PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad bin Abdullah SAW melalui Rasul Allah Jibril AS yang pada
susunannya diawali dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas,
Alquran yang diturunkan di muka bumi memiliki makna, fungsi dan tempat yang
mulia dalam kehidupan manusia. Alquran ditulis dalam dialek Arab dan mukjizat
mengatur kehidupan, sebagai pedoman bagi manusia untuk hidup di dunia, dan
sebagai sarana bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang akan
yang terjadi saat itu. Terkadang ada juga diturunkan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang ditujukan oleh umat saat itu kepada rasul. Dua hal ini yang kelak
sering kita dengar disebut “asbab al-nuzul”, sebab diturunkannya Alquran. Selain
itu, sangat sedikit ayat-ayat ahkam yang diturunkan secara langsung tanpa ada
kausalitas apa-apa. Hampir tidak ada mufassir yang menyebutkan hukum tanpa
diiringi dengan penyebutan kejadian yang menjadi sebab hukum itu diturunkan.1
1
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, (Semarang: Al-
Haramain, tt), h. 13.
Secara garis besar ayat-ayat yang berisikan hukum di dalam Alquran
dikategorikan kepada tiga. Pertama, ayat-ayat yang berisi tentang aqidah dan
keyakinan. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti, yakni
dalam hal perbuatan, perkataan, maupun penggunaan harta benda. Hal inilah yang
menjadi objek kajian penting dalam fiqh dan ushul fiqh sebgai landasan bagi
terciptanya fiqh.2
dalamnya membuka peluang interprestasi yang berbeda. Oleh sebab itu timbul
hanya buku yang merupakan satu volume bab. Diperlukan ketelitian untuk
ditulisnya.
prosudur cara penggalian hukum dari nash. Untuk kepentingan itu, ilmu Ushul al
bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci,
metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui
maksud dan tujuan nash Alquran dan hadis baik dari sudut teks maupun dari
2
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, edisi 1, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), h. 62.
aspek makna.
pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna dari lafal
dipahami dari lafal nash, apakah berdasarkan ibarat nash atau isyarat nash, dan
sebagainya.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa tidak ada satupun mujtahid yang
berijtihad tanpa dasar pada lafaz, namun mereka menggunakan nash sampai di
mana pendekatan ijtihadnya pada lafal tersebut. Persoalan apapun yang muncul
dalam kehidupan manusia, tidak diberi nilai syariat tanpa mengaitkan dengan
lafaz, minimal dikaitkan dengan arti majazi dan arti subtansi dari lafal itu,
Memahami dalalah lafaz nash adalah suatu hal yang sangat krusial ketika
waktu melakukan istinbath hukum, karena tanpa tahu dalalah lafal nash, siapapun
yang sangat majemuk melalui cara dalalah tadi. Dalalah nash tadi tidak terbatas
3
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Ujung pandang: Yayasan Ahkam), h. 204.
dalam makna yang dipahami menurut ibaratnya dan huruf-hurufnya. Akan tetapi,
terkadang juga dia menerangkan aneka macam makna yang dipahami menurut
isyaratnya.
sebenarnya dari semua ayat yang ada di dalam Alquran tersebut tidak semuanya
memberikan arti dan pemahaman yang jelas. Jika kita mau telusuri, ternyata
banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam
mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Jika meneliti ayat-ayat
langsung dan jelas, juga ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut,
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Alquran hanya
mampu menjadi sarana penambah ilmu dalam mengetahui makna secara tersirat
ideologi.4
Hadis, masih menaruh peluang pemaknaan atau penafsiran yang tidak sama.
perintah atau larangan pada sebuah nash perlu untuk menelaah mengenai al-
dalalah.
االرش اد,5 dalam bahasa Indonesia berarti menunjukkan atau menerangkan.6 Dan
pembahasan mengenai dalalah ini sangat penting dalam kajian ushul fiqh, karena
termasuk salah satu sistem berfikir. Dimana untuk mengetahui sesuatu tidak mesti
petunjuk dan isyarat yang ada dan berfikir ini disebut dengan berfikir secara
dalalah. Oleh karena itu, dalam melakukan istinbath hukum, tidak mungkin dapat
kalangan ulama ushul dalam upaya pemahaman hukum dalam nash, menjadi
perhatian utama untuk melihat bagaimana petunjuk sesuatu lafal nash tersebut.
sumber, antara lain: Alquran, As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Suatu ketentuan
hukum atau teks syari harus ditegakkan berdasarkan ‘ibaratnya atau isyarahnya
atau dalalahnya atau sesuatu yang dipahami dari penempatan iktidanya. Semua
yang dipahami oleh nash disebut sebagai madlul dan nash merupakan dalil itu
5
Ibrahim Mushthafa dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juzuk 1, (Istambul: Dar al-Da’wah,
1989), h. 294.
6
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2010), h. 129 dan 141.
sendiri. Ulama Syafi'iyyah memiliki pemahaman yang luas tentang teks
1. Dilalah Manthuq
Secara sederhana, manthûq ( )منط وقberarti "arah pembicaraan pertanda
hakikat lafazh" ()وج وه خماطبات ه علم حقيق ة ألف اظ. Secara istilah dikemukakan oleh al-
memahami hukum secara tersurat dari satu lafazh. Misalnya pengharaman seorang
laki-laki menikahi anak tiri yang di bawah asuhannya, dalam firman Allah surat
al-Nisa’ ayat 23
Dilalah manthuq juga dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu manthuq
sharih ( )منط وق ص ريحdan manthuq ghayr sharih ()منط وق غ ري ص ريح. Penunjukan pada
manthuq sharih berasal dari dua hal, yaitu dari dilâlaħ wadh'iyyaħ muthâbiqiyyaħ
ghayr sharih berasal dari dilâlaħ wadh'iyyaħ iltizâmiyyaħ. Ketiga dilâlaħ itu
merupakan penunjukan yang berasal dari lafazh, kata atau suara (dilalah
7
Muhammad ibn ‘Ali al-Syawkaniy, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqqmin ‘Ilm al-
Ushul, (Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1999),Jilid 2, h. 36.
sama-sama dipahami dan digunakan untuk maksud tertentu. Hanya saja ketiganya
rumah.
Namun dilâlaħ dalam bentuk ini bersifat "sangat kabur" dan tidak terbatas.
pembicara. Jenis ini juga terbagi dua, yaitu dilâlaħ iqtidhâ` ()داللة اإلقتضاء
8
Lihat Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 154.
dan dilâlaħ îmâ` ()داللة اإليماء. Dilâlaħ iqtidhâ` sama dengan iqtidhâ` al-
Dalam hal ini sifat yang dikaitkan dengan memerdekakan budak adalah
Dilalah jenis ini hanya terbatas pada dilalah isyarah. Tentang hal ini,
langsung.
pemberlakukan hukum itu hanya pada apa yang dikandung suatu lafazh;
9
‘Ali ibn Abd al-Kafiy al-Subkiy, al-Ibhaj..Op.cit., Jilid 3, h. 27.
10
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), h. 220.
dan tidak memberlakukannya sama sekali terhadap yang tidak
disebutkannya.
ketiadaan suatu ketentuan hukum, dan ditunjukkan dengan pemahaman teks yang
petunjuk lafaz nash atas penetapan sebuah hukum atas perkara, tempat dan waktu
disebabkan adanya kesesuaian baik nafi ataupun isbat karena persamaan illat,
sehingga menghasilkan makna yang sesuai dengan lafaz nash itu sendiri adakala
kandungan makna yang dihasilkan sama atau lemah bahkan melebihi dari makna
Pertama: Jika hukum yang tidak disebutkan itu memiliki makna lebih berat dari
hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafaz, mereka menyebutnya
Kedua: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, sama setatusnya dengan hukum
yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafaz, mereka menyebutnya dengan
Lahnu al-Khithâb13 .
yatim, sedangkan dengan makna mafhum yang sama ayat ini menunjukkan
11
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 36.
12
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 37.
13
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 36.
haramnya membakar harta anak yatim atau dengan segala sesuatu yang dapat
dengan pertentangan dua hal yaitu al-jumlah dhahir (kalimat jelas) berupa al-
mantuq al musbad dan kalimat yang tidak jelas yang berupa al-maskuut ‘anhu al
manfii14. Atau bisa juga diartikan sebagai penetapan hukum bagi yang tidak
disebutkan oleh nash yang berlawanan dengan yang disebutkan15. Dengan kata
lain, mafhum mukhalafah merupakan kebalikan dari hukum yang disebut, karena
memperlihatkan hukum atas kasus.16 Jika ada batasan dengan sifat atau
hitungan, maka nash tersebut ditetapkan menjadi hujjah untuk kasus dengan sifat,
syarat, atau batasan maksimal atau hitungan yang disebutkan. Ia pula akan
menjadi hujjah untuk penetapan sebuah hukum pada kasus yang serupa. Jika
nantinya berlainan sifat, syaratnya, batas maksimalnya atau jumlah yang telah
fiqih terkait penggunaannya sebagai hujjah, antara lain mafhum mukhalafah pada
14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu….,h. 13.
15
Romli, Studi Perbandingan …, h. 324.
16
sifat, atau syarat, atau batas maksimal ataupun perhitungan pada nash
Mafhum al-sifat adalah pengkaitan hukum dengan sifat dari zat (sesuatu),
maka itu menunjukkan penafian hukum dari zat itu ketika sifat itu tidak ada17. Dan
yang dimaksud al-sifat menurut para ulama ushul adalah pembatasan lafaz yang
dengan syarat dan bukan gahyah, dan yang mereka maksudkan bukan hanya an-
apa yang selainnya. Hanya saja, memang ada beberapa kondisi yang mana
mafhum al-sifat umumnya tidak dapat diamalkan dan tidak bisa diambil mafhum
mukhalafah dari lafaz mantuq disebabkan adanya faktor lain. Mafhum al-sifat
sendiri menciptakan ruang untuk para pakar ushul menelaah lebih dalam
17
Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-syakhshiyyah al-islamiyah jilid 3.
18
Imam Badruddin az-Zarkasyi, Bahru al-muhith fil ilmi ushul al-fiqh.
Dalam hal ini penulis ingin menemukan titik terang terkait legalitas
ushul fiqh dengan judul “Kedudukan Mafhum Al-sifat dalam Ushul Fiqh (Konsep
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari pernyataan dan uraian latar belakang di atas, tujuan dari
sebuah penelitian agar dapat berjalan dengan mudah dan terarah sesuai dengan
mazhab al-Syafi’i.
C. Tujuan Penelitian
beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul skripsi ini:
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
khazanah ilmu pengetahuan tentang konsep mafhum ash- sifat dalam ushul fiqh
mazhab syafi’iyyah.
2. Secara praktisi
E. Penjelasan Istilah
judul risalah yaitu “Kedudukan Mafhum Al-sifat dalam Ushul Fiqh Mazhab Al-
syafi’i (konsep mafhum al-sifat dalam ushul fiqh mazhab al-syafi’i), maka penulis
menganggap perlu untuk memberikan definisi dari istilah yang dipakai dalam
judul risalah ini. Beberapa istilah dalam judul yang menurut penulis perlu
1. Mafhum Al-sifat
Mafhum sifat gabungan dari kata mafhum dan sifat secara bahasa mafhum
mengetahui19 dan sifat adalah sesuatu yang melekat pada zat 20. Mafhum sifat
adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap
19
Ibnu manzur, ) .٣٤٣ / ١٠ ( لسان العرب
20
Muhammad abdurrauf, ) ٧٢٦:التعاريف ( ص
kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut.21
2. Ushul Fiqh
buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai
nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari’ah. Dilihat dari tata bahasa
(Arab), Kata Ushul adalah kata jamak dari ashl ( )أصلartinya landasan
yang lain. Sedangkan menurut istilah, ashl ( )أصلdapat berarti dalil, Kata
diperoleh melalui proses berfikir yang mendalam, bukan sekedar tahu atau
ilmu atau pengetahuan akan yang halal dan haram, syariat dan penjelasan
hukum22 yakni :
21
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah
Littiba‟ah, 1971, Cet. ke-6 Hal. 366
22
Tajuddin Abd. Wahhab bin Ali al-Subki, Jam’u al - Jawami’i fi Ushul al –Fiqh, ( Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2002), h. 6.
Sedangkan pengertian ushul fiqh sebagaimana penjelasan jumhur ulama
yakni
صْيلِيَّ ِة ًّ اَأْلح َك ِام الش َّْر ِعيِّ ِة ال َف ْر ِعيَّ ِة ِم ْن َِأدلَّتِ َها
ِ الت ْف ِ ِ ِ ِ اع ِد الَّيِت يَتو َّ هِب
ِ العِْلم بِالْ َقو
ْ ص ُل َا اىَل ا ْستْنبَاط ََ َ ُ
Artinya : “Sejumlah kaidah yang mengkaji dan membahas proses istinbat
hukum-hukum syara’ melalui dalil- dalil yang terperinci”. 23
3. Madzhab al-syᾱfi’ī
pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina dengan nama kecil Muhammad.
Orang tua al-Syafi’i berasal dari Makkah yang sedang merantau ke Palestina.
Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin al-
Abbas bin Usman bin Shafi’i bin al-Sa’ib bin Ubayd bin ‘Abd Yazid bin Hashim
bin al-Muthallib bin ‘Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’i diambil dari nama
kakeknya, Syafi’i.24
أن يقلد العامي أو من مل يبلغ رتبة اإلجتهاد مذهب إمام جمتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش
25
يتحول من واحد على آخر
Artinya: “Ber-taqlid-nya orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat
mampu ber-ijtihad kepada madzhab imam mujtahid, baik ia terikat pada
satu madzhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu madzhab ke
madzhab yang lainnya”.
23
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986 ), h. 24
24
Abd. Halim al-Jundi, Al-Imam al-Shafi’i (Kairo: Dar al-Qolam, 1966), h. 37.
25
Al-Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin
Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h. 11
Banyak para ulama yang membangsakan diri mereka kepada nama Syᾱfi’ī
yang padahal beliau adalah nama dari kakek seorang ulama yang kita maksud
yaitu Syāfi’, karena Syāfi’ tersebut adalah salah seorang sahabat yang pernah
bertemu dengan Rasulullah SAW, selain itu juga sebagai tafa'ul untuk
madzhab Syᾱfi’ī atau disebut juga Syᾱfi’īyyah adalah pandangan tentang hukum
Islam dari para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut Imam
Syᾱfi’ī.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dari karya-
karya para ulama, maka penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian
data penelitiannya.
reprentasi objek tentang realistis yang terdapat di dalam masalah yang diteliti.
sebuah penelitian.27
26
Ibrahim Al-Bajuriy, Hāsyiyah Al-Bajuriy 'ala Syarh Fath Al-Qarib, Jld. I, (Jeddah:
Haramain, t.th), h. 20.
27
Moch. Talchah M, Ag., Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru, Cet. Ⅰ,
(Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2015), h. 26.
Penelitian kepustakaan membatasi kegiatannya hanya pada buku dan kitab-
kitab turats yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas. Jenis penelitian
ini memfokuskan pembahasan pada literatur berupa kitab-kitab kajian ushul fiqh
interpretasi data yang dikumpulkan dari keterangan naskah, referensi, fakta atau
unsur struktural atau internal rasional. Ketiga, metode yang digunakan dalam
2. Sumber Data
dalam kajian ini. Penulis mengutib sumber kajian utama dari beberapa lieratur
berupa kitab-kitab klasik dan kontemporer yang menyangkut tentang mafhm ash-
istinbat hukum fiqh karya Abdurahman Hamud al-Matiry, Kitab ghayatul wushul
28
Sudarto, metodologi penelitian filsafat, (jakarta: raja grafindo persada, 1997), h. 42.
karya Taqiyyuddin an-Nabhani, Kitab Bahru al-muhith fil ilmi ushul al-fiqh karya
b. Data Sekunder
diperlukan dalam penelitian ini. Adapun data pendukung dalam penelitian untuk
dan dokumen (jurnal, makalah dan artikel) yang berkaitan dengan penelitian.
jenis dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat
dilakukan dengan beberapa metode, baik alternatif maupun kumulatif yang saling
melengkapi. Sesuai dengan objek dari penelitian ini, maka teknik pengumpulan
data yang penulis gunakan bersifat kepustakan (library reseach) dengan metode
langsung dengan penelitian konsep mafhum al-sifatdalam ushul fiqh mazhab asy-
syafi’i.
menggunakan metode content analisis (analisis isi). Semua jenis sumber catatan
yang penulis kumpulkan barulah bahan mentah yang masih perlu di olah pada
dikumpulkan ke dalam bagian atau unit-unit analisis.29 Adapun analisis data dalam
penelitian ini bertujuan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yaitu
5. Teknik Penulisan
Penulisan Karya Ilmiah Ma’had Aly Mudi Mesjid Raya Samalanga Edisi Revisi,
29
Mestika zed, metode penelitian kepustakaan…,h 70.
BAB Ⅱ
KAJIAN TEORITIK
yang meneliti secara khusus terkait “Konsep mafhum al-sifat dalam ushul fiqh
mazhab al-syafi’i”. Tetapi dalam hal ini ditemukan beberapa penelitian yang
1. Jurnal Ahmad Fadli Fauzi berjudul dilalah mantuq dan mafhum dalam
makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah jelas pada seluruh
atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu sendiri. Mantuq terbagi
atas dua bagian, yaitu : a. Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih
dari satu arti. Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti. Terbagi
yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku
pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya.
diberikan kepada lafazmafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh
lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan
mantuq.Mafhum Mukhalafahterbagi menjadi beberapa bagian yaitu: a.
dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum
muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas. Kajian Manthuq dan Mafhum
sumber hukum inti Syari’ah Islamiyah dijadikan sebagai hujjah dari proses
yang digali dari pengertian manthuq dan mafhum. Karena pada dasarnya
dilalah mantuq dan mafhum di dalam perspektif imam syafi`I namun, kajian
penulis lebih membahas lebih dalam bagaimana konsep yang terdapat dalam
manthuq dan mafhum sangat erat hubungannya dengan Alquran dan sunnah.
harus berpijak atas Alquran dan Sunnah Nabi. Penjelasan tentang manthuq
Zahrah (tt: 138) dilalah adalah lafadh-lafadh yang ditinjau dari segi
Manthuq dan Mafhum dalam Menetapkan Hukum ... YUDISIA, Vol. 6, No.
1, Juni 2015 117 dijadikan cara untuk menggali hukum-hukum dari nash
makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi bacaan.
Mafhum muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash, artinya makna
makna yang tidak terucapkan dan yang ditarik dari manthuq, namun berbeda
Kajian dalam jurnal ini dekat dengan kajian penulis dari sisi peranan
mantuq dan mafhum dalam menetapkan hukum melalui al-qur`an dan sunah dan
keabsahannya sebagai hujjah. Namun, kajian ini tidak membahas lebih dalam
bagaimana sisi mafhum al-sifatyang banyak dari ulama megerahkan pikiran dalam
konsep itu sendiri sehingga penulis dalam kajiannya memberikan kontribusi lebih
dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya
ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang
empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat
dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm
dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm
Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada
dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm.
Kajian dari jurnal ini membahas dari sudut pandang dua tokoh besar dalam
bidang keilmuan, dan kajian penulis lebih membahas lebih dalam dalam satu
sudut pandang.
B. Landasan Teori
dikategorikan kepada tiga. Pertama, ayat-ayat yang berisi tentang aqidah dan
keyakinan. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti, yakni
dalam hal perbuatan, perkataan, maupun penggunaan harta benda. Hal inilah yang
berdasarkan pendapat yang paling kuat makna fiqh adalah “paham secara mutlak”,
baik perkara yang dipahami itu sesuatu yang mendalam atau tidak. Sedangkan
menurut istilah fiqh adalah Sebuah disiplin ilmu tentang hukum-hukum syariat
Jika dilihat dari definisinya, Fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang erat
membahas tentang hukum-hukum syariat yang isinya adalah titah Allah SWT
terhadap hambanya yang disampaikan melalui para rasul dengan perantara wahyu.
Oleh karena itu, objek kajian fiqh adalah perbuatan mukallaf ditinjau dari sudut
31
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, edisi 1, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), h. 62
pandang kebolehan dan ketidakbolehannya dari segi hukum syariat yang
berhubungan dengannya.32
menjalani perjalanan yang panjang. Perbuatan mukallaf dari hari ke hari tentu saja
tidak hanya beredar pada satu model saja. Oleh karena itu, fiqh terus saja
Rasulullah SAW hingga sekarang fiqh telah melewati beberapa fase yang
bermacam-macam. Dan seiring berjalan waktu disiplin ilmu ushul fiqh hadir
Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah
kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk
agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash,
membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam
memahami nash.33 Perkembangan ilmu ushul dari masa ke masa hingga sampai
Ketika Nabi SAW masih hidup, Nabi SAW langsung menjawab segala
diturunkan kepadanya oleh Allah SWT. Namun, ketika Islam semakin menyebar
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun
pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah
satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan
Alquran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak
kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka
Ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat hanya berkisar dalam bentuk
fatwa-fatwa terhadap kasus yang ditanyakan oleh para sahabat kepada sahabat-
sahabat senior, seperti Abu Bakar, Umar, dan lainnya karena merekalah yang
benar-benar dekat dengan Rasulullah dan lebih paham dalil-dalil agama. Para
sahabat yang berijtihad tersebut berpegang dalam ijtihadnya kepada Alquran dan
para mujtahid walaupun dari sumber yang sama, adalah sebuah keniscayaan
beberapa faktor utama, yaitu: Perbedaan yang disebabkan karena beda dalam
34
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, ( Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2002 ), ct. 8, h. 11.
35
Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT,
1994), 19. 6
36
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, h. 77-78
memahami maksud dari Alquran, Perbedaan yang dipicu oleh beda dalam
memahami hadis, dan perbedaan yang muncul dari bedanya hasil nalar yang
pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai
3) Masa tabi’in
terjadinya pembauran antara wacana Islam dengan kultur dan tradisi-tradisi di luar
pandang dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah.
Contohnya; ulama fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar-ra’yu, dalam
setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini
mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah
daerah tersebut. Awal mula perbedaan pendapat terjadi diantara ulama sudah ada
37
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, h. 84-85.
38
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal Li Dirasah al-Syariah al-Islamiah, h. 124.
39
Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), 114
40
Hasyim Nawawi, Tarikh Tasyri’, edisi 1, (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014), h.
89-90.
sejak masa tabi`in sehingga melahirkan tiga kelompok aliran yaitu, Madrasah al-
tidak di jumpai di dalam Alquran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang tinggal
penalaran mereka terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Ditambah pula
pada fase ini ijtihad tidak hanya berkutik di sekitar penetapan suatu
masalah hukum dan fatwa, tapi sudah menjalar kepada kajian metodologis dan
berijtihad tersendiri yang menjadi pijakan dan landasan penetapan hukum yang
kelak diyakini sebagai sesuatu yang cukup representatif menjadi panutan pada
masa yang akan datang. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan ini dipengaruhi
oleh dua faktor utama yang ada saat itu, yaitu: berkembangnya kajian-kajian
41
Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus, Cet.
II, 1959), hal. 93.
42
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009 ), cet.
III, hlm. 32.
43
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ ,edisi 1, h. 104.
ushul fiqih-nya ar-Risalah, kemudian Mujtahid dari masing-masing madzhab
bahwa mereka mempunyai metode ushul fiqih sendiri. Perkembangan ini terus
berlanjut, baik dari golongan ahlu ra’yi sampai golongan ahlu hadis sampai pada
Banyaknya masalah hukum yang mereka hadapi saat itu tidak dapat
dijawab baik dalam Alquran maupun Hadits. Ushul fiqh kemudian muncul dalam
ajaran peradaban Islam sebagai semacam jawaban atas tantangan tersebut. Ijtihad
para ulama sangat berperan di sana, terutama dalam mencari jawaban atas
berbagai persoalan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Sejak saat itu,
Ijmak (konvensi ulama) dan Qiyas (analogi) menjadi sumber hukum Islam
berdasarkan Alquran dan Hadits. Secara sederhana, ushul fiqh dapat diartikan
secara sistematis.
intelektual dalam islam. Sebagai ilmu yang membahas tentang fondasi yang
melatar belakangi lahirnya hukum fiqh, pentingnya ilmu ushul fiqh semakin
hukum baru.
penyuusun hukum fiqh serta metode –metode yang mesti ditempuh agar bisa
أ ّن أصول الفقه عبارة عن أدلّة هذه األحكام وعن معرفة وجوه داللتها على األحكام من حيث
Artinya, “Ushul fiqih ialah istilah untuk (seperangkat) dalil-dalil dari hukum-
baik pada suatu persoalan hukum atau lainya. Melahirkan sebuah jawaban pada
persoalan hukum tidaklah mudah, khususnya jika hukum tersebut terkait dengan
persoalan fiqh. Jika ada sebuah persoalan hukum terbaru, adalah suatu
langsung tanpa proses berpikir terlebih dahulu. Ada seperangkat aturan yang
Salah satu metode yang banyak dari pakar ushul fiqh mencurahkan
44
Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2002 M, halaman 5
metode ad-dhilalah baik berupa mantuq dan mafhum. Telah menjadi sebuah
keniscayaan bahwa seorang ahli fiqih (faqih) dan ahli ushul fiqih (ushuly) harus
mengetahui prosedur dan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari teks
(nash) Alquran maupun Sunnah. Untuk kepentingan itu, maka ushul fiqih sebagai
atau rumusnya. Ini disebabkan sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat
yang berbeda dengan peristiwa atau rincian peristiwa yang lalu, padahal nash
Alquran dan Sunnah tidak sebanyak peristiwa tersebut. Untuk itulah, lahir
kebutuhan kepada metodologi dan rumus yang bersifat umum yang dapat
faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadap ma’na dan
lafadh-lafadh nash. Karena itu di antara persoalan pokok dalam ushul fiqih adalah
45
persoalan yang berkaitan dengan lafadh, khususnya dalam kaitannya dengan
makna lafadh tersebut, baik lafadh itu berdiri sendiri dalam sebuah mufrodat
arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun
baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang
dinamakan denganmanthuq dan mafhum. Cara kerja para ushuli dalam istinbath
hukum ini biasanya dilakukan melalui pengamatan dan induksi (istiqra’) sehingga
menetapkan hukum.
Arti dilalah secara umum adalah: memahami sesuatu atas sesuatu. Kata
hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu
sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (yang
menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil
hukum. Misalkan dalam kalimat asap menunjukkan adanya api, kata api
disebut madlul sedangkan asap yang menunjukkan adanya api disebut dalil.
Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul
fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu
itu tidak mesti dilihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup
sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafziyah dan dilalah ghairuh
lafzhiyah.46
kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz,
petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam
46
47
kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang
Penunjukan dilalah seperti ini disebut thabi‘iyyah secara lengakap bisa disebut
bentuk kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu.Dengan adanya suara
itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan tertentu,
suara tersebut dinamakan aqliyah, secara lengkap bisa disebut dilalah lafziyyah
aqliyyah.
tertentu.
mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu kucing. Hal ini dimungkinkan
dituju.50
48
49
50
51
yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan
bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa diam, atau tidak
1) Dilalah Mantuq
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu, Mantuq
sharih dan Mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu
yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
“ املنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه باملطابقة او بالتضمنMantuq sharih adalah makna yang
secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik
penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275
yang berbunyi :
tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Mantuq ghairu sharih secara
istilah adalah: “ املنطوق غ ري ص ريح ه و م امل يوض ع اللف ظ له ب ل ه وال زم ملا وضعMantuq ghairu sharih
adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai
konsekuensi dari suatu ucapan”. Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan
suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan
ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh
atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan
kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di
tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu
sharih dari ayat di atas. Pembagian Mantuq Pada dasarnya mantuq ini terbagi
b. Mantuq ghairu Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz bukan
baik secara syar’i maupun secara akal atas makna yang muncul.
Sebagaimana pentaqdiran kata ‘dosa’ dalam hadits rasul " رفع عن
membebaskan budak.
Sebagai contoh: " " وحمله وفصاله ثالثون شهراdan ayat "وفصاله فى
" عامينyang dapat dipahami dari sini bahwa hamil paling sebentar
bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak
karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis. Mafhum
selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain makna yang
hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena
a. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus
[17] : 23:
53
Al-Khin, Mushtafa Said, Asr al-Ikhtiiaffi al-Qawaid al-Ushuliyahfi Ikhtilaf alFuqaha’,
Kairo: Muassasah al-Risalah, 1969 hal 143.
Artinya “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati
Artinya “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam
lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq,
dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum
Mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam
istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang
a. Mafhum Shifat
َو َمن َقتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة
Ayat ini menjelaskan jika seseorang membunuh tanpa sengaja maka dia
harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman, dan kebalikan dari ayat ini ia
tidak boleh memerdekakan seorang hamba yang tidak beriman. Karna pada ayat
b. Mafhum syarat
Mafhum syarat ialah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu
sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut. 54 Atau dalam
definisi yang lebih mudah dapat di artikan: bila syarat terpenuhi maka berlaku
humum, tetapi jika syarat tidak terpenuhi maka akan berlaku hukum yang
Ayat ini menjelaskan akan kebolehan mengambil harta dari mahar jika
dengan kerelaan dari sang istri, maka dalam ayat ini kerelaan adalah syarat
dibolehkanya mengambil mahar istri, dan dapat dipahami dari dari mafhum
bahwa tidak boleh mengambil mahar istri jika sang istri tidak rela maharnya di
ambil.
c. Mafhum ghayah
tertentu), sehingga hukum kebalikan tetap karenaya. Lafaz ghayah ini adakalnya
”ilaa” atau “hatta”. Berikut ini contoh dari keduanya dalam firman Allah SWT
54
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah Littiba‟ah,
1971, Cet. ke-6 Hal. 366
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
Hukum kebalikanya bahwa wudlu tidak sah jika membasuh tanganya tidak
Ayat ini menjelaskan larangan menggauli istri ketika haid, dan hukum
sebaliknya adalah kebolehan bagi suami menggauli istri jika dalam keadaan suci.
d. Mafhum ’adad
bilangan tertentu seperti Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
Ayat ini menjelaskan syarat saksi harus empat orang, dan jika saksi kurang
dari empat maka persaksian tidak sah dan mendapatkan hukuman jild (cambuk)80
kali. Maka dapat dipahami dengan mafhum mukholafah bahwa jika saksi
e. Mafhum al-Laqab
nama atau sebutan atas tidak berlakunya hukum tersebut untuk orang lain[12].
termasuk dilamnya tokoh, sifat, nama jenis (al-jins) dan spesies (an-nau’) [13].
Contoh tokoh (Muhammad Rasulullah), contoh sifat( لkkني – يحkkل الغkkلي الواجد – مط
) عرضه وعقوبته, contoh jenis ( ) الذهب بالذهب والفضة بالفضة, contoh nau’ () في الغنم زكاة.
Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi: ِإ ْذ قَا َل يُو ُسفُ َأِلبِي ِه يَا
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku. Dari
ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena
f. Mafhum hasr
lafadz dan memberikan hukum kebalikanya atas apa yang keluar dari batas
kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali
bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau
fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah Pada ayat ini
ada pembatasan akan makanan haram yaitu bangkai, darah yang mengalir, dan
daging babi, maka dapat dipahami dari mafhum mukholafah bahwa selain itu
adalah halal.
kebenaran”
tanfir :" " يا أيها الذين أمنوا ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفةbukan berarti
Contoh imtinan: " " لتاكلوا منه لحما طرياkarena bukan berarti tidak
Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23.
SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187. َواَل تُبَا ِشرُوه َُّن َوَأنتُ ْم عَا ِكفُونَ فِي
Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqh ialah kemampuan
bahasa arab. Oleh karena itu, pembahasan kaidah kebahasaan dan pemahaman
maksud bahasa sangat penting untuk diteliti, apalagi pemahaman yang bersifat
kebalikan dari makna nash yaitu yang dikenal dengan mafhum al-mukhalafah,
para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum al-
Dalam bab ini penulis ingin membahas tentang konsep mafhum al-sifatdan
dalam fiqh.
bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam
lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum
tersebut.55 Dengan bahasa lain mafhum sifat ialah suatu lafaz yang menggunakan
suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan
bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat, maka
55
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah Littiba‟ah,
1971, Cet. ke-6 Hal. 366
berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada, maka berlakulah
hukum yang sebaliknya.Atau adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan
ِ ٍ ﺠِﺑ ِ ِ ِ َّ
ﻦﻴ ْ ُﻳﻦ َﺁﻣﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ َﺟﺎﺀَ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎﺳ ٌﻖ ﺑِﻨَﺒٍَﺈ َﻓﺘََﺒَّﻴﻨُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼﻴﺒُﻮﺍ َﻗ ْﻮ ًﻣﺎ َ َﻬﺎﻟَﺔ َﻓﺘ
َ ﺼﺒِ ُﺤﻮﺍ َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ َﻓ َﻌْﻠﺘُ ْﻢ ﻧَﺎﺩِﻣ َ “ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّ َﻬﺎ ﺍﻟﺬ
Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib
ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang
2. Hal (keterangan keadaan) Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
ِ ِ ِ ِ ِﻫ ْﺪﻳﺎ ﺑﺎﻟِﻎ ﺍﻟْ َﻜﻌﺒ ِﺔ ﺃَﻭْ َﻛﻔَّﺎﺭَﺓٌ ﻃَﻌﺎﻡُ ﻣﺴﺎﻛِﻦﻴ ﺃَﻭْ ﻋ ْﺪﻝُ ﺫَﻟ
َ َﻚ ﺻﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻟﻴَ ُﺬﻭﻕَ ﻭَﺑَﺎﻝَ ﺃ َْﻣ ِﺮ ِﻩ َﻋ َﻔﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ َﻋ َّﻤﺎ َﺳﻠ
ُﻒ ﻭ ََﻣ ْﻦ َﻋﺎﺩَ َﻓَﻴْﻨﺘَﻘ ُﻢ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣْﻨﻪ َ َ َ ََ َ َْ َ َ ً َ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika
kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan
yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-
yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan
56
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta :
Pustaka Amani, 2003.h. 76
memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan
yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali
3. ‘Adad (bilangan) Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
َّﺚ ﻭَﻻ ﻓُ ُﺴﻮﻕَ ﻭَﻻ ِﺟ َﺪﺍﻝَ ﻲِﻓ ﺍﺤْﻟَ ِّﺞ ﻭ ََﻣﺎ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮ ِﻣ ْﻦ ﺧَﺮْﻴٍ َﻳ ْﻌﻠَ ْﻤﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭََﺗَﺰﻭَّﺩُﻭﺍ ﻓَِﺈﻥ ِ
َ َﻮﻣﺎﺕٌ ﻓَ َﻤ ْﻦ َﻓَﺮﺽَ ﻓﻴ ِﻬ َّﻦ ﺍﺤْﻟَ َّﺞ ﻓَﻼ ﺭَﻓ
َ ُﺍﺤْﻟَ ُّﺞ ﺃَ ْﺷ ُﻬٌﺮ َﻣ ْﻌﻠ
Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat
fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-
1. Tidak nampak lebih utama pada hukum yang disebutkan (madzkur) dan
2. Tidak menimbulkan faedah ghalib, jika timbul faedah ghalib maka tidak di
`iktibar mafhumnya
saiimah
9. Lafaz mantuq tidak diqaitkan hukumnya kepada sifat yang ghairu maksudah
adalah pengkaitan hukum dengan salah satu zat. Dan imam as-syawkani
ushul adalah pembatasan lafaz yang musytarak makan atau lafaz yang
(mukhthashsin) bukan dengan syarat dan bukan dengan ghayah, dan yang
mereka maksud nukan hanya an-na`tu saja seperti para ahli nahwu. Hal
2. Metedologi aplikasi
Dalam ikhtilaf yang terjadi antara pakar ushul dalam konteks mafhum ahs-
melalui nash al-qu`an dan hadis, baik menjadikan mafhum al-sifatsebagai hujjah
ataupun tidak dapat di ambil iktibar kehujjahan mafhum al-sifatke dalam fiqh
bagi anak perempuan yang perawan boleh memaksa untuk menikahinya bila
sudah sampai baligh. Pendapat yang kuat menurut imam syafi`I boleh bagi ayah
atau wali dari anak perempuan yang perawan dan sampai baligh untuk
Maka dalam hadis memiliki mantuq yaitu diyat orang mukmin seratus
unta, dan mafhum darihadis seseorang yang tidak mukmin diyatnya tidak seratus
karna meninjau dari sisi mafhum ash-shifat. Maka jumhur ulama yang beramal
sebalik dari lafaz yang tertera akan tetapiimam syafi`I mengatakan bahwa
3) Hadist riwayat
Dan secara mafhu mukhalafah ash-shifatnya tidak ada kewajiban zakat terhadap
kambing yang ma’lufah (diberi makan). Hal ini karena tidak ada sifat yang
digembalakan secara bebas (sa’um) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut
1. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah, dalam arti ternafi hukum atau
pendapat dari imam malik57, imam syafi`I58, imam ahmad bin hambal59, abu
hasan asy`ary.60
2. Mafhum al-sifattidak dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dilandasi oleh abu
3. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah dengan syarat jika sesuai antara sifat
dengan mausuf pada satu hukum, pendapat ini merupakan landasan dari
57
أبو بكر بن العربي ،المحصول في أصول الفقه ،( ١٠٤) ١/ ،وفي كتابه أحكام القرآن اعتبره أصالً من أصول المالكية،
انظر :أبو بكر ابن العربي ،أحكام القرآن ، (٣٩٢) ١/ ،وأبو عبد اهللا القرطبي ،الجامع ألحكام القرآن( ١٤٠) ٥/ ،و ،اآلمدي،
اإلحكام في أصول ، /٣) ٨٩ (.األحك
58
إلمام الشافعي محمد بن إدريس المطلبي ،األم ،و) ٥/٢) ،الشيرازي ،التبصرة في أصول الفقه(، ٢٢٣) ١/ ،والجويني،
البرهان في أصول الفقه(، ٣٠٩) ١/ ،والسبكي ،اإلبهاج في شرح المنهاج(، ٣٧١) ١/ ،واإلسنوي ،التمهيد Eفي تنزيل الفروع
/على األصول١) ٢٤٥ (. ،
59
ابن قدامة المقدسي ،روضة الناظر وجنة المناظر(، ٢٦٤) ١/ ،وابن مفلح ،أصول الفقه(، ١٠٦٩) ٣/ ،والبعلي ،القواعد
والفوائد األصولية(، ٢٨٧) ١/ ،والمرداوي ،التحبير شرح التحرير(، ٢٩٠٦) ٦/ ،وابن النجار ،شرح الكوكب المنير) ٣/ ،
(٥٠٠.
60
نقله عنه الغزالي ،المستصفى في علم األصول(. ٢٦٥) ١/ ،وانظر :السبكي ،اإلبهاج في شرح المنهاج٣٥٦) ١/ ،
61
الجصاص ،الفصول في األصول(، ٢٩١) ١/ ،والرازي ،المحصول في علم األصول(، ٢٢٨) ٢/ ،والبابرتي ،التقرير
( .ألصول فخر اإلسالم البزدوي٣٨٣) ٣/ ،
62
( .ابن حزم ،اإلحكام في أصول األحكام( )٣٢٣) ٧/ ،
63
(.شمس الدين األصفهاني ،بيان المختصر شرح مختصر ابن الحاجب ٦٢٩)، ٢/
64
(.بو الوليد الباجي ،أحكام الفصول في أحكام األصول( ،ص٤٤٦
65
الغزالي ،المستصفى في علم األصول(، ٢٦٥) ١/ ،لكنه في كتابه (المنخول) Eعاد فوافق جمهور الشافعية على األخذ بمفهوم )
.المخالفة .الغزالي ،المنخول من تعليقات Eاألصول( ،ص٢١٦
66
(.نقله عنهم اآلمدي ،اإلحكام في أصول األحكام٧٢) ٣/ ،
67
.الجويني ،البرهان في أصول الفقه)١٧٤) ١/ ،
4. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah pada beberapa tempat, yaitu saat
yang dapat dicakup oleh sifat, pendapat yang dikemukakan oleh abu
imam al-syafi’i, malik, ahmad, mayoritas fuqaha dan ahlu azh-zhahir. Mereka
Imam asy-sayfi`I berkata, “yang logis dalam lisan al-arab bahwa sesuatu
jika memiliki dua sifat, lalu salah satunya disifati dengan sifat tertentu maka sifat
yang satunya lagi berlawanan dengan sifat yang tidak disifati. Hanya saja sifat itu
harus merupakan washfun mufhimmun atau dala istilah imam al-haramain shifat
munasib. Artinya sifat yang penyebutannya dalam ucapan itu memberi faedah,
memiliki mafhum mukhalafahnya. Dan jika shifat itu tidak memiliki munasib
(kesesuaian) dengan hukum itu, maka hukum itu tidak dikhususkan dengan sifat
itu dan karenanya tidak menafikan hukum pada sesuatu yang tidak ada shifat
jika shifat itu haruslah washfun muhimun atau washfun munasib. Jika bukan,maka
68
٢٨٨) ١/ ، في أصول الفقهE المعتمد،ابن الطيب البصري.(
Mafhum mukhalafah selain mafhum laqab adalah bisa dijadikan hujjah
dan wajib melaksanakanya atas dasar tersebut. Jika suatu nash menyebutkan
diantaranya :
a) Dalil Naqli
صلى ااهلل عليه- قال رسول ااهلل: أنه قال-رضي ااهلل عنه- ما جاء يف صحيح مسلم عن عبد ااهلل بن الصامت عن أيب ذر
، فإذا مل يكن بني يديه مثل آخرة الرحل، إذا قام أحدكم يصلي فإنه يسرته إذا كان بني يديه مثل آخرة الرحل:« -وسلم
:« كما سألتين فقال- )ااهلل عليه وسلم٢) صلى- سألت رسول ااهلل
ُ يا ابن أخي:الكلب األمحر من الكلب األصفر؟ قال
Artinya :
sifat hitam dan menafikan sesuatu yang selain bersifat dengan hitam dan nabi
mengiqrarnya.
b) Dalil Aqli
ghoyah, tidak disebutkan secara sia-sia, tetapi pasti akan ada faedahnya, karena
69
)١) ٣٦٥(. ٢٦٥ : حديث رقم، قدر ما يستر المصلي: باب، الصالة: كتاب، صحيح مسلم،مسلم
jika mencari faedahnya kita tidak ada faedahnya kecuali dengan menggunakan
bahwa dalam ini diwajibkan hukuman hanya bagi yang membunuh hewan
dengan sengaja, dan tidak berlaku hukuman bagi yang tidak sengaja. Dan seperti
hadis tentang hewan ternak, jika hewan ternak yang digembala dan yang dikasih
makan sama hukum nya pada wajib zakat, maka manakala hadis mengkaitkan
hukum wajib zakat dengan sifat ma`lufah akan sia-sia pengkaitan tersebut dan itu
mustahil, karna semua yang nabi lakukan maupun katakan pasti ada faedahnya.
BAB Ⅳ
sifat maka ketiadaan hukum dan mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah dalam
mazhab al-syafi’i.
A. Kesimpulan
karna itu dengan kajian ini dapat penulis dapat mengambil titik terang berupa
kesimpulan yaitu :
sifat yang khusus, maka dapat dipahami mengambil hukum yang sebalik
lafaz yang yang memilikimakna musytarak dangan lafaz yang lain yang
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan melalui kajian ini adalah
sebagai berikut :
1. Diharapkan agar hasil kajian ini menjadi penambahan referensi bagi para