Dosen Pengampu:
Oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas ridho-Nya kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Adapun judul makalah “FIQIH DALAM STUDI ISLAM’’
Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Makalah ini di buat bukan hanya untuk menyelesaikan dan melengkapi tugas mata kuliah tapi
juga diharapkan dapat memberi wawasan yang lebih luas guna meningkatkan pengetahuan yang
mendalam bagi para mahasiswa dalam bidang pendidikan agama islam dan dapat mengetahui hal-hal
apa saja yang ada dalam pendidikan agama islam.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-
ritual. Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang
mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan
peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari- hari. Apalagi di zaman
modern sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih
dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk
menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.
Adapun juga sumber hukum, yakni al–Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas atau analogi
al–Qur’an dan hadits yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil. Orisinilitas dan
otensitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab karena al–Qur’an dan
hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk – petunjuk adanya hukum. Menyikapi hal
ini, kita sebagai orang muslim tahu benar tentang ajaran Islam, apalagi dalam bidang ilmu
fiqih yang ada sangkut pautnya dengan sumber hukum.
Tujuan pembelajaran fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar dapat
mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh,
baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam
dengan benar.
Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti tentang ilmu yang jelas
pembelajaran yang bersifat amaliah, harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar fiqih
untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan, bila berisi
larangan, harus dapat ditinggalkan atau dijauhi. Pembelajaran fiqih harus dimulai dari masa
kanak-kanak yang berada disekolah dasar. Keberhasilan fiqih dapat di lihat dalam kehidupan
sehari-hari baik di dalam rumah maupun diluar rumah.
Ruang lingkup pembelajaran fikih di Madrasah Tsanawiyah meliputi ketentuan
pengaturan hukum Islam dalam menjaga keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara
hubungan manusia dengan sesama. Beberapa Aspek yang terdapat dalam ruang lingkup
pembelajaran Fikih adalah:
1. Aspek fikih dalam keadaan ibadah meliputi: ketentuan dan tatacara thaharah,
salat fardu, salat sunnah, dan salat dalam keadaan darurat, sujud, azan dan
iqomah, berzikir, dan berdo’a setelah salat, puasa, haji dan umroh, kurban,
akikah, makanan, perawatan jenazah dan ziarah kubur.
2. Aspek fikih mu’amalah meliputi: ketentuan dan hukum jual- beli, qiraad, riba,
pinjam- meminjam, hutang- piutang, gadai, dan borg serta upah.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; 1. Ta’at ) )الطاعة2. Tunduk
) )الخضوع3. Hina ( (الذلdan ( )التنسكpengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk
ketaatan, ketundukan, dan pengabdian kepada Allah
التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan
ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Ibadah
dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah
Nadzar dan Kifarat.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya
itu ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah.
Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-
Sunnah Al-Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-
Maqbulah dibagi menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis
berikut;
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan
tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah Nabi.
1. dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 2. segala puji[2]
bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. yang menguasai
di hari Pembalasan. 5. hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan.
2. Ikhlas (Al-Bayinah/98:5)
الزكَاة َ َوذَلِكَ ِدينُ ا ْلقَيِ َم ِة َّ ِصينَ لَهُ ال ِدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال
َّ صالة َ َويُؤْ تُوا َ َّ َو َما أُم ُِروا إِال ِليَ ْعبُدُوا
ِ َّللا ُم ْخل
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas)
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
3. Tidak menggunakan perantara (washilah) (Al-Baqarah/2: 186)
َان فَ ْليَ ْست َِجيبُوا لِي َو ْليُؤْ ِمنُوا بِي لَعَلَّ ُه ْم يَ ْرشُدُون َ ََّاع إِذَا د ُ َ سأَلَكَ ِعبَادِي
َ َوإِذَا
ِ ع ِ عنِي فَإِنِي قَ ِريبٌ أ ِجيبُ دَع َْوة َ الد
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya
aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
4. Dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah
5. Seimbang antara dunia akherat (Al-Qashash/28:77)
َ َّ ض ِإ َّن
َُّّللا ال يُحِ ب ِ األر َ ََّللاُ ِإلَيْكَ َوال تَب ِْغ ا ْلف
ْ سادَ فِي َ َصيبَكَ ِمنَ الدُّ ْنيَا َوأ َ ْحس ِْن َك َما أ َ ْح
َّ َسن َ َّار اآلخِ َرة َ َوال ت َ ْن
ِ سن َّ ََوا ْبت َِغ فِي َما آتَاك
َ َّللاُ الد
َا ْل ُم ْف ِسدِين
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
6. Tidak berlebih-lebihan (Al-A’raf/7:31)
َيَا بَنِي آدَ َم ُخذُوا ِزينَتَكُ ْم ِع ْندَ كُ ِل َمس ِْج ٍد َوكُلُوا َوا ْش َربُوا َوال تُس ِْرفُوا إِنَّهُ ال يُحِ بُّ ا ْل ُمس ِْرفِين
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.
7. Mudah (bukan meremehkan) dan Meringankan Bukan Mempersulit
(Al-Baqarah/2:286)
Studi fikih umumnya dibagi menjadi uṣūl al-fiqh (metode interpretasi dan analisis
sumber hukum fikih); serta furūʿ al-fiqh (cabang-cabang fikih dengan landasan tersebut). Furūʿ
al-fiqh adalah buah dari uṣūl al-fiqh. Hukm (bentuk jamaknya aḥkām) adalah keputusan yang
dibuat untuk kasus tertentu.Sebagian ahli fikih membagi 4 pembahasan utama, yakni; rubu'
ibadat, rubu' mu'amalat, ru'bu munakahat, dan ru'bu jinayat. Namun, sebagian ahli fikih lainnya
membagi pembahasan fikih pada dua aspek saja, yaitu ru'bu ibadat dan ru'bu mu'amalat..
Fiqih secara bahasa artinya pemahaman yang benar tentang apa yang
diharapkan Hadis berikut menggunakan kata fikih sesuai makna bahasanya.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia terhadap agama. Aku
hanyalah yang membagi-bagikan sedang Allah yang memberi. Dan senantiasa umat ini akan
tegak di atas perintah Allah, mereka tidak akan celaka karena adanya orang-orang yang
menyelisihi mereka hingga datang keputusan Allah.”Fiqh adalah mashdar dari bab ُ ف ِقهَ يفقَهfaqiha
- yafqahu, yang berarti "paham". َ فقُهfaquha (dengan qaf berharakat dhammah) artinya fiqh
menjadi sifat alaminya. َ فقَهfaqaha (dengan fathah) artinya lebih dulu paham dari yang lain
Secara istilah, fikih artinya “ معرفة باألحكام الشرعية العملية بأدلتها التفصيليةpengetahuan tentang
hukum-hukum syariat praktis berdasarkan sebuah dalil-dalil secara rincinya.” Yang
dimaksud “ معرفةpengetahuan” mencakup ilmu pasti dan dugaan. Hukum-hukum syariat ada
yang diketahui secara pasti dari dalil yang meyakinkan dan ada yang diketahui secara dugaan.
Masalah-masalah ijtihad yang menjadi bahan perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah
masalah dugaan karena jika diketahui secara yakin, maka pasti tidak ada perbedaan pendapat.
Yang dimaksud “ األحكام الشرعيةhukum-hukum syariat” adalah seperti wajib dan haram.
Fikih tidak membahas hukum-hukum logika, seperti "semua itu lebih besar dari sebagian,"
maupun hukum-hukum alam, seperti turunnya embun di akhir malam yang cerah musim panas.
Yang dimaksud dengan (“ العمليةhukum) praktis,” fikih tidak membahas permasalahan
keyakinan. Ajaran tentang keyakinan dibahas dalam ilmu aqidah. Para ulama menyebutnya الفقه
األكبرal-fiqh al-akbar “Fikih agung.” Oleh karena itu, hadis Nabi “Barangsiapa yang Allah
kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia terhadap agama” mencakup ilmu fikih dan
ilmu aqidah.
Yang dimaksud dengan “ بأدلتها التفصيليةberdasarkan dalil-dalil rincinya” adalah dalil yang
langsung berhubungan dengan suatu praktek. Misal, dalil firman Allah, َّ إِذَا قُ ْمت ُ ْم إِلَى ال
ِصالة
-Al Qur'an[
“... apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah ...” فَا ْغ ِسلُ ْوا
Ma’idah:6]
berhubungan dengan disyaratkannya wudu sebelum mendirikan salat. Dengan begitu,
dalil yang dibawakan langsung berhubungan dengan masalah praktek tertentu. Berbeda dengan,
misal, dalil dari hadis: “ من عمل عمال ليس عليه أمرنا فهو ردBarangsiapa mengamalkan suatu perkara
yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak,” ini tidak termasuk fikih karena berhubungan
dengan masalah umum yang menjadi satu di antara kaidah-kaidah fikih.
Pembentukan fikih pada masa Nabi Muhammad saw. menekankan pada tiga aspek utama
yang terkait dengan tugas kenabian beliau. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Memperbaiki kepercayaan dan agama masyarakat di zaman jahiliyah. Dalam
misi ini, Nabi Muhammad saw. kemudian memperkenalkan Islam sebagai agama
pembaharu, dan memperbaiki sistem dengan menghidupkan tauhid.
2. Memperbaiki akhlak masyarakat jahiliyah. Sebelum kedatangan Nabi
Muhammad saw., masyarakat Arab jahiliyah memiliki akhlak yang buruk,
sehingga tugas Nabi Muhammad saw. adalah untuk memperbaiki akhlak dan
moral masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Islam.
3. Menetapkan aturan-aturan hidup sesuai dengan nilai dan prinsip Islam. Sebelum
kedatangan Nabi Muhammad saw., masyarakat Arab jahiliyah penuh
ketidakadilan dan kemerosotan, maka tugas inilah yang kemudian membuat Nabi
Muhammad saw. merumuskan hukum-hukum di masyarakat demi terciptanya
masyarakat madani. Di sini pula Nabi Muhammad saw. mulai menegakkan dan
membina fikih Islami.
Pada masa ini, Nabi Muhammad saw. menerapkan dan mengembangkan fikih Islam
secara perlahan-lahan kepada masyarakat Arab. Beliau menerapkan fikih berdasarkan kejadian-
kejadian atau perkara-perkara dengan memperhitungkan sebab dan akibatnya. Saat itu apabila
masyarakat sedang menghadapi suatu perkara yang tidak ditemukan jalan keluarnya, maka
mereka bertanya kepada Nabi Muhammad saw.. Kemudian Nabi Muhammad saw. memberikan
solusinya berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, pemegang otoritas fikih adalah para sahabat,
yakni Khulafaur Rashidin. Para sahabat berpegang teguh pada dua sumber utama, yakni Ajâtul
Ahkâm yang bersumber dari Al-Qur'an dan Ahâdietsul Ahkâm yang berasal dari Hadis.
Pada masa itu para sahabat mengumpulkan hadis-hadis Nabi Muhammad di berbagai
pelosok negeri dari para perawi. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hadis-hadis yang shohih.
Para sahabat juga sangat berhati-hati dalam mengumpulkan hadis-hadis agar tidak ditemukan
para pemalsu hadis. Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab bahkan benar-benar
menyaring para perawi hadis, caranya adalah para perawi yang akan menyampaikan hadis harus
bisa menghadirkan sedikitnya dua orang saksi yang dapat membenarkan riwayatnya. Jika para
saksi membenarkan riwayat hadis dari perawi, maka riwayat perawi tersebut diterima. Namun,
jika pewari tidak mampu menghadirkan saksi, maka riwayatnya ditolak.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang
terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih
berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang
jelas, maka hadis menjadi sumber kedua. Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga
di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita
memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar
abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu
dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang
menghasilkan ijtihad ini sering kali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di
wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-Sunnah Al-
Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-Maqbulah dibagi
menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis berikut;
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan
tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah Nabi.
Adapun prinsip melaksanakan Ibadah sebagai berikut:
1. Niat lillahi ta’ala (Al-Fatihah/1:5)
1. dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 2. segala puji[2]
bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. yang menguasai
di hari Pembalasan. 5. hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan.
2. Ikhlas (Al-Bayinah/98:5)
الزكَاة َ َوذَلِكَ ِدينُ ا ْلقَ ِي َم ِة َّ ِصينَ لَهُ ال ِدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال
َّ صالة َ َويُؤْ تُوا َ َّ َو َما أُم ُِروا ِإال ِل َي ْعبُدُوا
ِ َّللا ُم ْخل
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (ikhlas)
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
3. Tidak menggunakan perantara (washilah) (Al-Baqarah/2: 186)
َان فَ ْل َي ْست َِجيبُوا لِي َو ْليُؤْ مِ نُوا ِبي لَ َعلَّ ُه ْم َي ْرشُدُون َ ََّاع ِإذَا د ُ َ سأَلَكَ ِع َبادِي
َ َو ِإذَا
ِ ع ِ عنِي فَإِنِي قَ ِريبٌ أ ِجيبُ دَع َْوة َ الد
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya
aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
5. Seimbang antara dunia akherat (Al-Qashash/28:77)
َ َّ ض ِإ َّن
َُّّللا ال يُحِ ب ِ األر َ ََّللاُ ِإلَيْكَ َوال تَب ِْغ ا ْلف
ْ سادَ فِي َ َصيبَكَ ِمنَ الدُّ ْنيَا َوأ َ ْحس ِْن َك َما أ َ ْح
َّ َسن َ َّار اآلخِ َرة َ َوال ت َ ْن
ِ سن َّ ََوا ْبت َِغ فِي َما آتَاك
َ َّللاُ الد
َا ْل ُم ْف ِسدِين
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.
B. MENGETAHUI SELAYANG PANDANG TOKOH-TOKOH ILMU FIQIH
Ilmu fiqih menjadi satu lingkup studi Islam yang menarik ilmuwan atau
cendekiawan Timur dan Barat. Tulisan ini bermaksud memperkenalkan ilmu tersebut
dari sisi sejarah, tokoh dan mazhabnya. Dari penelusuran terhadap pustaka yang ada,
sejarah ilmu fikih membentang dari periode rasul, sahabat, tadwin, dan taqlid. Periode
Rasul bisa dibagi kepada periode Makkah dan Madinah. Periode sahabat adalah periode
lengkapnya sumber hukum dengan keberadaan ijma’ dan qiyas. Periode tadwin, ilmu
fiqih dikumpulkan dan disistematisasi hingga dihafal. Periode taqlid menjadi periode
akhir perkembangan ilmu fikih.
Satu di antara ragam kajian yang menjadi lingkup studi Islam, baik di Timur
maupun Barat adalah ilmu fikih atau hukum Islam. Arif menuturkan bahwa perbedaan
mendasar yang dilakukan masyarakat dari dua wilayah tersebut adalah pendekatan yang
digunakan. Jika di Timur, dilakukan pendekatan dengan menguasai substansi materi dan
penguasaan atas khazanah keislaman klasik, maka di Barat, kajiannya diorientasikan
terhadap realitas atau fenomena sosial Islam sehingga ranah diskusi atasnya berada pada
kawasan yang menyejarah, meruang dan mewaktu.
Periode Rasul
Periode Mekkah
Periode Madinah
Periode Sahabat
Periode kedua ini berkembang pada masa wafatya Nabi Muhammad SAW.
dan berakhir sejak Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai kholifah pada tahun 41
H. Pada periode ini hidup sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera
Dakwah Islam.13 Pada masa ini, Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya
masalah yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul. Oleh karena
itu, tidak mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang hukum ditandai
dengan penafsiran pada sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak ada
nashnya, di samping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu perpecahan
masyarakat islam yang bertentangan sacara tajam. Diperiode sahabat ini, kaum muslimin
telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa al-Qur’an dan hadis rasul.
Kemudian dengan ijma’ dan qiyās, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturan
peraturan berbagai daerah yang bernaungan di bawah Islam. Dapat ditegaskan bahwa
zaman khulafa’ al-Rasyidin, dalil-dalil tasyri’ Islam telah lengkap. Sahabat-sahabat besar
dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari al-Qur’an maupun hadist,
kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash selain itu
para sahabat memberi fatwa- fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian
yang tidak ada nash yang jelas mengenai masalah itu, yang kemudian menjadi dasar
ijtihad.
Periode Tadwin
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (80 H-150 H) Nama lengkapnya adalah
an-Nu’man bin Tsabit bin Zutha bin Mahmuli Taymillah bin Tsa’labah. Hidup di
Baghdad pada masa kekhalifahan Abdullah bin Marwan dan meninggal pada
masa khalifah Abu Ja’far al-Mansur pada tahun 105 H, 19 ia dikenal sebagai
ulama ahl ra’yi. Meskipun beliau pernah bermukim di Mekkah dan mempelajari
hadis-hadis Nabi, serta ilmu-ilmu lain dari para tokoh yang beliau jumpai, akan
tetapi pengalaman yang beliau peroleh digunakan untuk memperkaya koleksi
hadis-hadisnya sehingga metodologi kajian fiqihnya mencerminkan aliran Ahli
Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam Hammad, dengan al-Qur’an dan
hadis/sunnah sebagai sumber pertama dan kedua. Apabila beliau tidak
menemukan ketentuan yang tegas tentang hukum persoalan yang dikajinya dalam
al-Qur’an dan hadis/sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan sahabat
baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakan secara
eksplisit tentang persoalan-persoalan tersebut, maka beliau mengkajinya melalui
qiyas dan istihsan, atau melihat tradisitradisi yang berkembang dalam masyarakat
yang dipegang oleh mereka.
2. Imam Malik bin Anas (93 H-179 H) Nama lengkapnya Imam Malik adalah Abu
Abdillah Malik bin Anas As Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin
Harits. Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah
Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayah. Dikenal sebagai ahl Hadis, karena
lingkungannya yang sangat mendukung untuk itu – kota Madinah, juga tetap
terpengaruh dengan penggunaan rasio dalam berijthad. Hal ini dibuktkan dengan
penggunaan ‘amal ahli Madinah (praktek masyarakat Madinah), fatwa sahabat,
Qiyas, al-maslahah mursalah, Syad al-Zariah, al-‘Urf (adat istadat) dalam
pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga sepert mazhab lain menjadikan
al-Qur’an dan hadis/sunnah sebagai sumber utama dalam hukum Islam.
3. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin al-Saib bin Abdu-Yazid bin
Hasim. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli dari keturunan Quraiys dan
berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdu Al-Manaf dengan sumber ijtihad
al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, Perkataan Sahabat, Qiyas, Istishab. Imam
Muhammad bin Idris al-Syafi’i dikenal dengan qoul qodim dan qoul jadid yang
seolah membuktikan bahwa suatu pemikiran tidak akan lahir dari ruang hampa. Ia
akan muncul sebagai refleksi dari seting sosial yang melingkupinya. Sedemikian
besar pengaruh kondisi sosial terhadap pemikiran, sehingga wajar jika dikatakan
bahwa pendapat atau pemikiran seseorang merupakan buah dari zamannya. Dalam
sejarah Imam Syafi’i menyerap pelbagai karakteristik (aliran) fiqih yang berbeda-
beda dari berbagai kawasan, Mekkah, Yaman, Irak dan Mesir. Penyerapan
tersebut pada akhirnya memengaruhi alur pemikiran dan penerapan produk hukum
yang dihasilkannya.
4. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (164 H-241 H) Nama lengkapnya
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al Syaibaniy
al-Bagdady. Sosoknya dalam sejarah perkembangan fiqih Islam menempati
tempat tersendiri dikarenakan penempatan posisinya dalam pembidangan ilmu;
Apakah dia muhaddis saja, atau juga seorang faqih.
Fiqih sebagai pendekatan berusaha menjadi sebuah ilmu yang berfungsi sebagai pisau
analisis terhadap obyek yang ingin di dekati atau di bedah. Islam sebagai agama universal
menjadi obyek penelitian yang tidak hanya di dekati dengan ilmu Tunggal
Pendekatan Fiqih sangat urgen dalam melakukan pendekatan dalam studi Islam, karena
Fiqih bersentuhan langsung dengan hukum-hukum keseharian seorang Muslim. Dalam tataran
realita, Hukum Islam atau Fiqih sering terjadi perdebatan dan perbedaan, terjadinya perbedaan
dan perdebatan tersebut menjadi sesuatu yang wajar karena Fiqih adalah hasil ijtihad para
Fuqaha. Pendekatan Fiqih dapat dibagi menjadi dua hal:
1. Pendekatan Fiqih Secara Etimologi
Pendekatan Fiqih berasal dari dua suku kata, Pendekatan dan Fiqih, kedua kata tersebut
tentu memiliki pengertian berbeda.Pendekatan berasal dari kata dasar “Dekat”, yang
berarti tidak jauh.
Pendekatan berasal dari kata dasar “Dekat”, yang berarti tidak jauh, Kemudian diberi
imbuhan pe- di awal dan akhiran-an yang dapat diartikan cara atau aktivitas untuk
mendapatkan sesuatu. Pendekatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
proses, cara, perbuatan mendekati (hendak berdamai, bersahabat) atau usaha dalam rangka
aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode
untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian, racangan. Adapun pengertian fiqh
secara etimologi adalah sebagai berikut:
1. Fiqh dalam bahasa arab علم و فهمyang artinya pengetahuan dan pemahaman.
2. Menurut Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor dalam kamus Al-Bishri, fiqh dalam bahasa
arab juga berarti علم و فهمyang artinya pengetahuan dan pemahaman.
3. Pengertian fiqh dalam Kamus Ilmiah Populer Lengkap diartikan sebagai hukum ilmu
hukum Islam.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan fiqh
secara etimologi adalah cara atau aktivitas untuk mendekati Islam melalui ilmu hukum
islam.
KESIMPULAN
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah, logis dan
memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan
gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-
ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang
mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sehingga memudahkan
peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman
modern sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian
fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam
untuk menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.
Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm,
artinya pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.Secara istilah fiqih
adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan
perbuatan- perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban.
Pendekatan Fiqih sangat urgen dalam melakukan pendekatan dalam studi Islam,
karena Fiqih bersentuhan langsung dengan hukum-hukum keseharian seorang Muslim. Dalam
tataran realita, Hukum Islam atau Fiqih sering terjadi perdebatan dan perbedaan, terjadinya
perbedaan dan perdebatan tersebut menjadi sesuatu yang wajar karena Fiqih adalah hasil ijtihad
para Fuqaha.
DAFTAR PUSTAKA
Al-'Utsaimin, Muhammad Shalih (1434 H). Syarḥ al-Uṣūl min ‘Ilm al-Uṣūl (dalam
bahasa Arab). Riyadh: Dar Ibnul Jauzi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-
04-11. Diakses tanggal 2020-12-13.
Abdurrahman Kasdi, Metode Ijtihad dan Karakteristik Fiqh Abu Hanifah, dalam
Yudisia, Vol. 5, No. 2, Desember 2014
Ahmad Asy-Syurbasyi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, (Jakarta:
PenerbitAmzah, 2001)
Batubara, Cuzaimah, et al. Handbook Metodologi Studi Islam. Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018
Djazuli, A. 2005.
Ilmu Fiqih: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam.
Jakarta:Kencana
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGafindo Persada, 2011.
Rahman, Zaini. 2016.Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
http://tafaqquh.com/ushul-fiqh/perbedaan-fiqih-ushul-fiqih-dan-qowaid-fiqhiyyah/
diakses pada Senin, 26Maret 2018 pukul. 11.50 WIB
Suprayogo , Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. II.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT
Pustaka RizkiPutra,1999)