Anda di halaman 1dari 13

PENGERTIAN FIKIH, SYARI’AH DAN HUKUM ISLAM

Ameliya Marti Ningsih (05040422057)

Program Studi Hukum Tata Negara

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

ameliyamarti54@gmail.com

Abstrak

Artikel ini membahas tentang memahami konsep syariah, fikih, hukum, dan ushul fikih
karena sekarang masyarakat sulit membedakan kata syariah, hukum, fikih dan ushul
fikih,Penelitian ini dibatasi dua pokok permasalahan, yaitu: Sejauh mana pengertian dari
syari’ah, fikih, hukum dan ushul fiqh?. Tujuan penelitian ini untuk membedakan arti syariah,
fikih, hukum, dan ushul fikih. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dan
pendekatan syar’i bercorak kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 1) yang
dimaksud dengan syariat, adalah merupakan jalan hidup muslim, ketetapan-ketetapan Allah dan
ketentuan Rasul-Nya. Hukum adalah peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia
dalam suatu masyarakat, peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Ushul fiqh berarti asal-usul Fiqh. Fiqh ialah, suatu ilmu yang
membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan
merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. 2) Perbedaan syari’ah dengan fiqh. Syariah
itu berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah, Bersifat fundamental, Hukumnya bersifat Qath'i ,
Hukum Syariatnya hanya Satu , Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an.
Sedangkan Fiqih itu karya manusia yang bisa berubah, bersifat fundamental, hukumnya dapat
berubah, banyak ragam, berasal dari Ijtihad ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang
dirumuskan oleh Mujtahid.

Kata Kunci : Konsep syari’ah, Fikih, Hukum


Abstract

This research discusses understanding the concept of sharia, fiqh, law and ushul fiqh
because now people are difficulr to distinguish word of sharia, fiqh, law and ushul fiqh. This
reseaarch is limited to two problem, namaly the extent of understanding of sharia, fiqh, law and
ushul fiqh and how is the difference between sharia, fiqh, law and ushul fiqh. The purpose of this
study is to distinguish themeaning of sharia, fiqh, law dan ushul fiqh. The type of research used
is normative are literary. The result of this studyindicate that 1) what is meant by sharia is a
muslim way of life, the provision of his apostle. Law is the rules that governhuman behavior in a
sociaty, the rules or norm are in the form of a reality that grows and developes in society. Ushul
fiqh means the original of fiqh. Formulate Islamic sharia law from its source. 2) the different
between sharia and fiqh. Sharia comes from the Al-Qur’an and As-sunnah is fundamental, the
law is fixed, the syari’a law is only one directry from Allah which is now contained in the Al-
Qur’an while fiqh is human word that chage it fundamental, the law can change, many kinds,
derived from ijtihad legal expert as a result oh human understanding formulated by mujtahid.

Key Word : Concept Sharia, Law, Fiqh

PENDAHULUAN

Tak dapat dipungkiri bahwa hukum memegang peranan kunci dalam menciptakan
keseimbangan tatanan dalam segala hal, baik kepastianya dlam sebuah negara atau dalam skala
global yang menyangkut hukum internasional. Pada dasarnya, hakkat hukum merupakan ini
peradaban suatu bangsa dalam arti yang paling murni dan mencerminkan jiwa bangsa secara
lebih jelas dari lembaga apapun. Hal ini, dapat dilihat terjadinya kekacauan di berbagai belahan
dunia lebih diebabkan oleh tatanan dan institusi-institusi hukum yang tidaka mapan dan masih
terlalu besaar dominan dan monopooli kepentingan politik. (A.S. Diamon, 1949:.303)

Bagi umat islam syari’ah adalah “tugas umat manusia secara menyeluruh”meliputi moral
teologi,etika pembinaan umat, aspirasi spiritual, ibadah formal dan ritual yang rinci. Syari’ah
mencakup seluruh aspek hukum publik dan perorangan, kesehatan bahkan kesopanan dan
pembinaan budi. (Fazlur Rahman, 1979:101).Mengingat Syari’ah merupakan pedoman dalam
hubungannya dengan Allah, sesama, dan lingkungan hidupnya. Mahmud Syaltut bahwa syari’ah
adalah hukum Allah atau peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk dijadikan
pedoman sebagai hubungan tiga dimensi. Dengan demikian syari’ah merupakan hukum integral
yang meliputi aspek vertikal dalam kaitannya dengan Tuhan, dan aspek horizontal yang
berkenaan denga sesama dan lingkungan. H.A.R. Gibb menyatakan bahwa Syari’ah adalah
hukum Allah yang paling efektif untuk membentuk tatanan sosial dari segala macam gejolak
politik (H.A.R. Gibb, Muhammadanism, 1953: 11).

Syari’ah yang telah menjadi system doktrin yang independen, akan menimbulkan
perpecahan atau konflik antara pemegang kekuasaan dengan para ulama jika syari’ah terabaikan
dalam suatu negara (Lihat Noel J. Coulson, A 1964: 105-106) Hal ini karena syari’ah terlalu
teoritik berhak penuh terhadap hak-hak sipil dan politik (Majid Kharuddin, 1954: 162). Bagi
umat Islam, telah menjadi kepercayaan yang mendalam bahwa otoritas kedaulatan tertinggi
terletak di tangan Allah (H.A.R.Gibb,1953:39) . Dengan demikian, keimanan pada Islam secara
obyektif ditentukan oleh pemegang kewenangan, bahkan secara subyektif yang bersangkutan
(Nu’man Al-Samara’i,1968:216). Walaupun ada kebenaran politik dan sosiologis dalam
aktualisasi syari’ah ke dalam dunia praktis, namun demikian sosio-kultural tidak dapat
diabaikan. Begitu elen vitalnya hukum umat Islam sebagai manifestasi paling tipikal dan
kongkrit dari Islam sebagai sebuah agama. Suatu hal yang mustahil untuk memahami Islam
tanpa memahami hukumnya. Namun patut disadari bahwa Islam yang tertuang dalam al-qur’an
dan hadist sebagai standart hukum bersifat akomodatif terhadap dinamika sosio-kultural yang
ada. Semangat legislasi antara Nabi dan al-qur’an dan dengan perkembangan yang ada
pemperlihatkan arah yang jelas menuju realisasi progresif dari nilai-nilai fundamental tersebut ke
dalam semangat legislasi baru, karena legislasi aktual dari al-qur’an dan hadis sebagian telah
menerima kondisi sosial yang ada sebagai batasan rujukan (Falzur Rahman :53).Di Indonesia
hukum Islam didefinisikan sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam konteks tertentu
sebagai terjemaah dari al-syari’at al-islamiyah(A.Rafiq:1995:3)
PEMBAHASAN

Makna Syari’ah, Hukum dan Fiqh

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, ada tiga istilah yang berkaitan yakni
syari’ah, hukum dan Fiqh. Ketiga istilah ini kadangkala digunakan untuk menunjukkan satu arti,
yakni “hukum Islam”, meskipun diantara ketiganya mempunyai perbedaan.

Makna Syari’ah

Kata Syariah dan pecahannya dalam Al-Qur‘an ditemukan sebanyak lima kali.Menurut
Djazuli kata ―Syariah‖ secara etimologi mempunyai banyak arti. Salah satunya syariah yang
berarti ketetapan dari Allah bagi hamba-hambanya. Dan juga biasa diartikan dengan; jalan yang
ditempuh oleh manusia atau jalan yang menuju ke air atau juga bisa berarti jelas. Mahmud
Syaltut dalam Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah menyebutkan kata syariah berarti jalan menuju
sumber air yang tidak pernah kering. Kata syariah juga diartikan sebagai jalan yang terbentang
lurus. Hal ini sangat relevan dengan fungsi syariah bagi kehidupan manusia, baik dalam
hubungannya dengan Tuhan maupun dengan umat manusia, orang Islam maupun non muslim
dan alam sekitarnya, sedangkan Muhammad Syalabi mengetimologikan syariah sebagai sesuatu
yang dirujuk kepada sejumlah hukum Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw,
yang terekam dalam al-Qur‘an dan sunnah nabi.

Secara etimologi, kata syari’ah berakar dari kata ‫ شرع‬yang berarti “sesuatu yang dibuka
secara lebar kepadanya”. Dari sinilah terbentuk kata syari’ah yang berarti “sumber air minum”. 1
Kata ini juga berarti jalan menuju ke sumber air, ke tempat orang-orang menikmati air minum.
Orang-orang arab dahulu menggunakan kata ini untuk menunjukkan suatu jalan ketempat
memperoleh air minum yang secara permanen dan mencolok dapat dipandang dengan jelas oleh
mata.2Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diikuti.3

1
Lihat Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqayis alLughah, Juz III (Mesir: Dar al-Fikr Li al-
Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tausi, 1979), 262.
2
Lihat Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Ujungpandang: yayasan al-Ahkam, 1998), 6
3
Manna’ al-Qaththan, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam (tp, Muassasah alRisalah, tt), 14
Secara terminologi, Muhammad Ali al-Sayis mengartikan syari’ah dengan “jalan lurus”.
Kemudian pengertian ini dijabarkan menjadi: “Hukum-hukum syara’ mengenahi perbuatan
manusia yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci”.4Syeh Mahmud Syaltut mengartikan
syari’ah sebagi hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syariatkan bagi hamba-Nya untuk
diikuti.Menurut Nabhan, secara istilah syari’ah berarti “segala sesuatu yang disyariatkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya”.5Sedangkan menurut Manna’ al-Qaththan berarti “ketentuan Allah”
yang disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya, baik menyankut aqidah, ibadah, akhlak maupun
muamalah”. Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat dipahami
bahwa syari’ah identik dengan agama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dengan surah al-
Maidah: 48 dan al-Jasiyah: 18.Walaupun pada awalnya syari’ah diartikan dengan agama, tetapi
kemudian ia dikhususkan untuk hukum amaliyah.

Pengkhususan ini untuk membedakan antara agama dan syari’ah, karena pada hakekatnya
agama itu satu dan berlaku secara universal. Sedangkan syariah berbeda antara satu umat dengan
umat lainnya. Qotadah, menurut yang diriwayatkan oleh Thabari, mengkhususkan lagi
pemakaian syari’ah untuk hal-hal yang menyangkut kewajiban, sanksi hukum, perintah dan
larangan. Dalam perkembangan selanjutnya kata syari’ah digunakan untuk menunjukkan hukum-
hukum Islam, baik yang ditetapkan langsung oleh al-Qur’an dan Sunnah, maupun yang telah
dicampuri oleh pemikiran manusia (ijtihad).6Dengan demikian, dapat dipahami bahwa istilah
syari’ah erat kaitannya dengan istilah tasyri’. Syari’ah tertuju pada materi hukum, sedang tasyri’
merupakan penetapan dari materi syari’ah. Pengetahuan tentang tasyri’ berarti pengetahuan
tentang cara, dasar, dan tujuan Allah menetapkan hukum-hukum tersebut sebagai mana adanya.

4
Lihat Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad wa Athwaruh (Kairo: Salsalah al-Bahuts al-Islamiyah,
1970), 8-9
5
Muhammad Faruq Nabhan, al-Mudkhal li al-Tasyri al-Islami (Beirut: Dar alShadir, tt), 13
6
Lihat Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 8
Makna Fikih

Sementara Fiqih secara etimologi berarti al fahmu yaitu paham. Al-Asfahani memaknai
fikih dengan ketajaman pemahaman menyangkut inti persoalan secara mendalam.Sementara
secara terminology Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqih sebagai ilmu (pengetahuan)
tentang hukum-hukum syariah mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil secara
terperinci atau kodifikasi hukum-hukum syariah tentang perbuatan manusia yang diambil
berdasarkan dalil-dalil secara detail.8 Sementara Imam Al-Zarkasy mendefinisikan fikih sebagai
pengetahuan tentang hukum-hukum baru melalui nash dan istinbath terhadap madzhab dari
berbagai madzhab.9 Selanjutnya, pengertian fikih yang masih bersifat luas sebagaimana di atas
pada perkembangannya mengalami pergeseran makna. Di mana para ahli Ushul Fikih
merumuskan istilah fikih ini sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum yang mengatur
perbuatan manusia di mana proses pembentukannya melalui daya nalar para mujtahid yang
bersumber pada al-Qur‘an dan sunnah.

Kata Fiqh secara etimologis berasal dari kata ‫ف‬-‫ق‬-‫ ه‬yang berarti”mengetahui maksud
sesuatu dan memahaminy dengan baik”. 7Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sullam
mengemukakan makna Fiqh menurut bahasa adalah ‫ ”الفهن‬faham”, sedan menurut istilah adalah:
ً ‫العلن باالحكام الشرعية‬.
‫الت طريقها االجتهاد‬

“Mengetahui hukum-hukum agama Islam dengan jalan ijtihad” Muhammad Abu Zahra
mendefinisikan istilah Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah
yang dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Al-amidi berpendapat bahwa Fiqh ialah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang
bersifat furu’iyah yang didapatkan melalui penalaran dan istidlah.Selanjutnya al-Jurjani
sebagaimana dikutip oleh al-Hanafi menyatakan bahwa Fiqh adalah usaha yang dihasilkan oleh
pikiran atau ijtihad melalui analis dan perenungan.8Dari beberapa definisi yang telah penulis
kemukakan nampak jelas bahwa Fiqh bukanlah hukum syara’, karena Fiqh hanya merupakan
interpretasi yang bersifat dhanni yang terikat oleh situasi dan kondisi yang melingkupi, maka
Fiqh senantiasa berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Untuk lebih

7
Lihat Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam …, 442
8
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 9
memperdalam pemahaman terhadap makna Fiqh, penulis akan memaparkan definisi Fiqh yang
mengalami perkembangan dari periode ke periode.9

1. Definisi Fiqh pada abad I H (pada masa sahabat) Definisi Fiqh pada masa ini adalah ilmu
pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk
mengetahui Fiqh atau ilmu Fiqh hanya dapat diketahui oleh orang yang mendalam.
2. Definisi Fiqh pada abad II H. (masa setelah lahirnya mazhab-mazhab) Pada masa ini
telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan mazhab-mazhab. Pengertian Fiqh
pada masa ini adalah hukum-hukum yang dipetik dari kitabullah dan sunnah Rasulullah
Saw.
ً ‫علن بين الحقىق والىاجبات‬
3. Definisi Fiqh menurut ulama-ulama Hanafiah yaitu: ‫ال‬l‫الت تتعلك بأفع‬
‫ الوكلفين‬. “Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan
amalan para mukallaf.
ً ‫العلن الذي يبين الحكام الشرعية‬
4. Definisi Fiqh menurut pengikut Imam Syafi’I adalah ‫ك‬ll‫الت تتعل‬
‫“ بأفعال الوكلفين الوستنبطة هن ادلتها التفصيلية‬Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang
berhubungan dengan perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan (diistimbatkan) dari
dalil-dalil yang terperinci”.
5. Definisi Fiqh menurut sebagian besar ulama adalah: ‫ة‬ll‫رعية العولي‬ll‫ام الش‬ll‫بين الحك‬ll‫ذي ي‬ll‫العلن ال‬
‫يلية‬ll‫ا التفص‬ll‫تنبطة هن ادلته‬ll‫“ الوس‬Suatu ilmu untuk mengetahui hukum-hukum syara’ yang
amaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci”.
6. Definisi Fiqh menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu ‫العلن الذي يبين الحكام الشرعية العولية الوكتسب‬
‫“ هن ادلتها التفصيلية‬Suatu Ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hukumhukum syara’
(agama) yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci”. Dari beberapa definisi di atas,
dapat dipahami bahwa hakikat Fiqh adalah:
a. Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’;
b. Fiqh membicarakan hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah.
c. Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syara’ yang didasarkan pada dalil
tafshili, yakni al-Qur’an dan Hadist;
d. Fiqh digali dan ditentukan melalui penalaran dan istidlal mujtahid.

9
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996), 9
Setelah penulis memaparkan definisi syari’ah, hukum dan Fiqh, maka jelaslah bahwa
ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan yang mendasar, terutama bila diperhatikan ruang
lingkup operasionalnya masing-masing.

Syari’ah sebagai hukum yang ditetapkan Allah untuk menegakkan kemashlahatan umat
manusia. Syari’ah ada yang diterangkan secara eksplisit (tertulis) dan ada yang bersifat implicit
(tidak tertulis).10Hukum Allah yang tertuang dalam al-Qur’an secara eksplisit masih terbagi dua,
yaitu: muhkam dan mutasyabih. Hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih
telah dijelaskan oleh Rasulullah melalui sunnahnya dengan sempurna. Namun demikian,
penjelasan-penjelasan Rasululllah pada saat itu terikat oleh dimensi cultural, situasi kondisi,
waktu dan tempat, sehingga penjelasan Rasulullah tersebut mesti dilanjutkan melalui pengkajian-
pengkajian dan penelitian-penelitian ijtihad. Produk-produk pemikiran ijtihad inilah yang
dinamakan Fiqh.

Terhadap hukum-hukum yang implicit, pengkajian dan penelitian yang lebih mendalam
sangat dibutuhkan, agar makna yang terkandung didalamnya dapat dipahami. Hasil penelitian
dan pengkajian diterangkan secara terinci. Ketentuan yang terinci tentang perilaku mukallaf
diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah. Hasil pemahaman ini
juga dinamakan Fiqh.11 Jadi, secara ringkas Fiqh adalah penjelasan terhadap syari’ah yang terang
serta pemahaman dan penggalian terhadap kandungan syari’ah yang tidak nampak (samar).

Syari’ah dan Fiqh mempunyai ruang lingkup yang berbeda. Ruang lingkup syari’ah
meliputi hukum-hukum I’tiqadiyah (Aqidah dan kepercayaan)dan hukum-hukum amaliyah.
Lapangan syari’ah lebih luas dari pada lapangan Fiqh, karena lapangan syari’ah adalah apa yang
tercakup dalam ilmu kalam (ilmu Tauhid) dan ilmu Fiqh. Dengan kata lain Fiqh adalah
merupakan bagian dari syari’ah secara umum. Namun demikian, perlu diketahui bahwa pada
awal perkembangan Islam, Fiqh identik dengan syari’ah. Perbedaan yang lain adalah dari
sumbernya masing-masing. Syari’ah berasal dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw, sedang Fiqh
berasal dari hasil pemikiran ulama (fuqaha). Menurut Abdul Mun’im al-Namir, syari’ah adalah
sesuatu yang bersifat langgeng, sebab diterpkan berdasarkan nash-nash yang jelas, sedang Fiqh

10
Fathurrahman Djamil, Filsafat …., 13
11
Ibid,10
adalah penafsiran yang sifatnya relatif.12 Syariah sebagai sesuatu yang bersumber dari Allah
tidak akan pernah menagalami perubahan, yang berubah adalah hasil interpretasi para fuqaha
dalam memahami syari’ah yang berkembang dalam bebagai madzhab Fiqh. Karena Fiqh
merupakan kajian ulama, maka dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan yang kritis. Bila
diperhatikan ruang lingkup syari’ah dan Fiqh, maka kedudukan “hukum” semakin jelas. Baik
syari’ah maupun Fiqh keduanya membahas persoalan hukum. Yang berbeda hanya dari segi
qath’iy dan dhanninya. Materi hukum yang dibahas dalam syari’ah adalah materi yang bersifat
tetap, tidak berubah-ubah, sedang materi hukum yang dibahas dalam Fiqh adalah bersifat
relative, yakni materi hukum yang dihasilkan oleh ijtihad ulama.

Makna Hukum

Hukum Islam adalah kumpulan aturan, prinsip, dan norma yang mengatur kehidupan
umat Muslim dalam segala aspek kehidupan mereka. Dalam seribu kata, makna Hukum Islam
dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hukum Islam, atau yang dikenal juga sebagai syariah, merupakan landasan hukum yang
didasarkan pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tujuan utama hukum
Islam adalah menciptakan tatanan sosial yang adil, harmonis, dan berkeadilan bagi individu,
masyarakat, dan negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam. Hukum Islam mencakup
berbagai aspek kehidupan mulai dari ibadah, muamalah (transaksi ekonomi), hingga hukum
pidana. Hukum Islam mendasarkan diri pada konsep Tauhid, yaitu kepercayaan pada keesaan
Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak diibadahi. Konsep ini menjadi dasar bagi
semua aturan dalam Hukum Islam. Dalam hukum Islam, terdapat lima prinsip dasar yang
menjadi landasan hukum, yaitu hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga nyawa), hifz
al-'aql (menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta benda).
Prinsip-prinsip ini bertujuan menjaga keseimbangan dan kesejahteraan individu serta masyarakat
secara keseluruhan.Hukum Islam menganjurkan umat Muslim untuk mentaati aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT dan mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh
tindakan yang baik. Hukum Islam mempunyai nilai-nilai moral yang tinggi seperti keadilan,
kesetaraan, kasih sayang, dan kejujuran. Dalam sistem hukum Islam, hak-hak individu dan
kelompok dihormati dan dilindungi dengan adil dan seimbang. Hukum Islam juga memberikan
12
Abdul Mun’im al-Namir, Al-Ijtihad (Kairo: Dar al-Syuruq, 1985), 56
pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pernikahan, perceraian, waris, keuangan, dan
kontrak. Tujuan dari aturan-aturan ini adalah untuk menciptakan harmoni, keadilan, dan
kebahagiaan dalam keluarga dan masyarakat.

Selain itu, hukum Islam juga mengatur tindakan yang melanggar aturan Allah SWT,
seperti perbuatan kriminal, pencurian, perampokan, penipuan, dan lain sebagainya. Hukum
pidana dalam Islam mengandung unsur pembinaan dan pencegahan agar tercipta masyarakat
yang aman, tertib, dan terhindar dari kejahatan. Dalam praktiknya, hukum Islam berfungsi
sebagai pedoman bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Melalui hukum
Islam, umat Muslim diharapkan dapat mencapai kehidupan yang bermakna, adil, dan berkeadilan
di dunia serta mendapatkan kebahagiaan dan ridha Allah SWT di akhirat.

Setelah memahami terminologi syariah dan fikih sebagaimana telah diuraikan di atas,
selanjutnya ada satu istilah lagi yang biasa erat kaitannya dengan dua istilah di atas. Yakni,
istilah hukum Islam yang merupakan istilah khas keindonesiaan. Busthanul Arifin mengatakan
bahwa hukum Islam merupakan kata ganti dari istilah syariat dan fiqih. Penggantian kata ini
telah menimbulkan kekacauan pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.12
Apabila kita cermati bersama terminologi yang disampaikan Abdullah Wahab al-Khalaf di atas
mengenai al fiqh al Islamiy belum mewakili untuk terminologi konteks keindonesiaan. Sebab
para pakar hukum yang getol mengkaji hukum Islam mempunyai pemahaman tersendiri terkait
dengan persoalan tersebut. Hal ini disebabkan perbedaan kondisi sosio kultur yang ada di Timur
tengah sangat berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia yang frekuensi hetrogenitas sangat
tinggi.

Sehingga mengharuskan para pakar atau mujtahid untuk memberikan terminologi yang
pas dengan kondisi sosio kultural masyarakat Indonesia. Sebagaimana contoh Bustanul Arifin
dalam memandang terminologi hukum Islam lebih cenderung sintesis antara terminologi Syariah
dan terminologi Fiqih. Hal ini senada dengan terminologi hukum Islam yang diungkapkan oleh
Daud Ali13, bahwa syariat adalah landasan fiqih sementara fiqih adalah sebuah produk
pemahaman terhadap syariat. Jadi hukum Islam yang dimaksud dalam konteks keindonesiaan
disini adalah upaya mengkonvergensikan antara syariat dengan fiqih dalam satu bingkai yaitu
hukum Islam itu sendiri. Dan keduanya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi harus
berjalan bareng dan saling mengisi antara keduanya.
Secara etimologis, kata hukum berakar pada atau huruf ‫ح‬-‫ك‬-‫ م‬yang berarti ”menolak”.
Dari sinilah terbentuk kata ‫ الحكن‬yang berarti ”menolak kedhaliman/penganiayaan”.13Dalam
kamus bahasa Indonesia, hukum mempunyai beberapa pengertian antara lain: (1). Peraturan-
peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku dalam masyarakat,
(2) segala undang-undang (peraturan) yang bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup
masyarakat, (3) ketentuan mengenahi suatu peristiwa atau kejadian alam, dan (4) keputusan yang
ditetapkan oleh hakim.14Adapun secara terminologis, ulama ushul mendifinisikan hukum sebagai
“titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan
maupun larangan”. Sedangkan ulama Fiqh mengartikannya dengan “efek yang dikehendaki oleh
titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan boleh”.15Dari pengertian yang
diberikan oleh ulama Ushul dan ulama Fiqh di atas, dipahami bahwa yang dimaksud dengan
“hukum” oleh para ulama Ushul adalah nash dari titah Allah Swt, sedang oleh ulama Fiqh ialah
kewajiban menaati titah tersebut.Misalnya, kewajiban berpuasa, ulama Ushul menanggapi nash
dari perintah berpuasa sebagai hukum. Namun demikian, meskipun terjadi perbedaan dalam
mendifinsikan hukum, tetapi makna yang dikehendaki oleh ulama Ushul dan ulama Fiqh adalah
sama, yakni kewajiban melaksanakan segala perintah Allah.

PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:


13
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam …, 91
14
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 363-364
15
Bandingkan antara Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Jakarta: Majlis A’la al-Indonesiyyi li al-Da’wah al-
Islamiyah, 1972), 11 dan Muin Umar, Ushul Fiqh (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi IAIN, 1985), 20
1. Syari’ah adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan perilaku manusia, baik
yang berkenaan dengan hukum pokok maupun hukum cabang yang bersumber
dari al-Qur’an dan hadits Nabi Saw.
2. Hukum menurut ulama Ushul Fiqh adalah titah Allah yang berkenaan dengan
perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan maupun larangan. Sedang
hukum menurut ulama Fiqh adalah efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari
perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan mubah.
3. Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia yang diusahakan dari dalil-dalil yang terinci.
4. Ruang lingkup syari’ah lebih luas dari pada Fiqh, karena Fiqh merupakan bagian
dari syari’ah. Sumber syari’ah adalah nash alQur’an dan hadits Nabi, sedang
sumber Fiqh adalah hasil pemikiran para ulama. Materi syari’ah tidah mengalami
perubahan sepanjang zaman. Sedang Fiqh bisa berubah dan mengikuti
perkembangan zaman.
5. Hukum (Islam) mencakup arti syari’ah dan Fiqh, karena arti syariah dan Fiqh
terkandung didalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf. al-Qur’an dan Ilmu Hukum .Jakarat; Bulan Bintang, 1970.


Abu Zahra, al-Imam. Ushul al-Fiqhi. al-Qahirah: Dar al Fikr al- Arabi: 2006.

Ali, Mohammad Daud.Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam din

Indonesia. Cet. XVI; Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada, 201

Al-Amidi, syaifuddin. Al-Ihkam fi Ushul al_ahkam. Kairo: Muassasah alHalabi, 1967

Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Hakim, Abdul Hamid.As-Sullam. Jakarta: Ghalia, t.th. Hanafi, A. Pengantar dan Sejarah Hukum

Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Haq, Hamka. Fils afat Ushul Fiqh. Ujungpandang: Yayasan AlAhkam,1998.

Khallaf, Abdul Wahab.Ilmu Ushul al-Fiqh. Jakarta: Majlis A’la alIndonisiy li al-Da’wah al-

Islamiyah, 1972.

Nabhan, Muhammad Faruq a. al-Mudkhal li al-Tasyri’ l-Islami. Beirut: Dar al-Shadir, t.th.

Al-Namir, Abdul Mun’im. Al-Ijtihad. Kairo: Dar al-Syuruq,1985.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Anda mungkin juga menyukai