Anda di halaman 1dari 10

SUMBER SUMBER DALIL FIQIH YANG MUTTAFAQ

(Al-Quran,Hadist,Ijma’,Qiyas)

Oleh:

NADIA FAHMA MAS’ADIYAH

19410148

Sumber hukum Islam dapat dibagi menjadi dua bagian yakni sumber hukum
Islam materil yakni sumber hukum yang bentuk hukum dalam sebuah negara dan sumber
hukum formil yaitu sumber isi hukum yang menentukan corak isi hukum. Sumber hukum
formil inilah yang kemudian disebut sebagai mashadir al-ahkam, sementara aladillah asy-
syar‟iyyah merupakan sumber hukum materil.

Istilah mashadir al-ahkam sendiri tidak dikenal dalam catatancatatan para ahli
hukum masa klasik. Karena pada umumnya para ahli hukum klasik menggunakan istilah
al-adillah asy-syar‟iyyah. Secara umum kedua istilah ini memiliki mengertian yang
berbeda antara satu sama lain. Mashadir berarti sumber, yakni wadah yang darinya digali
norma-norma hukum tertentu, sedangkan al-adillah berarti dalil, yakni petunjuk yang akan
membawa kepada hukum tertentu.1

Membicarakan pengkatagorian untuk sumber hukum Islam, maka akan banyak


spekulasi pambagian. Ada yang mengatakan empat (Alquran,Hadis, Ijmak dan qiyas), ada
pula yang mengatakan hanya tiga (tanpa mengikutkan qiyas). Namun yang pasti dan
diakui untuk semua kalangan adalah dua yakni Alquran dan Hadis. Sedangkan untuk dua
lainnya, masih menjadi perdebatan dan memerlukan kajian yang lebih dalam.

Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata “hukum” dan kata “Islam”. Kedua itu
secara terpisah, merupakan kata yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-
Qur’an, juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “ hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata
telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan terpakai. Dalam bahasa Indonesia kata
‘hukum’ menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang-orang yang diberi wewenang
oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.

1
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 82.
Bila kata ‘hukum’ menurut definisi di atas dihubungkan kepada ‘Islam’ atau ‘syara’,
maka ‘hukum Islam’ akan berarti: “ seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunah Rasul tetang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk
semua yang beragama Islam2

Sedangkan hukum dalam pengertian hukum syara’ menurut istilah ulama ushul
adalah khitob (doktrin) syar’i yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan atau ketetapan.

‫خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين طلبا أو تخييرا أو وضعا‬

"Hukum adalah khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf baik berupa
perintah atau pilihan atau wadh’i2”

Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum taklifi, dan hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan hukum
taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf dalam bentuk ketetapan
dengan hukum wadh’i3. Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fiqh adalah pengaruh yang
ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman
dan kebolehan4.

Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan
untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahan-
permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat
Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Maka sumber hukum yang utama dan paling
utama adalah Al-Qur’an kemudian As-Sunnah, ijma dan sumber hukum yang terakhir adalah
Qiyas.

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM MUTTAFAQ (disepakati)

2
Wad’i adalh sebab, syarat, atau mani’/penghalang suatu hukum
3
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 136.
4
Ibid.
1. AL-Qur’an

Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya ' membaca. Al
Qur‟an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur‟an diawali
dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur‟an merupakan
ibadah. Al Qur‟an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban
untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi
segala larangannya.5

Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang alAhwal al-
Syakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci dibanding dengan
bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan
bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak
manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan teguran, sedang keluarga
merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan memberi warna terhadap yang lainnya.

Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum, memberi


peluang kepada manusia untuk berpikir, tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan
pengaturan yang bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam berbagai lapisan
masyarakat, dan berbagai kasus dalam sepanjang jaman. Hukum Islam memberi peluang
kepada masyarakat dan manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun kemajuan dan
kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas perinsip umum Alqur'an. Perinsip umum itu
adalah Tauhidullah, persaudaraan, persatuan dan keadilan.

2. As-Sunah atau Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al Qur‟an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT:

ۚ ‫ك اهَ َن ا َم َو ُهو ُذ ُخ‬


ُ ‫ا وهُ َت ْناَف ُو ْن َع ْم‬ َ ‫ك‬
‫ت آ ا َم َو‬ ُ ‫َف ُل وسُ َّر ال ُم‬
5
Husain Hamid Hasan, Nadzariyyah al-Malahah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar an- Nahdhah al-
Arabiyah, 1971). Hal 50
Artinya: “ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hashr : 7)6

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi


Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia.
Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal
tersebut dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.

Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji. Sunnah
lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: = dekat, = baru, = berita. Dari
arti-arti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar,
seperti dalam firman Allah Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh adalah semua yang
bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Adapun Hubungan Al-Sunnah dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi hukum yang
terkandung di dalamnya sebagai berikut :

a. Muaqqid

Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an dikuatkan
dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat dalam Al-Qur'an
dan dikuatkan oleh Al-sunnah.

b. Bayan

Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum jelas, dalam
hal ini ada tiga hal :

(1).Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih


mujmal, misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan
Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan shaum. Dalam Shalat misalnya.

(2).Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq)


Misalnya: Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi
berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya.

(3). Mentakhshishkan keumuman,

6
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahnya, (Bandung: Diponegoro,2010), hal.
Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging
babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian
kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.

(4) menciptakan hukum baru.

Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dan
burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.

3. Ijma’
Ijma’ ditinjau dari segi Bahasa berarti sepakat,setuju atau sependapat (Abd.
Aziz, 1988:28). Adapun menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama
mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah Saw atas
suatu hukum syara’(Az Zuhaili, 1986 : 490).7 ijma’ adalah kesepakatan semua
mujtahidin diantara ummat islam pada suatu masa setelah wafatnya Nabi Muhammad
Saw atau hukum syar’I mengenai suatu kejadian atau kasus. Menurut Khallaf (1994 :
64)8

Proses para mujtahid dalam mencapai kesepakatan menuju ijma disebut dengan
ijtihad. Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu
masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur‟an maupun Hadits, dengan
menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara
menetapkan hukum-hukum yang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan
sumber hukum yang ketiga. 9

Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama
muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada
Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah
yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukum
dengan Al Qur‟an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam
Al Qur‟an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi,
“seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur‟an dan Hadits”, Muadz
menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW

7
Az Zuhaili, 1986, hal 490
8
Khallafah, 1994, hal 64
9
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 15
menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini
menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur‟an dan
hadits.

 Rukun- rukun Ijma’ :

 Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya
seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu
orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.

 Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah,
dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas
hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja,
mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus
ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan
umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.

 Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka


dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau
perbuatan.

 Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian
besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara
ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak
maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan
mengikat.

 Macam Macam Ijma’


Ditinjau dari segi cara terjadinya terdiri dari
1. Ijma’ Bayani yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya secara tegas jelas
baik berupa ucapan atau tulisan.
2. Ijma’ Sukutii yaitu para Mujtahid seluruh atau sebagian mereka menyatakan
pendapat dengan jelas dan tegas tetapi sebagian mereka berdiam diri saja

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terdiri dari


1. Ijma’ Qaf’I yaitu hukum yang dihasilkan ijma itu benar terjadinya atau tida ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijma yang dilakukan pada lain waktu
2. Ijma’ Zanni yaitu hukum yang masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang
lain dengan hasil ijma’ yang dilakukan pada waktu yang lain.

4. Qiyas

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada


hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya
terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya.10 Contohnya, mengharamkan minuman
keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar
yang disebut dalam Al Qur‟an karena antara keduanya terdapat persamaan illat
(alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan
hukumnya dalam Al Qur‟an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung
persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur‟an. Menurut para ulama
usul fiqih, Qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak
ada dasar nass-nya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkkan nass karena ada persamaan
illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
 Rukun-Rukun Al Qiyas

Rukun Al Qiyas ada 4 yaitu;

1. Asal berarti pokok, artinya adalah suatu peristiwa yang telah ditetapkan
berdasarkan nass.
2. Furu’ berarti cabang, yaitu suatu peristiwa baru yang belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nass yang dapat dijadikan sebagai dasarnya
3. Hukum Asal yaitu hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nass dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada Furu’ seandainya ada persamaan
dengan illatnya

10
Ibid., hal. 17
4. Illat yaitu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada furu’ seandainya
sifat itu terdapat persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
furu’ sama dengan hukum asal
Syarat-syarat Qiyas
Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut
1. Asal dan Furu’
Setelah diterangkan bahwa asal dan furu' berupa kejadian atau peristiwa.
Peristiwa pertama mempunyai dasar nass, karena itu telah ditetapkan
hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai nass, sehingga belum
ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu asal disyaratkan berupa peristiwa atau
kejadian yang telah dite tapkan hukumnya berdasarkan nass, sedang furu’
berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nass yang
dapat dijadikan dasarnya.
2. Hukum asal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal;
a. Hukum asal itu hendaklah hukum shara’ yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nass.
b. Illat hukum asal itu adalah illat yang dapat dicapa oleh akal.
2. Illat Hukum
Illat ialah suatu sifat yang ada pada asal dan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum asal serta untuk mengetahui hukum furu’ yang belum
ditetapkan hukumnya.

 Macam-macam Qiyas
Menurut Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara illat yang
terdapat pada ashal (pokok/tempat mengqiyaskan) dan yang terdapat pada
cabang, qiyas dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Qiyas Awla, yaitu qiyas yang illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih
utama dari pada illat yang ada pada ashal.
2. Qiyas Musawi, yaitu qiyas yang dimana illat antara yang ada di cabang
sama bobotnya dengan illat yang ada pada ashal.
3. Qiyas al-Adna, yaitu qiyas dimana illatnya yang terdapat pada cabang lebih
rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat dalam ashal
Qiyas dari segi jelas dan tidak jelasnya illat dibagi menjadi dua yakni:
1. Qiyas Jali, yaitu qiyas yang didasarkan atas illat yang ditegaskan dalam al-
Qur’an dan asSunnah, atau tidak disebutkan secara tegas dalam salah satu
sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat dugaan bahwa tidak ada
illatnya. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua kepada larangan
mengatakan “ah” .
2. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan di dalam nash secara
nyata, sehingga untuk menemukan illat hukumnya memerlukan ijtihad.
Contohnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tumpul
kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan adanya persamaan illat
yaitu adanya kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda
tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan benda tajam.11

Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah
Rasulullah SAW).
 Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan
syari’at islam. Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan
kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah. Ijma’ menurut
hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah
mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa
yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang
tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash
karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.

Sumber-Sumber Hukum Dan Tak Berhenti Disitu Saja, akan ada kelanjutannya. Bila
Al-Quran Merupakan Sumber Fiqih Yang  Memiliki Arti  “Bacaan” Dan Menurut Istilah
Ushul Fiqih Al-Quran Berarti “Kalam (Perkataan) Allah Yang Diturunkan-Nya Dengan
Perantaraan Malaikat Jibril Kepada Nabi Muhammad Saw, Maka Berbeda Dengan As-
Sunnah Berarti “Segala Perilaku Rasullulah Yang Berhubungan Dengan Hukum, Baik
Berupa Ucapan (Sunnah). Begitu pula dengan Ijma dan Qiyas, bila Ijma menjelaskan
mengenai  “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu

11
29 Satria Efendi, M. Zein, Op.Cit., hal. 140-142.
masalah” , maka Qiyas membahas tentang mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
diketahui adanya persaman antara keduanya.

Daftar Pustaka

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
82.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih,(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 136.
Az Zuhaili, 1986, hal 490
Khallafah, 1994, hal 64
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 15
Satria Efendi, M. Zein, Op.Cit., hal. 140-142
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahnya, (Bandung: Diponegoro,2010), hal 7
Husain Hamid Hasan, Nadzariyyah al-Malahah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar an-
Nahdhah al-Arabiyah, 1971). Hal 50

Anda mungkin juga menyukai