Anda di halaman 1dari 21

1

AL-NAHYU YUFI<DU AL-TAHRI<M


Oleh : Abdurahim Riduang
I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi keharusan bagi seorang ahli hukum (faqih),
untuk mengetahui prosedur penggalian hukum dari nash. Untuk
kepentingan itu, ilmu Ushul al-Fiqh telah menetapkan
metodologinya. Cara pengambilan hukum dari nash, ada dua macam
pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan makna dan
pendekatan lafal.1
Pendekatan makna adalah penarikan kesimpulan bukan
kepada nash langsung, seperti penggunaan qiyas, istihsan,
mashlahat, dan sebagainya. Sedangkan pendekatan lafal nash,
penerapannya membutuhkan beberapa faktor pendukung yang
sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna dari lafal
(pengertian yang ditunjuk oleh lafal) ataukah mengetahui dala>lahnya yang menggunakan pendekatan mafhum yang diambil dari
konteks kalimat, mengerti batasan-batasan yang membatasi ibaratibarat nash. Pengertian yang dapat dipahami dari lafal nash,
apakah berdasarkan ibarat nash atau isyarat nash, dan sebagainya.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa tidak ada satupun
mujtahid yang berijtihad tanpa dasar pada lafal, namun mereka
berbeda dalam nash sampai di mana pendekatan ijtihadnya pada
lafal tersebut. Persoalan apapun yang muncul dalam kehidupan
1

Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus,


1997), h. 166.

manusia, tidak diberi nilai syariat tanpa mengaitkan dengan lafal,


minimal dikaitkan dengan arti majazi dan arti subtansi dari lafal
itu, meskipun sudah jauh dari arti suatu lafal.2
Memahami dala>lah lafal nash merupakan suatu hal yang
sangat penting ketika melakukan istinbath hukum, sebab tanpa
memahami dala>lah lafal nash, siapapun tidak akan pernah
mencapai maksud yang sesungguhnya.
1 syariy) atau perundangBahwasanya dala>lah (nash
undangan, terkadang menunjukkan beberapa makna yang sangat
beragam melalui cara dala>lah tersebut. Dala>lah nash tersebut
tidak terbatas pada makna yang dipahami dari ibaratnya dan
huruf-hurufnya. Akan tetapi, terkadang pula ia menunjukkan
berbagai makna yang dipahami dari isyaratnya, dari dala>lahnya
dan dari iqtidhanya.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai cara
penunjukan lafal atas hukum yang terkandung pada nash menurut
Ulama Hanafiyah yakni iba>rat al-nash, isya>rat al-nash,
dala>lat al-nash dan dala>lat al-iqtidha>.
II. PEMBAHASAN
Secara kebahasaan, kata dala>lah mempunyai pengertian:


(dala>lah adalah sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atau

Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Ujungpandang: Yayasan Ahkam,


t.th.), h. 204.

alasan). 3
Sedangkan secara terminologi berarti cara penunjukan
suatu lafaz atas maknanya (

) .

Kedua pengertian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan


dala>lah, hubungannya dengan upaya pemahaman nash adalah suatu petunjuk
lafaz kepada pengertian yang bisa dipahami oleh nash itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam melakukan istinbath hukum, tidak mungkin dapat
dilakukan kecuali setelah memahami lafaz nash dan dala>lah-nya. Sehingga
kalangan ulama ushul dalam upaya pemahaman hukum dalam nash, menjadi
perhatian utama untuk melihat bagaimana petunjuk sesuatu lafaz nash tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam
mengetahui seseuatu, dala>lah itu ada dua macam, yaitu dala>lah
lafzhiyah dan dala>lah ghairuh lafzhiyah. Dala>lah lafzhiyah
(penunjukan berbentuk lafaz) yaitu dala>lah dengan dalil yang
digunakan untuk memberikan petunjuk kepada sesuatu dalam
bentuk lafaz, suara atau kata, sedangkan dala>lah ghairuh lafzhiyah
atau dala>lah bukan lafaz, yaitu dalil yang digunakan bukan dalam
bentuk suara, bukan lafaz dan bukan dalam bentuk kata.5
Ulama Hanafiyah membagi dala>lah lafzhiyah kepada 4
(empat) macam, yakni :
3

Luwis Maluf, al-Munjid (Cet. XXV; Bairut: Dar al-Masyriq, 1960), h.

220.
4

Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Tarifat (Singapura: Jeddah al-Haramain,


t.th.), h. 104.
5

Lihat, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, (Cet. IV; Jakarta :
Kencana, 2008) h. 126-128.

1. Iba>rat al-Nash
Ulama ushul al-fiqh mendefinisikan Iba>rat al-Nash secara
beragam. Namun beberapa defenisi yang dikemukan oleh para
ulama, pada dasarnya iba>rat al-nash merupakan upaya
memahami makna dari lafadz. Oleh karena itu, iba>rat al-nash
disebut juga dengan istilah dala>lah al-nash.6 Defenisi-defenisi
tentang iba>rat al-nash yang dikemukakan oleh para ulama,
antara lain sebagai berikut :
a. Menurut Abu Zahrah bahwa iba>rat al-nash atau Dala>lat
al-ibarat :



.
7

Dala>lat al-ibarat adalah makna yang dapat dipahami dari


lafaz, baik itu lafaz al-zhahir atau lafzh al-nash, atau baik lafaz
muhkam atau bukan muhkam.
b. Menurut Syekh al-Khudlary bahwa iba>rat al-nash :



Iba>rat al-nash itu lafaz dan artinya adalah petunjuk lafaz atas
makna yang dimaksudkan; baik yang dimaksudkan itu makna
asli atau bukan asli.8
c. Menurut Abd al-Wahhab Khallaf bahwa iba>rat al-nash
6

Lihat, Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Cet. I; Jakarata : Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 130.

35.

Muhammad Abu> Zahrah : Ushu>l al-Fiqh (Cairo : Dar al-Fikr al-Araby, 1957), h. 139.

Khairul Uman, Ushul al-Fiqh II (Cet. II; Bandung : Pustaka Setia, 2001), h.

adalah :



.
Dala>lat iba>rat (ungkapan) ialah petunjuk dari bentuk
makna yang cepat dapat dipahami dari padanya, serta
dimaksudkan oleh susunan lafaznya. Baik susunan lafaz itu
dimaksudkan untuk makna asli atau karena makna yang
mengikutinya (bukan makna asli).9
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya
iba>rat al-nash mempunyai kriteria sebagai berikut :
1. Mengandung lafaz yang tersusun dari dua makna maksud
hukum; maksud hukum asli (hukum yang mula-mula dipakai)
dan maksud hukum bukan asli (tabaiy = ikutan).
2. Mengandung makna yang segera dapat dipahami dari susunan
lafaznya.
3. Diantara lafaznya mengandung lafaz al-zhahir, lafaz al-nash,
lafaz al-muhkam atau lafaz ghayr al-muhkam.
Dalam konteks tersebut, dipahami pula bahwa yang
dimaksud dengan iba>rat al-nash adalah sighatnya yang terdiri
dari berbagai satuan kata (mufradat) dan kalimat. Sedangkan
yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari iba>rat nash
adalah makna yang dapat dipahami dari sighat itu sendiri, dalam
hal ini adalah susunan kalimatnya.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, contoh lafadz ibarat
9

Lihat, Abd. Wahaf Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, alih bahasa oleh Moh.
Zuhri (Cet. I; Semarang : Toha Putra, 1994), h. 212.

al-nash dapat dilihat dalam firman Allah QS. al-Nisa (4) ayat 3,
yang berbunyi :











...




Terjemahnya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja.10
Dengan memperhatikan iba>rat al-nash (apa yang tersurat
dalam nash) tersebut, dapat diperoleh 3 pengertian, yakni :
1. Diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi
2. Membatasi jumlah isteri sampai empat orang saja dan
3. Wajib hanya mengawini seorang wanita saja jika dikhawatirkan
berbuat khianat lantaran mengawini banyak wanita. 11
Semua pengertian tersebut ditunjuk oleh lafaz nash secara
jelas dan seluruh pengertian itu dimaksudkan oleh syiaqul kalam.
Akan tetapi, pengertian yang pertama bukan merupakan maksud
yang ashli, sedang pengertian yang kedua dan ketiga merupakan
maksud yang ashli. Sebab ayat tersebut dikemukakan kepada
orang-orang yang khawatir berkhianat terhadap hak milik wanitawanita yatim, sehingga harus dialihkan dari beristeri yang tiada
terbatas kepada terbatas yakni dua, tiga atau empat orang saja.
Inilah maksud yang ashli dari siyaqul kalam, kemudian maksud
10

Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan


Penyelenggara dan Penerjemah/Penafsiran al-Quran, 1971), h. 115.
11

Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami (Cet.IV; Bandung : PT. Al-Maarif, 1997), h.296.

yang tidak ashli (tabii) ialah tentang bolehnya mengawini yang


disenangi.12
2. Isya>rat al-Nash
Berbeda dengan iba>rat al-nash, isya>rat al-nash adalah
makna yang tidak segera dipahami dari lafaz-lafaznya dan tidak
pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi makna yang
dipahami dari isya>rat al-nash adalah makna yang lazim bagi
makna yang segera dapat dipahami dari lafaznya. itu artinya bahwa
memahami makna yang ditunjuk oleh lafaz melalui cara iltizam.
Oleh karena kelazimannya terkadang jelas dan terkadang
tersembunyi (baca; tidak jelas), maka sesuatu yang diisyaratkan
oleh nash kadangkala pemahamannya membutuhkan penalaran
yang mendetail dan pemikiran yang sistematis.13 Dengan demikian,
isya>rat al-nash adalah dala>lah nash terhadap makna yang lazim
bagi sesuatu yang dipahami dari ibaratnya. Dalam hal ini tidak
dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi pemahamannya
membutuhkan kontemplasi pemikiran atau analisis sistematis.
Dalam kaitan tersebut, berbagai defenisi Isya>rat al-nash
telah banyak dikemukakan oleh para ulama ushul fikih, antara
laian sebagai berikut :
a. Menurut Abd al-Wahab Khallaf :


12

Ibid, Lihat pula Dr. Mohammad Hashim Kamali, Principle of Islamic


Jurisprudence (The Islamic Texts Society) Diterjemahkan oleh Noorhaidi, S.Ag.
dengan judul Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Us{ul Al-Fiqh) (Cet. I;
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 160-161.
13

Lihat, Abd. Wahab Khallaf, op.cit., h. 214.


.
14

Dalalat al-isya@rat adalah petunjuk nash atau makna yang


lazim (tetap) yang dapat dipahami dari ungkapannya serta tidak
dimaksudkan oleh susunan lafaznya dan untuk memahami
(makna)-nya diperlukan pemikiran sedalam-alamnya atau
pemikiran yang sederhana, menurut terang dan tidaknya dari
segi ketetapannya.
b. Menurut Syekh al-Khudlairy :

.
Isya>rat al-nash adalah petunjui nash atau makna yang tidak
dimaksudkan oleh lafaznya menurut makna aslinya.15
c.

Menurut Zakiya al-Din Syaban :



.
Isya>rat al-nash adalah petunjuk lafaz atas hukum yang tidak
dimaksudkan baik oleh makna asli maupun makna tabiiy (bukan
asli). Akan tetapi hukum itu tetap ada bagi makna yang tersusun
(dalam) susunan lafaz untuk keperluannya, dan tidak dapat
diketahui atas makna hukum itu suatu kebenaran dan
keshahihan susunan lafaz menurut syara. 16
d. Menurut Abu Zahrah :



.
17

14

Lihat, Wahbah al-Zuhaeli, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh (Dimasyqy : alMathbaah al-Ilmiah, 1969), 324.
15

Lihat, A. Djazuli, Ushul al-Fiqh : Metodologi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta :


Raja Grafindo Persada, 2000), h. 285.
16

Lihat, Ibid.

17

Muhammad Abu> Zahrah op.cit, h. 140.

Isya>rat al-nash adalah suatu makna yang ditunjuki oleh lafaz


bukan dari segi ibaratnya. Akan tetapi ia muncul sebagai natijat
(konklusit) dari ibarat ini ia dapat dipahami dari susunan
kalimat, tetapi tidak memberikan faedah dari zat (hakikat makna
yang tersurat didalam) ibaratnya.
Dengan demikian, isya>rat al-nash pada dasarnya
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mengandung makna (hukum) tetap yang tidak dimaksudkan
baik oleh makna asli maupun makna tabaiy dalam susunan
lafaznya.
2. Dalam memahaminya kadang-kadang diperlukan pemikiran
sedalam-dalamnya atau pemikiran yang sederhana mungkin.
3. Kebenaran dan keshasihan makna (hukum) dari isya>rat alnash ini tidak dapat diketahui dalam tuntutan syara.
Kaitannya dengan isya>rat al-nash, sebagai contoh dapat
dilihat dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 233 yang berbunyi :








Terjemahnya : dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf.18
Makna iba>rat nash yang tersurat dari ayat tersebut adalah
bahwa memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu yang
menyusui adalah wajib bagi seorang ayah. Karena demikianlah
makna yang bapat diambil dengan segera dari lafaz tersebut dan
memang dimaksudkan oleh siyaqul kalam. Adapun makna
isya>rat nashnya (yang tersirat) antara lain :

18

Departemen Agama RI, op.cit, h. 57.

10

1.

Seorang ayah tidak dapat disertai orang lain dalam


menjalankan kewajibannya memberi nafkah kepada anakanaknya, lantaran anak itu putranya sendiri bukan putra orang
lain.

2. Sekalipun seorang ayah dalam keadaan melarat, sedang ibunya


dalam keadaan mampu misalnya, maka putra tersebut tetap
menjadi tanggungannya.
3. Ayah dalam keadaan yang sangat memerlukan, boleh
mengambil harta anaknya sekedar menutup kebutuhannya,
tanpa menggantinya. Karena ia adalah anaknya dan harta
anaknya termasuk hartanya juga.
Pengertian-pengertian yang demikian ini diistinbathkan dari
isya>rat nash. Yaitu dari huruf lam pada lafaz lahu yang
mengandung pengertian bahwa seorang anak adalah milik
bapaknya. Ketiadaan dapat dipisahkan makna-makna tersebut dari
iba>rat nash melahirkan ketentuan hukum yang lazim bagi
iba>rat nash yang tidak dimaksudkan oleh siyaqul kalam. Dengan
demikian ketentuan hukum itu diperoleh dari isya>rat nash, bukan
dari iba>rat nash.19
3. Dala>lat al-Nash
Dala>lat al-nash biasa juga disebut dala>lat al-dala>lah.
Dinamakan demikian karena hukum yang yang ditetapkannya

19

Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, op.cit, h.297-298.

11

bukan diambil secara langsung dari madlul lafaz, akan tetapi


diambil dari makna madlul lafaz.20
Defenisi dala>lat al-nash dapat dillihat sebagai berikut :
a. Menurut Abu Zahrah :



21

Dala>lah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum


adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada
hubungannya yang dapat dipahami berdasakan
pemahaman dari segi bahasa.
b. Definisi yang hampir sama, dikemukakan oleh Badsyah Amir :



Dala>lah lafaz atas hukum yang dibicarakan untuk
sesuatu yang tidak disebutkan karena dapat dipahami ada
kaitannya berdasarkan pemahaman dari segi bahasa. 22
c. Definisi yang agak berbeda dikemukakan oleh al-Sarkhisi :


Apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan
bahasa dan bukan melalui cara istinbat dengan
menggunakan daya nalar. 23
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
dala>lat al-nash adalah penunjukan oleh lafaz yang tersurat
terhadap apa yang tersirat di balik lafaz itu. Hukum yang terdapat

20

Ibid, 298.

21

Muhammad Abu> Zahrah op.cit, h. 141.

22

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op.cit, h. 134.

23

Ibid.

12

dalam suatu lafaz secara tersurat, berlaku pula pada apa yang
tersirat di balik lafaz itu, karena di antara keduanya terdapat
hubungan. Untuk sampai pada pemahaman yang tersirat itu cukup
dengan hanya menggunakan analisa kebahasaan, tidak
memerlukan ijtihad yang mendalam dengan mengerahkan
kemampuan daya nalar.
Dala>lat al-nash atau dala>lat al-dala>lah biasa juga
disebut dengan istilah mafhum muwafaqah. Dan sebagian ulama
menamakannya dengan qiyas jali>. Penunjukkan secara dala>lah
nash terjadi bila suatu nash menurut ibaratnya menunjukkan
sutau hukum terhadap suatu kejadian. Hukum yang terdapat
dalam nash, bisa pula dalam kejadian lain adalah karena ada
alasan hukum dalam kejadian lain tersebut.
Dala>lat al-nash atau dala>lat al-dala>lah terbagi dua :
1. Hukum yang akan diberlakukan kepada kejadian yang tidak
disebutkan dalam nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan
dengan kejadian yang ada dalam nash. Dala>lat al-nash dalam
bentuk ini disebut mafhum aulawi. Di antara ulama ada yang
menyebutnya qiyas jaliy. Umpamanya firman Allah dalam surat
al-Isra (17) ayat 23 :


...
...



Terjemhnya : maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka.. . 24

24

Departemen Agama RI, op.cit, h. 427.

13

Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan


kata-kata kasar dan menghardik ibu bapak. Hukum tidak
boleh itu berlaku pula perbuatan memukul orang tua, karena
sifat menyakiti yang menjadi alasan larangan pada
pengucapan kasar lebih kuat perbuatan memukul. Alasan ini
dapat dipahami semata-mata karena berdasarkan pemahaman
dari segi bahasa tanpa memerlukan penalaran.
2. Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak
disebutkan dalam nash, keadaannya sama dengan kejadian yang
ada dalam nashnya. Dala>laht al-nash dalam bentuk ini disebut
mafhum musawai. Contohnya firman Allah dalam surat al-Nisa
(4) ayat 10 :










...


Terjemhnya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
memakan api sepenuh perutnya...25
Ibarat nash dari ayat ini menunjukkan tidak boleh memakan
harta anak yatim secara tidak patut. Hukum tidak boleh ini
berlaku pula pada perbuatan yang sama dengan memakan harta
anak yatim, seperti membakarnya. Alasan larangan dalam
ayat ini, yaitu menghabiskan harta anak yatim, terdapat pula

25

Departemen Agama RI, op.cit, h. 116.

14

pada perbuatan membakarnya yang sama kuatnya dengan


perbuatan memakannya secara tidak patut.26
Kedua bentuk dala>lah di atas disebut dala>lah al-nash
karena makna yang dimaksud dapat dipahami dari nash yang
disebutkan. Dinamakan juga mafhum muwafaqah karena adanya
kesamaan hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang
disebutkan. Disebut juga dengan qiyas karena dala>lah dalam
bentuk ini juga menggunakan illat hukum, tetapi illat ini dapat
dipahami dengan mudah dan jelas melalui lafaz (nash) dan tidak
memerlukan penalaran yang mendalam.
4. Dala>lat al-Iqtidha>
Dala>lat al-Iqtidha atau disebut juga Iqtidha al-Nash,
yang para ahli ushul mendefinisikannya sebagai berikut :
a. Menurut sebagian ahli ushul :


Penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan,
yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut
itu. 27
b. Secara sederhana Abu Zahra memberi definisi :
28


Penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras
maknanya tanpa memunculkannya.

c. Sementara Badsyah Amir mendefinisikannya sebagai :


26

Lihat Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, op.cit, h. 135-136.

27

Ibid, h. 136.

28

Muhammad Abu> Zahrah op.cit, h. 143.

15


Lafaz yang menunjukkan kepada sesuatu yang tidak
disebutkan, yang makna kebenaran dan keshahihannya
tergantung kepada yang tidak disebutkan itu . 29
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa
dala>lat al-iqtidha atau iqtidha al-nash adalah penunjukan lafaz
kepada seseuatu yang tidak disebut oleh nash. Akan tetapi,
pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang tidak disebut
itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat. Dengan kata lain nash
tersebut tidak akan memberi pengertian, jika sekiranya tidak
membubuhkan suatu lafaz atau pengertian yang sesuai.
Keharusan untuk menyatakan lafaz atau pengertian yang
sesuai itu paling tidak mengandung tiga macam kegunaan yaitu :
1. Agar pengertian nash itu benar adanya. Misalnya sabda
Rasulullah saw. :

Diangkat dari ummatku kesalahan, kelupaan dan sesuatu


yang dipaksakan orang kepadanya.
Mengangkat kesalahan, kelupaan dan paksaan sekali-kali tidak
akan terjadi. Karena ketiga-tiganya adalah perbuatan yang
sudah terlanjur dilakukan. Tidak dapat ditarik kembali. Oleh
karena itu yang dihapus (diangkat) niscaya bukan
perbuatannya, tetapi yang lain. Agar nash tersebut memberi
pengertian yang benar, hendaknya dibubuhkan satu lafaz
dalam rangkaian kalimatnya. Adapun lafaz yang pantas untuk
dibubuhkan dalam rangkaian kalimat tersebut adalah lafazh
29

Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin,op.cit, h. 137.

16

sehingga
( dosa) atau sebelum lafaz
tersusunlah rangkaian kalimat :












Diangkat dari ummatku dosa karena salah, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan orang kepadanya.
2. Agar pengertian nash itu benar menurut logika. Misalnya firman
Allah swt. dalm Surah Yusuf (12) ayat 82 :

Dan tanyalah negeri yang kami berada di situ...30

Jika dilihat sepintas ayat tersebut di atas, tidak dibenarkan


maknanya menurut logika, sekiranya tidak dibubuhkan
perkataan ahli (penduduk) sebelum lafaz al-qoryah (negeri).
Dengan demikian tersusunlah rangkaian kalimat :

Dan tanyalah kepada penduduk negeri yang kami berada di


situ...
3. Agar pengertian nash itu benar (sah) menurut syara. Misalnya
seorang berkata kepada temannya : Hadiahkanlah bukumu itu
kepada si Ahmad dari saya!. Di sini pembicara memberikan
kuasa kepada temannya untuk menghadiahkan sebuah buku
kepada si Ahmad. Pemberian hadiah dari orang yang
memberikan kuasa itu menurut syara dianggap tidak sah,
kecuali kalau buku itu sudah menjadi miliknya. Apabila orang
yang diberi kuasa itu meneriman kuasa tersebut, maka hal itu
30

Departemen Agama RI, op.cit, h. 361.

17

berarti bahwa dia telah menyetujui menjual buku dan


memindahkan haknya terhadap buku itu kepada orang yang
memberikan kuasa. Dengan demikian ketetapan jual beli beli itu
diperoleh dari pengertian bahwa dia telah menjual bukunya dan
memindahkan haknya atas buku itu kepada orang yang
memberi kuasa. Karena dia menerima kuasa dari padanya.
Pengertian yang demikian ini dipetik melalui dala>lah iqtidha.31

IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan
sebagi berikut :
1. Penunjukan lafal atas hukum yang terkandung pada nash
menurut Ulama Hanafiyah ada 4 (empat) yakni iba>rat alnash, isya>rat al-nash, dala>lat al-nash dan dala>lat aliqtidha>.
2. Iba>rat al-nash adalah sighatnya yang terdiri dari berbagai
satuan kata (mufradat) dan kalimat. Sedangkan yang dimaksud
31

Lihat Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchur Rahman,
op.cit, h.302-304.

18

dengan makna yang dipahami dari iba>rat nash adalah makna


yang dapat dipahami dari sighat itu sendiri, dalam hal ini
adalah susunan kalimatnya.
3. Isya>rat al-Nash adalah penunjukkan suatu lafaz kepada
makna yang tidak segera dipahamkan, akan tetapi makna itu
tidak dapat dipisahkan dari makna yang dimaksudkan, baik
menurut rasio, maupun menurut adat kebiasaan dan baik
makna itu jelas maupun samar-samar.
4. Dala>lat al-nash adalah penunjukan oleh lafaz yang tersurat
terhadap apa yang tersirat di balik lafaz itu. Hukum yang
terdapat dalam suatu lafaz secara tersurat, berlaku pula pada
apa yang tersirat di balik lafaz itu, karena di antara keduanya
terdapat hubungan. Untuk sampai pada pemahaman yang
tersirat itu cukup dengan hanya menggunakan analisa
kebahasaan, tidak memerlukan ijtihad yang mendalam dengan
mengerahkan kemampuan daya nalar.
5. Dala>lat al-iqtidha atau iqtidha al-nash adalah penunjukan
lafaz kepada seseuatu yang tidak disebut oleh nash. Akan
tetapi, pengertian nash itu baru dapat dibenarkan jika yang
tidak disebut itu dinyatakan dalam perkiraan yang tepat.
Dengan kata lain nash tersebut tidak akan memberi
pengertian, jika sekiranya tidak membubuhkan suatu lafaz atau
pengertian yang sesuai.
DAFTAR PUSTAKA

19

Abu Zahrah Muhammad: Ushu>l al-Fiqh (Cairo : Dar al-Fikr


al-Araby, 1957.
-------, Ushul al-Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1997.
Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta:
Yayasan Penyelenggara dan Penerjemah/Penafsiran alQuran, 1971.
Djazuli A., Ushul al-Fiqh : Metodologi Hukum Islam, Cet. I; Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2000.
Haq Hamka, Filsafat Ushul Fiqh, Ujungpandang: Yayasan Ahkam,
t.th.
al-Jurjani Muhammad, Kitab al-Tarifat, Singapura: Jeddah alHaramain, t.th.
Kamali Mohammad Hashim Dr., Principle of Islamic Jurisprudence
(The Islamic Texts Society) Diterjemahkan oleh Noorhaidi,
S.Ag. dengan judul Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam
(Us{ul Al-Fiqh), Cet. I; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
Maluf Luwis, al-Munjid, Cet. XXV; Bairut: Dar al-Masyriq, 1960.
Syarifuddin Amir H. Prof. Dr., Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. IV; Jakarta :
Kencana, 2008.
-------, Ushul Fiqh 2, Cet. I; Jakarata : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Uman Khairul, Ushul al-Fiqh II, Cet. II; Bandung : Pustaka Setia,
2001.
Wahaf Khallaf Abd., Ilmu Ushul al-Fiqh, alih bahasa oleh Moh.
Zuhri, Cet. I; Semarang : Toha Putra, 1994.
Yahya Mukhtar Prof. Dr. dan Prof. Drs. Fatchur Rahman, DasarDasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Cet.IV; Bandung : PT.
Al-Maarif, 1997.
al-Zuhaeli Wahbah, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh, Dimasyqy : alMathbaah al-Ilmiah, 1969.

20


, , : )
( ,

Makalah Dipresentasikan dalam Seminar Kelas Mata Kuliah


Ushul Fikih Semester II Program Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar Tahun Akademik 2009/2010

Oleh :
ABDURAHIM RIDUANG
NIM : 80100208267

Dosen / Pemandu :

Drs. H. Mawardi Dj., Lc., M.Ag., Ph.D.


Dr. H. Haddise, M.Ag.

21

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN (UIN)
MAKASSAR
2010

Anda mungkin juga menyukai