RESUME BUKU
Oleh :
Winanda Safera(1920.01.04.0007)
RESUME BUKU
BAB I
SYARI’AH DAN FIQH
A. PENGERTIAN SYARI’AH
Menurut bahasa syari’ah berarti “jalan tempat
keluarnya air untuk minum”. Kemudian bangsa arab
menggunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus. Dan pada
saat dipakai dalam pembahasan hukum menjadi bermakna
“segala sesuatu yang di syari’atkan Allah kepada hamba-
hambaNya”, sebagai jalan lurus untuk memperoleh
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Manna’ al-Qathan berpendapat bahwa istilah syari’ah
itu mencakup aspek akidah dan akhlaq disamping aspek
hukum. Dengan pengertiannya ini, dia ingin membedakan
antara syari’ah sebagai ajaran yang datang dari Tuhan,
dengan perundang-undangan hasil pemikiran manusia.
Namun dia mengidentikan syari’ah dengan agama.
Sementara itu Faruq Nabhan berpendapat bahwa
syari’ah itu mencakup aspek-aspek aqidah, akhlaq dan
amaliah. Namun menurutnya, istilah syari’ah itu terkadang
berkonotasi fiqh, yaitu pada norma-norma amaliyah
beserta implikasi kajiannya.
2
BAB II
HUKUM ISLAM DAN PEMBAGIANNYA
2) Syarath
Yang dimaksud syarath adalah sesuatu yang
terwujud atau tidaknya sesuatu perbuatan amat
tergantung kepadanya.
3) Mani’
Mani’ merupakan suatu keadaan atau perbuatan
hukum yang dapat menghalangi perbuatan hukum lain
BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM DAN METODOLOGI KAJIAN
HUKUMNYA
1. Qiyas
Menurut bahasa qiyas berati ukuran, yakni mengetahui
ukuran sesuatu dengan menishabkannya pada yang lain.
Sedangkan menurut istilah yang biasa digunakan para ulama
ushul adalah menghubungkan sesuatu yang belum di
nyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, kepada sesuatu
yang sudah ditentukan hukumnya oleh nash karena keduanya
memiliki kesmaan ilat hukum.
2. Ihtihsan
Dilihat dari segi bahasa ihtihsan berarti mengikuti
sesuatu yang menurut analisis nalar adalah baik. Sedangkan
menurut para ulama hanafiyah sebagai pemakai metode ini
adalah beralih dari satu ketetapan qiyas pada hasil qiyas lain
yang lebih kuat, atau dengan kata lain mentakhsis qiyas
dengan dalil yang lebih kuat.
3. Uruf
Uruf adalah berbagai tradisi yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat, baik berupa perbuatan maupun
perkataan. Dilihat dari sudut tradisinya uruf dibagi menjadi
dua, yaitu uruf perbuatan dan uruf perbuatan. Uruf perkataan
adalah kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang
mempunyai implikasi hukum, dan telah disepakati bersama
oleh masyarakat. Kemudian yang kedua uruf perbuatan, yaitu
berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi
kesepakatan masyarakat, dan mempunyai implikasi hukum.
Kemudian, dilihat dari segi hukumnya uruf juga terbagi
menjadi dua, yaitu uruf yang shahih dan uruf yang fasid. Uruf
shahih adalah tradisi masyarakat yang tidak menghalalkan
yang haram atau sebaliknya. Sedangkan uruf fasid adalah
12
BAB IV
RUANG LINGKUP FIQH ISLAM
A. FIQH IBADAH
Tujuan disyariatkannya ketentuan-ketentuan
peribadatan ini adalah dalam rangka member petunjuk
kepada segenap umat islam untuk melaksanakan rangkaian
kegiatan peribadatan, yang merupakan perwujudan dari
tuntutan doktrin akidah, yakni meyakini ketuhanan Allah,
keRasulan Muhammad, serta mempersiapkan kehidupan
abadi di alam akhirat agar hidup dalam keadaan bahagia dan
sejahtera.
Fiqh ibadah ini menurut Yusuf Musa mencakup lima
peribadatan, yaitu shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad.
B. FIQH MU’AMALAH
Fiqh muamalah adalah ketentuan-ketentuan hukum
tentang usaha-usaha memperoleh dan memperkembangkan
harta, jual beli, hutang piutang, dan jasa penitipan diantara
anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang
dipahami dari dalil-dalil syara’ yang terinci.
Cirri utama fiqh mu’amalah adalah terdapatnya
kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan
kesepakatannya. Sementara tujuannya adalah dalam rangka
menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta
mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain,
dan dapat memanfaatkan harta miliknya untuk memenuhi
kepentingan kehidupan mereka.
Fiqh mu’amalah ini didamnya terdapat proses
penetapan norma-norma hukum yang banyak melibatkan
14
C. AHWAL AL-SYAKHSYIYAH
Secara spesifik ahwal al-syakhsiyah membahas tentang
ketentuan-ketentuan hukum islam mengenai ikatan
kekeluargaan dari awal terbentuknya sampai pada berbagai
implikasinya, ketentuan-ketentuan harta waris, dan yang
mengatur hubungan kekerabatan satu sama lain. Ciri
pokoknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaltout,
adalah yang mengatur ikatan hubungan kekerabatan dengan
berdasar pada prinsip kekeluargaan.
Tujuan adanya ketentuan-ketentuan hukum ini adalah
memelihara keturunan beserta kelangsungan hidup mereka,
dan hubungan kekeluargaan satu sama lain, untuk
memperkokoh kebersamaan. Pembahasan ahwal al-
syakhsiyah mencakup pernikahan, mengatur tentang
ketentuan-ketentuan waris, hibah dan waqaf.
D. FIQH JINAYAH
Fiqh jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan
hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan
orang-orang mukallaf, sebagai hasil pemahaman atas dalil-
dalil yang terinci. Tujuan disyari’atkannya adalah untuk
memelihara akal, jiwa, harta masyarakat secara umum, dan
keturunan.
Ruang lingkup fiqh jinayah ini mencakup ketentuan-
ketentuan hukum tentang berbagai tindak kejahatan kriminal,
yaitu pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh
15
E. FIQH SIYASAH
Di samping membahas ibadah, mu’amalah, ahwal al-
syakhsiyah, dan jinayah, fiqh islam juga membahas soal-soal
politik kenegaraan, yang biasa disebut fiqh siyasah, yakni
mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang masalah-
masalah politik yang dikaji dari dalil-dalil yang terinci dalam
Al-Qur’an dan al-sunah.
Ruang lingkup pembahasan fiqh siyasah ini mencakup
perlu atau tidaknya negara bagi umat manusia ini, syarat-
syarat seorang kepala negara, mekanisme pemilihan kepala
negara, tugas-tugas kepala negara dan hubungan pemerintah
dengan rakyatnya.
BAB V
TENTANG ILMU USHUL FIQH
A. PENGERTIAN USHUL FIQH
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ushul fiqh terdiri dari
dua penggalan kata yang masing-masing mempunyai makna,
yaitu ushul dan al-fiqh. Ushul mempunyai makna dasar-dasar
yang menjadi landasan bagi tumbuhnya sesuatu yang lain.
Sementara fiqh adalah mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum syara’ untuk berbagai perbuatan mukallaf, melalui
kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang terinci.
BAB VI
TENTANG IJTIHAD
D. TINGKATAN-TINKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid Mustaqil
2. Mujtahid Mutlaq yang Tidak Mustaqil
3. Mujtahid Takhrij
4. Mujtahid Tarjih
5. Mujtahid Fatwa
E. SEJARAH PERKEMBANGAN IJTIHAD
Ijtihad itu sudah dimulai sejak proses penetapan hukum
itu dimulai, bahkan semenjak ajaran islam itu memasuki
bidang syariah pada masa Nabi di Madinah. Baik dilakukan
Nabi sendiri maupun sahabatnya. Namun produk-produk Nabi
itu kemudian menjadi sunah, dan merupakan sumber hukum
yang kuat setingkat dibawah Al-Qur’an. Bemikian pula dengan
sahabat sejauh mendapat pengesahan dari Nabi.
Kemudian pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah merupakan
puncak dari kegiatan ijtihad dalam bidang fiqh islam, pada
masa inilah lahirnya para mujtahid mustaqil. Dan padamasa
ini pulalah “ilmu ushul fiqh” mulai dirumuskan secara
sistematis oleh al-Syafi’i dalam karyanya al-Risalah. Dan
stelah in I nyaris tidak terlihat mujtahid-mujtahid mustaqil
baru.
BAB VII
RASIONALISME DAN TRADISIONALISME DALAM IJTIHAD
B. ALIRAN TRADISIONAL
Aliran tradisional yaiu mereka yang dalam ijtihad
fiqhnya senantiasa merujuk nash-nash Al-Qur’an dan al-
Sunah, serta tidak mau melangkah dari keduanya, tidak
senang melakukan kajian nalar rasional, dan sangat berhati-
hati dalam fatwa.
C. PERBEDAAN-PERBEDAAN TRADISIONALISME
Aliran rasionalisme lebih berorientasi pada kebutuhan-
kebutuhan mashlahah dalam kehidupa manusia, dan dapat
disebut sebagai aliran yang realistic, sementara aliran
tradisional lebih berorientasi untuk memahami kemauan-
kemauan syari’ dengan doktrin-doktrin syari’ahnya, dan
berusaha mengaplikasikan doktrin tersebut pada kehidupan
sosial. Aliran ini biasa disebut aliran idealistik.
23
BAB VIII
MADZHAB-MADZHAB DALAM FIQH ISLAM
4. Madzhab Hambali
Imamam Ahmad adalah tokoh pendiri madzhab
Hambali. Beliau bernama Ahmad bin Muhammad bin Hambal
bin Hilal, kelahiran Baghdad tahun 164 H., dan meninggal
tahun 241 H., juga di Baghdad. Kedua orang tuanya
keturunan Arab dari kabilah Syaiban, dan berjumpa nasab
dengan Nabi pada Nazar.
5. madzhab-madzhab yang tidak berkembang lagi
Selain empat madzhab di atas, dikalangan sunni
pernah muncul madzhab-madzhab lai yang kini sudah tidak
berkembang lagi, yaitu madzhab dzahiri, Auza’i dan Laits.
B. MADZHAB-MADZHAB FIQH DARI KALANGAN SYI’AH
1. Madzhab Zaidiyah
Madzhab Zaidaniyah dikembangkan oleh Zaid bin Ali
Zainal Abidin, bin Husein, bin Ali bin Abi Thalib. Beliau
dilahirkan pada tahun 80 H., dan meninggal dalam
peperangan melawan rezim Amawy pada tahun 122 H..
Pemikiran-pemikiran fiqhnya bersumber pada Al-Qur’an
dan al-Sunah (dari sanad keluarga rasul), kemudian jika dari
keduanya tidak menytakan secara pasti ketentuan-ketentuan
hukum bagi persoalan furu’ yang yang dihadapinya, ia
melakukan kajian qias sebagaimana para ulama sunni. Dan
terakhir ia menggunakan ra’yunya secara bebas, yang dijamin
kebenarannya berdasar pada doktrin kemaksuman imam.
2. Madzhab Ja’fariyah
Madzhab Ja’fariyah dikembangkan oleh Ja’far al-Shadiq
ibnu Muhammad al-Baqir (80-148 H). Ciri tradisionalisme dan
syi’ismenya terlihat dalam pola kajian fiqh Ja’far, yang hanya
bersumber pada Al-Qur’an dan al-Sunah, serta pemikiran
imam sendiri yang berpijak pada mashlahah. Akan tetapi,
25
BAB IX
PRANATA SOSIAL
5. Bidng kesehatan
BAB X
MODERNISME DALAM HUKUM ISLAM
1. Sekterianisme
Aliran ini mewajibkan para ulamanya untuk mengikuti
pendapat-pendapat yang telah dikeluarkan oleh ulama-
ulama madzhabnya sera para pengikutnya. Cara ijtihadnya
adalah mengkaji persoalan furu’ yang mereka hadapi
dengan melihat fatwa-fatwa ulama anutannya.
2. Literalianisme
Aliran ini merupakan aliran Neo-Dzahiri yang mengikuti
pola-pola kajian hukum Daud al-Asfahani dan Ibnu Hazm al-
Andalusi. Mereka melakukan kajian ijtihad dengan hanya
melihat makna dzhahir nash tanpa menggunakan kaidah-
kaidah ushul, dan juga kurang memperhatikan produk-
produk pemikiran fiqh yang telah ada, bahkan juga
mengabaikan aspek mashlahah sebagai maksud
penetapan hukum pada umat manusia.
3. Thufiisme
Aliran thufiisme adalah aliran pengikut Najamuddin al-
Thufi (w.716 H) yang amat memperhatikan maslahah,
bahkan hasil kajian maslahah harus lebih diutamakan
terhadap nash.
4. Aliran Tabrir (Legitimatianisme)
Aliran ini adalah aliran ijtihad yang memberikan fatwa
sesuai dengan kehendak dan tuntutan kelompok-kelompok
pemesan fatwa, yang mungkin datang dari kalangan
masyarakat tertentu atau pengusaha.
5. Aliran Moderat
Aliran ini melakukan ijtihad dengan tidak terlampau
mempersulit kepada masyarakat lewat hasil-hasil kajian
teoritis yang mengacu pada produk-produk pemikiran
29
BAB XI
MODERNISME DALAM PRANATA SOSIAL