Anda di halaman 1dari 14

1

KAIDAH-KAIDAH FIQH
AL-UMUR BI MAQASHIDINA
(SEGALA SESUATU TERGANTUNG TUJUAN)
Jihad1, Marina Masdayanti Irawan2 Rahmi Dewanti3 Ilham Muchtar4
1
Universitas Muhammadiyah Makassar
2
Universitas Muhammadiyah Makassar
3
Universitas Muhammadiyah Makassar
4
Universitas Muhammadiyah Makassar
E-mail: omjiad9@gmail.com1
E-mail: Marinamasdayanti878@gmail.com2
E-mail: rahmidewanti@unismuh.ac.id 3
Email: abu165muammar@gmail.com4

Abstract:
Kaidah fiqhiyyah telah terbentuk pada masa kerasulan
hingga ke-3-abad 4H. Namun aturan fikihiyah baru tercatat
pada abad ke-4 H. Kaidah-Kaidah Fiqhiyah merupakan
bagian dari cara menerapkan hukum. Dengan pemahaman
kaidah-Kaidah Fiqhiyah tersebut penerapan fiqh dalam
ruang lingkup yang berbeda, pada waktu tertentu dan
lokasi yang berbeda untuk berbagai permasalahan yang
berlainan. Dengan Kaidah Fiqhiyah manusia akan lebih
moderat dalam menyikapi masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Dalam artikel
ini, penulis akan membahas tentang Al-Umuru
Bimaqasidiha. Kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha ini
mengkaji tentang niat, pentingnya kedudukan niat yang
menentukan makna perbuatan seseorang. Metode yang
digunakan dalam penulisa artikel ini adalah library
research, dengan menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Hasil pembahasan ini menemukan bahwa kaidah
fiqhiyyah pertama, Islam adalah sebuah agama yang
mudah. Allah memberikan tugas kepada seseorang sesuai
dengan kemampuannya. Di sisi lain, hukum asal ibadah
dilarang kecuali ada dalil yang mana menginstruksikannya
untuk dilaksanakan. Namun, ini hanya berlaku untuk jenis
mahḍah beribadah, sehingga untuk ghair mahḍah dan
ghair muyyan tidak ada pantangannya, seperti bacaan doa,
salawat, dzikir, sadaqah dan lain-lain yang dapat dilakukan
kapan saja dan di mana saja. Sedangkan sila ketiga
menunjukkan bahwa perkara niat dalam Islam adalah
sangat penting. Semua hal dalam ibadah dinilai dari
niatnya. Salah niat dapat merusak perbuatan seseorang.

Kata kunci: rumusan fiqhiyyah, kesulitan, asal ibadah, niat dalam tujuan
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam
untuk menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh tidaknya sesuatu itu dilakukan,
mereka juga tidak dapat menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih
utama untuk ditinggalkan.
Dalam berbuat atau berperilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang
dianut, baik berdasarkan ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik. Dalam Islam, pedoman
yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk AlQuran dan Sunnah
Nabi.
Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh berpaling dari
keduanya, seperti dipahami dari ungkapan imperatif Allah dalam surat Ali-Imran ayat 32, yang
artinya: “Katakanlah olehmu (hai Muhammad), taatiah Allah dan Rasul- Nya.
Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” Umat Islam
hingga sekarang tetap menjadikan kalam Tuhan dan Sunnah Nabi itu sebagai umdah atau
sandaran utama dalam berperilaku dan dan berbuat. Tidak hanya itu, kedua sumber hukum itu
dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian-penyelesaian. Al-Quran sebagai pedoman hidup
(way of life) mengandung ajaran yang sempurna dan lengkap, sekalipun memang terkadang di
dalamnya hanya dijelaskan prinsip-prinsip atau dasar-dasarnya saja.
Prinsip-prinsip ajaran tersebut lebih lanjut ditafsirkan dan dirinci oleh Sunnah Nabi, baik
dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun dalam bentuk persetujuannya terhadap perbuatan
atau prilaku sahabat-sahabatnya.
Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah
secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna
asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata
qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm,
artinya kaidah-kaidah ilmu. Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah
dan peran yang sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam perumpamaan sehingga
mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid.
Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau Al- Qawaid
Al-Khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya Al-Ummuru bi maqashidiha didalamnya
membahas apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya dikalangan mazhab Hanbali
bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dari tempat dari
maksud adalah hati.
Al-Umuru bi maqasidiha merupakan salah satu daripada kaidah yang digunakan oleh
para Fukaha’dalam Qawa’id Fiqhiyyah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan
mengetahui dan menguasai kaidah fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqh, dan lebih arif didalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus,adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat didalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama, yaitu al-
Umurubi Maqasidiha. Kaidah ini membahas tentangkedudukan niat yang sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupunmakna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itudengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi
larangannya. Ataukah dia tidak niat karena Alah tetapi agar disanjung orang lain.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Kaidah Qowaid Fiqiyah
Islam bersumber pada dua sumber utama yaitu Al-Quran dan Sunnah, yang kerap kali
dikatakan sebagai dalil-dalil pokok hukum Islam, disamping itu selain Al-Quran dan Sunnah
ada juga beberapa dalil pendukung dalam hukum Islam yaitu ijma’, qiyas, istihsan, masalahah
mursalah, urf dan syarún man qoblana, yang kesemuanya adalah alat bantu untuk memahami
makna hakiki yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah. Berbicara tentang hukum Islam
ada dua bentuk utama yaitu syariah dan fiqh. Syariah adalah hukum dalam makna yang luas
yang mencakup aspek aqidah, akhlak dan amaliah, yang mencakup norma dalam agama Islam,
oleh sebab itu syariah cakupannya lebih luas. Sementara itu fiqh adalah hukum Islam praktis
yang bersumber dari dalil-dalil tafshily atau terperinci yang khusus mengatur suatu bidang
hukum saja,4dengan kata lain dapat dipahami pula bahwa syariah adalah peraturan yang
diturunkan Allah SWT kepada manusia supaya hendaknya senantiasa di pedomani ketika
berhubungan dengan Tuhan, manusia dan lingkungannya, sedangkan ilmu yang
memperbincangkan syariah itulah yang dinamakan dengan fiqh.
Qowaid fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah universal yang didalamnya terkandung bagian-
bagian persoalan yang sama, yang dapat dikelompokkan dalam satu garis besar yang sama yang
kemudian melahirkan berbagai macam cabang-cabang fiqh. qowaid fiqhiyyah telah disepakati
oleh para jumhur ulama seabgai suatu landasan yang tidak kalah pentingnya dengan dalil-dalil
pokok maupun penunjang yang ada dalam hukum Islam, hal ini dikarenakan qowaid fiqhiyyah
dapat memudahkan seorang mujtahid untuk melakukan pemahaman terhadap hukum Islam.
Sehingga seseorang tidak pantas untuk dikatakan sebagai mujtahid apabila tidak menguasai
qowaid fiqhiyyah. Singkat kata untuk melakukan ijtihad pemahaman terhadap kaidah-kaidah
fiqh amatlah diperlukan. Peranan ijtihad sangat besar dalam pembaruan hukum islam.
Pembaruan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mujtahid yang memenuhi syarat untuk
melaksanakannya. Berbicara tentang pembaharuan hukum Islam dan ijtihad dalam hukum
Islam, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, saling
mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses pembaruan islam
secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari proses ijtihad itu akan menjawab segala
persoalan yang muncul akibat tuntutan zaman.
Pentingnya pemahaman terhadap qowaid fiqhiyyah ini amat disadari betul oleh para
Imam Empat Mazhab (Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafií), hal ini dikarenakan ilmu tentang
kaidah-kaidah fiqh ini merupakan salah satu cabang terpenting ilmu syariah, apabila dipelajari
oleh seeorang maka akan menjadikan orang tersebut akan menjadi orang yang faqih atau paham
betul terhadap ilmu fiqh, bahkan menurut jumhur ulama rahasia-rahasia ilmu fiqh pada
hakikatnya terletak pada kaidah-kaidah yang dikandungnya, disamping itu penguasaan terhadap
ilmu qowaid fiqhiyyah akan memudahkan bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwa,
sehingga tidak dapat dipungkiri pula bahwa penyebab utama dari keterbelakangan
perkembangan hukum Islam disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ilmu tentang qowaid
fiqhiyyah. 1
Pada dasarnya kaidah-kaidah fiqh yang dibentuk dan disepakati oleh para ulama ada
banyak, namun dalam praktiknya jumhur ulama tetap berpedoman pada lima kaidah pokok
utama atau yang lebih dikenal dengan istilah qawaid asasiyyah al khams, kelima kaidah pokok
inilah yang kemudian melahirkan berbagai macam kaidah-kaidah cabang yang juga tetap
merupakan bagian dari qowaid fiqhiyyah secara keseluruhan, dalam perkembangnnya kelima
kaidah pokok tersebut lebih popular di bandingkan dengan penggunaan lima kaidah
pokok.Kelima kaidah pokok tersebut adalah suatu pdoman yang memastikan bahwa fiqh-fiqh
yang di buat oleh manusia tidak bertentangan apa yang telah diatur oleh Allah SWT, nilai-nilai
yang terkandung dalam kaidah-kaidah fiqh tersebut bersifat universal, yang dapat menyesuaikan
dengan segala perkembangan zaman maupun permasalahan yang melekat padanya, dari kaidah-
kaidah tersebut dapat di turunkan kembali menjadi kaidah-kaidah cabang yang bersifat lebih

1
Syarif Hidayatullah, Op.Cit.,h.37.
khusus yang berhubungan dengan persoalan yang hendak diselesaikan.

Adapun kaidah-kaidah pokok dalam ilmu fiqh tersebut terdiri dari:


1) Kaidah pertama, ”Segala urusan tergantung dari pada maksudnya”
2) Kaidah kedua, “Keyakinan tidak dapat dihapuskan atau dihilangkan dengan keraguan”
3) Kaidah ketiga, “Setiap kesulitan akan melahirkan suatu kemudahan”
4) Kaidah keempat “Kemudharatan atau bahaya wajib untuk dihilangkan”
5) Kaidah Kelima “Adat istiadat di kokohkan”.
Lima poin diatas adalah kaidah-kaidah pokok yang dinamakan dengan qawaid asasiyyah
al khams, adapun kaidah tambahan yang sering disebut sebagai kaidah ke enam adalah “tidak
ada pahala tanpa adanya niat”, namun penggunaan kaidah ke enam ini jarang digunakan, oleh
para mujtahid yang masih tetap berpedoman pada lima kaidah pokok diatas. Adapun terhadap
penjelasan dari masing pengaplikasian dari kelima kaidah fiqh tersebut dapat di jabarkan di
bawah ini: 1) Penjelasan terhadap kaidah pertama, ”Segala urusan tergantung dari pada
maksudnya”, kaidah ini menekankan pentingnya niat dalam melakukan segala urrusan, apabila
niatnya baik maka haslanya akan baik, namun sebaliknya apabila niatnya tidak baik maka
hasilnya juga tidak akan baik. Dalam melakukan suatu ijtihad penting untuk diahami bawa upaya
tersebut harus di awali dengan niat yang baik, sehingga hasil ijtihad tersebut akan memiliki hasil
yang baik, namun apabila ijtihad tersebut dilakukan tanpa adanya niat yang baik maka dapat
dipastikan akan membawa dampak yang tidak baik, dengan kata lain suaatu ijtihad dilakukan
karena adanya kebutuhan akan solusi dari suatu persoalan, bukan karena pesanan, ataupun
pesanan dari kepentingan-kepentingan segolongan manusia yang tidak membawa kebaikan bagi
mayoritas manusia.2 Mengenai contoh penerapan kaidah ini adalah, misalkan dilakukan
istinbath tehadap keabsahan transaksi keuangan menggunakan kartu elektronik, Al-Qur’an dan
Sunnah tidak mengaatur hal tersebut secara rinci, namun ada dasar-dasar muamalah yang dapat
dijadikan allat dalam pembuatan aturan yang baru melalui upaya ijtihad, maka dalam hal ini
upaya ijtihad tersebut adalah berupaya untuk mengakomodir kepentingan umat muslim terhadap
transaksi keuangan menggunakan kartu dikarenakan perkembangan zaman yang memungkinkan
adanya pembayaran dengan menggunakan kartu, ijtihad tersebut dilakukan semata-mata demi
kemaslahatan umat muslim dalam bertransaksi, bukan karena adanya pesanan sponsor dari pihak
bank ataupun pihak lain, ole karena adanya niat untuk memudahkan umat muslim bertransaaksi
dan selama tidak ada kesamaan illat dalam Al-Qur’an dan Sunnah sertaa tidak bertentangan
dengana dua sumber utama tersebut maka fiqh tentang transaksi elektronik tidaak bertentangan
dengan syariah Islam ;3 2) Penjelasan terhadap kaidah kedua, “Keyakinan tidak dapat
dihapuskan atau dihilangkan dengan keraguan”, adapun penjabaran dari kaidah ini adalah
penekanan pada suatu kondisi bahwa segala sesuatu yang teelah ditetapkan sampai kapan pun
tidak akan berubah, kaidah ini akan melahirkan kaidah cabang “al aslu makana la makana” yang
dapat di artikan segala sesuatu yang sudah ada pada asalnya tidak akan berubah sampai
kapanpun juga, makna keyakinan secara etimmologi adalah sebuah ilmu yang tidak ada lagi
keraguan di dalamnya, dalam pengertian lain dapat diartikan mengetahui secara pasti dan jelas
akan suatu kebenaran; 3) Penjelasan terhadap kaidah ketiga, “Setiap kesulitan akan melahirkan
suatu kemudahan”.4
4) Penjelasan terhadap kaidah keempat “Kemudharatan atau bahaya wajib untuk
dihilangkan”. Pemahaman terhadap kaidah ini di awali dari pemaknaan yang kuat terhadap

2
Syarif Hidayatullah, Op.Cit.,h.40
3
Q.S. Al Baqarah tersebut mengatur bahwa “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya….”.
4
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fath al Bary Syarh Shahih al Bukhari, Dar al Fikr, Beirut, h.164.
bahwa seseorang tidak boleh membahayakan orang lain, hal ini sebagaimana yang diatur dalam
Q.S. Al A’Rof ayat 56 dan Q.S. Al Qashash ayat 77, kedua ayat tersebut memuat kata “wala
tufsidu fil ardh”, yang mempunyai makna dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi. Dari penjabaran tersebut dapat dipahami bahwa setiap umat manusia dilarang untuk
membuat kerusakan di muka bumi dala bentuk apapun, termasuk juga dalam melakukan
penafsiran makna yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah, yang dimaksud dengan
kerusakan disini bukanlah kerusakan secara lahiriah saja atau kerusakan yang tampak secara
fisik, namun lebih dari itu kerusakan tersebut juga meliputi kerusakan moral, pola pikir, akhlak
dan mental. Atas dasar itulah maka kaidah pokok yang keempat ini muncul5; 5) Penjelasan
terhadap kaidah Kelima “Adat istiadat di kokohkan”. Yang dimaksud dengan adat disini adalah
kebiasaan atau urf yang dapat diterima oleh tabiat yang sehat dan dikerjakan berulang-ulang,
dalam hal ini apabila suatu kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan nash yang terkandung
dalam Al-Qur’an dan Sunnah maka kebiasaan tersebut dapat dilakukan dan tidak perlu
dipertentangkan lagi, dalam hal ini yang menjadi para meter dari adat istiadat ini adalah
ketiadaan pertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, adanya pertentangan antara suatu adat
istiadat dengan Al-Qur’an dan Sunnah secara otomatis akan mnjadikan adat istiadat tersebut
tidak dapat diterapkan dan tidak dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penafsiran hukum.
Penetapan adat istiadat sehingga menjadi hukum yang hidup di suatu masyarakat menekankan
pada dua hal utama yaitu, pertama, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan yang
kedua membawa kemaslahatan bagi umat manusia, oleh karenanya apabila suatu perbuatan tidak
dilarang dalam Al-Qur’an dan Sunnah namun tidak membawa kemaslahatan sama sekali
hendaknya tidaklah dikerjakan, karena hal tersebut hanya menimbulkan kemubaziran dan kesia-
siaan saja, disatu sisi dapat juga mengarah kepada perbuatan syubhat yaitu perbuatan yang halal
haramnya tidak jelas, yang apabila seseorang dihadapkan pada perkara syubhat maka hendaknya
untuk di hindari, hal ini sebagaimana yang di sabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW yang
bersabda “barang siapa yang terjebak dalam perkara syubhat, maka sesungguhnya ia terjebak
dalam perkara yang haram”.6

5
Asjmuni Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Bulan Bintang Jakarta, h.17
6
Ali Ahmad al -Nadawi, al-Qawaid l Fiqhiyyah, Dar al Qalam, Damascus, h.43.
2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha
Maksud kata umur kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha terbentuk dari dua unsur
yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan bentuk
dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab
ini lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan menurut terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau
tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.7
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi
dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksa dan, al qashdu dan al
maqshadu artinya sama, beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma,
condong, mendatangi sesuatu dan menuju. Makna Niat, Kata niat ( ) dengan tasydid pada huruf
ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli
bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi (niyah). Dapat
diambil benang merah bahwa makna niat tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu
maksud atau kesengajaan. Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti,
kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan
dan pendekatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Niat sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan
menjauhilaranganNya. Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. tidak
membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.Untuk membedakan
satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat itu kita bisa menciptakan beraneka ragam
ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya
wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa. Sebagai syarat diterimanya perbuatan ibadah. Ada tiga
syarat yang harus dipenuhi. Pertama, adalah dengan adanya niat yang ikhlas. Kedua adalah
perbuatan atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan yang disyariatkan oleh Allah dan
dicontohkan oleh Rasul-Nya. Ketiga, adalah meng-istishhab-kan niat sampai akhir pekerjaan
ibadah.
Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati, karena
niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini
/ beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas
menyertainya dalam ibadah.8
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah,
tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-
kaidah tersebut diatas. Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah :
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang

7
http:/fikihilmiah.blogspot.com/2021/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-bi.html, diakses pada 15 mei
2019, jam 5:06
8
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 34-35
wajib dari yang sunnah.
Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junuh, shalat
qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau
ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-
menyewa, perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya,
sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah fikih yang
berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya. Adapun
kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain :
1. Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga tidak bercampur
dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali
apabila bacanya dalam rangka nazar.9
2. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan zina
dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan
tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul diperlukan niat apabila mengharapkan dapat
pahala dengan meninggalkan yang dilarang.
3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
B. Dasar Hukum Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha
Hukum-hukum Fiqh dibangun atas dasar ijtihad para ulama terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum Fiqh tersebut
merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an
atau hadis Nabi. Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid
dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. Satu ijtihad
boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang
dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh
jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul. Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas
ijtihad mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad
yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa
ijtihad yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad, sementara ijtihad yang
benar akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam
berijtihad. Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya
dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi
maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi.
Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat manusia dibumi
hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada sembahan makhluk lainnya kecuali padanya
dengan menata kembali seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Robbi
َْ َ ٰ َ ٰ ُ ْ َ ٰ َّ َ ُ ُ ْ َ َّ ْ ُ َ َ
َ َ ُ َْ ُ َْ ُْ َ‫ه‬
‫الدين ەۙ حنفا َۤء َو ُي ِق ْي ُموا الصلوة َو ُيؤتوا الَّزكوة َوذ ِلك ِد ْي ُن الق ِي َم ِة‬
ِ ‫ومآ ا ِم ُر ٓوا ِالا ِليعبدوا اّٰلل مخ ِل ِصين له‬
Terjemahan:
Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat.
Itulah agama yang lurus (benar).
Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis ini menjelaskan bahwa” Setiap perbuatan
itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya dan

9
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) hlm 34
barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang
dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.”10
Adapun cabang-cabang dari Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha:
1. Qaidah 1 Suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya
membatalkan pekerjaannya. Misalnya : seseorang hendak melakukan shalat dhuhur kemudian
niat shalat ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tidak sah. Demikian pula seseorang hendak
berpuasa untuk membayar kafarat zihar dengan niat puasa kafarat sumpah, maka puasanya tidak
sah.
2. Qaidah 2 Suatu amalan yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan untuk
dirinci, kemudian dijelaskan secara rinci dan ternyata salah, maka membahayakan (tidak sah).
3. Qaidah 3 Amalan yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan baik secara garis besar maupun
secara rinci, apabila ditentukan (dijelaskan) dan ternyata keliru, maka kekeliruannya tidak
membahayakan (tidak membatalkan).
4. Qaidah 4 Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadz umum, tetapi tidak menjadikan umum
pada lafadz yang khusus. Qaidah tersebut dari Imam al-Rafi’i, lalu disebutkan oleh Imam al-
Nawawi dalam kitab al-Raudhah. Contoh : orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan
seseorang tetapi yang dimaksud seseorang adalah Umar, maka sumpahnya hanya berlaku pada
Umar.
C. Penerapan Kaidah Al-Umuru Bi Maqashidiha
Orang yang mempunyai niat untuk melakukan dosa besar seperti membunuh, namun
tidak sempat melakukannya maka niatnya itu tetap dikira berbuat. Seperti Hadis Rasulullah
SAW. menyatakan:
Apabila dua Muslim berkelahi dengan saling menghunus pedang, yang terbunuh dan
yang membunuh, kedua-duanya dimasukkan ke dalam neraka. Aku bertanya; Wahai Rasulullah!
ini adalah balasan bagi orang yang membunuh (masuk neraka adalah patut), tetapi bagaimana
dengan keadaan orang yang dibunuh? Rasulullah menjawab; kerana ia juga berniat untuk
membunuh lawannya. Dalam kasus seperti pembunuhan di atas, para hakim perlu menentukan
hukumannya berdasarkan qarinah (petunjuk) untuk menentukan sengaja atau tidak sengaja.
Yaitu bukti-bukti yang tampak melanjutkan tindakan si pembunuh sebagai refleksi daripada apa
yang diniatkannya di dalam hati, sama ada pembunuhan tersebut dilakukan secara sengaja,
menyerupai sengaja ataupun tidak sengaja. Sebagai contoh, dalam sesuatu kasus pembunuhan
tersebut, hakim boleh bergantung kepada fakta-fakta yang ada kaitannya dengan pembunuhan
itu, seperti A dilihat berlari keluar dari rumah B dalam keadaan baju yang dipakainya
berlumuran darah sedangkan mereka diketahui memang mempunyai hubungan yang tidak baik.
Aspek pembuktian ini merupakan suatu indikator yang sangat penting dalam bidang kehakiman
lebih khusus dalam kasuspelaksanaan hukum hudud, qisas dan takzir, selaras dengan ajaran
Islam yang sangat menekankan aspek ini dalam menetapkan sesuatu hukuman kepada seseorang
yang dituduh di Pengadilan. Hal ini begitu signifikan sebab ia akan menjadikan seseorang hakim
bertindak dan bersikap adil dalam menjatuhkan hukuman atas pelaku jinayat tersebut di
pengadilan.11
Di samping ia turut berfungsi untuk mengakhiri pertikaian. Firman Allah dalam surah
al-Baqarah ayat 111:
َ ٰ ُْ ُ ْ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ْ ٰ َ َ ً ُ َ َ َّ َ ََّ ْ َ ُ ْ َ ُ َ
‫َوقال ْوا ل ْن َّيدخل الجنة ِالا َم ْن كان ه ْودا ا ْو نص ٰرى ِتلك ا َما ِن ُّي ُه ْم قل هات ْوا ُب ْرهانك ْم ِان كنت ْم ص ِد ِق ْين‬
Terjemahan :

10
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)hlm 37
11
A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015)hlm
32- 37
Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi
atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad),
“Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar.”
Niat yaitu mengqashad sesuatu disertai dengan perbuatan mendekatkan diri kepada
Allah, dan tempatnya dalam hati pada seluruh ibadah. Niat itu adalah maksud dan tekad untuk
mengerjakan sesuatu, tempatnya adalah hati, dan secara ashl tidak berkaitan dengan lisan.
Karena hakikat niat adalah menyengaja (alqashd), mayoritas ulama fiqh sepakat bahwa tempat
niat adalah dalam hati. Meskipun demikian, karena inbiats (bekasan) dalam hati itu sulit, maka
para ulama menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan lisan,
sekedar untuk menolong dan membantu gerakan hati. Namun, ketika seseorang berniat di dalam
hatinya tanpa lafazh (diucapkan) melalui lisan, maka diperbolehkan. Sebab pada saat berniat,
telah terjadi qashd di dalam hati dan mengarahkan hati serta segala kecenderungannya pada apa
yang hendak dilakukan. Hal ini dipandang lebih utama dari sekedar perlafazhan dengan lisan.
Karenanya, seorang yang melafazh-kan niat ketika hendak melaksanakan shalat, misalnya,tetapi
hati kecilnya menolak, maka keabsahan shalatnya menjadi gugur.12
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yakni penelitian yang
obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber datanya.
Penelitian ini dilakukan dengan membaca, menelaah, dan menganalisis berbagai literatur yang
ada, berupa Al Qur’an, hadis, kitab, maupun hasil penelitian.
Penelitian kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan
informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti
dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dsb (Mardalis: 1999). Penelitian kepustakaan
adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan,
serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan (Nazir: 1988).
Ada empat langkah penelitian kepustakaan (Zed, 2008), yaitu:13
1. Menyiapkan alat perlengkapan. Alat perlengkapan dalam penelitian kepustakaan berupa
pensil atau pulpen dan kertas catatan
2. Menyusun bibliografi kerja, bibliografi kerja ialah catatan mengenai bahan sumber utama
yang akan dipergunakan untuk kepentingan penelitian.
3. Mengatur waktu, dalam hal mengatur waktu ini, tergantung personal yang memanfaatkan
waktuyang ada, bisa saja merencanakan berapa jam satu hari, satu bulan, terserah bagi personal
yang bersangkutan memanfaatkan waktunya.
4. Membaca dan membuat catatan penelitian, artinya apa yang dibutuh dalam penelitian tersebut
dapat dicatat, supaya tidak bingung dalam lautan buku yang begitu banyak jenis.

12
Muhammad bin Futuh al-Humaidy, al-Jam’u Baina alShahihain al-Bukhari wa al-Muslim, Beirut, Dar
al Nasyr, Juz 1, 2002 h. 221
13
Zed, M. (2008). Metode peneletian kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
KESIMPULAN

Kaidah al-Umur Bi Maqasidiha merupakan salah satu kaidah Fiqhiyyah yang boleh
digunakan oleh ahli fuqaha’ pada hal-hal dalammenyelesaikan masalah ummat yang tidak
terdapat didalam nas al-Quran danal-hadith, sama ada menggunakan kedah ijtihad, qiyas dan
sebagainya,ulamak pada hari ini juga perlu bijak menggunakan fikiran mereka
dalammengeluarkan hukum, dimana hukum yang dikeluarkan mestilah bersumberkan al- Quran,
al-Hadith, Qiyas dan ijmak Ulamak kerana setiap masalah yang berlaku berbeza mengikut
peredaran zaman, dan agar hukumyang dikeluarkan bersesuaian dan bertepatan dengan keadaan
zaman tersebut.
Dapat disimpulkan juga disini, bahawa setiap sesuatu perbuatanMukallaf itu akan dikira
berdasarkan niatnya, jika niatnya kearah kebaikkanmaka dia akan mendapat pahala, namun jika
sebaliknya ia akan mendapatkemurkaan daripada Allah swt. Niat juga merupakan salah satu alat
pengukur bagi perbuatan seseorang mukallaf sama ada dari segiibadah,muamat,muanakahat
mahupun jenayah. Sesuatu aidabat itu akansempurna jika sesuatu perbuatan itu disertakan
dengan niat.
3

DAFTAR REFERENSI

A. Ghazali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika,


2015)
Ali Ahmad al -Nadawi, al-Qawaid l Fiqhiyyah, Dar al Qalam, Damascus
Asjmuni Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Bulan Bintang Jakarta
http:/fikihilmiah.blogspot.com/2021/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-bi.html, diakses pada 15
mei 2019, jam 5:06
Ibnu Hajar Al Asqalani, Fath al Bary Syarh Shahih al Bukhari, Dar al Fikr, Beirut.
Muhammad bin Futuh al-Humaidy, al-Jam’u Baina alShahihain al-Bukhari wa al-Muslim,
Beirut, Dar al Nasyr, Juz 1, 2002.
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017)
Q.S. Al Baqarah tersebut mengatur bahwa “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya….”.
Syarif Hidayatullah, Op.Cit.
Syarif Hidayatullah, Op.Cit.
Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011)
Zed, M. (2008). Metode peneletian kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obo

Anda mungkin juga menyukai