Anda di halaman 1dari 9

Hukum islam dapat dipahami istilah diatas tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya

sangat terkait erat. Dengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai karakteristiknya
masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan
syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum
Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan adalah
pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam
yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk
fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian
maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang
tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum
Muslim, sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah.
Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. hukum Islam itu
mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini
terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau
seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang
berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh
sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga
mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah. Hubungan
antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan sumber
atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah.
  Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara syariah dan fikih sebagai
berikut: Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran
manusia. Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat
dalam kitab-kitab fikih. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai cakupan yang lebih
luas, karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat
instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia.
Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih
mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis. Syariah hanya satu, sedang fikih
lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih. Syariah menunjukkan kesatuan
dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam
KATA KUNCI :  Islam, syariah, fiqih, hukum
PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama dengan penganut terbesar di Indonesia, sehingga
pemahaman mengenai hubungan Islam dengan Syariat, Fiqih, dan Hukum perlu untuk
dipelajari dan dipahami secara mendalam supaya dalam melaksanakan ibadah tidak ada
kesalahan dan agar dapat mencapai tujuan dalam peribadatan tersebut. Oleh karena  itu
sebagai umat islam kita harus memahami secara keseluruhan.

PEMBAHASAN
Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam al-Quran, Sunnah, maupun literatur Islam. Untuk
itu perlu dicari padanan istilah hukum Islam ini dalam literatur Islam. Jika hukum Islam itu
dipahami sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari padanan yang
dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang dapat
dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua istilah ini, sebagaimana
sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan,
karena keduanya sangat terkait erat. Dengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai
karakteristiknya masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama
persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti
bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan
adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum
Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam
bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu
kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal
inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar
kaum Muslim, sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat
bahkan salah.

Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah
merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap
syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering rancu, artinya ketika seseorang menggunakan
istilah syariah terkadang maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang
menggunakan istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan
yang kedua ini sangat jarang. Meskipun syariah dan fikih tidak dapat dipisahkan, tetapi
keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh
Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia
dan akhirat. Ketentuan syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda
Rasulullah.

Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus
tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian
telah terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang
sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat. Untuk
mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu
harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariah hingga secara amaliyah syariah itu
dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu
dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah
laku orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap
syariah itu disebut fikih. Pemahaman terhadap hukum syara’ atau formulasi fikih itu
mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi manusia dan dinamika
serta perkembangan zaman. Fikih biasanya dinisbatkan kepada para mujtahid yang
memformulasikannya, seperti Fikih Hanafi, Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari
(Fikih Syi’ah), dan lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa hukum-hukum fikih merupakan
refleksi dari perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat sesuai dengan situasi dan
kondisi zamannya. Mazhab fikih tidak lain dari refleksi perkembangan kehidupan
masyarakat dalam dunia Islam, karenanya mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan
situasi serta kondisi masyarakat yang ada. Jadi, secara umum syariah adalah hukum Islam
yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad),
sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah
atau pemahaman terhadap nash, baik al-Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee
membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah
lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia;
sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai
tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang
tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada al- Quran dan Sunnah; dalam fikih
ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip
dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih
ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau
tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai
tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum
sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan
dari langit (Fyzee, 1974: 21). Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan
antara syariah dan fikih sebagai berikut: Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang
fikih berasal dari pemikiran manusia. Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis,
sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai
cakupan yang lebih luas, karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak,
sedang fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur
perbuatan manusia. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku
abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis. Syariah hanya
satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih. Syariah
menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam.
. Pengertian Syariat Islam dan Hubungannya dengan Fiqh

Hakikat Islam yang disampaikan Muhammad saw tidak berubah, yaitu menyerah diri kepada Allah
Ta’ala. Untuk menyelami aplikasinya secara luas dan mendalam dapat dicapai dengan mempelajari
syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada Muhammad saw. Wujud syariat ini terungkap dalam
firman Allah Ta’ala :

“Kemudian Kami jadikan kamu (hai Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan
(agama)itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”[1]

Syariat tersebut mengikuti pribadi Muhammad saw lebih dahulu sebelum umatnya. Karena Allah
Ta’ala memerintahkan kepadanya agar mengikutinya dan sebaliknya melarangnya mengikuti
pandangan dan sikap manusia yang tidak tahu Allah Ta’ala sehingga tidak mengetahui kebenaran.

B. Pengertian Syariat

Meskipun tafsir kata syariat dalam ayat di atas berbeda-beda, namun mempunyai persamaan dari
segi maksudnya. Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya dengan petunjuk yang jelas. Qatadah
menafsirkannya dengan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid
menafsirkannya dengan din (agama).[2] Fakhrurrozi menafsirkannya dalam bentuk definisi yaitu :

“Apa-apa yang ditetapkan Allah Swt atas para mukallaf (orang yang wajib melaksanakan hukum
Allah Ta’ala) supaya mereka ikuti.”[3]

Keterangan-keterangan tersebut di atas tidak bertentangan, tetapi pengertian syariat yang


dikemukakan Fakhrurrazi lebih jelas dan telah dirumuskan dalam bentuk definisi.

At Thahanawi juga mengemukakan definisi yang sama, yaitu :


“Syari’at ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang
disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina
wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan ………… maupun mengenai
akidah.”[4]

Pengertian atau definisi syariah di atas adalah umum. Ia bukan saja pengertian syariat yang
diberikan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad saw., tetapi bahkan pengertian semua syariat
yang diberikan Allah Ta’ala kepada para rasul sebelum Muhammad saw.

C. Syariat-Syariat Yang Berbeda-beda

Sebagaimana kita ketahui Al Quran menginformasikan bahwa Allah Ta’ala memberikan pula syari’at
kepada rasul-rasul sebelum Muhammad saw, seperti kepada Musa a.s. dan Isa a.s.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[5]

Ini menunjukkan bahwa masing-masing Rasul diberi syariat. Dengan demikian kata syari’at
merupakan istilah umum, tidak terbatas pada syariat yang ditetapkan Allah Swt buat Rasul-Nya
Muhammad saw saja.

Informsi lain yang dipahami dari ayat di atas ialah bahwa syariat yang diberikan Allah kepada Rasul-
rasul-Nya dan umat-umat mereka dapat berbeda. Bagi Taurat ada syari’at, bagi Injil ada syari’at dan
bagi Al Qur’an ada pula syari’at.[6]

Oleh karena terdapat perbedaan-perbedaan, maka mayoritas ahli hukum Islam memandang
informasi ayat ini mengandung isyarat dari Allah Ta’ala bahwa masing-masing syariat berdiri sendiri,
sehingga syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada rasul-Nya sebelumnya tidak mengikat rasul
yang datang kemudian.[7]

D. Kerangka Umum Syariat Bagi Muhammad saw


Syari’at Islam yang ditetapkan Allah Swt bagi Rasul-Nya Muhammad saw mencakup tiga bidang
hukum yang sangat luas, yaitu (1) hukum-hukum mengenai akidah (kepercayaan), (2) hukum-
hukum mengenai amal perbuatan, dan (3) hukum-hukum mengenai akhlak (moral). Ada yang
mempersempitnya menjadi dua bidang hukum saja, dengan menggabungkan bagian kedua dan
ketiga menjadi satu, mengingat akhlak (moral) termasuk amal perbuatan.

Allah Ta’ala memberlakukan hukum-hukum tersebut pada manusia untuk mewujudkan perbaikan-
perbaikan dalam masyarakat manusia sendiri dan demi kepentingan masyarakat manusia pula.

Dr. Musthafa Ahmad Az Zarqa’ membagi perbaikan-perbaikan tersebut kepada tiga bagian pokok,
yaitu :

1. Membebaskan akal manusia dari belenggu taklid (mengikuti begitu saja tanpa memahami
dasarnya) dan khurafat.

Caranya ialah menanamkan akidah dan iman kepada Allah YME serta membimbing akal manusia
agar selalu mengacu kepada dalil (dasar) dan berpikir berdasarkan ilmu pengetahuan yang luas dan
terbuka.

2. Memperbaiki jiwa maupun akhlak individu, membimbingnya ke arah kebaikan, mendorongnya


melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan atas dirinya dan tidak tenggelam dalam
syahwat dan ambisinya, dan mengendalikan akal pikirannya sehingga tidak menajdi penghambat
pelaksanaan tugas kewajiban yang dipikulnya.

Caranya ialah setiap individu didorong agar mengamalkan dan menunaikan ibadat-ibadat yang sah.
Ibadat-ibadat tersebut senantiasa mengingatkannya akan Penciptanya. Begitu juga setiap individu
diberi informasi tentang akan adanya pahala dan sanksi di akhirat. Sehingga setiap individu yang
beriman senantiasa mengontrol amal perbuatannya agar tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya.

3. Memperbaiki kehidupan masyarakat.


Caranya ialah menjelmakan keamanan dan keadilan serta perlindungan atas kemerdekaan
masyarakat dalam batas-batas yang wajar, begitu juga melindungi kehormatan (harga diri) manusia
melalui suatu sistem hukum menyangkut kepentingan individu maupun masyarakat, politik maupun
pemerintahan yang mencakup semua asas hukum yang diperlukan untuk :

 Menegakkan kehidupan masyarakat dalam suatu negara.


 Mengatur hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat dan hubungan antara
anggota masyarakat dengan pihak penguasa.
 Serta melindungi hak-hak khusus bagi individu dan hak-hak umum bagi masyarakat.

Dari tiga tujuan Syari’at Islam tersebut di atas menjadi jelaslah makna syari’at dan menjadi jelas pula
tiga unsur yang menjadi asas bagi syari’ay Islam yaitu akidah, ibadat dan hukum dan pengadilan.
Sehingga menjadi jelas kebenaran kesimpulan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan
negara.[8]

Bidang akidah dibahas dalam ilmu tersendiri yaitu ilmu kalam (ilmu tauhid). Bidang ibadat dan
hukum dan pengadilan dibahas dalam yang tersendiri pula yaitu ilmu fiqh.

D. Hubungan Syariat dan Fiqh

Penerapan syariat Islam dalam masyarakat melahirkan fiqh. Antara fiqh dan syariat mempunyai
hubungan yang sangat erat, karena sesungguhnya fiqh tetap berpijak pada syariat. Fiqh merupakan
tuntutan yang harus timbul dan sukar dielakkan dalam pelaksanaan syariat. Hubungan antara fiqh
dan syariat tersebut diungkapkan para faqih dalam pengertian (definisi) fiqh, sebagaimana akan
diuraikan.

Karena itu menguasai pengertian (definisi) fiqh akan mempermudah upaya memahami beberapa
hal, di antaranya :

- Hakikat fiqh
- Ruang lingkup pembahasan fiqh
- Posisi fiqh secara tepat dan lebih mendalam
- Cara lahirnya fiqh

REFERENSI

[1] QS.Al Jaatsiyah ayat 18


[2] Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, (Kairo : Dar Al Ma’arif, 1954), cet. ke II, XXII hal. 146-147
[3] Fakhrurrazi, At Tafsir Al Kabir, (Teheran : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah), cet. ke II, hal. 12
[4] Dr. Muh. Yusuf Musa, Al Fiqh Al Islami, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah, 1954), hal 8
[5] QS. Al Maaidah ayat 48
[6] Fakhrurrazi, loc.cit.
[7] ibid
[8] Lih. Dr. Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, Al Madkhal Al Fiqhi Al ‘Am, (Damaskus : Al Adib, 1967-
1968), I, hal. 30
Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Anda mungkin juga menyukai