0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan4 halaman
1) Ta'wil menurut ushuliyyin adalah pemalingan lafaz dari makna zahirnya ke makna lain berdasarkan dalil. Ta'wil tidak berlaku pada nash qath'i, muhkam, dan mufassar.
2) Medan ta'wil ulama ushul adalah masalah furu' dengan menemukan bentuk ta'wil seperti takhshish al-'am dan taqyyid al-mutlaq.
3) Ta'wil berkaitan erat dengan tafsir tetapi ru
1) Ta'wil menurut ushuliyyin adalah pemalingan lafaz dari makna zahirnya ke makna lain berdasarkan dalil. Ta'wil tidak berlaku pada nash qath'i, muhkam, dan mufassar.
2) Medan ta'wil ulama ushul adalah masalah furu' dengan menemukan bentuk ta'wil seperti takhshish al-'am dan taqyyid al-mutlaq.
3) Ta'wil berkaitan erat dengan tafsir tetapi ru
1) Ta'wil menurut ushuliyyin adalah pemalingan lafaz dari makna zahirnya ke makna lain berdasarkan dalil. Ta'wil tidak berlaku pada nash qath'i, muhkam, dan mufassar.
2) Medan ta'wil ulama ushul adalah masalah furu' dengan menemukan bentuk ta'wil seperti takhshish al-'am dan taqyyid al-mutlaq.
3) Ta'wil berkaitan erat dengan tafsir tetapi ru
Ainun Rofiq NIM : 23420005 Kelas : TIF 2020(B) Matkul: Aswaja 1
Jelaskan Pandangan Aswaja Tentang Ta’wil Terhadap Nash
Ta’wil menurut ushuliyyin yaitu, pemalingan suatu lafaz dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafaztersebut. Lafaz yang bisa dita’wil adalah lafaz az-zahir. Ta’wil tidak berlaku pada nash-nash qath’i, muhkam dan mufassar. Sedangkan dalil ta’wil berupa nash (ayat atau hadith), qiyas (analogi), luhgawiyyah (kebahasaan), ‘aqliyyah (logika), dan ‘adad (‘urf) yang berlaku pada masyarakat, dan dalil yang diperselisihkan )) فيه خمتلفadalah hikmah al-tasyri’ atau maqashid al-syari’ah yang hanya dipraktekkan oleh ulama ushul al- Hanafiyah. Medan ta’wil ulama ushuliyin ialah masalah-masalah furu’(nash-nash yang bersinggungan dengan hukum-hukum syari’ah). Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, diantaranya mengkhususkan lafaz yang umum (takhshish al-’am), membatasi lafaz yang mutlaq (taqyyid al-mutlaq), mengalihkan lafaz dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Ta’wil memiliki kaitan yang cukup erat dengan tafsir. Ta’wil merupakan pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Ruang lingkup ta’wil lebih dalam dari pada tafsir; tafsir mengungkap makna suatu lafazh yang tersembunyi dan hanya memiliki satu makna, sedangkan ta’wil memilih makna dari sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki beberapa makna berdasarkan qarinah. Terkadang ta’wil juga mengungkap makna yang tidak bisa diungkap tafsir. Para ulama juga telah membagi ruang lingkup tafsir dan ta’wil, ruang lingkup ta’wil lebih dalam dan lebih sulit dari pada ruang lingkup tafsir. Dalam kajian ilmu tafsir, nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan yang terdalam; muawwal, dalalah iqtidha’, dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan ta’wil. Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, yang menjadi objek ta’wil adalah an-nash dan azh-zhahir. Sedangkan mufassar dan muhkam ada lah bagian tafsir. Dalam kaitannya dengan masalah makna, pengalihan makna suatu lafazh dari yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan; makna lughawi, makna istilah-istilah syar’i, dan makna istilah dalam urf tertentu seperti istilah- istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. Setiap lafazh harus dikembalikan maknanya kepada tiga macam makna tersebut sesuai dengan qarinah lafazhnya. Jika menunjukkan kepada makna lughawi maka harus dikembalikan kepada makna lughawi, jika menunjukkan kepada makna syar’i maka harus dikembalikan kepada makna syar’i, dan jika menunjukkan kepada makna urf maka harus dikembalikan kepada makna ufr. Terkadang dalam ketiga makna tersebut masih memiliki bagian, seperti makna syar’i terkadang terbagi menjadi hakiki dan majazi. Ta’wil memiliki tiga macam; pertama, ta’wil yang dekat seperti lafazh idza kuntum ila ash-shalah yang dita’wilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat. Kedua, ta’wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang dita’wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti firman Allah aw aakharaani min ghairikum (atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu) dita’wilkan oleh Rafidhah dengan selain kabilah kalian. Dalam masalah ta’wil, para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan istimbath al- ahkam. Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang bersifat umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Para ulama ushul juga yang membuat kaidah-kaidah ta’wil di antaranya; orang yang melakukan ta’wil harus memiliki kriteria seorang mujtahid, harus berdasarkan pada dalil yang shahih, dan tidak bertentangan dengan nash yang lain. Kaidah-kaidah ta’wil yang dibuat oleh para ulama dan konsep pengalihan makna dalam ta’wil ini merupakan perbedaan yang sangat mendasar antara ta’wil dan hermeneutika. Dalam hermeneutika seseorang tidak terikat dengan makna istilah- istilah syar’i, tidak perlu menggunakan dalil-dalil syar’i, tidak memperhatikan apakah hasil penafsiran tersebut sesuai dengan nash-nash syar’i yang lain atau bertentangan, dan tidak memperhatikan orang yang melakukannya apakah memiliki kemampuan atau tidak. Dengan demikian, hasil penafsiran dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif tergantung kepada orang yang melakukan penafsiran. Ta ’ wil dalam masalah furu ’ Nash - nash hukum syariat ( taklifi ) merupakan lahan yang subur bagi ta ’ wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu ( muhtamal ) yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Pendekatan kebahasaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh para mujtahid untuk menetapkan arti sebuah ungkapan dan maksudnya dengan menggunakan al-qawaid al-Ushuliyah al-Lughawiyah. Pendekatan kebahasan tersebut secara garis besarnya dapat dikelompokkan kepada empat bahagian, yang masing msing bahagian memiliki bahagian terkecil. KESIMPULAN : 1.) menurut ushuliyyin yaitu, pemalingan suatu lafaz dari maknanya yang zhahir kepada makna lain yang tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafaz az-zahir. tidak berlaku pada nash-nash, muhkam dan mufassar. Sedangkan berupa nash (ayat atau hadith), qiyas (analogi), luhgawiyyah (kebahasaan), (logika), dan yang berlaku pada masyarakat, dan dalil yang diperselisihkan adalah hikmah al-tasyUL· atau maqashid yang hanya dipraktekkan oleh ulama ushul al-Hanafiyah. Medan ulama ushuliyin ialah masalah-masalah· (nash-nash yang bersinggungan dengan hukum-hukum). Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk , diantaranya mengkhususkan lafaz yang umum (takhshish al-·DP), membatasi lafaz yang mutlaq (taqyyid al-mutlaq), mengalihkan lafaz dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. 2.) Metode dinilai masih cocok dan relevan untuk diterapkan dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia. Hal ini dibuktikan setidaknya pada kasus hukum perkawinan (fiqh munakahat). Relevansi itu terlihat dalam menyelesaikan kasus tentang, pembatasan usia perkawinan.