Anda di halaman 1dari 59

BAB Ⅰ

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran dikenal sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah

Muhammad bin Abdullah SAW melalui Rasul Allah Jibril AS yang pada

susunannya diawali dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas,

Alquran yang diturunkan di muka bumi memiliki makna, fungsi dan tempat yang

mulia dalam kehidupan manusia. Alquran ditulis dalam dialek Arab dan mukjizat

SAW bahwa dia adalah Nabi adalah Utusan Allah SWT.

Setelah Alquran diturunkan, langsung dijadikan sebagai hukum yang

mengatur kehidupan, sebagai pedoman bagi manusia untuk hidup di dunia, dan

sebagai sarana bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang akan

mengarah pada pahala ibadah dan kebaikan.

Ayat-ayat pensyariatan hukum di dalam Alquran atau disebut juga ayat

ahkam biasanya diturunkan sebagai sebuah jawaban terhadap kejadian-kejadian

yang terjadi saat itu. Terkadang ada juga diturunkan untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang ditujukan oleh umat saat itu kepada rasul. Dua hal ini yang kelak

sering kita dengar disebut “asbab al-nuzul”, sebab diturunkannya Alquran. Selain

itu, sangat sedikit ayat-ayat ahkam yang diturunkan secara langsung tanpa ada

kausalitas apa-apa. Hampir tidak ada mufassir yang menyebutkan hukum tanpa

diiringi dengan penyebutan kejadian yang menjadi sebab hukum itu diturunkan.1

1
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, (Semarang: Al-
Haramain, tt), h. 13.
Secara garis besar ayat-ayat yang berisikan hukum di dalam Alquran

dikategorikan kepada tiga. Pertama, ayat-ayat yang berisi tentang aqidah dan

keyakinan. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti, yakni

menyangkut perkara berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan membuang

keburukan sejauh-jauhnya. Ketiga, perkara yang berkaitan dengan mukallaf baik

dalam hal perbuatan, perkataan, maupun penggunaan harta benda. Hal inilah yang

menjadi objek kajian penting dalam fiqh dan ushul fiqh sebgai landasan bagi

terciptanya fiqh.2

Muslim hidup di dunia ini bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah

SWT berdasarkan Alquran dan Hadis Nabi. Kalimat-kalimat yang ada di

dalamnya membuka peluang interprestasi yang berbeda. Oleh sebab itu timbul

makna yang bervariasi terhadap perintah/larangan. Alquran juga panduan bukan

hanya buku yang merupakan satu volume bab. Diperlukan ketelitian untuk

memahami isinya. Banyak ulama terdahulu dan cendekiawan modern telah

mengembangkan Alquran dan berusaha menjelaskannya dalam interpretasi yang

ditulisnya.

Seorang ahli hukum (faqih), menjadi keharusan baginya untuk mengetahui

prosudur cara penggalian hukum dari nash. Untuk kepentingan itu, ilmu Ushul al

Fiqh telah menetapkan metodologinya. Memahami redaksi Alquran dan Al-Hadis

bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas, dibutuhkan kunci,

metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui

maksud dan tujuan nash Alquran dan hadis baik dari sudut teks maupun dari

2
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, edisi 1, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), h. 62.
aspek makna.

Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan bukan kepada nash langsung,

seperti penggunaan kias (analogi), istihsan, mashlahat, dan sebagainya.

Sedangkan pendekatan lafal nash, penerapannya membutuhkan beberapa faktor

pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna dari lafal

(pengertian yang ditunjuk oleh lafal) ataukah mengetahui dalalah-nya yang

menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari konteks kalimat, mengerti

batasan-batasan yang membatasi ibarat-ibarat nash. Pengertian yang dapat

dipahami dari lafal nash, apakah berdasarkan ibarat nash atau isyarat nash, dan

sebagainya.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa tidak ada satupun mujtahid yang

berijtihad tanpa dasar pada lafaz, namun mereka menggunakan nash sampai di

mana pendekatan ijtihadnya pada lafal tersebut. Persoalan apapun yang muncul

dalam kehidupan manusia, tidak diberi nilai syariat tanpa mengaitkan dengan

lafaz, minimal dikaitkan dengan arti majazi dan arti subtansi dari lafal itu,

meskipun sudah jauh dari arti suatu lafal.3

Memahami dalalah lafaz nash adalah suatu hal yang sangat krusial ketika

waktu melakukan istinbath hukum, karena tanpa tahu dalalah lafal nash, siapapun

tidak akan pernah mencapai maksud yang sesungguhnya. Bahwasanya dalalah

(nash syar'iy) atau perundang-undangan, terkadang menerangkan beberapa makna

yang sangat majemuk melalui cara dalalah tadi. Dalalah nash tadi tidak terbatas

3
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Ujung pandang: Yayasan Ahkam), h. 204.
dalam makna yang dipahami menurut ibaratnya dan huruf-hurufnya. Akan tetapi,

terkadang juga dia menerangkan aneka macam makna yang dipahami menurut

isyaratnya.

Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam AlQuran,

sebenarnya dari semua ayat yang ada di dalam Alquran tersebut tidak semuanya

memberikan arti dan pemahaman yang jelas. Jika kita mau telusuri, ternyata

banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam

mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut. Jika meneliti ayat-ayat

Alquran, akan ditemukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman secara

langsung dan jelas, juga ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut,

Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Alquran hanya

dengan mengandalkan pemahaman teks belaka, dibutuhkan juga pemahaman yang

lebih dari sekedar teks.

Diharapkan dengan adanya pembahasan tentang makna dan fungsi,

mampu menjadi sarana penambah ilmu dalam mengetahui makna secara tersirat

maupun tersurat dan mampu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari serta

menjadi spirit bagi pengembangan pengalaman, intelektual, sosial, politik dan

ideologi.4

Kalimat-kalimat yang terdapat baik berbentuk nash Alquran maupum

Hadis, masih menaruh peluang pemaknaan atau penafsiran yang tidak sama.

Munculnya pemahaman yang berlainan mengakibatkan adanya perbedaan

(ikhtilafiah) interpretasi atau penafsiran. Agar umat Islam tidak mengalami


4
Faried F.Saenong, al-Qur’an Modernism dan Tradisionalisme Ideologisasi Sejarah
Tafsir AlQur`an Di Indonesia (Jakarta), hal 505
kebingungan pada menaruh makna atau interpretasi terhadap sebuah kalimat

perintah atau larangan pada sebuah nash perlu untuk menelaah mengenai al-

dalalah.

Secara etimologi ‫ الداللة‬adalah bentuk masdar dari ‫دل‬


ّ ‫ ي‬- ‫دل‬
ّ yang berarti

‫االرش اد‬,5 dalam bahasa Indonesia berarti menunjukkan atau menerangkan.6 Dan

secara istilah adalah: Menjadikan pemahaman sesuatu bisa diterapkan pada

pemahaman sesuatu yang lain (‫آخر‬ ِ


َ ‫) َك ْون الشيء َيْلَزم م ْن َف ْهمه َف ْهم شيء‬. Berkaitan dengan ini

pembahasan mengenai dalalah ini sangat penting dalam kajian ushul fiqh, karena

termasuk salah satu sistem berfikir. Dimana untuk mengetahui sesuatu tidak mesti

mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan

petunjuk dan isyarat yang ada dan berfikir ini disebut dengan berfikir secara

dalalah. Oleh karena itu, dalam melakukan istinbath hukum, tidak mungkin dapat

dilakukan kecuali setelah memahami lafaz nash dan dalalah-nya. Sehingga

kalangan ulama ushul dalam upaya pemahaman hukum dalam nash, menjadi

perhatian utama untuk melihat bagaimana petunjuk sesuatu lafal nash tersebut.

Adopsi hukum-hukum Syar'i pada perilaku manusia memiliki empat

sumber, antara lain: Alquran, As-Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Suatu ketentuan

hukum atau teks syari harus ditegakkan berdasarkan ‘ibaratnya atau isyarahnya

atau dalalahnya atau sesuatu yang dipahami dari penempatan iktidanya. Semua

yang dipahami oleh nash disebut sebagai madlul dan nash merupakan dalil itu

5
Ibrahim Mushthafa dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, Juzuk 1, (Istambul: Dar al-Da’wah,
1989), h. 294.
6
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah,
2010), h. 129 dan 141.
sendiri. Ulama Syafi'iyyah memiliki pemahaman yang luas tentang teks

berdasarkan dua gagasan: dalalah al-manthuq dan dalalah al-mafhum.

1. Dilalah Manthuq
Secara sederhana, manthûq (‫ )منط وق‬berarti "arah pembicaraan pertanda

hakikat lafazh" (‫)وج وه خماطبات ه علم حقيق ة ألف اظ‬. Secara istilah dikemukakan oleh al-

Syawkaniy, dilalah manthuq diartikan dengan:


7
‫ما دل عليه اللفظ يف حمل النطق‬
“Suatu makna atau pemahaman yang ditunjukkan lafazh dalam ucapan.”

Dari definisi tersebut, dapat dijelaskna bahwa dilalah manthuq adalah

memahami hukum secara tersurat dari satu lafazh. Misalnya pengharaman seorang

laki-laki menikahi anak tiri yang di bawah asuhannya, dalam firman Allah surat

al-Nisa’ ayat 23

....‫وربائبكم الاليت يف حجوركم من نسائكم الاليت دخلتم هبن‬...

Dilalah manthuq juga dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu manthuq

sharih (‫ )منط وق ص ريح‬dan manthuq ghayr sharih (‫)منط وق غ ري ص ريح‬. Penunjukan pada

manthuq sharih berasal dari dua hal, yaitu dari dilâlaħ wadh'iyyaħ muthâbiqiyyaħ

dan dilâlaħ wadh'iyyaħ tadhammuniyyaħ. Sedang penunjukan pada manthuq

ghayr sharih berasal dari dilâlaħ wadh'iyyaħ iltizâmiyyaħ. Ketiga dilâlaħ itu

merupakan penunjukan yang berasal dari lafazh, kata atau suara (dilalah

lafdziyyah; ‫ )داللة لفظية‬yang diketahui melalui penggunaan istilah-istilah khusus yang

7
Muhammad ibn ‘Ali al-Syawkaniy, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqqmin ‘Ilm al-
Ushul, (Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1999),Jilid 2, h. 36.
sama-sama dipahami dan digunakan untuk maksud tertentu. Hanya saja ketiganya

berbeda dalam tujuan dan keutuhan penggunaan istilah khusus tersebut.8

a. Dilalah wadh'iyyaħ muthabiqiyyah atau lebih lengkapnya adalah dilalah

lafdziyyah wadh'iyyaħ muthabiqiyyah (‫ )دالل ة لفظي ة وض عية مطابقية‬istilah itu

digunakan untuk tujuannya yang utuh (tidak sepotong-sepotong).

Misalnya, kalau penggunaan istilah "rumah" untuk bangunan yang terdiri

dari tonggak, dinding, atap dan bagian-bagian lainnya.

b. Dilālah wadh'iyyaħ tadhammuniyyaħ (‫ )داللة لفظية وضعية تضمنية‬istilah itu

digunakan hanya untuk bagian tertentu dari makna sesungguhnya.

Misalnya ketika yang tertinggal hanya dindingnya, tetap saja istilah

"rumah" bisa digunakan untuknya, karena dinding merupakan bagian dari

rumah.

c. Dilâlaħ wadh'iyyaħ iltizâmiyyaħ (‫ )داللة لفظية وضعية إلتزامية‬yang digunakan

bukan istilah yang "sebenarnya", tetapi sesuatu yang berdekatan

dengannya, seperti menggunakan istilah "singa" untuk "keberanian".

Namun dilâlaħ dalam bentuk ini bersifat "sangat kabur" dan tidak terbatas.

Karena pada dilâlaħ wadh'iyyaħ iltizâmiyyaħ ini penunjukannya terhadap maksud

si pembicara "agak jauh" atau bersifat ambigu, maka ia memunculkan dua

kemungkinan yaitu: Pertama, penunjukannya itu memang dimaksud oleh si

pembicara, dan kedua, penunjukannya itu tidak dimaksud oleh si pembicara.

a. Dilâlaħ manthûq ghayr sharîh yang penunjukannya dimaksud

pembicara. Jenis ini juga terbagi dua, yaitu dilâlaħ iqtidhâ` (‫)داللة اإلقتضاء‬

8
Lihat Amir Syarifuddin, Op.cit., h. 154.
dan dilâlaħ îmâ` (‫)داللة اإليماء‬. Dilâlaħ iqtidhâ` sama dengan iqtidhâ` al-

nash yang dijelaskan ulama Hanafiyyah. Sedangkan dilâlaħ îmâ` adalah

petunjuk yang mengisyratkan sesuatu. Sebagai contoh adalah ketika

seorang Arab pedesaan melaporkan bahwa ia telah menggauli isterinya di

siang hari bulan Ramadhan, Nabi mengatakan "merdekakanlah budak".

Dalam hal ini sifat yang dikaitkan dengan memerdekakan budak adalah

"menggauli isteri di siang hari bulan Ramadhan"; bukan Arab pedesaan.

b. Dilalalh manthuq ghayr sharîh yang tidak dimaksud pembicara

Dilalah jenis ini hanya terbatas pada dilalah isyarah. Tentang hal ini,

ulama Syafi'iyyah juga memahaminya sama dengan isyaraħ al-nash yang

popular di kalangan ulama Hanafiyyah.

2. Dilalah mafhum, seperti dikemukakan oleh al-Subkiy,9 adalah:

‫ما دل عليه اللفظ ال يف حمل النطق‬


“Suatu makna yang ditunjukkan lafazh bukan dalam ucapan”.
Para ulama Ushul fiqh membagi dalalah al-mafhum menjadi dua jenis,

yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah10.

a. Mafhûm muwâfaqaħ (‫)مفهوم موافقة‬, yaitu dengan memperluas makna atau

hukum suatu lafazh kepada sesuatu yang tidak disebutkan secara

langsung.

b. Mafhum mukhalafah (‫وم مخالفة‬kkk‫)مفه‬, yaitu dengan cara membatasi

pemberlakukan hukum itu hanya pada apa yang dikandung suatu lafazh;

9
‘Ali ibn Abd al-Kafiy al-Subkiy, al-Ibhaj..Op.cit., Jilid 3, h. 27.
10
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1997), h. 220.
dan tidak memberlakukannya sama sekali terhadap yang tidak

disebutkannya.

Dalalah al-manthuq adalah makna yang diberikan oleh lafadh menurut

ucapannya, yang merupakan indikasi makna berdasarkan sumber lisan11. Dalallah

al-mafhum ditunjukkan dengan susunan teksnya, apakah itu ketetapan atau

ketiadaan suatu ketentuan hukum, dan ditunjukkan dengan pemahaman teks yang

sudah ada sebelumnya yang memiliki keterkaitan. Mafhum muwafaqah adalah

petunjuk lafaz nash atas penetapan sebuah hukum atas perkara, tempat dan waktu

disebabkan adanya kesesuaian baik nafi ataupun isbat karena persamaan illat,

sehingga menghasilkan makna yang sesuai dengan lafaz nash itu sendiri adakala

kandungan makna yang dihasilkan sama atau lemah bahkan melebihi dari makna

teks aslinya. Dari segi kekuatan pemberlakukan hukum, mafhûm muwâfaqaħ

menjadi terbagi dua, yaitu:

Pertama: Jika hukum yang tidak disebutkan itu memiliki makna lebih berat dari

hukum yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafaz, mereka menyebutnya

dengan fahwal khitab12

Kedua: Jika hukum yang tidak disebutkan itu, sama setatusnya dengan hukum

yang terdapat dalam bunyi (manthuq) suatu lafaz, mereka menyebutnya dengan

Lahnu al-Khithâb13 .

Bunyi (manthuq) ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak

yatim, sedangkan dengan makna mafhum yang sama ayat ini menunjukkan

11
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 36.
12
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 37.
13
Zakariyya al-Anshary, ghayatul wushul syahril ushul (jeddah), h. 36.
haramnya membakar harta anak yatim atau dengan segala sesuatu yang dapat

merusak harta tersebut, menyia-nyiakan,menelantarkan selain memakannya.

Para ahli ushul fiqih mengatakan mafhum mukhalafah dibangun sesuai

dengan pertentangan dua hal yaitu al-jumlah dhahir (kalimat jelas) berupa al-

mantuq al musbad dan kalimat yang tidak jelas yang berupa al-maskuut ‘anhu al

manfii14. Atau bisa juga diartikan sebagai penetapan hukum bagi yang tidak

disebutkan oleh nash yang berlawanan dengan yang disebutkan15. Dengan kata

lain, mafhum mukhalafah merupakan kebalikan dari hukum yang disebut, karena

tidak adanya batasan.

Mayoritas ulama ushul fiqih mengatakan, tentang nash syar’i yang

memperlihatkan hukum atas kasus.16 Jika ada batasan dengan sifat atau

pensyaratan dengan memberikan syarat, atau dibatasi batas maksimal atau

hitungan, maka nash tersebut ditetapkan menjadi hujjah untuk kasus dengan sifat,

syarat, atau batasan maksimal atau hitungan yang disebutkan. Ia pula akan

menjadi hujjah untuk penetapan sebuah hukum pada kasus yang serupa. Jika

nantinya berlainan sifat, syaratnya, batas maksimalnya atau jumlah yang telah

disebutkan. Pertama dihukumi manthuq, sedangkan yang kedua hukumnya

disebut mafhum mukholifnya.

Bentuk mafhum mukhalafah yang diperdebatkan oleh para ulama ilmu

fiqih terkait penggunaannya sebagai hujjah, antara lain mafhum mukhalafah pada

14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu….,h. 13.
15
Romli, Studi Perbandingan …, h. 324.

16
sifat, atau syarat, atau batas maksimal ataupun perhitungan pada nash

syar’iyahnya secara khusus.

Sebagaimana Sabda nabi SAW, “Fiil ghommi zakatun”

artinya: “pada binatang ternak yang digembalakan ada zakat”.


Mafhum mukhalafahnya adalah binatang ternak yang makanannya dicarikan dan

tidak digembalakan maka tidak wajib bayar zakat.

Mafhum al-sifat adalah pengkaitan hukum dengan sifat dari zat (sesuatu),

maka itu menunjukkan penafian hukum dari zat itu ketika sifat itu tidak ada17. Dan

yang dimaksud al-sifat menurut para ulama ushul adalah pembatasan lafaz yang

mustarak makna dengan lafaz lain yang dikhususkan (mukhthanhsin) bukan

dengan syarat dan bukan gahyah, dan yang mereka maksudkan bukan hanya an-

na’tu saja seperti ahli nahwu18.

Pengamalan mafhum al-sifat menjadi pendapat al-syafi’i yang berpendapat

bahwa pengkhususan sesuatu dengan suatu sifat menunjukkan penafiannya dari

apa yang selainnya. Hanya saja, memang ada beberapa kondisi yang mana

mafhum al-sifat umumnya tidak dapat diamalkan dan tidak bisa diambil mafhum

muhkalfah nya, seperti tidak mencukupinya syarat untuk mangambil mafhum

mukhalafah dari lafaz mantuq disebabkan adanya faktor lain. Mafhum al-sifat

sendiri menciptakan ruang untuk para pakar ushul menelaah lebih dalam

mengenai konsep yang ada di dalamnya berkenaan dengan definisi, pengamalan

dan berhujjah dengannya.

17
Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-syakhshiyyah al-islamiyah jilid 3.

18
Imam Badruddin az-Zarkasyi, Bahru al-muhith fil ilmi ushul al-fiqh.
Dalam hal ini penulis ingin menemukan titik terang terkait legalitas

mafhum al-sifatsebagai hujjah dan bagaimana kontruksi mafhum al-sifatdalam

ushul fiqh dengan judul “Kedudukan Mafhum Al-sifat dalam Ushul Fiqh (Konsep

Mafhum al-Sifat dalam Ushul Fiqh Mazhab al-Syafi’i)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari pernyataan dan uraian latar belakang di atas, tujuan dari

sebuah penelitian agar dapat berjalan dengan mudah dan terarah sesuai dengan

tujuan, maka penulis menjadikan beberapa pokok permasalahan yang akan

dibahas dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep mafhum sifat dan keabshahannya sebagai hujjah dalam

mazhab al-Syafi’i.

2. Bagaimana metode pakar ushul fiqh mazhab al-Syafi’i mengaplikasikan

mafhum al-sifat ke dalam fiqh melalui nash.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis rumuskan di atas, ada

beberapa alasan dan tujuan yang mendasari penulis memilih judul skripsi ini:

1. Mengetahui konsep mafhum al-sifat dan ke absahannya sebagai hujjah

dalam mazhab al-syafi’i

2. Mengetahui metode pakar ushul fiqh mengaplikasikan mafhum al-sifat ke

dalam fiqh melalui nash.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini meliputi kegunaan secara teoritis dan kegunaan


secara praktis,

1. Secara teoritis

penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memberi kontribusi dalam

khazanah ilmu pengetahuan tentang konsep mafhum ash- sifat dalam ushul fiqh

mazhab syafi’iyyah.

2. Secara praktisi

a. Mampu mengaplikasikan konsep ke dalam kitab turats saat kajian.

b. Supaya penelitian ini dapat memenuhi syarat kelulusan Marhalah Ula

(M1) di Mah’had Aly MUDI Mesjid Raya Samalanga.

E. Penjelasan Istilah

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman terhadap risalah ini, terutama mengenai

judul risalah yaitu “Kedudukan Mafhum Al-sifat dalam Ushul Fiqh Mazhab Al-

syafi’i (konsep mafhum al-sifat dalam ushul fiqh mazhab al-syafi’i), maka penulis

menganggap perlu untuk memberikan definisi dari istilah yang dipakai dalam

judul risalah ini. Beberapa istilah dalam judul yang menurut penulis perlu

diperjelas maksudnya anrata lain:

1. Mafhum Al-sifat

Mafhum sifat gabungan dari kata mafhum dan sifat secara bahasa mafhum

mengetahui19 dan sifat adalah sesuatu yang melekat pada zat 20. Mafhum sifat

adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap

19
Ibnu manzur, ) .٣٤٣ / ١٠ ( ‫لسان العرب‬

20
Muhammad abdurrauf, ) ٧٢٦:‫التعاريف ( ص‬
kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut.21

2. Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua

buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai

nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari’ah. Dilihat dari tata bahasa

(Arab), Kata Ushul adalah kata jamak dari ashl (‫ )أصل‬artinya landasan

untuk membangun (pondasi) berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi

yang lain. Sedangkan menurut istilah, ashl (‫ )أصل‬dapat berarti dalil, Kata

fiqh secara bahasa memiliki pengertian al-fahm (‫ )الفهم‬atau faham. Dengan

demikian, fiqh menurut pengertian bahasa menyangkut pemahaman yang

diperoleh melalui proses berfikir yang mendalam, bukan sekedar tahu atau

mengerti. Adapun menurut istilah, lafaz fiqh di defenisikan sebagai sebuah

ilmu atau pengetahuan akan yang halal dan haram, syariat dan penjelasan

hukum22 yakni :

‫العلم باألحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية‬

Artinya : “ilmu yang membahas tentang hukum syara’ yang berhubungan


dengan amaliyah (Perbuatan ) yang diperoleh melalui dalil-dalil yang
terperinci.”

21
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah
Littiba‟ah, 1971, Cet. ke-6 Hal. 366
22
Tajuddin Abd. Wahhab bin Ali al-Subki, Jam’u al - Jawami’i fi Ushul al –Fiqh, ( Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2002), h. 6.
Sedangkan pengertian ushul fiqh sebagaimana penjelasan jumhur ulama

yakni

‫صْيلِيَّ ِة‬ ًّ ‫اَأْلح َك ِام الش َّْر ِعيِّ ِة ال َف ْر ِعيَّ ِة ِم ْن َِأدلَّتِ َها‬
ِ ‫الت ْف‬ ِ ِ ِ ِ ‫اع ِد الَّيِت يَتو َّ هِب‬
ِ ‫العِْلم بِالْ َقو‬
ْ ‫ص ُل َا اىَل ا ْستْنبَاط‬ ََ َ ُ
Artinya : “Sejumlah kaidah yang mengkaji dan membahas proses istinbat
hukum-hukum syara’ melalui dalil- dalil yang terperinci”. 23

3. Madzhab al-syᾱfi’ī

Al-Imam al-Syafi’i lahir pada masa pemerintahan Abbasiyyah, tepatnya

pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina dengan nama kecil Muhammad.

Orang tua al-Syafi’i berasal dari Makkah yang sedang merantau ke Palestina.

Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Idris bin al-

Abbas bin Usman bin Shafi’i bin al-Sa’ib bin Ubayd bin ‘Abd Yazid bin Hashim

bin al-Muthallib bin ‘Abd Manaf. Sedangkan nama al-Shafi’i diambil dari nama

kakeknya, Syafi’i.24

Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitab beliau Alla

Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah,

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ber-Madzhab (al-tamadzhub) adalah:

‫أن يقلد العامي أو من مل يبلغ رتبة اإلجتهاد مذهب إمام جمتهد سواء التزم واحد بعينه أو عاش‬
25
‫يتحول من واحد على آخر‬
Artinya: “Ber-taqlid-nya orang awam atau orang yang belum mencapai tingkat
mampu ber-ijtihad kepada madzhab imam mujtahid, baik ia terikat pada
satu madzhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu madzhab ke
madzhab yang lainnya”.

23
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986 ), h. 24

24
Abd. Halim al-Jundi, Al-Imam al-Shafi’i (Kairo: Dar al-Qolam, 1966), h. 37.

25
Al-Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Alla Madzhabiyyah Akhtharu Bid'atin
Tuhaddid al-Syari'ah al-Islamiyyah, (Dimasyqi: Dar Al-Fikr, tth), h. 11
Banyak para ulama yang membangsakan diri mereka kepada nama Syᾱfi’ī

yang padahal beliau adalah nama dari kakek seorang ulama yang kita maksud

yaitu Syāfi’, karena Syāfi’ tersebut adalah salah seorang sahabat yang pernah

bertemu dengan Rasulullah SAW, selain itu juga sebagai tafa'ul untuk

mendapatkan syafa'at yang dikandung di dalam kata Syᾱfi’ī.26

Berdasarkan penjelasan di atas dapat difahami bahwa maksud dari

madzhab Syᾱfi’ī atau disebut juga Syᾱfi’īyyah adalah pandangan tentang hukum

Islam dari para ulama yang menyatakan diri mereka sebagai pengikut Imam

Syᾱfi’ī.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analisis dari karya-

karya para ulama, maka penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian

kepustakaan (library reseach). Penelitian kepustakaan itu sendiri adalah suatu

penelitian yang hanya memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh

data penelitiannya.

Metode deskriptif merupakan langkah yang dilakukan dalam rangka

reprentasi objek tentang realistis yang terdapat di dalam masalah yang diteliti.

Yakni, metode yang digunakan secara sistematik yang bertujuan untuk

mendeskripsikan segala hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam

sebuah penelitian.27

26
Ibrahim Al-Bajuriy, Hāsyiyah Al-Bajuriy 'ala Syarh Fath Al-Qarib, Jld. I, (Jeddah:
Haramain, t.th), h. 20.
27
Moch. Talchah M, Ag., Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru, Cet. Ⅰ,
(Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2015), h. 26.
Penelitian kepustakaan membatasi kegiatannya hanya pada buku dan kitab-

kitab turats yang berkaitan dengan permasalahan yang di bahas. Jenis penelitian

ini memfokuskan pembahasan pada literatur berupa kitab-kitab kajian ushul fiqh

dalam mazhab asy-sayfi’i, buku-buku dan materi perpustakaan lainnya, yang

dapat dijadikan sumber rujukan.

Dalam penelitian dengan metode ini, ada tahapan-tahapan yang perlu

dilakukan untuk mengetahui dan memahami kebenarannya. Pertama melalui

interpretasi data yang dikumpulkan dari keterangan naskah, referensi, fakta atau

peristiwa sejarah ditangkap nilai, arti dan maksudnya melalui explorasi

kepustakaan (library reseach). Kedua, kohorensi internal, yaitu usaha untuk

memahami secara benar guna memperoleh hakikat dengan menunjukkan semua

unsur struktural atau internal rasional. Ketiga, metode yang digunakan dalam

penelitian ini mesti deskriptif analitik.28

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan sumber dataa utama yang diperlukan

dalam kajian ini. Penulis mengutib sumber kajian utama dari beberapa lieratur

berupa kitab-kitab klasik dan kontemporer yang menyangkut tentang mafhm ash-

sifat, diantaranya : Kitab ushul fiqh mafhum al-sifatdan penetapannya dalam

istinbat hukum fiqh karya Abdurahman Hamud al-Matiry, Kitab ghayatul wushul

syarahil ushul, karya Zakariyya al-Anshary, Kitab Asy-syakhshiyyah al-islamiyah

28
Sudarto, metodologi penelitian filsafat, (jakarta: raja grafindo persada, 1997), h. 42.
karya Taqiyyuddin an-Nabhani, Kitab Bahru al-muhith fil ilmi ushul al-fiqh karya

Badruddin az-Zarkasyi dan beberapa kitab lainnya.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data pendukung yang

diperlukan dalam penelitian ini. Adapun data pendukung dalam penelitian untuk

melengkapi penelitian yang masih ambigu penulis mengutipnya dari buku-buku

dan dokumen (jurnal, makalah dan artikel) yang berkaitan dengan penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penentuan metode pengumpulan data selalu disesuaikan dengan

jenis dan sumber data yang diperlukan. Pada umumnya pengumpulan data dapat

dilakukan dengan beberapa metode, baik alternatif maupun kumulatif yang saling

melengkapi. Sesuai dengan objek dari penelitian ini, maka teknik pengumpulan

data yang penulis gunakan bersifat kepustakan (library reseach) dengan metode

dokumentasi dan studi literatur dalam bentuk kajian pustaka.

Dalam memakai metode ini, pendataan dan pengumpulan sumber-sumber

yang berbentuk dokumentasi dari perpustakaan, baik primer maupun sekunder

yang berkaitan dengan pembahasan. Oleh karna itu, penulis berupaya

mengumpulkan data dari kitab-kitab dan buku-buku bacaan yang berkaitan

langsung dengan penelitian konsep mafhum al-sifatdalam ushul fiqh mazhab asy-

syafi’i.

4. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisa dan mengolah data penelitian ini, penulis

menggunakan metode content analisis (analisis isi). Semua jenis sumber catatan
yang penulis kumpulkan barulah bahan mentah yang masih perlu di olah pada

tahap selanjutnya, yaitu analisis dan sistematik untuk mempelajari pokok

persoalan dengan memilah atau mengurai komponen informasi yang telah

dikumpulkan ke dalam bagian atau unit-unit analisis.29 Adapun analisis data dalam

penelitian ini bertujuan untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yaitu

tentang konsep mafhum al-sifatdalam ushul fiqh mazhab asy-syafi’i.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini, penulis berpedoman pada buku Panduan

Penulisan Karya Ilmiah Ma’had Aly Mudi Mesjid Raya Samalanga Edisi Revisi,

yang dikeluarkan pada Tahun 1444 H/2023 M.

29
Mestika zed, metode penelitian kepustakaan…,h 70.
BAB Ⅱ
KAJIAN TEORITIK

A. Hasil Kajian Yang Relevan

Sejauh pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan, belum ada

yang meneliti secara khusus terkait “Konsep mafhum al-sifat dalam ushul fiqh

mazhab al-syafi’i”. Tetapi dalam hal ini ditemukan beberapa penelitian yang

memiliki relevansi dengan kajian penulis, di antaranya adalah:

1. Jurnal Ahmad Fadli Fauzi berjudul dilalah mantuq dan mafhum dalam

perspektif imam syafi`i dengan kesimpulan, manthuq adalah petunjuk

makna yang bersifat tekstual, yaitu petunjuk yang telah jelas pada seluruh

atau sebagian artinya berdasarkan tuturan lafadz itu sendiri. Mantuq terbagi

atas dua bagian, yaitu : a. Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih

dari satu arti. Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti. Terbagi

menjadi dua bagian, yaitu Zahir dan Mu’awwal. Mafhum adalah

pemahaman terhadap makna yang tidak terdapat dalam suatu lafadz.

Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Mafhum Muwafaqah. b.

Mafhum Mukholafah, Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat

yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku

pada masalah yang tidak tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya.

Mafhum muwafaqah terbagi atas dua bagian, yaitu : a. Fatwa al-Khitab. b.

Lahnu al-Khitab. Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang

diberikan kepada lafazmafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh

lafaz mantuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan
mantuq.Mafhum Mukhalafahterbagi menjadi beberapa bagian yaitu: a.

Mafhum al-washfhi. b. Mafhum ilat. c. Mafhum ghayah. d. Mafhum laqaa.

e. Mafhum hasr. f. Mafhum syarat. Kehujjahan Manthuq sudah jelas bisa

dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum

muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan

sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Para ulama sependapat tentang

sahnya berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Hanya kalangan ulama

Zhahiri yang menolak menetapkan hukum dengan mafhum, sebagaimana

juga menolak menggunakan qiyas, karena menurut mereka mafhum

muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas. Kajian Manthuq dan Mafhum

sangat erat hubungannya dengan Alquran dan Sunnah. Keduanya sebagai

sumber hukum inti Syari’ah Islamiyah dijadikan sebagai hujjah dari proses

yang digali dari pengertian manthuq dan mafhum. Karena pada dasarnya

setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak

atas Alquran dan Sunnah Nabi.30

Jurnal ini memiliki persamaan dengan kajian penulis dengan membahas

dilalah mantuq dan mafhum di dalam perspektif imam syafi`I namun, kajian

penulis lebih membahas lebih dalam bagaimana konsep yang terdapat dalam

mafhum al-sifatyang merupakan bagian dari mafhum mukhalafah.

2. Jurnal ahmad atabik berjudul “Peranan Mantuq dan Mafhum dalam

Menetapkan Hukum dari Al-quran dan Sunah” dengan kesimpulan, kajian

manthuq dan mafhum sangat erat hubungannya dengan Alquran dan sunnah.

Keduanya sebagai sumber hukum inti syariah Islamiyah dijadikan sebagai


30
hujjah dari proses yang digali dari pengertian manthuq dan mafhum. Karena

pada dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam

harus berpijak atas Alquran dan Sunnah Nabi. Penjelasan tentang manthuq

dan mafhum harus didahului dengan pengertian dilalah. Menurut Abu

Zahrah (tt: 138) dilalah adalah lafadh-lafadh yang ditinjau dari segi

kejelasan dan kualitas penjelasan itu yang dapat menginterpretasikan

sebagian lafadh-lafadh nash dengan sebagian lainnya untuk Peranan

Manthuq dan Mafhum dalam Menetapkan Hukum ... YUDISIA, Vol. 6, No.

1, Juni 2015 117 dijadikan cara untuk menggali hukum-hukum dari nash

tersebut. Menurut Al-Qatthan (2002: 358) manthuq adalah suatu makna

yang ditunjukkan oleh lafadh menurut ucapannya, yakni petunjuk makna

berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan. Sedangkan mafhum adalah

makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi bacaan.

Para ushuliyyin membagi mafhum menjadi dua bagian pokok, yaitu: a)

Mafhum muwafaqah atau juga dinamai dengan dilalah nash, artinya makna

yang hukumnya sesuai dengan manthuq, dan b) mafhum mukhalafah artinya

makna yang tidak terucapkan dan yang ditarik dari manthuq, namun berbeda

dengan makna yang dikandung oleh manthuq. Mayoritas ulama’ berbeda

pendapat tentang berhujjah dengan mafhum. Mereka lebih sepakat

mengenai keabsahan mafhum muwafaqah dijadikan sebagai hujjah (dalil)

kecuali golongan madzhab dhahiri. Sedangkan berhujjah dengan mafhum

mukhalafah hanya diperbolehkan dan diakui oleh mazhab Maliki, Syafi’i

dan Hanbali. Sementara Mazhab Hanafi dan para sahabatnya menolak


berhujjah dengannya.

Kajian dalam jurnal ini dekat dengan kajian penulis dari sisi peranan

mantuq dan mafhum dalam menetapkan hukum melalui al-qur`an dan sunah dan

keabsahannya sebagai hujjah. Namun, kajian ini tidak membahas lebih dalam

bagaimana sisi mafhum al-sifatyang banyak dari ulama megerahkan pikiran dalam

konsep itu sendiri sehingga penulis dalam kajiannya memberikan kontribusi lebih

dalam kajian penulis ini.

3. Jurnal berjudul “ushul fiqh-mantuq dan mafhum” milik alkauthsar

alkalebbi dengan kesimpulan, kalangan Ulama Ushul terdapat perbedaan

dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya

dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau

ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang

digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau

penerapannya. Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada

empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat

al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada

dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm

dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm

mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh

Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada

kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i

menyebutnya dengan dilâlat manthûq. Adapun dilâlat isyârat al-nash,

dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm.
Kajian dari jurnal ini membahas dari sudut pandang dua tokoh besar dalam

bidang keilmuan, dan kajian penulis lebih membahas lebih dalam dalam satu

sudut pandang.

B. Landasan Teori

1. Gambaran umum dinamika ushul fiqh

Secara garis besar ayat-ayat yang berisikan hukum di dalam Alquran

dikategorikan kepada tiga. Pertama, ayat-ayat yang berisi tentang aqidah dan

keyakinan. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan akhlak dan budi pekerti, yakni

menyangkut perkara berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan membuang

keburukan sejauh-jauhnya. Ketiga, perkara yang berkaitan dengan mukallaf baik

dalam hal perbuatan, perkataan, maupun penggunaan harta benda. Hal inilah yang

menjadi objek kajian penting dalam fiqh.31

Secara etimologi fiqh memiliki beberapa makna yang beragam, namun

berdasarkan pendapat yang paling kuat makna fiqh adalah “paham secara mutlak”,

baik perkara yang dipahami itu sesuatu yang mendalam atau tidak. Sedangkan

menurut istilah fiqh adalah Sebuah disiplin ilmu tentang hukum-hukum syariat

amaliyah yang diperoleh dengan usaha dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Jika dilihat dari definisinya, Fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang erat

hubungannya dengan problematika seputar mukallaf, karena di dalamnya

membahas tentang hukum-hukum syariat yang isinya adalah titah Allah SWT

terhadap hambanya yang disampaikan melalui para rasul dengan perantara wahyu.

Oleh karena itu, objek kajian fiqh adalah perbuatan mukallaf ditinjau dari sudut
31
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam, edisi 1, (Depok:
Rajawali Pers, 2018), h. 62
pandang kebolehan dan ketidakbolehannya dari segi hukum syariat yang

berhubungan dengannya.32

Sebagai sesuatu yang mengatur setiap gerak-gerik mukallaf, fiqh telah

menjalani perjalanan yang panjang. Perbuatan mukallaf dari hari ke hari tentu saja

tidak hanya beredar pada satu model saja. Oleh karena itu, fiqh terus saja

berkembang dan bertambah seiring berjalannya waktu. Dari sejak masa

Rasulullah SAW hingga sekarang fiqh telah melewati beberapa fase yang

bermacam-macam. Dan seiring berjalan waktu disiplin ilmu ushul fiqh hadir

sebagai landasan fiqh.

Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah

kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk

agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash,

sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam

membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam

memahami nash.33 Perkembangan ilmu ushul dari masa ke masa hingga sampai

menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat penting dalam islam :

1) Masa Rasulluah SAW

Ketika Nabi SAW masih hidup, Nabi SAW langsung menjawab segala

pertanyaan yang berkaitan dengan Hukum berdasarkan tuntunan wahyu yang

diturunkan kepadanya oleh Allah SWT. Namun, ketika Islam semakin menyebar

ke berbagai belahan dunia, masyarakat Muslim menghadapi tantangan peradaban

yang semakin kompleks.


32
M. Hasan Hito, al-Wajiz fi Usul al-Tasyri’, (Beirut: Muassasah al-Risalah), h. 32-33
33
Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46
2) Masa sahabat

Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun

pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah

satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan

kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam

Alquran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak

ditemukan maka dapat berijtihad.34. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki

kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,

Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka

berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah SAW sendiri.35

Ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat hanya berkisar dalam bentuk

fatwa-fatwa terhadap kasus yang ditanyakan oleh para sahabat kepada sahabat-

sahabat senior, seperti Abu Bakar, Umar, dan lainnya karena merekalah yang

benar-benar dekat dengan Rasulullah dan lebih paham dalil-dalil agama. Para

sahabat yang berijtihad tersebut berpegang dalam ijtihadnya kepada Alquran dan

hadis, dan berikutnya ijma’ dan qiyas atau nalar36

Karena telah terjadinya ijtihad yang tentu saja berdasarkan pemahaman

para mujtahid walaupun dari sumber yang sama, adalah sebuah keniscayaan

munculnya perbedaan-perbadaan fatwa sesama sahabat. Perbedaan ini dipicu oleh

beberapa faktor utama, yaitu: Perbedaan yang disebabkan karena beda dalam

34
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih, ( Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2002 ), ct. 8, h. 11.
35
Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT,
1994), 19. 6
36
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, h. 77-78
memahami maksud dari Alquran, Perbedaan yang dipicu oleh beda dalam

memahami hadis, dan perbedaan yang muncul dari bedanya hasil nalar yang

didapatkan (al-Ra’yu).37 Namun demikian, perbedaan-perbedaan fatwa yang

terjadi pada masa ini masih sedikit terjadi.38

Pembahasan hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada

pemberian fatwa atas pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai

kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.39

3) Masa tabi’in

Pada fase ini adalah perluasan wilayah Islam yang menyebabkan

terjadinya pembauran antara wacana Islam dengan kultur dan tradisi-tradisi di luar

Islam, sehingga menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan baru yang

lebih kompleks yang membuuhkan kejelasan status hukumnya.40

Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut

pandang dan akhirnya juga mempengarhi konsekuensi hukum dari suatu masalah.

Contohnya; ulama fiqh Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar-ra’yu, dalam

setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga dengan illat ini

mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah

ada nash-nya. Adapun para ulama Madinah banyak menggunakan hadits-hadits

Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah di

daerah tersebut. Awal mula perbedaan pendapat terjadi diantara ulama sudah ada

37
Muhammad al-Khuzari Bek, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Cet. 1, h. 84-85.
38
Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal Li Dirasah al-Syariah al-Islamiah, h. 124.
39
Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, tt), 114
40
Hasyim Nawawi, Tarikh Tasyri’, edisi 1, (Surabaya: Jenggala Pustaka Utama, 2014), h.
89-90.
sejak masa tabi`in sehingga melahirkan tiga kelompok aliran yaitu, Madrasah al-

Iraq, Madrasah Al-Kufah, Madrasah Al- Madinah.41

Semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang ketetapannya

tidak di jumpai di dalam Alquran dan hadis. Karena itu ulama-ulama yang tinggal

di daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan

penalaran mereka terhadap ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi. Ditambah pula

dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada

masa itu, kegiatan ijtihad menjadi maju pesat.42

pada fase ini ijtihad tidak hanya berkutik di sekitar penetapan suatu

masalah hukum dan fatwa, tapi sudah menjalar kepada kajian metodologis dan

perumusan berbagai alternatif bagi pengembangan hukum. Hal ini semakin

berkembang seiring dengan meningkatnya kegiatan dialog terbuka. Para imam

mazhab masing-masing menawarkan karakteristik, metodologi, dan kaidah-kaidah

berijtihad tersendiri yang menjadi pijakan dan landasan penetapan hukum yang

kelak diyakini sebagai sesuatu yang cukup representatif menjadi panutan pada

masa yang akan datang. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan ini dipengaruhi

oleh dua faktor utama yang ada saat itu, yaitu: berkembangnya kajian-kajian

ilmiyah dan berkembangnya kebebasan berpendapat.43

Awal perkembangan ilmu ushul fiqih diawali pada perkembangan

pemikiran Mujtahid, dipelopori oleh imam Syafi’i dengan metode pembukuan

41
Muhammad Ma’ruf Al-Dawalibi, Al-Madkhal ila ilm al-ushul al-Fiqh (Damaskus, Cet.
II, 1959), hal. 93.
42
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2009 ), cet.
III, hlm. 32.
43
Hasyim Nawawie, Tarikh Tasyri’ ,edisi 1, h. 104.
ushul fiqih-nya ar-Risalah, kemudian Mujtahid dari masing-masing madzhab

sebagai penerus madzhabnya itupun ikut serta dalam mempelopori madzhabnya

bahwa mereka mempunyai metode ushul fiqih sendiri. Perkembangan ini terus

berlanjut, baik dari golongan ahlu ra’yi sampai golongan ahlu hadis sampai pada

masa ulama muta`akhirin.

Banyaknya masalah hukum yang mereka hadapi saat itu tidak dapat

dijawab baik dalam Alquran maupun Hadits. Ushul fiqh kemudian muncul dalam

ajaran peradaban Islam sebagai semacam jawaban atas tantangan tersebut. Ijtihad

para ulama sangat berperan di sana, terutama dalam mencari jawaban atas

berbagai persoalan yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Sejak saat itu,

Ijmak (konvensi ulama) dan Qiyas (analogi) menjadi sumber hukum Islam

berdasarkan Alquran dan Hadits. Secara sederhana, ushul fiqh dapat diartikan

sebagai ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip hukum Islam. metode

penelitian yang membantu manusia mempelajari Alquran dan memahami Hadits

secara sistematis.

Ushul fiqh merupakan salah satu cabang keilmuan dalam khazanah

intelektual dalam islam. Sebagai ilmu yang membahas tentang fondasi yang

melatar belakangi lahirnya hukum fiqh, pentingnya ilmu ushul fiqh semakin

meningkat terutama sebagi pegangan dalam menjawab berbagai macam persoalan

hukum baru.

Ushul fiqh merupakan seperangkat dalil-dalil atau kaidah-kaidah

penyuusun hukum fiqh serta metode –metode yang mesti ditempuh agar bisa

memanfaatkan sumber-sumber hukum islam untuk bisa memformulasikan sebuah


hukum khususnya terkait sebuar persoalan hukum. Kita juga bisa menengok

pemaparan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa,44

‫أ ّن أصول الفقه عبارة عن أدلّة هذه األحكام وعن معرفة وجوه داللتها على األحكام من حيث‬

‫اجلملة ال من حيث التفصيل‬

Artinya, “Ushul fiqih ialah istilah untuk (seperangkat) dalil-dalil dari hukum-

hukum syariat sekaligus pengetahuan tentang metode penunjukan

dalilnya atas hukum-hukum syariat secara global, bukan terperinci”.

Karena wilayah kerjanya yang semacam ini, maka ia berlakusecara global

baik pada suatu persoalan hukum atau lainya. Melahirkan sebuah jawaban pada

persoalan hukum tidaklah mudah, khususnya jika hukum tersebut terkait dengan

persoalan fiqh. Jika ada sebuah persoalan hukum terbaru, adalah suatu

kejanggalan jika langsung mengeluarkan atau memberikan jawabannya secara

langsung tanpa proses berpikir terlebih dahulu. Ada seperangkat aturan yang

harus dipenuhi dan dilihat untuk bisa melahirkan jawaban tersebut.

2. Dalalah dalam Ushul Fiqh

Salah satu metode yang banyak dari pakar ushul fiqh mencurahkan

pemikirannya dan mendalaminya sebagai landasan sebuah hukum merupakan

44
Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2002 M, halaman 5
metode ad-dhilalah baik berupa mantuq dan mafhum. Telah menjadi sebuah

keniscayaan bahwa seorang ahli fiqih (faqih) dan ahli ushul fiqih (ushuly) harus

mengetahui prosedur dan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari teks

(nash) Alquran maupun Sunnah. Untuk kepentingan itu, maka ushul fiqih sebagai

sebuah piranti dalam mengambil langkah hukum telah menetapkan metodologi

atau rumusnya. Ini disebabkan sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat

yang berbeda dengan peristiwa atau rincian peristiwa yang lalu, padahal nash

Alquran dan Sunnah tidak sebanyak peristiwa tersebut. Untuk itulah, lahir

kebutuhan kepada metodologi dan rumus yang bersifat umum yang dapat

digunakan untuk memahami teks sekaligus menetapkan hukum berdasarkan

metodologi dan rumus itu.

Terdapat dua pendekatan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari

nash.45 Pertama, pendekatan makna (thuruq ma’nawiyah), yaitu istidlal

(penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti menggunakan

qiyas, istihsan, mashalih mursalah, dzara’i dan lain sebagainya. Kedua,

pendekatan lafadh (thuruq lafziyah) yaitu penerapannya membutuhkan beberapa

faktor pendukung yang sangat dibutuhkan yaitu penguasaan terhadap ma’na dan

lafadh-lafadh nash. Karena itu di antara persoalan pokok dalam ushul fiqih adalah

45
persoalan yang berkaitan dengan lafadh, khususnya dalam kaitannya dengan

makna lafadh tersebut, baik lafadh itu berdiri sendiri dalam sebuah mufrodat

(kosakata) maupun telah terangkai (tarkib) dalam susunan kalimat. Petunjuk

(dalalah) lafaz kepada makna adakalanya berdasarkan pada bunyi (manthuq,

arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun

mengandung kemungkinan makna lain, dengan takdir maupun tanpa takdir.

Dan adakalanya pula berdasarkan pada pemahaman (mafhum, arti tersirat)-nya,

baik hukum sesuai dengan hukum mantuq ataupun bertentangan. Inilah yang

dinamakan denganmanthuq dan mafhum. Cara kerja para ushuli dalam istinbath

hukum ini biasanya dilakukan melalui pengamatan dan induksi (istiqra’) sehingga

kesimpulan yang mereka rumuskan (natijah) dapat dijadikan patokan untuk

menetapkan hukum.

Arti dilalah secara umum adalah: memahami sesuatu atas sesuatu. Kata

sesuatu yang disebutkan pertama disebut “madlul”(yang ditunjuk). Dalam

hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah hukum itu

sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (yang

menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil

hukum. Misalkan dalam kalimat asap menunjukkan adanya api, kata api

disebut madlul sedangkan asap yang menunjukkan adanya api disebut dalil.
Pembahasan tentang dilalah ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul

fiqh, karena termasuk dalam salah satu sistem berpikir. Untuk mengetahui sesuatu

itu tidak mesti dilihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup

dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan

petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.

Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui

sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu: dilalah lafziyah dan dilalah ghairuh

lafzhiyah.46

a. Dilalah lafziyyah (penunjukkan berbentuk lafaz)

yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk

kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz,

suara dan kata, menunjukkan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada

maksud tertentu diketahui melalui tiga hal:47

a) Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukkan

kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang

diseluruh alam ini.

Umpamanya rintihan yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi

petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam

46

47
kesakitan. Dengan adanya rintihan, maka semua orang mengetahui bahwa orang

itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang kesakitan.

Penunjukan dilalah seperti ini disebut thabi‘iyyah secara lengakap bisa disebut

dilalah lafziyyah thabi‘iyyah.

b) Melalui akal maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang

dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang di dengarnya memberi

petunjuk kepada maksud tertentu.

Umpamanya, suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya

bentuk kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu.Dengan adanya suara

itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan tertentu,

meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukan secara

suara tersebut dinamakan aqliyah, secara lengkap bisa disebut dilalah lafziyyah

aqliyyah.

c) Melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud

tertentu.

Umpamanya kita mendengar ucapan binatang yang mengeong kita akan

mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu kucing. Hal ini dimungkinkan

karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan binatang yang


mengeong, itu untuk memberi istilah pada kucing. Penunjukan bentuk ini disebut

dilalah wadhi‘iyyah lafziyah.

Dilalah wadhi`yyah lafziyah sendiri terbagi menjadi 3, yaitu48

1. Mutabhiqiyyah yaitu bila istilah yang digunkan sebagai dilalah

merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur

yang harus ada pada istilah tersebut.49

2. Tadhammuniyah yaitu bila istilah yang digunakan sebagai

dilalah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam

keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu

unsur saja, namun sudah dapat menujukkan maksud yang

dituju.50

3. Iltizhamiyyah yaitu bila dilalahnya bukan arti atau istilah yang

sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim berlaku

pada istilah tersebut. Melalui penyebutan sifat yang lazim itu,

orang akan mengetahui apa yang dimaksud.51

b. Dilalah ghairu lafziyyah (dilalah bukan lafaz)

48

49

50

51
yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan

bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa diam, atau tidak

bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya

seperti raut muka seseorang mengandung maksud tertentu. 52 Dalam garis

besar Ulama Syafi`iyyah membagi dilalah menjadi 2 pembagian, yaitu dilalah

mantuq dan dilalah mafhum.

1) Dilalah Mantuq

Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu, Mantuq

sharih dan Mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu

yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:

‫“ املنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه باملطابقة او بالتضمن‬Mantuq sharih adalah makna yang

secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik

secara penuh atau berupa bagiannya”.

Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh

penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275

yang berbunyi :

ِّ ‫َأح َّل اللَّهُ الَْبْي َع َو َحَّر َم‬


‫الربا‬ َ ‫َو‬

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.


52
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih

tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba. Mantuq ghairu sharih secara

istilah adalah: ‫“ املنطوق غ ري ص ريح ه و م امل يوض ع اللف ظ له ب ل ه وال زم ملا وضع‬Mantuq ghairu sharih

adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai

konsekuensi dari suatu ucapan”. Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan

suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan

ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh

atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman

Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :

ِ ‫ود لَه ِر ْز ُقه َّن وكِسوتُه َّن بِالْمعر‬


‫وف‬ ِ
ُ ْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ُ‫َو َعلَى الْ َم ْول‬

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para

ibu dengan cara yang ma’ruf”.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan

kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di

tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu

sharih dari ayat di atas. Pembagian Mantuq Pada dasarnya mantuq ini terbagi

menjadi dua bagian yaitu:


a. Mantuq Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz dengan

muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun (kolektif) dan memiliki 2

pembagian : Iqtidha`dan Îma`,

b. Mantuq ghairu Sharih, adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz bukan

dengan muthabaqah (kesamaan) atau tadhamun (kolektif). Dan

mantuq ghairu sharih merupakan ; dilallah Isyarah.

1) Al-Iqtidha` adalah maksud dari seorang ‘Mutakallim’ yang dapat

dipahami tergantung pada kesahan perkataan atau kebenaranya

baik secara syar’i maupun secara akal atas makna yang muncul.

Sebagaimana pentaqdiran kata ‘dosa’ dalam hadits rasul " ‫رفع عن‬

‫" أمتي الخطأ والنسيان‬

2) Al-Îma` atau disebut juga tanbih adalah bergabungnya maksud

‘Mutakallim’ dalam sebuang ungkapan dengan sifat yang menjadi

illat akan hukum yang terkandung didalamnya. Sebagaimana

bergabungnya perintah tentang membebaskan budak dengan

perkaran ‘waqâ`’, dimana ‘waqâ`’ adalah illat akan kewajiban

membebaskan budak.

3) Al-Isyarah, adalah bukan yang dimaksud dari ‘Muatakallim’.

Sebagai contoh: " ‫ " وحمله وفصاله ثالثون شهرا‬dan ayat "‫وفصاله فى‬
‫ " عامين‬yang dapat dipahami dari sini bahwa hamil paling sebentar

adalah enam bulan.

2) Dilalah mafhum muwafaqah

Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan

bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak

tertulis, karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mahfum muwafaqah

karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis. Mafhum

Muwafaqah merupakan pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu

selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz manthuq, dengan kata lain makna yang

hukumnya sesuai dengan manthuq.

Menurut para ahli ushul fiqh mafhum muwafaqah adalah Penunjukkan

hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena

terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum

muwafaqah terbagi menjadi dua macam yaitu53 :

a. Fahwal khitab, yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih harus

diambil hukumnya dari pada mantuq. Misalnya pada QS Al-Isra‟

[17] : 23:

53
Al-Khin, Mushtafa Said, Asr al-Ikhtiiaffi al-Qawaid al-Ushuliyahfi Ikhtilaf alFuqaha’,
Kairo: Muassasah al-Risalah, 1969 hal 143.
Artinya “Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain

dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-

baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai

berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekalikali janganlah kamu

mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu

membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati

kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum

muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan

lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

b. Lahnul Khitab, yaitu apabila mafhum sama nilainya dengan hukum

mantuq. Misalnya pada QS An-Nisa‟ [4] : 10 :

Artinya “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,

Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam

api yang menyala-nyala (neraka)”

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan

pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain

seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menerlantarkan harta anak

yatim juga diharamkan.

3) Dilalah mafhum mukhalafah


Mafhum Mukhalafah merupakan pemahaman yang diberikan kepada

lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq,

dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum

Mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam

istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang

dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan.

a) Macam-macam mafhum mukhalafah

a. Mafhum Shifat

Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada sah satu sifatnya.

Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92

‫َو َمن َقتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ َفتَ ْح ِر ُير َر َقبَ ٍة ُّمْؤ ِمنَ ٍة‬

Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia

memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.

Ayat ini menjelaskan jika seseorang membunuh tanpa sengaja maka dia

harus memerdekakan hamba sahaya yang beriman, dan kebalikan dari ayat ini ia

tidak boleh memerdekakan seorang hamba yang tidak beriman. Karna pada ayat

hamba dififati dengan sifat yang beriman.

b. Mafhum syarat
Mafhum syarat ialah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu

sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut. 54 Atau dalam

definisi yang lebih mudah dapat di artikan: bila syarat terpenuhi maka berlaku

humum, tetapi jika syarat tidak terpenuhi maka akan berlaku hukum yang

sebaliknya. Contoh seperti firman Allah SWT

‫فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا‬

Ayat ini menjelaskan akan kebolehan mengambil harta dari mahar jika

dengan kerelaan dari sang istri, maka dalam ayat ini kerelaan adalah syarat

dibolehkanya mengambil mahar istri, dan dapat dipahami dari dari mafhum

bahwa tidak boleh mengambil mahar istri jika sang istri tidak rela maharnya di

ambil.

c. Mafhum ghayah

lafaz yang menunjukkan hukum yang terikat pada ghayah (batasan

tertentu), sehingga hukum kebalikan tetap karenaya. Lafaz ghayah ini adakalnya

”ilaa” atau “hatta”. Berikut ini contoh dari keduanya dalam firman Allah SWT

dalam surat Al-Maidah ayat 6.

ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف‬


‫ق‬ َّ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ال‬

54
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah Littiba‟ah,
1971, Cet. ke-6 Hal. 366
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka

basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku Menunjukan kewajiban

dalam berwudlu adalah membasuh tangan hingga siku.

Hukum kebalikanya bahwa wudlu tidak sah jika membasuh tanganya tidak

sampai kepada siku. Dan seperti firman Allah SWT

ْ َ‫َواَل تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّ ٰى ي‬


َ‫طهُرْ ن‬

Artinya: dan janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci.

Ayat ini menjelaskan larangan menggauli istri ketika haid, dan hukum

sebaliknya adalah kebolehan bagi suami menggauli istri jika dalam keadaan suci.

d. Mafhum ’adad

penunjukan hukum kebalikan dari sebuah hukum yang terikat oleh

bilangan tertentu seperti Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.

ً‫ني َجْل َدة‬ِ ِ َ‫ات مُثَّ مَل يْأتُوا بَِأربع ِة شه َداء ف‬


ِ َ‫والَّ ِذين يرمو َن الْمحصن‬
َ ‫وهم مَثَان‬
ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ُ ََ ْ َْ َ ْ ُ ُ َْ َ َ

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan

mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang

menuduh itu) delapan puluh kali dera.

Ayat ini menjelaskan syarat saksi harus empat orang, dan jika saksi kurang

dari empat maka persaksian tidak sah dan mendapatkan hukuman jild (cambuk)80
kali. Maka dapat dipahami dengan mafhum mukholafah bahwa jika saksi

mencapai empat orang maka hukuman tidak dapat dijatuhkan.

e. Mafhum al-Laqab

Penunjukan lafadz yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu

nama atau sebutan atas tidak berlakunya hukum tersebut untuk orang lain[12].

termasuk dilamnya tokoh, sifat, nama jenis (al-jins) dan spesies (an-nau’) [13].

Contoh tokoh (Muhammad Rasulullah), contoh sifat( ‫ل‬kk‫ني – يح‬kk‫ل الغ‬kk‫لي الواجد – مط‬

‫ ) عرضه وعقوبته‬, contoh jenis ( ‫ ) الذهب بالذهب والفضة بالفضة‬, contoh nau’ (‫) في الغنم زكاة‬.

Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi: ‫ِإ ْذ قَا َل يُو ُسفُ َأِلبِي ِه يَا‬

ِ k ‫ر َرَأ ْيتُهُ ْم ِلي َس‬k


َ‫اج ِدين‬ َ k‫س َو ْالقَ َم‬ َ ‫ َد ع‬k‫ْت َأ َح‬
َّ ‫ا َو‬kkً‫ َر َكوْ َكب‬k ‫َش‬
َ ‫ ْم‬k ‫الش‬ ُ ‫ت ِإنِّي َرَأي‬
ِ َ‫ َأب‬Artinya: (Ingatlah), ketika

Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi

melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku. Dari

ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena

tidak ada kaitannya dengan orang lain.

f. Mafhum hasr

Penyebutan hukum dengan pembatasan pada sesuatu yang ditunjukan oleh

lafadz dan memberikan hukum kebalikanya atas apa yang keluar dari batas

َّ َ‫قُل اَّل َأ ِج ُد فِي َما ُأو ِح َي ِإل‬


tersebut. firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145 ‫ي‬

‫ُأ‬ ْ َ‫ُم َح َّر ًما َعلَ ٰى طَا ِع ٍم ي‬


ِ k‫ َّل لِ َغ ْي‬k‫قًا ِه‬k‫ير فَِإنَّهُ ِرجْ سٌ َأوْ فِ ْس‬
ِ ‫ر هَّللا‬k ِ k‫ط َع ُمهُ ِإاَّل َأن يَ ُكونَ َم ْيتَةً َأوْ َد ًما َّم ْسفُوحًا َأوْ لَحْ َم ِخ‬
ٍ ‫نز‬k
‫ ِه‬k ِ‫ ب‬Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan

kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali

bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau

fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah Pada ayat ini

ada pembatasan akan makanan haram yaitu bangkai, darah yang mengalir, dan

daging babi, maka dapat dipahami dari mafhum mukholafah bahwa selain itu

adalah halal.

b) syarat mafum mukhalafah

Syarat-syarat Mafhum Mukholafah, Jumhur yang mengatakan berlakunya

mafhum mukhalafah memberikan syarat-syarat untuknya, yang secara umum

bahwa penyebutan penghususan dalam hukum harus tidak tidak memberikan

faedah lain, selain penghilangan hukum jika terdapat pengkhususan atasnya.

Berikut ini syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah:

1. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih

kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah dan hukum

yang maskut tidak disebutkan dalam dalil yang khusus

tentangnya. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S.

ٍ ‫ َواَل تَ ْقتُلُوا َأوْ اَل َد ُك ْم خَ ْشيَةَ ِإ ْماَل‬Artinya: Jangan kamu


Al-Isra’ Ayat 31) ‫ق‬

bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan Mafhumnya, kalu


bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapi mafhum

mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq yaitu: (QS. Al-

ْ kِ‫ َّر َم هَّللا ُ ِإاَّل ب‬k‫س الَّتِي َح‬


ِّ ‫ال َح‬k
Isra’ 33) ‫ق‬ َ ‫ َواَل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬Artinya: Jangan kamu

membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan

kebenaran”

2. Tidak boleh bagi qayd yang meng-qayd-kan hukum faedah

khusus selain menghalangi hukum yang tersembunyi yang

bertentangan dengan mantuq. Seperti targhib (penyemangat),

tanfir (pengasingan), tafkhim (pengagungan), ta’kid hal

(penekanan keadaan), imtinan (kenikmatan) dll. Contoh: Contoh

tanfir :" ‫ " يا أيها الذين أمنوا ال تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة‬bukan berarti

kalo tidak ‘adh’af’ tidak dilarang, tetapi dalam ayat ini

memakan riba memang tidak boleh baik sedikit atau banyak.

Contoh imtinan: " ‫ " لتاكلوا منه لحما طريا‬karena bukan berarti tidak

boleh makan daging yang tidak segar.

3. Disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.

Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23.

“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” . Dari

perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh


dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh

dikawini. Perkataan itu disebutkan, sebab memang biasanya

anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.

4. Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, jika

disebutkan secara tab’iyyah (mengikuti) maka tidak bisa

dipahami secara mafhum mukhalafah. Contohnya firman Allah

SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187. ‫َواَل تُبَا ِشرُوه َُّن َوَأنتُ ْم عَا ِكفُونَ فِي‬

‫ ْال َم َسا ِج ِد‬Artinya: Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu)

padahal kamu sedang beritikaf di mesjid Tidak dapat

dipahamkan kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri

istrinya, karena pada dasarnya i’tikaf memang diharamkan

bercampur dengan istri.

Adanya beberapa syarat ini merupakan pembatasan yang dibuat jumhur

ulama dalam menggunakan mafhum mukhalafah Dengan demikian dapat

menghindarkan terjadi kesalahan dalam memahami nash. Pembahasan tentang

mafhum mukhalfah yang banyak di perbincangkan dan menjadi tempat para

ulama pakar ushul mengerahkan pikirannya salah satunya adalah pembahasan

tentang mafhum ash-shifat.


BAB Ⅲ
Pembahasan

Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqh ialah kemampuan

seorang mujtahid dalam meng-isthinbath-kan ayat-ayatahkam dengan dalil-

dalilnya. Karena dalil-dalil itu berbahasaarab, maka kemampuan meng-isthinbat-

kan hukum sangat berpengaruh kepada penguasaan dan kemampuan pemahaman

bahasa arab. Oleh karena itu, pembahasan kaidah kebahasaan dan pemahaman

maksud bahasa sangat penting untuk diteliti, apalagi pemahaman yang bersifat

kebalikan dari makna nash yaitu yang dikenal dengan mafhum al-mukhalafah,

para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan mafhum al-

mukhalafah yang berjenis mafhum al-sifatserta definisi yang berbeda juga di

kalangan para pakar ushul fiqh.

Dalam bab ini penulis ingin membahas tentang konsep mafhum al-sifatdan

kehujjahannya beserta bagaimana ulama pakar ushul mengaplikasikannya ke

dalam fiqh.

A. Pengertian mafhum ash-shifat

Mafhum sifat ( ‫ )اﻟﺼﻔﺔ ﻣﻔﻬﻮم‬Mafhum sifat Ialah menetapkan hukum dalam

bunyi (manthuq) suatu nash yang dibatasi (qayd) dengan sifat yang terdapat dalam

lafaz, dan jika sifat tersebut telah hilang, maka terjadilah kebalikan hukum

tersebut.55 Dengan bahasa lain mafhum sifat ialah suatu lafaz yang menggunakan

suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan

bila sifat tersebut tidak ada. Atau dengan arti sederhana selama ada sifat, maka

55
Zaidan, Abdul Karim, Al-Wajizfi, Ushu al-Fiqh, Baghdad: Dar alArabiayah Littiba‟ah,
1971, Cet. ke-6 Hal. 366
berlaku hukum pada lafaz itu. Tetapi bila sifat tersebut tidak ada, maka berlakulah

hukum yang sebaliknya.Atau adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan

suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut.

B. Jenis- jenis mafhum ash-shifat56 :

1. Mustaq dalam ayat. Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:

ِ ٍ ‫ﺠِﺑ‬ ِ ِ ِ َّ
‫ﻦﻴ‬ ْ ُ‫ﻳﻦ َﺁﻣﻨُﻮﺍ ﺇِﻥْ َﺟﺎﺀَ ُﻛ ْﻢ ﻓَﺎﺳ ٌﻖ ﺑِﻨَﺒٍَﺈ َﻓﺘََﺒَّﻴﻨُﻮﺍ ﺃَﻥْ ﺗُﺼﻴﺒُﻮﺍ َﻗ ْﻮ ًﻣﺎ َ َﻬﺎﻟَﺔ َﻓﺘ‬
َ ‫ﺼﺒِ ُﺤﻮﺍ َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ َﻓ َﻌْﻠﺘُ ْﻢ ﻧَﺎﺩِﻣ‬ َ ‫“ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّ َﻬﺎ ﺍﻟﺬ‬

Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah

kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal

atas perbuatanmu itu.”

Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib

ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang

adil wajib diterima.

2. Hal (keterangan keadaan) Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:

‫َّﻌﻢ ﺤَﻳْ ُﻜ ُﻢ ﺑِِﻪ ﺫَﻭَﺍ َﻋ ْﺪﻝٍ ِﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ِ ِ ِ َّ


َ ‫ﺍﻟﺼْﻴ َﺪ ﻭَﺃَ ْﻧﺘُ ْﻢ ُﺣ ُﺮﻡٌ ﻭ ََﻣ ْﻦ َﻗَﺘﻠَﻪُ ﻣْﻨ ُﻜ ْﻢ ُﻣَﺘ َﻌ ِّﻤ ًﺪﺍ ﻓَ َﺠَﺰﺍﺀٌ ﻣﺜْ ُﻞ َﻣﺎ َﻗﺘَ َﻞ ﻣ َﻦ ﺍﻟﻨ‬
َّ ‫ﻳﻦ َﺁﻣﻨُﻮﺍ ﻻ َﺗ ْﻘُﺘﻠُﻮﺍ‬
َ ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳُّ َﻬﺎ ﺍﻟﺬ‬

ِ ِ ِ ِ ِ‫ﻫ ْﺪﻳﺎ ﺑﺎﻟِﻎ ﺍﻟْ َﻜﻌﺒ ِﺔ ﺃَﻭْ َﻛﻔَّﺎﺭَﺓٌ ﻃَﻌﺎﻡُ ﻣﺴﺎﻛِﻦﻴ ﺃَﻭْ ﻋ ْﺪﻝُ ﺫَﻟ‬
َ َ‫ﻚ ﺻﻴَ ًﺎﻣﺎ ﻟﻴَ ُﺬﻭﻕَ ﻭَﺑَﺎﻝَ ﺃ َْﻣ ِﺮ ِﻩ َﻋ َﻔﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ َﻋ َّﻤﺎ َﺳﻠ‬
ُ‫ﻒ ﻭ ََﻣ ْﻦ َﻋﺎﺩَ َﻓَﻴْﻨﺘَﻘ ُﻢ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣْﻨﻪ‬ َ َ َ ََ َ َْ َ َ ً َ

ٍ‫ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ َﻋ ِﺰ ٌﻳﺰ ﺫُﻭ ﺍﻧْﺘِ َﻘﺎﻡ‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika
kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja,

maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan

yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-

yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan

56
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta :
Pustaka Amani, 2003.h. 76
memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan

yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah

telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali

mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi

mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”

Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya

karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar

denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.

3. ‘Adad (bilangan) Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:

َّ‫ﺚ ﻭَﻻ ﻓُ ُﺴﻮﻕَ ﻭَﻻ ِﺟ َﺪﺍﻝَ ﻲِﻓ ﺍﺤْﻟَ ِّﺞ ﻭ ََﻣﺎ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮ ِﻣ ْﻦ ﺧَﺮْﻴٍ َﻳ ْﻌﻠَ ْﻤﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭََﺗَﺰﻭَّﺩُﻭﺍ ﻓَِﺈﻥ‬ ِ
َ َ‫ﻮﻣﺎﺕٌ ﻓَ َﻤ ْﻦ َﻓَﺮﺽَ ﻓﻴ ِﻬ َّﻦ ﺍﺤْﻟَ َّﺞ ﻓَﻼ ﺭَﻓ‬
َ ُ‫ﺍﺤْﻟَ ُّﺞ ﺃَ ْﺷ ُﻬٌﺮ َﻣ ْﻌﻠ‬

ِ‫َﺍﺗ ُﻘﻮﻥِ ﻳَﺎ ﺃُﻭﻲِﻟ ﺍﻷﻟْﺒَﺎﺏ‬


َّ ‫ﺍﻟﺘ ْﻘ َﻮﻯ ﻭ‬
َّ ِ‫ﺍﻟﺰﺍﺩ‬
َّ ‫َﺧْﻴَﺮ‬

Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat

fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu

kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan

sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-

orang yang berakal.”

Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak sah.

C. Syarat mafhum ash-shifat

Mafhum al-sifatmemiliki syarat-syarat tersendiri selain syarat yang

terdapat pada mafhum al-mukhalafah, antara lain :

1. Tidak nampak lebih utama pada hukum yang disebutkan (madzkur) dan

tidak sama pada hukum dari pada maskut`anhu

2. Tidak menimbulkan faedah ghalib, jika timbul faedah ghalib maka tidak di
`iktibar mafhumnya

3. Tidak timbul faedah tafkhim

4. Bukan merupakan jawaban dari pertanyaan, jika merupakan jawaban maka

tidak dapat di ambil mafhumnya

5. Lafaz mantuq tidak disebutkan untuk menyatakan ziyadah imtinan (nikmat

atau rasa syukur)

6. Lafaz mantuq bukan menjadi jawaban atas hukum yang terjadi

7. Lafaz mantuq bukan menjadi pernyataan atau jawaban atas ketidaktahuan

lawan bicara akan mantuq bukan ketidaktahuan atas maskut`anhu, seperti

lawan bica mengetahui hukum ma`lufah dan ridakmengetahui hukum

saiimah

8. Lafaz mantuq tidak disebutkan untuk menghilangkan rasa takut

9. Lafaz mantuq tidak diqaitkan hukumnya kepada sifat yang ghairu maksudah

10. Lafaz mantuq tidak bersifat umum

D. Ihktilaf ulama ushul fiqh

1. Pengertian mafhum ash-shifat

Pakar ulama ushul memiliki pandangan yang berbeda tentang pengertian

dari mafhum ash-sifat, antara lain :

a. Al-alamah asy-syaikh taqiyuddin an-nabahani di dalam asy-syakhshiyyah

al-islamiyyah juz 3 menjelaskan, mafhum al-sifatadalah pengkaitan

hukum dengan zat (sesuatu), maka itu menunjukkan penafian atau

ketiadaan hukum dari zat ketika shifat itu tidak ada.


b. Imam asy-syawkani di dalam kitab irsyad al-fuhul, mafhum al-sifat

adalah pengkaitan hukum dengan salah satu zat. Dan imam as-syawkani

juga menjelaskan,begitulah menurut ahlu al-bayan. Al-sifatmenurut

mereka secara maknawi bukan an-na`tu sedangkan yang mengkhususkan

shifat hanya an-na`tu adalah ahli nahwu saja.

c. Imam badruddin az-zarkasyi di dalam kitab bahru al-muhith fi `ilmi

ushul al-fiqh mengatakan, yang dimaksud al-sifatmenurut para ulama

ushul adalah pembatasan lafaz yang musytarak makan atau lafaz yang

mencakup banyak makna dengan lafaz lain yang dikhususkan

(mukhthashsin) bukan dengan syarat dan bukan dengan ghayah, dan yang

mereka maksud nukan hanya an-na`tu saja seperti para ahli nahwu. Hal

ini dibuktikan dengan pemisalan merekadengan contoh sabda rasul SAW,

“mathul al-ghaniyyi zhulmun”. Padahal pembatasannya tidak lain dengan

idhafah saja dan mereka menjadikannya sebagai sifat.

2. Metedologi aplikasi

Dalam ikhtilaf yang terjadi antara pakar ushul dalam konteks mafhum ahs-

shifat berpengaruh dalam menangani atau menjawab masalah-masalah fiqih

melalui nash al-qu`an dan hadis, baik menjadikan mafhum al-sifatsebagai hujjah

ataupun tidak dapat di ambil iktibar kehujjahan mafhum al-sifatke dalam fiqh

1) hadis riwayat ibnu abbas

Maka hadis diatas memiliki pemahaman tersurat(mantuq), yaitu anak

perempuan yang sudah pernah menikah(janda) tidak boleh dipaksa untuk


menikahinya dan apabila dipaksa maka hukum nikahnya batal kecuali dengan

persetujuannya, dan pemahaman tersurat(mafhum) bahwa sungguh ayah atau wali

bagi anak perempuan yang perawan boleh memaksa untuk menikahinya bila

sudah sampai baligh. Pendapat yang kuat menurut imam syafi`I boleh bagi ayah

atau wali dari anak perempuan yang perawan dan sampai baligh untuk

menikahinya. Dan sebab ikhtilaf dari sisi kehujjahan mafuhum.

2) Hadis riwayat umar bin azam

Maka dalam hadis memiliki mantuq yaitu diyat orang mukmin seratus

unta, dan mafhum darihadis seseorang yang tidak mukmin diyatnya tidak seratus

karna meninjau dari sisi mafhum ash-shifat. Maka jumhur ulama yang beramal

dengan mafhum sal-sifatmemahami seseorang yang bukan mukmin diyatnya

sebalik dari lafaz yang tertera akan tetapiimam syafi`I mengatakan bahwa

diyatnya sepertiga dari diyat orang muslim.

3) Hadist riwayat

Hadist yang menjelaskan wajibnya zakat terhadap kambing as-saimah.

Dan secara mafhu mukhalafah ash-shifatnya tidak ada kewajiban zakat terhadap

kambing yang ma’lufah (diberi makan). Hal ini karena tidak ada sifat yang

digembalakan secara bebas (sa’um) yang menjadi qayid wajibnya zakat menurut

mantuqnya.Yang dimaksud sifat disini adalah mutlaq sifat.

E. Kehujjahan mafhum ash-shifat


‫‪Para ulama pakar ushul secara umum memiliki beberapa pandangan‬‬

‫‪tentang mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum ke‬‬

‫‪dalam 4 pendapat :‬‬

‫‪1. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah, dalam arti ternafi hukum atau‬‬

‫‪ketiaadaan hukum tanpa adanya sifat tersebut. Pendapat ini di adalah‬‬

‫‪pendapat dari imam malik57, imam syafi`I58, imam ahmad bin hambal59, abu‬‬

‫‪hasan asy`ary.60‬‬

‫‪2. Mafhum al-sifattidak dapat dijadikan hujjah, pendapat ini dilandasi oleh abu‬‬

‫‪hanifah dan sahabatnya61, dzahiriyyah62, ibnu hajib63, dan al-baji64 dari‬‬

‫‪kalangan malikiyyah dan dari kalangan syafi`iyyah seperti imam al-ghazali65‬‬

‫‪dan kebanyakan kaum mu`tazilah.66‬‬

‫‪3. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah dengan syarat jika sesuai antara sifat‬‬

‫‪dengan mausuf pada satu hukum, pendapat ini merupakan landasan dari‬‬

‫‪imam al-haramain al-juaini.67‬‬

‫‪57‬‬
‫أبو بكر بن العربي‪ ،‬المحصول في أصول الفقه‪ ،( ١٠٤) ١/ ،‬وفي كتابه أحكام القرآن اعتبره أصالً من أصول المالكية‪،‬‬
‫انظر‪ :‬أبو بكر ابن العربي‪ ،‬أحكام القرآن‪ ، (٣٩٢) ١/ ،‬وأبو عبد اهللا القرطبي‪ ،‬الجامع ألحكام القرآن‪( ١٤٠) ٥/ ،‬و‪ ،‬اآلمدي‪،‬‬
‫اإلحكام في أصول ‪، /٣) ٨٩ (.‬األحك‬
‫‪58‬‬
‫إلمام الشافعي محمد بن إدريس المطلبي‪ ،‬األم‪ ،‬و‪) ٥/٢) ،‬الشيرازي‪ ،‬التبصرة في أصول الفقه‪(، ٢٢٣) ١/ ،‬والجويني‪،‬‬
‫البرهان في أصول الفقه‪(، ٣٠٩) ١/ ،‬والسبكي‪ ،‬اإلبهاج في شرح المنهاج‪(، ٣٧١) ١/ ،‬واإلسنوي‪ ،‬التمهيد‪ E‬في تنزيل الفروع‬
‫‪/‬على األصول‪١) ٢٤٥ (. ،‬‬
‫‪59‬‬
‫ابن قدامة المقدسي‪ ،‬روضة الناظر وجنة المناظر‪(، ٢٦٤) ١/ ،‬وابن مفلح‪ ،‬أصول الفقه‪(، ١٠٦٩) ٣/ ،‬والبعلي‪ ،‬القواعد‬
‫والفوائد األصولية‪(، ٢٨٧) ١/ ،‬والمرداوي‪ ،‬التحبير شرح التحرير‪(، ٢٩٠٦) ٦/ ،‬وابن النجار‪ ،‬شرح الكوكب المنير‪) ٣/ ،‬‬
‫(‪٥٠٠.‬‬
‫‪60‬‬
‫نقله عنه الغزالي‪ ،‬المستصفى في علم األصول‪(. ٢٦٥) ١/ ،‬وانظر‪ :‬السبكي‪ ،‬اإلبهاج في شرح المنهاج‪٣٥٦) ١/ ،‬‬
‫‪61‬‬
‫الجصاص‪ ،‬الفصول في األصول‪(، ٢٩١) ١/ ،‬والرازي‪ ،‬المحصول في علم األصول‪(، ٢٢٨) ٢/ ،‬والبابرتي‪ ،‬التقرير‬
‫(‪ .‬ألصول فخر اإلسالم البزدوي‪٣٨٣) ٣/ ،‬‬
‫‪62‬‬
‫(‪ .‬ابن حزم‪ ،‬اإلحكام في أصول األحكام‪( )٣٢٣) ٧/ ،‬‬
‫‪63‬‬
‫(‪.‬شمس الدين األصفهاني‪ ،‬بيان المختصر شرح مختصر ابن الحاجب ‪٦٢٩)، ٢/‬‬
‫‪64‬‬
‫(‪.‬بو الوليد الباجي‪ ،‬أحكام الفصول في أحكام األصول‪( ،‬ص‪٤٤٦‬‬
‫‪65‬‬
‫الغزالي‪ ،‬المستصفى في علم األصول‪(، ٢٦٥) ١/ ،‬لكنه في كتابه (المنخول)‪ E‬عاد فوافق جمهور الشافعية على األخذ بمفهوم )‬
‫‪ .‬المخالفة‪ .‬الغزالي‪ ،‬المنخول من تعليقات‪ E‬األصول‪( ،‬ص‪٢١٦‬‬
‫‪66‬‬
‫(‪.‬نقله عنهم اآلمدي‪ ،‬اإلحكام في أصول األحكام‪٧٢) ٣/ ،‬‬
‫‪67‬‬
‫‪.‬الجويني‪ ،‬البرهان في أصول الفقه‪)١٧٤) ١/ ،‬‬
4. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah pada beberapa tempat, yaitu saat

menjadi jawaban, saat memberikan pembelajaran dan pada sesuatu yang

yang dapat dicakup oleh sifat, pendapat yang dikemukakan oleh abu

abdullah al bashry dari kalangan mu`tazilah.68

Kehujjahan mafhum al-mukhalafah mafhum al-sifatmenjadi pendapat

imam al-syafi’i, malik, ahmad, mayoritas fuqaha dan ahlu azh-zhahir. Mereka

berpendapat bahwa pengkhususan sesuatu dengan suatu shifat menunjukan

penafiannya atau ketiadaan dari apa yang selain dari padanya.

Imam asy-sayfi`I berkata, “yang logis dalam lisan al-arab bahwa sesuatu

jika memiliki dua sifat, lalu salah satunya disifati dengan sifat tertentu maka sifat

yang satunya lagi berlawanan dengan sifat yang tidak disifati. Hanya saja sifat itu

harus merupakan washfun mufhimmun atau dala istilah imam al-haramain shifat

munasib. Artinya sifat yang penyebutannya dalam ucapan itu memberi faedah,

jikatidak memiliki washfun mufhimun maka tidak memiliki mafhum.

Imam al-haramain al-juwaini mengatakan, karna setiap sifat yang darinya

tidak dipahami munasabatu al-hukmi maka yang disifati dengannya tidak

memiliki mafhum mukhalafahnya. Dan jika shifat itu tidak memiliki munasib

(kesesuaian) dengan hukum itu, maka hukum itu tidak dikhususkan dengan sifat

itu dan karenanya tidak menafikan hukum pada sesuatu yang tidak ada shifat

tersebut. Jadi mafhum mukhalafah al-sifatbisa diamalkan dan dijadikan hujjah,

jika shifat itu haruslah washfun muhimun atau washfun munasib. Jika bukan,maka

mafhum mukhalafahnya tidak bisa diamalkan.

68
٢٨٨) ١/ ،‫ في أصول الفقه‬E‫ المعتمد‬،‫ابن الطيب البصري‬.(
Mafhum mukhalafah selain mafhum laqab adalah bisa dijadikan hujjah

dan wajib melaksanakanya atas dasar tersebut. Jika suatu nash menyebutkan

pembatasan akan hukum tertentu maka berlaku ketetapan hukum kebalikanya.

F. Dalil mafhum ash-shifat

Dalil bahwa mafhum al-sifatdapat diamalkan dan dijadikan hujjah

diantaranya :

a) Dalil Naqli

‫ صلى ااهلل عليه‬- ‫ قال رسول ااهلل‬:‫ أنه قال‬-‫رضي ااهلل عنه‬- ‫ما جاء يف صحيح مسلم عن عبد ااهلل بن الصامت عن أيب ذر‬

،‫ فإذا مل يكن بني يديه مثل آخرة الرحل‬،‫ إذا قام أحدكم يصلي فإنه يسرته إذا كان بني يديه مثل آخرة الرحل‬:« -‫وسلم‬

‫ يا أبا ذر ما بال الكلب األسود من‬:-‫ عبد ااهلل بن الصامت‬:‫أي‬- ‫قلت‬


ُ . »‫فإنه يقطع صالته احلمار واملرأة والكلب األسود‬

:« ‫ كما سألتين فقال‬-‫ )ااهلل عليه وسلم‬٢) ‫صلى‬- ‫سألت رسول ااهلل‬
ُ ‫ يا ابن أخي‬:‫الكلب األمحر من الكلب األصفر؟ قال‬

‫الكلب األسود شيطان‬69»

Artinya :

Dari hadis tersebut dapat dipahami sahabat mengkaitkan sesuatu dengan

sifat hitam dan menafikan sesuatu yang selain bersifat dengan hitam dan nabi

mengiqrarnya.

b) Dalil Aqli

Bahwa nash-nash yang terdapat didalamnya batasan atau syarat atau

ghoyah, tidak disebutkan secara sia-sia, tetapi pasti akan ada faedahnya, karena

69
)١) ٣٦٥(. ٢٦٥ :‫ حديث رقم‬،‫ قدر ما يستر المصلي‬:‫ باب‬،‫ الصالة‬:‫ كتاب‬،‫ صحيح مسلم‬،‫مسلم‬
jika mencari faedahnya kita tidak ada faedahnya kecuali dengan menggunakan

pengkhususan dalam hukum tersebut, dan menghindarkan kebalikan hukum

tersebut, karena jika tidak akan sia-sia. Dalam ayat Alquran:

" ‫" يا أيها الذين أمنوا ال تقتلواالصيد وأنتم حرم‬

bahwa dalam ini diwajibkan hukuman hanya bagi yang membunuh hewan

dengan sengaja, dan tidak berlaku hukuman bagi yang tidak sengaja. Dan seperti

hadis tentang hewan ternak, jika hewan ternak yang digembala dan yang dikasih

makan sama hukum nya pada wajib zakat, maka manakala hadis mengkaitkan

hukum wajib zakat dengan sifat ma`lufah akan sia-sia pengkaitan tersebut dan itu

mustahil, karna semua yang nabi lakukan maupun katakan pasti ada faedahnya.
BAB Ⅳ

Setelah penulis mengiringi beberapa pendapat tentang pengertian mafhum

ash-shifat, kehujjahhan mafhum al-sifatdan bagaimana para pakar ushul fiqh

mengaplikasikan mafhum al-sifatke dalam fiqh dapat dipahami ketika ketiadaan

sifat maka ketiadaan hukum dan mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah dalam

mazhab al-syafi’i.

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengurai dan membahas beberapa hal yang berkaitan

dengan mafhum al-sifatmaka sebagaimana disetiap awal memiliki akhir, oleh

karna itu dengan kajian ini dapat penulis dapat mengambil titik terang berupa

kesimpulan yaitu :

1. Pendapat kuat tentang mafhum al-sifatadalah pengkaitan hukum dengan

sifat yang khusus, maka dapat dipahami mengambil hukum yang sebalik

dari hukum daripadanya

2. Maksud dari sifat dalam pembahasan ushul fiqh adalah mengkaitkan

lafaz yang yang memilikimakna musytarak dangan lafaz yang lain yang

terkhusus dengan sebagian maknanya bukan dengan syarat dan ghayah

3. Mafhum al-sifatdapat dijadikan hujjah, maka dapat dipahami ketiadaan

hukum jika tidak adanya sifat

4. Mafhum al-sifatmemiliki syarat lebih khusus dari pada syarat yang

terdapat pada mafhum mukhalafah, sebagian syarat kembali pada

marfhum dan sebagian syarat kembali kepada mantuq


B. Saran-saran

Adapun saran yang ingin penulis sampaikan melalui kajian ini adalah

sebagai berikut :

1. Diharapkan agar hasil kajian ini menjadi penambahan referensi bagi para

peneliti dalam kajian ushul fiqh selanjutnya dalam hal mengembangkan

ilmu pengetahuan, khususnya bagi yang ingin mengkaji lebih dalam

tentang konsep mafhum mukhalafah ash-shifat.

2. Penulis juga berharap agar lebih banyak yang meneliti permasalahan

yang menyangkut dengan konsep mafhum mukhalafah al-sifatdan

menerapkannya pada kasus kontemporer.

Anda mungkin juga menyukai