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk

kejalan yang lurus.

1
H.M Syafaat, Islam Agamaku, (Jakarta, Widjaya, 1974), Cet. Pertama, hal.18

2
Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), Cet. Pertama,
hal. 49

3
Syekh Muhammad Ali Assayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqih,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Pertama, hal. 5

4
Qodri Azizy, Hukum Nasional: Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umun, (Jakarta,
Teraju, 2004), hal. 70

13
14

Sedangkan syariat Islam merupakan hukum atau undang-undang yang

berisi aturan-aturan umum yang harus ditempuh oleh setiap muslim dalam

melakukan berbagai aktivitas hidup agar tercapai tujuan hidup yang sebenarnya.5

Syariat Islam berpusat pada dua segi kehidupan yang cukup mendasar

yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Aspek ibadah terdiri dari dua jenis yaitu

ibadah dalam pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah

dalam mengertian umum yakni semua amalan yang diizinkan oleh Allah SWT

dan yang tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya.

Sedangkan ibadah dalam arti khusus yakni apa-apa yang telah ditetapkan oleh

Allah secara terperinci baik tingkat maupun khaifiyat atau dalam cara-cara

tertentu.6

Jadi, syariat Islam merupakan hukum atau peraturan Islam yang mengatur

seluruh sendi kehidupan umat muslim, baik itu peraturan bagaimana manusia

berhungan dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan

lingkungannya, dan juga merupakan penyelesaian masalah seluruh kehidupan

manusia.

Syariat Islam pada garis besarnya dapat dibedakan dalam tiga kategori,

pertama, petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pengenalan (ma’rifah)

secara benar tentang Allah SWT, dan alam ghaib yang tidak terjangkau oleh

penginderaan manusia yang menjadi bidang kajian ilmu tauhid dan ilmu kalam.

5
Kaelany HD, Islam, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), Cet.
Pertama, hal.15

6
Zainal Dzamri, Islam, Aqidah, dan Syariah, (Jakarta, Grafindo Persada, 1996), Jilid I,
hal 19
15

Kedua, petunjuk dan ketentuan-ketentuan untuk mengembangkan potensi

kebaikan yang ada pada diri manusia supaya menjadi makhluk terhormat yang

menjadi bidang kajian ilmu tasauf. Ketiga, ketentuan-ketentuan dan seperangkat

peraturan hokum praktis (‘amaliy) menyangkut tata cara melakukan interaksi

sosial dalam memenuhi hajat hidup, melakukan hubungan dalam lingkungan

keluarga dan melakukan penertiban umum dalam rangka menjamin tegaknya

keadilan dan terwujudnya ketentraman dalam pergaulan masyarakat.7

B. Sumber Hukum Syariat Islam

1. Al-Qur’an

Al-quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan dengan perantaraan

malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW, dengan lafaz bahasa Arab, dengan

makna yang benar agar menjadi hujjah dalam pengakuannya sebagai Rasulullah,

dan sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman bagi umat manusia, juga

sebagai amal ibadah apabila dibacanya. Ia ditadwinkan diantara dua lembar

mushaf yang dimulai dari surat Al-fatihah dan diakhiri dengan surat Al-nas.8

Secara garis besr hokum-hukum yang terkandung dalam Al-qur’an ada

tiga macam:

7
Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah, (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), Cet. Pertama,
hal. 50

8
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia, (Semarang: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hal. 66
16

a. Hokum I’tiqadiyah, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan orang

mukallaf untuk mempercayai Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-

kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir

b. Hukum-hukum akhlaqiyah yaitu hokum-hukum yang berhubungan dengan

ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan hokum-hukum ini diciptakan

dengan tujuan untuk mengatur manusia dengan Allah SWT.

c. Hokum-hukum amaliyah, yaitu hokum-hukum yang berhubungan dengan

perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dalam

muamalahsesama manusia, seperti perjanjian dalam jual beli, transaksi-

transaksi perdagangan, hokum kebendaan, jinayat dan uqubat.

Menurut pendapat Syekh Muhammad Abduh isi Alqur’an itu antara lain:9

a) Tauhid, sebagai inti sari dari seluruh ‘aqidah (kepercayaan), karena manusia

ada yang menyembah berhala dan ada pula yang menyembah Allah SWT.

b) Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dan menampakkannya

dalam jiwa dalam arti hubungan antara makhluk dengan khaliknya.

c) Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yang dikehendaki, dan

membari kabar gembira dengan kebaikan pahalanya (hasil amalnya), janji

buruk terhadap orang yang tidak berpegang dengan Al-qur’an dan diberi

berita pertakut dengan akibat-akibatnya.

d) Menjelaskan jalan kebahagiaan dan cara-cara melaluinya agar sampai pada

kesenangan di dunia dan akhirat.

9
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) hal.39
17

e) Cerita-cerita dan sejarah-sejarah. Sejarah orang yang berpegang kepada

peraturan Allah dan hokum-hukum agama yaitu para Rasul dan orang-orang

shaleh. Dan sejarah orang-orang yang melampaui peraturan-peraturan Allah

dan tidak mengindahkan hokum-hukum agamanya secara zahir, sedangkan

Allah memberikan pedoman dan ikhtiar menurut cara yang baik dan

mengetahui peraturan-peraturan Allah kepada manusia.

Oleh karena kedudukan Al-qur’an sebagai sumber utama dalam

menetapkan hokum maka bila seseorang ingin menemukan hokum bagi suatu

masalah maka tindakan pertama adalah mencari jawabannya dalam Al-qur’an.

Selama hukumnya dapat diselesaikan dengan ketentuan Al-qur’an maka ia tidak

boleh mencari jawabannya ditempat lain. Jika akan menggunakan sumber hokum

lain diluar Al-qur’an maka kaidah yang dipergunakan harus sesuai dengan

petunjuk Al-qur’an dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan

Al-qur’an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber hokum selain Al-qur’an tidak

boleh menyalahi apa-apa yang yelah ditetapkan Al-qur’an.10

2. As-Sunnah

Kata As-sunnah sering diidentikkan dengan kata al-hadis. Kata al-hadis ini

sering digunakan oleh ahli hadis dengan maksud yang sama dengan kata sunnah

menurut pengertian yang digunakan oleh ulama uhsul. Dikalangan ulama ada

yang membedakan As-sunnah dengan Al-hadis karena dari segi etimologi kata itu

memang berbeda.Kata Al-hadis banyak mengarah pada ucapan-ucapan Nabi

Muhammad SAW, sedangkan kata As-sunnah mengarah pada perbuatan dan

10
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 70
18

tindakan Nabi Muhammad SAW. Semua ulama ahlussunnah baik dalam

kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh dan ulama hadis sepakat mengatakan bahwa

kata sunnah atau hadis itu hanya berlaku untuk Nabi Muhammad SAW tidak

digunakan selain untuk beliau, alasannya karena beliau sendirilah yang

mengatakan bahwa baliau manusia yang terpelihara dari kesalahan (ma’sum),

karena beliau sendirilah yangb merupakan sumber teladan sehingga apa yang

disunnahkannya mengikat bagi seluruh umat Islam.

Sunnah menurut istilah syara’ yaitu segala sesuatu yang dtang dari

Rasulullah SAW baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan. Umat Ilam telah

sepakat bahwa apa yang keluar dari Rasulullha SAW baik itu berupa ucapan,

perbuatan atau pengakuan merupakan sumber hokum Islam. Asalkan sanad itu

dismpaikan secara sanad yang benar dengan hokum yang bersumber dari

Rasulullah SAW. Kedudukanya sama dengan hokum yang bersumber dari Al-

qur’an sebagai peraturan perundang-undangan yang harus diikuti oleh umat Islam

dalam melaksanakan Syariat Ilahi.11

Sunnah dapat dikelompokkan berupa:12

a) Sunnah Qauliayah ialah semua berita yang diucapkan oleh Nabi

Muhammad SAW berupa sabda-sabdanya dihadapan para sahabat.

b) Sunnah Fi’liyah ialah tiap-tiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh

NAbi Muhammad SAW.

c) Sunnah Taqririyah ialah tentang nabi mencegah apa yang dikatakan apa

yang dikatakan atau diperbuat olah seseorang dihadapanya atau


11
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 71

12
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh,… hal. 40
19

dimasanya. Dengan arti perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan

yang dilakukan dihadapan beliau tidak dicegah dan tidak pula dilarangnya.

Contoh taqrir nabi terhadap mereka yang mengerjakan shalat sunat antara

adzan magrib dengan sahalat magrib sedangkan nabi melihat dan tidak

melarangnya.

3. Ijma’ Para Ulama

Secara etimologi, ijma` mengandung dua arti, pertama Ijma` berarti

ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Kedua

Ijma` juga berarti sepakat.13

Ijma’ menurut syarak adalah suatu kesepakatan bagi orang yang susah

payah dalam menggali hokum-hukum agama (mujtahid) diantara umat Nabi

Muhammad SAW, sesuadah beliau meninggal di dalam suatu masa yang tidak

ditentukan atau suatu masalah diantara masalah-masalah yang diragukan (belum

ada ketetapan di dalam Al-qr’an dan As-sunnah).

4. Hukum Islam yang Bersumber Pada Al- Ra’yu

1) Qiyas

Menurut bahasa qiyas berarti ukuran, yaitu mengukur atau mengetahui

ukuran sesuatu dengan menghisbahkan pada yang lain. Sedangkan menurut

istilah yaitu menghubungkan sesuatu yang belum ditetapkan ketentuan

hukumnya oleh nash kepada sesuatu yang telah dinyatakan hukumnya oleh

nash karena keduanya memiliki kesamaan illat.14

13
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 73

14
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 76
20

Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi empat rukun:15

a) Asal, yaitu dasar titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan

(musyabbab bih).

b) Furu’, suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal tadi

disebut musyabbah.

c) Ilat, suatu sebab yang menjadikan adanya hokum sesuatu dengan

persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskan masah kedua (furu’) kepada

masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat di

kompromikan antara asal dengan furu’.

d) Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada

ketetapan hukum pada asal

Contoh qiyas yaitu: hokum narkoba adalah haram hal ini diqiyaskan pada

hokum kahamar karena illatnya sama-sama memabukkan.

2) Maslahah mursalah

Yaitu memperoleh suatu hokum yang sesuai menurut akal dipandang

dari kebaikannya sedangkan tidak diperoleh alasannya, seperti seorang

menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama, apakah

perbuatan itu haram atau boleh. Maka hendaklah dipandang kemudharatan

dan kemanfatannya. Apabila kemudaratannya lebih banyak dari

kemanfaatannya maka perbuatan itu telarang , sebaliknya bila kemanfaatan

lebih besar dari pada kemudaratan maka perbuatan itu dibolehkan agama

karena agama membawa kepada kebaikan.16


15
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh,… hal. 50

16
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh,… hal. 64
21

3) Istihsan

Istihsan artinya mencari kebaikan. Menurut ilmu usul fiqh yaitu

berpaling pada hokum yang mempunyai dalil kepada adat (kebiasaan) untuk

kemaslahatan umum. Separti membunuh orang Islam yang ditawan oleh

orang kafir di dalam peperangan, sedangkan orang Islam yang ditawan itu

menjadi perisai oleh orang kafir, maka orang Islam itu boleh dibunuh, karena

menjaga kebaikan tentara Islam dan umat Islam yang banyak.17

4) Istishab

Menurut bahasa yaitu pemikiran, yaitu berusaha menetapkan suatu

ketentuan hokum tetap menjadi sesuatu. sedangkan menurut istilah Istishab

yaitu memberlakukan hokum dengan tetap memberlakukan hokum yang ada

untuk saat ini dan akan datang, sesuai dengan hokum yang berlaku pada masa

sebelumnya, sebelum ada dalil yang mengubahnya.18

Contoh istishab seseorang yang ragu apakah ia tadi sudah berwudhuk,

di waktu ini ia hrus berpegang kepata tidak berwudhuk karena inilah yang

yakin baginya. Pegangan ini dikatakan hokum yang telah tetap untuk masa

yang lalu, jadi orang itu tidak boleh sembahyang sekarang dan nan ti kalau

belum berwudhuk.

5) Sadduz-zara-i’

Sadduz-zara-i’ yaitu suatu masalah yang zahirnya dibolehkan oleh

agama dan dihubungkan dengan perbuatan yang terlarang. Suatu masalah

17
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh,… hal. 65

18
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 82
22

yang masih dalam keragu-raguan yang belum mempunyai keyakinan atas

boleh nya atau terlarang, harus ditinggalkan sampai ada keyakinan, jika

dikerjakan juga mungkin akan membawa kepada perbuatan yang terlarang

(haram), ini berarti main main ditepi larangan, seperti pergaulan muda-mudi

yang terlalu bebas mengakibatkan timbulnya larangan agama (dosa).19

6) Urf atau Adat Kabiasaan

Suatu yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan

dikalangan mereka baik berupa perkataan atau perbuatan. Sebagian ulama

usul fiqh, urf disebut juga adat sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada

perbedaan antara urf dengan adat. Namun demikian, dalam pemahaman bias

diartikan bahwa pengertian urf lebih umu dari pada pengertian adat, karena

adat selain telah dikenal oleh masyarakat juga telah biasa dikerjakan

dikalangan mereka, seakan-akan merupakan hokum tertulis, sehingga ada

sanksi-sanksi bagi orang yang melanggarnya.20

C. Hikmah Diturunkan Syari’at Islam

19
Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul fiqh,… hal. 65

20
Abdul Manan, Reformasi Hokum Islam Di Indonesia,…hal. 91
23

Ketahuilah hikmah diturunkannya syari’at adalah untuk empat maksud

berikut:21

1. Untuk mengetahui Allah SWT dan apa yang berkenaan dengan-Nya,

seperti keberadaan, ketuhanan, dan keasaan-Nya serta sifat-sifat-Nya yang

maha semprna.

2. Untuk mengetahui cara beribadah kepada Allah SWT, yang merupakan

pengagungan kepada-Nya serta pengungkapan rasa syukur terhadap

nikmat-nikmat-Nya yang tidak terhitung jumlahnya.

3. Untuk mendorong manusia agar menyuruh melakukan yang ma’ruf dan

melarang dari yang munkar, menghias diri dengan adab-adab yang utama

dan akhlak-akhlak yang mulia serta mengambil keutamaan-keutamaan

yang dapat mengantarkan dirinya kepada kemuliaan dan ketinggian.

4. Untuk menghentikan kezaliman orang-orang yang berlaku aniaya dengan

meletakkan hukuman dan sanksi syari’at. Undang-undang Allah SWT ini

jauh berbeda dengan undang-undang buatan manusia yang kian hari kian

dilecehkan oleh banyak orang.

Itulah empat maksud utama yang karenanya diturunkan syariat islam oleh

Allah SWT.

D. Kewajiban Menegakkan Syariat Islam


21
Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah At-tasyri’ Wa Falsafatuhu, (Jakarta: Gema Insani,
1997), Cet. ke-5, hal. 1
24

Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar berarti menyuruh kepada yang

ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.22

Ma’ruf secara etimologi berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah

sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad ’Abduh, ma’ruf adalah apa yang

dikenal ( baik ) oleh akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar adalah apa

yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani.23

Berbeda dengan Abduh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni mendefenisikan

ma’ruf dengan apa yang diperintahkan syarak (agama) dan dinilai baik oleh akal

sehat, sedangkan munkar adalah apa yang dilarang syarak dan dinilai buruk oleh

akal sehat.24

Terlihat dari dua defenisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau

munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa

kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Segala yang diperintahkan oleh agama

adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah

munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama tentang ma’ruf dan munkarnya

ditentukan oleh akal sehat dan hati nurani.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman,

baik secara individual maupun kolektif. Allah SWT berfirman:

      


      
 
22
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam, 1999), Cet. Pertama, hal. 241

23
M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar-al-Fikr, 1980), Jilid IV, h. 27

24
M. Ali ash-Shabuni, Shafwahal-Tafsir (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1980), Jilid I,
h. 221
25

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang


menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar. merekalah orang-orang yang beruntung.25

Syariat telah menjelaskan bahwa setiap muslim harus mencegah setiap

perbuatan mungkar. Ada tiga kelompok orang yang melakukan pencegahan yaitu

kelompok orang yang melakukqan pencegahan dengan tangan, mereka adalah

pemimpin dan penguasa. Kelompok kedua adalah yang melakukan pencegahan

melalui lisan, mereka adalah para ulama. Kelompok ketiga adalah yang

melakukan pencegahan dengan hati, mereka adalah orang-orang awam. 26 Hal ini

telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh abu sa’id al-khudri r.a dari

nabi SAW. Beliau pernah bersabda:

“Barang siapa diantara kalian mendapatkan kemungkaran maka


hendaklah ia mencegah dengan tangannya (kekuatan). Bila tidak bisa
maka dengan lisan, dan kalau itupun tidak bisa maka dengan hatinya, dan
itu adalah selemah-lemahnya iman”

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar


ma’ruf nahi munkar, atau (kalau tidak) Allah akan mengirimkan azab dari
sisi-Nya dalam waktu dekat, kemudian kalian berdo’a dan do’a kalian
tidak dikabulkan.”

Disamping kewajiban, amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas yang

menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam. Dalam hal ini Allah SWT

menegaskan dalam fiman-Nya:

25
Q.S Ali-Imran: 104

26
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Fiqih Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2005) Cet
Pertama, h. 86
26

      


  
...  
Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…27

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa keberadaan umat Islam sebagai umat

terbaik ditentukan oleh peranannya dalam mengemban tugas amar ma’ruf nahi

munkar. Bila tugas tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan, dengan sendirinya

umat Islam tidak lagi menjadi umat yang terbaik, bahkan bisa terpuruk menjadi

umat buruk kalau tidak terburuk sebagai lawan yang terbaik. Bila demikian

keadaanya keberadaan umat Islam sama sekali tidak akan diperhitungkan oleh

umat-umat lain.28

Ada lima syarat untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar29.

a) Harus benar-benar mengetahui apa yang akan diperintahkan dan apa yang

dilarang.

b) Harus bertujuan mencari keridhaan Allah SWT, dan memuliakan agama-

Nya, serta meninggikan kalimat-Nya, tidak disertai riya dan sum’ah, tetapi

dimaksudkan untuk melenyapkan kemungkaran. Allah SWT berfirman:

       

 

27
Q.S Ali-Imran: 110

28
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, …, h. 243

29
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Fiqih Tasawuf,… h.87
27

Artinya: Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah,


niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.30

Jika dilakukan karena takut akan kemusrikan dan memperbaiki amal

perbuatan, dia mendapat keuntungan. Jika sebaliknya, baginya kehinaan

dan kerendahan, dan kemungkaran akan tetap merajalela, bahkan lebih

parah serta menambah keteguhan kepada pelaku maksiat untuk

bersekongkol dengan setan dalam menentang Allah SWT. Menolak

mentaati-Nya, serta tetap mengerjakan hal-hal yang diiharamkan.

c) Amar ma’ruf nahi munkar harus dilaksanakan dengan lemah lembut dan

tidak boleh dilakukan dengan cara kasar dan keras. Dengan cara

memberikan nasehat dan memberi pengertian tentang bagaimana pelaku

maksiat dapat sejalan dengan musuh-musuhnya yang terlaknat, setan yang

telah menguasai akalnya dan menjadikanya memandang baik segala

bentuk kemaksiatan kepada Allah SWT. Serta menentang perintah-Nya.

Setan menghendakinya binasa dan masuk ke neraka. Sebagaimana firman

Allah SWT:

        


     
Artinya: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka
anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.31

Allah SWT berfirman kepada nabi Muhammad SAW:

30
QS.Muhammad: 7
31
QS Fathir: 6
28

          
       

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka32

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Usman disebutkan bahwa Rasulullah

SAW bersabda: “tidak layak bagi seseorang untuk menyuruh berbuat

ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran sehingga memenuhi beberapa

kriteria, yaitu mengetahui apa yang disuruh dan apa yang dicegah”.

d) Senantiasa harus sabar, mampu mengendalikan diri, rendah diri, menahan

hawa nafsu,mempunyai keteguhan hati sekaligus kelembutan, menjadi

dokter yang mampu mengobati orang yang sakit, psikolog yang mampu

menyembuhkan orang yang gila, dan seorang pemimmpin yang mampu

memberikan petunjuk.

        

  

Artinya: dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang


memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami.33

Yaitu bersabar atas segala kesulitan dan penderitaan dari kaumnya dalam

menegakkan dan memuliakan agama Allah SWT. Dengan demikian Allah

32
QS Ali Imran: 159
33
QS. As-sajdah: 24
29

SWT menjadikan mereka para pemimpin yang member petunjuk, dokter

spiritual,dan pemimpin orang-orang yang beriman.

e) Harus mengerjakan apa yang dia perintahkan dan menjauhi apa yang

dialarang agar orang-orang tidak berbalik menyerangnya, sehingga dalam

pandangan Allah SWT dia benar-benar rendah dan hina. Allah SWT

berfirman:

      

    

Artinya: mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian,


sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu
membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?34

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik r.a disebutkan bahwa

Rasulullah SWA telah bersabda: “Pada malam aku diperjalankan Isra’,

aku melihat beberapa orang laki-laki mulutnya digunting lalu kutanyakan,

siapa mereka wahai jibril? Jibril menjawab, mereka adalah para

penceramah dari umatmu yang menyuruh orang-orang berbuat baik,

tetapi mereka melupakan diri mereka sendiri, sedang mereka membaca

Al-kitab.

Demikian prinsip-prinsip agama menyangkut amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam tradisi keilmuan Islam, prinsip ini dikenal dengan hisbah yang bertujuan

menjaga stabilitas internal masyarakat Muslim dari berbagai bentuk pelanggaran

dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dilihat dari

tujuannya sangat mulia, dan bukan sebuah tugas yang ringan, tetapi termasuk

34
QS Al-baqarah: 44
30

tugas yang sangat berat dan besar yang memerlukan kekuatan dan stamina

spiritual yang prima untuk mengembannya. Allah SWT berfirman:

      


         
 
Artinya: Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang memerlukan
tekad yang kuat (untuk melakukannya).35

Karena amar ma’ruf nahi munkar bukan hal ringan sehingga dalam

pelaksanaanya memerlukan beberapa syarat dan perangkat kelengkapan yang

memadai. Karena itu, seperti pada ayat di atas, yang diharapkan dapat

melaksanakannya adalah mereka yang mencukupi syarat, tidak semua orang

berkewajiban hisbah.

Namun dalam kenyataanya, prinsip hisbah ini banyak dilakukan melalui

cara-cara kekerasan.tidak sedikit aksi-aksi kekerasan atau terror dilakukan dengan

dalil amar ma’ruf nahi munkar. Ayat-ayat dan hadis seperti di atas dipahami apa

adanya secara literal, tanpa mempertimbangkan dan menghubungkannya dengan

sekian ayat atau hadis lainnya sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama.

Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara seperti ini pernah dilakukan oleh

khawarij yang dikenal begitu semangat dalam keagamaan tetapi dalam

pemahaman yang sempit sehingga berlebihan. Fenomena ini telah di prediksi oleh

Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Pada akhir zaman nanti akan datang sekelompok orang dari kalangan
muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat Al-
35
QS. Luqman: 31
31

Quran tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti anak panah lepas dari
busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai kehati
sehingga dapat memahaminya dengan baik).”

Karena kecewa dengan perkembangan politik pasca penetapan imam Ali

sebagai khalifah, kalangan khawarij mengkafirkan lawn-lawan politik mereka,

dengan menyerukan pembangkangan dengan dalih pernyataan, hukum hanya

bersumber dari Allah SWT (la hukma illa lillah).

Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar

(hisbah) para ulama berdasarkan kajian mendalam terhadap teks-teks keagamaan

menyimpulkan beberapa ketentuan bagi pelaku hisbah yaitu memiliki ilmu

pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar dan menempuh cara-cara yang

baik.36

Ilmu pengetahuan mengharuskan seseorang untuk melakukan perhitungan

terhadap hasil yang akan diperoleh dari amar ma’ruf nahi munkar. Kalau menurut

dugaan upayanya itu tidak akan menghasilkan apa-apa (tidak membawa

perubahan), bahkan justru akan mendatangkan bahaya maka gugur sudah

kewajiban tersebut. bahaya yang dimaksud menurut imam Al-Gazali, dapat

berupa penyiksaan secara fisik, kerugian secara moril atau materil (harta,

kedudukan, harga diri). Al-Gazali mencontohkan jika dengan melakukan hisbah

sesorang akan dipukul/dihukum di depan umum hingga membuatnya malu, atau

harta dan rumahnya terampas maka tidak berlaku baginya hisbah.

Segala perintah dalam agama dilaksanakan berdasarkan kemampuan

firman Allah SWT:

36
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, …, h. 243
32

         


          
       
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan.37

      



Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk
dirimu.38

Amar ma’ruf nahi munkar ditujukan kepada orang-orang mukmin yang

diharapkan sadar, atau orang-orang yang tidak tahu tapi ada keinginan untuk

belajar tahu. Adapun orang yang keras kepala dengan kemungkarannya dan

membela diri dengan kekuatan sehingga jika dihadapi akan timbul bahaya

sedangkan kemungkaran itu akan tetap ada, maka tidak ada kewajiban untuk

membrantasnya dengan kekuatan.

Aksi-aksi kekerasan yang belakangan ini banyak di lancarkan sebagian

umat Islam, apapun motif dibalaik itu, termasuk menegakkan kebenaran dan

membrantas kemungkaran, secara nyata telah memojokkan agama Islam dimata

dunia. Islam dan segala yang berkaitan dengannya dicitrakan sebagai agama yang

mengajarkan kekerasan, banyak kemaslahatan umat Islam yang terganggu akibat

37
Q.S Ath-Thalaq : 7

38
Q.S At-Taghabun :16
33

pencitraan seperti itu. Maka sudah saatnya kita menampilkan wajah baru Islam

yang moderat, toleran, damai dan kasih sayang untuk kemanusiaan.

1. Adab Pergaulan

Di era modern dan kemudian disusun dengan era globalisasi, arus budaya

asing terus mengalir deras menghantam nilai-nilai kultur dan agama yang

selamaini menjadi benteng moral anak bangsa. Arus budaya asing itu secara

pelan-pelan meruntuhkan budaya lokal yang sesungguhnya sangat Islami.39

Salah satu budaya yang hilang itu adalah budaya malu, karena budaya

asing hampir tidak mengenal budaya malu dari timur. Kondisi inilah yang

mendorong pergaulan bebas antara pemuda pemudi yang tidak memperdulikan

budaya malu. Etika pergaulan yang diajarkan oleh nenek moyang dan dituntun

oleh ajaran Islam tidak lagi berdaya mengontrol kebebasan pergaulan itu.

Dalam ajaran Islam pergaulan antara sesama manusia dalam arti sangat

dianjurkan dan bahkan tidak dibatasi oleh etnis, agama, dan ras. Sebagai mana

firman Allah SWT:

       


       
      
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.40

39
Rahman Ritonga, Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia, (Surabaya : Amelia,
2005), Cet Pertama, h. 23
40
QS Al-hujurat : 13
34

Melalui ayat ini Allah SWT menginginkan supaya setiap manusia yang beragam

etnis membangun kemitraan dalam mewujudkan kemaslahatan dan menentang

semua perpecahan yang menimbulkan kemudaratan.

Dalam adab pergaulan ada beberapa etika yang harus dijaga oleh sesama

manusia yaitu:41

a) Menundukkan Pandangan

Allah SWT memerintahkan kaum lelaki untuk menundukkan

pandangannya sebagaimana firman-NYA:

       


         

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah


mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat".42

b) Menutup Aurat

Ulama Islam telah menentukan batas bagian tubuh laki-laki dan

perempuan yang dikategorikan sebagai aurat yang harus ditutup dan tidak boleh

dipandang orang lain yang bukan mahramnya.43

41
Http://Muslimatul-Husna.Blogspot.Com/2008/10/Adab-Adab-Pergaulan-Dalam-
Islam.Html

42
Q.S An-Nur : 30
43
Rahman Ritonga, Merakit Hubungan Dengan Sesama Manusia,… h.166
35

Adapun aurat bagi seorang laki-laki adalah bagian tubuh yang ada antara

pusat dan lutut. Sedangkan aurat dari seorang perempuan adalah semua tubuhnya

kecuali muka dan telapak tangan. Muka dan telapak tangan tidak digolongkan

kepada aurat yang harus dijaga karena sulit menyembunyikannya dari pandangan

orang lain. Setiap umat Islam harus menjaga auratnya terutama kaum perempuan

sebagaimana Allah SWT berfirman:

      


         
  …

Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya…44.

c) Adanya Pembatas Antara Lelaki Dengan Perempuan

Kalau ada sebuah keperluan terhadap kaum yang berbeda jenis, harus

disampaikan dari sebalik tabir pembatas. Sebagaimana firman-NYA: “Dan

apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari

balik hijab” (al-Ahzaab:53).

d) Tidak Berdua-duaan Di Antara Lelaki dan Perempuan

Seorang muslim tidak boleh menyepi bersama seorang wanita yang bukan

muhrimnya sebagaimana hadis mengatakan : Dari Jabir bin Samurah berkata;

Rasulullah SAW bersabda: Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan

44
Q.S An-Nur : 30
36

dengan seorang wanita kerana syaitan akan menjadi yang ketiganya (Hadis

Riwayat Ahmad & Tirmidzi).45

Selanjutnya hadis Dari Ibnu Abbas r.a: Saya mendengar Rasulullah SAW

bersabda: Janganlah seorang lelaki berdua-duaan (khalwat) dengan wanita kecuali

bersama mahramnya (Hadis Riwayat Bukhari & Muslim). Berdasarkan hadis

diatas jelas terlihat larangan bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan

berdua-duaan/berkhalwat yang bukan muhrimnya, karena setan akan selalu

menggoda keduanya untuk berbuat maksiat.

e) Tidak Melunakkan Ucapan (Percakapan)

Seorang wanita dilarang melunakkan ucapannya ketika berbicara selain

kepada suaminya. Firman Allah SWT:

        


        
  

Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita

yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213]

dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit

dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik.46

45
Http://Muslimatul-Husna.Blogspot.Com/2008/10/Adab-Adab-Pergaulan-Dalam-
Islam.Html di akses tanggal 15 juli 2013.

46
Q.S Al-Ahzaab: 32
37

[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang

menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.

[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang

mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.

2. Adab Berpakaiaan

Didalam ajaran Islam, berpakaian tidak hanya sekedar kain penutup badan,

tidak hanya sekedar mode atau trend yang mengikuti perkembangan zaman.

Islam mengajarkan tata cara atau adab berpakaian yang sesuai dengan ajaran

agama, baik secara moral, indah dipandang dan nyaman digunakan. Diantara adab

berpakaian dalam pandangan Islam yaitu sebagai berikut:47

a) Harus memperhatikan syarat-syarat pakaian yang islami, yaitu yang dapat

menutupi aurat, terutama wanita.

b) Pakailah pakaian yang bersih dan rapi, sehingga tidak terkesan kumal dan

dekil, yang akan berpengaruh terhadap pergaulan dengan sesama.

c) Tidak menyerupai pakaian wanita bagi laki-laki, atau pakaian laki-laki

bagi wanita.

d) Tidak meyerupai pakaian Pendeta Yahudi atau Nasrani, dan atau

melambangkan pakaian kebesaran agama lain.

47
Http://Mahabesar.Wordpress.Com/Sdsmpsma/Adab-dalam-Berpakaian/ di akses
tanggal 15 juli 2013.
38

e) Tidak terlalu ketat dan transparan, sehingga terkesan ingin

memperlihatkan lekuk tubuhnya atau mempertontonkan kelembutan

kulitnya.

f) Tidak terlalu berlebihan atau sengaja melebihkan lebar kainnya, sehingga

terkesan berat dan rikuh menggunakannya, disamping bisa mengurangi

nilai kepantasan dan keindahan pemakainya.

3. Adab Silaturrahim (Bertamu)

Bertamu adalah berkunjung ke rumah orang lain dalm rangka mempererat

silaturahim. Maksud orang lain di sini adalah tetangga, saudara (sanak famili),

teman sekantor, teman seprofesi dan sebagainya. bertemu tentu ada maksud dan

tujuannya, antara lain menjeguk yang sedang sakit, ngobrol-ngobrol biasa,

membicarakan bisnis, membicarakan masalah keluarga keluarga dan sebagainya.

Apapun alasannya, seseorang berkunjung kerumah orang lain (bertamu)

tidaklah menjadi persoalan. Yang jelas bertamu itu pada hakekatnya mempererat

silaturahmi atau tali persaudaraan. Orang suka bersilaturahmi akan dilampangkan

rezekinya dan dipanjangkan umurnya, sebagaimana hadis Rasulullah saw, dari

riwayat anas ibnu malik:

‫ا‬OO‫ه اوينس‬OO‫ه رزق‬OO‫ سمعت رسول هللا صلعم يقول من سره ان يبسوط ل‬: ‫عن انس بن ما لك قال‬

)‫له فى اثره فليصل رحه ( رواه البخا رى‬


39

Artinya: dari anas ibnu malik, ia berkata: “aku mendengar Rasulullah


SAW menerangkan bahwa siapa yang senang rezkinya dipermurah dan
usianya diperpanjang hendaklah ia bersilaturrahim”. (HR. Bukhari).

Mempererat tali silaturahim, baik dengan tetangga, sanak saudara maupun

teman sejawat merupakan perintah agama Islam agar senantiasa membina kasih

sayang, hidup rukun, tolong menolong, saling membantu antara yang kaya dengan

yang miskin dan memiliki kesempatan dengan yang mengalami kesempitan.

Silaturahim tidak saja menghubungkan tali persaudaraan, tetapi juga akan banyak

menambah wawasan, pengalaman karena pada saat berinteraksi terdapat

pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan masalah-masalah perdagangan

atau penghasilan, sehingga satu sama lain akan mendapatkan pandangan baru

tentang usaha pendapatan rezeki dan sebagainya.

Suasana yang dialami bagi orang yang biasa bersilaturahmi, hidup menjadi

lebih menyenangkan, nuaman, dan hati menjadai tentram sehingga hidup ini

terasa luas dan lega seakan umur bertambah, walaupun kenyataan yang

sebenarnya umur atau ajal manusia sudah ditentukan jauh sebelum ia dilahirkan

oleh Allah SWT.

Dalam bersilaturrahim (bertamu) Islam telah memberi tuntunan dengan

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam bertamu yaitu:48

a) Memperbaiki Niat

48
Http://Myquran.Org/Forum/Index.Php/Topic,14115.0.Html
40

Tidak bisa dipungkiri bahwa niat merupakan landasan dasar dalam setiap

amalan. Hendaklah setiap muslim yang akan bertamu, selain untuk menunaikan

hajatnya, juga ia niatkan untuk menyambung silaturahim dan mempererat

ukhuwah. Sehingga tidak ada satu amalan pun yang ia perbuat melainkan berguna

bagi agama dan dunianya. Tentang niat ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi

wasallam bersabda :

‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى‬

Artinya: “Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat dan setiap
orang tergantung pada apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari, Muslim).

b) Memberitahukan Perihal Kedatangan Sebelum Bertamu

Adab ini sangat penting untuk diperhatikan karena tidak setiap waktu

setiap muslim itu siap menerima tamu. Barangkali ia punya keperluan/hajat yang

harus ditunaikan sehingga ia tidak bisa ditemui. Atau barangkali ia dalam keadaan

sempit sehingga ia tidak bisa menjamu tamu sebagaimana dianjurkan oleh

syari’at. Betapa banyak manusia yang tidak bisa menolak seorang tamu apabila si

tamu telah mengetuk pintu dan mengucapkan salam padahal ia punya hajat yang

hendak ia tunaikan.

c) Menentukan Awal dan Akhir Waktu Bertamu

Adab ini sebagai alat kendali dalam mengefisienkan waktu bertamu. Tidak

mungkin seluruh waktu hanya habis untuk bertamu dan melayani tamu. Setiap

aktifitas selalu dibatasi oleh aktifitas lainnya, baik bagi yang bertamu maupun

yang ditamui (tuan rumah). Apabila memang keperluannya telah usai, maka
41

hendaknya ia segera berpamitan pulang sehingga waktu tidak terbuang sia-sia dan

tidak memberatkan tuan rumah dalam pelayanan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

‫فإذا قضى أحدكم نهمته من وجهه فليعجل إلى أهله‬

Artinya:“Apabila salah seorang diantara kamu telah selesai dari maksud


bepergiannya, maka hendaklah ia segera kembali menuju keluarganya”
(HR. Bukhari dan Muslim).

d) Berwajah Ceria dan Bertutur Kata Lembut dan Baik Ketika Bertemu

Wajah muram dan tutur kata kasar adalah perangai yang tidak disenangi

oleh setiap jiwa yang menemuinya. Allah telah memerintahkan untuk bersikap

lemah lembut, baik dalam hiasan rona wajah maupun tutur kata kepada setiap bani

Adam, dan lebih khusus lagi terhadap orang-orang yang beriman. Allah SWT

telah berfirman49 :

‫َو اْخ ِفْض َج َناَح َك ِلْلُم ْؤ ِمِنيَن‬

Artinya:“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”.

e) Tidak Sering Bertamu

Mengatur frekwensi bertamu sesuai dengan kebutuhan dapat menimbulkan

kerinduan dan kasih-sayang. Hal itu merupakan sikap pertengahan antara terlalu

sering dan terlalu jarang. Terlalu sering menyebabkan kebosanan. Sebaliknya,

terlalu jarang mengakibatkan putusnya hubungan silaturahim dan kekeluargaan.

f) Dianjurkan Membawa Sesuatu Sebagai Hadiah


49
QS. Al-Hijr : 88
42

Memberi hadiah termasuk amal kebaikan yang dianjurkan. Sikap saling

memberi hadiah dapat menimbulkan perasaan cinta dan kasih saying, karena pada

dasarnya jiwa senang pada pemberian. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam

bersabda :

‫تهادوا تحابوا‬

Artinya:“Berilah hadiah di antara kalian, niscaya kalian akan saling


mencintai” (HR. Bukhari).

Anda mungkin juga menyukai