Anda di halaman 1dari 11

KONSEPSI, TUJUAN, SUMBER, DAN METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM

KONSEP HUKUM ISLAM

3.1.1 Pengertian Hukum Islam Jika berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pemikiran
adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat, baik peraturan atau norma yang hidup dalam masyarakat maupun peraturan atau norma
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum
tidak tertulis seperti Hukum Adat, mungkin pula berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-
undangan seperti Hukum Barat. Hukum dalam konsepsi seperti Hukum Barat ini adalah hukum yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri dalam masyarakat tertentu.
Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (Barat), yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan
antara manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat. Di samping itu, masih ada konsep hukum
lain, yaitu Hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui wahyuNya yang
kini terdapat dalam Al-Qur‘an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah
beliau yang kini terhimpun dengan baik dalam kitab-kitab Hadis. Hukum Islam tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, termasuk dirinya sendiri dan benda serta
alam semesta, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Menurut Mohammad Tahir Azhari, ada
tiga sifat hukum Islam, pertama, bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi
ketuhanan. Disamping itu, sifat bidimensional yang dimiliki hukum Islam juga berhubungan dengan
sifatnya yang luas dan komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja,
tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kedua, Adil, Sifat yang kedua ini mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan sifat bidimensional. Dalam hukum Islam keadilan bukan saja
merupakan tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari‘at ditetapkan,
karena keadilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu
maupun masyarakat. Sifat ketiga adalah individualistik, dan kemasyarakatan, yang diikat oleh nilai-nilai
transendental yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini
hukum Islam memiliki validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Azhary, M. Tahir (1992: 48).

3.1.2. Pengertian Syari’at dan Fiqih Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam
istilah, dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai
perbedaan. Istilah-istilah dimaksud adalah Syari‘at Islam, Fikih Islam dan Hukum Islam. Di dalam
kepustakan Hukum Islam berbahasa Inggris, Syari‘at Islam diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang
Fikih Islam diterjemahkan dengan Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa Indonesia, untuk Syari‘at Islam

sering dipergunakan istilah Hukum Syari‘at atau Hukum Syara‘, untuk Fikih Islam dipergunakan
istilah Hukum Fikih atau kadang-kadang Hukum Islam. Dalam praktek, sering kali kedua istilah
dirangkum dalam kata Hukum Islam, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat dipahami
karena keduanya sangat erat hubungannya, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Syari‘at
merupakan landasan fikih, dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang
syari‘at. Oleh karena itu seseorang yang akan memahami Hukum Islam dengan baik dan benar harus
dapat membedakan antara Syari‘at Islam dan Fikih Islam.
Syari’at Kata syari‘ah (syari‘at) adalah bentuk mashdar (gerund) dari syara‟a. Dalam bahasa
Indonesia kata syari‘ah kadang-kadang diterjemahkan dengan undang-undang, peraturan atau hukum
bahkan diartikan juga dengan agama. Syari‘ah menurut bahasa berarti sumber air yang dituju atau
(didatangi) untuk minum. TM. Hasbi Ash Shiddieqy mengemukakan bahwa syari‘ah asalnya bermakna
jalan yang dilalui air terjun, kemudian kata syari‘ah berkembang menjadi jalan lurus. Sumber air
bermakna bahwa air merupakan sarana untuk hidup, manusia, hewan dan tumbuhan membutuhkan air
untuk kehidupannya; syari‘ah bermakna jalan lurus bermakna sebagai petunjuk bagi manusia untuk
menuju kebaikan, petunjuk untuk mencapai keselamatan, baik jiwa maupun raga. Jalan yang lurus
tersebut harus ditempuh oleh seseorang untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat. Kata
Syari‘ah yang berarti jalan dapat ditemui dalam Alqur‘an, Allah berfirman: ―Kemudian Kami jadikan
kamu berada diatas syari‟at (jalan yang lurus/peraturan) dari urusan (agama) maka ikutilah syari‟at itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Q.S. AlJatsiyah:18).
Menurut istilah syari‘at adalah aturan atau undang-undang Allah yang berisi tata cara pengaturan
perilaku hidup manusia dalam melakukan hubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam sekitarnya
untuk mencapai keridhoan

Allah yaitu keselamatan dunia dan akherat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S asy-
Syuro:13. Syari‘at merupakan dasar-dasar Hukum Islam yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang
wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya
dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan lingkungannya. Dasar-dasar hukum ini dijelaskan
dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu, syari‘at terdapat
di dalam Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul. Norma-norma yang terdapat di dalam Al-Qur‘an dan Sunnah
Rasulullah itu masih bersifat umum, terutama di dalam bidang muamalah, maka setelah Nabi
Muhammad wafat, norma-norma dasar yang bersifat umum itu perlu diperinci menjadi kaedah-kaedah
yang lebih konkrit agar dapat dilaksanakan dalam praktek. Ilmu mengenai hal itu disebut sebagai Ilmu
Fikih. Syari‘at merupkan hukum Islam yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah. Sementara
Fikih merupakan hukum yang ditetapkan pokokpokoknya saja. Hukum ini dapat atau perlu
dikembangkan dengan ijtihad. Hasil pengembangannya inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
Fikih. Hukum Islam katagori Syari‘at bersifat tetap, maksudnya tetap berlaku sepanjang zaman, tidak
mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisilah yang
menyesuaikan dengan syari‘at. Sedangkan hukum Islam katagori Fikih bersifat fleksibel, elastis, tidak
(harus) berlaku universal, mengenal perubahan, serta dapat disesuaikan dengan situasi kondisi
(Amrullah, Ahmad, dkk, 1996 dalam Iberani, 2003). Pada dasarnya, perbedaan antara Syari‘at Islam dan
Fikih Islam adalah sebagai berikut:

1) Syari‘at terdapat di dalam Al-Qur‘an dan kitab-kitab Hadis, sedang Fikih terdapat dalam kitab-kitab
Fikih. Kalau seseorang berbicara tentang syari‘at, maka yang dimaksud adalah Firman Allah dan
Sunnah Nabi Muhammad, sedang bila berbicara tentang fikih, maka yang dimaksud adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari‘at.
2) Syari‘at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari pada fikih. Fikih bersifat
instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang
biasanya disebut perbuatan hukum.

3) Syari‘at adalah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia
yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa, dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat
yang lain.

4) Syari‘at hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti yang terlihat pada aliran-aliran hukum yang
disebut mazhab-mazhab.

5) Syari‘at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan adanya keragaman dalam
hukum Islam.

Fikih berasal dari akar kata faqaha-yafqahu yang artinya memahami atau mengerti sesuatu.
Fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari‘at, fikih bersifat instrumental
dan ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut
sebagai perbuatan hukum. Fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dapat berubah
dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Hal ini disebut dengan
istilah Mazahib atau mazhab-mazhab. Oleh karena itu fikih menunjukkan adanya keragaman dalam
hukum Islam. M. Daud Ali (1999). Fikih berisi rincian dari syari‘ah, karena itu ia dapat dikatakan sebagai
elaborasi terhadap syari‘ah. Elaborasi yang dimaksud disini merupakan suatu kegiatan ijtihad dengan
menggunakan akal pikiran atau ra‘yu, untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya di dalam Al-qur‘an dan Sunnah Rasulullah. Dalam fikih kita akan menemukan pemikiran-
pemikiran para Fuqoha, antara lain adalah para pendiri empat mazhab yang ada dalam ilmu fikih yang
masih berpengaruh di kalangan umat Islam sedunia. Hukum fikih sebagai hasil pemahaman manusia
terhadap apa yang ada di dalam Al-Qur‘an dan sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu
dalam keadaan tertentu, dapat berubah dari satu masa ke masa yang lain, dan dapat berbeda dari satu
tempat dengan tempat yang lain. Oleh karena itu fikih sifatnya zanny (berubah = bisa diubah), sedang
syari‘at ada yang zanny dan ada pula yang qath‘i (pasti, tetap).

Pada umumnya, syari‘at yang berkenan dengan ibadah mahdah sifatnya qath‘i, seperti perintah
shalat, zakat, puasa dan haji. Sedang yang berkenaan dengan muamalah bersifat zanny kecuali
muamalah di bidang perkawinan dan kewarisan. Fikih biasanya disandarkan kepada ulama‘ mujtahid
yang menformulasikannya, seperti fikih Hanafi, fikih Syafi‘i, Fikih Hanbali, fikih Maliki dan sebagainya.
Sedangkan syari‘at senantiasa disandarkan kepada Allah dan RasulNya. Oleh karena fikih merupakan
hasil pemahaman manusia tentang syari‘at, maka fikih tidak boleh menghapus syari‘at. Di dalam ilmu
fikih dikenal beberapa jenis fikih, yaitu sebagai berikut:

1) Fikih Syariah, atau yang dikenal dengan fikih ibadah atau fikih sunnah. Adalah ilmu yang mempelajari
tentang hukum Islam baik masalah ibadah maupun masalah muammalah.
2) Fikih Maqashid, yang menjelaskan tentang sasara-sasaran syariat Islam dalam segala aspek
kehidupan. Misal dalam sasaran sosial (maqashid ijtimaiyah), yaitu: hikmah shalat, puasa, zakat, haji
dan sebagainya.

3) Fikih Awlawiyyat, yaitu tentang mendahulukan mana yang lebih prioritas dan membelakangkan yang
kurang prioritas, mana yang lebih penting didulukan jika terjadi dua kewajiban dalam waktu yang
bersamaan, atau mana yang lebih berat dihindari jika terjadi dua larangan pada saat yang bersamaan.
Misalnya fardhu ‗ain perorangan harus didahulukan dengan dari fardhu kifayah perorangan, fardhu
‗ain untuk orang banyak harus didahulukan dari fardhu ‗ain perorangan, kewajiban yang waktunya
sedikit harus didahulukan dari kewajiban yang waktunya lebih luas, dan seterusnya.

4) Fikih Muwazanah, yaitu mempertimbangkan antara memilih dua maslahat yang berbeda mana yang
lebih didahulukan, atau mempertimbangkan diantara dua mafsadat yang berbeda, atau
mempertimbangkan antara maslahat dengan mafsadat dari sesuatu hal yang sama. Seperti
kepentingan pribadi yang khusus digugurkan demi mendapatkan maslahat umum, mencapai
maslahat yang permanen didahulukan dari maslahat yang temporal, maslahat yang spekulatif
dikorbankan untuk mendapatkan maslahat yang pasti. Jika ada dua kerugian yang tidak dapat
dihindari, maka dipilih kerugian yang lebih ringan. AlMusawwa. (2005).

Fikih Ikhtilaf. Fikih ikhtilaf adalah cabang ilmu fikih yang mempelajari tentang perbedaan
pendapat dikalangan para Ulama‘ dalam masalah-masalah furu‘ (cabang syari‘at), sebab-sebabnya, dan
adab-adab dalam berbeda pendapat. Ada dua macam ikhtilaf fikih, yaitu:perbedaan dalam masalah
pokokpokok syari‘at (ushul) dan perbedaan pendapat dalam masalah cabang syari‘at (furu‘). Perbedaan
pendapat dalam masalah pokok syari‘at (akidah dan ushul ibadah) adalah terlarang dan disepakati
keharamannya oleh para ulama‘.Misalnya, jika ada yang menyatakan bahwa ada Nabi yang ke 26, maka
termasuk sudah keluar dari Islam dan harus bertaubat, hukum waris tidak adil untuk zaman modern,
jilbab tidak wajib dan sebagainya. Perbedaan kedua yang dibolehkan adalah perbedaan dalam masalah
furu‘ sepanjang tetap berpegang kepada dalil yang shahih, contohnya seperti pada: a) Bab Thaharah
(bersuci). Batalkah wudhu bagi orang yang bersentuhan dengan istrinya?. b) Bab Shalat. Wajibkah
membaca surah Al-fatihah, jika menjadi makmum? c) Bab Puasa. Apakah kita memulai puasa dengan
hisab atau dengan ru‘yah? d) Masalah Politik. Apakah boleh menggunakan sistim multi partai atau
bersatu dalam satu partai? Dan sebagainya. AlMusawwa. (2005).

3.1.3. Ruang Lingkup Hukum Islam Hukum Islam, baik dalam pengertian syari‘at maupun fikih dibagi
dalam dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan bidang mu‘amalah (Mohammad Daud Ali, 1999: 49).

Bidang ibadah membahas tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seorang Muslim
dalam berhubungan dengan Allah, seperti mendirikan shalat, menjalankan puasa, mengeluarkan zakat,
melaksanakan haji. Adapun muammalat, dalam pengertian luas adalah ketetapan Allah yang langsung
berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan itu terbatas pada pokok-pokok
saja, seperti perdagangan, pernikahan, kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu sifatnya terbuka
untuk dikembangkan melalui ijtihad (pemikiran) manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan hal
itu Terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan yang memerlukan jawaban hukum, hukum Islam
mempunyai beberapa prinsip hukum, yaitu: 1) Prinsip Tauhid. Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam.
Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan
tauhid yang dinyatakan dengan pernyataan tiada tuhan selain Allah. Berdasarkan prinsip ini maka
pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan
dirinya kepada Allah sebagai manifestasi syukur kepadaNya. Maka tidak boleh saling menuhankan
sesama manusia dan atau sesama makhluk lain. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan
penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya. (Prinsip ini diambil dari QS. Ali imron:64).
Prinsip Tauhid ini melahirkan prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fikih ibadah, yaitu: a) prinsip
berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara.

Prinsip ini berarti bahwa tidak seorangpun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang
wajib disembah. Nabi dan Rasulpun hanyalah manusia pilihan yang bertugas menyampaikan firman-
firman-Nya. Allah sangat dekat kepada manusia walaupun Dia tetap transenden. (QS. Almukmin:60, dan
QS. Al-Baqoroh:185). b) Beban hukum (taklif) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, pensucian
jiwa, dan pembentukan pribadi yang luhur. Atas dasar prinsip ini, manusia dibebani ibadah sebagai
tanda syukur atas nikmat Allah. Pembelanjaan harta di jalan Allah semata-mata ditujukan untuk
memelihara akidah iman dan pensucian jiwa.(QS. Al-Baqoroh:185). 2)

Prinsip Keadilan. Keadilan berarti keseimbangan. Istilah keadilan pada umumnya berkonotasi
dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan seorang pemimpin. Keadilan dalam hukum Islam meliputi
berbagai aspek kehidupan, prinsip keadilan ini meliputi keadilan dalam berbagai hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan masyarakatnya
dan hubungan manusia dengan berbagai pihak yang terkait. Keadilan dalam hukum Islam berarti
keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dengan kemampuan manusia untuk
melaksanakan kewajiban itu. (QS. Al-Maidah:8). 3) Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Mungkar. Amar ma‘ruf
berarti hukum Islam digerakkan untuk dan merekayasa manusia menuju tujuan yang baik dan benar
yang dikehendaki dan diridhai Allah. Nahi mungkar berarti fungsi kontrol sosialnya. Atas dasar prinsip
inilah, dalam hukum Islam dikenal hukum yang lima (Al-ahkamul khamsah) yaitu: wajib, sunat, mubah,
makruh, dan haram (QS. Ali Imron:110). Wajib atau fardhu ada dua macam yaitu; fardhu ‗ain dan fardhu
kifayah. Fardhu ‗ain adalah wajib atas tiap-tiap Muslim yang telah dewasa baik laki-laki maupun
perempuan. Fardhu kifayah adalah kewajiban semua orang, yang apabila telah dilakukan oleh salah
seorang atau lebih maka anggota masyarakat yang lain bebas dari kewajiban itu. Perbuatan yang
termasuk wajib adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
mendapat siksa. Perbuatan yang sunat adalah perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Yang termasuk perbuatan mubah adalah perbuatan yang
dibolehkan, apabila dilakukan atau tidak, tidak mendapat pahala atau siksa. Perbuatan yang makruh
adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, dan apabila dilakukan tidak mendapat
dosa. Perbuatan yang haram adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila
ditinggalkan mendapat pahala. 4) Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan. Kebebasan dalam arti luas
mencakup berbagai jenis, baik kebebasan individual maupun kebebasan komunal, kebebasan beragama,
kebebasan berserikat,dan kebebasan berpolitik. Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan
hukum Islam tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan, argumentasi,
dan pernyataan yang meyakinkan. 5) Prinsip Persamaan atau Egalite. Contoh yang paling nyata dari
pelaksanaan prinsip egalite ini adalah Islam menentang perbudakan. Kemuliaan manusia bukan terletak
pada ras dan warna kulit. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusia itu sendiri dan pada tinggi
rendahnya ketakwaan seseorang. 6) Prinsip Ta’awun. Prinsip Ta‘awun berarti tolong-menolong antar
sesama manusia. Tolong-menolong ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya
meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. Prinsip ini menghendaki kaum muslim saling
membantu dan kebaikan dan ketakwaan. 7) Prinsip Toleransi atau Tasamuh. Hukum Islam
mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras dan warna
kulit. Toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak
Islam dan umatnya. Toleransi dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

Di dalam bidang muamalah, Hukum Islam tidak membedakan antara hukum privat (hukum
perdata) dengan hukum publik. Hal ini karena menurut sistem Hukum Islam, pada hukum perdata
terdapat segi-segi publik, dan pada hukum publik terdapat segi-segi perdata. Hal ini juga terjadi dalam
Hukum Adat di Indonesia. Berbeda dengan Hukum Barat, dimana sistem hukum dibedakan dengan jelas
antara hukum privat dan hukum publik. Meskipun dalam Hukum Islam di bidang muamalah tidak
membedakan dengan tajam antara hukum publik dengan hukum perdata, namun sebenarnya ruang
lingkup Hukum Islam sangat luas, karena mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hukum Islam
itu sangat luas, bahkan luasnya Hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan
aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan olah para fukaha (para yuris
Islam) di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, bunga bank,
eutanasia dan lain sebagainya. Apabila bagian-bagian Hukum Islam disusun menurut sistematika Hukum
Barat yang membedakan hukum privat (perdata) dengan hukum publik, maka susunan hukum
muamalah dalam arti luas menurut Mohammad Daud Ali adalah sebagai berikut:

1) Munakahat – hukum perdata Islam – me ngatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya;

2) Wirasah – hukum kewarisan Islam atau faraid – mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan;

3) Muamalah dalam arti khusus – hukum benda, hukum perjanjian dan perdata khusus – mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan sebagainya;

4) Jinayat – hukum publik Islam – memuat aturan-aturan mengenai perbuatanperbuatan yang diancam
dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun jarimah ta‟zir. Yang dimaksud denga jarimah
adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk
dan batas hukumnya di dalam al-Qur‘an dan Sunnah Nabi Muhammad. Jarimah ta‟zir adalah
perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai
pelajaran bagi pelakunya;
5) Al-Ahkam al-Sulthaniyah – hukum tata negara dan administrasi negara Islam – membicarakan soal-
soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pusat maupun daerah, tentara,
pajak dan sebagainya;

6) Siyar – hukum internasional Islam – mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama dan negara lain;

7) Mukhassamat – hukum acara Islam – mengatur soal peradilan, kehakiman dan hukum acara.

3.1.4. Asas-Asas Hukum Islam .Manusia mempunyai sifat untuk menjauhkan diri dari beban-beban yang
dapat mengikat dan membatasi kebebasannya. Oleh karena itu setiap ada perintah, maka perintah itu
dilihatnya menyenangkan atau tidak baginya. Syari‘at (hukum Islam) mempunyai dasar yang kuat dan
sesuai dengan fitroh kemanusiaan, asas-asas berdirinya syari‘at Islam diantaranya adalah:

1) Meniadakan kepicikan (kesempitan). Islam dalam menetapkan hukum sangat memperhatikan kondisi
manusia yang akan menerima ketetapan itu agar terhindar dari kesukaran, namun sama sekali bukan
berarti menghilangkan ketentuan-ketentuan, justru dengan ketentuan-ketentuan tersebut
diharapkan dapat membatasi permasalahan-permaalahan jiwa manusia terhadap keburukan. ‗Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu‖.

2) Meminimalisir beban (taklif). Perintah dan larangan dalam hukum Islam tidak memberatkan umat,
sehingga perintah dan larangan tersebut dapat dijalankan tanpa menimbulkan kesusahan dan
penderitaan. Asas ini ditetapkan oleh Allah, dalam Alqur‘an disebutkan: ―Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkanmu”. (Q.S. Al-Maidah;101). Ayat ini menerangkan bahwa para sahabat tidak
banyak bertanya di saat wahyu sedang turun mengenai masalah-masalah yang belum diterangkan
hukumnya, sebab hal itu menyusahkan kamu sendiri. Kenyataan telah membuktikan bahwa alqur‘an
yang berisi lebih dari 6324 ayat, hanya kurang dari 330 ayat saja yang berhubungan dengan soal-soal
hukum dan dari jumlah yang sedikit inipun hanya sebagiannya saja berisi tuntutan.

3) Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum. Pada awal syari‘at Islam turun, bangsa arab telah
mempunyai kebiasaan yang tidak sesuai dengan syari‘at Islam. Adat kebiasaan yang telah mendarah
daging tersebut sulit untuk dihilangkan sekaligus, dan apabila dihilangkan sekaligus akan
mengakibatkan kesulitan dan ketegangan batin. Sudah menjadi sifat manusia merasa tidak senang
menghadapi perubahan secara mendadak dan sekaligus dari suatu kebiasaan ke biasaan lain yang
asing sama sekali. Oleh karena itu Alqur‘an tidak diturunkan sekaligus melainkan secara berangsur-
angsur, surat demi surat, ayat demi ayat, atau kadang-kadang sesuai dengan peristiwa yang melatar
belakangi turunnya wahyu. Cara seperti inilah yang sesuai dengan kondisi manusia, sehingga mereka
tidak merasakan perubahan tradisi dalam kehidupan sehari-hari. Proses penetapan hukum secara
bertahap, pernah dipraktekkan Alqur‘an ketika terjadi pelarangan terhadap minuman keras dan judi
yang sudah merupakan adat kebiasaan orang jahiliyah waktu itu, pada awalnya diturunkan surat Al-
Baqoroh ayat 219, ayat ini tidak tegas melarang minuman keras dan judi atau mengharuskan mereka
meninggalkannya, meskipun keharusan meninggalkan tersebut bisa dipahami secara tidak langsung;
karena Alqur‘an hanya membandingkan antara manfaat dengan dan bahaya bagi diri dan lingkungan
sosial. Berikutnya turun firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90 dan 91, yang isinya mengandung
larangan tegas terhadap minuman keras dan judi. Khamar dan judi ditegaskan sebagai perbuatan
syetan dan harus dijauhi.

4) Sesuai dengan kemaslahatan manusia. Syari‘at Islam sangat memperhatikan kemaslahatan manusi,
dan membentuk pola yang hidup yang baik bagi umat manusia. Oleh karena itu tidak mengherankan
bila di masa Rasulullah diadakan aturan-aturan yang baru yang dirasakan lebih berat atau lebih
ringan dari aturan sebelumnya. Sekalipun demikian syari‘at Islam tetap memperhatikan
kemaslahatan manusia. Ibnu Qayyim mengatakan: sesungguhnya syari‘at itu fondasi (dasar) dan
asasnya adalah hikmah dan kemaslahatan para hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun akherat.
Perubahan hukum (syari‘at) hanya terjadi selama masa rasulullah, yakni pada fase pembinaan dasar-
dasar hukum yang lengkap, sehingga tidak lagi ada perubahan dan pembatalan syari‘at Islam,
meskipun demikian –pembuat syari‘at dalam hal ini Allah SWT dan Rasulnya telah banyak
menjelaskan bahwa penetapan suatu hukum berdasarkan illatnya (alasan), sehingga hukum dapat
juga berubah sesuai dengan perubahan illatnya/alasannya.Perubahan yang dimaksud lebih pada sisi
teknis pelaksanaan syari‘at bukan pada prinsipnya. Contohnya mengenai perubahan arah kiblat dari
baitul maqdis ke baitulloh yaitu ka‘bah; esensi syari‘atnya tetap yaitu menghadap kiblat, tapi praktek
menghadap kiblatnya yang diubah. Dalil tersebut terdapat dalam surat Al-baqoroh ayat 144.

5) Mewujudkan keadilan yang merata. Dalam Islam manusia mempunyai kedudukan yang sama, tidak
ada yang membedakan kecuali ketaqwaannya kepada Allah. Pelaksanaan syari‘at Islam tidak
mengenal status sosial, antara orang kaya dan orang miskin, penguasa dan rakyat biasa, semuanya
berkedudukan yang sama dihadapan Allah, dan semua manusia diperlakukan sama dalam hal
keadilan. Menegakkan keadilan adalah ciri orang yang bertakwa, sebagaimana firman Allah swt:
―Hai orang orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang yang selalu menegakkan (kebenara)
karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
(Q.S. al-maidah :8).

3.1.5. Ciri-ciri Hukum Islam Menurut Mohammad Daud Ali, ciri-ciri Hukum Islam adalah sebagai
berikut:

1) Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;

2) Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah, dan
kesusilaan atau akhlak Islam;

3) Mempunyai dua istilah kunci, yaitu syari‘at dan fikih;

4) Terdiri dari dua bidang utama, yaitu ibadah (mahdah) dan muamalah dalam arti luas;

5) Strukturnya berlapis,
terdiri dari (a) nas atau teks Al-Qur‘an, (b) Sunnah Nabi Muhammad – butir (a) dan (b) untuk
syari‘at; (c) hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al-Qur‘an dan Sunnah, dan (d)
pelaksanannya dalam praktek, baik (i) berupa keputusan hakim, maupun (ii) berupa amalanamalan umat
Islam dalam masyarakat – butir (c) dan (d) untuk fikih. 6) Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dan
pahala; 7) Dapat dibagi menjadi (a) hukum taklif, al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima), yaitu lima
kaidah, lima jenis hukum, lima kategori hukum atau lima penggolongan hukum, yaitu ja‘iz, sunnat,
makruh, wajib, dan haram; dan (b) hukum wadh‘ yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum; 8) Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di suatu tempat
atau negara pada suatu masa saja; 9) Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga,
rohani dan jasmani, serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan; 10)
Pelaksanaannya dalam praktek digerakkan oleh iman dan akhlak manusia.

3.1.6. Tujuan Hukum Islam Secara umum, para ahli merumuskan tujuan Hukum Islam adalah
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala sesuatu yang bermanfaat
dan mencegah atau menolak yang mudarat, yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia.
Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan di dunia dan di akhirat, berdasarkan penelitian para ahli
teori Hukum Islam, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu (1) agama, (2) jiwa,
(3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan tersebut kemudian disebut dengan al-maqasid al-
khamsah.

Seorang mukallaf (subjek hukum) akan memperoleh kemashlahatan (kebaikan) jika ia mampu
memelihara kelima hal tersebut, sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat (keburukan) jika ia
tidak dapat memelihara kelima hal utama itu dengan baik. Untuk kepentingan penetapan hukum,
kelima hal pokok di atas dibedakan menjadi peringkat daruriyat, hajiyat dan tahsiniat. Pengklasifikasian
itu berdasarkan pada tingkat kebutuhan dan skala prioritas. Yang dimaksud dengan memelihara
kelompok daruriyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial (primer) bagi
kehidupan manusia. Kebutuhan primer itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok hajiyat tidak termasuk dalam kebutuhan esensial, melainkan
termasuk dalam kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tidak
terpeliharanya kelompok hajiyat tidak akan mengancam eksistensi kelompok daruriyat, tetapi hanya
akan menimbulkan kesulitan bagi subjek hukum. Kebutuhan dalam kelompok ini disebut sebagai
kebutuhan sekunder. Kebutuhan dalam kelompok tahsiniyat adalah kebutuhan yang menopang
peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhan, sesuai dengan kepatutan.
Kebutuhan kelompok ini bersifat komplementer.

Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang tujuan Hukum Islam, berikut ini dijelaskan
kelima pokok kemaslahatan dengan peringkat masingmasing: 1) Memelihara Agama. Menjaga atau
memelihara agama, berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a)
Memelihara agama dalam peringkat daruriyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban
keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. b) Memelihara
agama dalam peringkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari
kesulitan, seperti shalat jama‘ dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. c) Memelihara agama dalam
peringkat tahsiniyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik di dalam
maupun di luar shalat, membersihkan badan, tempat dan pakaian. 2) Memelihara Jiwa. Memelihara
jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkat: a) Memelihara jiwa
dalam peringkat daruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. b) Memelihara jiwa dalam peringkat hajiyat, seperti dibolehkan berburu dan
menikmati makanan lezat dan halal. c) Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat, seperti ditetapkan
tata cara makan dan minum. 3) Memelihara Akal. Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a) Memelihara akal dalam peringkat daruriyat, seperti diharamkan meminum minuman keras.

b) Memelihara akal dalam peringkat hajiyat, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan.

c) Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyat, seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. 4) Memelihara Keturunan. Memelihara keturunan,
ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat: a) Memelihara
keturunan dalam peringkat daruriyat, seperti disyari‘atkan nikah dan dilarang berzina. b) Memelihara
keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. c) Memelihara keturunan dalam peringkat
tahsiniyat, seperti disyari‘atkan khitbah (meminang) dan walimah dalam perkawinan. 5) Memelihara
Harta. Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan mejadi tiga tingkat: a)
Memelihara harta dalam peringkat daruriyat, seperti disyari‘atkan tatacara pemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah. b) Memelihara harta dalam
peringkat hajiyat, seperti disyari‘atkan jual beli dengan cara salam. c) Memelihara harta dalam
peringkat tahsiniyat, seperti adanya ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.

Mengetahui masing-masing peringkat seperti yang telah dijelaskan di atas penting artinya bila
dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, dan ketika kemashlahatan yang satu berbenturan
dengan kemashlahatan yang lain. Dalam hal ini, peringkat pertama daruriyat, harus didahulukan dari
pada peringkat kedua, hajiyat, dan ketiga, tahsiniyat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan
mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat ke-dua dan ke-tiga, manakala kemashlahatan yang
termasuk dalam peringkat pertama terancam. Sebagai contoh, seseorang diwajibkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya.

Makanan yang dimaksud harus merupakan makanan halal. Manakala pada suatu saat dia tidak
mendapatkan makanan halal, padahal dia akan mati kalau tidak makan, maka dia diperbolehkan
memakan makanan yang diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Menurut Juhaya S. Praja,
tujuan Hukum Islam dapat dilihat dari dua segi, yaitu (1) dari segi Pembuatan Hukum Islam – Allah dan
Rasul-Nya, dan (2) dari segi Manusia yang menjadi Pelaku dan Pelaksana Hukum Islam itu. Jika dilihat
dari segi Pembuat Hukum Islam, tujuan Hukum Islam adalah: 1) Untuk memenuhi keperluan hidup
manusia yang bersifat primer, sekunder dan tersier, yang di dalam kepustakaan hukum Islam disebut
dengan istilah daruriyat, hajjiyat dan tahnisiyat; 2) Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari; 3) Supaya dapat ditaati dengan baik dan benar, manusia wajib meningkatkan
kemampuannya untuk memahami Hukum Islam dengan mempelajari usul alfiqh, yakni dasar
pembentukan dan pemahaman Hukum Islam sebagai metodologinya.

Dari segi Pelaku Hukum – manusianya sendiri, tujuan Hukum Islam adalah untuk mencapai
kehidupan yang berbahagia dan mempertahankan kehidupan. Adapun caranya adalah dengan
mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan
demikian, tujuan hakiki dari Hukum Islam adalah tercapainya keridaan Allah dalam kehidupan manusia
di dunia dan di akhirat kelak.

Anda mungkin juga menyukai