Anda di halaman 1dari 33

HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah pranata sosial

Dosen : Rego Pradana, M.Pd.

RESUME BUKU

Oleh :

Winanda Safera(1920.01.04.0007)

Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan


Sosial
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Al-
Amin
Indramayu
2020
1

RESUME BUKU

Judul buku : Hukum Islam Dan Pranata Sosial


Pengarang : Drs. Dede Rosyada, M.A.
Penerbit : Raja Grafindo Persada
Tahun : (Cetakan Kedua, Februari 1994)
Tebal halaman : i-xiv, 1-208 hal.

BAB I
SYARI’AH DAN FIQH

A. PENGERTIAN SYARI’AH
Menurut bahasa syari’ah berarti “jalan tempat
keluarnya air untuk minum”. Kemudian bangsa arab
menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus. Dan pada
saat dipakai dalam pembahasan hukum menjadi bermakna
“segala sesuatu yang di syari’atkan Allah kepada hamba-
hambaNya”, sebagai jalan lurus untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Manna’ al-Qathan berpendapat bahwa istilah syari’ah
itu mencakup aspek akidah dan akhlaq disamping aspek
hukum. Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan
antara syari’ah sebagai ajaran yang datang dari Tuhan,
dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia.
Namun dia mengidentikan syari’ah dengan agama.
Sementara itu Faruq Nabhan berpendapat bahwa
syari’ah itu mencakup aspek-aspek aqidah, akhlaq dan
amaliah. Namun menurutnya, istilah syari’ah itu terkadang
berkonotasi fiqh, yaitu pada norma-norma amaliyah
beserta implikasi kajiannya.
2

Berbeda dengan Manna al-Qathan dan Faruq


Nabhan, Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang
lebih jelas. Dia mengartikan bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, atau hasil
pemahaman atas dasar ketentuan tersebut, untuk
dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam
hubungan dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya,
orang islam dan non-muslim, dengan alam, maupun dalam
menilai kehidupan ini.

B. PENGERTIAN FIQH DAN DINAMIKA PEMBAHASANNYA


Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui
sesuatu dan memahaminya dengan baik”. Sedangkan
menurut istilah adalah “mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat ‘amaliyah yang dikaji dari dalil-dalil yang
terinci”.
Ada dua obyek dalam kajian fiqh, yaitu sebagai
berikut:
1. Hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah.
2. Dalil-dalil terinci dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menunjuk suatu kejadian tertentu, atau menjadi rujukan
bagi kajian-kajian tertentu.
Kajian fiqh baru mulai berkembang pada masa
sahabat sepeninggal nabi. Muncul dan berkembangnya
pembahasan-pembahasan fiqh menurut Abu Zahrah
disebabkan oleh munculnya berbagai persoalan akibat
meluasnya wilayah islam, dan kian besarnya jumlah umat
islam dengan latar belakang etnis dan kultur yang
berbeda. Fenomena ini menimbulkan persoalan-persoalan
baru yang belum pernah dialami oleh Rasulullah, sehingga
3

para sahabat dituntut untuk berpikir menyelesaikan


ketentuan hukumnya. Seperti pembunuhan berkelompok,
apakah seluruh yang terlibat dalam pembunuhan tersebut
harus diqishash atau tidak.
Ketentuan-ketentuan hukum ini dikeluarkan secara
persial oleh para sahabat sesuai dengan tuntutan dari
masyarakat, dan disamping memperhatikan spirit ajaran
yang terangkat dalam nash juga mereka senantiasa
mengorientasikannya pada kepentingan mashlahah. Oleh
sebab itu, corak kajian fiqh masa itu merupakan kajian
yang berupaya menjawab tuntutan-tuntutan sosial, dan
belum menyusun fatwa-fatwa fiqh teoritis yang tidak
diperlukan saat itu.
Corak kajian fiqh seperti ini terus berlanjut sampai
awal abad ke-2 H. Abu Hanifah (80-150) seorang ulama
fiqh dari Kufah senantiasa melahirkan fatwa-fatwa fiqh
dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
sosiologis, sehingga untuk itu, dia berani meninggalkan
suatu hasil kajian qias yang sangat kuat kesamaan ilatnya
antara furu’ dengan ashal, untuk beralih pada hasil kajian
analogis lainyang cukup lemah, karena hasil kajian kedua
ini lebih relevan dengan kebutuhan sosial. Teori ini dalam
ilmu ushul disebut dengan ihtihsan (mencari yang terbaik)
Pendekatan serupa juga terlihat dalam fiqh Imam
Malik (93-179), seorang mujtahid Madinah. Dalam
melakukan kajian fiqhnya, Imam Malik berorientasi pda
mashlahah, dengan memperhatikan kepentingan agama,
jiwa, akla, harta, dan keturunan. Fatwa-fatwa Malik dngan
pendekatan mashlahah senantiasa bermuara pada upaya
4

memelihara kelima kepentingan tersebutdalama


kehidupan manusia.
Inilah corak kajian fiqh yang terjadi pada abad ke-2
H, yakni bahwa titik pandang pada proses pembahasannya
itu senantiasa pada kehidupan sosial, dengan
memperhatikan kepentingan sosiologis masyarakatnya.
Kendati demikian, mereka tetap menjaga keterpautan
fatwa-fatwanya itu dengan doktrin-doktrin hukum yang
tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Pembahasan fiqh pasca-Abu Hanifah dan Imam Malik
yang diwakili Imam Syafi’i lebih banyak diorientasikan pada
nsh melalui pendekatan qias, dan menurutnya qias
,erupakan cara yang paling tepat untuk memperoleh
kesimpulan hukum yang benar, karena melalui qias setiap
furu’didekatkan langsung pada nash melalui ashal.

C. ANTARA SYARI’AH DAN FIQH


Syari’ah dalam konotasi hukum Islam terbagi dua,
yaitu syari’ah ilahi dan syari’ah wadh’i. Syari’ah ilahi
adalah ketentuan-ketentuan hukum yang langsung
dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal
untuk semua waktu dan tempat, dan tidak bisa berubah
karena tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya.
Kemudian, norma-norma hukum yang tertuang
secara eksplisit dalam Al-Qur’an itu ada diantaranya yang
sudah cukup jelas dan tegas serta mudah pemahamannya,
seperti ayat-ayat muqadarah. Dan ada pula ayat-ayat
ahkam yang masih memerlukan penjelasan aplikatifnya
dari Rasulullah. Dari sinilah munculnya sunah-sunah Nabi
5

yang merupakan penjelasan operasional terhadap ayat-


ayat Al-Qur’an.
Penjelasan As-Sunah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
dalam masalah-masalah sudah sangat sempurna dan tidak
memerlukan pengkajian lanjuan. Tapi sejauh menyangkut
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, penjelasan
Rasulullah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tersebut amat
terkait dengan dinamika kultural masyarakatnya. Sehingga
penjelasannya perlu dilanjutkan melalui pengkajian-
pengkajian ijtihadi. Produk-produk pemikiran ijtihad inilah
yang disebut dengan fiqh, atau dengan kata lain syari’ah
wadh’i.
6

BAB II
HUKUM ISLAM DAN PEMBAGIANNYA

A. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM


Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini,
pada dasarnya disyari’atkan Tuhan untuk mengatur tata
kehidupan mereka di dunia ini, baik dalam masalah-
masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan
memperoleh ketentraman dan kenyamanan, serta
kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-
norma hukum yang diambil dari ajaran-ajaran islam,
karena selain hidup di dunia juga akan menjalani
kehidupan akhirat yang kebahagiaan atau
kesengsaraannya ditentukan oleh akumulasi pahala dari
perbuatan-perbuatan baik di dunia ini. Sementara
ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran
agama termasuk bagian yang menyediakan pahala
tersebut.

B. PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM ISLAM


1. Pengertian Hukum
Menurut bahasa kata hukum bermakna “menetapkan
sesuatu pada yang lain”. Seperti menetapkan haram pada
khamar, atau halal pada air susu. Sedangkan menurut
istilah para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu
Zahrah adalah “titah (khithab) syari’ yang berkaitan
7

dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntunan, pilihan


atau wadh’i”.
2. Pembagian Hukum
Ketentuan syari’ yang berlaku pada seorang mukallaf
ada tiga, yaitu tuntunan, pilihan dan wadh’i. Ketentuan
yang dinyatakan dalam bentuk tuntutan disebut hukum
taklifi, yang dalam bentuk pilihan disebut takhriyi,
sedangkan yang mempengaruhi perbuatan taklifi disebut
hukum wadh’i.
a. Hukum Taklifi
Yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf
untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
Hukum taklifi terbagi menjadi empat, yaitu wajib,
mandub, haram dan makruh.
1) Wajib
Yang dimaksud dengan wajib dalam pengertian
hukum islam adalah ketentuan syari’ yang menuntut para
mukallaf untuk melakukannya dengan tutunan yang
mengikat, serta diberi imbalan pahala bagi yang
melakukannya dan acaman dosa bagi yang
meninggalkannya.
2) Mandub
Yang dimaksud dengan mandub adalah ketentuan-
ketentuan syari’ tentang berbagai amaliah yang harus
dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat.
Dan pelakunya diberi imbalan pahala tanpa ancaman dosa
bagi yang meninggalkannya.
3) Haram
8

Yang dimaksud dengan haram adalah tuntutan syari’


kepada orang-orang mukallaf untuk meninggalkannya
dengan tuntutan yang mengikat, beserta imbalan pahala
untuk yang mentaatinya, dan balasan dosa bagi yang
melanggarnya.
4) Makruh
Makruh menurut jumhur fuqaha adalah ketentuan-
ketentuan syara’ yang menuntut orang-orang mukallaf
untuk meninggalkannya, dengan tuntutan yang tidak
mengikat, meninggalkan perbuatan makruh memperoleh
imbalan pahala, sementara pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut tidak menimbulkan
konsekuensi ancaman apa-apa.
b. Hukum Takhriyi
Hukum takhriyi adalah ketentuan-ketentuan dari
Tuhan yang member peluang bagi mukallaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkannya. Hukum ini
biasa disebut sebagai mubah, yang menurut al-Syaukani
melakukan perbuatan tersebut tidak akan memperoleh
jaminan pahala, dan tidak terancam dosa.
c. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i menurut al-Syaukani adalah
ketentuan-ketentuan yang diletakan syari’ sebagai
pertanda atau tidak adanya hukum taklifi. Ada tiga hukum
wadh’i menurut al-Syaukani yaitu sabab, syarath dan
mani’.
1) Sabab
Sebagaimana diungkapkan para ulama fiqh, sabab
adalah sesuatu yang Nampak dan jelas yang dijadikan oleh
syari’ sebagai penentu adanya hukum.
9

2) Syarath
Yang dimaksud syarath adalah sesuatu yang
terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat
tergantung kepadanya.
3) Mani’
Mani’ merupakan suatu keadaan atau perbuatan
hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain

C. TUJUAN HUKUM ISLAM


Tujuan Syari’ dalam mensyariatkan ketentuan-
ketentuan hukum kepada orang-orang mukallaf adalah
dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi
kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang
dharuri, hajiy, ataupun yang tahsini.
Ketentuan dharuri adalah ketentuan hukum yang
dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan
menjaga dan memelihara kemashlahatan mereka.
Sedangkan ketentuan hajiy adalah ketentuan hukum yang
member peluang bagi mukallaf untuk memperoleh
kemudahan-kemudahan dalam keadaan mereka sukar
untuk mewujudkan ketentuan dharuri. Sementara itu,
ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang
menuntut mukallaf untuk menjalankan ketentuan dharuri
dengan cara yang paling baik.
10

BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM DAN METODOLOGI KAJIAN
HUKUMNYA

A. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM


Sumber-sumber hukum islam secara keseluruhan ada
tiga, yaitu Al-Qur’qn, al-Sunah, dan ijma’ sahabat. Namun
yang disepakati para ulama hanya dua yaitu Al-Qur’an dan al-
Sunah saja, karena ijma’ sahabat hanya dirujuk oleh para
ulama suni, sementara ulama syi’ah menolaknya.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagaimana dinyatakan Al-Syaukani adalah
kalam allah yang yang diturunkan kepada Rasul-Nya
Muhammad ibn Abdullah, dalam bahasa arab dan ma’na nya
yang murni, yang sampai pada kita secara mutawatir. Al-
Qur’an ini secara keseluruhan berisikan tentang ajaran-ajaran
akidah, syariah, serta norma-norma akhlaq bagi umat
manusia ini.
2. Al-Sunah
Berikutnya, sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an
adalah al-Sunah, yakni segala sesuatu yang datang dari Nabi
SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya yang berkenaan dengan hukum syara’.
3. Ijma’ Sahabat
Sumber hukum yang ketiga setelah al-Sunah adalah
ijma’, yaitu kesepakatan hukum bagi para mujtahid pengikut
Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu waktu
tertentu.

B. METODOLOGI KAJIAN HUKUM


11

1. Qiyas
Menurut bahasa qiyas berati ukuran, yakni mengetahui
ukuran sesuatu dengan menishabkannya pada yang lain.
Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama
ushul adalah menghubungkan sesuatu yang belum di
nyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, kepada sesuatu
yang sudah ditentukan hukumnya oleh nash karena keduanya
memiliki kesmaan ilat hukum.
2. Ihtihsan
Dilihat dari segi bahasa ihtihsan berarti mengikuti
sesuatu yang menurut analisis nalar adalah baik. Sedangkan
menurut para ulama hanafiyah sebagai pemakai metode ini
adalah beralih dari satu ketetapan qiyas pada hasil qiyas lain
yang lebih kuat, atau dengan kata lain mentakhsis qiyas
dengan dalil yang lebih kuat.
3. Uruf
Uruf adalah berbagai tradisi yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat, baik berupa perbuatan maupun
perkataan. Dilihat dari sudut tradisinya uruf dibagi menjadi
dua, yaitu uruf perbuatan dan uruf perbuatan. Uruf perkataan
adalah kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang
mempunyai implikasi hukum, dan telah disepakati bersama
oleh masyarakat. Kemudian yang kedua uruf perbuatan, yaitu
berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi
kesepakatan masyarakat, dan mempunyai implikasi hukum.
Kemudian, dilihat dari segi hukumnya uruf juga terbagi
menjadi dua, yaitu uruf yang shahih dan uruf yang fasid. Uruf
shahih adalah tradisi masyarakat yang tidak menghalalkan
yang haram atau sebaliknya. Sedangkan uruf fasid adalah
12

kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang menghalalkan


perbuatan-perbuatan haram atau sebaliknya.
4. Al-Istishlah
Secara sistematik kata al-istishlahberarti mencari
kemashlahatan atau kebaikan. Al-mashlahah yang menjadi
perhatian dalam pembahasan ini terbatas pada mashlahah al-
mursalah, yakni kajian hukum dengan memperhatikan
kemashlahatan umat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan, bagi persoalan-persoalan yang belum
dinyatakan secara eksplisit dalam nash, dan tidak dapat
dilihat titik-titik kesamaannya dengan yang manshus tersebut
lewat pendekatan qiyas.
5. Al-Dzari’ah
Menurut bahasa kata al-dzari’ah berarti jalan yang
menghubungkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan
menurut istilah adalah sesuatu yang akan membawa pada
pebuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah,
atau yang akan membawa pada perbuatan-perbuatan baik
dan menimbulkan mashlahah.
6. Istishab
Secara bahasa kata istishab berarti thalab al-
mushahabah (mencari pemilikan), yakni berusaha
menetapkan suatu ketentuan hukum tetap menjadi milik
sesuatu. Sementara menurut istilah bermakna menetapkan
hukum dengan tetap mmberlakukan hukum yang ada untuk
saat ini dan yang akan datang, sesuai dengan hukum yang
berlaku pada waktu sebelumnya, sebelum ada dalil yang
mengubahnya.
13

BAB IV
RUANG LINGKUP FIQH ISLAM

A. FIQH IBADAH
Tujuan disyariatkannya ketentuan-ketentuan
peribadatan ini adalah dalam rangka member petunjuk
kepada segenap umat islam untuk melaksanakan rangkaian
kegiatan peribadatan, yang merupakan perwujudan dari
tuntutan doktrin akidah, yakni meyakini ketuhanan Allah,
keRasulan Muhammad, serta mempersiapkan kehidupan
abadi di alam akhirat agar hidup dalam keadaan bahagia dan
sejahtera.
Fiqh ibadah ini menurut Yusuf Musa mencakup lima
peribadatan, yaitu shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad.

B. FIQH MU’AMALAH
Fiqh muamalah adalah ketentuan-ketentuan hukum
tentang usaha-usaha memperoleh dan memperkembangkan
harta, jual beli, hutang piutang, dan jasa penitipan diantara
anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang
dipahami dari dalil-dalil syara’ yang terinci.
Cirri utama fiqh mu’amalah adalah terdapatnya
kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan
kesepakatannya. Sementara tujuannya adalah dalam rangka
menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta
mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain,
dan dapat memanfaatkan harta miliknya untuk memenuhi
kepentingan kehidupan mereka.
Fiqh mu’amalah ini didamnya terdapat proses
penetapan norma-norma hukum yang banyak melibatkan
14

nalar serta kajian ijtihad, karena menyangkut persoalan-


persoalan hidup manusia.

C. AHWAL AL-SYAKHSYIYAH
Secara spesifik ahwal al-syakhsiyah membahas tentang
ketentuan-ketentuan hukum islam mengenai ikatan
kekeluargaan dari awal terbentuknya sampai pada berbagai
implikasinya, ketentuan-ketentuan harta waris, dan yang
mengatur hubungan kekerabatan satu sama lain. Ciri
pokoknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaltout,
adalah yang mengatur ikatan hubungan kekerabatan dengan
berdasar pada prinsip kekeluargaan.
Tujuan adanya ketentuan-ketentuan hukum ini adalah
memelihara keturunan beserta kelangsungan hidup mereka,
dan hubungan kekeluargaan satu sama lain, untuk
memperkokoh kebersamaan. Pembahasan ahwal al-
syakhsiyah mencakup pernikahan, mengatur tentang
ketentuan-ketentuan waris, hibah dan waqaf.

D. FIQH JINAYAH
Fiqh jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan
hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan
orang-orang mukallaf, sebagai hasil pemahaman atas dalil-
dalil yang terinci. Tujuan disyari’atkannya adalah untuk
memelihara akal, jiwa, harta masyarakat secara umum, dan
keturunan.
Ruang lingkup fiqh jinayah ini mencakup ketentuan-
ketentuan hukum tentang berbagai tindak kejahatan kriminal,
yaitu pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh
15

seseorang berzinah, minum khamar, membunuh atau melukai


orang lain, merusak harta orang, melakukan kekacauan.

E. FIQH SIYASAH
Di samping membahas ibadah, mu’amalah, ahwal al-
syakhsiyah, dan jinayah, fiqh islam juga membahas soal-soal
politik kenegaraan, yang biasa disebut fiqh siyasah, yakni
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah-
masalah politik yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci dalam
Al-Qur’an dan al-sunah.
Ruang lingkup pembahasan fiqh siyasah ini mencakup
perlu atau tidaknya negara bagi umat manusia ini, syarat-
syarat seorang kepala negara, mekanisme pemilihan kepala
negara, tugas-tugas kepala negara dan hubungan pemerintah
dengan rakyatnya.

F. HUBUNGAN ANTARA FIQH IBADAH DENGAN YANG


LAINNYA
Seluruh ketentuan hukum merupakan sarana yang
potensial untuk membuktikan ketaatan umat islam kepada
Allah sebagai Tuhannya. Dan sekaligus merupakan sarana
untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik,
karena ketaatan terhadap semua ketentua-ketentuan
hukumnya itu merupakan kegiatan ibadah.
16

BAB V
TENTANG ILMU USHUL FIQH
A. PENGERTIAN USHUL FIQH
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ushul fiqh terdiri dari
dua penggalan kata yang masing-masing mempunyai makna,
yaitu ushul dan al-fiqh. Ushul mempunyai makna dasar-dasar
yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain.
Sementara fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui
kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.

B. FUNGSI USHUL AL-FIQH


17

Fungsi utama dari ilmu ini adalah mengankat


ketentuan-ketentuan hukum islam yang terpapar dalam Al-
Qur’an dan al-Sunah,sehingga setiap orang mukallaf dapat
mengetahuinya dengan baik, dan menerimanya sebagai
ketentuan syara’, baik secara yakin maupun dzan.

C. PEMBAHASAN-PEMBAHASAN USHUL AL-FIQH


Obyek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ secara
keseluruhan, dari sudut ketetapan hukumnya yang bersifat
kulli, utuk kemudian dirumuskan kaidah-kaidahnya yang
dipakai dalam mengkaji hukum dari nash-nash yang terinci
dalam Al-Qur’an dan al-Sunah, agar ditemukan pesan-pesan
hukum dari kedua sumber tersebut.

D. SEJARAH PEMBAHASAN USHUL FIQH


Kaidah-kaidah ushul fiqh sudah ada dari zamannya
para sahabat, karena para ulama dari generasi awal telah
melahirkan fatwa-fatwa fiqh. Dan ini diakui oleh Mushthafa
Ahmad al-Maraghi, bahwa Umar bin Khatab menganalogikan
kepemimpinan politik pada imam shalat, ketika memperkuat
dukungannya pada Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama,
karena dia yang ditunjuk oleh Rasulullah untuk menjadi imam
shalat pada saat beliau sakit.
Fakta sejarah ini menunjukan bahwa penggunaan
kaidah-kaidah ushul dalam menyelesaikan berbagai problema
sosial, politik dan keagamaan, sudah dimulai sejak awal.
Namun pada masa ini, belum terkondifikasi dengan baik,
karena perhatian belum terfokus pada aspek ini.
Dalam pembahasan ushul fiqh ini ada dua aliran yang
berbeda, yaitu pemikiran Abu Yusuf yang membentuk aliran
18

rasionalisme Hanafiyah, sementara pemikiran-pemikiran al-


Syafi’i melahirkan aliran ortodoks atau tradisional. Dan pada
generasi berikutnya muncul kecenderungan baru dalam
pembahasan ushul fiqh, yaitu kombinasi antara dua aliran,
yang kemudian popular dengan Thariqah al-jam’an, atau
aliran konfergensi.

E. ALIRAN-ALIRAN DALAM USHUL FIQH


1. Aliran Kalam
Aliran kalam dikembangkan oleh pra pengikut imam
Syafi’i. Ciri utama aliran kalam, yakni kajian hukumnya lebih
banyak diorientasikan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah
Nabi.
2. Aliran Rasionalisme Hanafiyah
Aliran ini dikembangkan oleh pengikut Abu Hanifah,
aliran ini melahirkan rumusan kaidah-kaidah yang lebih dapat
memperhatikan karakter-karakter furu’, dalam
memperhatikan kepentinga kehidupan mukallaf, dengan
melihat pesan-pesan Al-Qur’an dan al-Sunah tentang masalah
yang dimaksud.
3. Aliran Konfergensi
Aliran ini mengkombinasikan antara dua alira
sebelumnya. Aliran ini secara harmonis memadukan dua
corak kajian ushul, oleh sebab itu mereka para ulama yang
mengembanhkan aliran ini tergolong orang-orang tradisional
namun dinamis.
19

BAB VI
TENTANG IJTIHAD

A. PENGERTIAN DAN DASAR IJTIHAD


Menurut bahasa kata ijtihat berarti mengarahkan
segenap kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Sedang
menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Zakariya al-
Anshari adalah upaya maksimal seorang faqih dalam
memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat dzani.

B. PENGEMBANGAN IJTIHAD DALAM PENGEMBANGAN


HUKUM ISLAM
Peran ijtihad dalam hukum islam adalah dalam rangka
memberikan jawaban-jawaban hukum untuk berbagai
persoalan temporer yang dihadapi para mujtahid, yang dapat
ditempuh melalui dua corak ijtihad, yaitu ijtihad lafdzi dan
ijtihad ‘aqli.

C. SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID


1. Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami
makna ayat-ayat hukum.
2. Seorang mujtahid harus mengetahui dan memahami
makna hadits-hadits hukum.
3. Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat yang
mansukh dan yang menasakhnya.
4. Seorang mujtahid harus mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum yang telah ditetapkan lewat ujma’.
5. Mengetahui dan menguasai metodologi qias dengan baik.
6. Seorang mujtahid harus memahami bahasa Arab dengan
baik.
20

7. Seorang mujtahid juga harus menguasai kaidah-kaidah


ushul fiqh dengan baik.
8. Dan seorang mujtahid harus memahami maqasid al-
Syari’ah.

D. TINGKATAN-TINKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid Mustaqil
2. Mujtahid Mutlaq yang Tidak Mustaqil
3. Mujtahid Takhrij
4. Mujtahid Tarjih
5. Mujtahid Fatwa
E. SEJARAH PERKEMBANGAN IJTIHAD
Ijtihad itu sudah dimulai sejak proses penetapan hukum
itu dimulai, bahkan semenjak ajaran islam itu memasuki
bidang syariah pada masa Nabi di Madinah. Baik dilakukan
Nabi sendiri maupun sahabatnya. Namun produk-produk Nabi
itu kemudian menjadi sunah, dan merupakan sumber hukum
yang kuat setingkat dibawah Al-Qur’an. Bemikian pula dengan
sahabat sejauh mendapat pengesahan dari Nabi.
Kemudian pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah merupakan
puncak dari kegiatan ijtihad dalam bidang fiqh islam, pada
masa inilah lahirnya para mujtahid mustaqil. Dan padamasa
ini pulalah “ilmu ushul fiqh” mulai dirumuskan secara
sistematis oleh al-Syafi’i dalam karyanya al-Risalah. Dan
stelah in I nyaris tidak terlihat mujtahid-mujtahid mustaqil
baru.

F. TAQLID, ITTIBA’ DAN TALFIQ

Kata taqlid secara sistematis bermakna mengenakan


kalungan dileher sebagai petunjuk jalan. Kemudian kata taqlid ini
21

dipegunakan untuk suatu pengertian mengambil pendapat orang


lain untuk diikuti tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Sementara
ittiba’ adalah mengikuti pendapat ulama secara kritis.

Akan tetapi, doktrin ittiba’ ini akan membawa sikap


dinamis dalam mempelajari fatwa-fatwa fiqh, dan tidak menutup
peluang munculnya, sikap talfiq, yakni melakukan suatu
perbuatan hukum dengan mempegunakan ketentuan-ketentuan
campuran dari berbagai madzhab, yang pada akhirnya
melahirkan suatu bentuk perbuatan yang tidak pernah
dirumuskan oleh seorang mujtahid pun.
22

BAB VII
RASIONALISME DAN TRADISIONALISME DALAM IJTIHAD

A. ALIRAN RASIONALISME (AHLU AL-RA’YU)


Secara umum aliran yang maksud dengan aliran
rasional adalah aliran ijtihad yang berpandangan bahwa
hukum syara’ itu merupakan sesuatu yang dapat ditelaah
esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan
doktrinnyadengan mengacu pada kemaslahatan kehidupan
umat manusia.

B. ALIRAN TRADISIONAL
Aliran tradisional yaiu mereka yang dalam ijtihad
fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash Al-Qur’an dan al-
Sunah, serta tidak mau melangkah dari keduanya, tidak
senang melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-
hati dalam fatwa.

C. PERBEDAAN-PERBEDAAN TRADISIONALISME
Aliran rasionalisme lebih berorientasi pada kebutuhan-
kebutuhan mashlahah dalam kehidupa manusia, dan dapat
disebut sebagai aliran yang realistic, sementara aliran
tradisional lebih berorientasi untuk memahami kemauan-
kemauan syari’ dengan doktrin-doktrin syari’ahnya, dan
berusaha mengaplikasikan doktrin tersebut pada kehidupan
sosial. Aliran ini biasa disebut aliran idealistik.
23

BAB VIII
MADZHAB-MADZHAB DALAM FIQH ISLAM

A. MADZHAB-MADZHAB FIQH DARI GOLONGAN SUNNI


1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi merupakan madzhab fiqh islam yang
pertama muncul dari kalangan sunni, dan bercorak rasional
yang berkedudukan di kufah. Madzhab ini dibuat oleh Nu’man
bin Tsabit bin Zutha (80-150), yang populer dengan nama Abu
Hanifah.
2. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki dibentuk oleh Imam Maliki bin Anas bin
Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amar (93-197). Pada usia remaja,
beliau mulai menghafal Al-Qur’an dan menjadi seorang hafidz
yang baik. Kemudian ibunya menyarankan agar Malik
mempelajari fiqh aliran rasional dari imam Rabi’ah al-Ra’yu
yang juga berada di madinah.
3. Madzhab Al-Syafi’i
Madzhab ini dibentuk oleh Muhammad bin Idris bin al-
Abbas, bin Utsman, bin Safi’, bin al-Saib, bin Ubaid, bin Abddu
Yazid, bin Hasyim. Atau lebih populer dengan nama imam al-
Syafi’i. Beliau mulai menghafal Al-Qur’an ketika usianya sudah
cukup matang, dan telah sempurna menjadi seorang hafidz
pada usia sembilan tahun. Kemudian dia belajar ilmu fiqh
beserta kaida-kaidah hukumnya di Masjid al-Haram dari dua
orang mufti besar, Muslim bin Khalid dan Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam syafi’i mengemukakan pemikirannya, bahwa
hukum islam itu harus bersumber pada Al-Qur’an dan al-
Sunnah, serta ijma’, perkataan sahabat, dan baru terakhr
melakukan qias dan istishab.
24

4. Madzhab Hambali
Imamam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab
Hambali. Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal
bin Hilal, kelahiran Baghdad tahun 164 H., dan meninggal
tahun 241 H., juga di Baghdad. Kedua orang tuanya
keturunan Arab dari kabilah Syaiban, dan berjumpa nasab
dengan Nabi pada Nazar.
5. madzhab-madzhab yang tidak berkembang lagi
Selain empat madzhab di atas, dikalangan sunni
pernah muncul madzhab-madzhab lai yang kini sudah tidak
berkembang lagi, yaitu madzhab dzahiri, Auza’i dan Laits.
B. MADZHAB-MADZHAB FIQH DARI KALANGAN SYI’AH
1. Madzhab Zaidiyah
Madzhab Zaidaniyah dikembangkan oleh Zaid bin Ali
Zainal Abidin, bin Husein, bin Ali bin Abi Thalib. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H., dan meninggal dalam
peperangan melawan rezim Amawy pada tahun 122 H..
Pemikiran-pemikiran fiqhnya bersumber pada Al-Qur’an
dan al-Sunah (dari sanad keluarga rasul), kemudian jika dari
keduanya tidak menytakan secara pasti ketentuan-ketentuan
hukum bagi persoalan furu’ yang yang dihadapinya, ia
melakukan kajian qias sebagaimana para ulama sunni. Dan
terakhir ia menggunakan ra’yunya secara bebas, yang dijamin
kebenarannya berdasar pada doktrin kemaksuman imam.
2. Madzhab Ja’fariyah
Madzhab Ja’fariyah dikembangkan oleh Ja’far al-Shadiq
ibnu Muhammad al-Baqir (80-148 H). Ciri tradisionalisme dan
syi’ismenya terlihat dalam pola kajian fiqh Ja’far, yang hanya
bersumber pada Al-Qur’an dan al-Sunah, serta pemikiran
imam sendiri yang berpijak pada mashlahah. Akan tetapi,
25

kalau Zaid menggunakan qias, sebaliknya Ja’far malah


menolak dengan keras, bahkan dia menyatakan bahwa qias
itu adalah tradisi iblis.

C. SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MADZHAB


Munculnya perbedaan antara Sunni dan Syi’ah
disebabkan oleh karena para tokoh-tokoh syi’ah yang terlalu
fanatik dengan keluarga Rasulullah dan keutamaannya, hanya
menerima hadits-hadits yang disampaikan oleh keluarganya.
Selain itu orang-orang syi’ah berpandangan bahwa imam itu
ma’sum, dan kema’sumannya itu melahirkan
kompetensipemahaman ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak bisa
dijangkau olehpara ulama lain, termasukpara sahabat besar.
Sementara dikalangan sunni tidak dikenal dua prinsip
diatas. Dalam soal hadits, mereka amat terbuka, dan bisa
menerima hadits dari jalur sanad mana saja. Dan bisa
menjadikannya sebagai dalil hukum sejauh hadits itu ma’mul
bih. Selain itu, para ulama sunni tidak ada yang ma’sum.
Perbedaan-perbedaan satu madzhab dengan madzhab
lainnya itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Corak kajian fiqh yang berbeda dasar pijaknya antara
aliran tradisional dengan aliran rasional.
2. Pemahaman makna ayat yang berbeda.
3. Berbeda dalam pemakaian al-Sunah.
4. Perbedaan dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul.

D. PERANAN MADZHAB DALAM PENGEMBANGAN ISLAM


Madzhab-madzhab fiqh telah mampu melahirkan
rumusan-rumusan metodologi kajian hukum yang amat luas
26

dan komprehensif. Berkembangnya madzhab-madzhab fiqh


itu membuat hukum islam menjadi amat fleksibel.
Kaidah-kaidah kajian fiqh yang telah terumuskan
secara sempurna pada tiap-tiap madzhab, member peluang
kepada para ulama sesudahnya untuk menerapkan kaidah-
kaidah tersebut dalam kajian fiqh mereka, atau
mengembangkannya sehingga lahir kaidah-kaidah baru.

BAB IX
PRANATA SOSIAL

A. PENGERTIAN PRANATA SOSIAL


Pranata sosial adalah tradisi-tradisi dalam kehidupan
manusia yang terbentuk dalam kombinasi antara reaksi
kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya,
dengan etos yang menjadi dasar kehidupannya.

B. RUANG LINGKUP PRANATA SOSIAL


1. Bidang poltik dan pemerintahan
2. Bidang peradilan
3. Bidang pertahanan dan keamanan
4. Bidang ekonomi dan keuangan
27

5. Bidng kesehatan

BAB X
MODERNISME DALAM HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN MODERNISME DALAM HUKUM ISLAM


Modernism dalam islam adalah rangkaian pikiran dan
aliran dalam ijtihad fiqh untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama disesuaikan dengan suasana
baru yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

B. CARA-CARA MELAKUKAN PEMIKIRAN BARU DALAM FIQH


ISLAM
28

1. Sekterianisme
Aliran ini mewajibkan para ulamanya untuk mengikuti
pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan oleh ulama-
ulama madzhabnya sera para pengikutnya. Cara ijtihadnya
adalah mengkaji persoalan furu’ yang mereka hadapi
dengan melihat fatwa-fatwa ulama anutannya.
2. Literalianisme
Aliran ini merupakan aliran Neo-Dzahiri yang mengikuti
pola-pola kajian hukum Daud al-Asfahani dan Ibnu Hazm al-
Andalusi. Mereka melakukan kajian ijtihad dengan hanya
melihat makna dzhahir nash tanpa menggunakan kaidah-
kaidah ushul, dan juga kurang memperhatikan produk-
produk pemikiran fiqh yang telah ada, bahkan juga
mengabaikan aspek mashlahah sebagai maksud
penetapan hukum pada umat manusia.
3. Thufiisme
Aliran thufiisme adalah aliran pengikut Najamuddin al-
Thufi (w.716 H) yang amat memperhatikan maslahah,
bahkan hasil kajian maslahah harus lebih diutamakan
terhadap nash.
4. Aliran Tabrir (Legitimatianisme)
Aliran ini adalah aliran ijtihad yang memberikan fatwa
sesuai dengan kehendak dan tuntutan kelompok-kelompok
pemesan fatwa, yang mungkin datang dari kalangan
masyarakat tertentu atau pengusaha.
5. Aliran Moderat
Aliran ini melakukan ijtihad dengan tidak terlampau
mempersulit kepada masyarakat lewat hasil-hasil kajian
teoritis yang mengacu pada produk-produk pemikiran
29

hukum para ulama salaf, serta kajian literalis yang


terlampau kaku.
Aliran inilah menurut Yusuf Qardhawi sebagai aliran
ijtihad yang lurus, benar dan amat dibutuhksn oleh umat
islam saat ini. Pada umumnya, mereka melakukan ijtihad
dengan dua bentuk pendekatan, yaitu:
a. Ijtihad selektif
b. Ijtihad kreatif

C. SEJRAH MODERNISME DALAM HUKUM ISLAM


Gema modernisasi dalam hukum islam mulai
dilontarkan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1673
M). Dia menyatakan bahwa syariat harus disesuaikan dengan
keadaan dan situasi modern, dan kaum ulama harus tahu
kemajuan modern untuk dapat menafsirkan syariat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern.
Kemudian, Abduh (1849-1905 M) dalam hal ini
menyatakan secara tegas bahwa para ulama fiqh harus
berijtihad dengan melakukan reinterpretasi terhadap dasar-
dasar hukum, agar ketentuan-ketentuannya itu dapat sesuai
dengan situasi modern.
30

BAB XI
MODERNISME DALAM PRANATA SOSIAL

A. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN BARU DALAM PRANATA SOSIAL


Ketika melihat islam sebagai dasar-dasar ajaran untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam aspek sosial dan
politik, para pemikir muslim abad modern ini terbagi pada tiga
aliran, yaitu ortodoks, sekuler dan moderat.
1. Aliran Ortodoks
Para tokoh dari aliran ini pada umumnya berpendapat
bahwa islam bukanlah semata-mata agama (dalam pengertisn
barat), tapi merupakan satu agama yang sempurna dan
lengkap untuk mengatur berbagai aspek kehidupan manusia,
baik menyangkut soal ekonomi, sosial maupun politik.
Aliran ini dikembangkan oleh Muhammad Rashid Ridha,
Sayid Quthub dari ikhwan al-Muslimun dan Abu al-A’la al-
Maududi dari India/Pakistan. Ada tiga pokok pikiran dalam
masalah politik yang ada dalam aliran ortodoks ini, yaitu:
a. Pemerintahan supra nasional
b. Persamaan hak antar pemeluk agama
c. Tiga asas politik pemerintah islam
2. Aliran Sekuler
Aliran sekuler adalah aliran pemikira yang berpendirian
bahwa agama tidak punya kaitan dengan masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik kenegaraan. Tokoh-tokoh aliran ini
antara lain adalah Luthfi Sayid, Thaha Husein, dan Ali Abdu al-
Raziq.
3. Aliran Moderat
31

Aliran ini menolak pola piker dua aliran sebelumnya.


Sebaliknya tokoh-tokoh alira ini berpendapat bahwa dalam
islam terdapatseperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. Diantara tokoh yang paling populer dari aliran ini
adalah Muhammad Husein Heikal (1888-1956 M).

C. MODERNISME PRANATA SOSIAL DI INDONESIA


Soekarno(1901-1970 M) secara tegas dia katakana
bahwa negara harus dilepaskan ikatannya dari agama, dan
agama harus dipisahkan dari negara. Biarkan keduanya
berjalan sendiri-sendri. Dia berargumentasi dengan
mengemukakan fakta sejarah, bahwa umat islam tidak pernah
bersepakat untuk berpendapat bahwa negara harus diatur
oleh agama.
Akan tetapi, walaupun dalam soal politik Soekarno
cenderung sekuler, namun tidak memperlihakan sikap sekuler
mutlak, karena dia mengintegrasikan acara-acara ke-islaman
pada tradisi kenegaraan.

Anda mungkin juga menyukai