OLEH
DR. TOLKAH, S.H., M.H.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama pembebasan dari zaman jahiliyah, kemudian Islam menjadikannya menjadi bangsa yang
berperadaban tinggi (civilized nation).
Secara etimologi Islam berasal dari kata salama yang artinya selamat atau juga bisa berarti menyerahkan diri.
Sedangkan kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu hukm/alhukm yang mengandung
makna mencegah atau menolak.
Istilah hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian, yaitu syariah dan fikih. Syariat terdiri wahyu Allah dan
sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman tentang syariah.
Syariah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai, kemudian
syariah dalam pengertian terminologi adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam
lingkungan hidupnya. Sedangkan fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan
pengetahuan. Fikih secara terminologi adalah hukum syarak yang bersifat praktis/amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil
yang terperinci.
PENDAHULUAN
Perbedaan yang mendasar antara syariat dan fikih, yang perlu kita pahami dalam hal mempelajari hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Syariah adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya, sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang
memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu sendiri.
2. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai ruang-lingkup yang lebih luas, karena kedalamannya oleh banyak ahli dimasukkan juga
akidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya
disebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya oleh karena itu berlaku abadi, sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak
berlaku abadi, melainkan dapat berubah dari masa ke masa dan karena perbedaan tempat.
4. Syariah hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu.
5. Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih, menunjukkan adanya keberagaman.
Islam merupakan agama hukum, dimana sumber hukum utama dari hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ada juga sumber
hukum pelengkap, yaitu Ijmak dan Qiyas. Hal demikian dapat disimpulkan dari Q.S. An-Nisa’ (4) ayat 59, yang artinya:
"Hai, orang-orang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul, serta Ulil Amri (atau pemerintah yang berkuasa
diantara kamu)"
PENDAHULUAN
Menurut Abu Ishaq al-Shatibi (m.d. 790/1388) terdapat lima tujuan hukum Islam, yaitu untuk memelihara (1) agama (al-muhafazhah ala
ad-din), (2) Jiwa (al-muhafazhah ala an-nafs), (3) akal (al-muhafazhah ala al-‘aql), (4) keturunan (al-muhafazhah ala an-nasl), dan (5) harta (al-
muhafazhah ala al-mal). Para ilmuwan dalam bidang hukum Islam, mereka menamakannya al-maqasid al-shariah.
Sistem-sistem hukum di dunia Islam sekarang secara garis besar bisa dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) sistem-sistem yang masih
mengakui Syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh, contohnya adalah Arab Saudi dan Wilayah
Utara Nigeria; (2) sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum yang sekuler, contohnya adalah Turki yang
menyatakan Syariah tidak berlaku lagi dan selanjutnya secara drastis mengambil alih hampir secara utuh peraturan-peraturan hukum Eropa, dan
(3) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut, dalam arti sistem ini mengambil jalan moderat di antara dua sistem hukum
yang ekstrim, contoh kelompok ini diantaranya adalah Mesir, Sudan, Lebanon, Suriah, Yordania, Irak, Tunisia, dan Maroko.
Dalam kontek sosiologi masuknya Islam ke , Indonesia berlangsung secara damai (penetration passifique).
Masuknya Islam di Indonesia diikuti oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian dapat menggantikan dominasi kerajaan-kerajaan
Hindu dan Budha yang sudah ada sebelumnya.
Mengenai dasar berlakunya hukum Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dalam analisis ahli hukum Belanda melahirkan dua macam
teori, yaitu teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg dan teori receptie yang dikemukakan
oleh Christian Snouck Hurgronje. Kedua teori ini antara satu dengan yang lain saling bertolak belakang.
PENDAHULUAN
Teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg pada intinya menyatakan
bahwa, hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang; Kalau orangnya beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku
baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya.
Sedangkan teori receptie yag dikemukakan Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa yang berlaku bagi orang Islam
bukanlah hukum Islam tetapi hukum adat. Hukum Islam baru berlaku di kalangan masyarakat apabila telah diresepsi oleh hukum
adat.
Teori mengenai dasar berlakunya Hukum Islam di Indonesia juga telah dikemukakan oleh para ahli hukum Indonesia sendiri
yang ditujukan untuk mengcounter teori receptie, sebagaimana yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Teori
dimaksud yaitu teori receptio exit yang dikemukakan oleh Hazairin dan teori receptio a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti
Thalib.
Teori receptio exit menyatakan bahwa teori receptie sudah keluar, karena tidak sejalan dengan hukum di Indonesia,
kemudian teori receptio a contrario menyatakan bahwa Hukum Islam yang berlaku bagi masyarakat tidak memerlukan adanya
penerimaan (receptie) dari hukum Adat, melainkan didasarkan pada kenyataan bahwa Hukum Islam juga merupakan hukum yang
hidup (living law) layaknya hukum adat. Di samping itu Hukum Islam juga dapat. berlaku dalam kehidupan bernegara melalui
positivisasi hukum, dengan memasukkan nilai-nilai atau asas-asas hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Fakta menunjukkan hingga sekarang ini masih terdapat tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu Hukum Adat, Hukum Barat, dan Hukum
Islam. Hukum Islam dalam perkembangannya juga tidak bisa steril atau menafikkan dirinya dari pengaruh-pengaruh sistem Hukum Adat dan
Barat.
Adanya interaksi tersebut memang tidak berarti seluruhnya memiliki muatan negatif, tetapi ada juga sisi-sisi yang baik atau positif, yaitu
yang bersifat administratif maupun substantif, yang justru diperlukan kehadirannya dalam rangka menempatkan hukum Islam agar dapat
mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat demi kepastian hukum.
Namun demikian pembaharuan hukum Islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan negara-negara Islam
di Timur Tengah dan Afrika Utara, karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masih kuat anggapan bahwa taqlid (mengikuti pendapat
ulama dahulu), masih cukup untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, dan kebanyakan ulama merasa lebih umum mengikuti
pendapat ulama terdahulu daripada melakukan ijtihad sendiri. Kedua, hukum Islam di Indonesia dalam konteks sosial politik masa kini sellau
mengundang polemik karena berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Ketiga, persepsi sebagian masyarakat
yang mengindentikkan fikih sebagai hasil kerja intelektual agama yang kebenarannya relatif dengan syariat yang merupakan produk Allah dan
bersifat absolut.
Hukum Islam dan Hukum Adat untuk bisa berlaku dalam sebuah negara terlebih dahulu harus melalui positivisasi, yakni memasukkan
prinsipprinsip hukum (Islam maupun Adat) ke dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Mengenai implementasi Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia Noel J. Coulson mengkategorikan ke dalam empat corak,
yaitu (1) Dikodifikasikannya Hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan, (2) Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab
hukum tertentu, yang disebut dengan doktrin takhayur atau setidak-tidaknya melakukan talfiq, (3) Penerapan hukum sebagai akomodasi nilai-
nilai baru, (4) Perubahan hukum yang baru.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dipandang sebagai pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Sebagian
isi dari Kompilasi Hukum Islam untuk pegangan para hakim Pengadilan Agama Indonesia merupakan pembaharuan hukum bentuk 2 (doktrin
takhayyur) dan 4 (doktrin tathbiq) Coulson dalam arti pembaharuan hukum ijtihadi.
Dalam menyelesaikan pertautan hukum Islam dengan nilai-nilai pra Islam dan Hukum Islam dengan perubahan sosial di dalam
masyarakat sudah lama dilancarkan apa yang dinamakan gerakan pembaharuan (bisa disebut dengan gerakan tajdid).
Hukum islam pada hakikatnya merupakan bidang hukum yang selalu up date karena memiliki daya elastis. Elastisitas hukum Islam dapat
dilihat antara lain dari sedikitnya jumlah ayat hukum (ayat al-ahkam) dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum (al-hadis al-ahkam) dan itupun
pada umumnya hanya memuat norma-norma dasar yang bersifat umum dan global.
PENDAHULUAN
Upaya memasukkan nilai-nilai hukum Islam dalam hukum positif di negara Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas berawal
dengan diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya memuat nilai-nilai Islam di bidang
perkawinan, Implementasi hukum Islam di negara Indonesia semain kokoh dari sisi penegakannya setelah diundangkannya Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu yang dialami oleh
orang Islam mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lingkungan peradilan lain, yakni memiliki kewenangan untuk mengeksekusi
putusannya sendiri tanpa perlu terlebih dahulu mendapatkan fiat executie dari Peradilan Umum.
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilsi Hukum Islam (KHI), mengatur mengenai masalah perkawinan, kewarisan, hibah,
wakaf dan shadaqah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Dasar ditaatinya KHI sama dengan ditaatinya hukum Islam secara umum
dan hukum adat, yaitu bahwa kesemuanya merupakan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat ( living law).
Kewenangan Peradilan Agama menjadi semakin luas, sejak diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahaan
Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Peradilan
Agama untuk dapat menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah, dapat juga diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional,
dan khusus untuk perbankan dapat melalui Lembaga Mediasi Perbankan.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
A. Sumber Hukum Menurut Ilmu Hukum
Dalam ilmu hukum, sumber hukum dibedakan kepada:
1. Sumber hukum materil (welbron).
2. Sumber hukum formil (kenbron).
Sumber hukum materil atau sumber isi hukum ialah sumber yang menentukan corak isi hukum, atau sesuatu yang tercermin dalam isi
hukum, yaitu sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum. Pembicaraan sumber hukum materil merupakan salah satu bidang kajian
filsafat hukum.
Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan pembicaraan filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-bentuk
dimana kita dapat menemukan atau mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum positif di suatu negara. Sumber hukum formil dalam ilmu
hukum adalah:
3. Perundang-undangan
4. Kebiasaan (hukum adat, common law);
5. Hakim (yurisprudensi, judge made law).
6. Perjanjian (traktat, pacta sunt servanda);
7. Ilmu pengetahuan hukum (doctrine).
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
B. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum
Dalam bahasa Arab, kata “sumber” adalah pemahaman dari kata “masdar”, jamaknya “”mashadir”, artinya asal dari segala sesuatu atau
tempat merujuk segala sesuatu.
Kata “dalil” jamaknya al-adillat, secara etimologi mempunyai arti petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi (indrawi) maupun
maknawi (non indrawi). Secara terminologi, dalil hukum adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh atau
menemukan, mendapatkan hukum (syara’) baik yang qath’iy (pasti) maupun dzanny (relatif).
Istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum (adillat al-ahkam), oleh sebagian ulama, kadang-kadang diartikan untuk
makna yang sama. Sebagian ulama ada yang membedakan penggunaan dua istilah tersebut. Menurut pendapat yang terakhir bahwa sumber
hukum (mashadir al-ahkam) adalah asal hukum atau rujukan hukum, sedang adillat al-ahkam adalah tempat ditemukannya atau sesuatu yang
menunjuk kepada adanya hukum.
Pengertian istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) sama dengan kandungan pemahaman “sumber hukum materil” (sumber isi)
dalam ilmu hukum). Sedangkan pengertian “dalil hukum” (adillat al-ahkam), adalah sama dengan kandungan pemahaman pengertian
“sumber hukum formil” (sumber kenal) dalam ilmu hukum.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
C. Sumber Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT, untuk beribadat kepada-Nya. Dia menurunkan petunjuk (al-din
syari’at), bagi kehidupan manusia, melalui firman-Nya, sebagaimana terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh utusm
(Rasul)-Nya.
Dialah pencipta syariat (syari’), pencipta hukum bagi makhluk ciptaan-Nya, kebenaran mutlak bersumber dari pada-Nya, dan Dialah
pemilik mutlak segala apa yang ada di langit dan dibumi serta diantara keduanya.
Allah SWT berfirman dalam QS. AL-An’am ayat 57, yang artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu”.
Untuk menjelaskan hukum dalam firman Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an, kemudian Allah SWT, mengirimkan utusan
atau Rasul-Nya. Perintah mengikuti nilai yang keluar dari utusan-Nya (Sunnah), sama kuat dengan perintah untuk mengikuti nilai yang
terdapat dalam al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 7, yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan”.
Dengan demikian sumber (asal), atau isi (materi) hukum ( welbron), atau rujukan dalam menetapkan hukum, menurut pandangan Islam
adalah kehendak atau aturan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kehendak Tuhan tersebut termaktub dalam firman-Nya yaitu al-Qur’an
yang dijelaskan melalui utusan atau Rasul-Nya (Sunnah). Maka dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) atau
“sumber meteril” sebagaimana dipahami dalam ilmu hukum, adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
Para ulama memberikan definisi tentang Al-Qur’an sebagai Kalamullah (firman Allah) yang mengandung mujizat diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan
secara mutawatir, terdapat dalam mushhaf dan membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat AL-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6240 ayat .
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur selama sekitar-23 tahun atau dalam Masa 22 tahun 2 bulan dgn 22 hari. Masa 13 tahun
turun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat Maki yyah,
sedang, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat Madaniyyah.
Surat Madaniyyah sebanyak 11/30 dari isi al-Qur'an, sedangkan Surat Makiyyah berjumlah 19/30 dari isi al-Qur’an yang berjumlah 4.780
ayat.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
B. Kandungan Isi Al-Qur'an
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an secara garis besarnya terbagi kepada tiga:
1. Hukum i'tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah antara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan. Hukum dalam bidang ini
kemudian berkembang menjadi ilmu ushuluddin (ilmu kalam, ilmu tawhid).
2. Hukum khuluqiyah yang menyangkut tingkah laku dan moral lahir manusia dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini berkembang kemudian menjadi
ilmu akhlak (ilmu Tasawwuf).
3. Hukum 'amaliyah yang menyangkut hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Hukum dalam bidang
ini berkembang menjadi ilmu syari'ah (dalam arti sempit), atau Ilmu Fiqh.
Hukum syari'ah (dalam arti sempit) secara garis besarnya terbagi kepada dua :
4. Hukum-hukum ibadat (dalam arti khusus) atau Fiqh Ibadat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhan, seperti shalat,
puasa, haji dan ibadah lainnya. Perbedaan ibadat dengan aqidah atau i'tiqadiyah, terletak pada hubungan yang berlaku. I'tiqadiyah dalam bentuk hubungan rohaniah
sedangkan ibadat adalah bentuk hubungan lahiriah.
5. Hukum-hukum muamalat dalam arti luas atau Fiqh Muamalat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam
sekiatarnya. Hukum-hukum muamalat ini dirinci menjadi beberapa bidang hukum : Hukum muamalat, Hukum perkawinan, Hukum waris, Hukum pidana, Hukum acara
pidana, Hukum tata negara, Hukum antar bangsa (internasional).
Hukum yang keluar dari Al-Qur’an sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang utama, pada umumnya masih bersifat global (ijmaly) hanya beberapa bagian
hukum yang sudah rinci, seperti pengaturan tentang hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Selanjutnya rincian terhadap hukum yang masih global tersebut kemudian
dijelaskan oleh Muhammad SAW dalam sunnahnya.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
C. Kehujjahan Al-Qur’an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur'an adalah sumber hukum dan dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah SWT, dan wajib diamalkan oleh manusia.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjah dengan al-Qur'an adalah:
1. A-Qur’an diturunkan kepada Rasuluulah SAW, diketahui secara mutawatir, hal ini memberikan keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah SWT,
melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW, yang dikenal orang yang paling dipercaya.
2. Ayat-ayat Al-Qur'an menyatakan bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ayat 105 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”.
3. Kemu’jizatan Al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan dan kemampuan
umat manusia.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur'an menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi oleh akal manusia diantaranya adalah:
a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, seperti kata al-haya (hidup) dan al-maut (mati), sama
berjumlah 145 kali, al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama berjumlah 17 kali.
b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Qur'an seperti dalam QS Yunus ayat 92, dikatakan bahwa “Badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai
pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya”. Apapun yang dikatakan Al-Qur'an terbukti dengan ditemukannya mummi Fir’aun tersebut oleh Arkeolog Loret pada tahun
1896 dan sampai sekarang mummi tersebut tersimpan utuh di Museum Mesir.
c. Banyak syarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Qur'an, seperti surat QS. Yunus : 5, dikatakan “ Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan
adalah pantulan (dari cahaya matahari). Selanjutnya dalam QS. A-Naml ayat 88 disebutkan “bahwa gunung-gunung itu berjalan sebagaimana jalannya awan”. Hal ini
menunjukan bahwa bumi berputar pada porosnya dan beredar mengelilingi matahari.
SUNNAH
A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” atau
“kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuatu yang baik atau buruk.
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah) Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah "segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw
berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
B. Macam-macam Sunnah
Berdasarkan definisi Sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadir al
ahkam) dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam yaitu:
1. Sunnah filiyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain.
2. Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan Nabi saw. yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
3. Sunnah taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi Nabi hanya
diam dan tidak mencegahnya.
SUNNAH
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya Rawy yaitu orang yang menyampaikan atau yang menjadi sumber berita, Sunnah (Hadits) itu
terbagi kepada dua macam, yakni Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
a. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ialah suatu hadits hasil tanggapan dari pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rway, yang menurut adat
kebiasan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
b. Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawy, tapi jumlah tersebut tidak sampai derajat mutawatir.
Hadist Ahad dibedakan menjadi Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
1) Hadits Masyhur
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadits Aziz
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sedeikitnya dua orang rawy, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah (lapisan)
saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3) Hadits Gharib
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawy, walaupun seorang rawy tersebut hanya dalam satu thabaqah (lapisan), kemudian
setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
SUNNAH
Sedangkan kalau ditinjau dari segi kualitas orang-orang yang meriwayatkannya sehingga berpengaruh kepada kualitas diterima atau
ditolaknya suatu hadits, maka hadits dapat dibedakan menjadi hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dlaif.
a. Hadits Shahih
Hadits Shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawy yang adil, sempurna (kuat) ingatannya, sanadnya bersambu-sambung, tidak
ber’illat, dan tidak janggal (syadz).
b. Hadits Hasan
Hadits Hasan ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang adil, namun kurang kuat ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber'illat dan tidak janggal.
c. Hadits Dla'if
Hadits Dla’if ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
SUNNAH
C. Kitab-Kitab Hadits
Beberapa kitab hadits terkenal yang merupakan himpunan hadits para ulama antara lain enam kitab hadits terkenal yang disebut Kutub
As Sittah, sebagai berikut:
1) Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Bukhari (194-252 H/810-870 M).
2) Jami al-Shahih (Shahih Muslim). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Muslim (204-261 H/820-875 M).
3) Sunan Abi Dawud. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Abu Dawud (202-275 H/817-889 M).
4) Sunan Turmudzy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam At-Turmudzy (200-279 H/824-892 M).
5) Sunan An-Nasa’iy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam An-Nasa’iy (215-303 H/839-915 M)
6) Sunan Ibnu Majah. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Ibnu Majah (207-273 H/824-887 M).
SUNNAH
D. Kehujjahan Sunnah
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk di atas (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber hukum Islam
(mashadiral-ahkam, adillatal-ahkam), yang menempati posisi kedua setelah al-Qur'an.
Alasan yang dikemukakan para ulama mengenai kehujjahan Sunnah tersebut, didasarkan kepada firman Allah SWT dan Sunnah Nabi sendiri, antara lain :
QS. An-Nisa ayat 59, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (alQur'an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada AIIah dan hari kemudian”.
HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Sesungguhnya pada saya telah diturunkan Al-Qur'an dan yang semisalnya”.
E. Fungsi Sunnah
Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an masih bersifat global (ijmaly), yang masih memerlukan Penjelasan dalam implementasinya. Fungsi sunnah yang
utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an, sebagaimana dalam QS. An-Nahl ayat 44, yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menjelaskan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya sebagai berikut:
1. Bayan Ta’kid. Bayan ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an.
2. Bayan Tafsir. Bayan tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samat dalam Al-Qur'an, atau memperinci apa-apa yang dalam Al-Qur'an disebutkan secara
garis besar, membatasi apa-apa yang oleh Al-Qur'an disebutkan dalam bentuk umum atau memberi batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak. Perintah
shalat disampaikan Al-Qur'an dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya karena dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum
pada waktu itu. Kemudian nabi melakukan perbuatan shalat secara jelas dan terperinci dan menjelaskan kepada umatnya: “Inilah salat itu dan kerjakanlah salat itu
sebagaimana kamu lihat aku mengerjakannya”.
3. Bayan Tasyri. Yaitu menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
IJTIHAD
Apabila, manusia menemukan masalah-masalah yang belum terdapat secara jelas hukumnya dalam nash (teks Al-Qur'an dan sunnah nabi), maka
manusia mempunyai dan diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk menggunakan akal pikirannya (ijtihad) dalam memecahkan masalah tersebut.
Kebebasan yang dimiliki oleh manusia ini, tetap harus memperhatikan petunjuk, pedoman dan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dna
sunnah nabi.
Kegiatan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy) kemudian dikenal dengan istilah ijma’. Sedangkan ijtihad individual (ijtihad fardy) dikenal dengan
beberapa bentuk dan istilahnya.
1. Zaman Nabi
Tahun 571 Masehi merupakan tahun bersejarah bagi umat manusia yaitu tahun lahirnya seorang utusan yang akan memberikan petunjuk bagi umat manusia, penutup
para nabi-nabi, pembawa risalah yang terakhir yaitu Muhammad SAW. Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Muhammad kecil adalah seorang yatim piatu, sehingga Abdul Munthalib kakeknya mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Dua tahun kemudian
Abdul Munthalib pun meninggal, sehingga tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya Abu Thalib.
Pada usia dua puluh lima tahun, Muhammad bertemu seorang Saudagar Kaya bernama Khadijah yang mempercayakan dagangannya untuk ia bawa. Khadijah
melihat akan kepribadian Muhammad dan akhirnya mereka menikah. Pada saat pernikahan berlangsung Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah telah berusia 40
tahun. Walaupun demikian rumah tangga mereka adalah rumah tangga yang dipenuhi oleh kebahagiaan, sehingga Muhammad pun menyebutkan rumah tanggaku adalah
surgaku (Baitti Janati).
Khadijah istri nabi merupakan wanita pertama yang masuk Islam. Pada usia yang ke 40 Muhammad diangkat menjadi Rasul dan ditandai dengan turunnya wahyu
pertama kali, yaitu Surat al-'Alaq ayat 1-5. Turunnya wahyu yang pertama kali itu terjadi di Gua Hira bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M.
Dengan diturunkannya wahyu kepada Muhammad SAW, mulailah tarikh tasri’ Islami. Sumber tasyri’ Islami adalah wahyu (Kitabullah dan sunnah Rasul). Ayat-ayat
mengenai tasyri' kebanyakan ayat Madaniyah, sedangkan ayat-ayat hukum (Ahkam) berkisar sekitar 200-300 ayat.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Selain Al-Quran dan Sunnah Rasul, Nabi sendiri telah memberikan contoh berijtihad apabila dalam nash Al-Qur'an tidak dijumpai hukumnya, sedangkan persoalan
tersebut harus segera diselesaikan. Hal ini terjadi pada saat Nabi hendak menyelesaikan masalah tawanan perang Badar. Ijtihad yang dilakukan oleh nabi ini kemudian juga
dibenarkan dalam Al-Qur'an.
Perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam berlangsung selama 23 tahun, yang dibagi menjadi dua periode yaitu periode Makah dan
periode Madinah.
Cara-cara yang dilakukan Nabi dalam membina hukum Islam adalah dengan jalan membentuk hukum secara bertahap, satu demi satu bukan sekaligus membentuk
hukum dalam jumlah yang banyak, tidak membentuk hukum sebelum ada kejadian yang memerlukan hukum, tidak menghayalkan kejadian-kejadian yang belum terjadi,
hukum-hukum itupun belum dibukukan satu persatu secara terpisah.
Ayat terakhir yang turun yang menandai telah sempurnanya ajaran Islam adalah surat Al-Maidah ayat (3).
Nabiu Muhammad SAW wafat tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, suasana dinamika dalam hukum Islam telah nampak yang ditandai dengan adanya ayat-
ayat hukum an-nasikh wal mansukh, yang fungsinya adalah untuk membatalkan/menghapuskan hukum yang telah ada, untuk kemudian diganti dengan hukum baru yang
lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Pada waktu itu selama 16 bulan Nabi, para sahabat, dan kaum Muslimin shalat menghadap ke Baitul Muqaddis (Yerusalem). Hal ini dijelaskan pula dalam sebuah
hadis yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw ketika shalat menghadap ke arah Baitul Muqaddis selama 16 bulan" (H.R. Bukhari dan Muslim).
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Kemudian surat al-Baqarah ayat 115 dan hadis tersebut di mansukh-kan (dihilangkan) dengan firman Allah SWT:
"... Maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Al-Haram (Ka'bah)..." (Q.S. al-Baqarah: 144, lihat pula ayat 149 dan 150)
Ayat ini disebut an-nasikh yang menghapuskan.
Oleh sebab itu, tidak jarang Nabi mendatangkan undang-undang atau hukum baru untuk membatalkan hukum yang lama agar lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi.
2. Zaman Sababat
Setelah Nabi wafat maka tugas beliau dalam mengajarkan dan mengembangkan Agama Islam termasuk dalam hal mengembangkan hukum Islam
khususnya, digantikan oleh para sahabat terpilih yang dikenal dengan Khulafaur Rasyidin. Pada saat kepemimpiman Khulafaur Rasyidin inilah Islam sudah mulai
berkembang luas keluar Jazirah Arab, misalnya ke daerah Mesir, Syiria, Persia dan Irak. Para sahabat yang menjadi khalifah sepeninggal beliau adalah Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Kalau dilihat dari latar belakangnya, akan tampak bahwa Abu Bakar Iebih mewakili golongan birokrat, Umar termasuk dalam
golongan tentara, Usman termasuk dalam golongan pengusaha, dan Ali termasuk dalam golongan cendekiawan. Latar belakang kehidupan ini tentu saja akan
berpengaruh pada corak pemerintahan yang mereka jalankan.
Adapun cara yang dipakai oleh para sahabat dalam berijtihad antara lain ialah dengan qiyas, istihsan dan juga ijma para sahabat. Pada periode kedua ini
dasar hukum yang dipakai untuk menetapkan hukum ialah: al-Quran, sunnah, ijmak, dan ra'yu (qiyas, istihsan, dan lain-lain).
Masa ini merupakan masa kedua dalam perkembangan Tasri' Islami, yaitu sejak wafatnya Rasulullah sampai wafatnya Ali. R.a. (11-40H/632-661 M).
Adapun beberapa upaya yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam rangka pengembangan hukum Islam, antara lain:
a. Abu Bakar Ash shidiq
Masa ini disebut masa penetapan tiang-tiang (da’aim). Pada zaman ini dilakukan upaya untuk memerangi orang-orang yang murtad, nabi-nabi palsu (muntanabbi)
seperti Musailamah al-Kadzab, dan orang-orang yang membangkang kewajiban membayar zakat.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
b. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab menjadi khalifah pada tahun 13 H atau tahun 634 M. Pada masa pemerintahannya wilayah Islam semakin meluas, antara lain ke Mesir, Irak,
Azerbaijan, Persia dan Siria. Umar bin Khattab yang pertama kali menyusun administrasi pemerintahan, menetapkan pajak, kharaj atas tanah subur yang dimiliki orang non
muslim. Disamping itu juga ditetapkan peradilan dan perkantoran serta penanggalan qomariyah yang dihitung sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Umar bin Khattab dikenal sebagai imam al-mujtahidin. Pada masanya dia berijtihad untuk menentukan suatu hukum yang sepintas lalu nampak seperti bertentangan dengan
nash, antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan, karena tidak ada ‘illat untuk memotongnya.
c. Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya Utsman bin Affan atau tepatnya pada tahun 30 H/650 M. dilakukan usaha pengumpulan Al-Qur'an dengan qiraah (dialek) yang satu ke
dalam satu mushhaf, yang kemudian dikenal dengan mushaf usmani. Tim pengumpul dan penulis Al-Qur'an terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash,
dan Abdurrahman bin Harits. Mushaf Usman inilah yang dijadikan sebagai standar bacaan Al-Qur'an di seluruh negeri muslim hingga saat ini.
d. Ali bin Abi Thalib
Ali adalah sepupu dan menantu Nabi saw. Oleh karena itu, banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainya. Yang
berpendapat demikian terkenal dengan nama golongan Syiah. Sejak zaman Nabi Ali terkenal dengan kemahirannya sebagai qadhi.
Adapun urf (adat) tidaklah terhitung sebagai dalil syarak yang berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan pada ijmak atau qiyas, dalam hal tidak terdapat pada nash
sharih atau sunnah taqririyyah.
Pada masa ini telah terjadi perbedaan pendapat antara fuqaha dari segi menafsirkan ayat Al-Qur'an atau dalam hal penerimaan suatu hadis dan juga dalam hal
memakai dan menerapkan qiyas.
Di antara fuqaha selain Khulafaur Rasyidin terkenal pula, Abdullah Ibnu Abbas, Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Umar di Madinah Abdullah ibnu Mas'ud di Kufah,
Abdullah ibn Amr lbn Ash di Mesir, Sayyidati Aisyah, dan qadhi yang masyhur, Abu Musa al-Asy'ari dan Mu'adz bin Jabal. Mereka terpencar di beberapa kota dan
membimbing peletakan dasar fiqih Islami dan pengembangannya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Periode kedua ini berakhir dengan wafatnya Khalifah keempat yaitu Khalifah Ali bin Abu Thalib. Pada masa inipun fatwa-fatwa para sahabat juga belum
dibukukan, melainkan hanya disiarkan dari mulut ke mulut saja seperti hadits Nabi.
Para sahabat yang menjadi Mufti/pemberi fatwa pada periode kedua ini yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, aAli bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ary, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Aisyah Umul Mukminin, Anas bin Malik, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Umar.
Berdasarkan pemaparan di atas nampak bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat dinamika perkembangan mengenai itu adalah sebagai berikut:
1). Masalah zakat (sosial)
Salah satu sasaran utama dari zakat adalah untuk memantapkan hati orang yang baru masuk Islam agar iman mereka menjadi kuat. Namun oleh Umar bin
Khattab hal ini tidak dilaksanakan mengingat situasi sudah lain, yaitu para mu’allaf kebanyakan termasuk golongan ekonomi kuat dan Islam telah mempunyai
kedudukan yang kuat.
2). Masalah nikah, talak, rujuk, dan cerai
Semasa Khalifah I, Abu Bakar R.A, andaikata suami menjatuhkan talak tiga kepada istrinya sekaligus, maka dianggap (dihitung) hanya talak satu. Akan
tetapi semasa Khalifah Umar r.a., hal itu tetap dianggap talak tiga, sesuai dengan ucapan yang dikeluarkan oleh sang suami. Adapun alasan beliau adalah agar si
suami (laki-laki) jangan terlalu latah mempermainkan talak kepada istrinya.
3). Masalah zina
Nabi menetapkan dan mempraktikkan hukum zina bagi orang yang belum kawin (beristri) adalah cambuk seratus kali, kemudian diasingkan ketempat (ke
negeri) lain selama setahun. Tetapi masa khalifah Umar bin Khattab hukuman buang ini ditiadakan.
4). Masalah pencurian
Berdasarkan hukum al-Quran, maka setiap pencuri dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana telah secara jelas dan tegas dalam surat Al-Maidah ayat
38.
Tetapi sewaktu musibah kelaparan melanda Madinah, sehingga menyebabkan banyak terjadi pencurian, Khalifah Umar meniadakan hukum potong
tangan.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
3. Zaman Mujtahidin
Secara umum keadaan umat Islam dalam periode ketiga ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Periode ini dimulai pada saat pemerintahan pindah dari Khulafaur Rasyidin kepada Mu'awiyah dari Dinasti Umayyah yang berpusat di Damascus.
b. Umat Islam pada periode ketiga ini sudah pecah menjadi tiga golongan yaitu: Khawarij, Syiah , dan Jumhur.
Hal-hal penting yang terjadi sehubungan dengan perkembangan hukum Islam pada periode ketiga ini ialah:
a. Para ulama mulai tersebar keseluruh daerah Islam, tidak hanya menetap di Madinah saja.
b. Riwayat hadits menjadi berkembang. Hal ini dikarenakan para ulama dalam usaha menetapkan hukum berusaha untuk mengumpulkan hadits dari para sahabat yang menerima dari
Nabi, dengan jalan mendatangi para sahabat itu dari satu kota ke kota lainnya.
c. Golongan Jumhur pecah menjadi dua golongan, yaitu:
1). Golongan ahli hadits, yaitu para ulama yang dalam usahanya menetapkan hukum mengutamakan hadits sebagai dasarnya. Golongan ahli hadis ini banyak dijumpai di Hijaz, Saudi
Arabia. Ulama-ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli hadis antara lain Said Ibnul Musayyab, Abu Umayyah Al Kufi, As-Sya’bi, dan Sufyan Ibn Sa’id.
2). Golongan ahli ra’yu, yaitu para ulama yang di dalam usahanya menetapkan hukum selain mendasarkan diri pada Al-Qur'an dan sunnah juga melakukan ijtihad (ra’yu). Bahkan
apabila ada hadis yang berlawanan dengan hadis lain atau berlawanan dengan dasar-dasar syariat, maka hadis itu dikesampingkan dan mereka mengutamakan ijtihad. Golongan ahli
ra’yu ini banyak dijumpai di Iraq.
Para Ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli ra’yu antara lain adalah Alqamah ibn Qais, Ibrahim Ibn Yazid, Hammad Ibn Abi Sulaiman. Dalam golongan ini lahir tokoh-
tokoh ulama mawali yaitu ulama-ulama dari bangsa lain selain Arab, misalnya Persia, Rum, Mesir dan lain sebagainya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
4. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Keempat: Masa Lahirnya Mazhab, Pembukuan Hadis dan Fikih (101 H sampai
dengan 350 H)
a. Keadaan Hukum Islam dalam periode Keempat
Hukum Islam pada periode ini mengalami perkembangan pesat dan meliputi banyak bidang. Fikih pada periode ini memasuki periode kematangan dan
kesempurnaan.Para ulama pada masa ini banyak berusaha untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya dan persaingan antarta para ulama berjalan seru, karena dalam
usahanya menentukan ilmu-ilmu baru itu mereka betul-betul menggunakan akal sebab kemerdekaan berpikir pada saat itu dijamin. Pada masa periode keempat ini,
menyebabkan timbulnya beberapa hal antara lain yaitu:
1) Lahir tokoh-tokoh fikih yang terkenal, ahli-ahli hadis, dan ahli-ahli ilmu lainnya.
2) Dibukukannya ilmu-ilmu Al-Quran, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya.
3) Ulama-ulama mulai memperhatikan dan mempelajari ilmu-ilmu lain selain ilmu Agama, misalnya: ilmu Kedokteran, ilmu kimia, filsafat, ilmu sejarah, dan lain-lain.
4) Para ulama berusaha untuk menyusun ilmu-ilmu itu secara lengkap dan sistematis dan memisahkan ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya.
5) Selain mempelajari, mereka juga berusaha untuk menterjemahkan kitab-kitab Falsafah, ilmu Alam dari berbagai bahasa kedalam bahasa Arab. Disamping itu mereka
juga berusaha mempelajari agama-agama lain untuk bahan pembahasan hukum Islam.
6) Pada masa ini lahir ijtihad mutlak, dimana para mujtahid dalam berijtihad tidak perlu terikat pada ijtihad orang lain.
7) Pada periode ini lahir tokoh-tokoh ijtihad, dimana pendapat-pendapat para ahli ijtihad itu mulai dibukukan dan diikuti oleh orang lain (taqlid) dan kepemimpinan
mereka dalam bidang fikih diakui.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Para ahli ijtihad yang hidup pada masa ini dan yang terkenal ada 13 orang: Sufyan Ibn Uyainah di Mekah, Malik Ibn Anas di Madinah, Al-Hasan AlBasyri
di Basrah, Abu Hanifah di Kufah, Sufyan Ats-Tsaury di Kufah, Al-Auza’i di Syiria, As-Syafi’i di Mesir, Al-Laits di Mesir, Ishaq di Naisabur, Abu Tsaur, Akhmad,
Daud dan Ibnu Jarir di Baghdad.
Pendapat-pendapat para mujtahid tersebut di atas dalam bidang hukum Islam yang satu dan lainnya mungkin berbeda dan mempunyai pengikut sendiri-
sendiri. Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran/mazhab-mazhab di dalam hukum Islam.
Faktor-faktor pendorong yang menyebabkan hukum Islam berkembang dengan pesat pada masa itu antara lain adalah:
a). Pada waktu Khalifah Abu Ja'far al-Mansur memindahkan pusat pemerintahan dari Kufah ke Bagdad, beliau juga berusaha membangun ilmu agama dan ilmu
pengetahuan lainnya, yaitu dengan cara mengumpulkan ahli-ahli ilmu pengetahuan agama dan lain-lainnya ke kota Baghdad, sehingga kota ini menjadi pusat
berkembangnya ilmu pengetahuan di bagian Timur.
b). Kota Kardova di Andalusia juga menjadi tempat berkembangnya ilmu pengetahuan Islam dan lain-lainnya di bagian Barat.
c). Di kota Al-Fustat Mesir dikumpulkan para ulama dari berbagai mazhab untuk mengajarkan pendapat-pendapatnya, .
d). Damascus, Kufah, dan Basrah juga tetap berkembang walaupun kekhalifahan sudah tidak beribu kota disini.
e). Di Persia, kota Maru dan Naisabur juga menjadi tempat berkembangnya ilmu karena di kota-kota ini tempat berkumpulnya para ulama.
Adapun perkembangan pembukuan ilmu tafsir pada waktu itu dilakukan dengan cara mencatat penafsiran yang datangnya dari Nabi, mencatat penafsiran
yang dibawa oleh para sahabat, menafsirkan dengan melihat penafsiran Nabi dan ditambah dengan hasil ijtihadnya sendiri. Contoh Al-Qur'an yang ditafsirkan
dengan menggunakan hasil ijtihad penafsirannya ialah tafsir Ibnu Jarir.
Penafsiran Al-Qur'an tersebut ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu tafsir dan ta’wil, yang dimaksud tafsir adalah penafsiran Al-Qur'an yang berasal
dari Nabi dan sahabat, sedangkan ta’wil adalah penafsiran Al-Qur'an berdasarkan hasil ijtihad.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Adapun usaha pembukuan as-Sunnah/Hadis sudah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pada saat itu terdapat enam kumpulan hadis yang Sahih yaitu yang dikumpulkan oleh Al-Bukhari, Muslim an Naisaburi, Abu Daud, Abu Isa At-Turmudzy, Ibnu
Majjah, Ahmad An Nasa’i.
Mengenai pembukuan ilmu fikih dilakukan bersamaan dengan pembukuan hadits yaitu pada pertengahan abad kedua hijriah.
Untuk dapat membukukan ilmu fiqih maka terlebih dahulu harus mempelajari tentang Ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang menerangkan tentang dalil-dalil
syara’ (dasar-dasar hukum) yang dari padanya akan ditentukan hukum-hukum tertentu. Adapun kitab Ushul Fikih yang paling tua yang sampai sekarang masih
ada adalah kitab Risalah Asy Syafi’i yang merupakan pembukaan bagi kitab Al-Umm.
Pada saat itu lahir berpuluh-puluh mazhab tetapi yang berkembang sampai sekarang ini adalah empat mazhab (Mazhab Ahlus Sunnah), Mazhab Syi’ah
Immamiyah dan Mazhab Zaidiyah.
MAZHAB-MAZHAB
A. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah dan merupakan mazhab yang tertua. Beliau hidup antara tahun 80 H sampai dengan 150 H.
Beliau mempunyai empat puluh orang murid yang membukukan pendapatnya. Murid-muridnya tersebut antara lain yaitu:
1. Abu Yusuf Ya’qub Al Anshary (113 H – 183 H)
2. Muhammad Ibn Al Hasan Asy Syaibani (132 H – 189 H)
3. Zufar Ibn Huzail Ibn Qais aAl Kufy (110 H – 158 H)
4. Al Hasan Ibn Ziyad Al Lu’lu-iy Al Kufy
Pada masa sekarang ini mazhab Hanafi berkembang di Mesir, Iraq, Turki, Albania, Afganistan dan masyarakat muslim di Rusia.
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang lebih mengedepankan rasio (ra’yu) dalam menentukan suatu hukum. Adapun dasar-dasar ajaran
Mazhab Hanafi di bidang hukum Islam mendasarkan pada ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an, as-Sunnah, ijma, qiyas dan istihsan.
MAZHAB-MAZHAB
B. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki didirikan oleh Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi 'Amr. Beliau berasal dari Yaman yang merantau ke Madinah.
Murid-muridnya dari Mesir yang mengembangkan ajaran Mazhab Mailiki antara lain ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah Ibn Wahab Ibn Muslim Al-Qurasy (125 H – 197 H).
2. Abu Abdullah Abdur Rakhman Ibn Al Qasim Al-Utaqy.
3. Ashbagh Ibn Alfaj Al Amawy
4. Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ziyad Al Iskandary.
Murid-muridnya dari Afrika dan Andalusia yang mengembangkan ajaran mazhab Maliki antara lain ialah:
5. Abu Abdullah Ziyad Ibn Abdur Rakhman Al Qurtuby
6. Isa Ibn Dinar Al Andalusy
7. Abdul Malik Ibn Habib Ibn Sulaiman As Sulamiy
8. Abdul Hasan Ali Ibn Ziyad At Tunisy.
Untuk masa sekarang ini mazhab Maliki berkembang di sebagian negara Afrika Utara (Aljazair, Tunisia dan lain-lain), Sudan, Mesir. Sedangkan di Iraq,
Palestina dan Hijaz pengikut mazhab Maliki tinggal sedikit.
Dasar-dasar yang dipakai oleh Imam Malik dalam menentukan hukum-hukum Islam adalah: al-Quran, hadis, ijmak, qiyas, pekerjaan ulama-ulama
Madinah, perkataan sahabat, istikhsan, istishab, maslahat-mursalah, dan syari'at umat-umat terdahulu.
MAZHAB-MAZHAB
C. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi'i dalam menyusun mazhabnya menyesuaikan dengan mazhab ahli hadis dan mzhab ahli qiyas. Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat yang
diajarkan pada muridnya, yaitu:
1. Mazhab Qadim yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau ajarkan pada murid-muridnya ketika beliau diam di Iraq.
2. Mazhab Jadid yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau tetapkan dan beliau ajarkan kepada murid-muridnya setelah beliau bermukim di Mesir.
Antara kedua paham (pendapat) beliau ini ada perbedaannya. Pada masa sekarang ini para pengikut mazhab Syafi'i banyak mengikuti paham pendapat
yang beliau tetapkan di Mesir.
Adapun murid-murid imam Syafi'i yang mengajarkan mazhabnya adalah sebagai berikut:
3. Mazhab Qadim:
a. Ahmad Ibnu Hambal (164 H-241 H).
b. Abu Tsaur Ibn Ibrahim Ibnul Yamani Al Kalby (wafat ± 264 H).
c. Al Hasan Ibn Muhammad Ibn Shabah As Za'rafany (wafat ±260 H).
d. Abu Ali Al Husain Ibn Ali Al Karabitsy
MAZHAB-MAZHAB
2. Mazhab Jadid
a. Yusuf Ibn Yahya Al Buwaity (wafat :I-231 H).
b. Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al Muzany (175 H-264 H).
c. Ar Rabi' Ibn Sulaiman Ibn Abdul Jabar Al Murady (174 H-270 H).
d. Yunus Ibn Abdul Ahla Ashadafy (170 H-264 H).
e. Abu Bakar Muhammad Ibn Ahmad (Ibnul Hadad) (175 H - 245 H).
Mazhab Syafi'i berkembang sebagai hasil usaha para pengikutnya dan murid-muridnya bukan dengan bantuan kekuasaan para Khalifah seperti halnya
Hanafi dan Maliki.
Tempat-tempat atau daerah-daerah berkembangnya Mazhab Syafi’i antara lain adalah di Iraq, Mesir dan sebagian besar daerah di Asia Tenggaran
termasuk Indonesia.
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Mazhab Syafi'i dalam menetapkan hukum yaitu: al-Quran, as-Sunnah, qjyas, dan ijmak.
MAZHAB-MAZHAB
D. Mazhab Hambali
Mazhab Hambali ini dikembangkan Ibn Hilal Ibn Asad Asy Syaibany Al-Maruzy (164H-241H) para pengikut atau murid-muridnya antara lain:
a. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hamid (wafat ± 261 H).
b. Ishaq Ibn Mansur Ibn Bahrain (wafat ±251 H) di Naisabur.
c. Al Hasan Ibn Sabah Ibn Muhammad-Abu Ali Al Bazar (wafat ± 249 H).
d. Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ubaid Ibn Sufyan Abu Bakar Al Quraisy (208 H-281 H).
Tempat-tempat berkembangnya Mazhab Hambali adalah di Baghdad (Iraq) Mesir, dan sebagian besar di Hijaz.
Adapun dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam menetapkan hukum Islam ialah Al-Qur'an, fatwa sahabat, pendapat
sahabat yang mendekati Al-Qur’an dan as-sunnah, hadis mursal dan hadis dhaif serta qiyas.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
5. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Kelima: Masa Para Ulama Murajihhin (berlangsung antara tahun 350 H-656 H)
Periode kelima ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah. Pada masa ini dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, dimana tiap-tiap bagian
dikuasai oleh seorang Amir. Hal ini mengakibatkan tidak adanya persatuan dan kesatuan dari umat Islam sehingga umat Islam menjadi lemah dan mundur. Demikian juga
perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Kemerosotan dan kemunduran perkembangan hukum Islam juga disebabkan karena para ulama sudah
kehilangan keinginan untuk berijtihad seperti masa-masa sebelumnya.
Di samping kelemahan dan kemunduran dalam perkembangan hukum Islam namun masih ada juga usaha-usaha para ulama masa ini yang patut diketengahkan, yaitu:
a. Mereka berusaha menerangkan dasar-dasar hukum yang dipakai oleh para imam dalam menetapkan hukum.
b. Mereka masih mau menggunakan qiyas dalam masalah yang tidak ada nash al-Quran dari Imam mereka masing-masing.
c. Mentarjihkan antara pendapat-pendapat Imam yang berlainan dalam satu mazhab. Pentarjihan itu dari jurusan riwayat ataupun dari segi paham yang berbeda.
d. Mempertahankan mazhabnya masing-masing, yaitu dengan cara:
1) Menulis kitab-kitab yang menerangkan keutamaan dan kelebihan imam yang mereka ikuti.
2) Apabila terjadi perselisihan antara imam yang satu dengan yang lainnya maka mereka berusaha untuk mencari dalil/dasar hukum yang menguatkan pendapat
Imamnya.
3)Banyak melakukan perdebatan (munadharah).
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Adapun kitab-kitab mazhab yang disusun pada periode kelima ini antara lain ialah:
a. Mazhab Hanafi, kitab-kitabnya yaitu: al-mukhtasan, al-jamil'ul kabir, Khasanatul akmal, Taqwinul Adilah, dan AI-Asrar.
b. Mazhab Maliki, kitab-kitabnya yaitu: Al Munthakhabah, Al Watsa'iq, Al Akhkam, An Nawadhir, dan At Takhdhib.
c. Mazhab Syafi'i, kitab-kitabnya yaitu: Al-ahwi, Al-'Umdah, Al Majmu', Ta'liqah, dan Al-Mudhahab.
d. Mazhab Hanbali, kitab-kitab yang menjadi hasil karyanya yaitu: Al Qathi'yah, Al Miftah, Al Mufradat, Al Hidayat, dan Al Tadzkirah.
6. Perkembangan Hukum Islam Periode Keenam: Periode Para Muqallidin (656 H sampai dengan akhir abad
ke-13 H)
Keadaan umum pada periode keenam ini perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran yang cukup signifikan, bahkan yang lebih parah ijtihad
tidak diperbolehkan lagi atau dengan kata lain pintu ijtihad telah dinyatakan tertutup.
Walaupun keadaan fikih makin merosot karena ijtihad menjadi berhenti namun ada masa ini masih ada beberapa ulama yang berusaha untuk terus
berijtihad walaupun harus menerima rintangan yang tidak ringan. Ulama-ulama itu antara lain:
e. Al Imam Ibnul Amir Ismail Ash Sariany, yang mengarang kitab Subulus Salam.
f. Al Imam Asy Syaukani, yang mengarang Ainul Authar.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Pada masa ini para ulama menempatkan ulama-ulama mazhab yang sebelum maupun semasanya menjadi beberapa tingkat, yaitu:
a. Tingkat pertama disebut Ahlul Ijtihad Fil Mazhab. Yang termasuk ulama golongan ini adalah ulama yang tidak melakukan ijtihad secara mutlak dalam
segala bidang dan masalah. Mereka hanya berijtihad dalam beberapa kejadian baru menurut dasar-dasar ijtihad yang telah ditetapkan oleh para Imamnya.
b. Tingkatan kedua disebut Ahlul Ijtihad Fil Masa'il. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang berijtihad hanya dalam masalah yang tidak
diberikan hukumnya oleh imam-imam dengan menggunakan dasar-dasar yang telah dipergunakan oleh imam-imam mereka.
c. Tingkatan ketiga disebut Ahlul Takhriji. Yang termasuk golongan ini adalah ulama yang tidak berijtihad dalam menetapkan hukum melainkan menafsirkan
pendapat-pendapat yang singkat dari para Imam untuk diperjelas.
d. Tingkatan keempat disebut Ahlul Tarjiyah. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang membandingkan riwayat-riwayat yang bermacam-
macam yang diriwayatkan oleh para Imam dan menentukan mana yang lebih baik diikuti karena dianggap lebih sahih atau sesuai dengan qiyas.
e. Tingkatan kelima disebut Ahlul Taqlid. Yang termasuk golongan ini adalah ulama-ulama yang hanya mengikuti para Imam-imamnya saja.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
7. Perkembangan Hukum Islam Periode Ketujuh: Periode Kebangkitan Kembali (Akhir abad ke-13 H sampai
dengan sekarang)
Pada masa ini terdapat beberapa ulama yang menentang taqlid buta yaiutu yang hanya menbatasi ijtihad dalam batas-batas yang pernah dilakukan oleh para Imam
yang terdahulu saja. Golongan ini disebut golongan Salaf (Salafiyin).
Adapun ulama-ulama yang termasuk golongan Salafiyin dipelopori oleh beberapa ulama yaitu:
a. Al Imam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnul Qayyim (abad ke8H.
b. Muhammad Ibn Abdul Wahab (abad ke-12 H); beliau adalah pembangun gerakan Wahabi di Semenanjung Jazirah Arab.
c. Jamaludin Al Afghani (abad ke-13 H), sebagai seorang tokoh Islam yang mencetuskan tentang Pan Islamisme.
d. Imam Muhammad Abduh dan murid-muridnya, misalnya: Sayid Ridha.
Periode ketujuh ini juga disebut periode kebangkitan Isam atau periode Modernisasi Islam. Modernisasi Islam ini dimulai dari negara-negara Mesir, Turki, Pakistan,
India dan pengaruhnya juga sampai ke Indonesia.
Setiap petugas dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatn. Mereka berkewajiban untuk menegur dan memberi nasehat tentang kesusilaan (moral atau
akhlak buruk) baik secara preventif maupun represif. Tentu saja petugas-petugas negara dan masyarakat yang berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau
akhlak) itu wajib pula berkesusilaan (bermoral atau berakhlak baik). Dan karena kesusilaan (moral) dalam Negara Indonesia ini harus bersesuaian dengan norma
Ilahi, maka semua petugas mesti pula terdiri dari orang-orang yang bukan saja beragama, tetapi juga benar-benar hidup menurut norma-norma agamanya yang di
dalam Islam disebut orang yang bertaqwa”.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
Qawaidul Fiqhiyyah secara etimologi bermakna dasar-dasar yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih). Sedangkan menurut
ulama ushul, qawaidul fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun oleh ulama berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (Al-Qur'an dan sunnah)
melalui metode induktif. Qawaidul fiqhiyyah diakui sebagai asas hukum dalam pengambilan hukum Islam (fiqih).
Qawaidul fiqhiyyah ini berfungsi sebagai hukum asal (al-ashlu) mewakili nash-nash yang mendasari perumusan kaidah-kaidahnya ini. Dengan demikian,
proses analisis hukumnya menggunakan metodologi qiyas, hanya saja hukum asalnya (al-ashlu) berbentuk kaidah yang merupakan kesimpulan dari nash.
Qawaidul fiqhiyyah memiliki kegunaan praktis bagi umat Islam (khususnya bagi yang belum memiliki kemampuan untuk berijtihad) sebagai pedoman awal
dalam mengambil hukum atas suatu peristiwa konkrit yang dijumpai agar setidaknya telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil hukum. Dengan
adanya pegangan qawaidul fiqhiyyah para mujtahid akan lebih mudah dalam men-istimbath-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan kepada
masalah yang serupa dubawah satu qaidah.
Pada abad keempat atau kelima hijriah kitab qawaidul fiqhiyyah disusun tersendiri serta terpisah dari kitab ushul fikih. Penyusunan qawaidul fiqhiyyah
pertama kali dilakukan oleh Abu Thahir ad Dabbas yang hidup sekitar abad ketiga hijriah menyusun tujuh belas qawaidul fiqhiyyah. Kemudian oleh al Kharkhi
ditambah sehingga menjadi tiga puluh tujuh kaidah, kemudian disusul oleh ad Dabusi yang menyusun kitab Ta’sisun Nadhar yang berisikan kaidah-kaidah kullyyah
disertai hukum perinciannya. Baru mulai abad ketujuh hijriah bermunculan kitab-kitab qawaid yang disusun oleh ulama mazhab.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
B. Al-Qawaid Al-Khams
Terdapat lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang dikenal dengan al-qawaid al-khams yaitu:
Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hidup yang hakiki. Semua yang menjadi kepentingan hidup manusia harus diperhatikan.
Kepentingan-kepentingan hidup manusia dapat dibagi tiga : yaitu kepentingan primer atau kepentingan (pokok) (al-dharuriyat), kepentingan sekunder atau yang
tidak termasuk kepentingan pokok (al-hajiyat), dan kepentingan tertier atau kepentingan pelengkap, penyempurna (al-tahsiniyat atau al-kamaliyat). Yang
termasuk kepentingan-kepentingan primer (al-dharuriyat) adalah almaqashid al-khamsah atau al-kuliyat al-khamsah, sebagaimana diuraikan di atas.
Kepentingan sekunder adalah kepentingan-kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan manusia, agar hidup manusia tidak mengalami kesulitan. Yaitu
kepentingan yang kalau tidak dipenuhi tidak akan merusak kehidupan manusia, namun akan mendatangkan kesulitan dalam kehidupan mereka. Kepentingan
tertier ialah kepentingan-kepentingan yang apabila tidak dipenuhi, tidak akan mengakibatkan kesulitan hidup, apalagi akan merusaknya. Misalnya memakai
pakaian atau kendaraan yang bagus dan indah, menghindari hal-hal yang tercela dan sebagainya.
Terpenuhinya tiga kepentingan di atas akan menyempurnakan kehidupan manusia. Dengan demikian kepentingan yang termasuk tertier (al-tahsiniyat)
meyempurnakan yang sekunder (al-hajiyat), dan kepentingan sekunder (al-hajiyat) menyempunakan yang primer (al-dharuriyat). Kepentingan al-dharuriyat
merupakan induk tujuan hukum Islam.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tujuan diturunkannya syari’at (hukum) Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan
umat manusia di dunia dan di akhirat kelak.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
E. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada
hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalya, (1) munakahat, (2) wirasah,
(3) mu’amalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ‘ukubat, (5) al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7) mukhasamat.
Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya ; (2)
wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam ini disebut
juga hukum fara’id, (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli,
sewa menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah
hudud maupun dalam jarimah ta’zir, al-ahkam as-sulthaniya membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah
pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain (7)
mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
F. Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Hukum Islam, sebagai bagian agama Islam, melindungi hak asasi manusia. Kalau hukum Islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran (hukum)
Barat (Eropa, terutama Amerika) tentang hak asasi manusia., akan kelihatan perbedaanya. Perbedaan itu terjadi karena pemikiran (hukum) Barat memandang hak
asasi manusia semata-mata antroposentris, artinya berpusat pada manusia. Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, pandangan hukum
Islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada Tuhan. Manusia adalah penting, tetapi yang lebih utama adalah Allah. Allahlah pusat segala sesuatu.
Oleh karena perbedaan pandangan itu, terdapat perbedaan pokok antara Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang disponsori Barat dengan Deklarasi Hak-
hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh umat Islam. Deklarasi Kairo tahun 1990, misalnya, yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), di
dalamnya termasuk juga Indonesia.
Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa semua hak dan kebebasan yang terumus dalam deklarasi tunduk pada syariat atau hukum Islam. Satu-satunya
ukuran, mengenai Hak-hak Asasi Manusia, adalah syariat Islam.
Hak-hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu, kebanyakan hak ekonomi. Hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas, tidak boleh
bertentangan dengan asas-asas syariah. Dinyatakan pula bahwa semua individu sama di muka hukum. Ketentuan lain adalah keluarga merupakan dasar
masyarakat, wanita dan pria sama dalam martabat kemanusiaan. Hak atas hidup, dijamin. Pekerjaan adalah hak individu yang dijamin oleh negara. Demikian juga
hak atas pelayanan kesehatan, sosial dan kehidupan yang layak. Ditegaskan pula bahwa tidak ada saksi, kecuali yang ditentukan dalam syariat atau hukum
Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Dalam pepatah :
adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mangato adat memakai. Menurut Hamka, makna pepatah ini dalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’)
erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.
Dalam buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu, hubungan hukum
adat dengan hukum Islam di Indonesia terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan, sikap penguasa jajahan terhadap kedua
sistem ukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam).
Menurut van Vollenhoven, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau
hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak bolah terjadi di Hindia Belanda.
B. ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut ter Haar, antara hukum adat dengan
hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama, karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat,
sedangkan hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum saja. Karena perbedaan titik tolak itu, timbulah pertentangan yang kadang-kdang dapat diperlunak
tetapi seringkali tidak. Karena itu, secara teoritis hukum Islam tidak dapat diterima, karena itu wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dibatasi sampai
ke bidang yang sekecil-kecilnya.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Para penulis Barat/Belanda selalu menggambarkan kelanjutanya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam) keduanya seakan-
akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataanya tidaklah demikian, karen di kalangan
adat terdapat orang-orang alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat.
Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara hukum Islam dengan
hukum adat di Minangkabau. Secara teoretis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin dislesaikan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidaklah demikian
halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam Perang Pederi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap
mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu adalah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Al-Qur’an). Rumusan itu diperkuat
seminar hukum adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan bahwa pembagian warisan orang
Minangkabau, untuk (I) harta pusaka tinggi diperoleh turun-temuran dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian,
yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara’ (hukum Islam).
Bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum Islam adalah
penyempurnaan huku adat”. Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Dalam melaksanakan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan hukum adat sebagai dasar
untuk mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang dipergunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam ( contra legem), tetapi terbatas pada
hukum adat yang serasi dengan asas-asas hukum Islam (mahdi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran yang mengatakan bahwa adat yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana atau cara pembentukan hukum Islam.
Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori hukum Islam yang telah
diuraikan di atas, yang mengatur semua tingkah laku manusia Muslim di segala lingkungan kehidupan dalam masyarkat.
Ke dalam ketegori kaidah terkahir ini (ja’iz atau mubah) agaknya adat dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah
air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tentunya tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.
Di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar urf atau adat kaena para ahli hukum telah menjadikan urf atau adat sebagai
salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuh.
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakuli oleh pendapat umum
2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak
5. Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Yang dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum adalah susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara
tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan atau sistem hukum yang berlaku di
Indonesia.
Sistem hukum Indonesia, bersifat majemuk. karena sampai sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang
mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai
berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada
permulaan abad ke-20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini.
Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan "menguasai" kepulauan
Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun 1602. Mula-mula hukum Barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda dan Eropa saja, tetapi
kemudian, dengan berbagai peraturan dan upaya, dinyatakan berlaku bagi orang Asia dan dianggap berlaku juga bagi orang Indonesia yang menundukkan dirinya
pada hukum Barat dengan sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di lapangan keuangan, perdagangan dan ekonomi pada umumnya.
Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi. Ibnu Batutah seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. la
mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik AI-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu,
selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam.
Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’ dari Pasailah disebarkan paham Syaf'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di
Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai
masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarkat.
Secara tradisional biasanya, ilmu agama yang diberikan adalah (1) ilmu kalam, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu tasawuf. Namun, karena sejarah masuknya
dan keadaan di Indonesia, ilmu agama yang diajarkan pada waktu itu dimulai dari (1) ilmu tasawuf, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu kalam. Dengan sistem
pendidikan yang demikian, secara damai menyebarlah ajaran Islam ke seluruh kepulauan Indonesia, Nuruddin Ar-Raniri yang hidup di abad ke-17 menulis buku
hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim (Jalan Lurus) pada tahun 1628. Kitab hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam
pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Namanya Sabilal Muhtadin, yang kini menjadi nama sebuah masjid besar (Sabilal Muhtadin) di
Banjarmasin.
Hukum Islam diikuti dan dilaksanakari juga oleh para pemeluk agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan kemudian
Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu. Di antara karya tersebut dapat disebut misalnya Sajinatul Hukum.
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh itu
merupakan penetration pasifique, tolerante et constructive (penetrasi secara damai, toleran dan membangun).
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Implementasi hukum Islam dalam kehidupan bernegara hingga saat ini mengalami perkembangan yang signifikan, sebagai contoh misalnya dalam dunia hukum
ekonomi. Hukum ekonomi Islam saat ini marak diterapkan dalam lembaga-lembaga keuangan, misalnya dalam dunia perbankan dikenal adanya bank berdasarkan prinsip
syariah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditahun 2006 juga mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
memperluas kewenangan Peradilan Agama untuk berwenang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Dengan demikian implementasi hukum perdata Islam melalui postivisasi hukum Islam relatif berhasil dilaksanakan dengan optimal, baik dalam bidang hukum
keluarga maupun hukum ekonomi. Sedangkan dibidang hukum publik, khususnya hukum pidana Islam belum dapat dilakukan, kecuali di Provinsi Naggroe Aceh
Darussalam.