Anda di halaman 1dari 104

HUKUM ISLAM

OLEH
DR. TOLKAH, S.H., M.H.
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama pembebasan dari zaman jahiliyah, kemudian Islam menjadikannya menjadi bangsa yang
berperadaban tinggi (civilized nation).
Secara etimologi Islam berasal dari kata salama yang artinya selamat atau juga bisa berarti menyerahkan diri.
Sedangkan kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu hukm/alhukm yang mengandung
makna mencegah atau menolak.
Istilah hukum dalam Islam mempunyai dua pengertian, yaitu syariah dan fikih. Syariat terdiri wahyu Allah dan
sunnah Nabi Muhammad, sedangkan fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman tentang syariah.
Syariah dalam pengertian etimologi adalah jalan ke tempat mata air, atau tempat yang dilalui air sungai, kemudian
syariah dalam pengertian terminologi adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhluk lainnya di alam
lingkungan hidupnya. Sedangkan fiqh (fikih dalam bahasa Indonesia) secara etimologi artinya paham, pengertian, dan
pengetahuan. Fikih secara terminologi adalah hukum syarak yang bersifat praktis/amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil
yang terperinci.
PENDAHULUAN
Perbedaan yang mendasar antara syariat dan fikih, yang perlu kita pahami dalam hal mempelajari hukum Islam adalah sebagai berikut:
1. Syariah adalah wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-Nya, sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang
memenuhi syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu sendiri.
2. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai ruang-lingkup yang lebih luas, karena kedalamannya oleh banyak ahli dimasukkan juga
akidah dan akhlak. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya
disebut sebagai perbuatan hukum.
3. Syariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya oleh karena itu berlaku abadi, sedangkan fikih adalah karya manusia yang tidak
berlaku abadi, melainkan dapat berubah dari masa ke masa dan karena perbedaan tempat.
4. Syariah hanya satu, sedangkan fikih mungkin lebih dari satu.
5. Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedangkan fikih, menunjukkan adanya keberagaman.
Islam merupakan agama hukum, dimana sumber hukum utama dari hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ada juga sumber
hukum pelengkap, yaitu Ijmak dan Qiyas. Hal demikian dapat disimpulkan dari Q.S. An-Nisa’ (4) ayat 59, yang artinya:
"Hai, orang-orang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul, serta Ulil Amri (atau pemerintah yang berkuasa
diantara kamu)"
PENDAHULUAN
Menurut Abu Ishaq al-Shatibi (m.d. 790/1388) terdapat lima tujuan hukum Islam, yaitu untuk memelihara (1) agama (al-muhafazhah ala
ad-din), (2) Jiwa (al-muhafazhah ala an-nafs), (3) akal (al-muhafazhah ala al-‘aql), (4) keturunan (al-muhafazhah ala an-nasl), dan (5) harta (al-
muhafazhah ala al-mal). Para ilmuwan dalam bidang hukum Islam, mereka menamakannya al-maqasid al-shariah.
Sistem-sistem hukum di dunia Islam sekarang secara garis besar bisa dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu (1) sistem-sistem yang masih
mengakui Syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh, contohnya adalah Arab Saudi dan Wilayah
Utara Nigeria; (2) sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantikannya dengan hukum yang sekuler, contohnya adalah Turki yang
menyatakan Syariah tidak berlaku lagi dan selanjutnya secara drastis mengambil alih hampir secara utuh peraturan-peraturan hukum Eropa, dan
(3) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut, dalam arti sistem ini mengambil jalan moderat di antara dua sistem hukum
yang ekstrim, contoh kelompok ini diantaranya adalah Mesir, Sudan, Lebanon, Suriah, Yordania, Irak, Tunisia, dan Maroko.
Dalam kontek sosiologi masuknya Islam ke , Indonesia berlangsung secara damai (penetration passifique).
Masuknya Islam di Indonesia diikuti oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian dapat menggantikan dominasi kerajaan-kerajaan
Hindu dan Budha yang sudah ada sebelumnya.
Mengenai dasar berlakunya hukum Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dalam analisis ahli hukum Belanda melahirkan dua macam
teori, yaitu teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg dan teori receptie yang dikemukakan
oleh Christian Snouck Hurgronje. Kedua teori ini antara satu dengan yang lain saling bertolak belakang.
PENDAHULUAN
Teori receptio in complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg pada intinya menyatakan
bahwa, hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang; Kalau orangnya beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku
baginya. Menurutnya orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya.
Sedangkan teori receptie yag dikemukakan Christian Snouck Hurgronje menyatakan bahwa yang berlaku bagi orang Islam
bukanlah hukum Islam tetapi hukum adat. Hukum Islam baru berlaku di kalangan masyarakat apabila telah diresepsi oleh hukum
adat.
Teori mengenai dasar berlakunya Hukum Islam di Indonesia juga telah dikemukakan oleh para ahli hukum Indonesia sendiri
yang ditujukan untuk mengcounter teori receptie, sebagaimana yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje. Teori
dimaksud yaitu teori receptio exit yang dikemukakan oleh Hazairin dan teori receptio a contrario yang dikemukakan oleh Sajuti
Thalib.
Teori receptio exit menyatakan bahwa teori receptie sudah keluar, karena tidak sejalan dengan hukum di Indonesia,
kemudian teori receptio a contrario menyatakan bahwa Hukum Islam yang berlaku bagi masyarakat tidak memerlukan adanya
penerimaan (receptie) dari hukum Adat, melainkan didasarkan pada kenyataan bahwa Hukum Islam juga merupakan hukum yang
hidup (living law) layaknya hukum adat. Di samping itu Hukum Islam juga dapat. berlaku dalam kehidupan bernegara melalui
positivisasi hukum, dengan memasukkan nilai-nilai atau asas-asas hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Fakta menunjukkan hingga sekarang ini masih terdapat tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu Hukum Adat, Hukum Barat, dan Hukum
Islam. Hukum Islam dalam perkembangannya juga tidak bisa steril atau menafikkan dirinya dari pengaruh-pengaruh sistem Hukum Adat dan
Barat.
Adanya interaksi tersebut memang tidak berarti seluruhnya memiliki muatan negatif, tetapi ada juga sisi-sisi yang baik atau positif, yaitu
yang bersifat administratif maupun substantif, yang justru diperlukan kehadirannya dalam rangka menempatkan hukum Islam agar dapat
mengantisipasi kebutuhan hukum masyarakat demi kepastian hukum.
Namun demikian pembaharuan hukum Islam di Indonesia agak lamban perkembangannya dibandingkan dengan negara-negara Islam
di Timur Tengah dan Afrika Utara, karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masih kuat anggapan bahwa taqlid (mengikuti pendapat
ulama dahulu), masih cukup untuk menjawab persoalan-persoalan kontemporer, dan kebanyakan ulama merasa lebih umum mengikuti
pendapat ulama terdahulu daripada melakukan ijtihad sendiri. Kedua, hukum Islam di Indonesia dalam konteks sosial politik masa kini sellau
mengundang polemik karena berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Ketiga, persepsi sebagian masyarakat
yang mengindentikkan fikih sebagai hasil kerja intelektual agama yang kebenarannya relatif dengan syariat yang merupakan produk Allah dan
bersifat absolut.
Hukum Islam dan Hukum Adat untuk bisa berlaku dalam sebuah negara terlebih dahulu harus melalui positivisasi, yakni memasukkan
prinsip­prinsip hukum (Islam maupun Adat) ke dalam peraturan perundang-undangan.
PENDAHULUAN
Mengenai implementasi Hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia Noel J. Coulson mengkategorikan ke dalam empat corak,
yaitu (1) Dikodifikasikannya Hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan, (2) Tidak terikatnya umat Islam pada hanya satu mazhab
hukum tertentu, yang disebut dengan doktrin takhayur atau setidak-tidaknya melakukan talfiq, (3) Penerapan hukum sebagai akomodasi nilai-
nilai baru, (4) Perubahan hukum yang baru.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dipandang sebagai pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Sebagian
isi dari Kompilasi Hukum Islam untuk pegangan para hakim Pengadilan Agama Indonesia merupakan pembaharuan hukum bentuk 2 (doktrin
takhayyur) dan 4 (doktrin tathbiq) Coulson dalam arti pembaharuan hukum ijtihadi.
Dalam menyelesaikan pertautan hukum Islam dengan nilai-nilai pra Islam dan Hukum Islam dengan perubahan sosial di dalam
masyarakat sudah lama dilancarkan apa yang dinamakan gerakan pembaharuan (bisa disebut dengan gerakan tajdid).
Hukum islam pada hakikatnya merupakan bidang hukum yang selalu up date karena memiliki daya elastis. Elastisitas hukum Islam dapat
dilihat antara lain dari sedikitnya jumlah ayat hukum (ayat al-ahkam) dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis hukum (al-hadis al-ahkam) dan itupun
pada umumnya hanya memuat norma-norma dasar yang bersifat umum dan global.
PENDAHULUAN
Upaya memasukkan nilai-nilai hukum Islam dalam hukum positif di negara Indonesia sebagaimana telah disebutkan di atas berawal
dengan diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang didalamnya memuat nilai-nilai Islam di bidang
perkawinan, Implementasi hukum Islam di negara Indonesia semain kokoh dari sisi penegakannya setelah diundangkannya Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tertentu yang dialami oleh
orang Islam mempunyai kedudukan yang sejajar dengan lingkungan peradilan lain, yakni memiliki kewenangan untuk mengeksekusi
putusannya sendiri tanpa perlu terlebih dahulu mendapatkan fiat executie dari Peradilan Umum.
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilsi Hukum Islam (KHI), mengatur mengenai masalah perkawinan, kewarisan, hibah,
wakaf dan shadaqah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Dasar ditaatinya KHI sama dengan ditaatinya hukum Islam secara umum
dan hukum adat, yaitu bahwa kesemuanya merupakan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat ( living law).
Kewenangan Peradilan Agama menjadi semakin luas, sejak diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahaan
Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Peradilan
Agama untuk dapat menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah, dapat juga diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional,
dan khusus untuk perbankan dapat melalui Lembaga Mediasi Perbankan.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
A. Sumber Hukum Menurut Ilmu Hukum
Dalam ilmu hukum, sumber hukum dibedakan kepada:
1. Sumber hukum materil (welbron).
2. Sumber hukum formil (kenbron).
Sumber hukum materil atau sumber isi hukum ialah sumber yang menentukan corak isi hukum, atau sesuatu yang tercermin dalam isi
hukum, yaitu sebagai norma yang harus ditaati sebagai hukum. Pembicaraan sumber hukum materil merupakan salah satu bidang kajian
filsafat hukum.
Sumber hukum formil adalah pembicaraan ilmu hukum, bukan pembicaraan filsafat hukum. Sumber hukum formil atau bentuk-bentuk
dimana kita dapat menemukan atau mengenal hukum yang berlaku sebagai hukum positif di suatu negara. Sumber hukum formil dalam ilmu
hukum adalah:
3. Perundang-undangan
4. Kebiasaan (hukum adat, common law);
5. Hakim (yurisprudensi, judge made law).
6. Perjanjian (traktat, pacta sunt servanda);
7. Ilmu pengetahuan hukum (doctrine).
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
B. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum
Dalam bahasa Arab, kata “sumber” adalah pemahaman dari kata “masdar”, jamaknya “”mashadir”, artinya asal dari segala sesuatu atau
tempat merujuk segala sesuatu.
Kata “dalil” jamaknya al-adillat, secara etimologi mempunyai arti petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat hissi (indrawi) maupun
maknawi (non indrawi). Secara terminologi, dalil hukum adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh atau
menemukan, mendapatkan hukum (syara’) baik yang qath’iy (pasti) maupun dzanny (relatif).
Istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum (adillat al-ahkam), oleh sebagian ulama, kadang-kadang diartikan untuk
makna yang sama. Sebagian ulama ada yang membedakan penggunaan dua istilah tersebut. Menurut pendapat yang terakhir bahwa sumber
hukum (mashadir al-ahkam) adalah asal hukum atau rujukan hukum, sedang adillat al-ahkam adalah tempat ditemukannya atau sesuatu yang
menunjuk kepada adanya hukum.
Pengertian istilah “sumber hukum” (mashadir al-ahkam) sama dengan kandungan pemahaman “sumber hukum materil” (sumber isi)
dalam ilmu hukum). Sedangkan pengertian “dalil hukum” (adillat al-ahkam), adalah sama dengan kandungan pemahaman pengertian
“sumber hukum formil” (sumber kenal) dalam ilmu hukum.
 
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
C. Sumber Hukum Islam
Dalam pandangan Islam, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT, untuk beribadat kepada-Nya. Dia menurunkan petunjuk (al-din
syari’at), bagi kehidupan manusia, melalui firman-Nya, sebagaimana terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an yang kemudian dijelaskan oleh utusm
(Rasul)-Nya.
Dialah pencipta syariat (syari’), pencipta hukum bagi makhluk ciptaan-Nya, kebenaran mutlak bersumber dari pada-Nya, dan Dialah
pemilik mutlak segala apa yang ada di langit dan dibumi serta diantara keduanya.
Allah SWT berfirman dalam QS. AL-An’am ayat 57, yang artinya: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang ragu”.
Untuk menjelaskan hukum dalam firman Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an, kemudian Allah SWT, mengirimkan utusan
atau Rasul-Nya. Perintah mengikuti nilai yang keluar dari utusan-Nya (Sun­nah), sama kuat dengan perintah untuk mengikuti nilai yang
terdapat dalam al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr ayat 7, yang artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan”.
Dengan demikian sumber (asal), atau isi (materi) hukum ( welbron), atau rujukan dalam menetapkan hukum, menurut pandangan Islam
adalah kehendak atau aturan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kehendak Tuhan tersebut termaktub dalam firman-Nya yaitu al-Qur’an
yang dijelaskan melalui utusan atau Rasul-Nya (Sunnah). Maka dapat disimpulkan bahwa sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) atau
“sumber meteril” sebagaimana dipahami dalam ilmu hukum, adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
 

D. Dalil Hukum Islam


Dalam al-Qur'an ada ketentuan yang tidak bisa dicampuri oleh akal manusia (lihat uraian pengertian syari'at yang bersifat qath'iy teru ­
tama dalam bagian ibadah mahdlah, namun ada pula yang bisa dicampuri oleh pemikiran (ijtihad) manusia terutama dalam bagian muamalat
(lihat uraian pengertian fiqh yang bersifat dzanny).
Manusia diberi kewenangan oleh Allah SWT, untuk menggunakan akal fikiran dalam kehidupannya sebagai khalifatan fi al-ardli,
sebagai penguasa (khalifah) di bumi, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah ayat 30, yang artinya:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”.
Dalam kasus-kasus tertentu, manusia diberi kewenangan untuk menyelesaikan sendiri (hukum) masalah yang dihadapinya
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan HR. Muslim:
“Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu”.
Dari pemahaman bahwa hukum itu berasal dari Tuhan, yang dapat kita ketahui melalui firman-Nya dalam al-Qur'an dan sabda
(penjelasan) Rasul Nya (Sunnah), atau melalui hasil pemikiran manusia melalui ijtihad­nya, maka dalil hukum atau sumber hukum formil
(kenbron) sebagaimana pemahaman dalam ilmu hukum, kembali kepada, pertama, Naqliyah (al­Qur'an dan as Sunnah); dan kedua, ‘Aqliyah
(ijtihad).
Jadi dalil atau sumber (formil) hukum Islam tersebut ada yang berasal dari dimensi Ilahi dan ada yang berasal dari potensi insani.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
Sedangkan al-ijtihady adalah proses upaya penggalian melalui akal pikiran manusia (ra'yu) dari al-wahyu al-ilahy, bagi masalah-masalah
yang belum jelas atau tidak secara tegas disebut hukumnya dalam al-Qur'an, sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 59, yang
artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian. Jika kamu berselisih
di dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Qur'an) dan kepada Rasul (Sunnah)”.
Perintah untuk mengembalikan apabila terjadi berlainan pendapat (sesuatu yang diperselisihkan), kepada al-Qur'an dan Sunnah,
diartikan oleh para-ulama adalah menggunakan akal pikiran atau ra’yu.
Kedudukan a!-Qur'an, ia sebagai sumber hukum (mashdar al-ahkam) dan juga sebagai dalil hukum (adillat al-ahkam).
Sunnah Nabi, yaitu perkataan, perbuatan dan penetapan (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) Nabi Muhammad saw, merupakan penjelasan
(bayan) terhadap al-Qur'an. Fungsi sunnah sebagai bayan tersebut bisa menguatkan (bayan ta'kid), menafsirkan atau memperjelas (bayan
tafsir) atau mendatangkan hukum baru, dalam hal al-Qur'an tidak menyebutkan hukumnya (bayan tasyri’). Kedudukan Sunnah adalah dalil
hukum yang kedua setelah al-Qur'an. Sama seperti al-Qur'an, Sunnah menempati kedudukan sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) dan
kedudukan sebagai dalil hukum (adillat al-ahkam).
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
Hukum Allah yang didatangkan melalui nash (al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi) dapat ditemukan dalam tiga hal :
1. Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafadz (ungkapan kata atau kalimat al-Qur'an atau Sunnah, menurut yang disebutkan secara harfiah.
Bentuk ini disebut "Hukum yan tersurat dalam nash".
2. Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafadz al-Qur'an atau Sunnah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari
lafadz yang tersebut dalam al-Qur'an atau Sunnah. Hukum dalam bentuk ini disebut "Hukum yang tersirat di balik lafadz nash".
3. Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafadz al-Qur’an dan sunnah dan tidak pula dari isyarat suatu lafadz yang ada dalam al-Qur’an dan
sunnah, tetapi dapat ditemukan dalam jiwa (ruh atau semangat) dari keseluruhan maksud Allah SWT dalam menetapkan hukum. Hukum Al lah
dalam bentuk ini disebut “hukum yang tersembunyi di balik nash”.
Dalam bentuk hukum pada butir 1, ra’yu (ijtihad) tidak berperan, tetapi dalam memahami hukum butir 2 dan 3, peranan ra’yu tersebut, sangat
diperlukan.
Ijtihad sebagai bentuk upaya yang sungguh-sungguh dalam rangka menemukan dan menggali hukum, bisa dilakukan oleh perorangan
(individual) atau oleh kelompok. Oleh karena itu ijtihad dapat berupa :
4. Ijtihad individual (fardy); atau
5. Ijtihad kelompok (kolektif jama’iy)
Kegiatan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy), kemudian dikenal dengan istilah ijma’. Sedangkan kegiatan ijtihad individual (ijtihad fardy) dikenal
dengan beberapa bentuk dan istilah, antara lain qiyas.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
Keempat dalil hukum (kenbron) tersebut di atas yaitu: (1) AI-Qur'an, (2) As-Sunnah, (3) Ijma' dan (4) Qiyas, adalah dalil hukum yang
telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama). Sedang dalil hukum yang belum disepakati oleh mereka antara lain Istihsan, Mashlahat
Mursalah, Istishhab, ‘urf, Mazhab Shahaby dan Syar’u man Qoblana.

 AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
Para ulama memberikan definisi tentang Al-Qur’an sebagai Kalamullah (firman Allah) yang mengandung mujizat diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan
secara mutawatir, terdapat dalam mushhaf dan membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surat AL-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Nas. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6240 ayat .
Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur selama sekitar-23 tahun atau dalam Masa 22 tahun 2 bulan dgn 22 hari. Masa 13 tahun
turun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi hijrah ke Madinah disebut ayat Maki yyah,
sedang, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi hijrah ke Madi­nah disebut ayat Madaniyyah.
Surat Madaniyyah sebanyak 11/30 dari isi al-Qur'an, sedangkan Surat Makiyyah berjumlah 19/30 dari isi al-Qur’an yang berjumlah 4.780
ayat.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
B. Kandungan Isi Al-Qur'an
Hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an secara garis besarnya terbagi kepada tiga:
1. Hukum i'tiqadiyah yaitu yang mengatur hubungan rohaniah antara manusia dengan Tuhan dan hal-hal yang menyangkut dengan keimanan. Hukum dalam bidang ini
kemudian berkembang menjadi ilmu ushuluddin (ilmu kalam, ilmu tawhid).
2. Hukum khuluqiyah yang menyangkut tingkah laku dan moral lahir manusia dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hukum ini berkembang kemudian menjadi
ilmu akhlak (ilmu Tasawwuf).
3. Hukum 'amaliyah yang menyangkut hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Hukum dalam bidang
ini berkembang menjadi ilmu syari'ah (dalam arti sempit), atau Ilmu Fiqh.
Hukum syari'ah (dalam arti sempit) secara garis besarnya terbagi kepada dua :
4. Hukum-hukum ibadat (dalam arti khusus) atau Fiqh Ibadat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan lahiriah antara manusia dengan Tuhan, seperti shalat,
puasa, haji dan ibadah lain­nya. Perbedaan ibadat dengan aqidah atau i'tiqadiyah, terletak pada hubungan yang berlaku. I'tiqadiyah dalam bentuk hubungan ro­haniah
sedangkan ibadat adalah bentuk hubungan lahiriah.
5. Hukum-hukum muamalat dalam arti luas atau Fiqh Muamalat, yaitu ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam
sekiatarnya. Hukum-hukum muamalat ini dirinci menjadi beberapa bidang hukum : Hukum muamalat, Hukum perkawinan, Hukum waris, Hukum pidana, Hukum acara
pidana, Hukum tata negara, Hukum antar bangsa (internasional).
Hukum yang keluar dari Al-Qur’an sebagai sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang utama, pada umumnya masih bersifat global (ijmaly) hanya beberapa bagian
hukum yang sudah rinci, seperti pengaturan tentang hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Selanjutnya rincian terhadap hukum yang masih global tersebut kemudian
dijelaskan oleh Muhammad SAW dalam sunnahnya.
SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM
C. Kehujjahan Al-Qur’an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur'an adalah sumber hukum dan dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah SWT, dan wajib diamalkan oleh manusia.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjah dengan al-Qur'an adalah:
1. A-Qur’an diturunkan kepada Rasuluulah SAW, diketahui secara mutawatir, hal ini memberikan keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah SWT,
melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW, yang dikenal orang yang paling dipercaya.
2. Ayat-ayat Al-Qur'an menyatakan bahwa Al-Qur'an itu datang dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ayat 105 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”.
3. Kemu’jizatan Al-Qur'an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran Nabi SAW yang membawa risalah Ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan dan kemampuan
umat manusia.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur'an menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi oleh akal manusia diantaranya adalah:
a. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, seperti kata al-haya (hidup) dan al-maut (mati), sama
berjumlah 145 kali, al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) sama berjumlah 17 kali.
b. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Qur'an seperti dalam QS Yunus ayat 92, dikatakan bahwa “Badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai
pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya”. Apapun yang dikatakan Al-Qur'an terbukti dengan ditemukannya mummi Fir’aun tersebut oleh Arkeolog Loret pada tahun
1896 dan sampai sekarang mummi tersebut tersimpan utuh di Museum Mesir.
c. Banyak syarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Qur'an, seperti surat QS. Yunus : 5, dikatakan “ Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan
adalah pantulan (dari cahaya matahari). Selanjutnya dalam QS. A-Naml ayat 88 disebutkan “bahwa gunung-gunung itu berjalan sebagaimana jalannya awan”. Hal ini
menunjukan bahwa bumi berputar pada porosnya dan beredar mengelilingi matahari.
SUNNAH
A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti “jalan yang biasa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan” atau
“kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuatu yang baik atau buruk.
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah) Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah "segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw
berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
B. Macam-macam Sunnah
Berdasarkan definisi Sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqh di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadir al­
ahkam) dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam yaitu:
1. Sunnah filiyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain.
2. Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan Nabi saw. yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
3. Sunnah taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi Nabi hanya
diam dan tidak mencegahnya.
SUNNAH
Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya Rawy yaitu orang yang menyampaikan atau yang menjadi sumber berita, Sunnah (Hadits) itu
terbagi kepada dua macam, yakni Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
a. Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir ialah suatu hadits hasil tanggapan dari pancain­dera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rway, yang menurut adat
kebiasan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
b. Hadits Ahad
Hadits Ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawy, tapi jumlah tersebut tidak sampai derajat mutawatir.
Hadist Ahad dibedakan menjadi Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib.
1) Hadits Masyhur
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun tidak mencapai derajat mutawatir.
2) Hadits Aziz
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh sedeikitnya dua orang rawy, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah (lapisan)
saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3) Hadits Gharib
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawy, walaupun seorang rawy tersebut hanya dalam satu thabaqah (lapisan), kemudian
setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
SUNNAH
Sedangkan kalau ditinjau dari segi kualitas orang-orang yang meriwayatkannya sehingga berpengaruh kepada kualitas diterima atau
ditolaknya suatu hadits, maka hadits dapat dibedakan menjadi hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dlaif.
a. Hadits Shahih
Hadits Shahih ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawy yang adil, sempurna (kuat) ingatannya, sanadnya bersambu-sambung, tidak
ber’illat, dan tidak janggal (syadz).
b. Hadits Hasan
Hadits Hasan ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang adil, namun kurang kuat ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak
ber'illat dan tidak janggal.
c. Hadits Dla'if
Hadits Dla’if ialah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
SUNNAH
C. Kitab-Kitab Hadits
Beberapa kitab hadits terkenal yang merupakan himpunan hadits para ulama antara lain enam kitab hadits terkenal yang disebut Kutub
As Sittah, sebagai berikut:
1) Jami’ al-Shahih (Shahih Bukhari). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Bukhari (194-252 H/810-870 M).
2) Jami al-Shahih (Shahih Muslim). Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Muslim (204-261 H/820-875 M).
3) Sunan Abi Dawud. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Abu Dawud (202-275 H/817-889 M).
4) Sunan Turmudzy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam At-Turmudzy (200-279 H/824-892 M).
5) Sunan An-Nasa’iy. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam An-Nasa’iy (215-303 H/839-915 M)
6) Sunan Ibnu Majah. Kumpulan hadits yang dihimpun oleh Imam Ibnu Majah (207-273 H/824-887 M).
SUNNAH
D. Kehujjahan Sunnah
Para ulama sepakat mengatakan bahwa Sunnah Rasulullah saw dalam tiga bentuk di atas (fi’liyyah, qauliyyah dan taqririyyah) merupakan sumber hukum Islam
(mashadiral-ahkam, adillatal-ahkam), yang menempati posisi kedua setelah al-Qur'an.
Alasan yang dikemukakan para ulama mengenai kehujjahan Sunnah tersebut, didasarkan kepada firman Allah SWT dan Sunnah Nabi sendiri, antara lain :
QS. An-Nisa ayat 59, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan penda­pat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al­Qur'an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada AIIah dan hari kemudian”.
HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya: “Sesungguhnya pada saya telah diturunkan Al-Qur'an dan yang semisalnya”.

E. Fungsi Sunnah
Sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an masih bersifat global (ijmaly), yang masih memerlukan Penjelasan dalam implemen­tasinya. Fungsi sunnah yang
utama adalah untuk menjelaskan al-Qur'an, sebagaimana dalam QS. An-Nahl ayat 44, yang artinya: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menjelaskan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
Dalam kedudukan sebagai sumber dan dalil hukum kedua, sunnah menjalankan fungsinya sebagai berikut:
1. Bayan Ta’kid. Bayan ta’kid yaitu menetapkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an.
2. Bayan Tafsir. Bayan tafsir yaitu memberikan penjelasan arti yang masih samat dalam Al-Qur'an, atau memperinci apa-apa yang dalam Al-Qur'an disebutkan secara
garis besar, membatasi apa-apa yang oleh Al-Qur'an disebutkan dalam bentuk umum atau memberi batasan terhadap apa yang disampaikan Allah secara mutlak. Perintah
shalat disampaikan Al-Qur'an dalam arti yang ijmal, yang masih samar, artinya karena dapat saja dipahami dari padanya semata doa sebagai yang dikenal secara umum
pada waktu itu. Kemudian nabi melakukan perbuatan shalat secara jelas dan terperinci dan menjelaskan kepada umatnya: “Inilah salat itu dan kerjakanlah salat itu
sebagaimana kamu lihat aku mengerjakannya”.
3. Bayan Tasyri. Yaitu menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah yang secara jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur'an.
IJTIHAD
Apabila, manusia menemukan masalah-masalah yang belum terdapat secara jelas hukumnya dalam nash (teks Al-Qur'an dan sunnah nabi), maka
manusia mempunyai dan diberi kebebasan oleh Allah SWT untuk menggunakan akal pikirannya (ijtihad) dalam memecahkan masalah tersebut.
Kebebasan yang dimiliki oleh manusia ini, tetap harus memperhatikan petunjuk, pedoman dan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam Al-Qur'an dna
sunnah nabi.
Kegiatan ijtihad kolektif (ijtihad jama’iy) kemudian dikenal dengan istilah ijma’. Sedangkan ijtihad individual (ijtihad fardy) dikenal dengan
beberapa bentuk dan istilahnya.

A. Pengertian dan Lapangan Ijtihad


Secara etimologis ijtihad berarti "mencurahkan segala kemampuan", atau "memikul beban”.
Dalam pengertian terminologis, ijtihad berarti "mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara' (hukum Islam) tentang suatu
masalah dari sumber ( dalil) hukum yang tafshily (rinci). Lapangan ijtihad meliputi:
1. Masalah yang belum disebutkan atau belum ada hukumnya secara khusus dalam nash (Al-Qur'an dan as-sunnah)
2. Masalah yang belum jelas disebutkan hukumnya dalam nash.
B. Kehujjahan Ijtihad
Ijtihad merupakan kegiatan yang dibenarkan, bahkan dianjurkan oleh Allah SWT, sebagai pencipta syari’at (syari’) dan oleh RasulNya., yang
didasarkan pada QS. An-Nisa ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”.
Dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. al-Tirmidzi, yang artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal yang salah”.
IJTIHAD
C. Syarat-syarat Ijtihad
Seseorang yang akan melakukan ijtihad, harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Menguasai al-Qur'an dengan segala ilmunya. Artinya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur'an terutama yang berhubungan dengan
masalah hukum.
2. Menguasai sunnah nabi dengan segala ilmunya. Artinya memiliki pengetahuan yang luas tentang sunnah nabi, terutama yang berkaitan dengan masalah
hukum.
3. Mengetahui dan menguasai masalah-masalah yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu masalah yang telah menjadi ijma.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan ilmu logika, yang akan dipergunakan dalam proses istinbath hukum;
5. Menguasai bahasa Arab dengan segala ilmunya, karena Al-Qur'an dan al-sunnah sebagai sumber hukum tersusun dalam bahasa Arab;
6. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasikh mansukh dalam al-Qur'an dan Sunnah;
7. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu Ushul Fiqh, dan kaidah-kaidah istinbath hukum.
8. Memiliki pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul ayat-ayat Al-Qur'an dan asbab al-Wurud hadits.
9. Mengetahui riwayat dan latar belakang para rawy hadits, untuk menilai kualitas hadits terutama yang akan dijadikan landasan istinbath hukum.
10. Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang maksud syari'ah (maqashid al-Syari).
11. Memiliki pengetahuan tentang manusia dan lingkungan tempat ia berijtihad, serta memiliki pengetahuan tentang masa lah yang men­jadi obyek ijtihad;
12. Di samping syarat-syarat intelektual di atas, seseorang yang akan berijtihad, ia juga harus memiliki sifat-sifat lain yang berkaitan den ­gan integritas dan
moralitas pribadinya yaitu niat yang ikhlas untuk mencari kebenaran, taqwa kepada Allah SWT, dewasa, berakal, sehat jasmani dan rohani, adil, jujur dan sifat-
sifat terpuji lainnya.
IJTIHAD
D. IJMA’
1. Pengertian Ijma’
Secara etimologis ijma’, berarti "kesepakatan" atau "konsensus". Sedang secara terminologis ijma' adalah "Kesepakatan para mujtahid
dari umat Muhammad saw, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw; tentang suatu hukum syara'. 
2. Macam-macam Ijma’
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan, ulama membagi ijma’ menjadi dua bentuk yaitu:
a. Ijma’ sharih (aktif
b. Ijma sukuty (pasif).
Ijma’ sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu.
Kesepakatan itu dikemukakan dalam sidang (pertemuan) ijma’, setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap
masalah yang dibahas. Ijma’ seperti ini menurut Jumhur ulama bisa dijadikan hujjah (landasan hukum).
Ijma' sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya
hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Jumhur
(sebagian besar) ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuty bukanlah ijma’ , dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
IJTIHAD
Selain pembagian ijma dari segi proses terjadinya ijma’, pembagian ijma’ juga bisa dilihat dari segi orang-orang (kelompok orang) yang melakukan
kesepakatan tersebut, yang dapat dibedakan menjadi:
a. Ijma’ umat. Ijma’ umat adalah kesepakatan seluruh mujtahid umat Islam.
b. Ijma’ kelompok tertentu. Ijma’ ini adalah kesepakatan sekelompok orang tertentu atau sekelompok orang di daerah tertentu, umpamanya:
1) Ijma’ sahabat (ijma’ seluruh sahabat nabi)
2) Ijma’ sahabat Khulafa al-Rasyidin
3) Ijma’ sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar
4) Ijma’ Ulama Madinah
5) Ijma’ Umala Mekah
6) Ijma’ Ulama Mesir
7) Ijma’ Ulama Indonesia.
3. Beberapa Contoh Ijma'
Beberapa contoh masalah yang sudah disepakati hukumnya oleh para ulama, artinya mereka sudah ijma’ antara lain :
a. Bagian dua orang anak perempuan sebagai ahli waris, sebesar 2/3 bagian.
b. Kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia adil, adalah boleh.
c. Lemak babi adalah haram, diqiyaskan dengan haramnya daging babi.
d. Materi hukum perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 dan materi hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, dapat dipandang sebagai hasil kesepakatan ulama (mujtahid) Indonesia.
IJTIHAD
E. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Secara etimologis, qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Secara terminologis adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash (al-Quran atau Sunnah) dengan sesuatu yang sudah
disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan 'illat hukum antara keduanya.
Qiyas adalah proses deduksi (menarik kesimpulan) dari nash dengan jalan analogi, untuk menetapkan hukum terhadap suatu masalah. Qiyas juga
sebagai salah satu dalil yang dapat dijadikan petunjuk adanya hukum. 
2. Rukun Qiyas .
Untuk terjadinya qiyas, harus terpenuhi beberapa unsur (rukun):
a. Ashl (pokok), yaitu objek atau masalah yang sudah ada hukumnya, berdasarkan ketetapan nash Al-Qur'an dan/atau as-Sunnah.
b. Far’u (cabang), yaitu objek (masalah) yang akan ditentukan hukum­nya, yaitu masalah yang belum ada hukumnya dalam nash.
c. Illat yaitu sifat yang menjadi motif (alasan) dalam menentukan hukum.
d. Hukum al -Ashl, yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh nash.
3. Beberapa Contoh Qiyas
Mengqiyaskan (menyamakan) hukum larangan minum nabidz minuman keras yang terbuat dari perasaan selain anggur kepada khamr yang
dilarang oleh nash (QS. al-Maidah: 90). Illat karena kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan kuat kepada orang yang meminumnya.
 
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
A. Pengertian Asas
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem
berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar.
Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan
sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas hukum pidana
misalnya. Disinggung di atas adalah tolok ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya berfungsi
sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum.
B. Beberapa Asas Hukum Islam
1. Asas-asas Umum
2. Asas Hukum Pidana
3. Asas Hukum Perdata
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
1. Asas-asas Umum
a. Asas Keadilan
Asas keadilan merupakan asas yang sangat penting dalam
hukum Islam. Demikian pentingnya, sehingga ia dapat disebut sebagai asas semua asas hukum Islam. Di dalam Al-Qur'an, karena pentingnya kedudukan
dan fungsi kata itu, keadilan disebut lebih dari 1000 kali, terbanyak setelah Allah dan ilmu pengetahuan. Banyak ayat-ayat yang menyuruh manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Dalam surat Sad (38) ayat 26 Allah memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi
menyelenggarakan hukum sebaik-baiknya, berlaku adil terhadap semua manusia, tanpa, misalnya, memandang kedudukan, asal-usul dan keyakinan
yang dipeluk pencari keadilan itu. Dalam Alquran surat Al-Nisa' (4) ayat 135 Tuhan memerintahkan agar manusia menegakkan keadilan, menjadi saksi
yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua dari keluarga dekat. Dari uraian singkat ini dapat disimpulkan bahwa keadilan adalah asas, titik-tolak
proses dan sasaran hukum Islam.
b. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum, antara lain disebut secara umum dalam kalimat terakhir surat Bani Israil ayat 15 yang terje­mahannya (lebih
kurang) sebagai berikut ".. dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman, kecuali setelah Kami mengutus seorang rasul untuk menjelaskan
(aturan dan ancaman) hukuman itu ...." Selanjutnya di dalam surat Al-Maidah (5) ayat 95 terdapat penegasan Ilahi yang menyatakan bahwa
Allah memaafkan apa yang terjadi di masa yang lalu. Dari kedua bagian ayat-ayat tersebut disimpulkan asas kepastian hukum yang
menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-
undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
c. Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut di atas. Dalam menerapkan ancaman
hukuman mati terhadap sese­orang yang melakukan pembunuhan, misalnya, dapat diper­timbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman itu
bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukuman mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat
hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak, menjatuhkan hukuman mati lebih bermanfaat sendiri dan keluarga atau saksi korban,
ancamannya mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Asas ini ditarik dari Al-Qur'an surat al-
Baqarah ayat 178.

2. Asas-asas Hukum Pidana


Disamping asas-asas umum tersebut di atas, di lapangan hukum pidana juga terdapat asas-asas hukum Islam. Di an­taranya adalah:
a. Asas Legalitas
Yang dimaksud dengan asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Asas ini didasarkan pada Alquran surat Al-Isra (17) ayat 15 tersebut di atas, dihubungkan dengan anak kalimat dalam surat Al-
An’am ayat 19 yang berbunyi: “Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku, agar (dengannya) aku (Muhammad) dapat menyampaikan peringatan
(dalam bentuk aturan dan ancaman hukuman) kepadamu...." Asas legalitas ini telah ada dalam hukum Islam sejak Al-Qur'an diturunkan.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
Asas ini terdapat di dalam berbagai surat dan ayat Alquran (6:164, 35:18, 39:7, 53:38, 74:38). Dalam ayat 38 surat Al-Muddatsir
misalnya dinyatakan bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang dia kejakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang
dibuat oleh orang lain (QS. 74:38)
Dari ayat-ayat yang disebut, jelas bahwa orang tidak dapat diminta memikul tanggung jawab mengenai kejahatan atau kesalahan
yang dilakukan oleh orang lain. Karena pertanggungjawaban pidana itu individual sifatnya, kesalahan seseorang tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain.
c. Asas praduga tidak bersalah
Dari ayat-ayat yang menjadi sumber asas legalitas dan asas tidak boleh memindahkan kesalahan kepada orang lain tersebut di atas,
dapat ditarik juga asas praduga tidak ber­salah. Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum
hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahan orang itu.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
3. Asas-asas Hukum Perdata
Di lapangan hukum perdata terdapat asas-asas hukum Islam yang menjadi tumpuan atau landasan untuk melindungi kepentingan pribadi
seseorang. Di antaranya adalah:
a. Asas kebolehan atau mubah
Asas ini menunjukkan kebolehan melakukan semua hubungan-perdata (sebagian dari hubungan muamalah) sepanjang hubungan itu tidak dilarang
oleh Alquran dan As-Sunnah. Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam hubungan perdata
(baru) sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, seperti yang dinyatakan-Nya antara lain dalam Al-Qur'an surat AI-Baqarah (2)
ayat 185, 286.
b. Asas kemaslahatan hidup
Kemaslahatan hidup adalah segala sesuatu yang menda­tangkan kebaikan, berguna, berfaedah bagi kehidupan.
Setiap norma atau lembaga non Islam yang bersifat kultural yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat Islam harus dilihat manfaat atau mudarat
(kerugian) yang akan dibawanya. Jika bermanfaat, lembaga itu dapat diterima, jika merusak atau merugikan masyarakat lembaga demikian harus ditolak.
c. Asas kebebasan dan kesukarelaan
Asas ini mengandung makna bahwa setiap hubungan perdata harus dilakukan secara bebas dan sukarela. Kebebasan kehendak para pihak yang
melahirkan kesukarelaan dalam persetujuan harus senantiasa diperhatikan. Asas ini juga mengandung arti bahwa selama teks Alquran dan Sunnah Nabi
Muhammad tidak mengatur suatu hubungan perdata, selama itu pula para pihak bebas mengaturnya atas dasar kesukarelaan masing-masing. Asas ini
bersumber dari Alquran surat An-­Nisa' (4) ayat 29.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
d. Asas menolak mudarat dan mengambil manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa harus dihindari segala bentuk hubungan, perdata yang mendatangkan kerugian (mudarat) dan
mengembangkan (hubungan perdata) yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat.
e. Asas kebajikan (kebaikan)
Asas ini mengandung arti bahwa setiap hubungan perdata seyogyanya mendatangkan kebajikan (kebaikan) kepada kedua belah pihak
dan pihak ketiga dalam masyarakat. Kebaji­kan yang akan diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada kesadaran pengembangan kebaikan
dalam rangka kekeluar­gaan (QS Al-Maidah (5):90).
f. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat
Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat adalah asas hubungan perdata yang disandarkan pada hormat menghormati,
kasih mengasihi serta tolong-menolong dalam mencapai tujuan-bersama. Asas ini dialirkan dari bagian ayat 2 surat Al-Maidah (5) dan hadis
yang menyatakan bahwa umat manusia berasal dari satu keluarga.
g. Asas adil dan berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan perdata tidak boleh mengandung unsur-unsur penipuan, penindasan,
pengambilan kesempatan pada waktu pihak lain sedang kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang diperoleh harus
berimbang dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukan.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
h. Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata, para pihak harus mengutamakan penunaian kewajibannya lebih
dahulu dari menuntut hak. Asas penunaian kewajiban lebih dahulu dari penuntutan hak merupakan kondisi hukum yang mendorong
terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
i. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengada­kan hubungan perdata tidak boleh merugikan diri sendri dan orang lain
dalam hubungan perdatanya.
j. Asas kemampuan berbuat atau bertindak
Pada dasarnya setiap manusia dapat menjadi subjek dalam hubungan perdata jika ia memenuhi syarat untuk bertindak mengadakan
hubungan itu. Dalam hukum Islam, manusia yang dipandang mampu berbuat atau bertindak melakukan hubungan perdata adalah mereka
yang mukallaf, yaitu yang mampu memikul kewajiban dan hak sehat rohani dan jasmaninya.
k. Asas kebebasan berusaha
Asas ini mengandung makna bahwa pada prinsipnya setiap orang bebas berusaha untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi dirinya
sendiri dan keluarganya.
l. Asas perlindungan hak
Asas ini mengandung arti bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan halal dan sah, harus dilindungi.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
m. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang akan mendapatkan hak, misalnya berdasarkan usaha dan jasa, baik yang dilakukannya
sendiri maupun yang diusahakannya bersama-­sama orang lain. Usaha dan jasa haruslah usaha dan jasa yang baik yang mengandung kebajikan,
bukan usaha dan jasa yang mengandung unsur kejahatan, keji dan kotor. Usaha dan jasa yang dilakukan melalui kejahatan, kekejian dan
kekotoran tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Asas ini bersumber dari Alquran antara lain surat 6:164, 8:26, 16:72, 17:15, 17:19, 35:18, 39:7,
40:64, 53:38, 53:59.
n. Asas hak milik berfungsi sosial
Asas ini menyangkut pemanfaatan hak milik yang dipunyai oleh seseorang. Menurut ajaran Islam hak milik tidak boleh dipergunakan
hanya untuk kepentingan pribadi pemiliknya saja, tetapi juga harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
o. Asas yang beriktikad baik harus dilindungi
Asas ini berkaitan erat dengan asas lain yang menyatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan tertentu bertanggung jawab atau
menanggung risiko perbuatannya. Namun, jika ada pihak yang melakukan suatu hubungan perdata tidak mengetahui cacat yang tersembunyi
dan mempunyai iktikad baik dalam hubungan perdata, kepentingannya harus dilin­dungi dan berhak untuk menuntut sesuatu jika ia dirugikan
karena iktikad baiknya.
p. Asas risiko dibebankan pada harta, tidak pada pekerja
Asas ini mengandung penilaian yang tinggi terhadap kerja dan pekerjaan, berlaku terutama di perusahaan-peru­sahaan yang merupakan
persekutuan antara pemilik modal (harta) dan pemilik tenaga (kerja). Jika perusahaan merugi, maka, menurut asas ini, kerugian hanya
dibebankan pada pemilik modal atau harta saja, tidak pada pekerjanya. Ini berarti bahwa pemilik tenaga dijamin haknya untuk menda­patkan
upah, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu tertentu, setelah ternyata perusahaan menderita kerugian.
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
q. Asas mengatur dan memberi petunjuk
Sesuai dengan sifat hukum keperdataan pada umumnya, dalam hukum Islam berlaku asas yang menyatakan bahwa ketentuan-
ketentuan hukum perdata, kecuali yang bersifat ijbari karena ketentuannya telah qath'i, hanyalah bersifat mengatur dan memberi petunjuk
saja kepada orang-orang yang akan memanfaatkannya dalam mengadakan hubungan perdata. Para pihak dapat memilih ketentuan lain
berdasarkan kesukarelaan, asal saja ketentuan itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
r. Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian tertulis dihadapan saksi-saksi (QS Al-
Baqarah (2):282). Namun, dalam keadaan tertentu, perjaniian itu dapat saja dilakukan secara lisan di hadapan saksi-saksi yang memenuhi
syarat baik mengenai jumlahnya maupun mengenai kualitas orangnya.
4. Asas-asas Hukum Perkawinan
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah-satu bentuk per­janjian (suci) antara seorang pria dengan seorang wanita, yang mempunyai
segi-segi perdata, berlaku beberapa asas (seperti telah disebut di muka), di antaranya adalah (1) kesu­karelaan, (2) persetujuan kedua belah
pihak, (3) kebebasan memilih, (4) kemitraan suami-istri, (5) untuk selama-lamanya, dan (6) monogami terbuka (karena darurat).
ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Penjelasan Asas-asas Hukum Perkawinan
Asas (1) 'kesukarelaan' merupakan asas terpenting perka­winan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami-istri, tetapi
diantara kedua orang tua kedua belah pihak.
Asas (2) persetujuan kedua belah pihak merupakan kon­sekuensi logis asas pertama tadi. Ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam
melangsungkan perkawinan.
Asas (3) 'kebebasan memilih pasangan,' juga disebutkan dalam Sunnah nabi. Diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang gadis
bernama Jariyah menghadap Rasulullah dan menyatakan bahwa ia telah dikawinkan oleh ayahnya dengan seseorang yang tidak disukainya. Setelah
mendengar pengaduan itu, nabi menegaskan bahwa ia (Jariyah) dapat memilih untuk meneruskan perkawinan dengan orang yang tidak disukainya itu
atau meminta supaya perkawinan­nya dibatalkan untuk dapat memilih pasangan dan kawin dengan orang lain yang disukainya.
Asas (4) 'kemitraan suami-istri' dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan) disebut dalam Alquran surat
Al-Nisa' (4) ayat 34 dan surat Al-Baqarah (2) ayat 187.
Asas (5) 'untuk selama-lamanya,' menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan, dan membina cinta serta kasih
sayang selama hidup (QS Al-Rum (30):21).
Asas (6) 'monogami terbuka,' disimpulkan dari Alquran surat Al-Nia' (4) ayat 3 jo ayat 129 ayat 3 dinyatakan bahwa seorang pria Muslim dibolehkan
atau boleh beristri lebih dari seorang, asal memenuhi beberapa syarat tertentu, di antaranya adalah syarat mampu berlaku adil terhadap semua wanita
yang menjadi istrinya. Ini berarti bahwa beristri lebih dari seorang merupakan jalan darurat yang baru boleh dilalui oleh seorang laki-laki Muslim kalau
terjadi bahaya, antara lain, untuk menyelamatkan dirinya dari berbuat dosa, kalau, istrinya misalnya, tidak mampu memenuhi kewajiban ­nya sebagai
istri.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
A. Sejarah Universal Perkembangan Hukum Islam

1. Zaman Nabi
Tahun 571 Masehi merupakan tahun bersejarah bagi umat manusia yaitu tahun lahirnya seorang utusan yang akan memberikan petunjuk bagi umat manusia, penutup
para nabi-nabi, pembawa risalah yang terakhir yaitu Muhammad SAW. Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Muhammad kecil adalah seorang yatim piatu, sehingga Abdul Munthalib kakeknya mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad. Dua tahun kemudian
Abdul Munthalib pun meninggal, sehingga tanggung jawab selanjutnya beralih kepada pamannya Abu Thalib.
Pada usia dua puluh lima tahun, Muhammad bertemu seorang Saudagar Kaya bernama Khadijah yang mempercayakan dagangannya untuk ia bawa. Khadijah
melihat akan kepribadian Muhammad dan akhirnya mereka menikah. Pada saat pernikahan berlangsung Muhammad berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah telah berusia 40
tahun. Walaupun demikian rumah tangga mereka adalah rumah tangga yang dipenuhi oleh kebahagiaan, sehingga Muhammad pun menyebutkan rumah tanggaku adalah
surgaku (Baitti Janati).
Khadijah istri nabi merupakan wanita pertama yang masuk Islam. Pada usia yang ke 40 Muhammad diangkat menjadi Rasul dan ditandai dengan turunnya wahyu
pertama kali, yaitu Surat al-'Alaq ayat 1-5. Turunnya wahyu yang pertama kali itu terjadi di Gua Hira bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan tahun 611 M.
Dengan diturunkannya wahyu kepada Muhammad SAW, mulailah tarikh tasri’ Islami. Sumber tasyri’ Islami adalah wahyu (Kitabullah dan sunnah Rasul). Ayat-ayat
mengenai tasyri' kebanyakan ayat Madaniyah, sedangkan ayat-ayat hukum (Ahkam) berkisar sekitar 200-300 ayat.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Selain Al-Quran dan Sunnah Rasul, Nabi sendiri telah memberikan contoh berijtihad apabila dalam nash Al-Qur'an tidak dijumpai hukumnya, sedangkan persoalan
tersebut harus segera diselesaikan. Hal ini terjadi pada saat Nabi hendak menyelesaikan masalah tawanan perang Badar. Ijtihad yang dilakukan oleh nabi ini kemudian juga
dibenarkan dalam Al-Qur'an.
Perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama Islam berlangsung selama 23 tahun, yang dibagi menjadi dua periode yaitu periode Makah dan
periode Madinah.
Cara-cara yang dilakukan Nabi dalam membina hukum Islam adalah dengan jalan membentuk hukum secara bertahap, satu demi satu bukan sekaligus membentuk
hukum dalam jumlah yang banyak, tidak membentuk hukum sebelum ada kejadian yang memerlukan hukum, tidak menghayalkan kejadian-kejadian yang belum terjadi,
hukum-hukum itupun belum dibukukan satu persatu secara terpisah.
Ayat terakhir yang turun yang menandai telah sempurnanya ajaran Islam adalah surat Al-Maidah ayat (3).
Nabiu Muhammad SAW wafat tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, suasana dinamika dalam hukum Islam telah nampak yang ditandai dengan adanya ayat-
ayat hukum an-nasikh wal mansukh, yang fungsinya adalah untuk membatalkan/menghapuskan hukum yang telah ada, untuk kemudian diganti dengan hukum baru yang
lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu.
Pada waktu itu selama 16 bulan Nabi, para sahabat, dan kaum Muslimin shalat menghadap ke Baitul Muqaddis (Yerusalem). Hal ini dijelaskan pula dalam sebuah
hadis yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw ketika shalat menghadap ke arah Baitul Muqaddis selama 16 bulan" (H.R. Bukhari dan Muslim).
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Kemudian surat al-Baqarah ayat 115 dan hadis tersebut di mansukh-kan (dihilangkan) dengan firman Allah SWT:
"... Maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Al-Haram (Ka'bah)..." (Q.S. al-Baqarah: 144, lihat pula ayat 149 dan 150)
Ayat ini disebut an-nasikh yang menghapuskan.
Oleh sebab itu, tidak jarang Nabi mendatangkan undang-undang atau hukum baru untuk membatalkan hukum yang lama agar lebih sesuai dengan situasi dan
kondisi.
 
2. Zaman Sababat
Setelah Nabi wafat maka tugas beliau dalam mengajarkan dan mengembangkan Agama Islam termasuk dalam hal mengembangkan hukum Islam
khususnya, digantikan oleh para sahabat terpilih yang dikenal dengan Khulafaur Rasyidin. Pada saat kepemimpiman Khulafaur Rasyidin inilah Islam sudah mulai
berkembang luas keluar Jazirah Arab, misalnya ke daerah Mesir, Syiria, Persia dan Irak. Para sahabat yang menjadi khalifah sepeninggal beliau adalah Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Kalau dilihat dari latar belakangnya, akan tampak bahwa Abu Bakar Iebih mewakili golongan birokrat, Umar termasuk dalam
golongan tentara, Usman termasuk dalam golongan pengusaha, dan Ali termasuk dalam golongan cendekiawan. Latar belakang kehidupan ini tentu saja akan
berpengaruh pada corak pemerintahan yang mereka jalankan.
Adapun cara yang dipakai oleh para sahabat dalam berijtihad antara lain ialah dengan qiyas, istihsan dan juga ijma para sahabat. Pada periode kedua ini
dasar hukum yang dipakai untuk menetapkan hukum ialah: al-Quran, sunnah, ijmak, dan ra'yu (qiyas, istihsan, dan lain-lain).
Masa ini merupakan masa kedua dalam perkembangan Tasri' Islami, yaitu sejak wafatnya Rasulullah sampai wafatnya Ali. R.a. (11-40H/632-661 M).
Adapun beberapa upaya yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam rangka pengembangan hukum Islam, antara lain:
a. Abu Bakar Ash shidiq
Masa ini disebut masa penetapan tiang-tiang (da’aim). Pada zaman ini dilakukan upaya untuk memerangi orang-orang yang murtad, nabi-nabi palsu (muntanabbi)
seperti Musailamah al-Kadzab, dan orang-orang yang membangkang kewajiban membayar zakat.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
b. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab menjadi khalifah pada tahun 13 H atau tahun 634 M. Pada masa pemerintahannya wilayah Islam semakin meluas, antara lain ke Mesir, Irak,
Azerbaijan, Persia dan Siria. Umar bin Khattab yang pertama kali menyusun administrasi pemerintahan, menetapkan pajak, kharaj atas tanah subur yang dimiliki orang non
muslim. Disamping itu juga ditetapkan peradilan dan perkantoran serta penanggalan qomariyah yang dihitung sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Umar bin Khattab dikenal sebagai imam al-mujtahidin. Pada masanya dia berijtihad untuk menentukan suatu hukum yang sepintas lalu nampak seperti bertentangan dengan
nash, antara lain tidak menghukum pencuri dengan potong tangan, karena tidak ada ‘illat untuk memotongnya.
c. Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahannya Utsman bin Affan atau tepatnya pada tahun 30 H/650 M. dilakukan usaha pengumpulan Al-Qur'an dengan qiraah (dialek) yang satu ke
dalam satu mushhaf, yang kemudian dikenal dengan mushaf usmani. Tim pengumpul dan penulis Al-Qur'an terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash,
dan Abdurrahman bin Harits. Mushaf Usman inilah yang dijadikan sebagai standar bacaan Al-Qur'an di seluruh negeri muslim hingga saat ini.
d. Ali bin Abi Thalib
Ali adalah sepupu dan menantu Nabi saw. Oleh karena itu, banyak orang yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainya. Yang
berpendapat demikian terkenal dengan nama golongan Syiah. Sejak zaman Nabi Ali terkenal dengan kemahirannya sebagai qadhi.

Adapun urf (adat) tidaklah terhitung sebagai dalil syarak yang berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan pada ijmak atau qiyas, dalam hal tidak terdapat pada nash
sharih atau sunnah taqririyyah.

Pada masa ini telah terjadi perbedaan pendapat antara fuqaha dari segi menafsirkan ayat Al-Qur'an atau dalam hal penerimaan suatu hadis dan juga dalam hal
memakai dan menerapkan qiyas.
Di antara fuqaha selain Khulafaur Rasyidin terkenal pula, Abdullah Ibnu Abbas, Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Umar di Madinah Abdullah ibnu Mas'ud di Kufah,
Abdullah ibn Amr lbn Ash di Mesir, Sayyidati Aisyah, dan qadhi yang masyhur, Abu Musa al-Asy'ari dan Mu'adz bin Jabal. Mereka terpencar di beberapa kota dan
membimbing peletakan dasar fiqih Islami dan pengembangannya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Periode kedua ini berakhir dengan wafatnya Khalifah keempat yaitu Khalifah Ali bin Abu Thalib. Pada masa inipun fatwa-fatwa para sahabat juga belum
dibukukan, melainkan hanya disiarkan dari mulut ke mulut saja seperti hadits Nabi.
Para sahabat yang menjadi Mufti/pemberi fatwa pada periode kedua ini yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, aAli bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ary, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Aisyah Umul Mukminin, Anas bin Malik, Abdullah bin
Abbas, Abdullah bin Umar.
Berdasarkan pemaparan di atas nampak bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat dinamika perkembangan mengenai itu adalah sebagai berikut:
1). Masalah zakat (sosial)
Salah satu sasaran utama dari zakat adalah untuk memantapkan hati orang yang baru masuk Islam agar iman mereka menjadi kuat. Namun oleh Umar bin
Khattab hal ini tidak dilaksanakan mengingat situasi sudah lain, yaitu para mu’allaf kebanyakan termasuk golongan ekonomi kuat dan Islam telah mempunyai
kedudukan yang kuat.
2). Masalah nikah, talak, rujuk, dan cerai
Semasa Khalifah I, Abu Bakar R.A, andaikata suami menjatuhkan talak tiga kepada istrinya sekaligus, maka dianggap (dihitung) hanya talak satu. Akan
tetapi semasa Khalifah Umar r.a., hal itu tetap dianggap talak tiga, sesuai dengan ucapan yang dikeluarkan oleh sang suami. Adapun alasan beliau adalah agar si
suami (laki-laki) jangan terlalu latah mempermainkan talak kepada istrinya.
3). Masalah zina
Nabi menetapkan dan mempraktikkan hukum zina bagi orang yang belum kawin (beristri) adalah cambuk seratus kali, kemudian diasingkan ketempat (ke
negeri) lain selama setahun. Tetapi masa khalifah Umar bin Khattab hukuman buang ini ditiadakan.
4). Masalah pencurian
Berdasarkan hukum al-Quran, maka setiap pencuri dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana telah secara jelas dan tegas dalam surat Al-Maidah ayat
38.
Tetapi sewaktu musibah kelaparan melanda Madinah, sehingga menyebabkan banyak terjadi pencurian, Khalifah Umar meniadakan hukum potong
tangan.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
3. Zaman Mujtahidin
Secara umum keadaan umat Islam dalam periode ketiga ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Periode ini dimulai pada saat pemerintahan pindah dari Khulafaur Rasyidin kepada Mu'awiyah dari Dinasti Umayyah yang berpusat di Damascus.
b. Umat Islam pada periode ketiga ini sudah pecah menjadi tiga golongan yaitu: Khawarij, Syiah , dan Jumhur.
Hal-hal penting yang terjadi sehubungan dengan perkembangan hukum Islam pada periode ketiga ini ialah:
a. Para ulama mulai tersebar keseluruh daerah Islam, tidak hanya menetap di Madinah saja.
b. Riwayat hadits menjadi berkembang. Hal ini dikarenakan para ulama dalam usaha menetapkan hukum berusaha untuk mengumpulkan hadits dari para sahabat yang menerima dari
Nabi, dengan jalan mendatangi para sahabat itu dari satu kota ke kota lainnya.
c. Golongan Jumhur pecah menjadi dua golongan, yaitu:
1). Golongan ahli hadits, yaitu para ulama yang dalam usahanya menetapkan hukum mengutamakan hadits sebagai dasarnya. Golongan ahli hadis ini banyak dijumpai di Hijaz, Saudi
Arabia. Ulama-ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli hadis antara lain Said Ibnul Musayyab, Abu Umayyah Al Kufi, As-Sya’bi, dan Sufyan Ibn Sa’id.
2). Golongan ahli ra’yu, yaitu para ulama yang di dalam usahanya menetapkan hukum selain mendasarkan diri pada Al-Qur'an dan sunnah juga melakukan ijtihad (ra’yu). Bahkan
apabila ada hadis yang berlawanan dengan hadis lain atau berlawanan dengan dasar-dasar syariat, maka hadis itu dikesampingkan dan mereka mengutamakan ijtihad. Golongan ahli
ra’yu ini banyak dijumpai di Iraq.
Para Ulama yang menjadi pemuka-pemuka ahli ra’yu antara lain adalah Alqamah ibn Qais, Ibrahim Ibn Yazid, Hammad Ibn Abi Sulaiman. Dalam golongan ini lahir tokoh-
tokoh ulama mawali yaitu ulama-ulama dari bangsa lain selain Arab, misalnya Persia, Rum, Mesir dan lain sebagainya.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
4. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Keempat: Masa Lahirnya Mazhab, Pembukuan Hadis dan Fikih (101 H sampai
dengan 350 H)
 a. Keadaan Hukum Islam dalam periode Keempat
Hukum Islam pada periode ini mengalami perkembangan pesat dan meliputi banyak bidang. Fikih pada periode ini memasuki periode kematangan dan
kesempurnaan.Para ulama pada masa ini banyak berusaha untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya dan persaingan antarta para ulama berjalan seru, karena dalam
usahanya menentukan ilmu-ilmu baru itu mereka betul-betul menggunakan akal sebab kemerdekaan berpikir pada saat itu dijamin. Pada masa periode keempat ini,
menyebabkan timbulnya beberapa hal antara lain yaitu:
1) Lahir tokoh-tokoh fikih yang terkenal, ahli-ahli hadis, dan ahli­-ahli ilmu lainnya.
2) Dibukukannya ilmu-ilmu Al-Quran, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu fikih dan ilmu-ilmu lainnya.
3) Ulama-ulama mulai memperhatikan dan mempelajari ilmu­-ilmu lain selain ilmu Agama, misalnya: ilmu Kedokteran, ilmu kimia, filsafat, ilmu sejarah, dan lain-lain.
4) Para ulama berusaha untuk menyusun ilmu-ilmu itu secara lengkap dan sistematis dan memisahkan ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya.
5) Selain mempelajari, mereka juga berusaha untuk menterjemahkan kitab-kitab Falsafah, ilmu Alam dari berbagai bahasa kedalam bahasa Arab. Disamping itu mereka
juga berusaha mempelajari agama-agama lain untuk bahan pembahasan hukum Islam.
6) Pada masa ini lahir ijtihad mutlak, dimana para mujtahid dalam berijtihad tidak perlu terikat pada ijtihad orang lain.
7) Pada periode ini lahir tokoh-tokoh ijtihad, dimana pendapat-­pendapat para ahli ijtihad itu mulai dibukukan dan diikuti oleh orang lain (taqlid) dan kepemimpinan
mereka dalam bidang fikih diakui.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Para ahli ijtihad yang hidup pada masa ini dan yang terkenal ada 13 orang: Sufyan Ibn Uyainah di Mekah, Malik Ibn Anas di Madinah, Al-Hasan AlBasyri
di Basrah, Abu Hanifah di Kufah, Sufyan Ats-Tsaury di Kufah, Al-Auza’i di Syiria, As-Syafi’i di Mesir, Al-Laits di Mesir, Ishaq di Naisabur, Abu Tsaur, Akhmad,
Daud dan Ibnu Jarir di Baghdad.

Pendapat-pendapat para mujtahid tersebut di atas dalam bidang hukum Islam yang satu dan lainnya mungkin berbeda dan mempunyai pengikut sendiri-
sendiri. Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran/mazhab-mazhab di dalam hukum Islam.

Faktor-faktor pendorong yang menyebabkan hukum Islam berkembang dengan pesat pada masa itu antara lain adalah:
a). Pada waktu Khalifah Abu Ja'far al-Mansur memindahkan pusat pemerintahan dari Kufah ke Bagdad, beliau juga berusaha membangun ilmu agama dan ilmu
pengetahuan lainnya, yaitu dengan cara mengumpulkan ahli-ahli ilmu pengetahuan agama dan lain-lainnya ke kota Baghdad, sehingga kota ini menjadi pusat
berkembangnya ilmu pengetahuan di bagian Timur.
b). Kota Kardova di Andalusia juga menjadi tempat berkembangnya ilmu pengetahuan Islam dan lain-lainnya di bagian Barat.
c). Di kota Al-Fustat Mesir dikumpulkan para ulama dari berbagai mazhab untuk mengajarkan pendapat-pendapatnya, .
d). Damascus, Kufah, dan Basrah juga tetap berkembang walaupun kekhalifahan sudah tidak beribu kota disini.
e). Di Persia, kota Maru dan Naisabur juga menjadi tempat berkembangnya ilmu karena di kota-kota ini tempat berkumpulnya para ulama.

Adapun perkembangan pembukuan ilmu tafsir pada waktu itu dilakukan dengan cara mencatat penafsiran yang datangnya dari Nabi, mencatat penafsiran
yang dibawa oleh para sahabat, menafsirkan dengan melihat penafsiran Nabi dan ditambah dengan hasil ijtihadnya sendiri. Contoh Al-Qur'an yang ditafsirkan
dengan menggunakan hasil ijtihad penafsirannya ialah tafsir Ibnu Jarir.

Penafsiran Al-Qur'an tersebut ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu tafsir dan ta’wil, yang dimaksud tafsir adalah penafsiran Al-Qur'an yang berasal
dari Nabi dan sahabat, sedangkan ta’wil adalah penafsiran Al-Qur'an berdasarkan hasil ijtihad.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Adapun usaha pembukuan as-Sunnah/Hadis sudah dimulai sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pada saat itu terdapat enam kumpulan hadis yang Sahih yaitu yang dikumpulkan oleh Al-Bukhari, Muslim an Naisaburi, Abu Daud, Abu Isa At-Turmudzy, Ibnu
Majjah, Ahmad An Nasa’i.
Mengenai pembukuan ilmu fikih dilakukan bersamaan dengan pembukuan hadits yaitu pada pertengahan abad kedua hijriah.

Para ulama yang membukukan fiqih antara lain yaitu:


(1). Ibnu Juraij menulis tentang tata cara bersuci (Thaharah), zakat, puasa dan lain-lain.
(2). Sufyan At-Tsaury menulis tentang hukum waris (al­Faraid).

Untuk dapat membukukan ilmu fiqih maka terlebih dahulu harus mempelajari tentang Ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang menerangkan tentang dalil-dalil
syara’ (dasar-dasar hukum) yang dari padanya akan ditentukan hukum-hukum tertentu. Adapun kitab Ushul Fikih yang paling tua yang sampai sekarang masih
ada adalah kitab Risalah Asy Syafi’i yang merupakan pembukaan bagi kitab Al-Umm.
Pada saat itu lahir berpuluh-puluh mazhab tetapi yang berkembang sampai sekarang ini adalah empat mazhab (Mazhab Ahlus Sunnah), Mazhab Syi’ah
Immamiyah dan Mazhab Zaidiyah.
MAZHAB-MAZHAB
A. Mazhab Hanafi
Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah dan merupakan mazhab yang tertua. Beliau hidup antara tahun 80 H sampai dengan 150 H.
Beliau mempunyai empat puluh orang murid yang membukukan pendapatnya. Murid-muridnya tersebut antara lain yaitu:
1. Abu Yusuf Ya’qub Al Anshary (113 H – 183 H)
2. Muhammad Ibn Al Hasan Asy Syaibani (132 H – 189 H)
3. Zufar Ibn Huzail Ibn Qais aAl Kufy (110 H – 158 H)
4. Al Hasan Ibn Ziyad Al Lu’lu-iy Al Kufy
Pada masa sekarang ini mazhab Hanafi berkembang di Mesir, Iraq, Turki, Albania, Afganistan dan masyarakat muslim di Rusia.
Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang lebih mengedepankan rasio (ra’yu) dalam menentukan suatu hukum. Adapun dasar-dasar ajaran
Mazhab Hanafi di bidang hukum Islam mendasarkan pada ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an, as-Sunnah, ijma, qiyas dan istihsan.
MAZHAB-MAZHAB
B. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki didirikan oleh Malik Ibn Anas Ibn Malik Ibn Abi 'Amr. Beliau berasal dari Yaman yang merantau ke Madinah.
Murid-muridnya dari Mesir yang mengembangkan ajaran Mazhab Mailiki antara lain ialah:
1. Abu Muhammad Abdullah Ibn Wahab Ibn Muslim Al-Qurasy (125 H – 197 H).
2. Abu Abdullah Abdur Rakhman Ibn Al Qasim Al-Utaqy.
3. Ashbagh Ibn Alfaj Al Amawy
4. Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ziyad Al Iskandary.
Murid-muridnya dari Afrika dan Andalusia yang mengembangkan ajaran mazhab Maliki antara lain ialah:
5. Abu Abdullah Ziyad Ibn Abdur Rakhman Al Qurtuby
6. Isa Ibn Dinar Al Andalusy
7. Abdul Malik Ibn Habib Ibn Sulaiman As Sulamiy
8. Abdul Hasan Ali Ibn Ziyad At Tunisy.
Untuk masa sekarang ini mazhab Maliki berkembang di sebagian negara Afrika Utara (Aljazair, Tunisia dan lain-lain), Sudan, Mesir. Sedangkan di Iraq,
Palestina dan Hijaz pengikut mazhab Maliki tinggal sedikit.
Dasar-dasar yang dipakai oleh Imam Malik dalam menentukan hukum-hukum Islam adalah: al-Quran, hadis, ijmak, qiyas, pekerjaan ulama-ulama
Madinah, perkataan sahabat, istikhsan, istishab, maslahat-mursalah, dan syari'at umat-umat terdahulu.
 
MAZHAB-MAZHAB
C. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi'i dalam menyusun mazhabnya menyesuaikan dengan mazhab ahli hadis dan mzhab ahli qiyas. Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat yang
diajarkan pada muridnya, yaitu:
1. Mazhab Qadim yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau ajarkan pada murid-muridnya ketika beliau diam di Iraq.
2. Mazhab Jadid yaitu paham-paham dan hasil ijtihad yang beliau tetapkan dan beliau ajarkan kepada murid-muridnya setelah beliau bermukim di Mesir.
Antara kedua paham (pendapat) beliau ini ada perbedaannya. Pada masa sekarang ini para pengikut mazhab Syafi'i banyak mengikuti paham pendapat
yang beliau tetapkan di Mesir.
Adapun murid-murid imam Syafi'i yang mengajarkan mazhabnya adalah sebagai berikut:
3. Mazhab Qadim:
a. Ahmad Ibnu Hambal (164 H-241 H).
b. Abu Tsaur Ibn Ibrahim Ibnul Yamani Al Kalby (wafat ± 264 H).
c. Al Hasan Ibn Muhammad Ibn Shabah As Za'rafany (wafat ±260 H).
d. Abu Ali Al Husain Ibn Ali Al Karabitsy
MAZHAB-MAZHAB
 
2. Mazhab Jadid
a. Yusuf Ibn Yahya Al Buwaity (wafat :I-231 H).
b. Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al Muzany (175 H-264 H).
c. Ar Rabi' Ibn Sulaiman Ibn Abdul Jabar Al Murady (174 H-270 H).
d. Yunus Ibn Abdul Ahla Ashadafy (170 H-264 H).
e. Abu Bakar Muhammad Ibn Ahmad (Ibnul Hadad) (175 H - 245 H).
Mazhab Syafi'i berkembang sebagai hasil usaha para pengikutnya dan murid-muridnya bukan dengan bantuan kekuasaan para Khalifah seperti halnya
Hanafi dan Maliki.
Tempat-tempat atau daerah-daerah berkembangnya Mazhab Syafi’i antara lain adalah di Iraq, Mesir dan sebagian besar daerah di Asia Tenggaran
termasuk Indonesia.
Dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Mazhab Syafi'i dalam menetapkan hukum yaitu: al-Quran, as-Sunnah, qjyas, dan ijmak.
MAZHAB-MAZHAB
D. Mazhab Hambali
Mazhab Hambali ini dikembangkan Ibn Hilal Ibn Asad Asy Syaibany Al-Maruzy (164H-241H) para pengikut atau murid-muridnya antara lain:
a. Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hamid (wafat ± 261 H).
b. Ishaq Ibn Mansur Ibn Bahrain (wafat ±251 H) di Naisabur.
c. Al Hasan Ibn Sabah Ibn Muhammad-Abu Ali Al Bazar (wafat ± 249 H).
d. Abdullah Ibn Muhammad Ibn Ubaid Ibn Sufyan Abu Bakar Al Quraisy (208 H-281 H).
Tempat-tempat berkembangnya Mazhab Hambali adalah di Baghdad (Iraq) Mesir, dan sebagian besar di Hijaz.

Adapun dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam menetapkan hukum Islam ialah Al-Qur'an, fatwa sahabat, pendapat
sahabat yang mendekati Al-Qur’an dan as-sunnah, hadis mursal dan hadis dhaif serta qiyas.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
5. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Kelima: Masa Para Ulama Murajihhin (berlangsung antara tahun 350 H-656 H)
Periode kelima ini dimulai dari pertengahan abad keempat hijriah. Pada masa ini dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, dimana tiap-tiap bagian
dikuasai oleh seorang Amir. Hal ini mengakibatkan tidak adanya persatuan dan kesatuan dari umat Islam sehingga umat Islam menjadi lemah dan mundur. Demikian juga
perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran dan kemerosotan. Kemerosotan dan kemunduran perkembangan hukum Islam juga disebabkan karena para ulama sudah
kehilangan keinginan untuk berijtihad seperti masa-masa sebelumnya.
Di samping kelemahan dan kemunduran dalam perkembangan hukum Islam namun masih ada juga usaha-usaha para ulama masa ini yang patut diketengahkan, yaitu:
a. Mereka berusaha menerangkan dasar-dasar hukum yang dipakai oleh para imam dalam menetapkan hukum.
b. Mereka masih mau menggunakan qiyas dalam masalah yang tidak ada nash al-Quran dari Imam mereka masing-masing.
c. Mentarjihkan antara pendapat-pendapat Imam yang berlainan dalam satu mazhab. Pentarjihan itu dari jurusan riwayat ataupun dari segi paham yang berbeda.
d. Mempertahankan mazhabnya masing-masing, yaitu dengan cara:
1) Menulis kitab-kitab yang menerangkan keutamaan dan kelebihan imam yang mereka ikuti.
2) Apabila terjadi perselisihan antara imam yang satu dengan yang lainnya maka mereka berusaha untuk mencari dalil/dasar hukum yang menguatkan pendapat
Imamnya.
3)Banyak melakukan perdebatan (munadharah).
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Adapun kitab-kitab mazhab yang disusun pada periode kelima ini antara lain ialah:
a. Mazhab Hanafi, kitab-kitabnya yaitu: al-mukhtasan, al-jamil'ul kabir, Khasanatul akmal, Taqwinul Adilah, dan AI-Asrar.
b. Mazhab Maliki, kitab-kitabnya yaitu: Al Munthakhabah, Al Watsa'iq, Al Akhkam, An Nawadhir, dan At Takhdhib.
c. Mazhab Syafi'i, kitab-kitabnya yaitu: Al-ahwi, Al-'Umdah, Al Majmu', Ta'liqah, dan Al-Mudhahab.
d. Mazhab Hanbali, kitab-kitab yang menjadi hasil karyanya yaitu: Al Qathi'yah, Al Miftah, Al Mufradat, Al Hidayat, dan Al Tadzkirah.
 

6. Perkembangan Hukum Islam Periode Keenam: Periode Para Muqallidin (656 H sampai dengan akhir abad
ke-13 H)
Keadaan umum pada periode keenam ini perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran yang cukup signifikan, bahkan yang lebih parah ijtihad
tidak diperbolehkan lagi atau dengan kata lain pintu ijtihad telah dinyatakan tertutup.
Walaupun keadaan fikih makin merosot karena ijtihad menjadi berhenti namun ada masa ini masih ada beberapa ulama yang berusaha untuk terus
berijtihad walaupun harus menerima rintangan yang tidak ringan. Ulama-ulama itu antara lain:
e. Al Imam Ibnul Amir Ismail Ash Sariany, yang mengarang kitab Subulus Salam.
f. Al Imam Asy Syaukani, yang mengarang Ainul Authar.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
Pada masa ini para ulama menempatkan ulama-ulama mazhab yang sebelum maupun semasanya menjadi beberapa tingkat, yaitu:
a. Tingkat pertama disebut Ahlul Ijtihad Fil Mazhab. Yang termasuk ulama golongan ini adalah ulama yang tidak melakukan ijtihad secara mutlak dalam
segala bidang dan masalah. Mereka hanya berijtihad dalam beberapa kejadian baru menurut dasar-dasar ijtihad yang telah ditetapkan oleh para Imamnya.
b. Tingkatan kedua disebut Ahlul Ijtihad Fil Masa'il. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang berijtihad hanya dalam masalah yang tidak
diberikan hukumnya oleh imam-imam dengan menggunakan dasar-dasar yang telah dipergunakan oleh imam-imam mereka.
c. Tingkatan ketiga disebut Ahlul Takhriji. Yang termasuk golongan ini adalah ulama yang tidak berijtihad dalam menetapkan hukum melainkan menafsirkan
pendapat-pendapat yang singkat dari para Imam untuk diperjelas.
d. Tingkatan keempat disebut Ahlul Tarjiyah. Yang termasuk ulama golongan ini adalah mereka yang membandingkan riwayat-riwayat yang bermacam-
macam yang diriwayatkan oleh para Imam dan menentukan mana yang lebih baik diikuti karena dianggap lebih sahih atau sesuai dengan qiyas.
e. Tingkatan kelima disebut Ahlul Taqlid. Yang termasuk golongan ini adalah ulama-ulama yang hanya mengikuti para Imam-imamnya saja.
 
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
(MAZHAB-MAZHAB)
7. Perkembangan Hukum Islam Periode Ketujuh: Periode Kebangkitan Kembali (Akhir abad ke-13 H sampai
dengan sekarang)
Pada masa ini terdapat beberapa ulama yang menentang taqlid buta yaiutu yang hanya menbatasi ijtihad dalam batas-batas yang pernah dilakukan oleh para Imam
yang terdahulu saja. Golongan ini disebut golongan Salaf (Salafiyin).
Adapun ulama-ulama yang termasuk golongan Salafiyin dipelopori oleh beberapa ulama yaitu:
a. Al Imam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnul Qayyim (abad ke­8H.
b. Muhammad Ibn Abdul Wahab (abad ke-12 H); beliau adalah pembangun gerakan Wahabi di Semenanjung Jazirah Arab.
c. Jamaludin Al Afghani (abad ke-13 H), sebagai seorang tokoh Islam yang mencetuskan tentang Pan Islamisme.
d. Imam Muhammad Abduh dan murid-muridnya, misalnya: Sayid Ridha.
Periode ketujuh ini juga disebut periode kebangkitan Isam atau periode Modernisasi Islam. Modernisasi Islam ini dimulai dari negara-negara Mesir, Turki, Pakistan,
India dan pengaruhnya juga sampai ke Indonesia.

B. Kedatangan Islam di Indonesia


Menurut J.C van Leur, diperkirakan sejak tahun 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu Barus, daerah penghasil kapur barus yang terkenal. Dari
berita Cina bisa diketahui bahwa di masa dinasti Tang (abad 9-10 M) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton dan Sumatera. Tha-Shih adalah sebutan untuk orang-orang
Arab dan Persia, yaitu ketika itu jelas sudah menjadi muslim.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Pendapat yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudera Pasai,
Perlak, dan Palembang. Sementara itu di Jawa terdapat makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya
yang berasal dari abad ke-13.
 

1. Hukum Islam pada Zaman Kolonial Belanda


Hukum Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang, seiring dengan masuk, tumbuh dan berkembangnya di Indonesia. Hukum Islam memiliki periodesasi yang
setidak-tidaknya dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Hukum Islam diterima secara menyeluruh oleh umat Islam. Kenyataan ini dipahami dan diakui oleh pejabat Belanda, seperti Cornelis van de Berg. Dari sini kemudian
dimunculkan teori receptio in complexu. Hal ini dapat terlihat dalam statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama
Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
b. Hukum Islam diberlakukan apabila ia telah diterima oleh hukum adat, karena hukum yang berlaku bagi masyarakat Islam adalah hukum adat. Jadi hukum adatlah yang
menentukan berlakunya hukum Islam.
c. Hukum adat juga berlaku apabila diresepsi oleh hukum Islam. Jadi yang menentukan berlaku atau tidaknya hukum adat adalah hukum Islam.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
2. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Jepang
Dalam konteks administrasi penyelenggaraan negara dan kebijakan-kebijakan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang
memilih untuk tidak terlalu mengubah beberapa hukum dan peraturan yang ada.
Perubahan yang sangat terasa pengaruhnya adalah berkenaan dengan Peradilan. Jepang membuat kebijakan untuk melahirkan peradilan-peradilan sekuler
seperti Districtsgerecht (Gun Hoin), Regentschapsgerecht (Ken Hooin), Land gerecht (Keizai Hooin), Landraad (Tihoo Hooin), Raad van Justitie (Kootoo Hoin)
dan Hoogerechtshop (Saiko Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga peradilan yang melayani semua golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht
yang khusus untuk orang-orang Eropa dihapuskan.

3. Perkembangan Hukum Islam di Zaman Kemerdekaan


Setelah Indonesia merdeka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan
UUD 1945, seluruh peraturan pemerintah Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori
receptie harus keluar (exit) karena bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunnah rasul, sebagaimana dinyatakan oleh Hazairin.
Seorang tokoh yang menentang teori receptie adalah Sajuti Thalib yang dipaparkan dalam bukunya yang berjudul “Receptio a Contracrio”. Teori ini
mengandung sebuah pemikiran bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Melalui teori ini jiwa Pembukaan dan UUD 1945
telah mengalahkan Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM ISLAM
Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut Pendapat Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori
receptio. Karena pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakn bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sementara itu menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya Undang-undang Perkawinan itu, maka:
(1) Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam menilai apakah perkawinan sah atau tidak.
(2) Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum barat, dan
(3) Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam sepanjang pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan hukum umat
Islam.
Secara faktual di Indonesia sekarang ini, berlaku empat sistem hukum besar yang hidup dan berkembang di dunia. Keempat sistem hukum tersebut adalah:
(1) hukum adat.
(2) hukum Islam.
(3) hukum barat konstitusional, dan
(4) common law system atau sistem common law (hukum Inggris).
AL-AHKAM AL-KHAMSAH
Ahkam adalah jamak perkataan hukm. Khamsah artinya lima. Dengan demikian, yang dimaksud dengan al-ahkam al-khamsah yang disebut juga hukum
taklifi adalah lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam.
Ja’iz adalah ukuran penilaian bagi perbuatan dalam kehidupan kesusilaan (akhlak atau moral) pribadi. Kalau mengenai benda, misalnya makanan, disebut halal
(bukan ja’iz); sunat dan makruh adalah ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak atau moral) masyarakat, wajib dan haram adalah ukuran penilaian atau
kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah atau komponen penilain ini berlaku di dalam ruang lingkup keagaam yang meliputi semua
lingkungan kehidupan itu.
Ja’iz mampu membukakan kalbu ke alam gaib dan kekuasaan gaib, yang kemudian baru dikenalnya betul setelah datang utusanNya (nabi atau rasul)
menyampaikan kepada manusia pedoman untuk membedakan antara yang baik dan buruk dan cara-cara mencapai atau menghindarinya dalam rangka usaha
menghasilkan sesuatu atau menghindarinya dalam rangka usaha menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi hidupnya di dunia ini dan di akhirat kelak.
Sunnat dan Makruh , yakni ukuran penilaian bagi perbuatan yang dianjurkan, digemari, disukai dalam masyarakat karena baik tujuannya (sunnat), sedangkan
makruh adalah ukuran penilaian bagi perbuatan yag tidak diingini, dibenci, dicela oleh masyarakat karena tujuannya adalah buruk. Akibatnya, orang yang melakukan
perbuatan yang kaidahnya makruh, mendapat celaan umum.
AL-AHKAM AL-KHAMSAH
Sunnat atau makruh ini dapat dikemukakan bahwa walaupun perbuatan itu didasarkan pada kemerdekaan pribadi, namun telah berada dibawah
pengawasan masyarakat, dengan padahan (sanksi) pujian bagi perbuatan sunnat atau celaan bagi perbuatan yang kaidahnya makruh.
Haram dan wajib masih juga ada sangkut pautnya dengan kemerdekaan seseorang untuk berbuat, namun kemerdekaan itu kini bukan lagi hanya
dikendalikan oleh masyarakat saja tetapi telah dibendung oleh penguasa dalam satu kesatuan hidup kenegaraan.
Wajib adalah peningkatan sunnat sednag haram adalah kelanjutan peningkatan makruh. Atau dengan perkataan lain wajib berasal dari sunnat dan haram
bersumber dari makruh. Dan karena sunnat dan makruh bersumber dari ja’iz, maka wajib dan haram berpokok pangkal pada ja’iz pula.
Ajaran al-ahkam al-kahmsah ini meliputi seluruh kehidupan manusia, di dalam segala lingkungannya, kesusilaan pribadi, masyarakat dan hukum duniawi.
Lingkungan hukum duniawi adalah masyarakat yang dibentuk dengan penguasa sebagai pengelolaannya.
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri atas keinsafan bahwa hukum dan kesusilaan (moral) tidak dapat dipisahkan. Hukum tanpa kesusilaan
(moral) adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopi yang dapat menjurus kepada perikebinatangan.
AL-AHKAM AL-KHAMSAH
Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan atau moral dan berakar kepada kesusilaan atau moral dapat mendirikan perikemanusiaan. Keinsafan
persenyawaan antara hukum dan kesusilaan atau moral terpampang dalam UUD 1945 dalam Pasal 29 ayat 1, yang berbunyi: Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, maka dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh dibiarkan ada hukum yang bertentangan dengan norma Ilahi dan tidak boleh
dibiarkan ada kesusilaan atau moral yang berlawanan dengan sesuatu norma Ilahi.

Setiap petugas dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatn. Mereka berkewajiban untuk menegur dan memberi nasehat tentang kesusilaan (moral atau
akhlak buruk) baik secara preventif maupun represif. Tentu saja petugas-petugas negara dan masyarakat yang berkewajiban mengawasi kesusilaan (moral atau
akhlak) itu wajib pula berkesusilaan (bermoral atau berakhlak baik). Dan karena kesusilaan (moral) dalam Negara Indonesia ini harus bersesuaian dengan norma
Ilahi, maka semua petugas mesti pula terdiri dari orang-orang yang bukan saja beragama, tetapi juga benar-benar hidup menurut norma-norma agamanya yang di
dalam Islam disebut orang yang bertaqwa”.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
A. Pengertian Qawaidul Fiqhiyyah
Qawaidul Fiqhiyyah secara etimologi bermakna dasar-dasar yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fikih). Sedangkan menurut
ulama ushul, qawaidul fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah hukum Islam yang disusun oleh ulama berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (Al-Qur'an dan sunnah)
melalui metode induktif. Qawaidul fiqhiyyah diakui sebagai asas hukum dalam pengambilan hukum Islam (fiqih).
Qawaidul fiqhiyyah ini berfungsi sebagai hukum asal (al-ashlu) mewakili nash-nash yang mendasari perumusan kaidah-kaidahnya ini. Dengan demikian,
proses analisis hukumnya menggunakan metodologi qiyas, hanya saja hukum asalnya (al-ashlu) berbentuk kaidah yang merupakan kesimpulan dari nash.
Qawaidul fiqhiyyah memiliki kegunaan praktis bagi umat Islam (khususnya bagi yang belum memiliki kemampuan untuk berijtihad) sebagai pedoman awal
dalam mengambil hukum atas suatu peristiwa konkrit yang dijumpai agar setidaknya telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil hukum. Dengan
adanya pegangan qawaidul fiqhiyyah para mujtahid akan lebih mudah dalam men-istimbath-kan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan kepada
masalah yang serupa dubawah satu qaidah.
Pada abad keempat atau kelima hijriah kitab qawaidul fiqhiyyah disusun tersendiri serta terpisah dari kitab ushul fikih. Penyusunan qawaidul fiqhiyyah
pertama kali dilakukan oleh Abu Thahir ad Dabbas yang hidup sekitar abad ketiga hijriah menyusun tujuh belas qawaidul fiqhiyyah. Kemudian oleh al Kharkhi
ditambah sehingga menjadi tiga puluh tujuh kaidah, kemudian disusul oleh ad Dabusi yang menyusun kitab Ta’sisun Nadhar yang berisikan kaidah-kaidah kullyyah
disertai hukum perinciannya. Baru mulai abad ketujuh hijriah bermunculan kitab-kitab qawaid yang disusun oleh ulama mazhab.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
B. Al-Qawaid Al-Khams
Terdapat lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang dikenal dengan al-qawaid al-khams yaitu:

1. “Segala urusan menurut niatnya”.


Landasan formulasi dari kaidah ini adalah QS. Al-Bayinah ayat 5, QS. Az-Zumar ayat 2 dan beberapa hadis nabi
Hukum yang berasaskan kaidah ini adalah misalnya seorang pemburu yang menembak binatang buruan di hutan namun pelurunya nyasar pada seorang pencari kayu.
Apa yang dilakukan pemburu tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja karena adanya petunjuk bahwa pemburu tersebut tidak sengaja melakukan
pembunuhan disebabkan terhalang pepohonan, karenanya si pemburu hanya dikategorikan kepada pembunuhan dengan tidak sengaja.
Tiada pahala kecuali dengan niat. Kaidah ini memberikan pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan perbuatan yang bukan bernilai ibadah,
baik ibadah mahdah maupun ibadah ‘ammah jika dilakukan tanpa menyertakan niat beribadah maka ibadah tersebut tidak sah atay tidak mendatangkan pahala, karena niat
merupakan rukun.
Yang dianggap (dinilai) dalam aqad (perjanjian) adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan bentuk-bentuk perkataan. Aplikasi kaidah ini
misalnya apabila ada dua orang yang mengadakan suatu transaksi, dalam aqadnya menggunakan kata memberi barang dengan syarat si penerima barang mengganti atau
membayar harga, maka transaksi ini dipandang sebagai transaksi jual beli.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
2. “Kemadharatan itu harus dihilangkan”.
Kaidah dharurah yang berarti adanya suatu keadaan yang jika aturan hukum dilaksanakan sesuai tuntutan aslinya, seorang mukallaf akan memperolah mafsadah yang
berhubungan dengan hifdzu an-nafs atau memelihara jiwa. Kaidah ini disusun berdasarkan (QS. Al-Baqarah ayat 173, 195 dan 233, QS. An-An’am ayat 143 dan juga
didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Malik dari Ibnu Majah), yang artinya:
“Tidak boleh memadharatkan (menyulitkan orang lain) dan tidak boleh ada kemadharatan (kesulitan) bagi diri sendiri dalam Islam”.
Kaidah ini melahirkan kaidah cabang sebagai berikut:
a. “Kemadharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan lagi, atau yang menimbulkan kesulitan lain”. Contoh penggunaan kaidah ini adalah tidak boleh bagi
seseorang yang sedang kelaparan hingga akan meninggal mengambil makanan orang lain yang juga akan meninggal apabila makanannya hilang. Begitu juga dilarang
mengambil darah orang lain yang apabila diambil darahnya akan mengalami penyakit kekurangan darah.
b. “Kemadharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin”. Kaidah ini mewajibkan melakukan usaha-usaha preventif agar jangan terjadi suatu kemadharatan dengan segala
daya upaya yang mungkin dapat dilakukan. Penerapan kaidah ini dicontohkan oleh Umar bin Khattab yang membakar kedai arak agar jangan sampai terjadi kerusakan-
kerusakan lebih besar besar. Kaidah ini semakna dengan metode saddud dari’ah.
c. “Menghindari kesulitan harus didahulukan dari mendatangkan kemaslahatan”.
Dalam kaidah dharruah ini perlu juga diperhatikan kaidah umum yang menyatakan bahwa: “Keadaan keterpaksaan tidak boleh membatalkan hak orang lain”.
Kaidah ini membatasi penggunaan kaidah dharurah yakni misalnya manakala seseorang dalam keadaan terpaksa hingga melanggar hak atau membatalkan hak
orang lain, maka orang tersebut wajib mengembalikan atau mengganti hak tersebut pada pemiliknya.
QAWAIDUL FIQHIYYAH
3. “Kebiasaan (yang telah diketahui secara umum) itu mengikat (menjadi hukum)”.
Kaidah ini dikonstruksikan berdasarkan dalil-dalil yang mendasari penggunaan ‘urf sebagai sumber hukum Islam.
Penetapan hukum dengan ‘urf sama dengan penetapan hukum dengan nash (sama-sama mengikat). Kaidah ini memiliki arti bahwa suatu pengambilan
hukum dengan jalan ‘urf yang telah memenuhi syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan hukum yang didasarkan nash.

4. “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.


Kaidah ini dikenal pula sebagai kaidah istishab yang diformulasikan dengan nash, yakni QS. Al-Baqarah ayat 29, al-A’raf ayat 32 juga hadis, misalnya
riwayat Muslim yang menyatakan: “jika seseorang mengalami keraguan dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat yang telah dilakukan maka
yang dipegangi adalah pada yang diyakini”.

Termasuk dalam kaidah ini adalah:


a. “Asal dari segala sesuatu ini adalah ibahah (kebolehan)”. Kaidah ini menyatakan bahwa segala yang ada di bumi ini adalah boleh. Kaidah ini sangat luas
cakupannya sehingga kaidah ini harus diberikan batasan yakni dilengkapi dengan : “Khatta yadulla ad-daliilu ‘alaa at tahriimi”. Sampai adanya dalil yang
menunjukkan atas keharamannya. Maka dapat dipahami bahwa pada tempat-tempat yang tidak ditunjukkan keharamannya, maka padanya diberikan hukum
mubah (boleh).
QAWAIDUL FIQHIYYAH
b. “Hukum asal itu tetap berlaku sesuai semula untuk perbuatan yang diaturnya”. Artinya bahwa ketentuan hukum yang telah dilekatkan pada suatu perbuatan
untuk mengatur perbuatan tersebut, tetap berlaku sesuai adanya, sebelum ada ketentuan lain yang mengubahnya.
c. Suatu yang telah ditetapkan hukumnya pada waktu tertentu, tetap berlaku sebagai hukum, sebelum ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu berbeda.

5. “Kesukaran (kesulitan atau kesempitan) mendatangkan kemudahan”.


Kaidah rukhsah adalah merupakan jalan agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh mukallaf kapan saja dan dimana saja, yakni dengan memberikan kelonggaran atau
keringanan di saat mukallaf menjumpai kesukaran dan kesempitan.
Kaidah rukhsah ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 185, al-Hajj ayat 78 dan an-Nisa ayat 101, juga terdapat beberapa hadits yang pada intinya memberikan
keringanan dalam menjalankan suatu hukum dikarenakan adanya kesulitan-kesulitan tertentu.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
A. Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip (al-mabda) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam. Prinsip-prinsip itu adalah:
1. Mengesakan Tuhan (tauhid), semua manusia dikumpulkan di bawah panji-panji atau ketetapan yang sama yaitu: La Ilaha Illallah (QS. Ali Imran : 64)
2. Manusia berhubungan langsung dengan Allah, tanpa atau meniadakan perantara antara manusia dengan Tuhan (QS. al-Ghafir : 60, al-Baqarah : 186)
3. Keadilan bagi manusia, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain (QS. an-Nisa : 135, QS. Al-Maidah : 8, QS. al-An’am : 152, QS. al-Hujurat : 9).
4. Persamaaan (al-muswah) di antara umat manusia, p[ersamaan di antara sesama umat Islam. Tidak ada perbedaan antara orang Arab dan ‘Ajam, antara manusia yang berkulit putih
dan hitam, yang membedakannya hanyalah takwanya (QS. al-Hujurat : 13, QS. al-Isra : 70 dan beberapa hadis)
5. Kemerdekaan atau kebebasan (al-hurriyah), meliputi kebebasan agama, kebebasan berbuat dan bertindak, kebebasan pribadi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh huk um (QS.
al-Baqarah : 256, QS. al-Kafirun : 5, QS. al-Kahfi : 29).
6. Amar ma’ruf nahi munkar, yaitu memerintahkan untuk berbuat yang baik, benar, sesuai dengan kemaslahatan manusia, diridhoi oleh Allah dan memerintahkan untuk menjauhi
perbuatan buruk, tidak benar, merugikan umat manusia, bertentangan dengan perintah Allah (QS. Ali Imran : 110);
7. Tolong menolong (Ta’awun), yaitu tolong menolong, saling membantu antarsesama manusia sesuai dengan prinsip tauhid, dalam kebaikan dan takwa kepada Allah SWT, bukan
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. al-Maidah : 2, QS. al-Mujadalah : 9)
8. Toleransi (tasamuh), yaitu sikap saling menghormati, untuk menciptakan kerukunan dan kedamaian antar sesama manusia (QS. al-Mumtahanah : 8, 9).
9. Musyawarah dalam memecahkan segala masalah kehidupan (QS. Ali Imran : 159, QS. as-Syura’ : 38)
10. Jalan tengah (ausath, wasathan) dalam segala hal QS. al-Baqarah : 143)
11. Menghadapkan pembebanan (khitab, taklif) kepada akal (QS. al-Hasyr : 2, QS. al-Baqarah : 75, QS. al-An’am : 32, 118)
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
B. CIRI-CIRI HUKUM ISLAM
Ciri-ciri kekhusuan hukum Islam yang membedakanya dengan hukum lain, adalah:
1. Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah SWT, yang terdapat dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Rasul-Nya
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral)
3. Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin)
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak)
5. Hukum Islam mengarah kepada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.

C. SENDI-SENDI HUKUM ISLAM


Hukum Islam dibangun di atas sendi-sendi atau tiang-tiang pokoknya (da’a imut tasyri). Sendi-sendi itu adalah :
8. Hukum Islam mewujudkan dan menegakkan keadilan yang merata bagi seluruh umat manusia (tahqiq al-adalat)
9. Hukum Islam memelihara dan mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia (ri’ayat mashalih al-ummat)
10. Hukum Islam tidak membanyakkan (mensedikitkan) badan dan menghindarkan (menghilangkan) kesulitan. (Qillat al-taklif, nafyu al-haraj wa raf’u al-masyakkat)
11. Pembebanan yang bertahap (tadarruj fi al-tasyri)
12. Masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri.
 
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
D. TUJUAN HUKUM ISLAM
Tujuan pencipta hukum (syari’) dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk kemaslahatan dan kepentingan serta kebahagiaan manusia
seluruhnya, baik kebahagiaan di dunia yang fana (sementara) ini, maupun kebahagiaan di akhirat yang baqa (kekal) kelak. Tujuan hukum Islam yang demikian
itu dapat kita tangkap antara lain dari firman Allah SWT dalam QS. al-Anbiya : 107, QS. al-Baqarah : 201-202.
Tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) sebagaimana diuraikan di atas, dapat dirinci kepada lima tujuan yang disebut al-maqashid al-khamsah atau
al-kuliyat al-khamsah.
Lima tujuan itu adalah, Pertama : Memelihara agama (hifdz al-din), Kedua : memelihara jiwa (hifdz al-nafs), Ketiga : Memelihara akal (hifdz al-aql).
Oleh karena itu akal perlu dipelihara, dan yang merusak akal perlu di larang. Aplikasi pemeliharaan akal ini antara lain larangan minum khmr, (minuman keras),
dan minuman lain yang dapat merusak akal, karena khamr dan minuman tersebut dapat merusak dan menghilangkan fungsi akal manusia. Keempat :
Memelihara keturunan (hifdz al-nasl). Untuk memelihara kemurnian keturunan, maka Islam mengatur tata cara pernikahan dan melarang perzinahan serta
perbuatan lain yang mengarah kepada perzinahan tersebut. Kelima : Memelihara harta benda dan kehormatan (hifdz al-mal-wa al-irdh). Aplikasi pemeliharaan
herta antara lain pengakuan hak pribadi, pengaturan mu’amalat seperti jual-beli, sewa menyewa, gadai dsb. Selanjutnya aplikasi pemeliharaan kehormatan
nampak dalam larangan menghina orang lain ancaman hukuman bagi penuduh zina (qadzaf).
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
D. TUJUAN HUKUM ISLAM

Hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hidup yang hakiki. Semua yang menjadi kepentingan hidup manusia harus diperhatikan.
Kepentingan-kepentingan hidup manusia dapat dibagi tiga : yaitu kepentingan primer atau kepentingan (pokok) (al-dharuriyat), kepentingan sekunder atau yang
tidak termasuk kepentingan pokok (al-hajiyat), dan kepentingan tertier atau kepentingan pelengkap, penyempurna (al-tahsiniyat atau al-kamaliyat). Yang
termasuk kepentingan-kepentingan primer (al-dharuriyat) adalah almaqashid al-khamsah atau al-kuliyat al-khamsah, sebagaimana diuraikan di atas.
Kepentingan sekunder adalah kepentingan-kepentingan yang diperlukan dalam kehidupan manusia, agar hidup manusia tidak mengalami kesulitan. Yaitu
kepentingan yang kalau tidak dipenuhi tidak akan merusak kehidupan manusia, namun akan mendatangkan kesulitan dalam kehidupan mereka. Kepentingan
tertier ialah kepentingan-kepentingan yang apabila tidak dipenuhi, tidak akan mengakibatkan kesulitan hidup, apalagi akan merusaknya. Misalnya memakai
pakaian atau kendaraan yang bagus dan indah, menghindari hal-hal yang tercela dan sebagainya.
Terpenuhinya tiga kepentingan di atas akan menyempurnakan kehidupan manusia. Dengan demikian kepentingan yang termasuk tertier (al-tahsiniyat)
meyempurnakan yang sekunder (al-hajiyat), dan kepentingan sekunder (al-hajiyat) menyempunakan yang primer (al-dharuriyat). Kepentingan al-dharuriyat
merupakan induk tujuan hukum Islam.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tujuan diturunkannya syari’at (hukum) Islam adalah untuk kepentingan, kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan
umat manusia di dunia dan di akhirat kelak.
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
E. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam pada
hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalya, (1) munakahat, (2) wirasah,
(3) mu’amalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ‘ukubat, (5) al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7) mukhasamat.
Hukum perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya ; (2)
wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam ini disebut
juga hukum fara’id, (3) muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli,
sewa menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum publik (Islam) adalah (4) jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah
hudud maupun dalam jarimah ta’zir, al-ahkam as-sulthaniya membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah
pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya (6) siyar mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain (7)
mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.
 
PRINSIP-PRINSIP DAN TUJUAN
HUKUM ISLAM
F. Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
Hukum Islam, sebagai bagian agama Islam, melindungi hak asasi manusia. Kalau hukum Islam dibandingkan dengan pandangan atau pemikiran (hukum)
Barat (Eropa, terutama Amerika) tentang hak asasi manusia., akan kelihatan perbedaanya. Perbedaan itu terjadi karena pemikiran (hukum) Barat memandang hak
asasi manusia semata-mata antroposentris, artinya berpusat pada manusia. Dengan pemikiran itu manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, pandangan hukum
Islam yang bersifat teosentris. Artinya berpusat pada Tuhan. Manusia adalah penting, tetapi yang lebih utama adalah Allah. Allahlah pusat segala sesuatu.
Oleh karena perbedaan pandangan itu, terdapat perbedaan pokok antara Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang disponsori Barat dengan Deklarasi Hak-
hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh umat Islam. Deklarasi Kairo tahun 1990, misalnya, yang dikeluarkan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), di
dalamnya termasuk juga Indonesia.
Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa semua hak dan kebebasan yang terumus dalam deklarasi tunduk pada syariat atau hukum Islam. Satu-satunya
ukuran, mengenai Hak-hak Asasi Manusia, adalah syariat Islam.
Hak-hak yang dirumuskan dalam deklarasi itu, kebanyakan hak ekonomi. Hak politik, seperti hak untuk mengutarakan pendapat secara bebas, tidak boleh
bertentangan dengan asas-asas syariah. Dinyatakan pula bahwa semua individu sama di muka hukum. Ketentuan lain adalah keluarga merupakan dasar
masyarakat, wanita dan pria sama dalam martabat kemanusiaan. Hak atas hidup, dijamin. Pekerjaan adalah hak individu yang dijamin oleh negara. Demikian juga
hak atas pelayanan kesehatan, sosial dan kehidupan yang layak. Ditegaskan pula bahwa tidak ada saksi, kecuali yang ditentukan dalam syariat atau hukum
Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Dalam pepatah :
adat dan syara’ sanda menyanda, syara’ mangato adat memakai. Menurut Hamka, makna pepatah ini dalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara’)
erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara’ itu sendiri.
Dalam buku-buku hukum yang ditulis oleh para penulis Barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu, hubungan hukum
adat dengan hukum Islam di Indonesia terutama di Minangkabau, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan, sikap penguasa jajahan terhadap kedua
sistem ukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam).
Menurut van Vollenhoven, hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumiputera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau
hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak bolah terjadi di Hindia Belanda.
B. ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut ter Haar, antara hukum adat dengan
hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama, karena titik-tolaknya berbeda. Hukum adat bertitik tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat,
sedangkan hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum saja. Karena perbedaan titik tolak itu, timbulah pertentangan yang kadang-kdang dapat diperlunak
tetapi seringkali tidak. Karena itu, secara teoritis hukum Islam tidak dapat diterima, karena itu wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, dibatasi sampai
ke bidang yang sekecil-kecilnya.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Para penulis Barat/Belanda selalu menggambarkan kelanjutanya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam) keduanya seakan-
akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataanya tidaklah demikian, karen di kalangan
adat terdapat orang-orang alim dan di kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat.
Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara hukum Islam dengan
hukum adat di Minangkabau. Secara teoretis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin dislesaikan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidaklah demikian
halnya. Kesepakatan antara ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam Perang Pederi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap
mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu adalah adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Al-Qur’an). Rumusan itu diperkuat
seminar hukum adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan bahwa pembagian warisan orang
Minangkabau, untuk (I) harta pusaka tinggi diperoleh turun-temuran dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian,
yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara’ (hukum Islam).
Bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa “hukum Islam adalah
penyempurnaan huku adat”. Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam.
HUBUNGAN HUKUM ADAT
DENGAN HUKUM ISLAM
Dalam melaksanakan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, dapat didalilkan bahwa Pengadilan Agama adakalanya dapat mempergunakan hukum adat sebagai dasar
untuk mengambil sesuatu keputusan. Namun, yang dipergunakan itu tentulah bukan hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam ( contra legem), tetapi terbatas pada
hukum adat yang serasi dengan asas-asas hukum Islam (mahdi, 1978:32). Ini sesuai dengan ajaran yang mengatakan bahwa adat yang baik dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana atau cara pembentukan hukum Islam.
Masalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam ini mungkin pula dapat dilihat dari sudut al-ahkam al-khamsah, yakni lima kategori hukum Islam yang telah
diuraikan di atas, yang mengatur semua tingkah laku manusia Muslim di segala lingkungan kehidupan dalam masyarkat.
Ke dalam ketegori kaidah terkahir ini (ja’iz atau mubah) agaknya adat dan bagian-bagian hukum adat itu dapat dimasukan baik yang telah ada sebelum Islam datang ke tanah
air kita maupun yang tumbuh kemudian, asal saja tentunya tidak bertentangan dengan aqidah (keyakinan) Islam.
Di dalam kitab-kitab fiqih Islam banyak sekali garis-garis hukum yang dibina atas dasar urf atau adat kaena para ahli hukum telah menjadikan urf atau adat sebagai
salah satu alat atau metode pembentukan hukum Islam.
Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuh.
1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakuli oleh pendapat umum
2. Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak
5. Tidak bertentangan dengan syariat Islam.
 
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Yang dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, tata hukum adalah susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara
tertentu. Dengan demikian yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam dalam susunan atau sistem hukum yang berlaku di
Indonesia.
Sistem hukum Indonesia, bersifat majemuk. karena sampai sekarang di dalam Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang
mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Ketiga sistem hukum itu mulai
berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Hukum adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada
permulaan abad ke-20. Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di Nusantara ini.
Hukum Barat mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah VOC setelah menerima kekuasaan untuk berdagang dan "menguasai" kepulauan
Indonesia dari pemerintah Belanda pada tahun 1602. Mula-mula hukum Barat hanya diberlakukan terhadap orang-orang Belanda dan Eropa saja, tetapi
kemudian, dengan berbagai peraturan dan upaya, dinyatakan berlaku bagi orang Asia dan dianggap berlaku juga bagi orang Indonesia yang menundukkan dirinya
pada hukum Barat dengan sukarela atau karena melakukan suatu perbuatan hukum tertentu di lapangan keuangan, perdagangan dan ekonomi pada umumnya.
Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan, tumbuh dalam masyarakat, dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Mengenai kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat majemuk itu dapat ditelusuri dalam uraian berikut:
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi. Ibnu Batutah seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. la
mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik AI-Zahir berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu,
selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum) yang mahir tentang hukum Islam.
Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’ dari Pasailah disebarkan paham Syaf'i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di
Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudera Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai
masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarkat.
Secara tradisional biasanya, ilmu agama yang diberikan adalah (1) ilmu kalam, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu tasawuf. Namun, karena sejarah masuknya
dan keadaan di Indonesia, ilmu agama yang diajarkan pada waktu itu dimulai dari (1) ilmu tasawuf, (2) ilmu fiqih dan (3) ilmu kalam. Dengan sistem
pendidikan yang demikian, secara damai menyebarlah ajaran Islam ke seluruh kepulauan Indonesia, Nuruddin Ar-Raniri yang hidup di abad ke-17 menulis buku
hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim (Jalan Lurus) pada tahun 1628. Kitab hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam
pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia.
KEDUDUKAN HUKUM ISLAM
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi Mufti di Banjarmasin kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan dijadikan pegangan dalam
menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Namanya Sabilal Muhtadin, yang kini menjadi nama sebuah masjid besar (Sabilal Muhtadin) di
Banjarmasin.
Hukum Islam diikuti dan dilaksanakari juga oleh para pemeluk agama Islam dalam kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan kemudian
Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup di masa itu. Di antara karya tersebut dapat disebut misalnya Sajinatul Hukum.
Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia. Pengaruh itu
merupakan penetration pasifique, tolerante et constructive (penetrasi secara damai, toleran dan membangun).
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Implementasi hukum Islam dalam kehidupan bernegara hingga saat ini mengalami perkembangan yang signifikan, sebagai contoh misalnya dalam dunia hukum
ekonomi. Hukum ekonomi Islam saat ini marak diterapkan dalam lembaga-lembaga keuangan, misalnya dalam dunia perbankan dikenal adanya bank berdasarkan prinsip
syariah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditahun 2006 juga mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
memperluas kewenangan Peradilan Agama untuk berwenang menerima, memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.

 
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Dengan demikian implementasi hukum perdata Islam melalui postivisasi hukum Islam relatif berhasil dilaksanakan dengan optimal, baik dalam bidang hukum
keluarga maupun hukum ekonomi. Sedangkan dibidang hukum publik, khususnya hukum pidana Islam belum dapat dilakukan, kecuali di Provinsi Naggroe Aceh
Darussalam.

A. Implementasi Hukum Islam Dalam Bidang Hukum Keluarga (Family Law)


1. Bidang Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang untuk selanjutnya disingkat UUP, Perkawinan didefinisikan sebagai
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhan Yang Maha Esa.
Beberapa hal yang merupakan ciri khusus dalam perjanjian perkawinan yang membedakan dengan perjanjian lainya antara lain ialah:
a. Perjanjian perkawinan adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk selama-lamanya
b. Isi dari perjanjian perkawinan itu sudah ditentukan terlebih dahulu di dalam agama Islam, sehingga pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian itu tidak dapat dengan
bebas menentukan sendiri sesuai kehendaknya masing-masing.
c. Cara-cara pemutusan perjanjian perkawinan ini ketentuannya juga sudah ditentukan terlebih dahalu, sehingga para pihak tidak dapat menentukan sendiri secara bebas.
Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam pada dasarnya dapat diperinci sebagai berikut:
d. Menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan.
e. Membentuk/mewujudkan satu keluarga yang damai, tentram dan kekal dengan dasar cinta dan kasih sayang.
f. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
2. Bidang Kewarisan
Dalam Buku II KHI tentang Hukum Kewarisan, Bab I Ketentuan Umum Pasal 171 huruf a disebutkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dengan demikian hukum waris ini sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan
peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Waris. Dengan demikian Hukum
Waris dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum
lainya.
3. Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab washiyyah yang berarti pesan. Menurut istilah Fikih Islam yang dicantumkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Wasiat Mesir no.
71/1946, sebagai berikut:
“Wasiat adalah tindakan seseorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggal”.
Wasiat menurut Pasal 171 huruf f kompilasi hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
4. Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab yang scara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, juga bisa berarti memberi. Dalam Pasal 171 huruf (g) KHI
disebtukan bahwa Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Dalam Pasal 210 KHI disebutkan beberapa ketentuan mengenai hibah, yakni:
a. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibakan sebanyak-banyaknya 1/3 harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
b. Harta benda yang dihibakan harus merupakan hak dari pengibah.
Juga dientukan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah
orang tua kepada anaknya, serta dalam hal hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian harus mendapatkan
persetujuan dari ahli warisnya jika lebih dari sepertiga.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
B. Implementasi Hukum Islam Dalam Bidang Pidana (Jinayah)
Hukum Pidana Islam dalam Fikih Islam disebut dengan istilah al-jinaayat, yang artinya adalah perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran.
Ada beberapa definisi istilah yang terkait dengan Jarimah, yaitu sebagai berikut:
1. Jarimah adalah larangan-larangan Syara’ yang diancam dengan hukuman Hadd atau Ta’zir
2. Hukuman Hadd adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Quran dan Sunnah Rasul
3. Hukuman Ta’zir adalah hukuman yang ketentuannya tidak dipastikan dalam nash al-Quran dan Sunnah Rasul tetapi ketentuannya menjadi
wewenang penguasa.
Pemberlakuan fikih jinayah, pada saat ini di Indonesia baru dapat dilakukan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemberlakuan ini dimulai
dengan pembentukan Mahkamah Syariah melalui Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariah Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober
2002/Sya’ban 1423 H.
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 ini mendapat dukungan dari Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 1 Maret 2003 (1 Muharram 1424 H).
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
C. Implementasi Hukum Islam Dalam Bidang Ekonomi
1. Zakat
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat disebutkan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan
oleh seseorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Kemudian pengelolaan zakat itu sendiri,
dalam Pasal 1 angka 1 diartikan sebagai kegiatan perencanaan, pelaksanaan dalam pengoordinasian dalam pengumpulan pendistribusian dan pendayagunaan
zakat.
2. Wakaf
Wakaf berasal dari kata Arab waqf yang artinya menahan. Menurut istilah, wakaf berarti "menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa mengalami
musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah, serta untuk mendapatkan keridlaan Allah SWT”.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/-
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA
Wakaf menurut hukum Islam terkait dengan kepada siapa wakaf ditujukan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Wakaf Ahli atau wakaf keluarga atau dapat juga dikatakan sebagai wakaf khusus, ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seorang atau
lebih baik masih keluarga atau orang ain. Wakaf khusus ini dipandang berhak menikmati harta wakaf itu adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan
wakaf.
b. Wakaf Khairi (umum), ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi
inilah yang pada dasarnya sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat dianjurkan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus
mengalir sekalipun wakif telah meninggal dunia selagi harta wakaf itu masih tetap dapat diambil manfaatnya.
3. Lembaga Keuangan Islam
a. Bank Syariah
Eksistensi perbankan syariah di Indonesia lebih tegas terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang merupakan amandemen dari Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-
bentuk lainya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
IMPLEMENTASI HUKUM ISLAM
DALAM BIDANG EKONOMI
Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran kemudian dalam Pasal ayat 4 dinyatakan bahwa Bank
Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yanq dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b. Asuransi Syariah
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari sesuatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
sesuatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian).
Sementara itu khusus untuk asuransi dengan Prinsip Syariah diatur antara lain melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Reasuransi yang dalam Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Prinsip Syariah adalah prinsip perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain, dalam menerima amanah dengan mengelola dana peserta melalui kegiatan investasi
atau kegiatan lain yang diselenggarakan sesuai syariah.
Dengan demikian adanya perkembangan yang_signifikan di bidang ekonomi syariah yang semula terjadi pada sektor perbankan, ternyata juga berimbas
bagi usaha perasuransian di Indonesia.  
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
D. Penyelenggara Haji Di Indonesia
1. Pengertian Haji
Setiap muslim yang mampu (istitha'ah) diwajibkan untuk melaksanakan haji dan umrah seumur hidup satu kali. Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam.
Ibadah haji, adalah berkunjung ke Bayt Allah (Ka'bah)di tanah suci Mekkah dan melaksanakan sejumlah pekerjaan tertentu (manasik haji), pada masa tertentu. Ibadah umrah
adalah berkunjunng ke Bayt Allah (ka'bah) di tanah suci Mekkah melakukan Thawaf, sa'i, dan bercukur (tahallul). Ibadah haji dan umrah dilakukan dalam rangka memenuhi
panggilan dan perintah Allah SWT, serta mengharapkan ridha-Nya
2. Syarat, Rukun dan Wajib Haji
Pelaksanaan ibadah haji harus mentenuhi beberapa syarat, rukun dan wajib haji sebagai berikut :
a. Syarat Haji
Beragama Islam, Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat) , Merdeka (bukan budak), Istitha'ah (mampu melaksanakannya). Bila tidak terpenuhi syarat-syarat ini, maka gugurlah
kewajiban haji seseorang.
b. Rukun Haji
Niat Ihram dari miqat (berihram) , Wukuf di Arafah, Tawaf Ifadah, Sa'i, Mencukur rambut , Tertib. Rukun haji adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan, apabila tidak
dikerjakan maka hajinya batal.
c. Wajib Haji
Ihram dari miqat, Mabit di Muzdalifah, Mabit di Mina, Melontar Jamrah Ula, Wusta dan Aqabah , Tawaf wada' bagi yang akan meninggalkan Makkah. Wajib haji adalah
pekerjaan harus dilaksanakan, apabila tidak dikerjakan, hajinya tetap sah, tapi harus membayar denda (dam).
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
3. Syarat, Rukun dan Wajib Umrah
a. Syarat Umrah
Beragama Islam, Baligh (dewasa) , Aqil (berakal sehat), Merdeka (bukan budak), Istitha'ah (mampu melaksanakannya). Bila tidak terpenuhi syarat-syarat ini,
maka gugurlah kewajiban umrah seseorang.
b. Rukun Umrah
Niat ihram, Tawaf umrah, Sa'i, Mencukur rambut, Tertib. Rukun umrah tidak dapat ditinggalkan. Bila tidak terpenuhi, maka umrahnya tidak sah.
c. Wajib Umrah
Wajib umrah ini adalah ketentuan yang bilamana dilanggar, maka ibadah umrahnya tetap sah tetapi harus bayar dam (denda).
4. Ibadah Haji Perlu Manajemen Yang Baik
Salah satu bentuk perwujudan pengamalan nilai-nilai Pancasila, adalah meningkatnya keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
tercermin dari meningkatnya amalan ibadah bagi masing-ma­sing pemeluk agama di Indonesia. Sedangkan salah satu bentuk amal ibadah bagi orang Islam adalah
melaksanakan ibadah haji. Karena bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, maka sudah bisa dipastikan tiap tahun akan banyak bangsa Indonesia yang
menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dalam menyangkut martabat serta nama baik bangsa, dan
karenanya ia merupakan tanggung jawab pemerintah.
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Pelaksanaan ibadah haji mempunyai ciri khusus dibanding ibadah lainnya. Ciri-ciri itu antara lain :
a. Ibadah haji dilaksanakan di tempat yang sangat jauh dari Indonesia Jarak Indonesia dengan tanah suci Mekkah, lebih dari 10.000 mil jauhnya.
b. Ibadah haji dilaksanakan di negara asing (bukan di dalam negeri)
c. Penyelenggaraan ibadah haji melibatkan orang banyak dan berbagai departemen.
d. Ibadah haji memerlukan biaya yang cukup mahal
e. Ibadah haji dilaksanakan serentak dalam waktu yang sama oleh jutaan manusia, terutama wukuf di Arafah.
Untuk mencapai hikmah ibadah haji yang optimal, maka semua kewajiban manasik haji harus dilaksanakan dengan benar dan baik. Agar ibadah haji dapat
dilaksanakan dengan benar dan baik, maka diperlukan dukungan berbagai faktor terhadapnya. Ibadah haji yang dilaksana oleh bangsa Indonesia dihadapkan kepada berbagai
masalah yang perlu ditangani. Oleh karena itu melaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, melibatkan berbagai pihak untuk menangani berbagai masalah
tersebut. Masalah-masalah itu meliputi antara lain masalah manajemen : 1) transport, 2) akomodasi, 3) konsumsi, 4) keuangan dan perbankan, 5) k esehatan, 6) keamaman
dan keselamatan, 7) keiimigrasian, dan 8) bimbingan manasik.
Karena penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, yang di dalamnya melibatkan berbagai masalah,
maka penyelenggaraan haji tersebut mutlak memerlukan penanganan yang benar, baik, efisien dan profesional. Semua itu dalam rangka memberikan pelayanan yang baik,
dan jaminan keamanan, kenyamanan serta keselamatan bagi jamaah haji menuju tercapainya haji yang mabrur, yang menjadi cita-cita seluruh jamaah haji.
Pada tanggal 3 Mei 1999 telah diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
5. Asas dan Tujuan
Berdasarkan pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat undang-undang), asas dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji
disebutkan sebagai berikut :
Penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan asas keadilan mem­peroleh kesempatan, perlindungan, dan kepastian hukum sesuai dengan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 (pasal 4)
Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen
penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama serta jamaah
haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur (pasal 5).
E. Kerukunan Hidup Beragama Di Indonesia
1. Prinsip Kerukunan Hidup Antarumat Beragama
Prinsip-prinsip kerukunan antar umat beragama menurut ajaran Islam, ditegaskan dalam al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW, serta telah dipraktekkan oleh umat Islam, sejak masa Rasulullah SAW,
masa sahabat
sampai sekarang. Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut :
a. Islam tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama (QS. al-Baqarah : 256)
b. Allah SWT tidak melarang orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan tidak boleh memusuhi penganut agama lain, selama mereka tidak memusuhi tidak memerangi dan tidak mengusir
orang Islam (QS. al-Mumtahanah : 8).
c. Dalam pandangan Islam hanya agama Islam yang benar, namun Islam mengakui eksistensi agama lain (QS. Al-Kafirun : 1-6)
d. Islam mengharuskan berbuat baik dan menghormati hak-hak tetangga, tanpa membedakan agama tetangga tersebut. Sikap menghormati terhadap tetangga itu dihubungkan dengan iman kepada
Allah SWT dan iman kepada hari akhir (Hadis Nabi riwayat Muttafaq Alaih)
2. Pembentukan Departemen Agama R.I.
Di Indonesia terdapat lima macam agama yang resmi diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu dan Budha.
Dalam rangka melayani, membimbing dan membina kehidupan umat beragama di Indonesia, maka dibentuklah departemen tersendiri yaitu Departemen Agama Republik Indonesia (3 Januari 1946).
Dalam organisasi Departemen Agama tersebut, terdapat beberapa Direktorat Jederal, yaitu Direktorat Tendral Bimbingan masyarakat Islam dan Urusan Haji, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat
Kristen Protestan, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyrakat Katolik dan Direktorat Jendral Bimbing Masyarakat Hindu dan Budha.
3. Tiga Kerukunan
Dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama, diupayakan adanya tiga kerukunan yaitu:
e. Kerukunan Intern Umat Beragama
f. Kerukunan Antarumat Beragama
g. Kerukunan Antara Umat Beragama dengan pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah sangat diperlukan bagi terciptanya stabilitas nasional dalam rangka pembangunan bangsa.
4. Perundang-Undangan Dalam Rangka Memelihara Kerukunan Umat Beragama
Pancasila sebagai perjanjian luhur yang merupakan kesepakatan di antara semua umat beragama di Indonesia.
UUD 1945 Pembukaan dan pasal 29 UUD 1945 memberikan landasan yuridis bagi terciptanya kerukunan hidup beragama.
Landasan lain yang menjadi acuan kerukunan hidup antar umat beragama adalah Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Bab III GBHN 1999
disebutkan bahwa di antara misi bangsa Indonesia untuk mewujudkan visinya adalah:
a. Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. Penegakan kedaulat­an rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
c. Peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan
umat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai.
5. Perundang-Undangan lain:
d. Undang-undang No.1 PNPS 1965 tangal 27 Januari 1965, ten­tang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau penodaan Agama. Undang-undang ini dimasukkan menjadi pasal 156 a kitab Udn­ang-Undang
Hukum Pidana.
e. Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01 /Ber/MDN-MAG 1969 tanggal 13 September 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintahan dalam menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk Pemeluknya.
f. Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tanggal l l April 1978 tentang kebijaksanaan Mengenai Aliran Kepercayaan.
g. Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama.
e. Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tanggal 15 Agus­tus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga-Lem­baga Keagamaan di Indonesia
f. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tanggal 2 Januari 1979 tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri.
g. Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979 tanggal 27 Septem­ber 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pengawasan ter­hadap Organisasi dan Aliran Dalam Islam yang Bertentangan dengan
Ajaran Islam.
h. Keputusan Menteri Agama R.I. No. 35 Tahun 1980 tanggal 30 Juni tentang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama.
i. Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-Hari Besar Keagamaan.
j. Khusus di daerah Jawa Barat, Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tk. I Jawa Barat No. 28 Tahun 1990, tanggal 4 Oktober 1990, tentang Petunjuk Pelaksanaan Per ­cepatan Pencapaian Target Tahun
Kedua Pelita V pada Bab IIl, pada petunjuk khusus angka II.
Berdasarkan Instruksi Gubernur No. 28 tahun 1980 diatas, tentang kerukunan hidup beragama antara lain disebutkan:
1) Tindakan preventif
a) Penyebaran agama
(1) Tidak ditujukan terhadap orang atau orang orang yang telah memeluk sesuatu agama lain;
(2) Tidak menimbulkan perpecahan di antara umat beragama tidak disertai intimidasi, bujukan, pemberian material, paksaan atau ancaman dalam segala bentuk;
(3) Tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban umum;
(4) Tidak dilakukan den­gan cara-cara penyebaran pamplet, buletin, majalah buku­-buku dan sebagainya di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain;
(5) Tidak di­lakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.
b) Pendirian dan penggunaan tempat ibadah
(6) Perhatikan pendapat tertulis dari Kepala Kantor Departemen Agama setempat;
(7) Sesuaikan dengan perencanaan tata guna dan tata ruang setempat yang melibatkan BAPPEDA, PU, Pemerintahan, Kesra, Kandepag;
(8) Sesuaikan dengan kebutuhan penduduk domisili setempat den­gan jumlah minimal 40 (empat puluh) kepala keluarga;
(9) Perhatikan dan pertimbangkan kondisi dan keadaan setempat;
(10)Perhatikan izin dari masyarakat sekitarnya,
(11)Perhatikan pendapat tertulis dari MUI, DGI, Parisadha Hindu Dharma, MAWI, WALUBI, Ulama/ Rokhaniawan setempat.;
(12)Tidak mengalihfungsikan suatu tempat dan atau bangunan untuk digunakan tempat ibadat;
(13)Selenggarakan dialog atau musyawarah antarumat beragama baik tingkat I maupun tingkat Nasional.
2) Tindakan represif
a) Selesaikan perselisihan/pertentangan antara pemeluk­pemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan penyebaran/penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama atau pendirian rumah
ibadat bersama-sama dengan kepala Kantor Departemen Agama dan instansi terkait.
b) Selesaikan perselisihan/pertentangan/yang menimbul­kan tindak pidana melalui alat-alat penegak yang ber­wenang.

Anda mungkin juga menyukai