Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KONSEP FIQIH

DISUSUN NOLEH
NAMA : IBNU NUR RAFI
KELAS : X MIPA 4

MAPEL : FIKIH

MADRASAH ALIYAH NEGERI


RANTAUPRAPAT
TAHUN AJARAN 221/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam mempelajari agama Islam terutama masalah ibadah ada tuntunan yang harus diketahui
yaitu fiqih ibadah. Sebelum membahas fiqih ibadah dengan lebih dalam lagi, disini penulis
akan memaparkan berbagai hal yang berkaitan dengan fiqih. Didahului dengan wawasan
tentang apa itu fiqih, sumber-sumber hukum Islam maupun ruang lingkup pembahasan fiqih.

Dari ruang lingkup fiqih yang telah dibahas nanti kami khususkan dengan
pemaparan  tentang fiqih ibadah. Sehingga dengan penjelasan bagaimana arti ibadah dalam
Islam maka nantinya akan bisa memahami dan bisa melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Juga syarat bagaimana ibadah itu bisa diterima, akan memberikan wawasan yang
berguna sehingga akan terhindar dari perbuatan yang disangka ibadah ternyata termasuk yang
tidak diterima. Yang nantinya akan menghindarkan kita dari perbuatan yang sia-sia.

Persoalan ibadah menjadi salah satu bagian atau cabang ilmu fiqih. Pengembangan suatu
ilmu memerlukan proses pengkajian yang intensif atas berbagai hal yang bersangkutan
dengan ilmu tersebut. Demikian juga dengan fiqih ibadah, tidak terlepas dari proses
pengkajian yang teratur dan sistematis. Suatu ilmu pengetahuan dapat dikatakan berguna bila
disertai dengan pengamalan ilmu tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.

Ibadah yang mengantarkan seseorang menjadi manusia terhormat disisi Allah SWT
merupakan yang dibimbing oleh pengetahuan yang memadai tentang ibadah itu sendiri dan
ada tuntunannya dari Rasulullah. Sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Muhammadiyah Tulungagung harus mampu menguasai pengetahuan yang berkenaan dengan
ibadah-ibadah pokok dan dapat mengamalkannya secara baik dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu juga dituntut mampu membimbing masyarakat muslim nantinya  agar
berpengetahuan yang memadai tentang ibadah.

B.            Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian fiqih itu?
2.        Apa saja sumber hukum Islam itu?
3.        Bagaimana ruang lingkup fiqih?
4.        Apa pengertian  fiqih ibadah itu?
5.        Bagaimana syarat diterimanya ibadah?

C.           Tujuan Masalah
1.      Mengetahui tentang pengertian fiqih.
2.      Mengetahui tentang sumber hukum Islam.
3.      Mengetahui tentang ruang lingkup fiqih.
4.      Mengetahui tentang pengertian fiqih ibadah.
5.      Mengetahui tentang syarat diterimanya ibadah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih

   Kata “fiqih”, secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat
digunakan untuk hal-hal yang  bersifat lahiriyah, maka fiqih berarti paham yang
menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah al-Tirmizi menyebutkan, “Fiqh
tentang sesuatu,”berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya. Secara definitif,
fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan
ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili”.[1]

   Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang
faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh
orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam
pengertian fiqh. Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi di atas,
yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil
didapatkan melalui penalaran atau istidlal”. Kata “furu’iyah” dalam definisi al-Amidi ini
menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh
menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
[2]

   Dengan menganalisa kedua definisi yang disebutkan di atas dapat ditemukan hakikat dari
fiqh yaitu:
a.         Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah;
b.        Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah;
c.         Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili;
d.        Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid atau faqih.

Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan, “Fiqh itu adalah dugaan kuat yang dicapai
oleh seorang  mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”.[3]

Kajian ilmu fiqh itu adalah mengetahui hukum dari setiap perbuatan mukallaf, tentang halal,
haram, wajib, mandub, makruh atau mubahnya. Beserta dalil-dalil yang menjadi dasar
ketentuan-ketentuan hukum tersebut, apakah dalilnya itu dinyatakan dalam Al-Qur’an atau
As-Sunnah.

B.            Sumber Hukum Islam


   Sumber-sumber hukum Islam secara keseluruhan ada tiga, yaitu Al-Qur’an, al-Sunnah
(Hadits) dan Ijma’ . Paparan rinci tentang norma-norma hukum dari Al-Qur’an dan al-Sunnah
untuk persoalan diluar aspek ibadah, belum menjangkau secara tegas berbagai fenomena
yang terjadi. Sehingga diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui ketentuan hukumnya
dengan merujuk Al-Qur’an dan al-Sunnah. Untuk  itu para ulama melahirkan berbagai
metodologi dan pendekatan kajian hukumnya diantaranya qiyas, istihsan, istishlahal-dzari’ah
dan ‘urf.[4]
1.             Al-Qur’an
Secara etimologis, kata AlQur’an merupakan ‘isim mashdar”dari fi’il madli “Qara’a” yang
artinya membaca, bacaan, menelaah, mempelajari, menyampaikan, mengumpulkan dsb.
Secara terminologis dari beberapa definisi para ahli  kalam dan ahli ushul fiqh maupun ahli
fiqh dapat disimpulkan pengertian Al-Qur’an sebagai kalam Allah SWT yang
bersifat qadim,  bersifat ‘azali,  penuh hikmah merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad secara mutawatir, tersusun rapi dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nas,
ditulis dalam mushaf dan dianggap ibadah bagi yang membacanya.[5]
Dari total ayat Al-Qur’an yang mencapai 6360, ayat hukum menurut versi penghitungan
Abdu al-Wahab Khallaf yang dikutip Harun Nasution, hanya mencapai 368 ayat, atau
kurang lebih 5,8% dari total keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an. Distribusi ayat-ayat
tersebut adalah sebagai berikut:[6]
a.         Aspek ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji sebanyak 140 ayat.
b.        Aspek kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, mawarits dan yang
sebagainya sebanyak 70 ayat.
c.         Aspek perekonomian yang berkaitan dengan masalah perdagangan, sewa-menyewa,
kontrak dan hutang-piutang sebanyak 70 ayat.
d.        Aspek kepidanaan yang berkaitan dengan norma-norma hukum tentang pelanggaran
kriminal sebanyak 30 ayat.
e.         Aspek qadha yang berkaitan dengan persaksian dan sumpah dalam proses pengadilan
sebanyak 13 ayat.
f.         Aspek politik dan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak warga negara
dan hubungan pemerintah dengan warganya, sebanyak 10 ayat.
g.        Hubungan sosial antara umat Islam dengan non-Islam dalam negara Islam, serta
hubungan negara Islam dengan negara non-Islam sebanyak 25 ayat.
h.        Hubungan kaya-miskin, yakni peraturan-peraturan tentang pendistribusian harta
terhadap orang-orang miskin, serta perhatian negara mengenai hal ini. Ayat-ayat yang
mengatur persoalan ini berjumlah 10 ayat.

2.             Hadits Rasul SAW (Sunnah)


Secara etimologis, Hadits mempunyai arti kabar, kejadian, sesuatu yang baru, perkataan,
hikayat dan cerita. Secara terminologis, hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat
menjadi Nabi.
Selain hadits ada ulama menggunakan Sunnah sebagai sumber Islam. Pengertian Sunnah
lebih umum daripada pengertian Hadits. Secara etimologis Sunnah berarti perjalanan hidup,
jalan/cara, tabi’at, syari’ah, yang jamaknya adalah al-sunan. Sedangkan secara terminologis,
sunnah menurut ulama Hadits yaitu setiap sesuatu yang bersumber dari Rasul SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat kemakhlukan, akhlak atau perjalanan hidupnya,
baik hal tersebut terjadi ketika beliau belum menjadi Rasul seperti bersemedi digua Hira atau
sesudah menjadi Rasul.[7]
Hadits merupakan sumber kedua bagi hukum Islam, dan hukum-hukum yang dibawa oleh
hadits ada tiga macam:
a.         Sebagai penguat hukum yang dimuat dalam Al-Qur’an.
b.        Sebagai penjelas (keterangan) terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh Al-Qur’an
dengan macam-macamnya penjelasan, seperti pembatasan arti yang umum, merincikan
persoalan-persoalan pokok dan sebagainya.
c.         Sebagai pembawa hukum baru yang tidak disinggung oleh Al-Qur’an secara tersendiri.
Ahli Ushul membagi sunnah kedalam tiga macam, yaitu:
a.         Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain. Umpamanya sahabat menyampaikan bahwa ia
mendengar Nabi bersabda,”Siapa yang tidak shalat karena tertidur atau karena ia
lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat”.
b.        Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang
dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada orang lain
dengan ucapannya. Umpamanya sahabat berkata,”Saya melihat Nabi Muhammad SAW
melakukan shalat sunat dua rakaat sesudah shalat zuhur”
c.         Sunnah taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan
dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi.
Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain
dengan ucapannya. Umpamanya sebuah kisah disampaikan oleh sahabat yang
mengetahuinya dengan ucapannya,”Saya melihat seorang sahabat memakan daging
dhab di dekat Nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu”.[8]
Dari segi banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan , hadits dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.         Hadits Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi yang
secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta sejak tingkat awal
sanad sampai akhir sanad.

b.        Hadits Masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi tidak
sebanyak orang yang meriwayatkan hadits mutawatir, kemudian menyamai tingkatan
mutawatir pada masa-masa sahabat dan pada masa-masa sesudahnya.
c.         Hadits ‘Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih
yang tidak terpenuhi syarat masyhur atau mutawatir.[9]
Langkah-langkah Rasulullah memberikan penjelasan terhadap ajaran-ajaran Al-Qur’an, baik
melalui perkataan ataupun perbuatan visual, telah memperoleh legalitas dari Al-Qur’an,
bahkan dalam hal ini Tuhan menyuruh umat manusia untuk mengikuti perintah serta anjuran-
anjurannya. Hal ini terlihat pada ayat 59 surah an-Nisaa’ yang berbunyi:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil
amri diantara kamu.Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”(Q.S.an-Nisa’/4:59) [10]

3.             Ijma’
     Kata Ijma’ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “
kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan
‘Abdul Karim Zaidan, adalah “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang
hukum syara’  pada satu masa setelah Rasulullah wafat”.[11]
     Sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah Ijma’, yaitu kesepakatan
hukum dari para mujtahid pengikut Rasulullah SAW setelah beliau wafat pada suatu waktu
tertentu. Ijma’ bisa dikatakan benar kalau semua mujtahid pada waktu itu memberikan
pendapatnya baik dengan perkataan, sikap maupun perbuatan.[12]
Menurut Wahbah al-Zuhaili, menyatakan bahwa ijma’ bisa dikatakan sah apabila memenuhi
lima rukun,yaitu:

a.         Kesepakatan itu harus diambil oleh keseluruhan ulama mujtahid. Semua mujtahid diberi
kesempatan menyampaikan pendapat, bila ada satu saja yang berbeda maka ijma’nya
tidak sah.
b.        Ijma’ harus dilakukan oleh para ulama secara berkelompok. Sehingga tidak sah kalo
hanya dilakukan oleh seorang mujtahid saja walaupun pada saat itu hanya dia
mujtahidnya.
c.         Tidak boleh terjadi ijma’ murakab yaitu perpecahan pendapat yang membentuk
kelompok kecil sehingga terdapat dua atau tiga pendapat dengan dua atau tiga
kelompok ulama.
d.        Semua pendapat ulama harus jelas baik dengan perkataan dan perbuatan, bila ada yang
tidak jelas secara ideal ijma’ tidak sah.
e.         Para ulama harus dapat menghasilkan keputusan hukum pada saat mereka melakukan
pembahasan.[13]
Eksistensi ijma’ sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah, mempunyai
dasar yang kuat diantaranya dalam Surah an-Nisa’ ayat 115 yang berbunyi:
Artinya”.Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan
jahannam itu seuruk-buruk tempat kembali”.(Q.S.An-Nisa’:115)[14]
Selain ayat tersebut diatas ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang
artinya:”Dari Anas bin Malik ra, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda, umatku tidak
akan melakukan kesepakatan untuk sesuatu yang sesat”.(H.R.Ibnu Majah). Al-Ghazali
berpendapat bahwa alasan ini lebih kuat, karena secara eksplisit menyatakan tentang ijma’
beserta tingkat kebenarannya. Menurutnya, kalau para ulama telah menetapkan suatu
keputusan hukum secara kolektif, niscaya keputusannya itu benar dan terpelihara dari
kesalahan.[15]

C.           Ruang Lingkup Fiqih


Ruang lingkup pembahasan fiqih sangat luas sekali, ia mencakup pembahasan tentang
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan diri pribadinya atau manusia
dengan masyarakat sekitar.Ilmu fiqih mencakup pembahasan tentang kehidupan dunia hingga
akhirat, urusan agama ataupun negara serta sebagai peta kehidupan manusia di dunia dan di
akhirat.
Untuk tujuan tersebut, hukum-hukum fiqih sangat terkait dengan segala aktifitas yang
dilakukan oleh seorang mukallaf, baik berupa ucapan, tindakan, akad, atau transaksi lainnya.
Secara garis besar dapat dikategorikan menjadi:
§   Hukum Ibadah (fiqh ibadah) yang meliputi: tata cara bersuci, shalat, puasa, haji, zakat
nadzar, sumpah dan aktifitas sejenis terkait dengan hubungan seorang hamba dengan
Tuhannya.
§   Hukum Muamalah (fiqih muamalah) yang meliputi tata cara melakukan akad, transaksi,
hukum pidana atau perdata dan lainnya yang terkait dengan hubungan antar manusia atau
dengan masyarakat luas.

D.           Pengertian Fiqih Ibadah


Secara etimologi ibadah berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri dan hina. Secara umum
ibadah itu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam
rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahalanya.[16]
Fiqih ibadah sebagaimana dikemukakan Mushthafa Zarqa adalah mengetahui ketentuan-
ketentuan hukum yang berkaitan dengan penghambaan seorang mukallaf kepada Allah
sebagai Tuhannya, sebagai hasil penelaahan yang mendalam terhadap dalil-dalil tafsil yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Maksud dari penghambaan adalah rangkaian
peribadatan yang harus dilakukan setiap mukallaf dan dijalankan semata-mata untuk
mengabdi kepada Allah serta taat terhadap segala perintahNya.
   Fiqih ibadah menurut Yusuf Musa mencakup lima peribadatan yaitu shalat, zakat, puasa,
ibadah haji dan jihad. Wahbah sependapat dengan Yusuf Musa namun tidak memasukkan
jihad dalam ibadah mahdhah namun memasukkan nazar serta kafarah sumpah. Dengan
adanya perkembangan zaman ruang lingkup fiqh ibadah yang dikemukakan Wahbah
cenderung lebih diterima.
   Ibadah shalat, puasa dan haji mempunyai karakteristik yang sama, rasional atau tidak
rangkaian peribadatannya tidak dapat diubah dan akan terus begitu sampai umat Nabi
Muhammad ini berakhir. Sedangkan kafarah, sumpah dan nadzar, implementasinya lebih
berkaitan dengan dimensi kehidupan sosiologis, tapi terlaksana atau tidaknya amat
dipengaruhi oleh tingkat kesadaran teologis dari orang-orang mukallaf yang terkena
kewajiban tersebut.
   Ketaatan terhadap ketentuan hukum tidak boleh ditendensikan pada kepentingan kehidupan
dunia. Allah sebagai syari’ menetapkan ketentuan syari’ah bukan sebagai perangkat
kehidupan yang mengatur hubungan perekonomian anggota masyarakat dengan prinsip saling
menguntungkan. Namun semata sebagai sarana untuk mewujudkan ketaatan mereka sebagai
makhluk terhadap Allah sebagai khaliqnya.[17]

E.            Syarat diterimanya Ibadah


   Syarat-syarat diterimanya ibadah ada dua yaitu ikhlas dan sesuai dengan petunjuk
Rasulullah SAW. Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala dalam Q.S
Al-Kahfi ayat 110:
 

Artinya: “Katakanlah:”Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku:”Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya”.(QS, Al-Kahfi:110)[18]

Ø   Ikhlas, yaitu mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah Ta’ala saja bukan
kepada yang lain. Orang yang ikhlas tidak pernah suka dipuji oleh manusia dan tidak akan
pernah berharap apa yang ada ditangan manusia. Amalan yang tidak ikhlas tidak akan
diterima oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah dalam surat Bayyinah ayat 5:
Artinya:”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta’atan pada-Nya dalam (menjalankan)agama dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”[19]

Nabi Muhammad SAW bersabda  diriwayatkan oleh Muslim yang artinya: “Allah Tabaraka
wa Ta’ala berfirman: “Aku Maha tidak butuh kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu
amalan yang dia menyekutukan-Ku didalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama
apa yang diasekutukan”.(HR.Muslim).

Ø   Mutaba’ah, yaitu amalan ibadah tersebut hendaklah sesuai dengan apa yang diajarkan
Rasulullah SAW. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam Riwayat Muslim yang
artinya:”Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita
maka amalan itutertolak”.(HR.Muslim)

Siapa yang beribadah menyelisihi petunjuk Rasulullah SAW, maka ibadahnya akan
melenceng dari kebenaran, seperti pendapat Ibnu Taimiyyah: Barangsiapa yang menjauhi
dalil maka ia telah sesat jalan, dan tidak ada dalil kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW (dalam kitab Miftah Dar As Sa’adah).[20]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1.             Pengertian fiqih adalah mengetahui sesuatu dan memahami dengan baik mengenai
hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
2.             Sumber hukum Islam ada tiga yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah (Hadits) dan Ijma’ .
3.             Ruang lingkup fiqih terbagi dalam dua kategori yaitu:
v   Fiqih ibadah, yang berkaitan dengan aktifitas hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.
v   Fiqih muamalah, yang berkaitan dengan aktifitas hubungan antar manusia atau masyarakat
luas.
4.             Pengertian fiqih ibadah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan
dengan penghambaan seorang mukallaf kepada Allah sebagai Tuhannya, sebagai hasil
penelaahan yang mendalam terhadap dalil-dalil tafsir yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah.
5.             Syarat diterimanya ibadah ada dua,yaitu:
v   Ikhlas : Mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah SWT saja bukan yang lain.
v   Mutaba’ah : Amalan ibadah yang dilakukan harus sesuai dengan yang diajarkan dan
dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW.
14
 
DAFTAR PUSTAKA

Djuwaini Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Departemen Agama RI. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT.Tanjung Mas Inti
Semarang.
Effendi Satria. 2009. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Mardani. 2010. Hukum Islam.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010
Rosyada Dede.1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Ritonga Rahman, Zainuddin. 1997. Fiqih Ibadah.  Jakarta: Gaya Media Pratama.
Dakwah Sunnah. 2012. Syarat diterimanya
Ibadah dalam http//www.dakwahsunnah.com/artikel/aqidah/55-syarat diterimanya
amal ibadah diunggah 16 Februari 2012. 

Anda mungkin juga menyukai