Anda di halaman 1dari 42

PONPES PUTRI

KH SAHLAN ROSJIDI

MODUL PEMBELAJARAN DARING

MANHAJ TARJIH
MUHAMMADIYAH

Materi ini diberikan sebagai


Penyusun: Dr. Ahmad Furqon, Lc, MA penggan kegiatan pembelajaran
ru n di Ponpes Putri KH Sahlan
Rosjidi semasa pandemi COVID-19

rusunawa@unimus.ac.id rusunawa.unimus.ac.id ponpesputri.unimus 0822-4553-7879


Manhaj Tarjih
Muhammadiyah
Disampaikan oleh:
Dr. H. Ahmad Furqon, Lc, MA
Mantan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Semarang
Sejarah Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah
 Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan Kongres ke-16
organisasi ini di Pekalongan pada tahun 1927 pada periode kepengurus-an K.H.
Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua
sesudah K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923).
 Dalam kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan Pusat Muhammadiyah, agar
dalam persyarikatan itu diadakan Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy .
Usul yang diajukan Pimpinan Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif
seseorang tokoh ulama Muhammadiyah terkemuka, K.H. Mas Mansur (1896-1946)
yang waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah Surabaya. Ide
tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya dalam Kongres ke-15 tahun
1928.
 Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan ketiga majlis tersebut di atas
diterima secara aklamasi oleh para peserta, dengan mengganti istilah Majlis Tasyri’
menjadi Majlis Tarjih, dan “sejak itulah berdirinya Majlis Tarjih”.
 Pada tahun 1928 di Jogjakarta, dalam kongers ke-17,
Pengurus dan Qaidah Majlis Tarjih itu dibentuk. Jadi atas
dasar ini sebenarnya dapat dikatakan bahwa secara
formal, Majlis Tarjih itu terbentuk pada tahun 1928 di
Jogjakarta.
 Pada kongres ke-18 di Solo, yang berlangsung dari tanggal 30 Januari
sampai dengan tanggal 5 Februari 1929, Majlis Tarjih pertama kalinya
mengadakan sidang khusus di luar sidang-sidang Kongres
Muhammadiyah, dan berhasil mengambil keputusan tentang “Kitab
Iman” dan “Kitab Shalat”. Kitab Iman berisi keputusan tentang pokok-
pokok akidah yang benar, yaitu mengenai rukun iman yang enam, ialah
: percaya kepada Allah, percaya kepada Malaikat, percaya kepada
Kitab-kitab Suci, percaya kepada Rasul-rasul, percaya kepada Hari
Kemudian, dan percaya kepada Qadla dan Qadar yang baik dan buruk.
Di samping itu juga ada keputusan tentang masalah mengimani
kenabian sesudah Muhammad. Sedang “Kitab Shalat” berisi keputusan
tentang tata cara mengerjakan shalat.
Filosofi Majelis Tarjih
Majelis Tarjih dan Tajdid dalam menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya memiliki landasan filosofis sebagai berikut:
1. Melaksanakan gerakan Islam, da’wah amar ma’ruf nahi
munkar dan tajdid yang bersumberpada Al-Qur`an dan As-
Sunnah dan berasas Islam.
2. Mengembangkan kajian-kajian untuk pemurnian dan
pengembangan dalam berbagai aspek.
3. Menggunakan manhaj tarjih, dengan prinsip tajdid,
keterbukaan, toleransi, dan tidak terikat pada mazhab
tertentu.
4. Menghasilkan produk yang menjadi rujukan bagi seluruh
warga dan gerakan Muhammadiyah yang dilakukan secara
terorganisasi guna mengantisipasi perkembangan jaman.
Fungsi Majelis Tarjih & Tajdid
1. Pembinaan faham agama dan ideologi Muhammadiyah di
lingkungan Majelis.
2. Perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan
pengawasan atas pengelolaan usaha-usaha yang dilakukan.
3. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia
dalam bidang tarjih dan tajdid
4. Pengembangankualitasdankuantitasusaha-usaha yang
dilakukan.
5. Penelitian dan pengembangan bidang tarjih dan tajdid.
6. Penyampaian masukan kepada Pimpinan Persyarikatan
sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan
bidang tarjih dan tajdid.
Pengertian Manhaj Tarjih

 Frasa “manhaj tarjih” secara harfiah berarti cara


melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih
lebih dari sekedar cara bertarjih. Istilah tarjih sendiri
sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam
ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap
dalil-dalil syar’i yang secara zahir tampak saling
bertentangan atau evaluasi terhadap pendapat-pendapat
(kaul) fikih untuk menentukan mana yang lebih kuat.
 Ar-Rāzī (w.606/1209) mendefinisikan tarjih dalam usul
fikih sebagai,“Menguatkan salah satu dalil atas yang lain
sehingga diketahui mana yang kuat lalu diamalkan yang
lebih kuat itu dan ditinggalkan yang tidak kuat.”3 Definisi
ar-Rāzī ini menjelaskan dua hal pokok tentang pengertian
tarjih,yaitu :
1. Bahwa tarjih itu adalah perbuatan mujtahid (ahli hukum
syariah) dan bukan sifat dari suatu dalil.
2. Bahwa obyek tarjih adalah dalil-dalil yang tampak
saling bertentangan untuk diambil yang lebih kuat.
 Atas dasar itu ada yang mendefinisikan tarjih sebagai,
“Perbuatan mujtahid mendahulukan salah satu dari dua
jalan yang memiliki keungulan lebih yang dapat diterima
dan yang menjadikannya lebih utama untuk diamalkan dari
yang lain.”5
 Yang dimaksud dengan “jalan” dalam definisi
di atas meliputi (1) dalil-dalil, karena dalil itu merupakan
jalan yang menghantarkan kepada kesimpulan (ketentuan
hukum) mengenai suatu masalah; (2) cara memahami
(wajh) karena cara memahami juga merupakan jalan
mencapai kesimpulan; dan riwayat, karena riwayat juga
jalan untuk mencapai suatu kesimpulan.
 Inilah pengertian tarjih dalam disiplin asli dari mana
istilah itu berasal, yaitu usul fikih. Perlu pula dicatat bahwa
tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad. Dalam usul
fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad mutlak mandiri
(ijtihad dalam usul dan cabang), ijtihad mutlak tak mandiri,
ijtihad terikat, ijtihad tarjih, dan ijtihad fatwa.
 Dalam Muhammadiyah tarjih tidak hanya dibatasi pada
ijtihad
untuk merespons permasalahan dari sudut pandang
hukum syar’i, tetapi juga merespons permasalahan dari
sudut pandang Islam secara lebih luas, meskipun harus
diakui porsi ijtihad hukum syar‘i sangat jauh lebih besar.
Oleh karena itu dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih
diartikan sebagai setiap aktifitas intelektual untuk
merespons permasalahan sosial dan kemanusiaan dari
sudut pandang agama Islam. Dari situ tampak bahwa
bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan
melakukan ijtihad mengenai suatu permasalahan dilihat
dari perspektif Islam.
Pengertian Manhaj Tarjih

“suatu sistem yang memuat


seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber,
pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode)
tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan
ketarjihan.” Kegiatan ketarjihan adalah aktifitas intelektual
untuk merespons berbagai masalah sosial kemasyarakatan
dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam.
 Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung
pengertian sumber-sumber pengambilan diktum ajaran
agama. Sumber pokok ajaran agama Islam adalah alQuran dan as-
Sunnah.
 Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah
adalah sunnah makbulah seperti ditegaskan dalam
Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000 yang dikutip di atas.
Istilah sunnah makbulah merupakan perbaikan terhadap
rumusan lama dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT)
tentang definisi agama Islam yang menggunakan
ungkapan “sunnah sahihah.” “sunnah
makbulah”, yang berarti sunnah yang dapat diterima
sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih maupun
hadis hasan.
 Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah.
Namun ada suatu perkecualian di mana hadis daif bisa
juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:
1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama
lain saling menguatkan,
2) ada indikasi berasal dari Nabi saw,
3) tidak bertentangan dengan al-Quran,
4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah
dinyatakan sahih,
5) kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan
tertuduh dusta dan pemalsu hadis.
 Sumbersumber pendamping ini dapat disebut sebagai
sumbersumber paratekstual atau juga sumber-sumber
instrumental. Sumber-sumber ini juga dapat diterima dan
diakui dalam praktik ketarjihan, seperti ijmak, qiyas,
maslahat mursalah, istihsan, tindakan preventif
(saddużżarī‘ah), dan uruf.
Pokok-pokok Manhaj Tarjih
Muhammadiyah
1. Di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Quran dan
as-sunnah as-Sahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar
‘illat terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash,
dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang
ta’abbudi dan memang merupakan hal yang diajarkan
dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan
perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad termasuk
qiyas sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak
ada nashnya secara langsung;
2. Dalam menentukan sesuatu keputusan dilakukan dengan
cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad
digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian
pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat
dipandang kuat;
3. Tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab tetapi
pendapat-pendapat mazhab dapat menjadi bahan
pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai
dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain
yang dipandang kuat;
4. Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan
bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar.Keputusan
diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang
paling kuat yang didapat ketika keputusan diambil.
Koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat
diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian
Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang
pernah ditetapkan;
Contoh Putusan yang dikoreksi

 Hukum Memasang gambar KH Ahmad Dahlan pada awalnya


dinyatakan haram karena dikhawatirkan menimbulkan
kultus dan syirik;
 Putusan hukum tersebut dikoreksi dengan putusan
kemudian yang menyatakan boleh memasang
photo/gambar KH Ahmad Dahlan.
5. Di dalam masalah aqiedah (tawhid) hanya dipergunakan
dalil-dalil yang mutawatir;
6. Tidak menolak ijma’ Shahabat sebagai dasar sesuatu
keputusan;
7. Terhadap dalil-dalil yang mengandung ta’arudl digunakan
cara al-jam’u wat-tawfieq da kalau tidak dapat diakukan
barudilakukan tarjih;
8. Menggunakan asas sadd adz-dzara’i untuk menghindari
terjadinya fitnah dan mafsadah;
9. Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan
dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah sepanjang sesuai
dengan kandungan syari’ah. Adapun kaidah “al-hukmu
yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal
tertentu dapat berlaku;
10. Penggunaan dalil untuk menetapkan sesuatu hukum,
dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat
tidak terpisah;
11. Dalil-dalil umum al-Quran dapat diktakhsis hadis Ahad
kecuali dalam bidang aqidah;
12. Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip
at-taysir;
13. Dalam bidang ibadah yang ketentuan-ketentuannya dari
al-Quran dan as-Sunnah, pemahamannya dapat dilakukan
dengan mnggunakan akal sepanjang diketahui latarbelakang
dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal besifat
nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal
memiliki kelenturan dalam menghadapiperubahan situasi
dan kondisi;
14. Dalam hal-hal yang termasuk al-umur ad-dunyawiyyah
pengunaan akal sangat diperlukan demi kemaslahatan
ummat;
15. Untuk memahami nash yang musytarak paham Shahabat
dapat diterima;
16. Dalam memahami nash yang erkaitan dengan aqiedah
makna zhahir didahulukan daripada takwil. Dalam hal
ini takwil Shahabat tidak harus diterima
Pendekatan dalam Ijtihad Muhammadiyah

 Ijtihad Muhammadiyah menggunakan pendekatan


bayani, burhani, dan irfani.
1. Pendekatan Bayani

(1) Ijtihad Bayani


adalah ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena
belum jelas makna lafazh yang dimaksud maupun
karena lafazh itu mengandung makna ganda
mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian
lafazh dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti
yang jumbuh (mutasyabih), ataupun adanya beberapa
dalil yang bertentangan (ta’arudh). Dalam hal yang
terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih.
Ijtihad Bayani (2)

 Secara epistemologis ijtihad Bayani adalah suatu cara


memperoleh pengetahuan dengan berpijak pada nash
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung artinya menggunakan nash atau teks suci
sebagai sumber pengetahuan yang jadi. Dengan
demikian informasi hokum yang dimunculkan nash
diambil secara apa adanya. Sedangkan secara tidak
langsung maksudnya melakukan penyimpulan hokum
dengan berpijak pada nash tersebut. Dalam ungkapan
lain porsi nash dalam ijtihad bayani sangat dominant
daripada porsi penalaran akal.
Contoh Ijtihad Bayani Langsung:
Ketentuan shalat Tarawih 11 Raa’at dengan rangkaian 4-4-
3 dan 2-2-2-2-21;

Contoh Ijtihad Bayani Tidak Langsung:


Shalat ‘ied yang bersamaan waktunya shalat Jum’at tidak
menggugurkan shalat jum’at (Hadis dijumpai dalam
ketentuan Surat yang dibaca Rasulullah pada shalat
jum’at)
Ciri-ciri lain model bayani

 Senantiasa berpijak pada dalil nash


 Memperhatikan aspek kesahihan
transmissional.
 Berpegang pada makna zahir teks
2. Ijtihad Qiyasi

adalah menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya


kepada masalah baru yang belum ada hukumnya
berdasarkan nash, karena adanya persamaan ‘illat (HPT
278)
Contoh Ijtihad Qiyasi

 2.1 Hukum syubhat untuk bunga bank pemerintah.


Muhammadiyah berpandangan bahwa banga bank yang
menyertai transaksi perbankan pemerintah tidak sama
dengan riba yang disebutkan laam al-Quran
 2.2. Masalah zakat selain sapi/ kerbau kambing dan
onta yang diqiyaskan kepada hewan tersebut dimuka.
Begitu juga kadar zakat tanaman seperti tebu, kayu,
getah, kelapa, lada, cengkeh yang diqiyaskan pada
gandum, beras, jagung dan makanan pokok lainnya
yang jika telah mencapai 5 wasaq (7,5 kuintal)
zakatnya sebesar 5 atau 10 %.
(3) Ijtihad Istishlahi

 yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukkan


nash sama sekali secara khusus, namun tidak adanya
nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam
masalah yang demikian penetapan hukum dilakukan
beradasarkan ‘illah untuk kemaslahatan.
Contoh Ijtihad Istishlahi

 3.1. bayi tabung


 3.2. aborsi untuk menjaga (potensi) kehidupan ibu
 3.3. Mengharamkan perkawinan antar agama
2. Pendekatan Burhani

 Kata Burhani berasal dari kata al-burhan yang dalm bahasa Arab
dimakna sebagai al-hujjah al-fashilah al-bayinnah. Dalam perspektif
logika al-burhan dimaknai sebagai aktifitas pikir yang menetapkan
kebenaran sesuatu melalui metode penalaran dengan mengaitkan
pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Dalam
bahasa yang sederhana burhan artinya aktifitas pikir untuk
menentukan kebenaran sesuatu.
 Pendekatan burhani dalam pengetahuan adalah pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan pengamatan indera, eksperimen dan hokum-
hukum logika. Dalam kaitannya dengan nash sebagai sumber
kebenaran pendekatan burhani merupakan perpaduan antara
kebenaran nash dengan realitas kongkrit dalam satu jalinan.
 Jika menghitung porsi akal dalam metode ijtihad burhani perannya
lebih besar daripada dalam metode bayani karena disini akal
digunakan untuk mengkorespondensi kebenaran nash.
3. Pendekatan Irfani

 Kata irfani berasal dari kata arafa –irfanan yang secara tradisional
dimaknai sebagai ma’rifah atau pengetahuan, juga dimaknai
sebagai kasyf atau pengetahuan yang diraih melalui latihan bathin.
Pengertian lebih dapat dipahami jika menyelisik kata ahlul irfan
yangsering juga disamakan dengan mutashawwifin atau para ulma
tashawwuf.
 Pendekatan irfani secara metodologis dipraktekan dengan lebih
bertumpu pada instrument pengalaman batin, zauq, qalb, wijdan,
bashirah atau intuisi. Sedangkan metodenya mempraktekkan kasyf
dan iktisyaf.
 Contoh penggunaan metode irfani dalam hokum Islam adalah
menggunakan pakaian rapih yang menutup aurat secara maksimal.
Berdasarkan hadis menutup aurat dan rukun shalat itu tidak
disebutkan akan tetapi secara irfani tidak dinyatakan benar karena
tidak memenuhi unsur kebaikan kepada Allah
PRINSIP UMUM MANHAJ TARJIH:

 Al-muraa’at (konservasi) artinya pelestarian nilai-nilai dasar yang


termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan persoalan kehidupan.
Ini dilakukan dengan upaya furifikasi atau pemurnian ajaran Islam.
Prinsip ini dipraktekkan pada bidang akidah dan ibadah;
 At-tahdits (modernisasi) artinya upaya pelaksanaan ajaran Islam
guna memenuhi tuntutan spiritual ummat sesuai dengan
perkembangan zaman dan tempat. Ini dilakukan dengan melakukan
reaktualisasi, reinterpretasi dan revitalisasi ajaran Islam;
 Al-ibtikar (kreasi), penciptaan rumusan pemikiran Islam secara
kreatif, konstruktif dalam menyauti persoalan kekinian. Ini
dilakukan dengan menerima nilai-nilai yang tidak bertentangan
dengan nilai Islam melalui seleksi yang ketat dan komprehensif.
Contoh Putusan Gunaka Manhaj
Bayani
 Hukum mengimani seseorang setelah kenabian
Nabi Muhammad saw;
 Hukum mandi shalat jum’at;
Contoh Penggunaan Manhaj ‘Irfani

 Menunaikan shalat dengan menggunakan pakaian yang


tidak sekedar memenuhi batas minimal ketentuan
menutup aurat tetapi;
 Memperlakukan orang Ahmadiyah sesuai dengan ajaran
makarimal akhlaq yang diajarkan Rasulullah saw.
PRINSIP ALIRAN TAWASSUTH DALAM
HUKUM ISLAM
 meyakini hikmatu tasyri’ yang membawa kemaslahatan;
 menggabungkan antara teks denan hikmatutasyri’ secara
terpadu;
 memandang secara seimbang antara teks dengan realitas;
 memandang secara adil antara persoalan dunia dan
akhirat;
 mempermudah manusia;
 Bersikap terbuka, dialog, toleran terhadap dunia.
LANGKAH-LAKAH ALIRAN TAWASSUTH
DALAM HUKUM ISLAM

 mencari maqashid asy-syari’at sebelum


mengeluarkan/menemukan hukum;
 memahami teks dalam bingkai konteks
peristiwanya;

Anda mungkin juga menyukai