Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu fiqh merupakan salah satu bidang ilmu yang menjadi
landasan panduan kita dalam beribadah kepada Allah swt. untuk
mengetahui bagaimana cara penetapan dan pengembalian hukum, maka ad
acara khusus yang disebut dengan metode. metode inilah yang akan
berperan dalam memahami hukum islam dari petujuk-petunjuknya itu
yakni ushul fiqh.
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak
dapat dilepas dari ketentuan hukum syariat yang tercantum di dalam
qur’an dan sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan
tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang
dikatakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’ merupakan
buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Ilmu fiqh meninjau dari segi
hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan
perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah
diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-
orang mukallaf.

Dalam pembahasan ini akan menyajikan beberapa kajian seperti


konsep ilmu fiqh, sumber hukum fiqh, ruang lingkup, obyek dan tujuan
fiqh. Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu
dikenal dan dibukukan dibanding dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu
produk telah ada maka tidak mungkin ada pabriknya. Ilmu fiqh tidak
mungkin ada jika tidak ada ilmu ushul fiqh.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah konsep ilmu fiqh?
2. Apa saja yang menjadi sumber hukum fiqh?
3. Apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup fiqh?
4. Apakah obyek kajian ilmu fiqh?
5. Apakah tujuan ilmu fiqh?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep ilmu fiqh
2. Untuk mengetahui sumber hukum fiqh
3. Untuk mengetahui ruang lingkup fiqh
4. Untuk mengetahui obyek kajian ilmu fiqh
5. Untuk mengetahui tujuan ilmu fiqh

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Fiqh dalam Islam
Kata fiqh adalah bentukan dari kata fiqhun yang secara bahasa
berarti (pemahaman yang mendalam) yang menghendaki pengerahan
potensi akal. Ilmu fiqh merupakan salah satu bidang keilmuan dalam
syariah islam yang secara khusus membahas persoalan hukum atau aturan
yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut
individu, masyarakat, maupun hubungan manusia dengan penciptanya.
Definisi fiqh secara istilah mengalami perkembangan dari masa ke
masa, sehingga tidak pernah bisa temukan satu definisi yang tunggal. Pada
setiap masa itu para ahli merumuskan pengertiannya sendiri. Sebagai
misalnya, Abu Hanifah mengemukakan bahwa fiqh adalah pengetahuan
manusia tentang hak dan kewajibannya. Dengan demikian, fiqh bisa
dikatakan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dalam berislam, yang
bisa masuk pada wilayah akidah, syariah, Ibadah dan akhlak. Pada
perkembangan selanjutnya kita jumpai definisi yang paling popular, yakni
definisi yang dikemukakan oleh Al-midi yang mengatakan bahwa fiqh
sebagai ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh
melalui dalil yang terperinci. Sekarang mari kita lihat beberapa definisi
fiqh yang dikemukakan oleh ulam ushul fiqh berikut:
1. Ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu.
Definisi ini muncul dikarenakan kajian fiqh yang dilakukan oleh
fuqaha’ menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istishab,
istislah, dan sadduz zari’ah.
2. Ilmu tentang hukum syariah yang berkaitan dengan perbuatan manusia,
baik dalam bentuk perintah (wajib), larangan (haram), pilihan (mubah),
anjuran untuk melakukan (sunnah), maupun anjuran untuk agar
menghindarinya (makruh) yang didasarkan pada sumber-sumber
syariah, bukan akal atau perasaan.
3. Ilmu tentang syariah yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah.

3
Ulama fiqh sendiri mendefinisikan fiqh sebagai sekumpulan hukum
amaliyah (yang akan dikerjakan) yang disyariatkan dalam islam.
Dalam hal ini kalangan fuqaha’ membaginya menjadi dua pengertian :
pertama, memelihara hukum furu’ (hukum keagamaan yang tidak
pokok) secara mutlak (seluruh-nya) atau sebagainya. Kedua, materi
hukum itu sendiri, baik yang bersifat qat’I maupun yang bersifat
zanni.1
B. Sumber Hukum Fiqh Islam
1. Al-Qur’an
a. Pengertian Al- Qur’an
Al – qur’an adalah sumber hukum islam yang pertama dan
utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang
perlu dikaji dengan teliti dan di kembangkan lebih lanjut. Menurut
keyakinan umat islam yang dibenarkan oleh penelitian ilmiah
terakhir (Maurice Bucaille, 1979: 185), al-qur’an adalah kitab suci
yang memuat wahyu (firman ) Allah, tuhan maha esa, asli seperti
yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad saw
sebagai rasulnya sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22
hari, mula-mula di Makkah kemudian dimadinah untuk menjadi
pedoman atau petujuk bagi umat islam dalam hidup dan
kehidupannya mencapai kesejahteraaan di dunia ini dan kebahagiaan
kelak.2
b. Isi Al- Qur’an
Menurut pendapat Syekh Muhammad Abduh isi Al-Qur’an
itu antara lain:
1) Tauhid, sebagai inti sari dari seluruh ‘aqidah (kepercayaan),
karena manusia ada yang menyembah berhala dan adapula yang
menyembah Allah.

1 Ahmad Alfan, Fikih Siswa ,( Jakarta: Direktorat pendidikan madrasah, 2014), hlm 6-7.
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, ( Jakarta: PTRAJAGRAFINDO PERSADA, 2009), hlm
78.

4
2) Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dan
menetapkannya dalam jiwa dengan arti hubungan antara
makhluk dengan khaliknya.
3) Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yang
dikehendaki, Allah yang memberi kabar gembira dengan
kebaikan pahalanya (hasil amalannya). Janji buruk terhadap
orang yang tidak berpegang dengan Al-Qur’an dan diberi
berita penakut dengan akibat-akibatnya.
4) Menjelaskan jalan kebahagiaan, dan cara-cara melaluinya.
Agar sampai kepada kesenangan dunia dan akhirat.
5) Cerita-cerita dan sejarah-sejarah. Sejarah orang yang
berpegang kepada peraturan Allah dan hukum-hukum agama
yaitu para Rasul dan orang-orang Shalih.3
2. Hadis
a. Pengertian Hadis
Al-Hadis menurut bahasa dalah khabar atau berita. Menurut
istilah, Al-Hadis adalah segala berita yang disandarkan kepada nabi
Muhammad saw, meliputi: sabda, perbuatan beliau, dan perbuatan
para sahabat yang beliau diamkan dalam arti membenarkannya
(taqrir).Hadis lazim pula disebut Sunnah, atau Sunnah Rasulullah
saw, sedangkan manurut bahasa Sunnah berarti kelakuan, perjalanan,
pekerjaan, atau cara.
Hadis Nabi saw dapat diketahui dari riwayat yang berantai,
yang dimulai dari sahabat Nabi Muhammad saw yang berlangsung
menyaksikan perbuatan Nabi saw atau mendengar sabdanya. Para
sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang
lain, baik kepada sahabat lain maupun kepada para tabi’in (generasi
setelah sahabat), dan proses itu terus berlangsung sampai kepada
para penulis Hadis, seperti Bukhari Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi,

3 Nazar bakri,, Fiqh dan Ushul Fiqh, ( Jakarta: PTRAJAGRAFINDO PERSADA, 1993), hlm 37

5
Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthi, Ibnu Hibban, dan
sebagainya.
Pada zaman Nabi saw, boleh dikatakan tidak ada sahabat
yang secara terang-terangan menulis Hadis (tidak sebagaimana
mereka menuliskan Al-Qur’an). Mereka hanya menghafalkan
lafazhnya atau maknanya dari sabda Rasulullah saw. Pasa tahun 99
H barulah Al-Hadis mulai ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Bakar
bin Hazm atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pekerjaan
mencatat Hadis terus berkembang diimbangi dengan berkembangnya
penyeleksian, baik dari materinya sendiri maupun kualitas orang-
orang yang menjadi mata rantai Hadis tersebut. Para ulama Hadis
telah bekerja keras dalam memeriksa dan menyeleksi sesuatu berita
yang dikatakan sebagai Hadis. Apakah betul-betul dari Nabi saw
atau bukan, mereka memeriksanya dengan ketat, kemudian
mengkategorinya dalam derajat, ada yang shahih (dapat
dipergunakan sebagai dalil/hujjah), ada pula yang dha’if (tidak dapat
dipergunakan sebagai dalil/hujjah).4
b. Pembagian Hadis
1) Hadis Shahih, yakni Hadis yang telah diteliti dengan cermat dan
dapat dipertanggungjawabkan kebenaran beritanya dari Nabi saw
karena pembawa beritanya (sanad) merupakan orang-orang yang
jujur, dapat diandalkan hafalannya, kaitan sanad-nya satu sama
lain saling bertemu, dan isinya tidak bertentangan dengan Al-
Qur’an.
2) Hadis Dha’if, yakni Hadis yang setelah diteliti dengan cermat
ternyata mengandung kelemahan, baik dari segi pembawaan
beritanya (sanad) yang dipandang tidak jujur, buruk hafalannya,
antara kaitan sanad-nya terputus, atau isinya bertentangan dengan
Al-Qur’an.

4 Ibid, hlm. 144

6
Hadis yang menjadi sumber hukum adalah hadis yang
shahih, sedangkan Hadis dha’if tidak dapat dijadikan sumber hukum.
Terdapat Sunnah berarti kata-kata, tindakan dan diamnya (taqrir)
Nabi dan para Imam. Jika Nabi telah menjelaskan secara lisan suatu
hukum tertentu; jika sudah jelas bagaimana Nabi melaksanakan
kewajiban agama tertentu; jika diketahui orang lain melaksanakan
kewajiban agama tertentu semasa beliau dengan suatu cara yang
memperoleh berkah dan izin beliau; artinya bahwa dengan diamnya,
sebenarnya beliau memberikan persetujuan. Ini merupaka bukti
(dalil) yang cukup bagi seorang Faqih untuk memandang tindakan
yang dipersoalkan tersebut sebagai hukum actual Islam.
3. Ijma’
a. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya kesepakatan. Adapun
menurut istilah, ijma’ berarti kebulatan pendapat para mujtahidin
pada suatu masa dalam menetapkan suatu hukum yang tidak
ditemukan dalilnya secara tegas dalam A-Qur’an atau Hadis. Sudah
merupakan sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa
ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu
diketahui kedudukan hukumnya. Apabila para
ulama mujtahidinsepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti
lahirlah ijmak/kesepakatan (konsensus) para ulama.
Meskipun ijma’ mengenai masalah-masalah yang tidak ada
dalil hukumnya secara tegas dan jelas dari Al-Qur’an dan Hadis,
namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al-Qur’an dan
Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah dasar agama. Tidak boleh ada
ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang
merupakan sumber kaidah dasar agama. Andaikata ada ijmak yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak tersebut otomatis
batal.

7
b. Pembagian Ijma’
Dilihat dari segi terjadinya. Ijma dapat terbagi kepada dua
bagian, yakni ijma sharih dan ijma sukuty:
1) Ijma sharih ialah bila semua mujtahid mengeluarkan pendapat-
pendapatnya, baik dengan perkataan maupun dengan tulisan, yang
menyatakan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan oleh
seseorang mujtahid masanya.
2) Ijma sukuty adalahdiamnya sebagian ulama mujtahid atas
pendapat mujtahid lainnya dalam menolak atau menerima
pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karena takut, segan, atau
malu.5
Ijma’berarti kesepakatan degan suara bulat dari para ulama
atas suatu persoalan tertentu. Menurut pendapat ulama Syi’ah,
Ijma’merupakan Hujjah, karena jika semua muslim memiliki kesatuan
pandangan, ini merupakan bukti bahwa pandangan tersebut telah
diterima dari Nabi.
4. Qiyas
a. Pengertian Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat.
Qiyas menurut bahasa artinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah
hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian
diberikan pula kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang
memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu
benda atau perkara yang telah tetap hukumnya. Menurut hukum
Islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum dari masalah baru
yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan
masalah lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan
pada segi alasan dari masalah baru itu.6
Pengertian Qiyas dapat dibagi dilihat dari 2 segi, yaitu:

5 Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, ( Jakarta: PT Rajagrafindo Persada 2014), hlm 82.
6 Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar maju, 2002), hlm 71.

8
1) Munurut logika, qiyas artinya mengambil suatu kesimpulan
khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2) Menurut hukum Islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum
dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya
dengan memperhatikan masalah lama yang sudah ada hukumnya
yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru
itu.
b. Rukun Qiyas
1) Asal yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat
disamakan (Musyabbah Bih)
2) Furu’, suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan
asal tadi disebut musyabbah
3) Ilat, suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan
persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua
(Furu’) kepada masalah yang pertama (Asal) karena adanya suatu
sebab yang dikrompomikan antara asal dengan furu’.
4) Hukum, yaitu ketetntuan yang ditetapkan pada Furu’ bila sudah
ada ketetapan hukumnya asal, disebut buahnya. Misalnya, tentang
haramnya khamar (arak). Khamar itu disebut asalnya. Sifatnya
memabukkan dipandang sebagai sebabnya, maka setiap minuman
lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai cabangnya,
dan dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut,
dapat dikembangkan kepada minuman atau makanan lain.
Apabila terdapat kesamaan maka dihukumi sebagauman khamar,
misalnya narkotik.
Sikap para ulama mujtahidin terhadap qiyas berbeda-beda.
Golongan Hanafiyah mementingkannya dan mendahulukannya dari
hadis ahad (tidak mansyur). Imam Ahmad bin Hanbal membatasi diri
dalam mempergunakannya, hanya dalam keadaan darurat saja, yaitu
jika tidak ada nash dalam Al-Qur’an, Hadis, Atsar, atau Fatwa-fatwa
sahabat walaupun dha’if. Adapun Imam Malik dan Imam Syafi’I

9
menempuh jalan tengah. Pandangan moderat Imam Malik tampak
karena qiyas dipergunakn selama tidak ada nash dari Al-Qur’an, Hadis,
dan Atsar sahabat yang sah. Golongan Hanafiyah lebih mengutamakan
qiyas daripada Hadis ahad, sedangkan golongan Syafi’iyah baru
menggunakan qiyas apabila tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadis.7
C. Ruang Lingkup Ilmu Fiqh
Keistimewaan fiqh islami dari pada hukum-hukum (Undang-
undang) lainnya karena ia meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu:
1. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
2. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
3. Hubungannya dengan mastarakatnya.8
Ilmu fiqh Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia
dan akhirat; dia adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat
manusia hingga hari kiamat. Isi ilmu fiqh seluruhnya terjalin dengan baik
antara akidah dengan ibadah, akhlak dan muamalah, untuk menciptakan
kesadaran hati nurani, dan rasa tanggung jawab, karena selalu merasakan
pengawasan Allah kepadanya, baik dalam keadaan terang-terangan, maupun
tersembunyi. Orang yang selalu merasakan demikian, tetap tenang hatinya,
tentram jiwanya dan merasa aman dalam hidupnya.
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan
orang-orang mukallaf yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan
seluruh daya-upayanya, dapat di bagi atas dua bagian (kelompok) yaitu:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang
meliputi: taharah, shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan
sebagainya, yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya.
2. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut dengan
“hukum muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, daya-
upaya, hukuman, pelanggaran, jaminan dan sebagainya yang

7 Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm14-15


8 Drs. H. Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh (Islam dalam Berbagai Mazhab),
( Jakarta: Radarjaya Offset, 1993), hlm 15

10
dimaksudkan untuk mengatur hubungan orang-orang mukallaf dengan
sesame mereka, baik secara pribadi, maupun jama’ah (masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam
bidang yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan
dengannya, yaitu:
1. Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak
terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
2. Hukum Perdata (Hukum sipil)
3. Hukum Jinayah (Pidana)
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan tindakan pidana
(kejahatan) dari orang mukallaf dan hukumannya.
4. Hukum Acara
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan,
pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan
untuk mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk menciptakan
keadilan diantara manusia.
5. Hukum Dusturiah (perundang-undangan)
Yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang dasar-dasar
pemerintahan (Negara) dan sistemnya.
6. Hukum Internasional
Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-negara
Islam denagn Negara-negara lain, baik dalam keadaan perang maupun
dalam keadaan damai.
7. Hukum Ekonomi dan Keuangan
Yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-sumber pemasukan
keuangan Negara dan menetapkan anggaran belanja Negara; mengatur
hak dan kewajiban setiap Negara dibidang keuangan dan mengatur
hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan orang fakir-miskin, serta
antara pemerintah denagn rakyat.

11
D. Objek Ilmu Fiqh
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’. Perbuatan
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah.
1. Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya
berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang
dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat,
puasa, haji, lain sebagainya
2. Pada bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
harta, seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan
harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan
munakahat ( pernikahan ) dan siyasah (politik islam)
3. Bagian ‘uqubah mencakup segala sesuatu segala persoalan yang
menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan,
pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-
hukuman seperti qisas (pembalasan), had, diyat (denda), dan ta’zir.9
E. Tujuan Ilmu Fiqh
Secara umum dirumuskan bahwa tujuan hukum islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan
mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Tujuan dari
fiqh adalah menerapkan hukum-hukum syari’at terhadap perbuatan dan
ucapan manusia. Karena itu, ilmu fiqh adalah tempat kembalinya seorang
hakim dalam keputusannya, tempat kembalinya seorang mufti dalam
fatwanya, dan tempat kembalinya orang mukallaf untuk dapat mengetahui
hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang
muncul dari dirinya. Dasar dan pendorong bagi umat islam untuk
mempelajari fiqh ialah:
1. Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama islam

9 Aladdin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, ( Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 7

12
2. Untuk mempelajari hukum-hukum islam yang berhubungan dengan
kehidupan manusia
3. Kaum muslimin harus bertafaqquh baik dalam bidang aqaid dan akhlak
maupun dalam bidang dan muamalat.
Fiqh dalam islam sangat penting fungsinya karena ia menuntut
manusia kepada kebaikan dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia
itu mencari atau mempelajari keutamaan fiqh, karena fiqh menunjukkan kita
kepada sunnah Rasul serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya dalam
kehidupan. Seseorang yang mengetahui dan mengamalkan fiqh akan dapat
menjaga diri dari kecemaran dan lebih takut dan disegani musuh.10

10 Op.cit, Syafi’I, hlm 55

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa Ilmu fiqh
merupakan salah satu bidang keilmuan dalam syariah islam yang secara
khusus membahas persoalan hukum atau aturan yang terkait dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik menyangkut individu, masyarakat,
maupun hubungan manusia dengan penciptanya. Sumber hukum fiqh ada 4 :
1. Al-Qur’an
2. Hadist (Sunnah)
3. Ijma
4. Qiyas.
Ruang lingkup fiqh terdapat ibadah, muamalah, Hukum Perdata
(Hukum sipil), Hukum Jinayah (Pidana), Hukum Acara, Hukum
Dusturiah (perundang-undangan),Hukum Internasional,Hukum Ekonomi
dan Keuangan.
Obyek ilmu Fiqh terdapat ibadah, muamalah, dan uqubah.
Kemudian tujuan dari ilmu fiqh adalah kebahagiaan hidup manusia di
dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang
bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak
berguna bagi hidup dan kehidupan. Tujuan dari fiqh adalah menerapkan
hukum-hukum syari’at terhadap perbuatan dan ucapan manusia.
B. Saran
Materi mengenai Studi Fiqh yang didalamnya terdapat konsep ilmu
fiqh, sumber hukum fiqh, ruanglingkup ilmu fiqh, obyek ilmu fiqh, dan
tujuan fiqh. Penulis berharap agar dapat dijadikan referensi untuk
menambah wawasan keilmuan yang lebih luas.
Cukup kiranya bahasan kami tentang materi ini, kami sadar
sepenuhnya makalah ini masih jauh dari sempurna. Mohon masukan demi

14
adanya perbaikan di tugas kami selanjutnya. Akhir kata kami sampaikan
terima kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Ahmad. 2014. Fikih Siswa. Jakarta: Direktorat pendidikan madrasah

Daud Ali, Mohammad. 2009. Hukum Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Bakri, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Koto, Alaiddin. 2014. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Djamali, Abdul. 2002. Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju

Mustofa. 2009. Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Sinar Grafika

Drs. H. Djafar, Muhammadiyah. 1993. Pengantar Ilmu Fiqh (Islam dalam Berbagai
Mazhab), Jakarta: Radarjaya Offset

16

Anda mungkin juga menyukai