Anda di halaman 1dari 5

A.

Istinbath
a. Pengertian
Istinbath secara etimologi berasal dari kata Nabath atau Nubuth dengan kata
kerja Nabatha-Yanbuthu yang berarti air yang mula-mula keluar dari dari sumur
yang digali. Kata kerja tersebut berubah benttuk menjadi transitif, sehingga
menjadi Anbatha dan Istanbathu yang berate mengeluarkan air air dari sumur
(tempat air yang tersembunyi). Ijtihad dalam sorotan Haidar Bagir dan Syafiq
Bashri, istinbath pada asalnya berarti usaha mengeluarkan air dari sumber
yempat persembunyiannya. Kata tersebut dipakai sebagai istilah fikih, yang
berarti upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya.
Istinbath adalah upaya seseorang ahli fikih dalam menggali hukum islam dari
sumber-sumbernya. Ijtihad ini ditempuh dengan cara pendekatan-pendekatan
yang tepat dan juga ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama yang
menyangkut masalah hukum. Menurut Ali Hasballah ada dua cara pendekatan
yang dikembangkan oleh para ulama fikih dalam melakukan istinbath, yakni
pendekatan melalui kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui pengenalan
makna atau maksud syari’at (Maqashid Al-Syari’ah).
Objek kajian istinbath hukum menyangkut nash, jiwa, dan tujuan syari’at.
Maka pendekatan yang diterapkan harusyang menyangkut ketiga hal tersebut.
Penggunaan pendekatan melalui kaidah kebahasaan ialah karena kajian
istinbath akan menyangkut nash (teks) syari’at. Sedangkan pendekatan melalui
kajian maqashid al-syari’ah ialah karena kaian istinbath akan menyangkut
kehendak syar’I, yang hanya mungkin dapat diketahui melauli kajian maqashid
al-syari’ah.
Hukum islam dari zaman ke zaman semakin berkembang dengan pesat,
upaya dalam pendekatan diteruskan dengan cara pendekatan lain. Maka,
pendekatan istinbath ada bentuk ketiga yaitu pendekatan tarjih (pengukuhan)
suatu pendapat mujtahid dan melemahkan yang lain. Jadi, pendekatan dalam
kajian istinbath hukum ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan.
2. Pendekatan melalui Maqashid Al-Syari’ah.
3. Pendekatan melalui Tarjih.
b. Pendekatan kajian Istinbath
1. Pendekatan melalui kaidah-kaidah kebahasaan
Sudah diketahui bahwa sumber penggalian hukum islam adalah Al-
Qur’an dan Hadist yang berbahasa arab. Maka pengkajian hukum islam harus
meguasai terlebih dahulu seluk beluk bahasa arab. Imam Ghazali mengatakan
kaidah kebahasaan adalah sebagai pilar ushul fikih, yang dengannya para
mujtahid dapat menggali dan memetik hukum dari sumber-sumbernya.
Hal pertama yang diperhatikan ulam ushul fikih adalah pengertian lafadz-
lafadz dalam kaitannya dengan posisi lafadz-lafadz tersebut dalam nash. Hal
ini, oleh ulama dibagi dua bentuk.
a. Al-Asma Al-Lughowiyyah (isim-isim yang sering dipaki dalam
tradisi kebahasaan) seperti lafadz Ad-Dabbah (segala sesuatu yang
melata) tetapi dalam tradisi kebahasaan dipakai untuk menunjuk
binatang yang memiliki empat kaki.
b. Al-Asma Al-Syari’iyyah (isim-isim yang dipakai sebagai istilah
syari’at) seperti kata shalat atau bentuk kata yang menunjuk kepada
ibadah.
Pembahasan mengenai lafadz mencakup dengan pembahsan lafadz yang
ditinjau dari berbagai sisi. Ulama fikih kontemporer seperti Syaikh Wahnah
Az-Zuhaili, Ali Hasballah, dan Zaki Al-Din membagi kedalam empat
kelompok.
a. Bi i’tibari Al-Lafadzi lil Ma’na, penempatan suatu lafadz terhadap
suatu makna. Ada empat pembahasan, antara lain sebagai berikut.
1. Khash, lafadz yang ditempatkan untuk menunujukan satu makna
tertentu.
2. ‘Amm, lafadz yang ditempatkan untuk menunjukan satu makna
umum.
3. Musytarak, lafadz yang ditempatkan mengacu kepada dua makna
atau lebih.
4. Mutaradif, dua lafadz atau lebih yng mengacu kepada satu makna.
b. I’tibar Isti’mal fi Al-Ma’na, penerapan suatu lafadz terhadap suatu
makna. Ada empat pembahasan, antara lain sebagi berikut.
1. Al-Haqiqah, lafadz yang digunkan menunjuk kepada pengertian
yang asli.
2. Al-Majaz, lafadz yang digunakan menunjuk kepada pengertian
lain, bukan makna asli, karena ada indikasi yang menghendaki
demikian.
3. Sharih, lafadz yang mengacu kepada pengertian yang jelas, tidak
butuh dijelaskan kembali.
4. Kinayah, lafadz yang samar maksudnya, baru diketahui setelah
ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya.
c. Bi I’tibari Dalalah Al-Lafdzi ‘ala Al-Ma’na bi Hasabi Dzuhur Al-
Ma’na wa Khafaih, petunjuk lafadz atas maknanya dalam hal
kejelasan dan ketersembunyiannya. Ada dua pembahasan, antara lain
sebagai berikut.
1. Wadhih Al-Dalalah, lafadz yang petunjuk maknanya jelas, tanpa
memerlukan lafadz lain untuk memperjelasnya.
2. Khafi Al-Dalalah, lafadz yang tidak jelas petunjuk maknanya,
baru diketahui kejelesannya setelah ada lafadz lain untuk
menjelaskannya.
d. Bi I’tibari Khaifiyyah Dalalah Al-Lafdzi ‘ala Al-Ma’na, cara
pengungkapan kalimat dalam kaitannya dengan makna yang
dikandung oleh kalimat tersebut. Ada dua pembahasan, antara lain
sebagai berikut.
1. Al-Manthuq, petunujuk teks mengacu kepada ungkapan eksplisit.
2. Al-Mafhum, petunjuk teks mengacu kepada makna impilistinya.
Selain membahas masalah lafadz, ulama ushul fikih juga
membahas huruf Al-Ma’ani dan kata-kata penghubung yang
mengandung beragam makna. Kata-kata tersebut sangat penting
dalam istinbath hukum, karena dapat membawa pengertian terhadap
nash.
2. Pendekatan melalui Maqashid Al-Syari’ah.
Pendekatan melalui maqashid al-syari’ah, kajiannya lebih dititik
beratkan pasa nilai-nilai yang mengandung kemaslahatan manusia dalam
setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan melalui kajian ini sudah
berlangsung sekian lama dalam islam. Hal ini tersirat dari beberapa
ketentuan Nabi SAW.
Istilah maqashid al-sayri’ah, menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili
merupakan nilai-nilai dan sasaran-sasaran syara’ yang tersirat dalam
segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan
sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’at, yang
ditetapkan oleh syara’ dalam setiap ketentuan hukum.
Maqashid al-syari’ah, secara subtansial mengandung kemaslahatan.
Menurut Al-Syathibi, dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama,
Maqashid Al-Syar’i (tujuan tuhan). Kedua, Maqashid Al-Mukallaf
(tujuan Mukallaf).
Maqashid al-syar’i mengandung empat aspek, yaitu :
1. Tujuan awal dari syar’i menetapkan syari’at yaitu kemaslahatan di
dunia dan di akhirat.
2. Penetapan syari’at sebagai suatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syari’at sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
4. Penetapan syari’at guna membawa manusia kebawah lindungan
hukum
Keempat aspek tersebut bisa disimpulkan bahwa tujuan tuhan
menetapkan suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk
kemaslahatan manusia.
Adapun tujuan syari’at ditinjau dari sudut tujuan mukallaf ialah agar
setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan syari’at yang digariskan oleh
syari’at, sehingga tercapai tujuan syari’at, yakni kemaslahatan di dunia
dan di akhirat.
3. Pendekatan melalui tarjih
Tarjih menurut ulama syafi’iyyah, seperti dikemukakan Muhibb-
Allah ‘Abd-Alsyakar, tarjih ialah pertemuan suatu dalil dengan sesuatu
(dalil yang lain) yang diunggulkan karena pertentangan (ta’arudh).
Tarjih bisa dilakukan apabila terdapat hal-hal berikut ini.
1. Kesataraan validitas (tsubut) dua dalil, seperti satu ayat dengan
ayat yang lain.
2. Terdapat kesetaraan dalam kekuatan suatu dalil, tidak ada tarjih
jika terjadi pertentangan antara hadist ahad dengan ayat Al-
Qur’an.
3. Mengacu kepada satu sasaran hukum, yang disertai kesamaan
waktu dan tempat.
Maka, pendekatan melalui tarjih lebih menitikberatkan kajian pada
pertimbangan-pertimbangan terhadap suatu validitas dalil yang dipakai
sebagai landasan hukum.

Anda mungkin juga menyukai