Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

SYARI’AH FIKIH DAN SIYASAH SYAR’IYYAH

Di lingkungan masyarakat Islam berlaku tiga kategori hukum dalam pandangan


Islam, yaitu: (1) syariat, (2) fikih, (3) siyasah syar’iyyah. Ketiganya hidup dalam
masyarakat di tanah air kita.

A. Syariat
Syariat adalah ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum,
berupa melakukan suatu perbuatan, memilih atau menentukan sesuatu sebagai
syaratm sebab atau penghalang. Sementara Philip K. Hitti merumuskan: “The
shariah, according to the traditional view, is eternal, universal, perfect, fit for all
men at all times in all places. It proceded the state and the society. It recognizes no
difference between the sarced and the secular. It sets forth and regulates man s
relation with obligations to God as well as his relations withhis fellow man.
Berkaitan dengan syariah ini dapat dijelaskan “The Shari’a was not the product of
Islamic government (unlike modern law, wich is significantly the product of the
state).
Yang dimaksud dengan syarat sebagaimana tersebut adalah sesuatu yang
kepadanya tergantung sesuatu hukum, seperti kewajiban mengeluarkan zakat harus
memenuhi syarat nisab (jumlah tertentu) dan haul (waktu tertentu); syarat sahnya
salat, harus bersih dari hadats kecil atau hadats besar, dengan cara wudu, mandi
janabat atau tayamum, harus menghadap kiblat dan lain-lain. Sedangkan sebab,
maksudnya sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya
kematian menjadi sebab adanya (hukum) kewarisan, akad nikah menjadi sebab
halalnya hubungan suami istri. Selanjutnya yang dimaksud dengan halangan atau
mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. contohnya
pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan atau gila merupakan halangan bagi
seseorang melakukan tindakan atau hubungan hukum.
Syari’ah berarti jalan menuju sumber air, yakni jalan kea rah sumber pokok bagi
kehidupan. Secara harfiah kata “syara’a” berarti menandai jalan yang yang jelas
menuju sumber air. Dalam pemakaian yang bersifat religious, kata syrai’ah berarti
jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara
fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan
kehidupan manusia. Adapun yang dimaksud dengan syari’at Islam sebenarnya
merupakan keseluruhan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Di samping
itu, istilah ini juga dimaksudkan sebagai keseluruhan teks (nusus) al-Qur’an dan as-
Sunnah yang merupakan nilai-nilai hukum yang berasal dari wahyu Allah.
Contoh, syariat di dalam Al-Qur’an tentang hukum kewarisan, yakni surat An-
Nisa (4): 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, dan 176.
B. Fikih
Fiqh ini artinya faham atau pengertian. Jadi fiqh ini merupakan interpretasi
terhadap hukum syara’. Maksudnya adalah hukum-hukum hasil pemahaman ulama
mujtahid dari dalil-dalilnya yang rinci (terutama ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis).
Sebagian Fuqaha mendefinisikan fiqh adalah ilmu untuk mengetahui ketentuan-
ketentuan hukum far’i (cabang) dari syariat yang diperoleh dari dalil-dalil rincian
syariat. Dari kajian fiqh dikenal istilah al-ahkam al-khamsah (lima kaedah hukum).
kemungkinan juga istilah hukum Islam berasal dari lima kaedah hukum ini (kata
ahkam adalah bentuk jamak dari hukm). Jadi fikih adalah ilmu atau pemahaman
hukum syara yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci.
Berkaitan dengan masalah fikih ini, Dr. Hasan al-Turabi menjelaskan bahwa fikih
kita saat ini lebih berorientasi pada ijtihad dalam persoalan ibadah ritual dan masalah
kekeluargaan, sementara masalah hukum, ekonomi, hubungan luar negeri, dan
sebagainya belum memiliki tempat yang semestinya dalam kajian fikih. Demikian
juga dua peneliti Barat J.N.D Anderson dan John L. Esposito mengemukakan
keterbatasan produk fikih, dengan mengemukakan bahwa penelitian tentang
pembaruan hukum Islam di dunia Islam yang dikembangkan para pembaru Islam
dalam menangani isu-isu hukum masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan
terpilah-pilah dengan menggunakan prinsip takhayyur dan talfiq. Yang dimaksud
dengan takhayyur adalah suatu metode yurisprudensi yang karena situasi spesifik
dibolehkan meninggalkan madzhab hukumnya untuk mengikuti madzhab lain.
Adapun yang dimaksud dengan talfiq adalah suatu metode mengkombinasikan
berbagai madzhab untuk membentuk suatu peraturan tertentu.
Perkembangan di dalam fikih Islam ini memperlihatkan bahwa hukum Islam
adaptof terhadap pembaruan dan perkembangan baru. Di samping itu, menyediakan
ruang dan framework bagi pembaruan dan pengembangan. Hal ini dapat dilihat dari
elemen-elemen keleluasaan dan fleksibilitas yang memungkinkan hukum Islam dapat
mengikuti perkembangan zaman. Elemen-elemen ini, di antaranya: (1) sebagian
ketentuan dalam Al-Qur’an bersifat global dan penjabarannya membutuhkan
penalaran rasional, (2) dalam hal tertentu Allah Swt tidak menetapkan hukumnya
sehingga manusia dapat bereksperimen, (3) al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw
menyerukan umat Islam menggunakan akalnya dan berijtihad untuk meujudkan
kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Contoh tentang fikih di dalam hukum Islam di Indonesia, yakni tentang harta
bersama yang diperoleh suami atau istri selama perkawinan. Apabila harta bersama
ini diajukan ke Pengadilan Agama, maka hakim Pengadilan Agama akan
memutuskan harta bersama dibagi dua.
C. Siyasah Syar’iyyah
Siyasah Syar’iyyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan
yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan
agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.
Contoh masalah hukum perkawinan; menurut KUH perdata memandang
perkawinan dari segi hubungan perdata, ibarat mengontrak rumah. Hal ini tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang religious. Oleh karena itu,
pemerintah menetapkan undang-undang perkawinan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Indonesia yang religious tersebut, yakni undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan: “Perkawinan
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Selanjutnya PENPRES No. 1/1964 menetapkan bahwa di
Indonesia hanya diakui lima agama, yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan
Budha. Sekarang ditambah satu lagi yakni Agama Konghuchu. Kemudian ketetapan
MPR No. IV/MPR/1978 menentukan bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, tidak merupakan agama.
Selanjutnya penjelasan Pasal 2 undang-undang tersebut menentukan: “Dengan
perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan UUD 1945. Yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini. “Sedangkan Pasal 8 huruf
“f” Undang-undang ini menyatakan: Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
“mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin”.
Berdasarkan uraian singjat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam
mencakup segala macam kehidupan yang meliputi hubungan antara manusia dengan
alam, benda dan lain-lain. Hukum Islam mempunyai sumber hukumnya sendiri yang
berdiri sendiri dan penganutnya meyakini kebenarannya bersifat mutlak; yakni Al-
Qur’an dan al-Hadits. Sifat mutlak sumber hukum Islam berarti bahwa sumber ini
tidak dapat diubah atau diganti oleh manusia. Di samping itu, ketentuan al-Qur’an
dan hadits mencakup juga pokok-pokok hukum Islam yang dapat dikembangkan
sesuai dengan perkembangan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Allah Swt, tetapi sifatnya tidak statis dan senantiasa dapat
mengikuti perkembangan masyarakat.
Hukum Islam sebagai norma-norma yang dianut masyarakat sebagiannya
memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya seperti wakaf, perkawinan, dan
lain-lain. Sebagian lagi ia tidak memerlukannya misalnya cara meminang, cara
menghadiri undangan, dan lain-lain. Sebagian hukum Islam yang lain adalah antara
membutuhkan dan tidak membutuhkan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya,
tergantung situasi. Misalnya hukum mengenai zakat dan haji. Pada masa yang lalu,
kaum muslimin melaksanakannya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, namun
sekarang pemerintah telah mengaturnya melalui peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh wakaf merupakan salah satu bagian hukum Islam yang
memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya. Tanpa adanya aturan-aturan
pelaksana dalam suatu sistem hukum nasional, ia tidak akan mendapat penerimaan
yang layak dan efektif dalam masyarakat. Di Indonesia wakaf agar berlaku efektif di
masyarakat dan dikelola serta dikembangkan secara produktif telah diatur daam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Melalui undang-undang ini
wakaf diharapkan tidak hanya bermanfaat untuk kegiatan ibadah mahdah saja, tetapi
dapat lebih luas lagi, di antaranya sebagai salah satu alternative untuk
menanggulangi kemiskinan. Misalnya Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) Undang-undang
Wakaf tersebut menetapkan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan,
perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah
susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan, ataupun sarana
kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.

Anda mungkin juga menyukai